Perlindungan Hukum Oleh Polisi Republik Indonesia (POLRI) Terhadap Sanksi Dan Korban Pada Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia JUNCTO Und

(1)

1

A. Latar Belakang

Pembahasan tentang suatu kejahatan berkaitan pula dengan pembahasan mengenai korban. Suatu kejahatan akan menimbulkan suatu kerugian yang diderita oleh sasaran kejahatan tersebut, yaitu korban. Kerugian ini juga dapat diderita oleh keluarga korban dan atau masyarakat atau negara.

Tindak pidana dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja atau dapat menimpa siapa saja termasuk dapat saja terjadi di dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh orang-orang yang masih ada hubungan dekat baik karena adanya hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, atau orang yang tinggal dalam satu atap.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat bergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keluarga dan kekerasan sekilas seperti sebuah paradoks. Kekerasan bersifat merusak , berbahaya dan menakutkan, sementara disisi lain keluarga diartikan sebagai lingkungan kehidupan manusia, merasakan kasih sayang, mendapatkan pendidikan, pertumbuhan fisik dan rohani, tempat berlindung, beristirahat, yang diterima diselurung anggota keluarganya. Kerugian tindak pidana kekerasan dalam keluarga (yang selanjutnya disebut sebagai KDRT) tidak saja bersifat material, tetapi juga immaterial antara lain berupa goncangan emosional dan


(2)

psikologis, yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupanya.1

Pencegahan tindak pidana KDRT, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta perubahannya. Di samping itu negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah palanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi.2

Pencegahan, melindungi korban KDRT, menindak pelaku KDRT, memelihara keutuhan rumah tangga telah dilakukan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (yang selanjutnya disebut sebagai UUPKDRT) yang berisi aturan-aturan mengenai macam-macam perlindungan untuk keutuhan sebuah rumah tangga dan sanksi-sanksi terhadap pelaku KDRT.

Pelaksanaan UUPKDRT tersebut pemerintah dibantu oleh lembaga Kepolisian yang mana mempunyai tugas untuk menjalankan penegakan hukum, perlindungan dan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut sebagai UU Kepolisian).3

1Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008. hlm 15

2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

3Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Kemandirian Profesionalisme dan Reformasi


(3)

Penegakan hukum pidana memang seharusnya melibatkan lembaga Kepolisian. Hukum perlu dilaksanakan secara law enforcement manakala seseorang tidak dengan sukarela menaatinya.4 Dalam pelaksanaan law enforcement lembaga Kepolisian berdasarkan pasal 14 huruf g UU Kepolisian, polisi berwenag untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Hal tersebut menjelaskan dan menjadi dasar bahwa polisi berhak mengurusi tindak pidana KDRT.

Setiap tindak pidana tentunya akan menghasilkan korban dan saksi yang mana merasakan dan melihat suatu tindak pidana, begitupun dengan tindak pidana KDRT, saksi dan korban tindak pidana KDRT perlu mendapatkan perlindungan yang khusus karena saksi dan korban tindak pidana KDRT tinggal dalam satu atap dengan tersangka. Pemberian perlindungan hukum terhadap saksi dan korban KDRT khususnya dalam proses penyidikan dilakukan secara tertutup hal tersebut didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28G dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan pada diri sendiri, keluarga, kehormatan, dan martabatnya. Penyidikan secara tertutup ini dilakukan oleh pihak Kepolisian karena masalah tindak pidana KDRT merupakan masalah intern suatu keluarga dan masalah KDRT sering dianggap aib oleh masyarakat. Proses penyelidikan dan penyidikan diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan berdasarkan Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, merumuskan penyidik adalah pejabat polisi atau pejabat pegawai negeri yang diberi wewenang oleh undang-undang. Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 butir 4 KUHAP dilakukan oleh pejabat kepolisian dan lembaga lain yang diberi wewenang oleh undang-undang, dan pada Pasal 4 KUHAP dijelaskan bahwa

4ibid. Hlm 27


(4)

polisi yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan, tegasnya penyelidika adalah setiap pejabat polisi, jaksa dan lembaga lain tidak berwenang melakukan peyelidikan.5

Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyidikan, penyelidikan merupakan salah satu metode dari fungsi penyelidikan yang mendahului tindakan lain yaitu tindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. Penyelidikan dilakukan sebelum dilakukan penyodokan bertujuan untuk mencari bukti permulaan, sedangkan peyidikan menitik beratkan pada mencari dan mengumpulkan bukti untuk membantu terangnya suatu tindak pidana dan menentukan pelaku tindak pidana.6

Pada praktinya tindak pidana KDRT masih banyak terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah POLRES Cianjur, hal tersebut terjadi karena kurangnya kontrol diri dari personal masyarakat, dan belum matangnya mental saat melakukan pernikahan merupakan alasan utama terjadinya tidak pidana KDRT tersebut.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (yang selanjutnya disebut sebagai KUHAP) saat ini tidak lagi mencukupi kebutuhan untuk menghadirkan sistem peradilan pidana yang modern karena pengaturannya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan perkembangan hukum pidana, diantaranya dalam merespon tuntutan proses beracara yang semakin kompleks karena munculnya delik-delik baru dan sistem pembuktian perkara

5 Yahya Harahap, Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 101-109


(5)

pidana yang berkembang. Salah satu perkembangan dalam hukum pidana adalah tuntutan atas prosedur pidana yang lebih adil bagi para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana di antaranya para saksi dan korban, dalam hal ini KUHAP masih menitikberatkan pada kepentingan para tersangka, terdakwa dan terpidana semata. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) internasional maupun yang terkait dengan tindak pidana internasional, yang mewajibkan Indonesia untuk menyesuaikan instrumen Internasional tersebut dengan berbagai peraturan di tingkat Nasional.

Seiring dengan perkembangan hukum pidana serta untuk menjawab kebutuhan terkait kepentingan saksi dan korban adalah munculnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Yang Selanjutnya disebut sebagai UU PSK), sebagai respon atas pentingnya perlindungan saksi dan korban yang selama ini belum cukup diakomodasi dalam berbagai peraturan. UU PSK ini mengatur tentang hak-hak substantif dari saksi dan korban, hak-hak prosedural saksi dan korban, perlindungan terhadap saksi dan korban termasuk mekanisme dan prosedurnya dan juga mengatur mengenai tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Penelitian yang dilakukan pada kasus KDRT ini, penulis mengangkat kasus KDRT dengan Laporan Polisi No. Pol : LP/B/2019/V/2009/SPK RES CJR, dengan pelapor dengan nama di inisialkan IN pada tanggal 17 mei 2009 di POLRES Cianjur. Tempat kejadian perkara KDRT tersebut Kp. Ciharshas RT. 01 RW. 07 Desa Sirnagalih Kec. Cilaku Kab. Cianjur pada tanggal 12 Febuari 2009 pada pukul 12.00. Tersangka melakukan penganiayaan terhadap istrinya dengan melakukan pemukulan di daerah perut korban sebanyak dua kali dimana korban dalam keadaan hamil. Hal tersebut dilakukan karena tersangka diketahui oleh


