ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK (Studi Perkara Nomor 1727/PID.B/2009/PN.TK)

(1)

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK

(Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK)

Oleh

Christman Natanael Napitu

Tindak pidana penganiayaan terhadap anak bukanlah hal yang baru di masyarakat. Anak-anak yang menjadi korban menjadi sangat trauma atas pengalaman penganiayaan terhadapnya. Tindak pidana penganiayaan terhadap anak juga pernah terjadi di Provinsi Lampung, hal itu dapat dilihat dari Putusan Perkara Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK. Dalam kasus tersebut, terdakwa Fransiscus Afrizal dinyatakan telah dengan sengaja melakukan penganiayaan terhadap korban Wijaya Bin Hanawi yang masih berumur 13 tahun. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 80 Ayat (1) UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan pidana penjara dengan masa penahanan yang telah dijalani dikurangi dengan pidana yang dijatuhkan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK)? dan mengapa hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK)?

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.


(2)

dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK) adalah dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum, harapan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, motif tindak pidana, sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana penganiayaan, akibat yang ditimbulkan. Hakim juga sepenuhnya memperhatikan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 182 Ayat (6) KUHAP. Alasan hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK) yakni bahwa dalam menjatuhkan putusan maka hakim akan melihat manakah yang paling dominan, apakah hal-hal yang memberatkan atau hal-hal yang meringankan. Jika hal-hal yang memberatkan lebih dominan, maka pidana yang dijatuhkan menjadi maksimum, jika hal-hal yang meringankan lebih dominan, maka pidana yang dijatuhkan hakim akan ringan. Hakim berpegang pada keyakinannya, dengan pertimbangan jika pidana yang ringan akan lebih efektif, dimana pelaku benar-benar insyaf dan tidak mengulangi perbuatannya, maka hakim dapat menjatuhkan pidana yang ringan.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu hakim harus lebih memaksimalkan lagi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, karena pidana ini sudah terlalu ringan. Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian psikis bagi korban. Hakim harus mempertimbangkan akibat perbuatan yang ditimbulkan oleh terdakwa terhadap korban dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak. Jadi dalam mencapai tujuan keadilan maka hakim tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa, namun juga akibat dari perbuatan terdakwa.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai bagian dari generasi muda, anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional. Disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga Negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak asasi manusia. Arti dari anak dalam Penjelasan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan, bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak pidana dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial dan berakhlak mulia. Upaya perlindungan dan kesejahteraan anak perlu dilakukan dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta perlakuan


(4)

tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkannya, diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Berbagai Undang-Undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak.

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi menusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Usaha perlindungan terhadap anak telah cukup lama dibahas baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya peradilan anak telah timbul dimana-mana. Perhatian mengenai masalah perlindungan anak ini tidak akan pernah berhenti, karena disamping merupakan masalah universal juga karena dunia ini akan selalu diisi oleh anak-anak. Sepanjang dunia tidak sepi dari anak-anak, selama itu pula masalah anak akan selalu dibicarakan. Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak Tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Right Tahun 1958. bertolak dari itu, kemudian pada tanggal 20 November 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of The Rights of The Child/Deklarasi hak-hak anak (www.hukumonline.com, akses 23 September 2011, 09:45).


(5)

Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa tidak ada seorangpun anak akan dikenai campur tangan semena-mena atau tidak sah terhadap kehidupan pribadinya, keluarga, rumah atau surat menyuratnya, atau mendapat serangan tidak sah atas harga diri dan reputasinya. Selanjutnya pada Ayat (2) menjelaskan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari campur tangan atau serangan semacam itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi, keluarga, rumah dan surat menyurat serta dari fitnah. Di Indonesia secara sosiologis perhatian terhadap anak-anak telah mulai ada sejak adanya berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun badan-badan sosial, seperti Yayasan Pra Yuwana dan Wisma Permadi Siwi yang pada akhirnya telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan hak anak, tetapi dalam pelaksanaannya, kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu Undang-Undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaannya.

Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa perlindungan anak


(6)

merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Negara dan pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, nasionalisme, berakhlak mulia, serta berkemauan keras menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara.

Perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, Undang-Undang ini meletakkan kewajiban perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

1. Nondiskriminasi


(7)

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan 4. Penghargaan terhadap pendapat anak

(www.hukumonline.com, akses 23 September 2011, 09:45).

Pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak memerlukan peran serta masyarakat, baik lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa atau lembaga pendidikan. Permasalahan anak yang sangat menghawatirkan saat ini adalah penganiayaan, perilaku kekerasan seksual atau perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa. Perilaku ini merupakan pelanggaran mendasar atas hak anak yang merupakan kejahatan sangat keji yang harus dihukum seberat-beratnya.

Tindak pidana penganiayaan terhadap anak bukanlah hal yang baru di masyarakat. Hal ini menarik untuk diteliti karena dari waktu ke waktu peristiwa kejahatan ini selalu meningkat. Tindak pidana penganiayaan ini menjadi masalah bagi masyarakat, karena pelakunya adalah orang terdekat atau dikenal oleh korbannya. Hal ini adalah bentuk perlakuan terburuk terhadap anak yang dikategorikan sebagai kekerasan paling brutal terhadap anak. Anak-anak yang menjadi korban menjadi sangat trauma atas pengalaman penganiayaan terhadapnya. Tindak pidana penganiayaan terhadap anak merupakan hal yang sangat kompleks, sehingga harus diselesaikan sampai ke akar persoalannya. Ketentuan dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:


(8)

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Ketentuan yang juga mengatur tentang tindak pidana penganiayaan adalah ketentuan dalam Pasal 351 KUHP yang menjelaskan bahwa:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara.

