PENGARUH PAJANAN LAMPU MERKURI TERHADAP MOTILITAS DAN VIABILITAS SPERMATOZOA MENCIT JANTAN (Mus musculus L.)

PENGARUH PAJANAN LAMPU MERKURI TERHADAP MOTILITAS
DAN VIABILITAS SPERMATOZOA PADA MENCIT JANTAN
(Mus musculus L.)

(Skripsi)

Oleh :
Ikbal Sidiq

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013

1

I.

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah

1. Latar Belakang

Bagi manusia dan makhluk hidup yang berkembang biak secara generatif,
spermatozoa merupakan bagian dari sistem reproduksi yang penting bagi
perkembangbiakan dan kelangsungan generasi selanjutnya. Beberapa jenis sel
termasuk sel spermatozoa terbukti memiliki sensitivitas terhadap gelombang
elektromagnetik. Spermatozoa dan

sel-sel tubuh yang mudah membelah

lainnya adalah bagian yang paling mudah terpengaruh radiasi (Wardhana,
2000).

Peralatan teknologi sangat dekat bagi manusia. Manusia memanfaatkan
peralatan teknologi dalam berbagai macam keperluan sehari-hari. Alat-alat
tersebut memudahkan pekerjaan manusia dalam berbagai bidang seperti
kesehatan, pertanian, pemerintahan, perekonomian ataupun komunikasi.
Namun, berbagai peralatan teknologi tidak selalu membawa hal yang positif

bagi manusia. Berbagai peralatan teknologi dapat memancarkan gelombang
elektromagnet, yang berpotensi bahaya bagi kesehatan, seperti telepon
genggam dan peralatan lain yang menghasilkan cahaya termasuk lampu
merkuri (Young, 2002).

2

Bahaya pajanan gelombang elektromagnetik telah menjadi perhatian
masyarakat modern, hal ini terlihat dari berbagai macam penelitian yang telah
dilakukan. Para ilmuan telah mencoba membuktikan pengaruh medan
elektromagnetik terhadap terjadinya kanker (Valberg et al, 1997). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa potensi gangguan kesehatan yang timbul
akibat pajanan medan elektromagnetik dapat terjadi pada berbagai sistem
tubuh, antara lain sistem darah, homeostatis ginjal, sistem saraf, sistem
kardiovaskular, sistem endokrin, psikologis, hipersensitivitas, dan sistem
reproduksi (Riedlinger, 2004).

Sistem reproduksi manusia terutama terdiri dari sistem reproduksi pria dan
system reproduksi wanita. Sistem reproduksi pria menghasilkan spermatozoa.
Spermatozoa yang berkualitas baik akan memungkinkan terjadinya fertilisasi.

Kualitas spermatozoa meliputi beberapa aspek, yaitu motilitas spermatozoa
yang dapat dibagi menjadi tiga kriteria (motilitas baik, motilitas kurang baik
dan tidak motil), morfologi spermatozoa meliputi bentuknya (normal atau
abnormal, abnormalitas dapat terjadi pada kepala, midpiece atau ekor),
konsentrasi atau jumlah spermatozoa dan viabilitas (daya hidup) spermatozoa
(Arsyad dan Hayati, 1994). Berdasarkan fakta tersebut mendorong peneliti
untuk mengetahui efek pajanan gelombang elektromagnetik terhadap
motilitas dan viabilitas spermatozoa.

3

2. Perumusan Masalah

Survei kesehatan rumah tangga tahun 1996, telah memperkirakan ada 3,5 juta
pasangan (7 juta orang) yang infertil. Mereka disebut infertil karena belum
hamil setelah setahun menikah dan tidak menggunakan alat kontrasepsi. Kini,
para ahli memastikan angka infertilitas telah meningkat mencapai 15-20
persen dari sekitar 50 juta pasangan di Indonesia. Penyebab infertilitas
sebanyak 40% berasal dari pria, 40% dari wanita, 10% dari pria dan wanita,
dan 10% tidak diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa potensi

gangguan kesehatan yang timbul akibat pajanan medan elektromagnetik
dapat terjadi pada berbagai sistem tubuh, termasuk sistem reproduksi
(Riedlinger, 2004)

Sistem reproduksi terdiri atas sistem reproduksi pria dan wanita. Sistem
reproduksi pria terutama menghasilkan spermatozoa. Kualitas spermatozoa
yang baik akan meningkatkan kemungkinan fertilisasi. Dua indikator kualitas
spermatozoa antara lain motilitas dan viabilitas spermatozoa (Arsyad dan
Hayati, 1994). Motilitas spermatozoa yang lambat dan viabilitas sperma yang
rendah akan berpengaruh terhadap kemampuan spermatozoa menembus
ovum yang tentunya akan berdampak terhadap infertilitas pria.

Oleh karena itu, dapat diambil rumusan masalah: Apakah pajanan lampu
merkuri berpengaruh terhadap motilitas dan viabilitas spermatozoa mencit
jantan?

4

B. Tujuan dan Manfaat penelitian


1.

Tujuan

a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui
pengaruh pajanan lampu merkuri terhadap kualitas spermatozoa mencit
jantan.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaruh pajanan lampu merkuri terhadap motilitas
spermatozoa mencit jantan.
2. Untuk mengetahui pengaruh pajanan lampu merkuri terhadap viabilitas
spermatozoa mencit jantan.

2.

Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
a. Bagi peneliti, menambah ilmu pengetahuan dibidang ilmu Biologi Medik

serta dapat menerapkan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan
b. Bagi institusi/masyarakat
1. Sebagai bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas kedokteran
Universitas Lampung.
2. Bagi masyarakat, agar mengetahui dampak dari pemajanan medan
elektromagnetik lampu merkuri.