(6)

korban telah berselingkuh dengan saudari AF, kejadian tersebut dilakukan di rumah saksi AF yang merupakan selingkuhan tersangka. Kasus-kasus KDRT yang dewasa ini semakin banyak terjadi di indonesia. UU Kepolisian sampai saat ini tidak mengatur secara tertulis tentang perlindungan saksi dan korban pada proses penyidikan, namun POLRI sebagai penyidik wajib memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban kasus KDRT dalam proses penyidikan, ketentuan UU PSK tidak secara eksplisit mengatur hal tersebut, maka UU PSK yang dibuat pada tahun 2006 menjadi dasar hukum bagi Lembaga Saksi dan Korban (LPSK), Undang-Undang dan lembaga ini bertugas untuk memberikan perlindungan hukum dan pemenuhan hak saksi dan korban korban, namun hingga saat ini eksistensi lembaga ini juga masih kurang, hal tersebut tersebut terjadi karena kekurangtahuan masyarakat terhadap lembaga ini, sehingga perlindungan oleh Undang-Undang dan lembaga ini masih belum banyak dirasakan oleh masyarakat khusunya saksi dan korban yang sedang menjalani proses hukum.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti mengangkat judul penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi, yaitu: Perlindungan Hukum Oleh Polisi Republik Indonesia (POLRI) Terhadap Saksi Dan Korban Pada

Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Republik Indonesia Juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang


(7)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka permasalahan-permasalahan yang penulis kemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum oleh penyidik terhadap saksi dan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam proses penyidikan ? 2. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan saksi dan korban untuk

mendapat perlindungan pada penyidikan kasus kekerasan dalam rumah tangga?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah :

1. Mengetahui dan memahami perlindungan hukum yang diberikan oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia terhadap saksi dan korban pada tindak pidana KDRT saat proses penyidikan.

2. Mengetahui tindakan hukum yang dapat dilakukan saksi dan korban tindak pidana KDRT untuk mendapatkan perlindungan hukum pada proses penyidikan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis untuk menunjang ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya Hukum Acara Pidana yang akan berguna dalam menyumbangkan ilmu hukum pidana khusunya terkait perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses penyidikan.


(8)

2. Manfaat praktis untuk memberikan masukan kepada Pemerintah, khususnya Badan Pembinaan/ Pembentuk Hukum Nasional mengenai pelaksanaan proses penyidikan dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.

E. Kerangka Pemikiran

Pembukaan Undang-Undang 1945 alinea keempat yang menyatakan bahwa :

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan juga kesejahteraan sosial dan keamanan. Selain itu juga perlindungan hukum atas jiwa dan raga sebagai manusia, karena kata “melindungi” mengandung asas perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan.

Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke tiga mengharuskan segala sesuatu baik tindakan ataupun aktifitas negara berdasarkan pada hukum tak terkecuali dalam proses peradilan sebagai upaya penegakan hukum. Menurut


(9)

Aristoteles negara diperintah bukan oleh manusia, melainkan oleh fikiran yang adil. Dalam sejarah ketatanegaraan dikenal dua macam negara hukum yaitu :7

1. Negara hukum dalam arti sempit adalah negara polisi, yaitu negara hanya berusaha menegakkan hukum;

2. Negara hukum modern (welfare state), yaitu negara hukum yang selain berusaha menegakkan hukum, juga memperhatikan dan berusaha mensejahterakan rakyat.

Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa kontinental (civil law) yang mana sistem hukum ini menganut aliran legisme, aliran ini menjelaskan bahwa tidak ada hukum lain selain undang-undang, hanya undang-undang yang menjadi sumber hukum satu-satunya. Hal tersebut terlihat dari peraturan perundang-undangan Indonesia yang terkodifikasi. Terlepas dari hal tersebut indonesia masih melihat kepada hukum adat, hukum islam dan sistem hukum anglo saxon, sehingga dalam penegakan hukum di indonesia terdapat gabungan antara hukum dan sistem hukum, hal tersebut menghasilkan bahwa penegakan hukum di Indonesia selain menegakan hukum dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia juga menjunjung hukum yang tidak tertulis di masyarakat. Hal tersebut berlaku juga dalam hal kekerasan dalam rumah tangga.

Pencegahan, melindungi korban, dan menindak pelaku KDRT, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama KDRT, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut


(10)

didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa

"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi".

Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa

"Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan".

Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat azas (beginsel) legalitas yang tercakup dalam rumus (formule) yaitu tidak ada delik, tidak ada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu (nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali).8.

8E Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, UNPAD, Bandung, 1958, hlm


(11)

Penyidik dan penyidikan berdasarkan Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP,

Pasal 1 butir 1 KUHAP

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Pasal 1 butir 2 KUHAP

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulakan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangka.” Perlindungan pada proses penyelidikan yang dilakukan oleh polisi sebagai mana tugas dan wewenang untuk memberikan perlindungan terhadap harkat martabat dan hak asasi manusia, tertuang secara eksplisit dalam konsideran menimbang huruf (c) KUHAP, yang berbunyi :

“bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para palaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”

Wewenang penyidik untuk memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban dijelaskan pada Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, yang berbunyi :

“Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” Yang dimaksud dengan tindakan lain menurut pejelasan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum acara Pidana adalah :


(12)

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;

3. Tindakan itu harus patut dan asuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatanya;

4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; 5. Menghormati hak asasi manusia.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, yang dimaksud Kepolisian adalah segala sesuatu yang menyangkut lembaga polisi, mencakup kelembagaan, tugas dan wewenangnya. Salah satu tugas anggota Kepolisian adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan tugas Kepolisian dalam memelihara keamanan dalam masyarakat, melindungi, mengayomi, dan membrikan pelayanan kepada masyarakat. Tugas Kepolisian yang terdapat pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu tugas represif dan tugas preventif. Tugas Repesif yaitu menjalankan peraturan atau perintah dari yang berkuasa apabila telah terjadi peristiwa pelanggaran hukum, sedangkan tugas preventif dari kepolisian ialah menjaga dan mengawasi agar peraturan hukum tidak dilanggar oleh siapapun.

Kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah perbuatan yang mengakibatkan kesengsaraaan atau penderiataan fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran


(13)

rumah tangga terhadap seseorang perempuan termasuk ancaman dan perampasan kemerdekaan yang dilakukan secara melawan hukum.

Berkenaan dengan perlindungan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, perlindungan saksi dan korban mutlak diperlukan karena sa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

Mengenai hal kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undag Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan yang mengakibatkan kesengsaraaan atau penderitaan fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran rumah tangga terhadap seseorang perempuan termasuk ancaman dan perampasan kemerdekaan yang dilakukan secara melawan hukum.

Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban KDRT harus memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum kepada para pihak, keadilan dan kepastian hukum tersebut dicerminkan oleh aliran hukum yang berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung. Selain itu hukum harus memberikan kepastian hukum kepada seluruh masyarakat, kepastian hukum merupakan cerminan dari aliran prsitivisme yang berpendapat bahwa hukum harus dipisahkan dari anasir-anasir non-yuridis.


(14)

Kedua aliran filsafat hukum tersebut dapat menjadi dasar dalam pemberian pelindungan hukum kepada saksi dan korban.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dilakukan secara deskriftif analitis, yaitu dengan menggambarkan fakta-fakta baik berupa data-data dan bahan-bahan hukum seperti data sekunder bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan UU PKDRT, UU Kepolisian, dan UU Perlindungan Saksi dan korban , peraturan pemerintah, data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin, serta data sekunder bahan hukum tertier berupa kamus hukum yang berhubungan dengan Kepolisian Republik Indonesia.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan dilakukan secara yuridis normatif. Metode pendekatan secara yuridis Normatif yaitu metode yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, asas atau dogma-dogma(yang seharusnya). Penafsiran hukum yang dilakukan yaitu melakukan penafsiran gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap kata-kata atau tata kalimat yang digunakan pembuat undang-undang dalam peraturan perundang-undang-undang-undangan tertentu. Selain itu juga penulis melakukan penafsiran sosiologis yaitu penafsiran yang dilakukan dalam menghadapi kenyataan bahwa kehendak tidak sesuai


(15)

lagi dengan tujuan sosial yang seharusnya diberikan pada peraturan undang-undang itu saat ini.

