ANALISIS STRUKTUR, WAKTU, DAN BIAYA PEKERJAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA DAN SEWA (RUSUNAWA) UNIVERSITAS LAMPUNG TERHADAP METODE KONVENSIONAL DAN PRACETAK

(1)

ABSTRAK

ANALISIS STRUKTUR, WAKTU, DAN BIAYA PEKERJAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA DAN SEWA

(RUSUNAWA) UNIVERSITAS LAMPUNG

TERHADAP METODE KONVENSIONAL DAN PRACETAK Oleh

NOVI RIZAL

Saat ini beton pracetak sebagai bahan konstruksi semakin banyak digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penulangan pada struktur pracetak Gedung RUSUNAWA UNILA telah memenuhi batas minimum yang diijinkan berdasarkan analisis struktur metode konvensional serta untuk mengetahui perbedaan waktu dan biaya yang dibutuhkan antara metode pelaksanaan konstruksi dengan cara konvensional dan pracetak untuk suatu bangunan gedung.

Tahap-tahap dalam pelaksanaan penelitian adalah mendesain ulang struktur bangunan pracetak RUSUNAWA UNILA sebagai struktur beton konvensional kemudian menganalisis struktur menggunakan program Aplikasi SAP2000 untuk mendapatkan data penulangan balok dan kolom, membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan menyusun penjadwalan berdasarkan peraturan Standar Nasional Indonesia, kemudian membandingkan hasil analisa struktur konvensional dengan data struktur pracetak yang diperoleh dari pihak kontraktor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulangan kolom dan balok Gedung RUSUNAWA UNILA yang menggunakan metode pracetak berada di atas nilai penulangan minimum berdasarkan analisa Program SAP2000 untuk metode konvensional. Dari segi biaya, konstruksi konvensional lebih rendah 22,55 % dibandingkan konstruksi pracetak. Sedangkan dari segi waktu konstruksi pracetak lebih cepat selesai 52,56 % dari konstruksi konvensional


(2)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia konstruksi merupakan bagian yang tidak akan pernah terpisahkan dari kehidupan manusia. Dengan semakin bertambahnya penduduk yang mendiami bumi ini, maka jasa konstruksi akan semakin dibutuhkan.

Saat ini perkembangan dunia konstruksi semakin pesat. Berbagai terobosan metode dalam hal perencanaan maupun pelaksanaan pekerjaan suatu konstruksi terus dikembangkan.

Di Indonesia, terdapat ratusan perusahasan-perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi. Persaingan diantara perusahaan-perusahaan tersebut semakin ketat. Untuk mendapatkan proyek, perusahaan dituntut untuk dapat bersaing dalam segi kualitas, waktu, biaya, dan teknologi yang dimiliki. Perusahaan harus dapat membangun sistem perencanaan yang efisien yaitu dengan biaya seminimal mungkin, waktu secepat mungkin dengan tanpa mengabaikan kenyaman dan keamanan pemakai. Dengan demikian perusahaan yang tidak memiliki kemampuan bersaing cepat atau lambat akan tersingkir. Suatu kegiatan proyek konstruksi bangunan memiliki berbagai macam kegiatan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan dan masa pemeliharaannya. Sukses atau berhasilnya suatu proyek tersebut hanya bisa diketahui setelah suatu proyek tersebut telah selesai


(3)

dikerjakan. Hal ini dapat diketahui dengan melihat total biaya yang dikeluarkan, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek tersebut dan kualitas bangunan yang dihasilkan.

Maka dari itu sebelum memulai suatu pembangunan proyek konstruksi bangunan harus benar–benar memiliki perencanaan dan strategi bagaimana untuk menjalankan dan menghadapi berbagai macam hambatan dan resiko yang mungkin timbul.

Di dunia konstruksi saat ini khususnya konstruksi beton metode pelaksanaanya dikenal 2 macam, yaitu pekerjaan beton menggunakan metode konvensional dan pekerjaan beton dengan metode pracetak. Metode konvensional merupakan metode yang saat ini sudah umum digunakan sedangkan untuk pembetonan dengan metode beton pracetak saat ini masih jarang digunakan.

Dengan demikian diperlukan adanya suatu analisis untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektifitas antara metode konvensional dengan metode pracetak bila ditinjau dari segi kekuatan struktur bangunan, waktu, dan biaya yang dibutuhkan. 1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana struktur bangunan yang dihasilkan, jadwal pelaksanaan, dan biaya pembangunan menggunakan struktur dari beton pracetak pada Rumah Susun Sederhana dan Sewa (RUSUNAWA) Universitas Lampung oleh PT. PP (Persero) dibandingkan dengan perencanaan secara konvensional.


(4)

1.3 Batasan Masalah

Untuk menyederhanakan proses analisis dikarenakan keterbatasan data yang ada, maka perlu diadakan pendekatan atau asumsi-asumsi dan batasan sebagai berikut : 1. Studi kasus dilakukan pada Rumah Susun Sederhana dan Sewa Universitas

Lampung (RUSUNAWA UNILA).

2. Struktur bangunan pracetak yang dianalisis adalah struktur kolom, balok dan pelat.

3. Struktur bangunan dianalisis terhadap beban statis (beban hidup dan beban mati).

4. Analisis biaya, penjadwalan, dan analisis struktur bangunan terhadap beban statis dilakukan dengan bantuan software.

5. Analisis struktur bangunan, penjadwalan, dan analisis biaya mengacu pada peraturan Standar Nasional Indonesia (SNI).

6. Penelitian ini tidak melaksanakan pengujian langsung di lapangan karena hanya merupakan perbandingan analisis dari data yang telah ada.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penulangan pada struktur pracetak telah memenuhi batas minimum yang diijiankan berdasarkan analisis struktur metode konvensional serta untuk mengetahui perbedaan waktu dan biaya yang dibutuhkan antara metode pelaksanaan konstruksi dengan cara konvensional dan pracetak untuk suatu bangunan gedung.


(5)

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini adalah menjadi bahan pertimbangan, masukan dan informasi bagi para perencana proyek khususnya di Bandar Lampung dan sekitarnya ketika akan melaksanakan pekerjaan konstruksi beton apakah akan lebih efisien dan efektif dengan menggunakan metode konvensional ataukah dengan metode pracetak.


(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Macam-macam Metode Konstruksi Beton Bertulang

Dalam dunia konstruksi beton saat ini umumnya dikenal dua cara metode konstruksi yaitu cara konvensional (concrete in situ) atau cast in site dimana beton dicor langsung pada tempatnya dalam struktur yang telah dibentuk memakai kayu-kayu bekisting. Kedua adalah cara metode pracetak (precast) dimana beton dibuat ditempat lain dan setelah mengeras serta memenuhi syarat kekuatannya maka dapat dipasang sebagai struktur suatu bangunan. (Widden, 1992).

2.2 Beton Pracetak

Beton pracetak adalah suatu metode percetakan komponen secara mekanisasi dalam pabrik atau workshop dengan memberi waktu pengerasan dan mendapatkan kekuatan sebelum dipasang. (Widden, 1992).

2.2.1 Sejarah Beton Pracetak

Sejarah penggunaan beton pracetak tidak bisa dilepaskan dari sejarah penemuan beton sebagai bahan bangunan. Pada jaman dahulu di Thebes telah memperlihatkan bahwa para pekerja membangun konstruksi dinding beton dengan cara mengisi gentong dengan air dan diaduk bersama dengan kapur, kemudian bahan tersebut digunakan sebagai mortar untuk pasangan batu (Nugraha, 1989).


(7)

Ide menggunakan beton-beton pracetak dimulai Joseph Monier mengembangkan beton bertulang pada tahun 1850 dengan menggunakan material baru tersebut untuk mencetak pot-pot kebun, bak penampungan air, tangki-tangki, dan patung. Sedangkan penggunaan beton pracetak pertama kali dalam bangunan yaitu ketika Joseph Paxton menggunakan untuk bangunan berbentang lebar di Crystal Palace, London (Testa, 1972).

Kemudian semakin banyak bangunan yang memakai beton pracetak, tetapi belum menyebar luas. Hanya di Amerika, Inggris, Jerman, dan Perancis, misalnya tahun 1891 digunakan pada banguan kasino di Biarritz, Paris. Pelat atap beton pracetak pertama kali dipakai pada bangunan di Brooklyn, USA. Lima tahun kemudian digunakan pada bangunan 4 lantai di Pennsylvania, USA. Tahun 1907 digunakan pada bangunan The Edison Portland Cement, Co di New Village, USA. Water Gropius menemukan bahwa beton pracetak sangat menguntungkan untuk perumahan pada tahun 1910. Tahun 1912 Jhon E Conzelmann mendapatkan hak paten beton pracetak untuk bangunan tingkat rendah, juga digunakan untuk pipa/plumbing milik public Works Department Of Munich pada tahun 1926 dan pada hanggar dekat Roma pada tahun 1939 (Sigit, 1987).

Di Indonesia sendiri, saat ini beton pracetak sudah mulai banyak digunakan, antara lain untuk pembangunan gedung-gedung bertingkat dan perumahan. Bangunan bertingkat pertama kali yang menggunakan beton pracetak adalah hotel Hilton pada tahun 1983 (Asian Building Construction, April 1986 hal 37).


(8)

2.2.2 Penerapan Beton Pracetak dalam Elemen Struktur

Teknologi beton pracetak dapat digunakan pada hampir semua bagian struktur, pembuatannya dapat dilakukan di pabrik ataupun di lapangan. Tabel 1 menunjukkan elemen-elemen yang dapat dibuat dengan beton pracetak.

Tabel 1. Klasifikasi Elemen Beton Pracetak pada Bangunan

Bangunan Elemen

Bawah Pondasi Sloof Atas Struktural Kolom Dinding Balok Lantai Tangga Non-struktural Partisi Aksesoris bangunan Dekorasi Sumber : Vambersky, 1994

Sistem struktural dari beton pracetak ada tiga macam yaitu sistem rangka, sistem panel, dan sistem boks/sel (Singsomboon,1987 dan Vambersky, 1994). Strukrur rangka adalah struktur yang menyalurkan bebannya melalui balok kemudian meneruskan ke kolom lalu ke pondasi. Keuntungan sistem ini adalah fleksibilitas yang tinggi, seperti bentang yang besar, ruang terbuka yang cukup (Singsomboon,1987 dan Vambersky, 1994).

Struktur panel adalah struktur yang menerima beban dan menyalurkan melalui pelat dinding dan pelat lantai. Struktur panel ini banyak digunakan bila ruangan-ruangan yang dibuat berbentuk sama, seperti hotel, asrama, dan apartemen. Sistem ini mempunyai keterbatasan ukuran dan bentang, dan cara pengangkatan dari struktur panel ini juga harus diperhatikan dengan baik karena kemampuan menerima beban yang terbatas (Singsomboon, 1987).


(9)

Sistem struktur boks adalah penyatuan dari sistem struktur panel, pada struktur boks, pembuatan elemen akan berbentuk tiga dimensi. Keuntungan sistem ini adalah stabilitasnya, karena dapat menerima beban dari berbagai arah, dan sistem pengangkutannya akan lebih mudah, serta kontrol kualitas yang tinggi dan finishingnya dapat langsung dikerjakan.

2.2.3 Jenis-jenis Beton Pracetak

Beton pracetak untuk elemen struktural dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan sistem penahan tariknya, yaitu beton bertulang biasa dan beton pratekan (ACI Committee 311, 1984). Pada pembuatan beton pratekan tulangan diberi beban tarik dahulu kemudian dicor, sehingga beton mempunyai kapasitas tekan yang lebih besar dari pada beton bertulang biasa.

Beton pracetak berdasarkan berat dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Ringan, dimana beratnya komponen tidak melebihi 30 kg dan dipasang oleh satu orang.