5

C. Kerangka Pemikiran

Penggunaan medan elektromagnetik telah diperluas untuk tujuan terapeutik
karena interaksi mereka dengan materi hidup menghasilkan efek yang
memulai, mempercepat atau menghambat proses biologi (Repacholi et al,
1999).

Frekuensi di bawah 300 Hz dikenal sebagai medan elektromagnetik frekuensi
sangat rendah (ME-FSR) dan tidak memiliki cukup energi untuk memutuskan
ikatan molekul, misalnya, mereka tidak menyebabkan kerusakan langsung
pada sel. Menurut USEPA (1999) radiasi lampu merkuri diemisikan pada

panjang

gelombang

1370nm

-

180nm

yang

kemungkinan

dapat

mempengaruhi berbagai proses di dalam tubuh.

Wisnu (2000) menyatakan di dalam tubuh makhluk hidup sendiri terdapat
medan listrik endogen yang mempunyai peranan kompleks dalam mengontrol

mekanisme fisiologis tubuh, seperti : aktivitas saraf otot, sekresi kelenjar,
fungsi membran sel, perkembangan dan pertumbuhan, serta perbaikan
jaringan. Paparan medan elektromagnetik tambahan dari luar akan
mengakibatkan stress tambahan bagi tubuh dengan akibat : transmisi sinaptik
pada saraf akan bertambah cepat dan menimbulkan respon yang berlebihan
yang akhirnya mengakibatkan kelelahan pada tubuh dan sebagainya.

Motilitas spermatozoa dan viabilitas spermatozoa adalah dua macam indikator
kualitas spermatozoa. Menurut berbagai penelitian menunjukkan bahwa
kualitas spermatozoa dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal

6

dari dalam tubuh atau endogen misalkan hormon, psikologis, dan genetik dan
juga faktor yang berasal dari luar (eksogen) misalkan fisik, kimia dan obatobatan.

Faktor Endogen:

Faktor Eksogen:


Hormon

Fisik

Psikologis

Kimia

Genetik

Obat-obatan

Kualitas spermatozoa mencit:
Pajanan

1. Motilitas

lampu merkuri

2. Viabilitas

3. Morfologi
4. Jumlah

Ket:
: Menurunkan kualitas spermatozoa
: Faktor-faktor yang mempengaruhi

Gambar 1. Kerangka konsep penelitian

D. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah: Pajanan lampu merkuri dapat mempengaruhi motilitas
dan viabilitas spermatozoa mencit jantan.

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gelombang Elektromagnetik


Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang terbentuk dari usikan
medan magnetik dan medan listrik. Kedua medan ini bergetar dalam arah
yang saling tegak lurus. Medan magnetik dan medan listrik pembentuk
gelombang elektromagnetik adalah gelombang transversal, yang arah
rambatnya tegak lurus dengan arah getarnya. Jika kita gambarkan arah getar
dan arah rambatnya adalah sebagai berikut: Bila suatu berkas foton atau
gelombang elektromagnetik dilewatkan dalam suatu benda, berkas tersebut
akan berinteraksi dengan atom-atom penyusun benda sehingga intensitas
foton dari arah akan diserap oleh benda tersebut (Ahmed, 1987).

Tidak seperti gelombang pada dawai atau bunyi dalam fluida, gelombang
elektromagnetik tidak memerlukan medium material (Young, 2003). Secara
umum sistim peralatan elektronik, elektrik dan elektromekanik jumlahnya
semakin lama semakin meningkat, terutama peralatan-peralatan yang
menggunakan sistem digital modern seperti, Terrestrial Trunket Radio,
Global System for Mobile Communication (GSM), Personal Computer,
Digital Pager, Radio genggam, Telepon selular dan peralatan wireless,
peralatan kedokteran elektronik, peralatan rumah tangga, lampu penerangan

8

dan lain sebagainya, dimana peralatan tersebut membangkitkan gelombang
elektromagnetik (Hernawan, 2002).

Cahaya tampak, seperti yang dapat dilihat pada spektrum elektromagnetik,
diberikan dalam gambar 2, menyatakan gelombang yang sempit diantara
cahaya ultraviolet (UV) dan energi inframerah (panas). Gelombang cahaya
tersebut mampu merangsang retina mata, yang menghasilkan sensasi
penglihatan yang disebut pandangan. Oleh karena itu, penglihatan
memerlukan mata yang berfungsi dan cahaya yang tampak (UNEP, 2005).

Gambar 2. Radiasi elektromagnetik yang tampak (UNEP, 2005)

Spektrum gelombang elektromagnetik dibagi menjadi beberapa daerah. Pada
spektrum gelombang dengan frekuensi 60 atau 50Hz terdapat medan
elektromagnetik yang dibangkitkan oleh saluran daya listrik dan beberapa
peralatan besar maupun lecil. Pada ujung atas terdapat radiasi nuklir yang
terdiri dari sinar gamma dan sinar-x. Ditengah-tengah terdapat frekuensi radio
(RF) gelombang elektromagnetik yang membawa apa saja dari radio AM dan
FM, siaran televisi, band radio dan lainnya. Oleh karena itu peralatan

9

komunikasi yang sering digunakan oleh manusia akan meradiasikan atau
membocorkan gelombang elektromagnetik RF. Gelombang elektromagnetik
energi sangat tinggi, seperti sinar UV atau sinar-x, disebut juga radiasi
ionisasi karena mereka mengionisasi molekul pada jalur yang dilalui.
Pemaparan gelombang yang tidak terkendali dari radiasi ionisasi dalam
jumlah besar diketahui sebagai penyebab penyakit dan bahkan kematian pada
manusia. Efek biologis gelombang elektromagnetik RF non-ionisasi tidak
diketahui dengan baik pada saat ini, walaupun telah dilakukan beberapa
penelitian. Belum ditemukan bukti bahwa pemaparan terhadap gelombang
elektromagnetik frekuensi rendah dari saluran transmisi akan menyebabkan
beberapa penyakit (Wardhana, 2009).