3. Tahap Penelitian

Penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan dengan pengambilan data dari berbagai literatur tertulis serta melakukan studi lapangan untuk melengkapi studi kepustakaan dengan cara wawancara terstuktur dengan pihak-pihak terkait, browsing ke situs internet yang berhubungan dengan Kepolisian Republik Indonesia. 4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, hasil penelitian, jurnal, artikel dan lain-lain, serta browsing situs internet yang berhubungan dengan pokok bahasan yang diambil.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, sehingga hirarki peraturan perundang-undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.

6. Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, penulis mengambil lokasi di tempat berikut :

a. Perpustakaan UNIKOM, Jalan Dipatiukur No. 112 Bandung ;

b. Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Barat, Jalan Soekarno Hatta No. 629 Bandung ;


(16)

d. Browsing di internet yaitu situs internet yang berhubungan dengan pokok bahasan yang diambil seperti http://www.polri.go.id/; http://www.metro.polri.go.id/; http://www.lodaya.web.id/


(17)

(18)

16

TANGGA

A. Dasar Hukum Penyidik dan Penyidikan

1. Pengertian Kepolisian

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa polisi adalah suatu kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat yang berfungsi sebagai penindak dan pemelihara kedamaian yang merupakan bagian dari fungsi kamtibnas (keamanan dan ketertiban nasional).9

Pengertian polisi dalam Black’s Law Dictionary adalah :

“Police is the function of that branch of the administrative machinery of government which is charged with the preservation of public order and tranquillity, the promotion of the public health, safety, and morals, and the prevention, detection, and punishment of crimes.”10

Polisi adalah fungsi cabang dari sistem administrasi pemerintahan yang dibebankan dengan pemeliharaan ketertiban umum dan ketentraman, promosi kesehatan masyarakat, keselamatan, dan moral, dan pencegahan, deteksi, dan hukuman kejahatan.”

Black’s Law Dictionary mengartikan polisi sebagai tugas-tugas yang harus dijalankan sebagai lembaga pemerintahan atau bagian dari pemerintahan untuk memelihara keamanan, ketertiban, ketentraman, dan mencegah serta menindak pelaku kejahatan.

9Soerjono Soekanto dalamSitompul, Beberapa Tugas dan Peranan POLRI. CV Wanthy Jaya, Jakarta, 2000, hlm. 31


(19)

Van Vollenhoven memberikan pengertian tentang kepolisian dalam bukunya yang berjudul Politie Overzee, pengertian polisi meliputi organ-organ pemerintah yang berwenang dan berkewajiban untuk mengusahakan pengawasan dan pemaksaan jika diperlukan, agar yang diperintah untuk tidak berbuat menurut kewajiban masing-masing.11

Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Kepolisian adalah :

“(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri;

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Berdasarkan pengertian dari UU Kepolisian, dapat disimpulkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi nasional yang berperan untuk melayani masyarakat, memelihara keamanan dan ketertiban serta menegakan hukum.

Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam UU Kepolisian, yang mana tujuan pembentukan lembaga Kepolisian, tertuang dalam Pasal 4 UU Kepolisian yang berisi :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”


(20)

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu institusi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam negeri memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik (good governance) dalam pelaksanaan tugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayanan masyarakat maupun sebagai aparat penegak hukum.12

Peran dan Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Seperti yang tercantum di dalam Pasal 2 dan Pasal 5 ayat (1) UU Kepolisian.

Pasal 2 UU Kepolisian,menyebutkan:

“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Pasal 5 ayat (1) UU Kepolisian, menyebutkan:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”

Tugas Kepolisian berdasar pada Pasal 13 UU Kepolisian : “Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Pasal 14 ayat (1) UU Kepolisian menjelaskan pelaksanaan tugas pokok Kepolisian, sebagai berikut :


(21)

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan

teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua

tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Setiap lembaga negara mempunyai tugas dan wewenang masing-masing ,pengertian wewenang menurut Indroharto adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.13

13 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, dalam Paulus

Efendie Lotulung, Himpunan Putusan-putusan di Bidang Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, Jakarta, 2013


(22)

Pelaksanaan fungsi sebagai aparat penegak hukum, polisi wajib memahami azas-azas hukum yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan tugas, yaitu sebagai berikut :14

1) Asas Legalitas, dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum wajib tunduk terhadap hukum.

2) Asas Kewajiban, merupakan kewajiban polisi dalam menangani permasalahan dalam masyarakat yang bersifat diskresi, karena belum diatur dalam hukum.

3) Asas pertisipasi, dalam rangka mengamankan lingkungan masyarakat, polisi mengkoordinasikan pengamanan swakarsa untuk mewujudkan ketaatan hukum di kalangan masyarakat.

4) Asas Preventif, selalu mengedepankan tindakan pencegahan dari pada penindakan (represif) kepada masyarakat.

5) Asas Subsidaritas, melakukan tugas instansi lain agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar sebelum ditangani instansi yang membidangi.

Anggota Kepolisian memiliki wewenang dalam menjalankan tugas terutama dalam menangani suatu peristiwa hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Kepolisian, yaitu :

Pasal 15 ayat (1) UU Kepolisian menyebutkan :

“Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;


(23)

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang

diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.”

Pasal 15 ayat (2) UU Kepolisian, menyebutkan :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang :

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;”


(24)

2. Pengertian Penyidik

Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan tugas-tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu baik oleh fungsi reserse maupun fungsi operasional Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan secara profesional.15

Pengertian penyidik terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang menyebutkan:

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Selain terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP, pengertian penyidik diatur pada Pasal 1 ayat (10) UU Kepolisian, yaitu :

“Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.“

Penyidik terdiri dari bebepa instansi yang diatur dalam KUHAP berhak untuk melakukan proses penyidikan, yaitu :

a. Pejabat Penyidik POLRI

Menurut Pasal 6 ayat (1) KUHAP pejabat kepolisian merupakan penyidik yang diberi tanggung jawab oleh KUHAP untuk menjalankan proses penyidikan. Pejabat Kepolisian harus memenuhi syarat

15Suharto, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana Mulai

proses Penyelidikan Hingga Persidangan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2013, hlm 47


(25)

kepangkatan seperti yang telah dijelaskan pada Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Syarat kepangkatan pejabat penyidik polisi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, dimana syaratnya diatur sebagai berikut :16

1) Pejabat Penyidik Penuh

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik penuh, harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan, yaitu :

a) Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi,

b) Atau yang berpangkat di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suau sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua,

c) Ditunjuk dan diangkat oleh kepala kepolisian RI. 2) Penyidik Pembantu

Penyidik pembantu merupakan penyidik yang memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan seperti halnya penyidik penuh, akan tetapi dalam hal melakukan wewenangnya tersebut tetap saja memiliki batasan wewenang yang tidak sepenuhnya dimiliki seperti halnya wewenang penyidik penuh. Terdapat beberapa pertanyaan dari berbagai kalangan mengenai adanya penyidik pembantu dalam hal melakukan penyidikan, dikarenakan pertanyaan tersebut merujuk kepada tumpah tindih wewenang penyidikan antara


(26)

penyidik penuh dengan penyidik pembantu. Oleh karena itu untuk membedakan wewenang antara penyidik penuh dengan penyidik pembantu dapat melihat wewenang yang telah diuatur oleh Undang-Undang. Sebelum membahas mengenai wewenang penyidikan. Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantu diatur dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHP. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai penyidik pembantu :

a) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi, b) Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan kepolisian

dengan syarat berpangkat Pengatur Muda atau Golongan II/a,

c) Diangkat oleh kepala kepolisian RI atas usul Komandan atau pimpinan satuan.