(4) Dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Sehubungan dengan hal diatas, tindak pidana penganiayaan terhadap anak masih sering terjadi di Negara Republik Indonesia. Kasus-kasus yang terjadi demikian perlu mendapat perhatian dari pemerintah lebih khususnya Komisi Perlindungan Anak yang memiliki peran penting dalam menanggapi berbagai kasus yang terjadi.

Berkaitan dengan hal itu, berdasarkan data dari Pra research (para penelitian) di Pengadilan Negeri Tanjung Karang diperoleh data bahwa tindak pidana penganiayaan terhadap anak juga terjadi di Provinsi Lampung, hal itu dapat dilihat


(9)

dari Putusan Perkara Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK tentang kasus penganiayaan terhadap anak. Dalam kasus tersebut, terdakwa dinyatakan telah menganiaya seorang anak.

Adapun kronologis singkat dalam perkara tersebut yaitu berawal pada hari rabu tanggal 30 September 2009 yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dengan sengaja melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, yaitu terhadap saksi korban Wijaya Bin Hanawi, perbuatan bermula pada saat korban sedang bermain Internet yang waktu sewanya sudah habis secara tidak sengaja mengetikPass Word (kata kunci) di komputer untuk membatasi waktu pemakaian terbuka.

Terdakwa Fransiscus Afrizal menegur saksi korban dan membawanya turun kedapur yang berada di lantai 1, pada saat itu saksi M. Sunandar Bin Kholid sedang memasak mie di dapur melihat terdakwa menampari pipi korban berkali-kali dengan menggunakan tangan kanan lalu terdakwa keluar dapur kemudian masuk lagi dan langsung menendang tubuh bagian belakang korban sebanyak 1 (satu) kali, lalu terdakwa menampari lagi pipi korban, selanjutnya terdakwa mengambil kayu balok lalu dipukulkan ke perut korban sebanyak 1 (satu) kali, setelahnya terdakwa langsung mencekik leher korban.

Perbuatan terdakwa melanggar sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 80 Ayat (1) UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Majelis Hakim sepakat menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan pidana penjara. Masa penahanan yang telah dijalani dikurangi


(10)

dengan pidana yang dijatuhkan. Terdakwa tetap ditahan dan dibebani biaya perkara Rp. 2000 (dua ribu rupiah). Barang bukti berupa 1 (satu) batang kayu balok dirampas untuk dimusnahkan (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK).

Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan tersebut apakah dapat dimintai pertanggungjawabannya, sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana, yaitu sehat jiwanya, mengetahui bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum serta mampu mengetahui kehendak sesuai kesadarannya, sehingga ia dapat dipidana oleh Hakim.

Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak tersebut memang sudah memenuhi ketentuan Pasal 80 Ayat (1) UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Jika Hakim menjatuhkan pidana penjara maksimum terhadap pelaku, boleh ia lakukan karena hakim mempunyai kebebasan yang tidak boleh diintervensi, namun apakah pidana tersebut telah tepat, sehingga telah memenuhi tujuan pemidanaan dan memenuhi rasa keadilan bagi pelaku dan masyarakat. Apakah putusan tersebut telah mempertimbangkan hal-hal yang mesti diperhatikan oleh hakim, seperti dakwaan jaksa, hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, latarbelakang pelaku, faktor korban dan keyakinan hakim sendiri. Terkadang putusan hakim tidak pernah mencapai pidana yang maksimum seperti yang diancamkan dalam undang-undang. Hal ini tentu saja menimbulkan gejolak di masyarakat yang menginginkan pelaku tindak pidana yang serendah-rendahnya. Di sinilah peranan hakim sebagai penengah di antara keduanya.


(11)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul “Analisis Putusan Pengadilan dalam Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK)”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak?

b. Mengapa hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana anak di Indonesia khususnya hanya terbatas pada masalah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK) dan mengapa hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK). Sedangkan ruang lingkup tempat penelitian hanya dibatasi pada Pengadilan


(12)

Negeri Tanjung Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak?

b. Untuk mengetahui bahwa Hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak?

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang Putusan Pengadilan dalam Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK).


(13)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana anak Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto,1986: 125).

Sikap hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pada hakikatnya selalu memperhatikan tujuan dari pemidanaan tersebut. Berkaitan dengan sikap hakim dalam menjatuhkan vonis dalam rangka mencapai keadilan pada tujuan pemidanaan maka secara teoritis memiliki 4 (empat) tujuan pemidanaan antara lain:

a. Mempengaruhi peri kelakuan si pembuat agar tidak melakukan tindak pidana lagi yang biasanya disebut prevensi sosial.

b. Mempengaruhi peri kelakuan anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan tindak pidana seperti yang dilakukan oleh si terhukum.


(14)

c. Mendatangkan suasana damai atau penyelesaian konflik. d. Pembalasan atau pengimbalan dari kesalahan si pembuat.

(Sudarto, 1997: 196).