Tingkat paparan gelombang elektromagnetik dari berbagai frekuensi berubah
secara signifikan sejalan dengan perkembangan teknologi yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa paparan dari gelombang elektromagnetik ini dapat
berpengaruh buruk terhadap kesehatan fisik manusia. Banyak kalangan
mengklaim bahwa gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh alatalat listrik dapat mengganggu kesehatan pengguna dan orang-orang yang
berdiri di sekitarnya. Anggapan ini dibenarkan oleh para ahli bidang
telekomunikasi, namun tidak sedikit pula bantahan-bantahan oleh beberapa
pihak yang menyangkal sebaliknya (Wardhana, 2009).

Pajanan medan elektromagnetik bukanlah hal yang baru. Namun, selama
abad ke-20, paparan lingkungan medan elektromagnetik buatan manusia telah
terus meningkat karena tumbuhnya permintaan akan listrik, semakin majunya

10

teknologi dan perubahan perilaku sosial telah menciptakan sumber buatan
lebih banyak lagi. Setiap orang terkena campuran kompleks medan listrik dan
medan magnet yang lemah, baik di rumah maupun di tempat kerja, dari
pembangkit dan transmisi listrik, peralatan rumah tangga dan peralatan
industri, telekomunikasi dan penyiaran (WHO, 2012).

Efek pada kesehatan umum, beberapa anggota masyarakat telah dengan
tingkat pajanan medan elektromagnetik di rumah. Gejala yang dilaporkan
termasuk sakit kepala, kecemasan, depresi, mual, kelelahan dan hilangnya
libido. Sampai saat ini, bukti ilmiah tidak mendukung hubungan antara gejala
dan pajanan medan elektromagnetik. Setidaknya beberapa masalah kesehatan
dapat disebabkan oleh kebisingan atau faktor-faktor lain dalam lingkungan,
atau kecemasan yang berhubungan dengan kehadiran teknologi baru (WHO,
2012).

B. Lampu Merkuri

Lampu merkuri merupakan model tertua lampu High Intensity Discharge
(HID) . Walaupun mereka memiliki umur yang panjang dan biaya awal yang
rendah, lampu ini memiliki efficacy yang buruk (30 hingga 65 lumens per
watt, tidak termasuk kerugian balas) dan memancarkan warna hijau pucat. Isu
paling penting tentang lampu merkuri adalah bagaimana caranya supaya
digunakan jenis sumber HID atau neon lainnya yang memiliki efficacy dan
perubahan warna yang lebih baik. Lampu uap merkuri yang bening, yang
menghasilkan cahaya biru-hijau, terdiri dari tabung pemancar uap merkuri
dengan elektroda tungsten di kedua ujungnya. Lampu tersebut memiliki

11

efficacy terendah dari keluarga HID, penurunan lumen yang cepat, dan indeks
perubahan warna yang rendah. Disebabkan karakteristik tersebut, lampu jenis
HID yang lain telah menggantikan lampu uap merkuri dalam banyak
penggunaannya. Walau begitu, lampu uap merkuri masih merupakan sumber
yang populer untuk penerangan taman sebab umur lampunya yang mencapai
24.000 jam dan bayangan taman yang hijaunya terlihat seperti gambaran
hidup. Pemancar disimpan di bagian dalam bola lampu yang disebut tabung
pemancar. Tabung pemancar diisi dengan gas merkuri dan argon murni.
Tabung pemancar tertutup di dalam bola lampu yang berada diluarnya, yang
diisi dengan nitrogen (UNEP, 2005).

Gambar 3. Lampu merkuri dan diagram alir energinya (UNEP, 2005).

Ultraviolet merupakan suatu bagian dari spektrum elektromagnetik dan tidak
membutuhkan medium untuk merambat. Ultraviolet mempunyai rentang
panjang gelombang antara 400 – 100 nm yang berada di antara spektrum
sinar X

dan

cahaya

tampak. Secara umum sumber ultraviolet dapat

diperoleh secara alamiah dan buatan, dengan sinar matahari merupakan
sumber utama ultraviolet di alam.

Sumber ultraviolet buatan umumnya

12

berasal dari lampu fluorescent khusus, seperti lampu merkuri tekanan rendah
(low pressure) dan lampu merkuri tekanan sedang (medium pressure). Lampu
merkuri medium pressure mampu menghasilkan output radiasi ultraviolet
yang lebih besar daripada lampu merkuri low pressure. Namun lampu
merkuri low pressure lebih efisien dalam pemakaian listrik dibandingkan
lampu merkuri medium pressure. Lampu merkuri low pressure menghasilkan
radiasi maksimum pada panjang gelombang 253,7 nm yang lethal bagi
mikroorganisme, protozoa, virus dan algae. Sedangkan radiasi lampu merkuri
medium pressure diemisikan pada panjang gelombang 180 – 1370 nm
(USEPA, 1999).

C. Mencit (Mus musculus L.)

Mencit masih merupakan satu famili, yaitu termasuk ke dalam famili Muridae
(Arrington, 1972 dan Priambodo, 1995 dalam Pribadi, 2008). Mencit hidup di
berbagai daerah mulai dari iklim dingin, sedang maupun panas dan dapat
hidup dalam kandang atau hidup bebas sebagai hewan liar. Mencit liar lebih
suka suhu lingkungan yang tinggi namun dapat beradaptasi dengan baik pada
suhu yang rendah. Rambut mencit liar berwarna abu-abu dan warna perut
sedikit lebih pucat, mata berwarna hitam dan kulit berpigmen.