Sedangkan penyidik pembantu menurut Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan :

“Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.”

Penyidik Polri memiliki wewenang yang menurut Pasal 7 ayat (1) KUHAP, wewenang penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, karena kewajibannya mempunyai wewenang:


(27)

a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i) Mengadakan penghentian penyidikan;

j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Selain Pejabat Penyidik Polisi, Pegawai Negeri Sipil berdasarkan undang-undang dapat menjadi penyidik sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (yang seterusnya disebut sebagai PPNS).

PPNS diatur dalam Pasal 6 huruf b KUHAP adalah : “Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang dieberi wewenang khusus oleh undang-undang.”

Pada dasarnya wewenang yang diberikan kepada PPNS adalah bersumber dari peraturan perundang-undangan khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.

Kedudukan dan wewenang PPNS dalam melaksanakan penyidikan, sebagai berikut :17


(28)

1) Penyidik pegawai negeri sipil kedudukanya berada dibawah koordinasi penyidik POLRI dan dibawah pengawasan penyidik POLRI.

2) Penyidik POLRI memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

3) PPNS harus melaporkan kepada penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik.

4) Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum, namun penyerahan melalui penyidik POLRI.

5) Apabila para PPNS melakukan penghentian penyidikan yang telah dilaporkan pada penyidik POLRI, penghentian penyidikan tersebut harus diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum. Secara umum, maka yang berhak untuk melakukan tindakan penyidikan pada suatu kasus tindak pidana umum dan menjadi pejabat penyidik penuh adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena pada dasarnya wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP hanya melakukan tugas penyidikan pada kasus tindak pidana khusus yang bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasalnya.18

3. Pengertian Penyidikan

Proses penyelesaian perkara pidana merupakan proses yang panjang yang membentang dari awal sampai akhir melalui beberapa tahapan, yaitu :


(29)

a. tahap penyelidikan dan penyidikan; b. tahap penuntutan;

c. tahap pemeriksaan di sidang pengadilan; dan

d. tahap pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan.19

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidikan (investigation) adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya), kemudian Pasal 1 angka 1 KUHAP menyebutkan penyidikan dilakukan oleh Penyidik yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Penyidikan dilakukan sesudah sesudah terjadinya tindak pidana dengan tujuan :

a. George Darjes mengenalkan teori 7W untuk mencari, mengumpulkan dan mendapatkan keterangan-keterangan atau informasi-informasi atau data-data tentang : 20

1) Tindak pidana apa yang terjadi (What), 2) Kapan tindak pidana itu terjadi (When), 3) Dimana tindak pidana itu terjadi (Where),

4) Siapa yang menjadi korban dari tindak pidana tersebut dan siapa yang menjadi pelaku dari tindak pidana tersebut (Who),

19 Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan Penerbit UNDIP,

Semarang, 2005, hlm 40.

20 George Darjes dalam Soedjono Dirdjosisworo, Pemeriksaan Pendahuluan


(30)

5) Mengapa pelaku melakukan tindak pidana tersebut (Why), 6) Dengan alat apa atau dengan cara apa pelaku melakukan

tindak pidana tersebut (With),

7) Bagaimana pelaku melakukan tindak pidana tersebut (How).

b. Untuk membuat terang mengenai tindak pidana yang terjadi, c. Untuk menemukan tersangka.

Penyidikan dilakukan dengan beberapa tahap yaitu pemeriksaan terhadap korban, pemeriksaan terhadap saksi, pemeriksaan tersangka dan penahanan tersangka demi kepentingan penyidikan.

Penyidik dapat menghentikan proses penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 KUHAP dengan beberapa alasan yaitu :

1. Tidak cukup bukti,

Apabila penyidik tidak memiliki bukti yang cukup untuk menuntut tersangka atau bukti yang didapatkan penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan pengadilan.

2. Peristiwa yang disangkakan bukan sebagai tindak pidana,

Apabila apa yang disangkakan ternyata bukan kejahatan atau tindak pidana maupun pelanggaran pidana seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam peraturan perundang-undangan, penyidikan beralasan dihentikan.

3. Penghentian penyidikan demi hukum.

Penghentian penyidikan demi hukum diatur dalam Pasal 76 sampai 78 KUHAP yaitu :


(31)

a. Nebis in idem, seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, yang mana orang tersebut telah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang, serta putusan itu telah mendapatkan kekuatan hukum tetap.

b. Tersangka meninggal dunia.

c. Karena kadaluarsa yang mana diatur dalam Pasal 78 KUHAP, yaitu :21

1) Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi kejahatan yang diliakukan dengan alat percetakan.

2) Lewat masa enam tahun bagi tindak pidana tindak pidana yang dhukum dengan pidana denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari hukuman penjara selama tiga tahun

3) Lewat tenggang dua belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman pidana penjara lebih dari tiga tahun.

4) Lewat delapan belas tahun bagi semua kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup.

5) Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana belum mencapai umur delapan belas tahun,


(32)

tenggang waktu kadaluarsa yang disebut pada nomor 1 sampai 4 dikurangi menjadi sepertiganya.

B. Kedudukan Hukum Saksi dan Korban dalam Proses Penyidikan

Saksi dan korban dalam proses penyidikan adalah instrumen yang sangat penting demi keterlangsungan penegakan hukum, sehingga harus diberikan perlindungan terhadapnya. Saksi dan korban sama-sama berfungsi untuk memberikan keterangan demi terangnya suatu peristiwa pidana, korban dalam proses penyidikanpun menjadi saksi sesuai dengan Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP yang berisi :

“Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi”

Korban menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, mengartikan korban sebagai berikut :

“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”

Arif Gosita mengartikan korban sebagai orang-orang yang secara individual atau kolektif, yang telah mengalami penderitaan meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis, atau pengurangan substansi hak-hak asasi, muali dari perbuatan-perbuatan atau


(33)

pembiaran-pembiaran yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahguaan kekuasaan.22

Pengertian korban yang dibahas dalam konges PBB ke-7 yang membicarakan tentang The Prevention of Crime and the Trearment of Offender di Milan melalui Declaration of Basic Principle of Justice for Victim and Abuse of Power yang akhirnya menjadi resolusi MU PBB No. 40/34 mendefinisikan korban pada butir No. 1, sebagai :

“Person who individually or collectively, have suffered harms, including physical or mental injury , emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundametal rights, throughs act or omission that are in violatting of criminal laws operative within member state, including those law proscribing abuse of power.” 23 "Orang yang secara individual maupun kolektif, telah menderita kerugian, seperti kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar di hukum pidana operatif di dalam negara anggota, termasuk hukum yang mengilegalkan penyalahgunaan kekuasaan. "

Berdasasarkan definisi tentang korban meliputi pula definisi korban tindak pidana secara langsung (direct victims of crime) dan korban tindak pidana yang tidak langsung (indirect victims of crime), korban langsung yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana, korban langsung memiliki karakterstik, yaitu :24

1. Korban adalah baik secara individu maupun secara kolektif,

22 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,

2004, hlm. 42

23 Maya Indah, Perlindungan Korban Suatu Persfektif Viktimologi dan

Kriminologi, KENCANA, Jakarta,2014. hlm. 24 24 Ibid, hlm 30


(34)

2. Menderita kerugian, termasuk luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan, penindasan terhadap hak dasar manusia,

3. Disebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana, baik dalam taraf nasional, maupun local leves, atau

4. Disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Sementara itu, korban tidak langsung yaitu korban dari turut campurnya seseorang dalam membentuk korban langsung atau turut melakukan pencegahan terhadap timbulnya korban, tetapi dirinya sendiri menjadi korban kejahatan, dalam hal pihak ketiga, dan/atau mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung, seperti istri atau suami, anak, dan keluarga terdekat.25

Mendelsohn mengemukakan keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan dapat dibedakan menjadi 6 (enam) kategori berdasarkan derajat kesalahan, yaitu:26

1. Korban sama sekali tidak bersalah,

2. Seseorang menjadi korban karena kelalaianya sendiri, 3. Korban sama salahnya dengan pelak,

4. Korban lebih bersalah daripada pelakunya, 5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah, 6. Korban pura-pura dan korban imajinasi.