Sehubungan dengan hal di atas, dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang, maka hukum pidana hanya dapat dijatuhkan bila perbuatan tersebut telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Walaupun pengakuan terhadap hukum yang hidup sudah lama ada dalam peraturan perundang-undangan tetapi kenyataannya aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) enggan memproses seseorang yang menurut hukum patut dipidana. Aparat penegak hukum hanya berpegang pada peraturan perundang-undangan positif saja.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau menjelaskan undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak lengkap. Tetapi penafsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Karena itu secara prinsip, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim lainnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, selain mencakup teori sebab kejahatan, teori tujuan pemidanaan, dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan menerapkan beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim. Adapun teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain:


(15)

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

b. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak


(16)

diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.

Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, sosial, melanggar hukum serta undang-undang pidana.

Tindak pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan oleh undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai Onrecht, sebagai perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan tata hukum, (Moeljatno, 1973: 71). Sehubungan dengan hal itu, untuk menjawab permasalahan dalam penulisan ini, teori yang akan digunakan beberapa teori antara lain mengenai teori sebab kejahatan, teori tujuan pemidanaan, dan teori pertimbangan hakim.

1. Teori tentang sebab kejahatan

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh W.A. Bonger ada beberapa teori mengenai sebab kejahatan antara lain :

a. Dari Aspek Fisik

Dalam teori ini memberikan gambaran tentang sebab kejahatan adalah pada ciri-ciri fisik seseorang melakukan suatu kejahatan. Teori ini dipelopori oleh Cecare Lombroso yang mengemukakan bakat jahat itu diturunkan dari nenek moyang, kemudian bakat tersebut tidak dapat dirubah. Dalam melihat ciri-ciri


(17)

seseorang yang melakukan kejahatan teori ini melihat dari aspek fisik yang berbeda dengan manusia lainnya seperti, bertato, berahang kuat dan lain-lain. b. Dari Aspek Psikologis

Pada umumnya ahli-ahli psikologis mengembangkan ilmunya dengan cara membagi manusia dalam tipe-tipe tertentu (tipologi). Psikologi criminal mempelajari ciri-ciri para pelaku kejahatan yang “sehat”, sehat dalam pengertian psikologis. Dalam pengertian ini yang dimaksud adalah sehat dalam mental tetapi dapat melakukan kejahatan.

c. Dari Aspek Sosio-Kultural (Sosio Kriminal)

Objek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari hubungan antara masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok, baik karena hubungan tempat maupun etnis anggotanya, antara kelompok sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132).

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:


(18)

a. Analisis

Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).

b. Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (M. Marwan, 2009: 609).

c. Perkara

Perkara adalah pertikaian, perselisihan sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, sebuah konflik hukum yang berkembang atau berubah menjadi di sebuah sengketa/kasus apabila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya baik secara tidak langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian/penderitaan atau kepada pihak lain (Tolib Setiady, 2010: 24).

d. Tindak Pidana/Perbuatan Pidana

Menurut Moeljatno (Tolib Setiady, 2010: 9) menerangkan bahwa strafbaar feit(perbuatan pidana) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan


(19)

hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

e. Penganiayaan

Penganiayaan adalah perbuatan menyakiti atau menyiksa dengan kekerasan terhadap orang secara melawan hukum. Penjelasan umum dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa penganiayaan adalah perbuatan seseorang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan luka.

Berdasarkan penjelasan umum ketentuan Pasal 351 KUHP yang menjelaskan bahwa penganiayaan adalah perbuatan menyakiti atau menyiksa dengan kekerasan terhadap orang secara melawan hukum yang mengakibatkan luka berat, mengakibatkan kematian, ataupun dengan sengaja merusak kesehatan orang.

f. Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:


(20)

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang latar belakang Penganiayaan Terhadap Anak Putusan Pengadilan dalam Perkara Tindak Pidana Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang Pengertian Anak, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Pengertian Pelaku Tindak Pidana, Pengertian Penganiayaan, Tinjauan mengenai Proses Penjatuhan Putusan Oleh Hakim.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.


(21)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK) dan Untuk mengetahui bahwa hakim tidak menjatuhkan sanksi pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Perkara Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK).

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Jakarta.

Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

Saleh, Roeslan. 1999. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

________________ 1995. Kejahatan dan Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Soesilo, R. 1999. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap dengan Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor.

Sudarto. 1997. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1727/Pid.B/2009/PN.TK


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anak

Anak dalam pengertian yang umum tidak saja mendapat perhatian dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat juga ditelaah dari sisi pandang sentralis kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologisnya yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Dalam masyarakat, kedudukan anak memiliki makna dari subsistem hukum yang ada dalam lingkungan perundang-undangan dan subsistem sosial kemasyarakatan yang universal.

Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum sebagai subjek hukum. Kedudukan anak dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pengertian anak menurut hukum pidana

Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pengertian anak adalah :

1. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 Tahun.


(24)

2. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 Tahun.

3. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 Tahun.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengklarifikasikan pengertian anak nakal adalah orang yang dalam perkara telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Anak nakal adalah:

1. Anak yang melakukan tindak pidana

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dimasyarakat

2. Pengertian Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.


(25)

B. Dasar Hukum Perlindungan Anak

Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrisminasi (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2002). Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan bernegara, bermasyarakat dan berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan benar, adil dan sejahtera bagi anak. Melindungi anak adalah melindungi manusia dan membangun manusia seutuh mungkin, pembangunan nasional adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur.

Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional, akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional maka dari itu bahwa perlindungan anak harus diusahakan, apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan. Perlindungan anak dalam suatu keluarga, masyarakat dan bangsa merupakan tolak ukur peradaban keluarga masyarakat dan bangsa tertentu, jadi demi pengembangan manusia seutuhnya dan peradaban orang wajib mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan dan demi kepentingan nusa dan bangsa.


(26)

Berkaitan dengan hal di atas, melindungi anak pada hakekatnya adalah melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, (Arief Gosita, 1997: 162). Setiap manusia dapat melaksanakan haknya, ini berarti dilindungi untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban sendiri atau bersama para pelindungnya.

Setiap anak mempunyai hak untuk melaksanakan kewajibannya untuk memperjuangkan kelangsungan hidupnya, tumbuh-kembang dirinya, perlindungan bagi dirinya sesuai dengan kemampuannya pada usia tertentu. Antara hak dan kewajiban harus ada keseimbangan dan pengembangan kemanusiaan yang positif dengan demikian maka akan terwujud adanya perlakuan adil terhadap anak, oleh karena itu keadilan adalah suatu kondisi yang memungkinkan setiap orang melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi.

Sehubungan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak atas anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

Sebagai generasi muda, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, kelangsungan hidup, pengembangan fisik dan mental serta perlindungan dari berbagai mara bahaya yang dapat mengancam


(27)

integritas dan masa depan mereka, perlu upaya pembinaan yang berkelanjutan dan terpadu. Dalam kenyataan, upaya pengembangan generasi muda, acap kali dihadapkan pada berbagai masalah dan tantangan yang sulit dihindari, antara lain dijumpai penyimpangan sikap perilaku sementara anak, bahkan lebih jauh dari itu, terdapat anak-anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, baik anak dari kalangan sosial ekonomi tinggi, menengah, maupun bawah. Selain itu terdapat pula anak yang dalam keadaan terlantar, yakni anak yang karena satu dan yang lain hal ternyata berbagai kebutuhan tidak terpenuhi dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Karena keadaan diri sendiri yang tidak memadai tersebut, anak-anak tersebut baik dengan sengaja ataupun tidak, sering juga melakukan perbuatan atau perilaku yang merugikan masyarakat atau dirinya sendiri baik dalam bentuk perbuatan melanggar (melawan) hukum atau perbuatan yang terlarang bagi anak-anak.

Berkaitan dengan hal di atas, dalam usaha menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku yang menyimpang anak-anak, sekali-kali tidak boleh melupakan kedudukan anak dengan segala karakternya yang khusus. Walaupun anak pada dasarnya dan dalam batas wajar telah menentukan sendiri langkah perbuatan berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Tetapi karena kondisinya sebagai anak, keadaan sekitar dapat berpengaruh, lebih besar dalam menentukan sikap dan nilai pribadinya. Oleh karena itu dalam menghadapi anak nakal dan terlantar masyarakat dan sekelilingnya dan terutama orang tua lebih bertanggung jawab dari pada anak itu sendiri.


(28)

Hubungan antara orang tua dengan anak dalam kehidupan manusia merupakan suatu hubungan yang hakiki, termasuk hubungan mental psikologis maupun mental spiritual. Mengingat hakekat hubungan tersebut dalam kehidupan manusia, maka dalam menangani masalah anak-anak harus senantiasa diusahakan agar anak tidak dipisahkan dari orangtua. Walaupun terpaksa harus dipisahkan, tetaplah dipertimbangkan pemisahan itu semata-mata demi kepentingan menjaga perkembangan dan pertumbuhan anak secara sehat dan wajar.

Peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Menekankan atau memutuskan pada “Kepentingan Anak” harus merupakan pusat perhatian dalam peradilan anak. Keterlibatan pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarga pada suatu saat hanya ditujukan pada upaya penanggulangan keadaan yang buruk sehubungan dengan perilaku menyimpang dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak, penelantaran anak dan eksploitasi terhadap anak.

Sehubungan dengan hal di atas, memperhatikan berbagai perkembangan tingkah laku yang menyimpang yang dilakukan anak dan untuk melindungi mereka dari suatu perkembangan yang tidak sehat, perhatian terhadap anak-anak sebenarnya agak sudah lama diberikan. Hal ini terbukti dari berbagai pertemuaan ilmiah yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun badan-badan sosial seperti yayasan Pra Yuana dan Wisma Parmadi Siwi.

Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa Perundang-Undangan yang menjadi dasar hukum perlindungan anak antara lain:


(29)

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

c. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 b jo 34 tentang Perlindungan terhadap Anak.

Instrumen-Instrumen hukum di atas merupakan bentuk peraturan untuk melindungi setiap anak dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.

C. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat-sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar dalam hukum pidana.

Berdasarkan ketentuan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa :

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.


(30)

Ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjajikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Ketentuan Pasal 55 KUHP di atas mengkategorikan pelaku sebagai orang yang melakukan sendiri suatu tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-bersama untuk melakukan tindak pidana.

Ketentuan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa : Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. 2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.