2. Sedang, dengan berat sampai 500 kg dan pemasangan menggunakan peralatan mekanik yang sederhana.

3. Berat, dimana beratnya komponen lebih dari 500 kg, dan pemasangannya menggunakan alat berat.

Berdasarkan hasil unitnya digolongkan menjadi 2, yaitu:

1. Kecil, dimana area yang dibutuhkan untuk pembuatan per unitnya tidak melebihi 2 m2.


(10)

2.2.4 Standarisasi Elemen Beton Pracetak

Mengikuti perkembangan beton pracetak, elemen-elemen beton pracetak tersebut distandarkan. Standarisasi ini mengurangi biaya dan menjadikan produk beton pracetak menjadi lebih ekonomis, karena dapat dikerjakan pada cetakan baja standard dan diawasi oleh orang yang berpengalaman sehingga menjamin kontrol kualitas yang baik (Preston, 1984).

PCI (1985) juga menyebutkan bentuk-bentuk dan dimensi elemen-elemen yang umum digunakan oleh indutri pracetak. Elemen-elemen tersebut meliputi double tee, single tee, hollow core, solid flat slab, rectangular, L-shaped, girder, colom, tiang pancang, dan panel dinding. Penggunaan elemen-elemen yang sudah standar ini akan lebih menghemat biaya dan waktu karena tidak perlu lagi membuat cetakan baru.

2.2.5 Pelaksanaan Konstruksi Beton Pracetak

Tahapan-tahapan pelaksanaan konstruksi beton pracetak melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Pembuatan beton pracetak

a. Pembuatan beton pracetak di pabrik

Pembuatan beton pracetak dilakukan di luar dari lokasi proyek, sehingga tahapan ini tidak mempengaruhi waktu dari proyek, karena beton pracetak dibuat sebelum permintaan dari proyek.

b. Pembuatan beton pracetak di lokasi proyek

Pembuatan beton pracetak berada di wilayah lokasi proyek tetapi di luar lokasi gedung yang akan di didirikan. Pembuatannya dapat dilakukan bersaman dengan pekerjaan persiapan dan pekerjaan pondasi.


(11)

2. Tranportasi komponen

Pada tahapan ini yang perlu diperhatikan adalah jauh dekatnya jarak antar pabrik pembuat beton pracetak dengan lokasi proyek, sehingga dapat tiba di lokasi proyek tepat pada waktunya. Cara pengangkutan juga mempengaruhi kekuatan dari struktur pracetak.

3. Erection

Tepat tidaknya penggunaan beton pracetak juga ditentukan dari tersedianya alat pengangkat dan feasibility-nya (Libby, 1990). Ini akan mempengaruhi biaya dari proyek tersebut. Pemilihan alat pengangkat dipengaruhi dari berbagai faktor, antara lain berat dari pracetak, tinggi bangunan, dan kondisi lapangan (Singsomboon, 1997). Alat berat yang dapat dipakai untuk mengangkat elemen pracetak adalah mobile crane, derrick crane,tower crane, dan hydraulic crane. Sistem pengangkatan mempengaruhi keutuhan dari struktur pracetak.

4. Pemasangan

Pada tahapan ini yang perlu diperhatikan adalah ketepatan dalam pemasangan elemen pracetak dan pemilihan sambungan–sambungan antar elemen pracetak.

2.2.6 Keuntungan dan Permasalahan Konstruksi Pracetak

Beberapa keuntungan konstruksi pracetak dalam industri bangunan adalah (rahman, 2009):

1. Waktu konstruksi yang lebih cepat, sejak pekerjaan struktur di tapak, konstruksi pondasi dan pendirian komponen pracetak.


(12)

2. Produksi unit pracetak dalam skala luas menjadikan lebih praktis untuk menggunakan mesin dan karenanya kebutuhan jumlah pekerja yang terlalu banyak dapat diatasi.

3. Pengendalian mutu teknis dapat dicapai, karena proses produksi dikerjakan di pabrik dan dilakukan pengujian labotratorium.

4. Pekerjaan konstruksi dapat dilaksanakan tanpa tergantung pada kondisi cuaca. Permasalahan dalam konstruksi pracetak adalah (Rahman, 2007):

1. Transportasi komponen dari lokasi pembuatan komponen pracetak ke tempat pendirian bangunan.

2. Membutuhkan investasi awal yang besar dan teknologi maju. 3. Dibutuhkan kemahiran dan ketelitian khusus.

4. Kesulitan dalam penanganan di lapangan khusunya dalam erection (pendirian), lifting (pengangkatan),dan conecting (penyambungan).

5. Kurang tersosialisasinya jenis, produk, dan kemampuan sistem pracetak yang telah ada.

6. Belum adanya pedoman resmi mengenai tata cara analisis, perencanaan serta tingkat keandalan khusus untuk sistem pracetak yang dapat dijadikan pedoman bagi pelaku konstruksi.

2.3. Beton Konvensional

Beton konvensional atau cast in site adalah metode pengerjaan beton bertulang yang sudah sangat lazim digunakan. Pelaksanaannya dengan membuat cetakan pada elemen struktur dan dicor langsung di lokasi konstruksi. Metode ini jelas


(13)

lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan beton pracetak.

Tahapan pelaksanaan Beton Konvensional yaitu: 1. Penulangan

Pada beton konvensional, tulangan harus dirakit secara manual, tahapan dari penulangan itu sendiri adalah melalui pemotongan/cutting, pembengkokan/bending, perakitan/assembling. Tulangan pada dunia sipil ada 2 macam yaitu tulangan polos dan tulangan ulir. Tulangan polos biasanya dipakai untuk sengkang sedangkan tulangan ulir dipakai sebagai tulangan utama. Tahapan penulangan ini banyak membutuhkan tenaga dan waktu yang banyak.

2. Bekisting

Bekisting digunakan sebagai cetakan untuk membuat elemen struktur pada bangunan, dalam pembuatan bekisting harus dibuat sebaik mungkin agar tidak terjadi keruntuhan, cetakan tidak lurus, dan sebagainya. Bahan yang digunakan biasanya dari papan kayu, polywood, chipboard, dan hardboard. Polywood yang biasa digunakan adalah ¼, 3/8, ½, 5/8 dan ¾ inch yang tersedia dalam bentuk lembaran dengan lebar 4 ft dan panjang 8,10,12 ft. bahan-bahan lain yang biasa digunakan untuk membuat bekisting adalah aluminium, plastik, serat sintetis, polystyrene, batako, dan beton (Richardson,1986).


(14)

3. Pengecoran

Pengecoran adalah tahap dimana membuat beton, pada tahap ini perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil beton dengan mutu baik, sesuai dengan yang direncanakan.

4. Bongkar Bekisting

Pada tahap ini bekisting dibongkar setelah 28 hari, ini dilakukan untuk menjaga mutu beton agar tercapai.

2.4Perencanan Struktur

Perencanaan struktur dapat didefinisikan sebagai panduan dari seni dan ilmu, yang menggabungkan intuitif seorang insinyur berpengalaman dalam perilaku struktur dengan pengetahuan mendalam tentang prinsip statika, mekanika bahan dan analisis struktur, untuk mendapatkan struktur yang ekonomis dan aman serta sesuai dengan tujuan pembuatannya.

Menurut SNI – 03 -2847 – 2002, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung, tujuan perencanaan struktur adalah untuk menghasilkan suatu struktur yang stabil, cukup kuat, awet dan memenuhi tujuan lainnya seperti ekonomi dan kemudahan pelaksanaan. Suatu struktur disebut stabil bila tidak mudah terguling, miring atau geser, selama umur bangunan yang direncanakan. Perencanaan adalah suatu proses untuk menghasilkan penyelesaian optimum. Dalam suatu perencanaan, harus ditetapkan kriteria untuk menilai tercapai atau tidaknya penyelesaian optimum. Garis besar perencanaan adalah sebagai berikut :


(15)

1. Perancangan. Penetapan fungsi yang harus dipenuhi oleh struktur. Menetapkan kriteria yang dijadikan sasaran untuk menentukan optimum atau tidaknya perencanaan yang dihasilkan.

2. Konfigurasi struktur prarencana. Penataan letak elemen agar sesuai dengan fungsi dalam langkah 1.

3. Penentuan beban yang harus dipikul.

4. Pemilihan batang prarencana. Berdasarkan keputusan dalam langkah 1, 2 dan 3, pemilihan ukuran batang dilakukan untuk memenuhi kriteria obyektif seperti berat atau biaya terkecil.

5. Analisis. Analisis struktur untuk menentukan aman (tetapi tidak berlebihan/boros) atau benar tidaknya batang yang dipilih.

6. Penilaian. Apakah semua ketentuan dipenuhi dan hasilnya optimum.

7. Perencanaan ulang. Pengulangan suatu bagian dari langkah 1 sampai 6 yang dipandang perlu atau dikehendaki berdasarkan penilaian di atas.

8. Keputusan akhir. Penentuan optimum atau tidaknya perencanaan yang telah dilakukan.

2.5 Pembebanan

Penentuan beban yang bekerja pada struktur adalah proses awal dalam analisa struktur suatu konstruksi. Proses ini adalah menentukan beban-beban yang bekerja pada suatu struktur, baik beban primer yaitu berat sendiri struktur, beban mati, beban hidup dan juga beban sekunder yaitu beban angin, beban gempa, beban kejut, dan gaya lainnya yang bekerja dan mempengaruhi suatu struktur.


(16)

Tabel 2. Beban Mati dari Bahan Bangunan

No. Beban Mati dari Bahan Bangunan Nilai

1 Baja 7850 kg/m³

2 Batu alam 2600 kg/m³

3 Beton bertulang 2400 kg/m³

4 Kayu (kelas 1) 1000 kg/m³

5 Besi tuang 7250 kg/m³

6 Alumunium paduan 2800 kg/m³

7 Beton biasa, tumbuk, siklop 2200 kg/m³

8 Tanah, pasir, kerikil (semua dalam keadaan padat) 2000 kg/m³

9 Perkerasan jalan beraspal 2500 kg/m³

10 Air 1000 kg/m³

Sumber: PPIUG hal 11 – 12

Di Indonesia dalam menganalisa suatu struktur bangunan gedung harus berdasarkan peraturan SK SNI 03 – 2847 – 2002 tentang tata cara perencanaan untuk rumah dan gedung, tata cara ketahanan gempa untuk rumah dan gedung, dan peraturan - peraturan lain yang berhubungan dengan perencanaan dan masih berlaku. Nilai – nilai pembebanan di Indonesia harus sesuai standar yang berlaku berdasarkan Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung dapat dilihat pada Tabel 2 s/d Tabel 4 :


(17)

Tabel 3. Beban Mati dari Komponen Gedung

No. Beban Mati Komponen Gedung Nilai

1 Adukan semen 21 kg/m2

2 Dinding pasangan bata merah ½ batu 250 kg/m2

3 Dinding pasangan batako tebal 20 cm 200 kg/m2 4

Langit-langit dari bahan asbes semen tebal maksimum 4 mm

11 kg/m2 5 Lantai kayu sederhana dengan balok kayu 40 kg/m³

6 Penggantung langit-langit kayu 7 kg/m2

7 Penutup atap genteng dengan reng dan kaso 50 kg/m2 8 Penutup atap sirap dengan reng dan kaso 40 kg/m2 9 Penutup atap seng dengan reng dan kaso 10 kg/m2

Sumber: PPIUG hal 11 – 12

Tabel 4. Beban Hidup Minimum pada Lantai Gedung

No. Fungsi Gedung Nilai

1 Lantai dan tangga rumah tinggal sederhana 200 kg/m2 2

Lantai gudang-gudang tidak penting yang bukan untuk toko pabrik atau bengkel

125 kg/m2

3

Lantai sekolah, ruang kuliah, kantor, toko, toserba, restoran, hotel, asrama, dan rumah sakit

250 kg/m2

4 Lantai ruang olah raga 400 kg/m2

5 Lantai ruang dansa 500 kg/m2


(18)

7

Panggung penonton dengan tempat duduk tidak tetap atau untuk penonton berdiri

500 kg/m2 8 Tangga dan bordes seperti yang disebut pada (c) 300 kg/m2 9 Tangga dan bordes seperti yang disebut pada (d) – (g) 500 kg/m2 10

Lantai pabrik, bengkel, gudang, perpustakaan, ruang arsip, toko buku, toko besi, ruang alat-alat dan ruang mesin

400 kg/m2 11 Lantai gedung parkir bertingkat (untuk lantai atas) 800 kg/m2 12 Lantai dari balkon dari ruang pertemuan, seperti masjid,

gereja, ruang pagelaran, ruang rapat, bioskop, dan panggung penonton dengan tempat duduk tetap

400 kg/m2

Sumber: PPIUG hal 17

Perhitungan selanjutnya adalah menganalisa beban-beban yang terjadi, serta kombinasi beban lainnya sesuai dengan jenis struktur dan peraturan pembebanan yang berlaku.