25Ibid, hlm 30-31.


(35)

Schaffer mengemukakan tipologi koran sebagai berikut :27

1. Unrelated victims, yaitu mereka yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan penjahat kecuali jika penjahat telah melakukan kejahatan terhadapnya.

2. Provocative victims, yaitu siapa yang melakukan sesuatu terhadap terjadinya pelanggaran, konsekuensinya menjadi perangsang atau mendorong untuk menjad korban.

3. Precipitative victims, yaitu mereka yang secara khusus tidak berbuat sesuatu terhadap penjahat, tetapi tidak memikirkan bahwa tingkah lakunya mendorong pelaku untuk berbuat jahat terhadapnya.

4. Biological weak victims, yaitu mereka yang mempunyai bentuk fisik dan mental tertentu yang menyebabkan orang melakukan kejahatan kepada dirinya.

5. Socially weak victims, merupakan orang-orang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat luas sebagai anggota dalam masyarakat tersebut.

6. Self-victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukanya sendiri,

7. Political victims, yaitu mereka yang menderita karena lawan politiknya, korban ini secara sosiologis tidak dapat dipertanggungjawabkan.


(36)

Ezzat Abdel Fattah, mengemukakan tipologi korban sebagai berikut :28

1. Non-paticipating victims, korban nonpartisipatif adalah mereka yang mempunyai sikap menolak atau anti terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan mereka yang tidak berperan serta dalam hal timbulnya kejahatan yang ditujukan kepada mereka.

2. Latent or predisposed victims, korban yang bersifat laten adalah mereka yang mereka yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang cenderung menempatkan diri mereka sebagai pihak korban dari suatu bentuk kejahatan tertentu.

3. Provocative victims, korban provokatif adalah mereka yang bersifat mempercepat atau merangsang timbulnya kejahatan.

4. Participating victims, korban partisipatif adalah korban karena sikap pasifnya cenderung menjadikan mereka mudah menjadi korban kejahatan.

5. False victims, korban karena kekeliruan adalah mereka yang memang bukan dari bentuk kejahatan apapun, tetapi mereka merasa atau menganggap dirinya sebagai korban kejahatan.

Saksi menurut Pasal 1 ayat (26) KUHAP adalah :

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.”

Saksi menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu :


(37)

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.”

Keterangan saksi menurut Pasal 1 ayat (27) KUHAP adalah :

“Keterangan saksi adalah satu alat bukti dalam perkara pidana yang dapat berupa keterangan dari saksi mengenai suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri,”

Saksi menurut Pasal 160 ayat 2 tebagi menjadi 2 jenis saksi yaitu saksi yang memberatkan (a charge) dan saksi yang meringankan (a decharge).29

Pemeriksaan memegang peran penting dalam kegiatan penyidikan/interogasi untuk mencari kebenaran meteriil, sebagai suatiu kewajiban penyidik yang ditentukan dalam undang-undang. Pemeriksaan adalah merupakan salah satu tenik mencari dan menedapatkan keterangan terhadap saksi maupun tersangka dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan cara mengajukan pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada tersangka, atau saksi, guna mendapatkan keterangan, petunjuk-petunjuk dan alat bukti lainnya dan kebenran keterlibatan tersangka dalam rangka pembuatan berita acara pemeriksaan.30

Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara pemeriksaan saksi dengan tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilan maupun cara pemeriksaan. Sama-sama dilandasi oleh peraturan dan prinsip yang sama, berikut adalah tata cara pemeriksaan saksi, yaitu :

29 Oktavianus Garry, Hak Dan Kewajiban Yang Mengikat Terhadap Saksi Di Dalam Praktik

Persidangan Pidana, jurnal Lex Crimen, Volume I, 4, (oktober 2012) hlm 1


(38)

1. Dalam memberikan keterangan kepada penyidik harus terlepas dari segala tekanan yang berbentuk apapun dan dari siapapun, hal ini seupa dengan Pasal 117 ayat (1) KUHAP.

2. Saksi seperti halnya tersangka dapat diperiksa di kediaman saksi, hal tersebut disebabkan oleh sebab dan alasan yang patut wajar.

3. Seseorang saksi yang sedang berada atau bertempat tinggal di luar wilayah hukum penyidik, pemeriksaan saksi dapat didelegasikan kepada penyidik yang bertugas di wilayah hukum saksi.

4. Saksi diperiksa tanpa sumpah, saksi di periksa tanpa sumpah saat memberkan keterangan dihadapan penyidik, agar saksi tidak terikat memberikan keterangan yang sebenarnya di muka pengadilan.

5. Saksi diperiksa sendiri-sendiri

beKeterangan yang dikemukakan saksi dalam pemeriksaan penyidikan, dicatat dengan teiti oleh penyidik dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

6. Berita acara pemeriksaan ditandatangani oleh saksi dan penyidik. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah adalah :

1. keterangan saksi, 2. keterangan ahli, 3. surat,

4. petunjuk,

5. keterangan terdakwa

Menurut KUHAP keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling kuat, hampir semua pembuktian pidana selalu bersandar pada pemeriksaan keterangan saksi. Saksi memiliki peran penting dalam membuat terangnya suatu tindak


(39)

pidana. Saksi diharapkan memberikan keterangan yang dapat menjelaskan tentang suatu peristiwa pidan. Dengan keterangannya itu maka akan memperbesar kemungkinan untuk dapat dilaksanakanya penegakan hukum pidana.

Keterangan saksi yang sesuai dengan kepentingan yustisial, berpatokan pada penjelasan Pasal 1 butir 27 juncto Pasal 116 ayat 2 KUHAP :31

1. Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa.

2. Keterangan saksi relevan untuk kepentingan yustisial.

Berdasarkan Pasal 1 butir 27 dan Pasal 185 ayat (5) KUHAP, baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan saksi terhadap keterangan saksi berdasarkan Pasal 1 butir 27 KUHAP, adalah sebagai berikut :

a) “Yang ia dengar”, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain.

b) “Yang ia lihat sendiri”, kejadian ataupun rentetan peristiwa pidana yang terjadi, sungguh-sungguh dirasakan oleh mata kepala sendiri.

c) Atau yang dialami sendiri oleh saksi, saksi ini adalah orang yang menjadi korban peristiwa pidana tersebut.

d) Disamping itu baik pendengaran atau pengelihatan maupun pengalaman sendiri saksi harus didukung oleh pengetahuanya e) Jumlah saksi yang sesuai untuk kepentingan peradilan. Mengenai

hal ini berpedoman pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yaitu, Unus


(40)

testis nullus testis, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan tersangka, untuk kepentingan yustisial selain barang bukti, setidaknya terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang dapat memberikan keterangan.