Ketentuan dalam Pasal 56 KUHP menjelaskan pelaku juga merupakan pembantu yang melakukan suatu kejahatan, yang terdiri dari :

1. Pembantu saat kejahatan.

2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

Pelaku juga dapat dilihat dari rumusan delik yang dilakukan, yaitu:

1. Delik formil, pelaku adalah barang siapa yang memenuhi perumusan delik, yakni dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang.


(31)

3. Delik aduan yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena. Delik aduan dibedakan menjadi:

a. Delik aduanabsolut, yaitu hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. b. Delik aduan relatif, yaitu delik yang ada hubungan istimewa antara si

pembuat dan orang yang terkena.

D. Tindak Pidana Penganiayaan

Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang termasuk menyangkut perasaan atau batiniah. Sedangkan penganiayaan yang dimaksud dalam hukum pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana, doktrin, dan penjelasan Menteri Kehakiman.

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain. Adapula yang memahami penganiayaan adalah “Dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” (Soenarto Soerodibroto, 1994: 211).


(32)

Penganiayaan terhadap anak sebenarnya tidak terbatas pada deraan yang bersifat badani seperti menampar, menggigit, memukul menendang, melempar, ada pula bentuk-bentuk penganiayaan lainnya yang bersifat kejiwaan atau emosi. Penganiayaan ini bisa dalam bentuk penanaman rasa takut melalui intimidasi, ancaman, hinaan, makian, sampai membatasi ruang geraknya. Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut:

a. Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP. b. Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 KUHP. c. Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 353 KUHP. d. Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam pasal 354 KUHP.

e. Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam pasal 355 KUHP. f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur

dalam pasal 356 KUHP.

Tindak pidana penganiayaan di atas lebih diperjelas dalam uraian sebagai berikut:

1. Penganiayaan Biasa

Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUHP. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut jenis tindak pidana ini adalah tindak pidana penganiayaan dalam bentuk pokok. Apabila dibandingkan dengan perumusan tentang tindak pidana lain dalam KUHP maka perumusan tentang tindak pidana penganiayaan biasa merupakan perumusan yang paling singkat dan sederhana.

Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 351 KUHP di atas diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUHP. Adapun Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan: (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan


(33)

Unsur-unsurnya: a. Unsur kesengajaan. b. Unsur perbuatan.

c. Unsur akibat perbuatan rasa sakit, tidak enak pada tubuh dan luka tubuh, namun dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP ini tidak mempersyaratkan adanya perubahan rupa atau tubuh pada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana penganiayaan.

d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan pelaku.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Unsur-unsurnya : a. Unsur kesengajaan. b. Unsur perbuatan.

c. Unsur akibat yang berupa rasa sakit atau luka berat.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Unsur-unsurnya : a. Unsur kesengajaan. b. Unsur perbuatan.

c. Unsur akibat yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.


(34)

2. Penganiayaan Ringan

Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 352 KUHP, bahwa yang dimaksud dengan penganiayaan adalah penganiayaan yang tidak termasuk dalam :

(1) Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP.

(2) Penganiayaan terhadap orang yang mempunyai kualifikasi tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP yaitu penganiayaan terhadap : a) Ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya.

b) Pegawai negeri yang sedang atau karena menjalankan tugasnya yang sah. c) Nyawa atau kesehatan yaitu memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa

atau kesehatan atau dimakan atau diminum.

(3) Penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.

3. Penganiayaan Berencana

Jenis penganiayaan ini diatur dalam pasal 353 KUHP yang menyatakan :

1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan dengan pidana paling lama tujuh tahun.

3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Apabila dilihat lebih lanjut, maka penganiayaan biasa dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHP mempunyai persamaan dan perbedaan dengan Pasal 353 Ayat (1) KUHP.


(35)

Persamaan dan perbedaan antara dua jenis penganiayaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Persamaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana : a) Sama-sama tidak mengakibatkan luka berat atau kematian.

b) Memiliki kesengajaan yang sama baik terhadap perbuatan maupun akibatnya. c) Bila penganiayaan tersebut mengakibatkan luka, maka luka tersebut harus

luka yang tidak termasuk luka berat sebagaimana diatur dalam Pasal 90 KUHP.

Tabel: Perbedaan Penganiayaan Biasa Dengan Penganiayaan Berencana Penganiayaan Biasa

Pasal 351 Ayat (1)

Penganiayaan Berencana Pasal 353 Ayat (1) 1. Tidak ada unsur lebih dahulu.

2. Dapat terjadi pada penganiayaan ringan, yaitu dalam hal tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. 3. Merupakan penganiayaan dalam

bentuk pokok.

4. Percobaannya tidak dipidana.

1. Ada unsur lebih dahulu.

2. Tidak mungkin terjadi pada penganiayaan ringan, sebab Pasal 353 disebut sebagai pengecualian dari penganiayaan ringan.

3. Merupakan penganiayaan yang dikualifikasi.

4. Percobaannya dipidana.

Sumber: Literatur Penegakan Hukum Pidana Indonesia, Unsur-unsur penganiayaan biasa penganiayaan berencana Pasal 353 Ayat (1) Pasal 351 Ayat (1) (SR. Sianturi dan E.Y Kanter, 1999: 67).


(36)

4. Penganiayaan Berat

Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP yang menyatakan :

(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Apabila diuraikan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 354 Ayat (1) memuat unsur-unsur sebagai berikut :

1) Unsur kesalahan, berupa kesengajaan. 2) Unsur melukai berat (perbuatan). 3) Unsur tubuh orang lain.