Berdasarkan sifat genetiknya terdapat tiga macam mencit (Malole dan
Pramono, 1989):
1. Random Breed Mice yaitu mencit yang dikawinkan secara acak dengan
mencit yang tidak ada hubungan keturunan.

13

2. Inbreed mice yaitu mencit hasil perkawinan antar saudara sebanyak lebih
dari 20 turunan.
3. F1-Hybrid yaitu mencit hasil perkawinan antara dua galur yang inbreed.

Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa setelah dibudidayakan
dan diseleksi selama puluhan tahun, sekarang mencit memiliki warna bulu
dan galur dengan bobot badan yang bervariasi. Menurut Malole dan Promono
(1989) berdasarkan lingkungan hidupnya mencit dibagi dalam empat
kategori:

a. Mencit bebas hama yaitu mencit yang bebas dari mikroorganisme yang
dapat dideteksi.
b. Mencit yang hanya mengandung mikroorganisme tertentu.
c. Mencit yang bebas mikroorganisme patogen tertentu, dan
d. Mencit biasa yaitu mencit yang dipelihara tanpa perlakuan khusus.

Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan
model laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40-80%. Menurut
Moriwaki et al. (1994), mencit banyak digunakan sebagai hewan
laboratorium (khususnya digunakan dalam penelitian biologi), karena
memiliki keunggulan-keunggulan seperti siklus hidup relatif pendek, jumlah
anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, mudah ditangani,
serta sifat produksi dan karakteristik reproduksinya mirip hewan lain, seperti
sapi, kambing, domba, dan babi. Menurut Malole dan Pramono (1989)
berbagai keunggulan mencit seperti: cepat berkembang biak, mudah
dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya tinggi dan sifat anatomis

14

dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik. Mencit merupakan hewan
mamalia yang mempunyai peranan penting bagi manusia untuk tujuan ilmiah
karena memiliki daya adaptasi baik. Mencit yang banyak digunakan sebagai
hewan model laboratorium dan peliharaan adalah tikus putih. Mencit
memiliki beberapa keunggulan antara lain penanganan dan pemeliharaan
yang mudah karena tubuhnya kecil, sehat dan bersih, kemampuan reproduksi
tinggi dengan masa kebuntingan singkat, serta memiliki karakteristik
produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia lainnya (Malole dan
Pramono, 1989).

D. Fisiologi Reproduksi Mencit Jantan

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri dari sepasang testis yang dibungkus
skrotum, epididimis dan vas deferens, kelenjar aseksoris, uretra, dan penis.
Pada awal pembentukan sampai menjelang kelahiran, testis mencit berada
dalam rongga abdomen, kemudian testis tersebut turun dan masuk ke dalam
skrotum setelah beberapa hari dilahirkan (Rugh, 1968). Turunnya testis ke
dalam skrotum, dimaksudkan agar suhu sekitar testis tersebut lebih rendah
dari suhu rongga abdomen. Suhu testis mamalia berkisar antara 1°C - 8°C
lebih rendah daripada suhu rongga abdomen. Pada mencit suhu testis 28,5 °
C dan suhu rongga abdomen 37,1°C (Harrison dan Weiner, 1948 dalam
Amir, 1992).

15

Gambar 4. Sistem reproduksi mencit jantan (ventral) (NIEHS, 2012)

Testis terbentuk dari lengkungan-lengkungan tubulus seminiferus yang
bergelung yang dindingnya merupakan tempat pembentukan spermatozoa
dari sel-sel germinativum primitif (spermatogenesis). Kedua ujung setiap
lengkungan disalurkan ke dalam jaringan duktus dikepala epididimis
(Ganong, 2002). Epididimis adalah tuba terlilit yang panjangnya mencapai 4
meter sampai 6 meter. Epididimis terletak pada bagian dorsolateral testis,
merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah
testis. Organ ini terdiri dari bagian caput, korpus dan kauda epididimis (Rugh,
1967). Dari tubula seminiferus testis, spermatozoa lewat ke dalam saluran
mengulir pada epididimis. Selama perjalanan ini, spermatozoa menjadi motil
dan mendapatkan kemampuan untuk membuahi (Campbell et al., 2004).

16

E. Spermatozoa Mencit

Spermatozoa pada umumnya memiliki 4 bagian utama, yaitu kepala,
akrosom, bagian tengah dan ekor. Kepala terutama terdiri dari nukleus, yang
mengandung informasi genetik (Sherwood, 2001). Menurut Rugh (1968),
spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang bengkok
seperti kait, bagian tengah yang pendek dan bagian ekor yang sangat panjang.
Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm sedangkan panjang
spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 (122,6 mikron). Kualitas spermatozoa
meliputi beberapa aspek, yaitu motilitas spermatozoa yang dapat dibagi
menjadi tiga kriteria (motilitas baik, motilitas kurang baik dan tidak motil),
morfologi spermatozoa meliputi bentuknya (normal atau abnormal,
abnormalitas dapat terjadi pada kepala, midpiece atau ekor), konsentrasi atau
jumlah spermatozoa dan viabilitas (daya hidup) spermatozoa (Arsyad dan
Hayati 1994 dalam Asfahani et al., 2010).

Gambar 5. Spermatozoa mencit, dapat dilihat kepala yang bengkok seperti kait
dan bagian ekor yang sangat panjang (perbesaran 400x) (BFS,
2012).