Berdasarkan SKSNI T15-1991-03 suatu struktur harus bisa menahan beban-beban yang bekerja dan faktor – faktor bebannya serta kombinasi dari keduanya sperti dibawah ini :

 Faktor beban mati ( γD ) = 1,2  Faktor beban hidup ( γL ) = 1,6

Sehingga rumus yang diberikan untuk kombinasi-kombinasi bebannya adalah :  U = 1,2 D + 1,6 L

Dimana, U adalah Kuat perlu untuk menahan beban, D adalah Beban mati, L adalah Beban hdup.


(19)

2.6 Balok Beton Bertulang

Bila suatu gelagar yang terletak diatas dua tumpuan sederhana, menerima beban yang menimbulkan momen lentur, maka terjadi deformasi (regangan) lentur. Pada kejadian momen lentur positif, regangan tekan terjadi pada bagian atas balok, dan pada bagian bawah tampang balok terjadi regangan tarik. Regangan-regangan ini menimbulkan tegangan tekan disebelah atas dan tegangan tarik di bagian bawah, yang harus ditahan oleh balok diilustrasikan pada Gambar 2.5:

Gambar 1. Balok Terlentur

Pada gambar 2.5 terlihat bahwa suatu penampang balok mengalami gaya tarik dan gaya tekan sehingga untuk menahan gaya - gaya tersebut maka beton yang mempunyai kuat tekan yang baik, perlu diberi tulangan baja yang mempunyai kuat tarik yang baik. Secara umum penampang beton bertulang dapat dilustrasikan pada gambar 2.6

Untuk menentukan luas tulangan baja pada penampang beton digunakan persamaan : d hingga fy Mu As ). 9 , 0 8 , 0 .( 


(20)

b

h

d

p

Tul. Sengkang Tul. Utama

Ket :

b = lebar penampang h = tinggi penampang d = tinggi efektif p = lebar selimut beton Dimana, As adalah luas tulangan, Mu adalah Momen ultímate, fy adalah tegangan leleh baja yang disyaratkan, d adalah tinggi efektif.

Gambar 2. Penampang Persegi Beton Bertulang

2.7 Kolom beton bertulang

Kolom adalah suatu komponen struktur yang mendapat beban tekan sentris atau beban tekan eksentris. Pada struktur yang sederhana, kolom sering merupakan bagian dari struktur rangka, bila pada kolom bagian atas dan bawah berhubungan kaku dengan komponen horizontal, maka tegangan yang bekerja pada kolom selain tegangan aksial juga dari tegangan yang disebabkan oleh momen lentur. 2.8 Desain Pelat Beton Bertulang

Pelat atau slab beton-bertulang merupakan elemen struktur tipis yang menahan gaya-gaya transversal melalui aksi lentur ke masing-masing tumpuan. Bentuknya bervariasi, tidak hanya berupa panel segi-empat, terdapat juga panel segitiga dan


(21)

panel lain yang bentuknya tidak beraturan. Oleh karena itu, dalam perhitungan pelat yang kompleks digunakan metoda beda-hingga (finite difference method) dan metoda elemen-hingga (finite element method). Asumsi-asumsi dan persyaratan

keseimbangan statis harus dipenuhi dalam perhitungan pelat beton bertulangan. Macam-macam pelat menurut sistem pelaksanaanya dibagi menjadi tiga yaitu, sistem flat slab dimana pelat langsung ditumpu kolom-kolom. Sistem ini memberikan perbedaan tinggi antar lantai cukup rendah karena tidak adanya balok, yang berarti ketinggian bangunan secara keseluruhan minimum. Digunakan

bila bentang pelat L ≤ 7,50 m, serta intensitas beban tidak berat, misalnya pada

bangunan apartemen, hotel, dll. Bagian pertemuan pelat dengan kolom merupakan bagian yang kritis karena menahan momen lentur cukup besar, gaya geser dan adanya gaya geser yang dapat merusak pelat. Untuk mengatasinya, dilakukan penebalan pelat pada tempat kritis (drop panel) dan membentuk kepala kolom (coloumn capital) flat slab yang memiliki ketebalan merata, yaitu tanpa drop panel atau coloumn capital disebut flat plate.

Sistem lantai grid (waffle system) merupakan sistem lantai yang mempunyai balok-balok yang saling bersilangan dengan jarak relatif rapat seperti. Balok-balok ini mendukung pelat yang tipis.

Sistem ini dimaksud untuk mengurangi berat sendiri pelat dan pelat dapat direncanakan sebagai flat slab atau pelat dua-arah tergantung konfigurasinya. Efisien untuk bentang antara 9 s.d 12 m.

Sistem pelat balok Sistem pelat balok terdiri dari pelat yang ditumpu balok-balok monolit dan balok-balok ditumpu oleh kolom. Tebal pelat tergantungan aspek


(22)

keamanan struktur, jarak balok-balok dan beban yang bekerja. Sistem pelat-balok merupakan sistem yang paling banyak digunakan dan bersifat kokoh (heavy duty) Menurut metode perhitungannya pelat beton bertulang dibagi menjadi dua bagian antara lain adalah :

1. Pelat satu arah 2. Pelat dua arah 2.8.1 Pelat Satu Arah

Pelat satu arah adalah pelat yang hanya ditumpu pada kedua sisi yang berhadapan dan apabila pelat tersebut ditumpu oleh keempat sisinya maka nilai 2

Lx Ly


(23)

Tata cara perhitungan pelat satu arah adalah :

1. Menentukan syarat-syarat batas pada tumpuan dan menentukan panjang bentang yang dihitung dari as ke as.

2. Menentukan tebal pelat sesuai dengan mutu baja yang digunakan dan bentuk dari tumpuan pelat itu sendiri. Tebal pelat harus lebih besar dari tebal minimum yang didapat dari perhitungan.

3. Menghitung beban – beban yang bekerja pada pelat serta kombinasi beban yang dibutuhkan dalam perencanaan.

4. Menghitung momen yang menentukan dengam menggunakan analisa struktur mekanika teknik, dan untuk momen jepit tak terduga digunakan koefisien momen dikalikan wu ln2 dimana wu madalah jumlah total beban pada pelat ln adalah panjang bentang pelat

5. Menghitung tulangan pelat,

Menghitung tinggi efektif d h p .p 2 1    Mencari nilai 2

.d b

Mu

Mencari nilai ρ dengan menggunakan interpolasi pada tabel grafik beton atau

menggunakan rumus :

           y n f R m m . 2 1 1 1  c y f f m ' . 85 , 0  2 .d b m R n n


(24)

Kemudian membandingkan nilai ρ dengan nilai ρmin dan ρmaks dengan syarat

nilai ρ adalah ρmin< ρ < ρmaks, nilai ρmin dan ρmaks dapat dilihat dari Tabel 5 dan Tabel 6.

Mencari luas tulangan As .b.d

Mencari luas tulangan bagi As = 20% Amax (Irvan, 2007)

Tabel 5. Nilai-nilai ρmin teoritis fy MPa

(kg/cm2)

f’c MPa (kg/cm2)

15 (150) 20 (200) 25 (250) 30 (300) 35 (350) 240 (2400) 0,0025 0,0029 0,0032 0,0035 0,0038 400 (4000) 0,0015 0,0017 0,0019 0,0021 0,0023

Sumber: CUR I hal 50

Tabel 6. Persentase Tulangan Maksimum ρmaks fy MPa

(kg/cm2)

f’c MPa (kg/cm2)

15 (150) 20 (200) 25 (250) 30 (300) 35 (350) 240 (2400) 0,0242 0,0323 0,0404 0,0484 0,0538 400 (4000) 0,0122 0,0163 0,0203 0,0244 0,0271

Sumber: CUR I hal 52

2.8.2 Pelat Dua Arah

Pelat dua arah adalah pelat yang ditumpu pada kedua tepinya dan untuk pelat dua arah ini merupakan struktur statis tak tentu. Desain pelat dua arah pada umumnya hampir sama dengan satu arah, hanya yang membedakannya dalam perhitungan untuk pelat dua arah adalah perhitungannya ditinjau dari dua sisi yaitu arah x dan arah y.

Untuk pelat dua arah nilai 2 Lx Ly


(25)

Tabel 7. Perhitungan Momen Yang Menentukan Dengan Metode Amplop

Sumber: CUR IV hal 26

Tata cara perhitungan pelat dua arah adalah :

1. Menentukan syarat-syarat batas pada tumpuan dan menentukan panjang bentang yang dihitung dari as ke as. Ditinjau dari dua sisi yaitu arah x dan arah y yaitu batas lx dan ly


(26)

2. Menentukan tebal pelat dengan dengan mutu baja yang digunakan dan bentuk dari tumpuan pelat itu sendiri. Tebal pelat harus lebih besar dari tebal minimum yang di dapat dari perhitungan.

3. Menghitung beban – beban yang bekerja pada pelat serta kombinasi beban yang di butuhkan dalam perencanaan, sehingga mendapatkan beban keseluruhan

Gambar 4. Model Penulangan Bawah pada Pelat Dua Arah


(27)

1. Menghitung momen yang menentukan dengam menggunakan analisa struktur mekanika teknik, atau dengan menggunakan Tabel 7 ditinjau dari dua sisi yaitu Mly dan Mlx ( metode amplop)

2. Menghitung tulangan pelat, . Ditinjau dari dua sisi yaitu arah x dan arah y 3. Menghitung tinggi efektif d h p .p

2 1  

 , ditinjau dari dua sisi yaitu arah x dan arah y

4. Mencari nilai 2 .d b

Mu

yang ditinjau dari dua sisi yaitu arah x dan arah y 5. Mencari nilai ρ dengan menggunakan interpolasi pada tabel grafik beton

atau menggunakan rumus :

           y n f R m m . 2 1 1 1  c y f f m ' . 85 , 0  2 .d b m R n n

Kemudian membandingkan nilai ρ dengan nilai ρmin dan ρmaks dengan

syarat nilai ρ adalah ρmin< ρ < ρmaks, nilai ρmindan ρmaks dapat dilihat dari Tabel 5 dan Tabel 6.

Mencari luas tulangan As .b.d

Ditinjau dari dua sisi yaitu arah x dan arah y


(28)

2.9 Manajemen Waktu

Penjadualan waktu merupakan fase menterjemahkan perencanaan ke dalam suatu diagram skala waktu. Penjadualan adalah menentukan kapan aktivitas-aktivitas dimulai dan diselesaikan, sehingga pembiayaan dan pemakaian sumberdaya disesuaikan. Waktunya menurut kebutuhan yang telah ditentukan. Pada umumnya dikenal dua tipe penjadualan yaitu penjadualan waktu untuk proyek-proyek yang tidak berulang seperti proyek-proyek konstruksi gedung dan penjadualan waktu untuk proyek-proyek berulang seperti pembangunan rumah untuk perumahan. (Dipohusodo, 1996)

Ada beberapa metode penjadualan waktu yang dipergunakan untuk merencanakan kegiatan pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dimana masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, dalam pemanfaatannya biasa dipakai metode kombinasi. Metode penjadualan waktu antara lain :

1. Diagram Balok (Gantt Bar Chart) 2. Diagram Garis (Time Production Graph) 3. Diagram Panah (Arrow Diagram)

4. Diagram Precedence (Precedence Diagram) 5. Diagram Skala Waktu (Time Scale Diagram)

2.9.1 Diagram Balok (Gantt Bar Chart)

Bar chart digunakan secara luas dalam proyek konstruksi karena sederhana, mudah pembuatannya dan mudah dimengerti oleh pemakainya. Bar chart adalah sekumpulan daftar kegiatan yang disusun dalam kolom arah vertikal, sedangkan kolom arah horizontal menunjukkan skala waktu. Saat mulai dan akhir dari suatu


(29)

kegiatan dapat terlihat dengan jelas, sedangkan durasi kegiatan digambarkan oleh panjangnya diagram batang.