4) Unsur akibat yang berupa luka berat.

Ketentuan dalam Pasal 354 KUHP akibat luka berat merupakan maksud dan tujuan dari sipelaku yaitu bahwa sipelaku memang menghendaki terjadinya luka berat pada korban. Berbeda dengan penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, dimana luka berat bukanlah akibat yang dimaksud oleh sipelaku. Dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, kematian bukanlah merupakan akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat. Dalam tindak pidana ini harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kesengajaan untuk menimbulkan kematian, baik kesengajaan sebagai maksud, sebagai kemungkinan atau sebagai kepastian.


(37)

5. Penganiayaan Berat Berencana

Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 355 KUHP yang menyatakan :

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Berdasarkan rumusan pasal 355 KUHP diatas terlihat, bahwa penganiayaan berat berencana terdiri atas dua macam, yaitu :

a. Penganiayaan berat berencana yang tidak menimbulkan kematian. Jenis penganiayaan ini sering disebut sebagai penganiayaan berat berencana biasa. Dalam penganiayaan ini luka berat harus benar-benar terjadi yang juga harus dibuktikan, bahwa luka berat itu memang merupakan akibat yang dikehendaki oleh sipelaku sekaligus direncanakan.

b. Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian. Namun matinya korban dalam tindak pidana ini bukanlah akibat yang dikehendaki oleh sipelaku. Kematian yang timbul dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang dituju sekaligus tidak direncanakan. Sebab apabila kematian merupakan akibat yang dituju maka yang terjadi bukanlah penganiayaan melainkan pembunuhan (Pasal 338 KUHP).

6. Penganiayaan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu

Jenis penganiayaan ini diatur dalam ketentuan Pasal 356 KUHP yang menyatakan:


(38)

“Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga”.

Ke-1 Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya, istrinya atau anaknya menurut undang-undang.

Ke-2 Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.

Ke-3 Jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Ketentuan Pasal 356 merupakan ketentuan yang memperberat berbagai penganiayaan. Berdasarkan Pasal 356 KUHP ini terdapat dua hal yang memberatkan berbagai penganiayaan yaitu :

a. Kualitas korban, yaitu apabila korban penganiayaan tersebut berkualitas sebagai ibu, bapak, istri atau anak serta pegawai negeri yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.

b. Cara atau modus penganiayaan, yaitu dalam hal penganiayaan itu dilakukan dengan cara memberi bahan untuk dimakan atau untuk diminum.

Tindak pidana penganiayaan telah mencapai suatu tingkat yang dipandang serius yaitu dengan semakin beraninya pelaku tindak pidana penganiayaan menganiaya secara sadis bahkan banyak korban yang akhirnya meninggal dunia. Terjadinya tindak pidana penganiayaan ini menimbulkan adanya korban yang menderita kerugian, baik itu kerugian fisik maupun psikis. Untuk merestorasi atau memperbaiki korban dalam keadaan semula memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar pula. Untuk itu dalam tindak pidana penganiayaan korban


(39)

harus mendapat perhatian khusus terutama mengenai masalah perlindungan hukum korban tindak pidana penganiayaan. Sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut : 1. Unsur kesengajaan.

2. Unsur perbuatan.

3. Unsur akibat perbuatan (yang dituju), yakni : a. rasa sakit, tidak enak pada tubuh.

b. luka pada tubuh.

4. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.

Berkaitan dengan hal itu, untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai di atas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut.

1. Unsur kesengajaan

Tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan sebagai kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, unsur kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa ogmerk), maka seorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh. Walaupun secara


(40)

prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan.

Faktanya bahwa orang telah malakukan suatu tindak pidana yang besar kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam kasus ini opzet pelaku tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi.

Bertolak dari uraian di atas, bahwa kemungkinan terhadap terjadinya rasa sakit yang semestinya dipertimbangkan oleh pelaku tetapi tidak dilakukanya sehingga karena perbuatan yang dilakukannya itu menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai penganiayaan. Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud untuk menimbulkan rasa sakit dalam perbuatannya, bahwa mestinya ia sadar perbuatan yang dilakukanya itu sangat mungkin menimbulkan rasa sakit.

Berkaitan dengan hal itu, penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas terhadap unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan, bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah merupakan tujuan pelaku.


(41)

2. Unsur perbuatan

Perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif, artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membancok, dan sebagainya.

3. Unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh

Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan. Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya perubahan dari tubuh atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan tubuh itu misalnya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebagainya. Unsur akibat baik berupa rasa sakit atau luka dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tanpa adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan adanya tindak pidana penganiayaan.

4. Unsur akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya

Unsur ini mengandung pengertian bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan


(42)

satu-satunya dari pelaku. Artinya pelaku memang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku.

Akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu bukan yang menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan. Kembali lagi dari arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berarti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu, yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan.