C. Aspek Hukum Kekerasan dallam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengasaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum dalam ruang lingkup rumah tangga.32

Ruang lingkup keluarga berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adalah sebagai berikut :

“Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi : a. suami, isteri, dan anak;

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena

hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.”

32 Maidin Gultom,Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, Refika Aditama,


(41)

1. Bentuk-bentuk Kekerasan

Bentuk-bentuk kekerasan berdasarkan Pasal 5 UU PKDRT adalah sebagai berikut :

a. kekerasan fisik, berdasarkan Pasal 6 UU PKDRT adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

b. kekerasan psikis, berdasarkan Pasal 7 UU PKDRT perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis yang berat terhadap seseorang. c. kekerasan seksual, berdasarkan Pasal 8 UU PKDRT adalah

pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut baik untuk kepuasan pribadi maupun tujuan komersial atau tujuan tertentu.

d. penelantaran rumah tangga. berdasarkan Pasal 9 UU PKDRT adalah penelantaran dengan tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan dalam lingkup keluarga dan membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Maidin Gultom mejelaskan beberapa bentuk kekerasan yang sering terjadi dalam lingkup rumah tangga :33


(42)

a. Phisical abuse (kekerasan fisik) adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan fisik menunjukan pada cedera yang ditemukan bukan karena kecelakaan tetapi cedera tersebut adalah hasil dari pemukulan dan beberapa penyerangan fisik lainya.

b. Emotional abuse (kekerasan emosional/psikis) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, kehilangan rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

c. Sexual abuse (kekerasan seksual) adalah pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.

d. Penelantaran rumah tangga adalah perbuatan setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pendidikan terhadap orang tersebut.

2. Sebab-sebab terjadinya KDRT

Maidin Gultom menjelaskan ada beberapa sebab yang berhubungan dengan dapat terjadinya KDRT dalam suatu keluarga, diantaranya :34

a. Psychodynamic model, terjadinya kekerasan karena kurangnya pembelajaran dari seorang ibu, seseorang tidak pernah atau kurang


(43)

mendapatkan pengasuhan dari seorang ibu secara baik, oleh karena itu dia tidak bisa menjadi ibu dan merawat anaknya sendiri. b. Personality or character trait model, terjadinya kekerasan yang dilakukan orang tua kepada anaknya karena orang tua menganggap anaknya belum cukup dewasa, terlalu agresif, atau berkarakter buruk.

c. Social learning model, kurangnya kemampuan sosial, yang ditunjukan dengan perasaan tidak puas karena menjadi orang tua, merasa terganggu dengan kehadiran anak, menuntut anak untuk selalu bersikap dewasa.

d. Family structure model, menunjuk pada dinamika keluarga yang memiliki hubungan kausal dengan kekerasa n.

e. Enviromental stress model yang melihat anak dan perempuan sebagai sebuah masalah, kualitas lingkungan menjadi penyebab terjadinya kekerasan.

f. Social-psycological model, dalam hal ini tingkat stres dan frustasi menjadi faktor utama dalam menyebabkan kekerasan.

g. Mental illness model, kekerasan yang terjadi karena suatu penyakit kejiwaan.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik aduan hal tersebut tercantum pada Pasal 51 sampai Pasal 53 UU PKDRT, sedangkan ancaman pidana atas tindak pidana KDRT , perbuatan KDRT dipidana berdasarkan UU PKDRT sebagai berikut :

a. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga pelaku KDRT berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT diancam dengan


(44)

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), dan jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan luka berat atau jatuh sakitnya korban berdasarkan Pasal 44 ayat (2) UU PKDRT dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), kemudian jika kerasan fisik tersebut hingga mengakibatkan kematian, berdasarkan Pasal berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UU PKDRT pelaku diancam dengan dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Namun jika tindakan kekerasan fisik tersebut tidak menimbulkan suatu luka berdasarkan Pasal 44 ayat (4) UU PKDRT maka pelaku hanya dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

b. Kekerasan dalam bentuk kekerasan psikis berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU PKDRT pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah), sedangkan jika kekerasan psikis tersebut tidak menimbulkan halangan atau suatu penyakit pelaku KDRT berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU PKDRT diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).


(45)

c. Tindakan kekerasan seksual yang dilakukan dalam lingkup keluarga berdasarkan Pasal 46 jo Pasal 48 UU PKDRT pelaku KDRT tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Jika kekerasan seksual tersebut dilakukan dengan tindakan pemaksaan untuk berhubungan seksual maka pelaku diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Kemudian jika kekerasan seksual tersebut menimbulkan luka berat yang tidak dimungkinkan untuk sembuh, gangguan kejiwaan, dan/atau gugurnya kandungan atau matinya janin pelaku kekerasan terseut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

d. Penelantarab terhadap rumah tangga berdasarkan Pasal 49 UU PKDRT pelaku penelentaran dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)


(46)

Selain dari pidana pokok yang diancamkan dalam Pasal 44 jo Pasal 49 UU PKDRT berdasarkan Pasal 50 UU PKDRT, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahanterhadap pelaku tindak pidana KDRT berupa :

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.


(47)

45

BAB III

PROSES PENYIDIKAN KASUS KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA

A. Proses Penyidikan Dalam Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), perkosaan (Pasal 285). Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa yang dipakai, masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa.

Proses penyidikan merupakan suatu proses dimana pencarian kebenaran terhadap suatu peristiwa pidana. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidikan (investigation) adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya), kemudian Pasal 1 angka 1 KUHAP menyebutkan penyidikan dilakukan oleh Penyidik yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.35


(48)

Rangkaian proses Sistem Peradilan Pidana dimulai dari adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pidana (tindak pidana). Setelah adanya peristiwa pidana baru dimulai suatu tindakan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan sebenarnya merupakan suatu rangkaian tindakan yang tidak dapat dipisahkan, walaupun tahap-tahapnya berbeda. Apabila proses penyelidikan disatukan dengan penyidikan maka akan terlihat adanya suatu kesinambungan tindakan yang memudahkan proses selanjutnya.

KUHAP memberikan peran kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, walaupun KUHAP juga memberikan kewenangan kepada PPNS tertentu untuk melakukan penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Indonesia yang menganut sistem penegakan hukum terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang merupakan legal spirit dari KUHAP. Keterpaduan tersebut secara filosofis adalah suatu instrumen untuk mewujudkan tujuan nasional dari bangsa Indonesia yang telah dirumuskan oleh The Founding Father dalam UUD 1945, yaitu melindungi masyarakat (social defence) dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial (social welfare).36

36 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana ; Perspektif Eksistensialisme dan


(49)

Berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana maka pihak penyidik atau kepolisian dapat melakukan segera tindakan yaitu berupa tindakan penyelidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau atau sub dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.37

Dalam hal apabila terjadi suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana maka tindakan yang harus dilakukan oleh penyidik yaitu melakukan penyelidikan terhadap peristiwa itu untuk mengumpulkan bukti- bukti yang berhubungan dengan peristiwa itu,sehingga membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.

Pada proses pemeriksaan perkara menurut KUHAP tidak ada upaya mediasi penal, dengan demikian dalam penanganan kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak ada celah dalam KUHAP untuk mempergunakan mediasi penal dalam proses penyelesaian masalah.

Proses penyelesaian perkara KDRT melalui jalur mediasi penal di Polres Cianjur di dasarkan pada Surat Kapolri No. Pol: B/ 3022/ XII/2009/ Sdeops tgl. 14 Desember 2009 tentang Penanganan kasus melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), yaitu terhadap tindak pidana dengan kerugian kecil dan disepakati oleh para pihak yang berperkara, melalui prisip musyawarah mufakat,


(50)

serta menghormati norma hukum sosial/adat dan berasaskan keadilan bagi para pihak (win-win solution).

pada prektek mediasi muncul sebagai salah satu pemikiran alternative dalam pemecahan masalah system peradilan pidana. Hal ini barawal dari wacana restorative justice yang berupaya untuk mengakomodir kepentingan korban dan pelaku tindak pidana, serta mencari solusi yang lebih baik untuk kedua belah pihak, mengatasi berbagai persoalan sistem peradilan pidana yang lain. Mediasi dipilih oleh pihak penyidik karena dengan malakukan proses mediasi tidak hanya dicari sebuah kepastian hukum tetapi juga dipaparkan fakta-fakta sehingga yang didapat adalah suatu kebenaran dan kemanfaatan serta apa yang akan diputuskan untuk menyelesaikan masalah kedua belah pihak dapat dibicarakan tanpa ada tekanan.

Pelaksanaan ADR oleh penyidik Kepolisian ini diwujudkan dengan tindakan diskresi Kepolisian yang berlandaskan pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU Kepolisian. Diskresi merupakan tindakan seorang petugas kepolisian yang bertugas ditengah-tengah masyarakat seorang diri, yang dituntut untuk dapat mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila diperkirakan akan timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum, dalam hal ini keadaan seperti itu tidak mungkin baginya untuk meminta petunjuk atau pengarahan dari atasanya, sehingga saat itu juga petugas tersebut harus berani menuntaskan tindakanya,


(51)

Tindakan diskresi kepolisian mempunyai batasan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh anggota kepolisian :

1. Asas Keperluan.

2. Tindakan benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian. 3. Asas Tujuan.

4. Asas Keseimbangan.

Menurut teori tujuan hukum maka jika dilihat dari sudut pandang fisafat hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan hal ini didukung oleh ajaran etis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan keadilan, dan menurut Radbruch bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu “keadilan”, barulah kemanfaatan dan kepastian hukum.38

Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi tidak dapat dilepaskan dari cita hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law is justice), asas hukum proses penyelesaian perkara yang mengacu pada sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Perumusan kaidah hukum untuk menyelesaikan perkara pidana dilakukan melalui mediasi yang diderivasi dari cita-cita hukum dan asas hukum.Oleh karena itu pola mediasi yang diterapkan harus mengacu pada nilai-nilai keadilan, nilai kepastian hukum dan kemanfaatan.

Rasa keadilan terkadang hidup diluar undang, yang jelas undang akan sangat sulit untuk mengimbanginya. Begitupula sebaliknya undang-undang itu sendiri dirasakan tidaka adil ketika rasa keadilan itu benar-benar eksis dan dirasakan oleh mayoritas kolektif maka kepastian hukum akan bergerak


(52)

menuju rasa keadilan itu sendiri. Kepastian hukum adalah rasa keadilan itu sendiri, sebab keadilan dan hukum bukanlah dua elemen yang terpisah.39

UU PKDRT secara tegas mengatur bahwa pihak korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian setempat, baik ditempat berada maupun ditempat kejadian perkara (Pasal 26). Korban dapat juga memberi kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian, baik ditempat korban maupun di tempat kejadian perkara (Pasal 26 ayat 2). Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (Pasal 27) Ketua Pengadilan Negeri, dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan, ia wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (Pasal 28). Perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga berlaku paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang jika ada keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani bahwa korban masih memerlukan perlindungan.

Ada beberapa perbedaan yang jelas antara

KUHAP dengan UU

PKDRT dalam

hal proses penyidikan. Jika KUHAP lebih

mementingkan

pelaku untuk segera

diproses penyidikannya maka UU PKDRT lebih

mementingkan pelayanan korban terlebih dahulu untuk mendapatkan


(53)

perlindungan hukum sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

Hak-hak korban tersebut diatur dalam pasal 16 sampai 38 UU PKDRT ,Yakni :

1. Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.

2. Perlindungan ini diberikan untuk 7 hari.

3. Polri dalam memberikan perlindungan, bisa bekerja sama dengan tenaga kesehatan/rumah sakit, pekerja sosial, relawanpendamping , pembimbing rohani atau shelter jika ada.

4. Penetapan Pengadilan terhadap perlindungan korban oleh Polri ini dalam 1x24 jam harus segera diterbitkan.

5. perlindungan dapat diajukan oleh korban sendiri atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, pendamping atau pembimbing rohani.

Selain itu ada beberapa perlakuaan khusus korban KDRT pada proses penyidikan, yaitu :40

1. Diperiksa dengan santai;

2. Penyidik memberikan masukan dan saran mengenai kasus yang dilaporkan korban;

3. Memberikan solusi mengenai perlindungan bagi korban, apakah korban ingin kembali kepada keluarga atau korban akan mengikuti penyidik untuk sementara waktu.

40 AKP Landjar Guntoro, Wawancara Pribadi, Informasi Dasar Kabupaten Cianjur , Satuan


(54)

Kekerasan dalam rumah tangga memiliki mekasnisme penanggulangan yang khusus, mekanisme tersebut adalah sebagai berikut:41

41Papa I for asi POLRES Cia jur, “Mekanisme Penanggulangan Kekerasan Terhadap


(55)

B.

Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Hukum Polres Cianjur

Letak wilayah kabupaten Cianjur berada di 6’21º LU –

7’25º LS dan

106’42º BB –

107’25º BT dengan luas wilayah daratan seluas 350.148 Km2,

panjang pantai sekitar 75 Km, batas utara dengan Purwakarta, selatan

dengan Samudera Indonesia, Timur dengan Bandung dan Garut dan Barat

dengan Sukabumi dan Bogor.

42

Jumlah penduduk yang ada di wilayah kabupaten Cianjur

diantaranya Laki-laki berjumlah 1.155.433 Jiwa dan perempuan berjumlah

1.152.980 Jiwa, sehingga keseluruhan berjumlah 2.308.413 jiwa dengan

jumlah anggota Polri 1.079 Jiwa. Kepadatan penduduk rata-rata 659

jiwa/Km² .

43

Mengenai kasus KDRT yang terjadi di wilayah Kabupaten Cianjur

atau wilayah hukum POLRES Cianjur, yaitu kasus KDRT dengan Laporan

Polisi No. Pol : LP/B/2019/V/2009/SPK RES CJR, tanggal 17 Mei 2009,

dengan pelapor dengan inisial IN, tindakan kekerasan yang terjadi pada hari

Kamis tanggal 12 Februari 2009 sekira pukul 18.30 Wib di Kp. Ciharshas

RT. 01 RW. 07 Desa Sirnagalih Kec. Cilaku Kab. Cianjur atau setidaknya

pada waktu-waktu dan tempat lain di wilayah hukum Pengadilan Negeri

Cianjur yang dilakukan oleh tersangka AY.