Proses penyusunan diagram batang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : (Ervianto, 2002)

1. Daftar item kegiatan, yang berisi seluruh jenis kegiatan pekerjaan yang ada dalam rencana pelaksanaan pembangunan.

2. Urutan pekerjaan, dari daftar item kegiatan itu disusun urutan pelaksanaan pekerjaan berdasarkan prioritas item kegiatan yang akan dilaksanakan lebih dahulu dan item kegiatan yang akan dilaksanakan kemudian, tanpa mengesampingkan kemungkinan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan secara bersamaan.

3. Waktu pelaksanaan pekerjaan, adalah jangka waktu pelaksanaan dari seluruh kegiatan yang dihitung dari permulaan kegiatan sampai dengan seluruh kegiatan berakhir. Waktu pelaksanaan pekerjaan diperoleh dari penjumlahan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap item kegiatan.

Diagram balok memiliki sejumlah kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan sistem penjadualan lainnya. Kelebihan-kelebihan diagram balok sangat membantu perencanaan jadual pada tahap pendahuluan suatu proyek konstruksi dan perekayasaan, dimana perubahan sering terjadi.

Keuntungan dan manfaat diagram balok antara lain :

1. Bentuk grafiknya dan mudah dimengerti oleh semua tingkat manajemen, sehingga dapat diterima dan digunakan dalam pelaksanaan secara luas.


(30)

2. Merupakan alat perencanaan dan penjadualan yang baik, hanya memerlukan sedikit penyempurnaan (revisi) dan pembaharuan (up-dating) dibanding sistem-sistem yang lebih canggih.

Sedangkan keterbatasan dan kelemahan diagram balok antara lain:

1. Hubungan antara masing-masing aktivitas tidak bisa dilihat dengan jelas. 2. Diagram balok tidak memadai untuk dipakai dalam pekerjaan pengawasan,

karena aktivitas-aktivitas yang sangat menentukan ketepatan waktu tidak terlihat dengan jelas.

3. Alternatif untuk memperbaiki jadual pelaksanaan kegiatan lainnya tidak dapat dibaca pada diagram balok.

4. Apabila terdapat satu atau beberapa aktivitas mengalami keterlambatan, maka gambaran keseluruhan sulit untuk diketahui secara tepat sejauh mana hal tersebut akan mempengaruhi jadual keseluruhan proyek.

2.9.2 Diagram Garis (Time Production Graph)

Tampilan informasi diagram garis menunjukkan 2 variabel, yaitu sumbu x menunjukkan waktu dan sumbu y menunjukkan volume pekerjaan. Sebuah garis miring menyatakan 1 aktivitas, dimana proyeksi ke sumbu x menyatakan waktu pelaksanaan aktivitas dan proyeksi ke sumbu y menyatakan volume aktivitasnya. Makin besar sudut yang dibentuk terhadap sumbu x makin tegak aktivitas berarti makin cepat pelaksanaan aktivitas tersebut. Letak garis aktivitas dalam diagram menyatakan saat mulai dan saat berakhirnya suatu aktivitas.

Diagram garis umumnya dipakai untuk proyek-proyek dengan pekerjaan berulang seperti proyek jalan, terowongan, kana, irigasi, penanaman pipa, gedung bertingkat, dll. Perencanaan suatu aktivitas proyek dapat diatur dengan cara


(31)

menggeser ke kiri atau ke kanan atau dengan mengubah kemiringan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan jarak waktu kritis menggambarkan suatu tenggang waktu yang harus diamankan untuk mencegah aktivitas tumpang tindih.

2.9.3 Diagram Panah (Arrow Diagram)

Status aktivitas dalam diagram CPM ditentukan dan digambarkan dalam jaringan kerja (network), dengan memperhatikan hubungan antar aktivitas. Urutan aktivitas menggambarkan ketergantungan aktivitas tersebut terhadap aktivitas lain. 2.9.4 Diagram Precedence (Precedence Diagram Method)

Kegiatan dalam Precedence Diagram Method (PDM) digambarkan dengan lambang segi empat, karena letak kegiatan dibagian node sehingga sering disebut juga Activity On Node (AON). Kelebihan Precedence Diagram Method (PDM) dibandingkan dengan Arrow Diagram adalah : (Ervianto, 2002)

1. Tidak diperlukan kegiatan fiktif/dummy sehingga pembuatan jaringan menjadi bih sederhana.

2. Hubungan overlapping yang berbeda dapat dibuat tanpa menambah jumlah kegiatan.

2.9.5 Diagram Skala Waktu (Time Scale Diagram)

Satuan waktu dapat sebagai minggu, hari, bahkan jam ataupun menit, asalkan seluruh kegiatan menggunakan satuan waktu yang sama. Sebagai contoh, sesuatu kegiatan membutuhkan waktu satu setengah minggu atau satu minggu dan tiga hari. Rentang waktu tersebut akan diterjemahkan ke dalam jumlah hari kerja nyata yang diperlukan, sehingga tidak menggunakan dasar perhitungan tujuh hari setiap minggunya. Penjadualan ini ditandai dengan memberikan notasi yang


(32)

biasa diberikan. Setiap rentang waktu kegiatan ditunjukkan dalam tanda kurung dan dituliskan di bawah anak panah yang sekaligus mewakili kegiatan yang bersangkutan. (Dipohusodo, 1996).

2.10 Estimasi Biaya (SNI-7394-2008)

Estimasi biaya adalah penentuan dari kemungkinan biaya konstruksi dari suatu proyek. Banyaknya jenis pekerjaan mempunyai pengaruh dan konstribusi untuk suatu proyek, setiap jenis pekerjaan harus dianalisis, dihitung, dan ditetapkan harganya. Karena estimasi disiapkan sebelum pelaksanaan proyek konstruksi, sehingga diperlukan adanya proses penelitian di lapangan. (Dagostino and Feigenbaum, 2003).

Estimasi biaya mempunyai peranan penting dalam suatu tender. agar kontraktor dapat bertahan dalam bisnis konstruksi, maka seorang kontraktor harus mempunyai klasifikasi penawaran terendah dalam suatu proyek, dimana keuntungan batasannya disetujui, dengan tetap mengutamakan kualitas yang sesuai. (Dagostino and Feigenbaum, 2003).

Kualitas suatu estimasi biaya proyek tergantung pada tersedianya data dan informasi, teknik, atau metode yang digunakan, serta kecakapan dan pengalaman estimator. Tersedianya data dan informasi memegang peranan penting dalam hal kualitas biaya proyek yang dihasilkan. Sebagai contoh pada awal formulasi lingkup proyek, jika sebagian data atau informasi belum tersedia dan belum ditentukan, maka estimasi biaya yang dihasilkan masih berupa perkiraan kasar dengan akurasi di atas 50%. (Soeharto, 1955).


(33)

Sebelum memulai estimasi biaya, harus terlebih dahulu diketahui untuk siapa estimasi dibuat dan kapan saatnya. Secara umum ada 4 jenis estimasi biaya, yaitu : 1. Estimasi kasar untuk pemilik

Estimasi ini dibutuhkan oleh pemilik untuk memutuskan apakah akan meneruskan ide membangun proyek atau mengagalkannya. Estimasi ini masih global sekali dan biasanya pemilik dibantu oleh konsultan yang melaksanakan studi kelayakan untuk mendapatkannya.

2. Estimasi pendahuluan oleh konsultan perencana

Estimasi pendahuluan dibuat setelah gambar desain dan rencana kerja dan syarat-syarat selesai dibuat. Estimasi ini lebih teliti daripada estimasi kasar. 3. Estimasi detail oleh kontraktor

Estimasi detail dibuat oleh kontraktor dengan melihat bestek dan gambar bestek yang disusun oleh konsultan. Estimasi ini lebih terinci karena telah memperhitungkan segala kemungkinan seperti keadaan proyek, metode pelaksanaan, lokasi material. Estimasi detail dibuat oleh kontraktor dalam bentuk penawaran saat pelelangan pekerjaan dan menjadi harga tetap (fixed price) kontrak setelah ditunjuk menjadi pemenang dan surat perjanjian ditandatangani.

4. Biaya sesungguhnya setelah proyek selesai.

Bagi pemilik harga tetap tersebut tidak berubah lagi, kecuali dalam pelaksanaannua proyek mengalami pekerjaan tambah-kurang. Sedangkan bagi kontraktor harga tersebut adalah penerimaan yang pasti, sedangkan biaya sesungguhnya (real cost) adalah semua pengeluaran yang dibutuhkan untuk


(34)

menyesuaikan proyek tersebut. Selisih dari penerimaan dan biaya sesungguhnya merupakan keuntungan bagi kontraktor.

Estimasi biaya untuk suatu proyek terdiri dari biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah biaya yang langsung berhubungan dengan konstruksi, sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak langsung berkaitan dengan konstruksi.

Semakin lama suatu proyek dikerjakan, maka akan semakin murah biaya langsung yang dikeluarkan. Sebaliknya, semakin lama suatu proyek yang dikerjakan, maka akan semakin banyak membutuhkan biaya tak langsung. Oleh karena itu perlu dicari waktu optimum yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu proyek, sehingga didapatkan biaya total yang harus dikeluarkan menjadi minimal.

Gambar 6. Komponen-komponen biaya dari proyek

2.11 Pemodelan Gedung RUSUNAWA Universitas Lampung

Sebelum dilakukan analisa struktur terlebih dahulu membuat model struktur. Pemodelan gedung RUSUNAWA Universitas Lampung dibuat dengan bantuan software. ESTIMASI BIAYA BIAYA LANGSUNG BIAYA TIDAK LANGSUNG TENAGA KERJA SUB KONTRAK PERALATAN

MATERIAL PAJAK KONDISI RESIKO OVERHEAD

UMUM


(35)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat studi kasus dan analisa, serta perbandingan yaitu dengan menyiapkan data berupa denah dan detil rusunawa Universitas Lampung untuk kekuatan struktur bangunan, menghitung biaya dan jadwal pekerjaan dengan cara konvensional, kemudian dibandingkan dengan kekuatan struktur, biaya dan jadwal dari PT. PP (Persero) yang dibangun dengan sistem struktur beton pracetak.

3.2. Bahan Penelitian

Jenis pekerjaan struktur beton dengan cara konvensional seperti kolom, balok dan pelat lantai. Desain struktur dimana diusahakan sedapat mungkin menggunakan dimensi-dimensi yang serupa dengan dimensi-dimensi yang menggunakan struktur beton pracetak sehingga lebih sesuai saat perbandingannya.

Kemudian dilakukan perhitungan analisis beban dorong statis dan analisis gempa metode respon spektrum terhadap pemodelan gedung RUSUNAWA Unversitas Lampung untuk metode konvensional dan metode pracetak dimana hasil keduanya kemudian dibandingkan. Setelah itu dilakukan perhitungan analisis harga satuan berdasarkan jenis-jenis pekerjaan dan komposisi masing-masing bahannya disesuaikan dengan harga pasaran yang berlaku saat ini. Dari analisis


(36)

harga satuan dan desain yang telah diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung biaya-biaya pekerjaan yang terdiri dari beberapa tahap antara lain: 1. Pekerjaan kolom

2. Pekerjaan balok 3. Pekerjaan pelat

Dimana masing-masing pekerjaan tersebut melalui tahap-tahap pekerjaan bekisting, penulangan utama, penulangan sengkang, dan pengecoran. Semuanya dimulai dari lantai 1 sampai lantai 5.