17

F. Motilitas Spermatozoa

Motilitas adalah gerak maju ke depan dari spermatozoa secara progresif.
Motilitas spermatozoa berperan penting dalam suksesnya proses konsepsi,
terutama dalam menembus lendir serviks (Saputri, 2007). Ada orang yang
spermatozoanya lemah sekali gerak majunya, disebut astenozoospermia,
sedangkan jika semua spermatozoa diperiksa nampak mati, tak bergerak
disebut necrozoospermia. Menurut Hidayaturrahmah (2007), pengamatan
untuk waktu motilitas spermatozoa dilakukan dengan mencatat waktu dalam
satuan detik pada 2 jenis motilitas: fast progressive (pergerakan spermatozoa
yang bergerak sangat cepat dengan arah maju kedepan) dan motilitas slow
progressive (pergerakan spermatozoa yang bergerak cepat dengan arah maju
kedepan).

G. Viabilitas Spermatozoa

Viabilitas adalah kemampuan spermatozoa untuk bertahan hidup setelah
dikeluarkan dari organ reproduksi jantan. Kemampuan spermatozoa hidup
secara normal setelah keluar dari testis hanya berkisar antara 1-2 menit
(Effendy, 1997 dalam Hidayaturrahmah, 2007). Penggunaan larutan fisiologis
yang mengandung NaCl dan urea dapat mempertahankan daya hidup
spermatozoa antara 20-25 menit (Rustidja, 1985 dalam Hidayaturrahmah,
2007).

18

Menurut Yatim (1994), menyatakan bahwa viabilitas diukur dengan melihat
% motil maju/ml setelah jangka waktu tertentu. Makin lama semen yang
tersimpan makin sedikit yang motil. Penurunan motilitas normal adalah:
a. 2-3 jam sudah ejakulasi 50-60% spermatozoa motil maju/ml
b. 7 jam sudah ejakulasi : < 50% spermatozoa motil maju/ml

Jika setelah 3 jam yang motil kurang dari 50% menandakan adanya gangguan
atau kelainan dalam genitalia. Spermatozoa yang motilitasnya rendah disebut
asthenozoospermia.

9

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental
dengan Rancangan Acak Lengkap. Penelitian ini menggunakan 5 (lima)
kelompok perlakuan dan 5 (lima pengulangan) terhadap hewan percobaan
mencit jantan (Mus musculus L).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Universitas
Lampung pada bulan Oktober - November 2012 selama 28 hari dan
pembuatan

preparat

spermatozoa

dan

pengamatan

dilaksanakan

di

Laboratorium Histologi-Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung Bandar Lampung.

C. Variabel Penelitian

a. Variabel Independen
Lampu merkuri.
b. Variabel Dependen
Motilitas spermatozoa, viabilitas spermatozoa.

✁✂

D. Alat dan Bahan

1. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan yaitu : kandang mencit yang terbuat dari kawat
sebanyak 5 kandang, botol yang tutupnya diberi pipa alumunium sebagai
tempat minum mencit, lampu merkuri 16 watt dan isolatornya, luxmeter,
gelas kimia, termometer, timbangan mencit, kotak mencit, papan fiksasi,
makanan mencit, botol minuman mencit dengan pipa aluminium, lampu
merkuri low pressure dengan tegangan 16 watt, alat bedah minor, mikroskop,
pipet tetes, object glass, aluminium foil, neraca analitik, hemositometer dan
cover glass.

2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan yaitu: NaCl 0,9%, pelet ayam sebagai pakan mencit,
aquadest, dan eosin.

E. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculus L) dewasa.
umur > 8 minggu dengan berat 30-40 gram dan sehat yang ditandai dengan
gerakan aktif, diperoleh dari BPPV Lampung. Sedangkan, banyaknya
pengulangan ditentukan berdasarkan rumus Frederer (1955):

✄☎

t(n-1)

15

5(n-1) ≥ 15
5(n-1) ≥15
5n – 5 ≥ 15

t = kelompok perlakuan (5 kelompok )

5n ≥ 20

n = jumlah pengulangan atau sampel tiap

kelompok
n≥4

F. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

1. Kriteria Inklusi :

a.

Sehat

b. Memiliki berat badan antara 30-40 gr
c.

Jenis kelamin jantan

d. Usia > 8 minggu

2. Kriteria Eksklusi:

Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah 1 minggu masa
adaptasi di laboratorium.

✆✆

G. Prosedur Penelitian

1.

Persiapan Hewan Uji

Sebelum diberi perlakuan, mencit diadaptasikan selama satu minggu di
Laboratorium Biologi dan Fisika FMIPA Unila tempat dilaksanakannya
penelitian. Terhadap setiap mencit ditimbang berat badannya dan
diamati kesehatannya secara fisik ( gerakannya, makan dan minumnya),
sebelum diberi perlakuan.

2.

Pemberian Perlakuan

Penelitian ini menggunakan intensitas lampu dipancarkan oleh lampu
merkuri sebagai bentuk perlakuan terhadap objek penelitian. Adapun
cara pajanan lampu merkuri adalah sebagai berikut :
1. Mencit

ditempatkan

pada

ruangan

fiksasi

dan

dilakukan

pencahayaan dengan lampu merkuri yang diletakkan pada jarak 2
meter dari mencit.
2. Dua puluh ekor mencit jantan dibagi ke dalam lima kelompok yang
masing-masing terdiri dari empat ekor mencit. Kelima kelompok
tersebut meliputi :
1. Kelompok kontrol: tidak dipajankan terhadap lampu merkuri.
2. Kelompok perlakuan 1: dipajankan terhadap lampu merkuri
menghasilkan radiasi maksimum pada panjang gelombang 253,7
nm dengan intensitas empat jam perhari selama 28 hari.

✝✞

3. Kelompok perlakuan 2: dipajankan terhadap lampu merkuri
menghasilkan radiasi maksimum pada panjang gelombang 253,7
nm dengan intensitas delapan jam perhari selama 28 hari.
4. Kelompok perlakuan 3: dipajankan terhadap

Lampu merkuri

menghasilkan radiasi maksimum pada panjang gelombang 253,7
nm dengan intensitas duabelas jam perhari selama 28 hari.
5. Kelompok perlakuan 4: dipajankan terhadap lampu merkuri
menghasilkan radiasi maksimum pada panjang gelombang 253,7
nm dengan intensitas enambelas jam perhari selama 28 hari.

3.

Pengamatan

Setelah 28 hari perlakuan, masing-masing hewan coba dikorbankan
dengan cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah. Selanjutnya
dilakukan pengamatan sebagai berikut :
a. Pengambilan Sekresi Kauda Epididimis

Untuk mendapatkan spermatozoa di dalam sekresi kauda epididimis
dilakukan menurut Soehadi dan Arsyad (1983), yaitu sebagai
berikut: Setelah 28 hari perlakuan, masing-masing hewan coba
dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah.
Kemudian organ testis dan epididimis diambil dan diletakan ke
dalam cawan petri yang berisi NaCl 0,9%. Di bawah mikroskop
bedah dengan pembesaran 400 kali kauda epididimis dipisahkan
dengan cara memotong bagian proksimal korpus epididimis dan

✟✠

bagian distal vas defferen. Selanjutnya kauda epididimis dimasukan
ke dalam gelas arloji yang berisi 1 ml NaCl 0,9%, kemudian bagian
proximal kauda dipotong sedikit dengan gunting lalu kauda ditekan
dengan perlahan hingga cairan sekresi epididimis keluar dan
tersuspensi dengan NaCl 0,9%. Suspensi spermatozoa dari cauda
epididimis yang telah diperoleh dapat digunakan untuk pengamatan
motilitas dan viabilitas spermatozoa.
b. Motilitas Spermatozoa

Untuk menentukan motilitas spermatozoa diambil spermatozoa dari
kauda epididimis seperti penjelasan diatas kurang lebih 10µl ke atas
gelas objek dengan ukuran 25.4mm x 76.2mm lalu ditutup dengan
cover glass 22mm x 22mm. Dilakukan pengamatan pada 5 lapang
pandang pada pembesaran mikroskop 400x. Biasanya 4 sampai 6
lapangan pandang yang diperiksa untuk memperoleh seratus
spermatozoa secara berurutan yang kemudian dihitung sehingga
menghasilkan persentase motilitas spermatozoa (WHO, 2012).

c.

Viabilitas Spermatozoa

Untuk menentukan viabilitas spermatozoa diambil spermatozoa dari
kauda epididimis kurang lebih 10µl ke atas gelas objek dengan
ukuran 25.4mm x 76.2mm lalu ditutup dengan cover glass 22mm x
22mm. Dilakukan pengamatan pada 5 lapang pandang pada

✡☛

pembesaran

mikroskop

400x.

Kemudian

dihitung

sehingga

menghasilkan persentase viabilitas spermatozoa.

H. Pengolahan Data

Kelompok penelitian terdiri dari 5 kelompok, yaitu: 4 kelompok perlakuan
dan 1 kontrol. Pada tiap kelompok, data yang terkumpul dianalisis
menggunakan program perangkat lunak statistik dengan menggunakan uji one
way anova untuk menguji perbedaan rerata pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol.

I. Definisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Definisi Operasional
Variabel

Definisi

Skala

Alat Ukur

Variabel Independen:
- Lampu merkuri

Lampu merkuri
Ordinal
yang digunakan
adalah lampu
merkuri Low
Pressure
berdaya 16 Watt.

Luxmeter

Variabel Dependen:
- Motilitas spermatozoa

Motilitas
Numerik
spermatozoa
normal
dan
abnormal yang
diperoleh
dari
kauda epididimis

Hemositometer

- Viabilitas spermatozoa

Viabilitas
Numerik
spermatozoa
normal
dan
abnormal yang
diperoleh
dari
kauda epididimis

Hemositometer

☞6

Tahap Persiapan Persiapan lampu Merkuri dan
Aklimatisasi mencit selama 7 hari

kontrol:
tanpa
pajanan
lampu
merkuri

28 hari

Perlakuan 1:
diberi pajanan
lampu
merkuri
selama 4 jam

28 hari

Perlakuan 2:
diberi pajanan
lampu merkuri
selama 8 jam

28 hari

Perlakuan 3:
diberi pajanan
lampu merkuri
selama 12 jam

Perlakuan 4:
diberi pajanan
lampu
merkuri
selama 16 jam

28 hari

Mencit diterminasi dengan cara dislokasi leher mencit
Pembedahan skrotum mencit untuk diambil testis dan
epididimis
Pengambilan spermatozoa dari kauda epididimis

Pengamatan motilitas spermatozoa & viabilitas spermatozoa

Interpretasi hasil pengamatan dan penyusunan laporan

Gambar 5. Bagan Alir Penelitian

28 hari

✌0

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, N.A.G. 1987. Ion Platting Technology : Development and Applications.
John Wiley & Sons : New York.

Amir, A. 1992. Pengaruh penyuntikan ekstrak biji pepaya gandul (Carica papaya
L.) terhadap sel-sel spermatogenik mencit dan jumlah anak hasil
perkawinannya. Tesis Magister Sains. Biologi Kedokteran, Jakarta:
Universitas Indonesia.

Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal. The Breeding, Care and
Management of Experimental Animal Science. The Interstate Printers and
Publishing, Inc., New York. dalam Pribadi, G. A. 2008. Penggunaan
Mencit dan Tikus Sebagai Hewan Model Penelitian Nikotin. Available in
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/10474/D08gap.pdf
?sequence=2.

Arsyad, K.M., Hayati L. 1994. Penuntun Laboratorium Semen Manusia dan
Interaksi Sperma-Getah Servik. Ed. 3. Fakultas Kedokteran Sriwijya. p. 623. Dalam Asfahani, E.D., Wiratmini, N.I, Sukmaningsih, A.A.S.A., 2010.
Motilitas dan Viabilitas Spermatozoa Mencit (Mus musculus L.) Setelah
Pemberian Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.).
Jurnal Biologi Universitas Udayana. p. 20-23.

Asfahani, E.D., Wiratmini, N.I, Sukmaningsih, A.A.S.A. 2010. Motilitas dan
Viabilitas Spermatozoa Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian
Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe.). Jurnal Biologi
Universitas Udayana. p. 20-23.

Awad, H., Halawat, F., Mostafa, T., Atta, H. 2005. Melatonin Hormone Profile in
Infertile Males. Available in
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16371109✍
BFS. 2012. Bengkel Fotografi Sains (BFS), Grup Muda Penggiat Mikrofotografi
Sains. Available in http://muda.kompasiana.com/2012/07/25/bengkelfotografi-sains-bfs-grup-muda-penggiat-fotomikrografi-sains-480485.html

✎✏

Campbell, L. 2004. New Zealand English: its Origins and Evolution. Cambridge:
Cambridge University Press.

Cordelli, E., Eleuteri, P., Grollino, M.G., Benassi, B., Blandino, G., Bartoleschi,
C., Pardini, M.C., Di Caprio, E.V., Spanò, M., Pacchierotti, F., Villani, P.
2012. Direct and Delayed X-Ray-Induced DNA Damage in Male Mouse
Germ Cells. Available in http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22730201.

Effendy, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Nusatama.Dalam
Hidayaturrahmah. 2007. Waktu Motilitas dan Viabilitas Spermatozoa Ikan
Mas (Cyprinus carpio L) Pada Beberapa Konsentrasi Fruktosa. Jurnal
Bioscientiae. p 9-18.

Fidan, A.F., Enginar H, Cigerci IH, Korcan SE, Ozdemir A. 2008. The
radioprotective potensial of spinacia aleracia and aasculuc
hippocastannum againts ionizing radiation with their antioxidant and
antimicrobial properties. Journal of animal and veterinary advances
7:1582-1536.

Frederer, W.T. 1955. Experimental Design. Theory and Application. New Delhi:
Oxford and IBH Pub. Co.

Francis. 2008. Filsafat teknologi / Don Ihde tentang dunia, manusia dan alat.
Kanisius : Yogyakarta. ISBN/ISSN 978-979-21-1909-1.

Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC.p
408-416.

Guyton, Arthur C., John E.H. 2008. Fisiologi Kedokteran. EGC. Edisi 9: 10481063.

Gye, M.C., Park, C.J. 2012. Effect of Electromagnetic Field Exposure on The
Reproductive System. Seoul: Department of Life Science and Institute for
Natural Sciences, Hanyang University. Available in
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22563544.

✑✒

Harrison, G.A., Weiner, I.S., Tanner, J.M., Banicot, N.A. 1948. Human Biology.
London: Oxford University Press. Dalam Amir, A. 1992. Pengaruh
penyuntikan ekstrak biji pepaya gandul (Carica papaya L.) terhadap selsel spermatogenik mencit dan jumlah anak hasil perkawinannya. Tesis
Magister Sains. Biologi Kedokteran, Jakarta: Universitas Indonesia.

Hernawan, S. 2002. Efek Interferensi Medan Elektromagnetis terhadap
Lingkungan. Jurnal Teknik Elektro Emitor Vol. 2, No. 2, September
2002. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Available in
http://eprints.ums.ac.id/822/1/Emitor_HNS_EfekInterferensiME.pdf✓
Hidayaturrahmah. 2007. Waktu Motilitas dan Viabilitas Spermatozoa Ikan Mas
(Cyprinus carpio L) Pada Beberapa Konsentrasi Fruktosa. Jurnal
Bioscientiae. hal 9-18.

Kumar , S., Behari, J., Sisodia, R. 2012. Influence of electromagnetic fields on
reproductive system of male rats. New Delhi: Bioelectromagnetic
Laboratory, School of Environmental Sciences, Jawaharlal Nehru
University, New Delhi available in
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23078358.

Lim, F. 2008. Filsafat teknologi / Don Ihde tentang dunia, manusia dan alat.
Kanisius: Yogyakarta. ISBN/ISSN 978-979-21-1909-1.

Malole, M. B. M. dan C. S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan
Percobaan Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.

Merhi, Z.O. 2012. Challenging Cell Phone Impact on Reproduction: A Review.
New York: Department of Obstetrics and Gynecology and Women's
Health, Division of Reproductive Endocrinology and Infertility, Albert
Einstein College of Medicine and Montefiore Medical Center, Bronx,
USA. Available in http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22350528.

Moriwaki, K., Shiroishi T., Yonekowa H. 1994. Wild mouse from geneticist's
viewpoint. In Genetics in wild mice: its applicatio n to biomedical
research Tokyo: Japan Scientific Press and Karger. p. xiii-xxi.

✔✕

NIEHS. 2012. National Institute of Enviroment Health Science✖ Male
Reproductive and Urinary System, Revised Guides for Organ Sampling
and Trimming in Rats and Mice. Available in
http://www.niehs.nih.gov/research/atniehs/labs/lep/path-support/coresupport/necropsy-support/guides/male-repro/index.cfm✗
Nisbet, O., Nisbet, C., Akar, A., Cevik, M., Karayigit, M.O. 2012. Effects of
exposure to electromagnetic field (1.8/0.9 GHz) on testicular function and
structure in growing rats. Samsun: Department of Surgery, Veterinary
Faculty, University of Ondokuz Mayis, Turkey. Available in
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22130559✗
Priambodo, Swastiko. 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Jakarta: Penebar
Swadaya Dalam Pribadi, G. A. 2008. Penggunaan Mencit dan Tikus
Sebagai Hewan Model Penelitian Nikotin. Available in
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/10474/D08gap.pdf
?sequence=2.

Pribadi, G. A. 2008. Penggunaan Mencit dan Tikus Sebagai Hewan Model
Penelitian Nikotin. Available in
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/10474/D08gap.pdf?
sequence=2.
Repacholi, M.H, Greenebaum, B, 1999. Interaction of static and extremely low
frequency electric and magnetic fields with living systems: health effects
and research needs. Bioelectromagnetics Volume 20, Issue 3, : Wiley
Online Library. Available in http://onlinelibrary.wiley.com/ p 133–160.
Riedlinger. 2004. Virtual Environtments. Available in
www.rics.org/NR/rdonlyres/ 184EA66- ED72-4597-8497
D02039286652/0/Virtual_environtments 20051202.pdf.
Rouge, M. 2003. Sperm Motility. Available in http://www.vivo.colostate.edu/
hbooks/pathphys/reprod/semeneval/motility.html.

Rugh, R. 1967. The mouse its reproducton and development. Burgess Pub. Co. p
1-23.

. 1968. The mouse its reproduction and development. Burgess Pub. Co. p
430.

✘✘

Rustidja. 1985. Pengantar Ilmu Reproduksi Ikan. Fisheries Project. Malang:
Universitas Brawijaya. Dalam Hidayaturrahmah. 2007. Waktu Motilitas dan
Viabilitas Spermatozoa Ikan Mas (Cyprinus carpio L) Pada Beberapa
Konsentrasi Fruktosa. Jurnal Bioscientiae. P l 9-18.
Saputri, A. 2007. Pengaruh pemberian ekstrak kedelai (Glysine max) terhadap
motilitas sperma mencit Balb/c jantan. Karya Tulis Ilmiah. Semarang:
Fakultas Kedokteran UNDIP.

Samkhan dan Sri. 2006. Tata Cara Penanganan Dan Pengirimam Contoh ke
Laboratorium. Dalam : Bultin Laboratorium Veteriner. Vol: 6 No:3. Edisi
Tahun:
September
2003.
ISSN:
0853-7968.
Available
in
http://itp08ub.files.wordpress.com/2012/01/pedoman-kode-etik-hewancoba.doc✙
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (edisi ke-2). Jakarta:
EGC.

Siswono. 2005. Gangguan Kesehatan akibat Radiasi Elektromagnetik, Available
in http://mahardikaholic.files.wordpress.com/2009/12/efek-radiasigelombang-elektromagnetik-pada-ponsel.pdf✙
Smith dan Mangkoewidjojo. 1988. Data Biologis Mencit (Roza Rianita Nursetia,
2004:27) Bandung: tidak diterbitkan.

Soehadi, K., Arsyad, K. 1983. Analis Sperma. Surabaya: Universitas Erlangga.

Supranto, J. 2000. Teknik Sampling untuk Survei dan Eksperimen. Jakarta: Rineka
Cipta.

Sutyarso. 2010. Hubungan antara Lama Penggunaan Ponsel dengan Jumlah dan
Kualitas Spermatozoa pada Laki-Laki Fertil. Majalah Kedokteran Indonesia
Volume 60 No. 3.

Swamardika, A .I.B. 2009. Pengaruh Radiasi Gelombang Elektromagnetik
Terhadap Kesehatan Manusia. Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran
: Bali. Available inhttp://ejournal.unud.ac.id/abstrak/alit_17_.pdf✙

✚✛

UNEP. 2005. United Nation Environtment Programme: “Best Practice Manual –
Lighting”. Biro Efisiensi Energi, Kementrian Ketenagaan, India. Available
in
http://www.energyefficiencyasia.org/docs/ee_modules/indo/Chapter%20%
20Boilers%20and%20thermic%20fluid%20heaters%20(Bahasa%20Indon
esi.pdf✜
USEPA. 1999. United States Environmental Protection Agency: EPA Guidance
Manual Alternative Disinfectant and Oxidants, Center for Environmental
Research Information, Cincinati, OH. p. 8-2.

Valberg, V.A., Kavet, R., C. Rafferty, N. 1997. “Can Low Level 50/60 Hz Electric
and Magnetic Field Cause Biological Effects” Radiation Reaserch.
Available in http://www.scribd.com/doc/37531663/Can-Low-Level-50-60Hz-Electric-and-Magnetic-Fields-Cause-Biological-Effects. p 2 – 21.

WHO. 2012. World Health Organization: Electromagnetic Field (EMF).
http://www.who.int/peh-emf/about/WhatisEMF/en/index1.html diakses 19
September 2012.

Wardhana, W. A. 2000. Dampak Radiasi Elektromagnetik Ponsel. Jurnal Elektro
Indonesia no 3 th 2000.
http://www.elektroindonesia.com/elektro/ut32.html. diakses 19 juli 2012.

Yatim, W. 1994. Reproduksi dan Embriologi Bandung: Tarsito. p.47-54.

Young, H. D., Freedman, R.A., Sandin, T.R, Ford, A.L. 2002. Fisika Universitas.
Jakarta: Erlangga. p.612.