B. Metode Maudhu’i
Salah satu pesan Ali bin Abi Thalib adalah ”Ajaklah Al Qur’an berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara lain mengharuskan penafsir merujuk pada Al
Qur’an dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini,lahir metode maudu’iy dimana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al Q ur’an dari berbagai surat yang berkaitan
dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya.Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kestuan yang utuh.
Adanya metode penafsiran dengan cara tematik tersebut,menurut Quraish Shihab, berasal dari Mahmud Syaltut. Dalam hubungan ini, Quraish Shihab mengatakan bahwa bulan Juli
1960, Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir berjudul Tafsir Al Q ur’an Al Karim, dalam bentuk pennyerapan ide yang dikemukaan oleh Asy-Syatibi w.1388M yaitu bahwa setiap
surat, walaupun masalah yang dikemukakan berbeda,ada sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda tersebut.Berdasarkan ide Asy Syabiti
tersebut. Syaltut tidak ingin menafsirkan ayat demi ayat,tetapi membahas surat demi surat,atu bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang
terdapat dalam satu surat tersebut.
Namun,menurut Quraish Shihab,apa yang ditempuh oleh Syaltut belu menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al Q ur’an dipaparkan dalam bentuk menyeluruh,karena
seperti dikemukakan di atas bahwasatu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat.Atas dasar ini, timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah
tertentu,kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di kembangkan lebih lanjut di Mesir oleh Sayyid Al- Kumiy pada akhir
tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode maudhu’iy gaya Syaltut.
35
Berdasarkan data tersebut, Quraish Shihab sampai pada kesimpulan bahwa metode maudhu’iy mempunyai dua pengertian:
1. Penaafsiran menyangkut satu surat dalam Al Qur’an dengan menjelaskan tujuan- tujuannya secara umum dan merupakan tema sentralnya, serta menghubngkan
persoalan-persoalan yang beragam dalam surat tersebut antara yang satu dengan yang lainnya dan dengan tema tersebut,sehingga satu surat tersebut dengan berbagai
masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan
2. Penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al Q ur’an dan yang sedapat mungkin
diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut guna menarik petunjuk Al Qur’an secarautuh tentang masalah
yang di bahas itu.
Berbagai metode penafsiran Al Qur’an trsebut bagi Quraish Shihab bukan sekedr teori atau pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang dimiliki para pakar, tetapi
telah di raktikkannya dalam kegiatan menafsirkan Al Qur’an. Ia misalnya menulis buku Mahkot Tuntunan Illahi yang isinya adalah tafsir surat l Fatihah. Bukunya yang lain
seperti Membumikan Al Qur’an dan Wawasan Al Qur’an yang diterbitkan oleh Mizan di tahun 90-an berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan
menggunakan metode tematik.
36
C. Metode Ijmali Metode
ijmali global ialah metode yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup global. Metode ini mengulas setiap ayat al-
Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada
pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Dalam metode ini, seorang mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-
Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang
berpengetahuan luas.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekadar
ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang
dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode
ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang
singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan ayat yang
ditafsirkan.
Ciri Metode Ijmali
Perbedaan utama antara metode ijmali dengan metode tahlili, muqaran, ataupun
mawdui adalah terletak pada: 1 cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang
mufassir langsug menafsirkan ayat al-Quran dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, 2
mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, 3
mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun
tidak pada wilayah analitis.
Keistimewan dan Kelemahan Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan
dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Kelebihan pada metode
ijmali, terletak pada: 1 proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum, 2 terhindar dari upaya-upaya penafsiran
yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat
tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan unsur-unsur lain, dan 3 bahasanya
yang akrab dengan bahasa al-Quran. Adapun kekurangan metode
ijmali adalah: 1 menjadikan petunjuk Al-Quran bersifat parsial, 2 tidak ada ruang untuk analisis yang memadai.
8
Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode
ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh
pekerjannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat.
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk
dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah
ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami
kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup. Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan metode
ijmali adalah; Kitab Tafsir Al- Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasit, terbitan
Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman al- Mirghani, dan Tafsir li al-Imam al-Jalalayn, karya bersama Jalaluddin al-Mahalli
dan
Jalaluddin Al-Suyuti. Karena kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode
ijmali, maka paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode
ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang banyak diminati, terutama oleh para
mufassir kontemporer.
D. Metode Muqarran