E. Proses Penjatuhan Putusan Oleh Hakim dan Teori tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana

Putusan Hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh Hakim tersebut. Oleh karena itu, tentu saja Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materil sampai dengan adanya kecakapan teknik


(43)

membuatnya. Jika hal-hal negatif tersebut dapat dihindari, tentu saja diharapkan dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh, dan berkembang adanya sikap atau sifat kepuasan moral jika kemudian putusan yang dibuatnya itu dapat menjadi tolak ukur untuk perkara yang sama, atau dapat menjadi bahan refrensi bagi kalangan teoritisi maupun praktisi hukum serta kepuasan nurani tersendiri jika putusannya dikuatkan dan tidak dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi (Lilik Mulyadi, 2007:25).

Proses penjatuhan putusan yang dilakukan oleh hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak. Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana, menurut Moelyatno, dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut :

1. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana

Hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana. Ditinjau dari segi tersebut, tampak sebagai perbuatan yang merugikan atau yang tidak patut dilakukan atau tidak.

2. Tahap Menganalisis Tanggungjawab Pidana

Dipidananya seseorang harus memenuhi dua syarat, yaitu pertama, perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan yang kedua,


(44)

perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan (asasgeen straf zonder schuld).

Menurut Moelyatno (1982 : 60) unsur-unsur pertanggungjawaban pidana untuk membuktikan adanya kesalahan pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum). b. Di atas umur tertentu dan mampu bertanggungjawab.

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. d. Tidak adanya alasan pemaaf.

3. Tahap Penentuan Pemidanaan

Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam KUHP, dimana KUHP telah mengatur pemidanaan maksimal yang dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana tertentu. Dalam menjatuhkan pidana terhadap para pelaku tindak pidana, maka hakim dapat menggunakan beberapa teori penjatuhan pidana seperti halnya teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, teori pendekatan keilmuan, teori pendekatan pengalaman, teori ratio decidendi, dan teori kebijaksanaan.

Adapun teori-teori penjatuhan putusan pidana oleh Hakim yaitu sebagai berikut : 1. Teori keseimbangan

Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan


(45)

dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam memberikan pertimbangan pada kepentingan korban, karena baik dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil, tidak ada ketentuan mengenai perlindungan terhadap korban.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

Pendekatan seni digunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan olehinstinkatau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

3. Teori pendekatan keilmuan

Teori ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori pendekatan pengalaman

Teori pendekatan pengalaman adalah pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkannya dalam suatu pekara pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.


(46)

5. Teori ratio decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6. Teori kebijaksanaan

Teori kebijaksanaan diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti. Teori ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu yang pertama, sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan, yang kedua, sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana, yang ketiga, untuk memupuk solidaritas antara keluarga dengan masyarakat dalam rangka membina, memelihara, dan mendidik pelaku tindak pidana anak, dan yang keempat, sebagai pencegahan umum dan khusus.

Pemahaman atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak lepas dari prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh John Locke dan Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur atau netral (Impartiality). Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi.


(47)

Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya (Arbijoto, 2008:7).

Penjatuhan sanksi pidana oleh hakim mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana secara luas karena keputusan pidana yang dianggap tidak tepat akan menimbulkan reaksi yang kontroversial, dalam hal ini disebut dengan disparatis pidana, yaitu penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahanya dapat diperbandingkan.

Sehubungan dengan hal itu, dampak disparatis pidana adalah terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban “the judicial caprice” akan menjadi terpidana yang menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum, tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Pendekatan untuk memperkecil disparatis dan pengaruhnya diperlukan suatu pedoman pemidanaan untuk memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaanya, setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan yang ditujukan kepadanya. (Muladi dan Barda N. Arief, 1998:52).

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan menerapkan beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim.


(48)

Adapun teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain:

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

b. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak


(49)

diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.

(http://www.hukumonline.com. /ilmu filsafat/teori pertimbangan hakim, akses 03 September 2011).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang pokok kekuasaan kehakiman, menjelaskan bahwa:

Ketentuan Pasal 5 menjelaskan bahwa:

1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. 2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:

1. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.

2. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, pembuktian yang sah menurut undang-undang seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.


(50)

Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa :

“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

Ketetuan Pasal 8 menjelaskan bahwa :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telahmemperoleh kekuatan hukum tetap”.

Sehubungan dengan hal tersebut, walaupun pengakuan terhadap hukum yang hidup sudah lama ada dalam peraturan perundang-undangan, tetapi kenyataannya aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) enggan memproses seseorang yang menurut hukum patut dipidana. Dengan kata lain, aparat penegak hukum hanya berpegang kepada peraturan perundang-undangan positif saja.

Keputusan hakim sebagai dasar hukum umum pelaksanaan eksekusi dapat dikategorikan sebagai dasar hukum kebijakan pidana. Untuk menelaah keputusan hakim lebih banyak berpangkal pada nilai-nilai serta norma-norma hukum yang mendasari pendirian dan pengetahuan dalam menetapkan keputusannya. Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakan yurisprudensi. Dokumen ini banyak mengadung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan ternyata kebenarannya. Bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum.


(51)

Persoalannya sekarang, apakah putusan-putusan hakim itu merupakan sumber hukum dalam arti formal. Menurut pendapat Prof. Mr. L.J Van Apeldoorn (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 11) dalam bukunya “Philosophy of Law” menjelaskan bahwa:

“...yurisprudensi tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena keputusan hakim yang diikuti terus-menerus oleh hakim lainnya mengenai suatu perkara yang sama tidak dapat menjadi sumber hukum formal. Putusan itu hanya berfungsi membantu terbentuknya hukum material”.