3.3 Data Penelitian

Data-data yang dikumpulkan berupa data biaya material, kebutuhan material untuk satu satuan pekerjaan, upah pekerjaan, kebutuhan pekerja yang bervariasi untuk masing-masing pekerjaan. Data tersebut untuk menghitung analisis biaya dan waktu untuk sistem konvensional.

Untuk pembangunan dengan sistem pracetak adalah langsung berupa harga satuan, RAB, jadwal pekerjaan yang sudah dilakukan saat pembangunan rumah susun. Data-data tersebut akan digunakan dalam analisis biaya dan waktu untuk sistem pracetak.

Data-data yang digunakan untuk analisis struktur untuk sistem konvensional dan pracetak diantaranya adalah data gempa berupa Desain Response Spektrum Indonesia Wilayah 5 diperoleh dari SNI-1726-2002 tentang Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan, data spesifikasi beton pracetak diperoleh dari PT. PP (Persero), dan data spesifikasi beton konvensional disesuaikan dengan peraturan yang terdapat pada SNI–03-2847–2002 tentang Tata


(37)

Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung. Disamping itu juga terdapat data berupa gambar rencana (terlampir) pembangunan RUSUNAWA ini yang diperoleh dari PT. PP (Persero).

3.4 Sumber Data

Informasi yang diperlukan dan yang dipergunakan adalah berupa penjadwalan, total anggaran biaya, dan teknik pelaksanaan proyek metode precast, data tersebut didapat dari kontraktor yang mengerjakan proyek RUSUNAWA Universitas Lampung yaitu PT. PP (Persero).

3.5Perencanaan Pembebanan

3.5.1 Data Pembebanan 3.5.1.1Beban Mati

Adalah berat semua beban yang bersifat tetap dan permanen. Beban mati yang bekerja pada gedung RUSUNAWA Universitas Lampung adalah :

a. Berat sendiri struktur beton b. Beban spesi semen

c. Beban penutup lantai

d. Beban plafond dan penggantung e. Beban atap

f. Beban terbagi merata dinding 3.5.1.2 Beban Hidup

Beban yang terjadi akibat pemakaian dan penghunian gedung. Termasuk beban-beban yang dapat berpindah pada lantai dan atap. Beban hidup yang


(38)

diperhitungkan pada rangka kuda-kuda struktur bangunan ini merupakan beban hidup terpusat yang berada pada puncak kuda-kuda (PPIUG, 1983).

3.5.2 Kombinasi Pembebanan

Jenis beban yang akan ditinjau meliputi beban mati (DL), beban hidup (LL), dan beban gempa. Kombinasi pembebanan yang dipakai adalah (SNI 03-2847-2002):

U = 1,4 DL

U = 1,2 DL + 1,6 LL 3.6Peraturan yang Digunakan

Analisis yang dilakukan akan berpedoman pada peraturan-peraturan berikut: 3.6.1 Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung

(SNI – 03 -2847 – 2002)

Peraturan ini akan menjadi acuan untuk menentukan metode analitis dan perencanaan pembebanan, metode analisis yang digunakan, pengaturan beban hidup, pengaturan hubungan balok dan kolom, perencanaan sambungan dan tumpuan beton pracetak, dan evaluasi kekuatan konstruksi pracetak.

3.6.2 Tata Cara Perhitungan Harga Satuan Pekerjaan Beton untuk Konstruksi Bangunan Gedung dan Perumahan (SNI-7394-2008) Standar ini menetapkan indeks bahan bangunan dan indeks tenaga kerja yang dibutuhkan untuk tiap satuan pekerjaan beton yang dapat dijadikan acuan dasar yang seragam bagi para pelaksana pembangunan gedung dan perumahan dalam menghitung besarnya harga satuan pekerjaan beton untuk bangunan gedung dan perumahan.


(39)

3.7 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9.


(40)

Gambar 7. Diagram Alir Penelitian

Pengumpulan Data Pracetak dari PT. PP (Persero)

1 2

Pembandingan dan Kesimpulan

Mulai

Desain Struktur Beton Konvensional yang Menyerupai Struktur Pracetak

Pemodelan Struktur RUSUNAWA UNILA

Selesai

Analisis Stuktur

Cek tulangan kolom dan balok struktur

pracetak

Analisa tulangan kolom dan balok berdasarkan perencanaan struktur

konvensional menggunakan Program


(41)

Gambar 8. Diagram Alir Penelitian (lanjutan)

Gambar 9. Diagram Alir Penelitian (lanjutan)

1

Penjadualan Analisis Waktu

Metode Pracetak Metode Konvensional

Penjadualan

2

Analisis Harga Satuan

Analisis RAB Analisis Biaya

Metode Pracetak Metode Konvensional

Analisis Harga Satuan


(42)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pendahuluan

Pada bab IV ini akan dibahas perbandingan metode konstruksi beton bertulang antara metode konvensional dengan metode pracetak. Bangunan konstruksi yang akan diteliti adalah bangunan Rumah Susun Sederhanan dan Sewa (RUSUNAWA) Universitas Lampung. Bangunan dikerjakan dengan metode pracetak (precast) oleh PT. PP (persero). Gambar 10 s/d Gambar 21 adalah gambar bentuk struktur bangunan dan denah struktur dari proyek bangunan rumah susun yang akan dibahas.

Dari denah struktur bangunan maka struktur yang memakai bahan pracetak yang akan dibahas adalah:

1. Kolom 2. Balok 3. Pelat

Perbandingan yang akan dilakukan adalah perbandingan desain struktur kolom dan balok, biaya serta waktu pelaksanaan. Dimensi dari struktur yang akan dibahas dibuat sama antara metode pracetak dengan metode konvensional, kecuali pada penulangan pelat karena pada pracetak memakai tulangan wiremesh sedangkan pada konvensional akan dihitung memakai tulangan manual.


(43)

(44)

(45)

(46)

(47)

(48)

(49)

(50)

(51)

(52)

(53)

(54)

(55)

4.2 Data – data Struktur

4.2.1 Kolom 4.2.1.1 Kolom K1

Dimensi kolom = 35 x 50 cm2 Tulangan utama = 4D16 dan 4D19 Tulangan sengkang = tumpuan : Ø 8-150

= lapangan : Ø 8-200 Selimut beton = 30 mm

4.2.1.2 Kolom K2

Dimensi kolom = 30 x 40 cm2 Tulangan utama = 4D13 dan 4D16 Tulangan sengkang = tumpuan : Ø 8-150

= lapangan : Ø 8-200 Selimut beton = 30 mm


(56)

4.2.2 Balok

4.2.2.1 Balok B1A

Dimensi balok = 25 x 50 cm2

Tulangan utama = tumpuan : 4D13 dan 2D16 = lapangan : 3D13 dan 2D16 Tulangan sengkang = tumpuan : Ø 8-100

= lapangan : Ø 8-150 Selimut beton = 25 mm

Gambar 23. Balok B1A 4.2.2.2 Balok B1B

Dimensi balok = 25 x 50 cm2

Tulangan utama = tumpuan : 4D13 dan 2D16 = lapangan : 2D13 dan 2D16 Tulangan Sengkang = tumpuan : Ø 8-100

= lapangan : Ø 8-150 Selimut beton = 25 mm


(57)

Gambar 24. Balok B1B 4.2.2.3 Balok B1C

Dimensi balok = 25 x 50 cm2

Tulangan utama = tumpuan : 4D19 dan 2D16 = lapangan : 3D13 dan 2D16 Tulangan Sengkang = tumpuan : Ø 8-100

= lapangan : Ø 8-150 Selimut beton = 25 mm


(58)

Gambar 25. Balok B1C 4.2.2.4 Balok B1D

Dimensi balok = 25 x 50 cm2 Tulangan utama = 2D13 dan 2D16 Tulangan Sengkang = Ø 8-150

Selimut beton = 25 mm


(59)

4.2.2.5 Balok B1E

Dimensi balok = 25 x 50 cm2 Tulangan utama = 4D13 dan 2D10 Tulangan Sengkang = Ø 8-150

Selimut beton = 25 mm

Gambar 27. Balok B1E 4.2.2.6 Balok 2A

Dimensi balok = 20 x 30 cm2

Tulangan utama = tumpuan : 6D13 = lapangan : 4D13 Tulangan Sengkang = tumpuan : Ø 8-100

= lapangan : Ø 8-150 Selimut beton = 25 mm


(60)

Gambar 28. Balok B2A 4.2.2.7 Balok B2B

Dimensi balok = 20 x 30 cm2 Tulangan utama = 4D13 Tulangan Sengkang = Ø 8-150 Selimut beton = 25 mm


(61)

4.2.2.8 Balok B3

Dimensi balok = 20 x 30 cm2

Tulangan utama = tumpuan : 4D10 dan 2D13 = lapangan : 4D13

Tulangan Sengkang = tumpuan : Ø 8-100 = lapangan : Ø 8-150 Selimut beton = 25 mm

Gambar 30. Balok B3 4.2.3 Pelat

4.2.3.1 Metode pracetak Tebal pelat = 12 cm

Tulangan = wiremesh BRC tipe M7 4.2.3.2 Metode konvensional


(62)

Perhitungan penulangan Analisa pelat :

1. Tebal pelat = 120 mm

2. Mutu beton (fc’) = 29,05 Mpa

3. Fy = 240 Mpa

4. Desain tulangan = Ø 10 mm 5. Desain tulangan pembagi = Ø 6 mm

6. ρ minimum = 0.0034 ……….. (CUR I tabel 7 hal. 51) 7. ρ maksimum ` = 0.0404 ………… (CUR I tabel 7 hal. 52) 8. Selimut beton (P) = 20 mm ………… (CUR I tabel 3 hal. 44) 9. dx = tinggi pelat – selimut pelat – ½ tul

= 120 – 20 – ½ . 10 = 95 mm

10. dy = tinggi pelat – selimut – 1 tul – ½ tul = 120 – 20 – 2/3 . 10

= 85 mm Pembebanan :

Beban mati : ………… (PPIUG tabel 2.1 hal 11 – 12)

1. Berat pelat sendiri = 0,12 . 2400 = 288 kg /m2

2. Berat speci semen = 21 kg / m2

3. Berat penutup lantai = 24 kg / m2

4. Berat plafon = 11 kg / m2

5. Berat penggantung = 7 kg / m2

___________ +


(63)

Beban Hidup :

Beban Hidup untuk perkantoran = 250 kg / m2 (PPIUG tabel 3 hal 17) qu = (1,2 . 346) + (1,6 . 250) ………. (SKSNI Pasal 3.2.2)

= 815,2 kg / m2 = 8,15 kN / m2 Penulangan Pelat Tipe P1

Gambar 31. Pelat tipe P1 Ix = 3,3 m

Iy = 5,7 m

β = Iy / Ix = 1,727 (β < 2 → Pelat dua arah)

Momen yang terjadi : ………. (CUR IV 4.2b hal. 26)

Mlx = 0,001 . 8,152 . 3,32 . 52.60 = 4.670 kNm Mly = 0,001 . 8,152 . 3,32. 17.35 = 1.540 kNm Mtx = -0,001 . 8,152 . 3,32. 81.30 = 7.217 kNm Mty = -0,001 . 8,152 . 3,32. 53.35 = 4.736 kNm Mtiy = ½ Mly = ½ x 1.540 = 0.770 kNm


(64)

Tabel 8. Perhitungan Tulangan Tipe P1

Mu (Knm) Mu/bd2 Ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 4.670 517.405 0.00217 0.0034 323 Ø10 - 225 1.540 213.184 0.00087 0.0034 289 Ø10 - 250 7.217 799.715 0.00300 0.0034 323 Ø10 - 225 4.736 655.524 0.00278 0.0034 289 Ø10 - 250 0.770 106.592 0.00043 0.0034 289 Ø10 - 250 Tulangan pembagi = 20 % . A max (Irvan, 2007)

= 20 % . 323

= 64,6 mm2 (Ø6 – 250) Cek jarak tulangan lentur utama :

Jarak tulangan < 3h atau 500 mm

250 < 360 atau 500 mm ………..(Ok !!!) Contoh perhitungan :

Mlx = 4.67 kNm

ρ = 0,00217………. (CUR IV 5.1h hal. 51)

ρ < ρ min→ dipakai ρ min = 0,0034

As = ρ . b . dx = 0,0034 . 1000 . 95 = 323 mm2

Dipakai tulangan Ø10 – 225 …….. (CUR IV 2.2a bawah hal. 15) MIy = 1.54 kNm

ρ = 0,00087…….. (CUR IV 5.1h hal. 51)

ρ < ρ min→ dipakai ρ min = 0,0034


(65)

Dipakai tulangan Ø10 – 250 …….. (CUR IV2.2a bawah hal. 15) Mtiy = ½ Mly = ½ x 1.54 = 0.77 kNm

ρ = 0,00043…….. (CUR IV 5.1h hal. 51)

ρ < ρ min→ dipakai ρ min = 0,0034

As = ρ . b . dx = 0,0034. 1000 . 85 = 289 mm2

Dipakai tulangan Ø10 – 250 …….. (CUR IV2.2a bawah hal. 15) Penulangan Pelat Tipe P2

Gambar 32. Pelat Tipe P2 Ix = 1,6 m

Iy = 3,3 m

β = Iy / Ix = 2,1 (β > 2 → Pelat satu arah) Tulangan

Mu = ½ x 8,152 x 1,52 = 10,43 kNm

kN/m2

ρ = 0,00492…….. (CUR IV 5.1h hal. 51) ρ min < ρ < ρ max→ dipakai ρ = 0,00492

As = ρ x b x dx = 0,00492 x 1000 x 95 = 467,8 mm2 dipakai tulangan Ø10 – 150 (CUR IV2.2a bawah hal. 15)


(66)

Tulangan arah y

Diberi tulangan pembagi : 20% x A pokok = 20 % x 467,8 = 93,56 mm2 dipakai tulangan Ø6 – 250 (CUR IV2.2a bawah hal. 15)

Penulangan Pelat Tipe P3

Gambar 33. Pelat Tipe P3 Ix = 3,3 m

Iy = 3,575 m

β = Iy / Ix = 1,083 (β < 2 → Pelat dua arah)

Momen yang terjadi : ……… (CUR IV 4.2b hal. 26)

MIx = 0,001 . 8,152 . 3,32. 29.4 = 2.610 kNm Mly = 0,001 . 8,152 . 3,32. 27.6 = 2.450 kNm Mtx = -0,001 . 8,152 . 3,32. 46.8 = 4.155 kNm Mty = -0,001 . 8,152 . 3,32. 72.6 = 6.445 kNm Mtix = ½ Mlx = ½ x 2.61 = 1.305 kNm

Tabel 9. Perhitungan Tulangan Tipe P3

Mu (kNm) Mu/bd2 ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 2.610 289.196 0.00125 0.0034 323 Ø10 - 225 2.450 339.128 0.00146 0.0034 289 Ø10 - 250 4.155 460.353 0.00194 0.0034 323 Ø10 - 225 6.445 892.053 0.00377 0.0038 320 Ø10 - 250 1.305 144.598 0.00058 0.0034 323 Ø10 - 225 Tulangan pembagi = 20 % . A max


(67)

= 64,6 mm2

Dipakai tul Ø6 – 250 (CUR IV 2.2a bawah hal. 15) Cek jarak tulangan lentur utama :

Jarak tulangan < 3h atau 500 mm

250 < 360 atau 500 mm ……… (Ok!!!) Penulangan Pelat Tipe P4

Gambar 34. Pelat Tipe P4 Ix = 1,955 m

Iy = 3,35 m

β = Iy / Ix = 1,714 (β < 2 → Pelat 2 arah)

Momen yang terjadi : ………. (CUR IV 4.2b hal. 26)

MIx = 0,001 . 8,152 . 1,9552 . 31,2 = 0.9721 kNm MIy = 0,001 . 8,152 . 1,9552. 33 = 1.0282 kNm Mty = 0,001 . 8,152 . 1,9552. 78.6 = 2.449 kNm Mtix = ½ Mlx = ½ x 0.9721 = 0.4861 kNm

Tabel 10. Perhitungan Tulangan Tipe P4

Mu (Knm) Mu/bd2 ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 0.9721 107.712 0.00043 0.0034 323 Ø10 - 225 1.0282 142.309 0.00057 0.0034 289 Ø10 - 250 2.449 338.955 0.00146 0.0034 289 Ø10 - 250 0.4861 53.856 0.00040 0.0034 323 Ø10 - 225 Tulangan pembagi = 20 % . A max


(68)

= 20 % . 323 = 64,6 mm2

Dipakai tul Ø6 – 250 (CUR IV 2.2a bawah hal. 15) Cek jarak tulangan lentur utama :

Jarak tulangan < 3h atau 500 mm

150 < 360 atau 500 mm …….. (Ok!!!) Penulangan Pelat Tipe P5

Gambar 35. Pelat Tipe P5 Ix = 2,825 m

Iy = 3,3 m

β = Iy / Ix = 1,168 (β <2 → Pelat 2 arah) Momen yang terjadi : ………. (CUR IV 4.2b hal. 26)

MIx = 0,001 . 8,152 . 2,8252 . 32.6 = 2,118 kNm MIy = 0,001 . 8,152 . 2,8252. 22.5 = 1,463 kNm Mtx = 0,001 . 8,152 . 2,8252. 61.1 = 3,974 kNm Mtx = 0,001 . 8,152 . 2,8252. 53.5 = 3,482 kNm

Tabel 11. Perhitungan Tulangan Tipe P5

Mu (Knm) Mu/bd2 ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 2.118 234.714 0.00097 0.0034 323 Ø10 - 225 1.463 202.423 0.00065 0.0034 289 Ø10 - 250 3.974 440.304 0.00186 0.0034 323 Ø10 - 225 3.482 481.925 0.00164 0.0034 289 Ø10 - 250 Tulangan pembagi = 20 % . A max


(69)

= 20 % . 323 = 64,6 mm2

Dipakai tul Ø6 – 250 (CUR IV 2.2a bawah hal. 15) Cek jarak tulangan lentur utama :

Jarak tulangan < 3h atau 500 mm

150 < 360 atau 500 mm …….. (Ok!!!) Penulangan Pelat Tipe P6

Gambar 36. Pelat Tipe P6 Ix = 3,3 m

Iy = 4,85 m

β = Iy / Ix = 1,47 (β < 2 → Pelat 2 arah) Momen yang terjadi : ………. (CUR IV 4.2b hal. 26)

MIx = 0,001 . 8,152 . 3,32 . 53.9 = 4.7831 kNm MIy = 0,001 . 8,152 . 3,32. 31 = 2.7480 kNm Mty = 0,001 . 8,152 . 3,32. 99.8 = 8.8587 kNm Mtix = ½ Mlx = ½ x 4.7831 = 2.3916 kNm


(70)

Tabel 12. Perhitungan Tulangan Tipe P6

Mu (Knm) Mu/bd2 ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 4.7831 529.984 0.00222 0.0034 323 Ø10 - 225 2.7480 380.346 0.00162 0.0034 289 Ø10 - 250 8.8587 1,226.117 0.00523 0.0052 445 Ø10 - 175 2.3916 264.992 0.00112 0.0034 323 Ø10 - 225 Tulangan pembagi = 20 % . A max

= 20 % . 323 = 64,6 mm2

Dipakai tul Ø6 – 250 (CUR IV 2.2a bawah hal. 15) Cek jarak tulangan lentur utama :

Jarak tulangan < 3h atau 500 mm

150 < 360 atau 500 mm …….. (Ok!!!) Penulangan Pelat Tipe P7

Gambar 37. Pelat Tipe P7 Ix = 1 m

Iy = 3,3 m

β = Iy / Ix = 3,3 (β > 2 → Pelat 1 arah)

Tulangan

Mu = ½ x 8,152 x 1 2 = 4,076 kNm

kN/m2


(71)

ρ = 0,00191…….. (CUR IV 5.1h hal. 51) ρ < ρ min→ dipakai ρ min = 0,0034

As = ρ x b x dx = 0,0034 x 1000 x 95 = 323 mm2

dipakai tulangan Ø10 – 150 (CUR IV2.2a bawah hal. 15) Tulangan arah y

Diberi tulangan pembagi : 20% x A pokok = 20 % x 323 = 64,6 mm2 dipakai tulangan Ø6 – 250 (CUR IV2.2a bawah hal. 15)

Penulangan Pelat Tipe P8

Gambar 38. Pelat Tipe P8 Ix = 3,3 m

Iy = 3,35 m

β = Iy / Ix = 1,02 (β < 2 → Pelat 2 arah) Momen yang terjadi : ………. (CUR IV 4.2b hal. 26)

MIx = 0,001 . 8,152 . 3,32 . 25.8 = 2.2934 kNm MIy = 0,001 . 8,152 . 3,32. 26.9 = 2.3902 kNm Mtx = 0,001 . 8,152 . 3,32. 55.4 = 4.9149 kNm Mty = 0,001 . 8,152 . 3,32. 60.7 = 5.3870 kNm Mtix = ½ Mlx = ½ x 2.2934 = 1.1467 kNm


(72)

Tabel 13. Perhitungan Tulangan Tipe P8

Mu (Knm) Mu/bd2 ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 2.2934 254.112 0.00107 0.0034 323 Ø10 - 225 2.3902 330.825 0.00142 0.0034 289 Ø10 - 250 4.9149 544.590 0.00228 0.0034 323 Ø10 - 225 5.3870 745.612 0.00318 0.0034 289 Ø10 - 250 1.1467 127.056 0.00051 0.0034 323 Ø10 - 225 Tulangan pembagi = 20 % . A max

= 20 % . 323 = 64,6 mm2

Dipakai tul Ø6 – 250 (CUR IV 2.2a bawah hal. 15) Cek jarak tulangan lentur utama :

Jarak tulangan < 3h atau 500 mm

150 < 360 atau 500 mm …….. (Ok!!!)

Pelat Atap (Tipe P9, P11 dan P1’)

Pembebanan Tebal pelat = 10 cm

Beban mati : ……… (PPIUG tabel 2.1 hal. 11 - 12)

1. Berat pelat sendiri = 0,10 . 2400 = 240 kg/m2

2. Berat speci semen = 21 kg/m2

___________ +

= 261 kg/m2 Beban Hidup :

Beban Hidup untuk perkantoran = 100 kg / m2

qu = (1,2 . 261) + (1,6 . 100) ………. (SKSNI Pasal 3.2.2) = 473,2 kg / m2


(73)

Penulangan Pelat Tipe P9

Gambar 39. Pelat Tipe P9 Ix = 2,2 m

Iy = 3,35 m

β = Iy / Ix = 1,523 (β < 2 → Pelat 2 arah)

Momen yang terjadi : ………. (CUR IV 4.2b hal. 26)

MIx = 0,001 . 4,732 . 2,192. 39 = 0.8851 kNm MIy = 0,001 . 4,732 . 2,192. 31 = 0.7035 kNm Mtx = 0,001 . 4,732 . 2,192. 91 = 2.0653 kNm Mtix = ½ Mlx = ½ x 0.8851 = 0.4426 kNm Mtiy = ½ Mly = ½ x 0.7035 = 0.3518 kNm

Tabel 14. Perhitungan Tulangan Tipe P9

Mu (Knm) Mu/bd2 ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 0.8851 157.353 0.00063 0.0034 255 Ø10 - 250 0.7035 166.521 0.00067 0.0034 221 Ø10 - 250 2.0653 367.157 0.00157 0.0034 255 Ø10 - 250 0.4426 78.677 0.00040 0.0034 255 Ø10 - 250 0.3518 83.260 0.00040 0.0034 221 Ø10 - 250 Tulangan pembagi = 20 % . A max

= 20 % . 255 = 51 mm2


(74)

Penulangan Pelat Tipe P11

Gambar 40. Pelat Tipe P11 Iy = 4,85 m

Ix = 3,8 m

β = Iy / Ix = 1,276 (β < 2 → Pelat 2 arah) Momen yang terjadi : ………. (CUR IV 4.2b hal. 26)

MIx = 0,001 . 4,732 . 3,82. 59 = 2,542 kNm MIy = 0,001 . 4,732 . 3,82. 33.5 = 1,394 kNm Mtix = ½ Mlx = ½ x 2.542 = 2.0144 kNm Mtiy = ½ Mly = ½ x 1.394 = 1.1436 kNm

Tabel 15. Perhitungan Tulangan Tipe P11

Mu (Knm) Mu/bd2 ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 4.0288 716.227 0.00306 0.0034 255 Ø10 - 250 2.2873 541.363 0.00227 0.0034 221 Ø10 - 250 2.0144 358.114 0.00153 0.0034 255 Ø10 - 250 1.1436 270.682 0.00115 0.0034 221 Ø10 - 250 Tulangan pembagi = 20 % . A max

= 20 % . 255 = 51 mm2


(75)

Penulangan Pelat Tipe P1’

Gambar 41. Pelat tipe P1’ Ix = 3,3 m

Iy = 5,7 m

β = Iy / Ix = 1,727 (β < 2 → Pelat dua arah)

Momen yang terjadi : ………. (CUR IV 4.2b hal. 26)

MIx = 0,001 . 4,732 . 3,32. 77.4 = 3.9867 kNm MIy = 0,001 . 4,732 . 3,32. 28.1 = 1.4476 kNm Mty = 0,001 . 4,732 . 3,32. 112.3 = 5.7856 kNm Mtix = ½ Mlx = ½ x 3.9867 = 1.9933 kNm Mtiy = ½ Mly = ½ x 1.4476 = 0.7238 kNm

Tabel 16. Perhitungan Tulangan Tipe P1’

Mu (Knm) Mu/bd2 ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 3.9867 708.740 0.00303 0.0034 255 Ø10 - 250 1.4476 342.619 0.00147 0.0034 221 Ø10 - 250 5.7856 1,369.368 0.00588 0.0059 382 Ø10 - 200 1.9933 354.370 0.00152 0.0034 255 Ø10 - 250 0.7238 171.310 0.00079 0.0034 221 Ø10 - 250 Tulangan pembagi = 20 % . A max

= 20 % . 255 = 51 mm2


(76)

Pelat Atap Pembebanan Tebal pelat = 15 cm

Beban mati : ……… (PPIUG tabel 2.1 hal. 11 - 12)

1. Berat pelat sendiri = 0,15 . 2400 = 360 kg/m2

2. Berat speci semen = 21 kg/m2

3. Berat tower tank = 3000 kg/m2

___________ +

= 3381 kg/m2 Beban Hidup :

Beban hidup = 100 kg / m2

qu = (1,2 . 3381) + (1,6 . 100) ………. (SKSNI Pasal 3.2.2) = 4217,2 kg / m2

= 42,172 kN / m2 Penulangan Pelat Tipe P10

Gambar 42. Pelat Tipe P10 Ix = 3,8 m

Iy = 4,85 m

β = Iy / Ix = 1,276 (β > 2 → Pelat 2 arah) Momen yang terjadi : ………. (CUR IV 4.2b hal. 26) MIx = 0,001 . 66,388 . 3,32. 53.9 = 24.744 kNm MIy = 0,001 . 66,388 . 3,32.31 = 14.216 kNm


(77)

Mty = 0,001 . 66,388 . 3,32. 99.8 = 45.828 kNm Mtix = ½ Mlx = ½ x 24.744 = 12.372 kNm

Tabel 17. Perhitungan Tulangan Tipe P10

Mu (Knm) Mu/bd2 ρ ρ terpasang As (mm2) Tulangan 24.744 1,583.616 0.0072 0.0072 904 Ø10 - 75 14.216 1,074.932 0.0039 0.0039 443 Ø10 - 175 45.828 3,465.247 0.0158 0.0158 1820 Ø10 - 50 12.372 791.808 0.0034 0.0034 421 Ø10 - 175 Tulangan pembagi = 20 % . A max

= 20 % . 1821 = 364 mm2

Dipakai tul Ø6 – 100 (CUR IV 2.2a bawah hal. 15)

4.3. Analisa Struktur Rusunawa Dengan SAP 2000 V. 12

Dalam menganalisa menggunakan SAP 2000 versi 12 tentunya ada data-data yang dimasukkan, data-data ini harus mempunyai data yang akurat sesuai yang dibutuhkan sehingga pada waktu proses analisa, aplikasi ini tidak salah mengeluarkan output data-data perhitungannya. Adapun data-data yang perlu diketahui dan ditentukan berdasarkan data dari PT. PP (persero), SK-SNI-03-2847-2002 dan PPIUG antara lain adalah :

1. Mutu beton (f’c) : 29,05 Mpa 2. Berat jenis beton : 2400 kg/m3

3. Modulus elastisitas (E) : f'c4700 = 25332.084 Mpa 4. Mutu Baja : (fy) 400 Mpa, (fys) 240 Mpa 5. Angka Poisson : 0.2


(78)

6. Definisi material

a. Tebal selimut beton : Balok = 25 mm, Kolom = 30 mm, Pelat= 20 mm b. Dimensi Balok : 250 x 500 mm (B1), 200 x 300 mm (B2)

c. Dimensi Kolom : 350 x 500 mm (K1), 300 x 400 mm (K2)

d. Dimensi Pelat : 1000 mm (P10), 1200 mm (P12), 1500 mm (P15) 7. Definisi Beban

a. Beban hidup lantai : 250 kg/m2 b. Beban hidup tangga : 350 kg/m2 c. Beban hidup atap : 100 kg/m2 d. Pasangan 1/2 bata : 250 kg/m2 e. Berat spesi semen : 21 kg/m2 f. Berat penutup lantai : 24 kg/m2 g. Berat plafon : 11 kg/m2 h. Berat penggantung : 7 kg/m2 4.3.1 Perhitungan Beban Mati

4.3.1.1 Beban Mati Lantai

Berat sendiri pelat lantai telah dihitung secara otomatis oleh program SAP sehingga yang akan dihitung hanya beban mati tambahan yang bekerja pada lantai, yaitu:

Berat speci semen = 21 kg / m2 Berat penutup lantai = 24 kg / m2

Berat plafon = 11 kg / m2

Berat penggantung = 7 kg / m2 +


(79)

4.3.1.2 Beban Mati Merata Dinding 4.3.1.2.1 Dinding antara Balok 25 x 50 Tinggi dinding = 3 – 0,5(0,5+0,5)

= 2,5 m

Beban merata dinding = Tinggi dinding x beban pasangan ½ bata = 2,5 m x 250 kgm2

= 625 kg/m 4.3.1.2.1 Dinding antara Balok 20 x 30 Tinggi dinding = 3 – 0,5 (0,3 + 0,3)

= 2,7 m

Beban merata dinding = Tinggi dinding x beban pasangan ½ bata = 2,7 m x 250 kgm2

= 675 kg/m 4.3.1.2.1 Dinding Selasar 1 m

Beban merata dinding = Tinggi dinding x beban pasangan ½ bata = 1 m x 250 kg/m2

= 250 kg/m 4.3.1.3 Beban Mati Tangga

Berat pelat sendiri tangga telah dihitung secara otomatis oleh program SAP, maka yang akan dihitung hanya beban mati tambahan yaitu beban beton anak tangga, beban railing tangga, beban spesi semen, dan beban penutup lantai.


(80)

(81)

(82)

Luas anak tangga t1 untuk spesi semen dan penutp lantai = ( 300 x 1550 ) + ( 120 x 1550 ) = 651000 mm2

= 0,651m2

Luas anak tangga t2 untuk spesi semen dan penutp lantai = ( 300 x 1550 ) + ( 140 x 1550 ) = 682000 mm2

= 0,682 m2

Luas total anak tangga = ( 2 x t1 ) + ( 9 x t2 )

= ( 2 x 0,651 ) + ( 2 x 0,682 ) = 2,666 m2

Volume beton anak tangga T1 = 0,5 x 120 x 300 x 1550 = 27900000 mm3

= 0,0279 m3

Volume beton anak tangga T2 = 0,5 x 140 x 300 x 1550 = 32550000 mm3

= 0,03255 m3

Volume total beton anak tangga = ( 2 x T1 ) + ( 9 x T2 )

= ( 2 x 0,0279) + ( 9 x 0,03255 ) = 0,1209 m3

Beban mati tambahan yang bekerja pada tangga :

1. Beban railing tangga = 1 m x 3,68951 m x 250 kg/m2 = 922,3775 kg 1. Beban beton anak tangga = 0,1209 m3 x 2400 kg/m3 = 290,16 kg 2. Beban spesi semen = 2,666 m2 x 21 kg / m2 = 55,986 kg


(83)

3. Beban penutup lantai = 2,666 m2 x 24 kg / m2 = 63,984 kg + Total beban mati tambahan tangga = 1268,524 kg Luas tangga = 3689,51 x 1550

= 5718740,5 mm2 = 5, 719 m2

Beban mati per luas tangga = 1268,524 = 221,809 kg/m2 5,719

4.3.1.4 Beban Mati Terpusat Atap Rangka Pipa Galvanis Luas seng = 6,8 x 3,3

= 22,44 m2

Beban seng = 22,44 m2 x 10 kg/m2 = 224,4 kg

Luas pipa galvanis = 0,25 x π x d12–0,25 x π d22 = (0,25 x π x 0,12

) –(0,25 x π x 0,0092) = 0,00149 m2

Panjang pipa galvanis = 4,7 + 6,8 + 0,4 + 0,4 + 3,3 + 1,5 = 17,1 m

Volume kuda-kuda rangka pipa galvanis = Luas x Panjang = 0,00149 x 17,1 = 0,025479 m3 Beban kuda-kuda = Volume x Berat jenis besi tuang

= 0,025479 m3 x 7250 kg/m3 = 184,723 kg

Panjang gording = 4 x 3,3 = 13,2 m


(84)

(85)

(86)

Luas gording = L1 + L2

= (0,1 x 0,005) + (0,045 x 0,005) = 0,000725 m2

Volume gording = Luas x Panjang = 0,000725 x 13,2 = 0,00957 m3

Beban gording = Volume x Berat jenis besi tuang = 0,00957 m3 x 7250 kg/m3

= 69,383 kg

Beban total = Beban seng + beban kuda-kuda + beban gording = 224,4 + 184,723 + 69,383

= 478,506 kg

Beban terpusat P1 = P2 = 478,506 = 239, 253 kg 2

4.3.2 Hasil Analisa SAP

Gambar 47 s/d Gambar 56 adalah gambar pemodelan gedung RUSUNAWA UNILA dan gambar-gambar hasil analisa gambar pemodelan dengan menggunakan Program SAP.


(87)

(88)

(89)

(90)

(91)

(92)

(93)

(94)

(95)

(96)

(97)

4.3.2.1 Analisa Kolom 1. Kolom K1

Tabel 18. Hasil Analisa Kolom K1

No.

Hasil Analsia Program SAP

Berdasarkan Data Pracetak

Metode Konvensional Luas

Selisih Lokasi

Luas Tul. Minimum

(= 1% luas dimensi kolom)

Tulangan

mm mm2 mm2

1 0 1750 1940 10.86%

2 1700 1750 1940 10.86%

3 3400 1750 1940 10.86%

4 0 1750 1940 10.86%

5 1500 1750 1940 10.86%

6 3000 1750 1940 10.86%

2. Kolom K2

Tabel 19. Hasil Analisa Kolom K2

No.

Hasil Analsia Program SAP Berdasarkan Data Pracetak Metode Konvensional Luas

Selisih Lokasi

Luas Tul. Minimum

(= 1% luas dimensi kolom)

Tulangan

mm mm2 mm2

1 0 1200 1340 11.67%

2 1700 1200 1340 11.67%

3 3400 1200 1340 11.67%

4 0 1200 1340 11.67%

5 1500 1200 1340 11.67%


(98)

4.3.2.2 Analisa Balok 1. Balok B1A

Tabel 20. Hasil Analisa Balok B1A

No.

Hasil Analisa Program SAP

Berdasarkan Data Persentase

Metode Konvensional Pracetak Selisih Luas Tulangan Lokasi

Luas Luas Luas Luas Metode Konvensinal Tul. Atas Tul. Bawah Tul. Atas Tul. Bawah dan Pracetak mm mm2 mm2 mm2 mm2 Tul. Atas Tul. Bawah 1 0 399.8852 276.7062 530.929 402.124 37.54% 69.80% 2 570 255.734 143.3914 530.929 402.124 165.26% 230.97% 3 1140 143.3914 144.75 530.929 402.124 336.98% 223.43% 4 1710 143.3914 300.7854 265.465 534.856 118.49% 95.05% 5 2280 143.3914 365.748 265.465 534.856 118.49% 53.62% 6 2850 143.3914 402.3806 265.465 534.856 118.49% 40.23% 7 3420 143.3914 374.9644 265.465 534.856 118.49% 51.36% 8 3990 143.3914 297.3802 265.465 534.856 118.49% 97.49% 9 4560 143.3914 165.7436 530.929 402.124 336.98% 207.89% 10 5130 187.384 143.3914 530.929 402.124 216.02% 230.97% 11 5700 383.5942 234.489 530.929 402.124 43.68% 86.85% Selisih Rata - rata 157.17% 126.15%

2. Balok B1B

Tabel 21. Hasil Analisa Balok B1B

No.

Hasil Analisa Program SAP

Berdasarkan Data Persentase

Metode Konvensional Pracetak Selisih Luas Tulangan Lokasi

Luas Luas Luas Luas Metode Konvensinal Tul. Atas Tul. Bawah Tul. Atas Tul. Bawah dan Pracetak mm mm2 mm2 mm2 mm2 Tul. Atas Tul. Bawah 1 0 329.528 163.303 530.929 402.124 61.12% 146.24% 2 493.75 160.669 81.295 530.929 402.124 230.45% 394.65% 3 987.5 81.295 81.295 265.465 402.124 226.55% 394.65% 4 1481.25 81.295 158.044 265.465 402.124 226.55% 154.44% 5 1975 81.295 224.874 265.465 402.124 226.55% 78.82% 6 1975 81.295 196.237 265.465 402.124 226.55% 104.92% 7 2508.33 81.295 118.971 265.465 402.124 226.55% 238.00%


(99)

8 3041.67 81.295 81.295 530.929 402.124 553.09% 394.65% 9 3575 224.904 111.775 530.929 402.124 136.07% 259.76% Selisih Rata - rata 234.83% 240.68%

3. Balok B1C

Tabel 22. Hasil Analisa Balok B1C

No.

Hasil Analisa Program SAP

Berdasarkan Data Persentase

Metode Konvensional Pracetak Selisih Luas Tulangan Lokasi

Luas Luas Luas Luas Metode Konvensinal Tul. Atas Tul. Bawah Tul. Atas Tul. Bawah dan Pracetak mm mm2 mm2 mm2 mm2 Tul. Atas Tul. Bawah 1 0 346.65 171.706 1134.115 402.124 227.16% 134.19% 2 606.25 112.238 85.46 1134.115 402.124 910.46% 370.54% 3 1212.5 85.46 163.006 265.465 534.856 210.63% 228.12% 4 1818.75 85.46 294.045 265.465 534.856 210.63% 81.90% 5 2425 85.46 369.113 265.465 534.856 210.63% 44.90% 6 3031.25 85.46 225.369 265.465 534.856 210.63% 137.32% 7 3637.5 85.46 128.663 265.465 534.856 210.63% 315.70% 8 4243.75 103.673 85.46 1134.115 402.124 993.93% 370.54% 9 4850 297.154 147.391 1134.115 402.124 281.66% 172.83% Selisih Rata - rata 385.15% 206.23% 4. Balok B1D

Tabel 23. Hasil Analisa Balok B1D

No.

Hasil Analisa Program SAP

Berdasarkan Data Persentase

Metode Konvensional Pracetak Selisih Luas Tulangan Lokasi

Luas Luas Luas Luas Metode Konvensinal Tul. Atas Tul. Bawah Tul. Atas Tul. Bawah dan Pracetak mm mm2 mm2 mm2 mm2 Tul. Atas Tul. Bawah 1 0 149.357 74.381 265.465 402.124 77.74% 440.63% 2 570 80.021 80.021 265.465 402.124 231.74% 402.52% 3 1140 80.021 80.021 265.465 402.124 231.74% 402.52% 4 1710 80.021 127.01 265.465 402.124 231.74% 216.61% 5 2280 80.021 158.884 265.465 402.124 231.74% 153.09% 6 2850 80.021 161.259 265.465 402.124 231.74% 149.37% 7 3420 80.021 134.114 265.465 402.124 231.74% 199.84%


(1)

78

Gambar 3. Grafik Perbandingan Harga Material dan Instalasi Kedua Metode

4.7.1 Perbandingan Harga Satuan Menurut Luas Bangunan Luas bangunan = 3766,426 m2

Harga satuan pracetak = Rp 2.377.327.600 / 3766,426 m2 = Rp 631.189 / m2 Harga satuan konvensional = Rp 1.841.298.900 / 3766,426 m2 = Rp 488.871 / m2

4.7.2 Perbandingan Harga Satuan Menurut Volume Pengecoran Total volume cor = 811,233 m3

Harga satuan pracetak = Rp 2.377.327.600 / 811,233 m3 = Rp 2.930.511 / m3 Harga satuan konvensional = Rp 1.841.298.900 / 811,233 m3 = Rp 2.269.753 / m3

4.7.3 Perbandingan Progress Pelaksanaan

Perbandingan antara metode pracetak dengan metode konvensional secara progress pelaksanaan dapat dilihat pada Tabel 91.

0 200000000 400000000 600000000 800000000 1000000000 1200000000 1400000000 1600000000 1800000000 2000000000

Material Instalasi

Rp.

Pracetak


(2)

(3)

Dari hasil table-tabel perbandingan di atas maka dapat dibuat analisa mengapa metode pracetak mempunyai biaya yang lebih besar dan durasi proyek yang lebih cepat dibandingkan dengan metode konvensional.

4.7.4.1 Analisa pracetak

1. Pada saat pekerjaan kolom dasar mencapai 50% maka artinya kolom lantai 2 telah mencapai 50%. Balok lantai 1 sudah mulai dikerjakan dan dipasang.

2. Pada saat kolom lantai 2 mencapai progress 66,72%, balok lantai 3 sudah mulai dikerjakan dan dipasang.

3. Pada saat balok lantai 3 mencapai 86%, kolom lantai 3 mulai dikerjakan dan dipasang.

4. Pada saat pekerjaan balok lantai 1 mencapai 37.94%, pekerjaan pelat mulai dipasang.

5. Tiap pekerjaan dapat dilakukan overlap. 6. Progress rata-rata tiap minggu 16,667% 4.7.4.2 Analisa konvensional

1. Pekerjaan balok lantai baru dapat dipasang setelah pekerjaan kolom lantai dasar selesai 100%.

2. Pekerjaan pengecoran pada balok dan pelat lantai dilakukan bersama-sama. Maka dari itu pekerjaan pengecoran balok menunggu sampai pekerjaan penulangan dan begisting pelat selesai 100%.

3. Pekerjaan kolom lantai 2 baru dapat dikerjakan setelah pekerjaan balok dan pelat lantai 1 selesai 100%.


(4)

129

4. Tiap pekerjaan saling menunggu satu sama lain. 5. Progress rata-rata tiap minggu 8,333%.

Dari analisa diatas dapat diambil kesimpulan bahwa metode pracetak lebih cepat 52,56% disebabkan pekerjaannya dapat dioverlap dari pekerjaan kolom dasar dioverlap dengan balok lantai 1, balok lantai 1 dengan pelat lantai 1 dan seterusnya sampai tingkat atas. Sedangkan pada metode konvensional pekerjaannya saling menunggu seperti pejerjaan balok dan pelat lantai dicor bersamaan, kemudian kolom lantai 1 menunggu pekerjaan balok dan pelat lantai 1 selesai dicor.

4.7.5 Rangkuman Perbandingan Analisa Biaya dan Waktu Pracetak dengan Konvensional

Tabel 92. Tabel Rangkuman Perbandingan Pracetak dengan Konvensional

No. Pracetak Konvensional

1. Kecepatan Kecepatan konstruksi lebih cepat 52,56% karena tahapan pelaksanaan yang dapat dioverlap.

Kecepatan konstruksi lebih lambat karena tahapan pelaksanaan yang panjang yaitu: bekisting,

penulangan, pengecoran, bongkar bekisting,

pemeliharaan beton, serta pelaksanaannya saling menunggu.

2. Biaya Pracetak lebih tinggi biayanya 22,55% karena memakai alat berat.

Konvensional lebih rendah karena kebanyakan


(5)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari kedua metode yaitu:

1. Berdasarkan hasil analisis struktur, dapat disimpulkan penulangan struktur kolom dan balok Gedung RUSUNAWA UNILA yang menggunakan metode konstruksi pracetak ini berada di atas batas minimum yang diijinkan berdasarkan analisa program SAP untuk metode konvensional. Pada kolom baik kolom tipe K1 maupun K2 selisih luas tulangannya sama untuk semua bentang yaitu 10,86 % untuk balok tipe K1 dan 11,67 % untuk tipe K2, sedangkan selisih penulangan pada balok memiliki nilai yang beragam dengan nilai rata-rata terkecil adalah 28,32% pada tulangan bawah balok tipe B1E dan nilai rata-rata terbesar adalah 478,58% pada tulangan atas balok tipe B3.

2. Hasil yang didapat dari analisis biaya dan waktu untuk bangunan RUSUNAWA UNILA ini, yaitu:

Analisis Biaya Analisis Waktu

Metode Konvensional

Total Biaya Rp.1.841.298.900

Pekerjaan selesai dalam waktu 78 hari

Metode Pracetak

Total Biaya Rp.2.377.327.600

Pekerjaan selesai dalam waktu 37 hari

Kesimpulan

Biaya konstruksi metode konvensional lebih rendah 22,55 % dari metode pracetak.

Bangunan metode pracetak lebih cepat selesai 52,56% dari metode konvensional.


(6)

131

3. Untuk bangunan dengan luas 3766,426m2 dan volume cor 811,233 m3 a. Harga satuan konvensional Rp 488.871 / m2 atau Rp 2.269.753 / m3 b. Harga satuan pracetak Rp 631.189 / m2 atau Rp 2.930.511 / m3

4. Pemakaian metode pracetak dapat dipertimbangkan untuk hal-hal sebagai berikut:

a. Adanya tuntutan dari segi pelaksanaan yang lebih cepat.

b. Konsekuensi dengan menggunakan pracetak, biaya konstruksi menjadi relatif lebih tinggi.

c. Adanya tuntutan bentuk struktur bangunan yang simetris dan tipikal.

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat penulis berikan berdasarkan hasil analisa kedua metode diantaranya adalah:

1. Sistem konstruksi pracetak akan lebif efektif bila digunakan untuk proyek bangunan yang dibutuhkan untuk bisa beroperasi dengan waktu secepat mungkin.

2. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang detail penyambungan antar kolom, antar balok, kolom dengan balok dan pelat dengan balok agar perbedaan kekuatan struktur bangunan hasil metode konstruksi pracetak dengan metode konvensional dapat diketahui lebih jelas lagi.

3. Badan Standarisasi Nasional Indonesia perlu menerbitkan peraturan yang khusus membahas tentang sistem konstruksi pracetak agar para pelaku konstruksi tidak mengalami kebingungan ketika akan merencanakan dan melaksanakan sistem konstruksi pracetak.