Tindakan KDRT yang dilakukan oleh tersangka AY dilakukan pada

hari Kamis tanggal 12 Februari 2009 sekitar pukul 12.00 Wib di rumah AF

42 Dinas Penerangan Kabupaten Cianjur, Peta Cianjur, Cianjur. 2012 43 Hasil wawancara, LoCit..


(56)

yang diketahui sebagai selingkuhan AY. Tindakan KDRT tersebut bermula

dari cekcok mulut antara tersangka dan korban karena korban mengetahui

AY telah berselingkug dengan AF, yang berlanjut pada tindakan kekerasan

fisik yang dilakukan oleh AY berupa pemukulan didaerah perut dan bagian

tubuh lainya, saat kejadian tersebut IN diketahui sedang dalam keadaan

hamil.

Berdasarkan dari keterangan saksi dan tersangka dan berdasarkan

alat bukti lainya berupa keterangan medis (

visum et repertum),

kasus

tersebut telah memenuhi seluruh unsur dari Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT

yang berupa :

a. Setiap orang

Unsur ini terpenuhi dengan adanya tersangka AY.

b. Melakukan kekerasan fisik

Unsur ini terpenuhi dengan adanya keterangan medis dari Rumah sakit Cianjur Nomor : 32/VIS/RSU/V/2009, tanggal 03 Juni 2009, dengan hasil Pemeriksan Sebagai berikut :

1. Penderita datang ke RSU Cianjur dalam keadan sadar.

2. Luka Memar didaerah perut bagian kanan atas, warna kulit kehitama ukuran 4 x 2 Cm,

3. Lengan bawah kanan luka memar, warna kulit kehitaman ukuran 3 X 2 Cm,

4. Bekas luka lecet dipergelangan tangan kanan 4 bagian masing-masing ukuran ½ Cm.


(57)

6. Luka lecet di jari ke IV tangan kanan ukuran 2 X 1 Cm. 7. Bekas luka lecet di jari ke II tangan kiri ukuran 1 X ½ Cm. c. Dalam lingkup rumah tangga

Penganiayaan tersebut dilakukan oleh AY dilakuakan terhadap IN yang merupakan isteri sah dari Tersangka berdasarkan Kutipan Akta Nikah Nomor : 72/72/I/2009, Pada tanggal 26 Januari 2009 yang dikeluarkan oleh KUA Kab. Cianjur.

Kasus diatas merupakan salah satu kasus dari sekian banyak kasus KDRT yang terjadi di wilayah hukum POLRES Cianjur, wilayah Kabupaten Cianjur yang luas dan masih sulit dijangkau menyulitkan pihak kepolisian untuk menekan terjadinya kasus KDRT ini. Selain itu, kesadaran masyarakat Kabupaten Cianjur untuk melaporkan setiap tindak kejahatan terjadi terutama tindak pidana KDRT masih kurang, sehingga masih banyak kasus KDRT yang tidak terdeketsi dan belum terselesaikan oleh pihak kepolisian POLRES Cianjur.44


(58)

56

13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

A. Perlindungan Hukum Kepada Saksi Dan Korban Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Dalam Proses Penyidikan Berdasarkan Undang

Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia

Timbulnya korban dalam suatu tindak pidana merupakan hasil perbuatan dari perbuatan seseorang kepada orang lain yang menurut hukum dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial pada seseorang oleh seseorang, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain atau suatu kelompok, tindakan tersebut oleh para ahli hukum sering disebut sebagai viktimisasi. Viktimisasi tentunya menimbulkan korban, Korban sendiri meliputi juga keluarga korban, orang-orang yang menderita akibat melakukan intervensi untuk membantu korban yang dalam kesulitan atau mencegah viktimaisasi.

Berdasarkan kedudukan korban dalam tindak pidana maka akan menyinggung kepada hak-hak korban dalam terjadinya suatu tindak pidana, korban memiliki hak antara lain:

1. Korban berhak untuk mendapatkan kompensasi atas penderitaanya, sesuai dengan kemampuan tersangka memberikan kompensasi.

2. Korban berhak menolak kompensasi untuk kepentingan tersangka. 3. Korban berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila korban

meninggal.


(59)

5. Korban dapat menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya.

6. Korban berhak mendapat perlindungan dari ancaman pihak tersangka bila melapor dan menjadi saksi.

7. Korban berhak mendapatkan bantuan dari penasehat hukum. 8. Korban berhak menggunakan upaya hukum.

Setiap saksi dan korban mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari pihak yang berwenang, seperti yang dijelaskan pada Pasal 5 UU PSK yang mana hak-hak saksi dan korban tersebut adalah sebagai berikut :

1. Saksi dan korban berhak mendapatkan perlindungan keamanan atas dirinya pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang sedang atau telah diberikan, 2. Saksi dan korban diikut sertakan dalam proses penentuan bentuk

perlindungan dan dukungan keamanan,

3. Saksi dan korban memberi keteranagan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun, bebas dari pertanyaan yang menjerat,

4. Saksi dan korban yang merupakan warga asing mempunyai hak untuk mendapatkan penerjemah,

5. Saksi dan korban berhak untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, dan putusan pengadilan,

6. Mengetahui dibebaskanya terpidana,

7. Saksi dan korban berhak untuk mendapatkan identitas baru,

8. Saksi dan korban berhak untuk mendapatkan tempat tinggal atau kediaman baru,


(1)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

yang berjudul : “PERLINDUNGAN HUKUM OLEH POLISI REPUBLIK

INDONESIA (POLRI) TERHADAP SAKSI DAN KORBAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN”. Skripsi ini berisi tentang bagaimana cara pemberian perlindungan hukum kepada saksi dan korban kasus KDRT pada proses penyidikan, serta tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi masih belum sempurna, baik dari segi substansi maupun tata bahasa sehingga masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki kekurangan yang ada.

Pada proses penyusunan skripsi ini Penulis mendapatkan bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan terimakasih dengan rasa hormat kepada ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya serta pengarahan kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :


(2)

ii

1. Dr. Ir. H. Eddy Soeryanto Soegoto, M.Sc., selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra,. S.E,. M.Si., selaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E,. M.S.Ak., selaku Wakil Rektor II Universitas Kompuer Indonesia;

4. Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, Dra., selaku Wakil Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

5. Dr. Ir. Herman Soegoto, MBA., selaku Wakil Rektor IV Universitas Komputer Indonesia;

6. Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Febilita Wulan sari, S.H., M.H., selaku Wali Angkatan 2011 sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia:

10. Dr. RR. Dijan Widijowati, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia:

11. Wita Oktadeanti, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia:

12. Rika Rosilawati Ruhimat, A.Md., selaku Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.


(3)

iii

Secara khusus Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah, Ibu, Kaka dan keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan moril dan materiil kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan EBEKUKONG dan keluarga besar Fakultas Hukum UNIKOM.

Penulis berharap agar Penulisan ini dapat bermanfaat di kemudian hari dan berguna bagi semua pihak. Kritik dan Saran yang membangun sangat diharapkan Penulis, karena pada dasarnya Penulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga Allah S.W.T membalas semua amal baik yang telah membantu beberapa kendala yang telah dihadapi Penulis.

Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih dan permohonan maaf bagi para pihak yang namanya tidak tercantum dalam karya ini.

Bandung, Juli 2015


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Peranan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Asusila Anak di bawah umur yang dilakukan oleh Ayah Kandung dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Juncto Undang-undang No

0 29 78

Tinjauan Hukum Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

0 9 31

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PENELANTARAN OLEH SUAMI DALAM RUMAH TANGGA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

3 29 59

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 5 18

SKRIPSI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN

0 3 13

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 4 20

PENUTUP IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 2 9

UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

0 0 12

Peran kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan petasan diwilayah hukum Kepolisian Resort Pangkalpinang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 14

Peranan polisi air dan udara dalam tindak pidana perikanan (Illegal Fishing) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 18