Berkaitan dengan hal itu, menurut Bellefroid (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 14) dalam bukunya “Philosophy of Law”menjelaskan bahwa:

“Putusan hakim sebagai sumber hukum formal. Sifat kewibawaan hakim berlainan dan lebih rendah derajatnya dari pembentuk undang-undang. Namun demikian, hakim mempunyai kewibawaan yang merupakan kenyataan yang harus diakui”.

Menurut Supomo (Dedi Soemardi, 2002: 50) dalam bukunya berjudul Hukum Acara perdata Pengadilan Negeri, menjelaskan bahwa :

“...Di Indonesia, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan yang telah ada. Tetapi praktek pengadilan seperti di Eropa, hakim bawahan sangat memperhatikan putusan-putusan hakim atasan berhubungan pula dengan adanya kemungkinan permohonan banding dan kasasi. Berhubungan dengan itu, yurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber penting untuk menemukan hukum obyektif yang harus diselenggarakan oleh hakim”.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau


(52)

menjelaskan undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak lengkap. Tetapi penafsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Karena itu secara prinsip hakim tidak terikat dengan putusan-putusan hakim lainnya.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1999.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Sianturi, SR. dan E.Y Kanter. 1999. Penegakan Hukum Pidana Indonesia. Bumi

Aksara. Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Soesilo, R. 1999. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap dengan Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor.

Sudarto. 1997. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Putusan Pengadilan Nomor: 1727/Pid.B/2009/PN.TK

http://www.hukumonline.com. /ilmu filsafat/teori pertimbangan hakim, akses 03 September 2011


(54)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya (Soerjono Soekanto, 1986: 43).

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK). Selain itu juga pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan hukum serta hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan melalui penelitian lapangan yang dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan


(55)

terhadap anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK).

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat di lihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1986: 11).

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu: 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap aparat penegak hukum yang terkait dengan tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK).

2. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :


(56)

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 4. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 5. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 6. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan

Kehakiman

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/PID.B/2009/PN.TK), Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.


(57)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 172) yang dimaksud dengan populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana terhadap permasalahan yang terkait dengan tindak pidana penganiayaan terhadap anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1727/Pid.B/2009/PN.TK). Penentuan populasi dalam penelitian ini adalah: Hakim, Jaksa, serta Akademisi.

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya sampel. Adapun sampel dari penelitian ini adalah Hakim dari Pengadilan Negeri, Jaksa dari Kejaksaan Negeri, serta Akademisi dari Universitas Lampung. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1987: 172) memberikan pengertian mengenai sampel yaitu sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Sehubungan dengan itu, Burhan Ashshofa (1996: 91) memberikan pengertian mengenai prosedur sampling dalam penelitian adalah Purposive Sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 6 (enam) orang, yaitu: 1. Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 2 orang 2. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang 3. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 2 orang +


(58)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, perundang-undangan, buku-buku, media massa dan bahasa tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.


(1)

RIWAYAT HIDUP

Christman Natanael Napitu dilahirkan di Palembang 24 Desember 1987, yang merupakan anak ke tiga dari lima bersaudara pasangan Bapak Wisman Napitu, S.E dan Ibu Drs. Nyamur Situmorang, Amd.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak Xaverius Way Halim Permai Bandar Lampung pada tahun 1993, Sekolah Dasar Sejahtera I Kedaton Bandar Lampung pada tahun 2000, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 8 Bandar Lampung pada tahun 2003 dan Sekolah Menengah Atas Gajah Mada Bandar Lampung pada tahun 2006. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2006.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada tahun 2009 penulis mengikuti kegiatan Praktik Kerja Lapangan Hukum (PKLH) tanggal 20 sampai 24 Juli 2009 yang dilaksanakan di Jakarta dan Bandung. Kemudian pada tahun 2012 penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Lampung.


(2)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan

jerih payahku, aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Papa dan Mama yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta doa demi keberhasilanku

Abang Ipar, Kakak dan Adik-Adikku yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka


(3)

MOTTO

Dalam hidup tidak ada kata terlambat teruslah melangkah maju selagi masih ada kesempatan dan berfikir optimis bahwa saya bisa melakukannya.

“Keberhasilan tak akan ada tanpa adanya usaha dan doa”

Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat, maka tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras, dan keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan

bertemu dengan kesiapan. (Thomas Alfa Edison)


(4)

SANWACANA

Segala puji syukur saya ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK ( STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KELAS I A TANJUNG KARANG NOMOR: 1727/PID.B/2009/PN.TK )

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Penjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.


(5)

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. dan Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah,

S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Ibu Supriyanti, S.H. dan Ibu Anyk, S.H. selaku responden dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Bapak Itong Isnaeni Hidayat, S.H., M.H. dan Ibu Sri Suharini, S.H., M.H. selaku responden dari Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, serta Bapak Deni Achmad, S.H., M.H., yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

10. Papa dan mama tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.


(6)

11. Saudara-saudaraku: Kakak Tian, Kakak Oka, Bonie, Nia beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan doa yang selama ini telah diberikan.

12. Sahabat-sahabatku: Eko Tamina, Maliki, Geri, Joko, Erwin, Fitra, Gusnan, Dwi Nurahman dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

13. Special Thanks To Pariban ku atas doa, dukungan, dan perhatian dan bantuannya.

14. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis,