SUMBER AJARAN AGAMA ISLAM (1)

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
As-Sunnah merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam praktik atau
penerapan ajaran islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa
pribadi Nabi saw, merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan
untuk manusia, serta ajaran islam yang dijabarkan dalam kehidupan seharihari. Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran islam selain didasarkan
pada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis juga didasarkan kepada
pendapat kesepakatan para sahabat. Kedudukan Sunnah sebagai sumber
hukum kedua setelah alquran disebabkan beberapa alasan. Salah satunya
karena Al-Qur’an diturunkan secara global, sehingga kedudukan Sunnah
terhadap Al-Qur’an sebagai penguat, penjelas dan penetapan hukum baru
yang belum ada dalam alquran.
Kita sebagai muslim harus mengamalkan Sunnah sesuai seperti yang
telah dilaksanakan oleh para sahabat dan tabi’in. Tapi di zaman sekarang
banyak orang muslim yang meragukan keotentikan Sunnah dan enggan
mengamalkan Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam. Tapi menggunakan
Sunnah sebagai sumber hukum islam kita juga jangan berlebih-lebihan
dalam mengamalkannya. Kita harus beramal dengan Sunnah sesuai dengan
yang telah dianjurkan oleh AL-Qur’an. Dan dalam mendudukan Sunnah kita
harus faham betul ajaran Islam.


1.2 Rumusan Masalah
a. Apa definisi As-Sunnah?
b. Apa hubungan antara As-Sunnah dengan Al-Qur’an?
c. Bagaimana sejarah singkat perkembangan dan seleksi Hadits?

1.3 Tujuan
a.
b.
c.
d.

Memahami definisi As-Sunnah secara bahasa dan syariat.
Memahami bahwa As-Sunnah dan Al-Qur’an itu saling berkaitan.
Mengetahui sejarah singkat perkembangan dan seleksi hadits.
Mengamalkan As-Sunnah sesuai dengan yang telah dianjurkan dalam Al-Qur’an pada
kehidupan sehari-hari.

1


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi As-Sunnah
A. Definisi As-Sunnah
Menurut bahasa (Arab), kata As-Sunnah berasal dari kata-kata “sanna-yasinnuwayasunnu-sannaa” yaitu yang disunnahkan. As-sunnah juga mempunyai arti ‫ ال ط قطرريققة‬yang
berarti metode, kebiasaan, perjalanan hidup, atau perilaku, baik terpuji maupun tercela. Dalam
sebuah hadits disebutkan, bahwa Rasulullah saw bersabda :
"Barangsiapa melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka selain memperoleh pahala bagi
dirinya, juga mendapat tambahan pahala dari orang yang mengamalkan sesudahnya, dengan
tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barang siapa melakukan sunnah yang jelek
dalam Islam, maka selain memperoleh dosa bagi dirinya, juga mendapat tambahan dosa dari
orang yang melakukan sesudahnya dengan tanpa mengurangi sedkitpun dosa mereka." (HR
Muslim).
Adapun menurut istilah As-Sunnah ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan),
sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyariatan) bagi ummat
Islam.
Adapun sunnah itu sendiri, terbagi menjadi empat definisi:
Pertama

Sesungguhnya, segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Kitab (Al-Quran ) dan As-Sunnah
(hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dia merupakan sebuah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di antara contoh definisi ini adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

((‫عين سسن طقرتيي قفل قي يقس رم رن طيي‬
‫ب ق‬
‫))قمين قررغ ق‬
“Barangsiapa yang menolak sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)

2

Kedua
Sunnah yang bermakna “al-hadits”. Hal tersebut jika digandengkan dengan “Al-Kitab”.
Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ق‬
(( ‫ب اللره قوسسن طققة ن قرب ري طره‬
‫ت رفييك سيم قما رإرن ا ي‬

‫قيا أ قي طسقها ال طقناسس ققيد تققرك ي س‬
‫ ركقتا ق‬:‫عتققصيمتسيم ربره قفل قين تقرضل طسيوا أبقددا‬
‫عل قي يره قوقسل ط ققم‬
‫))قص ط قلى اللسه ق‬
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang jika kalian
berpegang teguh dengannya maka kalian kalian tidak akan tersesat selamanya: (yaitu) Kitabullah
dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

((‫ب اللره قوسسن طقرتيي‬
‫))رإ رن طيي ققيد تققرك ي س‬
‫ ركقتا ق‬:‫ت رفييك سيم قشي يئقي يرن ل قين تقرضل طسيوا بقيعقدسهقما‬
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua hal bagi kalian sehingga kalian tidak akan tersesat
selamanya setelah berpegang teguh dengan kedua hal tersebut: (yaitu) Kitabullah dan sunnahku.”
Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak beliau (I/93).
Di antara bentuk kata “sunnah” yang bermakna “al-hadits” adalah perkataan sebagian
ulama dalam menyebutkan beberapa permasalahan, “Dan ini adalah sebuah permasalahan yang
berdasarkan dalil Al-Kitab, as-sunnah, dan ijma’ para ulama.”
Ketiga
Sunnah pun dapat didefinisikan sebagai lawan dari bid’ah. Di antara contoh

penggunaannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Irbadh bin
Sariyah,

(( ‫خل ققفارء‬
‫ قفقعل قي يك سيم ربسسن طقرتيي قوسسن طقرة ال ي س‬،‫قفرإن ط قسه قمين ي قرعيش رمن يك سيم قفقسي ققرى ايخرتل قدفا ك قرثي يدرا‬
‫حقدقثارت ا يل سسميورر؛‬
‫ قو رإ طقياك سيم قوسم ي‬،‫عل قي يقها ربان ط ققوارجرذ‬
‫ع طسضيوا ق‬
‫ تققم طقسك سيوا ربقها قو ق‬،‫ال يقميهرد ري طي يقن ال طقرارشردي يقن‬
‫عةة قضل قل قةة‬
‫ قوك س طقل ربيد ق‬،‫عةة‬
‫حقدث قةة ربيد ق‬
‫))قفرإ طقن ك س طقل سم ي‬

3

“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang tetap hidup (setelah kematianku –pen), niscaya
akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka, berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan
sunnah khulafa’ur rasyidin yang memperoleh petunjuk dan berilmu. Gigitlah sunnah tersebut
dengan gigi geraham kalian, serta berhati-hatilah terhadap perkara-perkara baru yang dibuatbuat. Sungguh, setiap perkara baru yang dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat!”

(Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud [4607] -–lafal hadits ini adalah milik beliau–, dikeluarkan
pula oleh At-Tirmidzi [2676] dan Ibnu Majah [43—44]; At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan
shahih”)
Di antara contoh penerapan istilah “sunnah” yang bermakna “lawan dari bid’ah” adalah
sebagian ulama hadits zaman dahulu yang menyebut buku-buku karya mereka dalam bidang
akidah dengan nama “As-Sunnah”, semisal As-Sunnah karya Muhammad bin Nashir AlMarwazii, As-Sunnah karya Ibnu Abii ‘Aashim, As-Sunnah karya Al-Laalikaa`i, dan selainnya.
Dalam kitab Sunan karya Abu Daud pun terdapat bab berjudul “As-Sunnah” yang memuat
banyak hadits tentang akidah.
Keempat
Sunnah pun dapat bermakna “mandub” dan “mustahab”, yaitu segala sesuatu yang
diperintahkan dalam bentuk anjuran, bukan dalam bentuk pewajiban. Definisi ini digunakan oleh
para ahli fikih. Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

((‫عقلى أ س طقمرتيي ل قأ ققميرتسسهيم ربالرطسقوارك رعن يقد ك س ط رل قصل قةة‬
‫))ل قيول ق أ قين أ قسش طقق ق‬
“Seandainya bukan karena takut memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka
untuk melakukan siwak setiap hendak melaksanakan shalat.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
[887] dan Muslim [252])
Sesungguhnya perintah untuk bersiwak berada pada derajat anjuran, dan hal tersebut
semata-mata karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir akan memberatkan umat

beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menetapkannya sebagai sebuah kewajiban.

B. Macam-Macam As-Sunnah
Dari definisi sunnah yang telah dijelaskan, dilihat dari bentuknya para Ushul Fiqih
membagi Sunnah sebanyak tiga macam, yaitu:
1. Sunnah Qauliyyah atau sunnah yang berupa perkataan adalah hadis yang memuat ucapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu contohnya ialah hadis yang
diriwayatkan Umar bin Khathtab radhiyallahu ‘anhu. Dia menceritakan bahwa ia
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

4

‫عقماسل ربال رن ط ط قيا ر‬
‫ت قورإن طققما لرك س ط رل ايمررةئ قما ن ققوى‬
‫رإن طققما ال يأ ق ي‬
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan setiap orang akan memperoleh sesuai
dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

2.


Sunnah Fi’liyyah atau sunnah yang berupa perbuatan yaitu seorang sahabat menukilkan
kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat seperti ini dan seperti
itu, meninggalkan ini dan itu, dan berbagai aktivitas yang lain.
Di antara sunnah fi’liyyah lainnya adalah apa yang bersumber dari Rasulullah berupa
perbuatannya yang menjelaskan tentang salat, zakat, puasa, haji, dan selainnya. Hal ini
pun termasuk sunnah fi’liyyah. Sebagai contoh dalam shalat hendaklah dengan thaharah,
Nabi saw bersabda :

“ Rasulullah saw bersabda : Allah tidak akan menerima shalat yang tidak dengan
bersuci”. (HR. Muslim)

3. Sunnah Taqririyyah adalah ketika seseorang sahabat misalnya menceritakan atau
mengerjakan suatu perbuatan di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau pada
masa beliau saat wahyu masih turun, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau
wahyu menetapkannya, tanpa diingkari maupun diubah. Inilah taqrir menurut syariat di
untuk suatu perbuatan. Sebagai contoh :

‫لقا ل‬
‫ ليا‬:‫ح‬
‫ل ب‬

‫ه ع لل لي يهب ول ل‬
‫سل ن ل‬
‫صنلى الل ن ه‬
‫صل لةب ال ي‬
‫عن يد ل ل‬
‫ي ل‬
‫م ل بب بل ل ل‬
‫ل الن نب ب ي‬
‫صب ي ب‬
‫ل‬
‫ب بل ل ه‬
‫ت‬
‫س ب‬
‫ل عل ب‬
‫حد دث يبني ب بأير ل‬
‫ل! ل‬
‫سل لم ب فلإ بدني ل‬
‫ه بفي ا يل ب ي‬
‫معي ه‬
‫مل يت ل ه‬

‫جى ع ل ل‬
‫م ل‬
‫ل‬
‫ف ن لعيل لي ي ل‬
‫ لقا ل‬،‫ة‬
‫جى‬
‫دل ن‬
‫ما ع ل ب‬
‫جن ن ب‬
‫مل ل أير ل‬
‫ن ي لد لين بفي ال ي ل‬
‫ت عل ل‬
‫مل ي ه‬
‫ ل‬:‫ل‬
‫ك ب لي ي ل‬
‫عندي أ لني ل ل ل‬
‫ل أ لوي ن للهارل إ بل ن‬
‫ساع لةل ب‬
‫ب ي ب ي د‬
‫ورا ل بفي ل‬

‫ي‬
‫ن ل لي ي ل‬
‫م ي‬
‫م أت لط لهنير ط ههه ي‬
‫ك الط يهور ما ك هت بب بلي أ ل ه‬
‫ت ب بذ لل ب ل‬
‫ي‬
‫ي‬
‫ل‬
‫ه ي ب ل‬
‫صل ني ي ه‬
‫نأ ل‬
‫ ل‬.
‫صل د ل‬
“Nabi Shalkallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh,
‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan
dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia

5

menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’
siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang
dapat aku laksanakan.”
4.

Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak
sampai dikerjakan



Ditinjau dari segi jumlah orang-orang yang menyampaikannya, yaitu :

1. Mutawir, yaitu yang diriwayatkan oleh orang banyak
2. Masyhur, diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi tidak sampai (jumlahnya) kepada derajat
mutawir
3. Ahad, yang diriwayatkan oleh satu orang.


Ditinjau dari kualitasnya, yaitu :

1. Shahih, yaitu hadits yang sehat, benar, dan sah
2. Hasan, yaitu hadits yang baik, memenuhi syarat shahih, tetapi dari segi hafalan
pembawaannya yang kurang baik.
3. Dhaif, yaitu hadits yang lemah
4. Maudhu’, yaitu hadits yang palsu.


Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya

1. Maqbul, yang diterima.
2. Mardud, yang ditolak.

2.2 Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
Semua umat Islam telah mensepakati bahwa apa saja yang datang
dari Rasulullah, baik ucapan, perbuatan atau taqrir, membentuk suatu
hukum atau tuntunan yang disampaikan kepada kita dengan sanad (jalan)
yang shahih dan mendatangkan qath’i atau zhanni. As-Sunnah sendiri
berfungsi untuk memperjelas makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Dengan kata lain, hukum-hukum yang ada pada As-Sunnah adalah hukumhukum yang ada pada Al-Qur’an.

6

A. Bukti atas Kehujjahan As-Sunnah
Bukti atas kehujjahan (pegangan) As-Sunnah dapat dibuktikan sebagai
berikut:
Pertama: Dalil-dalil Al-Qur’an. Allah dalam beberapa ayat telah
memerintahkan untuk menaati Rasul-Nya dan menjadikan ketaatan kepada
Rasul-Nya sebagai suatu ketaatan kepada Allah, juga memerintahkan kaum
muslimin untuk mengembalikan semua kepada Allah dan Rasul-Nya apabila
terdapat pertentangan. Dan ayat-ayat ini mempunyai banyak jenis, dan terkadang ayat
yang satu mengandung lebih dari satu jenis atau macam. Berikut ini kami sebutkan 5 jenis ayatayat Al Qur’an tersebut :
1. Yang menunjukkan wajibnya beriman kepada Nabi Muhammad SAW

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah Ta’ala turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
Ta’ala turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah Ta’ala, malaikatmalaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (Q.S.An Nisaa:136). Juga Firman Allah Ta’ala :

" Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama) Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi
dan petang" (QS.Al Fath:8-9)
2. Yang menunjukkan bahwa Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan isi
kandungan Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

7

"… keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al
Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan” ( Q.S. An Nahl:44)
3. Yang menunjukkan wajibnya taat kepada Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam secara
mutlak dan ketaatan kepadanya merupakan perwujudan ketaatan kepada Allah Ta’ala
serta ancaman bagi yang menyelisihi dan mengubah sunnahnya. Firman Allah Ta’ala :

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah
Ta’ala sangat keras hukuman-Nya”. (QS.Al Hasyr:7) Juga Allah Ta’ala berfirman:

"Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah Ta’ala.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka."(QS.An Nisaa;80)
4. Yang menunjukkan wajibnya mengikuti serta beruswah kepada beliau r dan mengikuti
sunnahnya merupakan syarat untuk meraih mahabbatullah. Firman Allah Ta’ala :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Ta’ala dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah Ta’ala.” (Q.S. 33:21) Firman Allah Ta’ala :

8

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah Ta’ala, ikutilah aku, niscaya
Allah Ta’ala mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Ta’ala Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”(QS.Ali Imron:31)
5. Yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala U memerintahkan kepada beliau r untuk
mengikuti firman-Nya dan menyampaikan seluruh wahyu serta penegasan bahwa beliau
telah melaksanakan perintah tersebut dengan baik . Allah Ta’ala berfirman:

“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah Ta’ala dan janganlah kamu menuruti (keinginan)
orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana, dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhanmu
kepadamu. Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(QS.Al Ahzab:1-2). Juga Firman Allah Ta’ala :

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah Ta’ala memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
Ta’ala tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS.Al Maaidah:67)
Kedua : Al-Hadits. Sebagaimana Al Qur’an, dalam Al Hadits juga sangat banyak
memuat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As Sunnah merupakan hujjah. Dalil-dalil tersebut
bisa diklasifikasikan menjadi 3 jenis :
1. Kabar yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan bahwa beliau diberikan wahyu
dan apa yang beliau sampaikan merupakan syari’at Allah Ta’ala, karenanya
mengamalkan As Sunnah berarti mengamalkan Al Qur’an. Dan Iman tidak akan
sempurna kecuali setelah mengikuti sunnahnya dan tidak ada yang bersumber dari beliau
kecuali baik dan benar. Seperti tertera dalam Hadits sebagai berikut :

9

a. Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib t dari Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “ Ketahuilah sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al Kitab (Al Qur’an)
dan yang semisal dengannya (As Sunnah), ketahuilah akan datang seorang laki-laki
yang kekenyangan di atas sofanya dan berkata :”Hendaknya kalian berpegang teguh
pada Al Qur’an ini, apa yang kalian dapati di dalamnya tentang kehalalannya maka
halalkan, dan apa yang kalian dapati tentang keharamannya maka haramkan.”
b. “Dari Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwasanya Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa
sallam bersabda :” Barangsiapa yang taat kepadaku sungguh ia telah taat kepada
Allah Ta’ala dan siapa yang bermaksiat kepadaku sungguh dia telah bermaksiat
kepada Allah Ta’ala…”
c. ” Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Para sahabat) bertanya,
“Siapa mereka itu yang enggan wahai Rosulullah” ? Beliau bersabda : “Barangsiapa
yang menaatiku maka dia akan masuk surga dan siapa yang mendurhakaiku maka
dialah yang enggan masuk surga .“
d. Dan lain-lain
2. Perintah beliau untuk memegang teguh sunnahnya dan larangan beliau hanya mengambil
dan mengamalkan Al Qur’an tanpa As Sunnah dan mengikuti hawa nafsu serta hanya
menggunakan logika belaka. Sperti tertera dalam Hadits sebagai berikut :
a. Dari ‘Irbadh bin Sariyah t bahwasanya Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam
bersabda :” Saya berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dan
untuk mendengar serta taat (kepada pemimpin), walaupun (yang memerintah kalian)
seorang hamba yang bersal dari Habasyah(Ethiopia), karena sesungguhnya siapa yang
hidup diantara kalian sesudahku maka dia akan melihat ikhtilaf (perselisihan) yang
banyak, maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para
khulafaur rosyidin, pegangilah sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham
kalian, dan jauhilah seluruh perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya segala
yang baru itu bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.”
b. Dari Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam
bersabda:” Tinggalkanlah apa yang aku tinggalkan, karena sesungguhnya yang
membinasakan orang sebelum kalian adalah pertanyaan mereka dan kedurhakaan
mereka terhadap nabi-nabi mereka, maka jika aku melarang sesuatu maka
tinggalkanlah dan jika aku memerintah kalian sesuatu maka laksankanlah
sekemampuan kalian.”
c. Dan lain-lain.

10

3. Perintah beliau untuk mendengarkan haditsnya, menghafalkannya, dan
menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya dan beliau menjanjikan bagi yang
menyampaikannya berupa pahala yang sangat besar. Seperti tertera dalam Hadits sebagai
berikut :
a. Dari Abdullah bin Mas’ud t berkata: Saya telah mendengar Nabi Shallallhu ‘alaihi
wa sallam bersabda:” Semoga Allah Ta’ala menjadikan berseri-seri wajah seseorang
yang mendengarkan sesuatu dari kami kemudian dia menyampaikannya sebagaimana
yang dia dengarkan. Boleh jadi yang disampaikan lebih memahami dari yang
mendengar (langsung). “
b. Dari Abu Bakrah t dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:”… Perhatikanlah,
hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, sebab boleh jadi
sebagian orang yang disampaikan lebih paham dari orang yang (langsung)
mendengar”
c. Dan lain-lain.
Ketiga: Ijma’ (kesepakatan) para sahabat, baik pada masa hidup
Rasulullah SAW maupun sesudah wafatnya, terhadap kewajiban mengikuti
sunnahnya. Pada masa hidup Nabi, mereka melaksanakan hukum-hukum,
menjalankan segala perintah dan menjauhi laranganya. Alasan Ijma’ dapat
menjadi hujjah adalah berdasarkan Firman Allah dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Di antaranya :
1. Firman Allah Swt :

“Wahai orang-orang yang beriman patuhilah Allah, Rasulullah dan orang-orang yang
memerintahkan di antara kamu.” (QS An-Nisa: 59)
2. Rasulullah Saw bersabda :
“Umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan.”
Kehujjahan As-Sunnah diatas juga memberikan indikasi bahwa
terdapat hubungan harmonis dengan Al-Qur’an. Maka posisi as-Sunnah

11

sebagai pengiring atau sebagai urutan kedua setelah Al-Qur’an, yakni
sebagai rujukan mujtahid (orang yang berijtihad) dalam menentukan hukum
jika memang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.
B. Hubungan antara As-Sunnah dengan Al-Qur’an
Berikut ini beberapa fungsi atau hubungan antara As-Sunnah dengan Al-Qur’an :
1. As-Sunnah sebagai Penguat Hukum di dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu
dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur-an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan
larangan. Ada perintah mentauhidkan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, mendirikan
shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu
dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, serta banyak lagi yang lainnya.
Sebagai contoh perintah mewajibkan shalat bagi orang yang bertaqwa. Firman Allah Swt
sebagai berikut :

“ Dan laksanakan lah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan
untuk dirimu, kamu akan mendapatkan (pahala) di sisi Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. ” (QS Al-Baqarah : 110)
Dan disandingkan pula dengan sabda Rasulullah Saw :

“Islam ialah bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mengerjakan shalat
5 waktu, memberi zakat, melakukan puasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah Haji bila
mampu diperjaalanannya.” (HR Muslim dari Umar Bin Khatab)
2. As-Sunnah sebagai Penafsir atau Pemerinci Ayat Al-Qur’an
As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal
dalam Al-Qur-an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dan ayat-ayat Al-Qur-an

12

yang muthlaq dan 'aam (umum). Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah
itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur-an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur-an dengan firman-Nya :

"Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an,
agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl: 44]
Di antara contoh As-Sunnah mentakhshish Al-Qur-an adalah:

“Allah berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu, bagi laki-laki bagiannya sama dengan
dua orang perempuan...” [An-Nisaa’: 11]
Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah sebagai berikut:


Para Nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka
tinggalkan adalah sebagai shadaqah,



Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya, dan



Pembunuh tidak mewariskan apa-apa.

As-Sunnah mentaqyid kemutlakan al-Qur-an:

“Pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong kedua tangannya...” [Al-Maa-idah: 38]
Ayat ini tidak menjelaskan sampai di manakah batas tangan yang akan dipotong. Maka dari asSunnahlah didapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan.
As-Sunnah sebagai bayan dari mujmal Al-Qur-an:


Menjelaskan tentang cara shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”

13



Menjelaskan tentang cara ibadah haji Nabi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda:

Shallallahu

'alaihi

wa

sallam.

“Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu sekalian.”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah karena masih
mujmal.

3. As-Sunnah sebagai Pembentuk Hukum
Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam AlQur-an. Di antara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya memakan daging keledai negeri,
daging binatang buas yang mempunyai taring, burung yang mempunyai kuku tajam, juga tentang
haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan
dalam hadits-hadits yang shahih.
Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur-an dengan As-Sunnah
selama-lamanya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah disunnahkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan
hukum Allah juga. Sebagaimana Allahmengabarkan kepada kita dalam firman-Nya:

“...Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan
Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah,
bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [Asy-Syura: 52-53]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam telah menerangkan hukum yang terdapat dalam
Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam
Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah mewajibkan kepada kita untuk
mengikutinya. Allah menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan
barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang
demikian itu tidak boleh bagi seorang makhluk pun untuk melakukannya. Dan Allah tidak

14

memberikan kelonggaran kepada siapa pun untuk tidak mengikuti Sunnah-Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur-an, maka hal itu
merupakan tasyri’ dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang wajib bagi kita mentaatinya dan
tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah,
bahkan hal itu sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah agar kita mentaati Rasul-Nya.
Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada
Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai
dengan Al-Qur-an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di
dalam Al-Qur-an.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‘Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah...’” [An-Nisaa’: 80]

2.3 Sejarah Singkat Perkembangan Dan Seleksi Hadits

A. Modifikasi Hadits
1. Masa kodifiksai hadist
Kodifikasai atau tadwin hadist, artinya adalah pencatatan, penulisan atau pembukuan hadist.
Pencatatan telah dilakukan oleh para sahabat sejak zaman Rasulullah Saw. Akan tetapi yang
dimaksud dengan pembahasan disini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah
khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini. Bukan yang
dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang trjadi pada masamasa sebelumnya.
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan islam dipimpin oleh khalifah Umar bin AbdAziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayyah) yang berlangsung pada akhir abad
pertama, yaitu tahun 99 H. Melalui instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin
Hazm (gubernur madinah) dan para ulama madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan
hadist dari para penghafalannya. Diantara instruksinya kepada para ulama madinah ialah, yang
berbunyi.

15

“perhaitkanlah atau periksalah hadist-hadist Rasulullah SAW. Kemudian tuliskanlah! Aku
kahawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ahlinya. Menurut suatu riwayat
disebutkan, “meninggalnya para ulama, dan janganlah kamu terima kecuali hadist Rasulullah
SAW.”
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm (w.117 H) agar
mengumpulkan hadist-hadist yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al-Anshari (w. 98 H yang
dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadist daripada yang lainnya[2]).
Peranan para ulama ahli hadist, khususnya Az-zuhri ini, para ulama dimasanya memberikan
komentar, bahwa jika tanpa dia, diantara hadist-hadist niscaya sudah banyak yang hilang.
Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun hadist dalam jumlah yang menurut para ulama
kurang lengkap.
2. Latar Belakang Pemikiran munculnya usaha Kodifikasi Hadis
Ada tiga hal pokok mengapa kahlifah Umar bin Abd Al-Aziz mengambil kebijaksanaan
seperti ini.
a. Ia khawatir hilangnya hadist-hadist dengan meninggalnya para ulama dimedan perang.
Ini faktor yang utama, sebagaimana terlihat pada naskah surat-surat yang dikirimkan
kepada para ulama lainnya. Sebab, peranan para ulama pada saat ini juga saat-saat
sebelumnya, bukan hanya mengajarkan ilmu agama, melainkan juga turut ke medan
perang, atau bahkan mengambil peranan penting dalam suatu pertempuran. Para ulama
disetiap kota menyambut-nyambut melaksanakan sebaik-baiknya pembukuan hadist yang
dianjurkan khalifah kepada mereka. Mereka mengumpulkan berbagai hadist,
menyaringnya dan memisah-misahkan hadist yang shahih dan baik dari hadist yang tidak
baik. Pekerjaan ini dipandang sebagai suatu kebaikan, bahkan dipandang suatu perbuatan
wajib bagi orang-orang tertentu sebagai manifestasi tabligul ‘ilmi, menyampaika ilmuilmu.
b. Ia khawatir akan tercampurnya antara hadist-hadist yang shahih dengan hadist-hadist
yang palsu.
c. Bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan
tabi’in antara yang satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya
usaha kodifikasi ini.
Dengan melihat persoalan yang muncul, sebagai akibat terjadinya pergolakan politik yang
sudah cukup lama, dan mendesaknya kebutuhan untuk segera mengambil tindakan guna
penyelamatan hadist dari kemusnahan dan pemalsuan, maka Umar bin Abd al-Aziz sebagai
seorang khalifah yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masalah agama, terdorong untuk
mengambil tindakan ini.

16

Peranan Umar bin Abd al-Aziz dapat pula dikemukakan disini, bahwa ia selain terkenal
sebagai khalifah pelopor yang memberikan instruksi untuk membukukan hadist, secara pribadi ia
juga merupakan asset dan mengambil bagian dalam kegiatan ini. Menurut beberapa riwayat, ia
turut terlibat mendiskusikan hadist-hadist yang sedang dihimpun. Disamping itu, ia sendiri
memiliki beberapa tulisan tentang hadist-hadist yang diterimanya.
3. Pembukuan hadist pada kalangan Tabi’in dan tabi’at-tabi’in setelah Ibn Syihab Azzuhri
Diantara para ulama setelah Az-zuhri, ada ulama ahli hadist yang berhasil menyusun kitab
tadwin, yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (93-179 H) di
Madinah, dengan kitab hasil karyanya bernama al-muwaththa’. Kitab tersebut selesai disusun
pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab tadwin yang pertama.
Dari kenyataan diatas terlihat adanya garis pembeda antara karya-karya ulama sebelum azZuhri dengan karya-karya ulama setelahnya. Karya ulama setelah az-Zuhri, yang juga tidak lepas
dari peranan az-Zuhri sendiri, dapat mewariskan buah karyanya dan tetap terpelihara sampai
sekarang. Sedang karya ulama-ulama sebelumnya hanya sampai ditangan murid-muridnya, dan
tidak dapat diwariskan kepada generasi yang lebih jauh. Para pen-tadwin selain Malik bin Anas,
diantaranya ialah:


Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin juraij, wafat pada tahun 150 H di
Mekah.



Ma’mar bin Rasyid, wafat tahun 153 H di Yaman



Sa’id bin Abi ‘Rubah, wafat pada tahun 151 H.



Rabi’ bin Sabih wafat tahun 160 H



Hammad bin Abi Salamah, wafat tahun 176 H di Basrah.



Muhammad bin Ishaq wafat tahun 151 H.



Imam Malik bin Anas, wafat tahun 179 H di Madinah.



Abu Abdullah Sofyan as-sauri, wafat tahun 161 H di Kufah.



Abdullah bin Mubarok, wafat tahun 181 H di Khusasan



Hasyim bin Basyir, wafat tahun 188 H
o Al-Lais bin Sa’id, wafat tahun 175 H di Mesir.

17

o Abu Amr Abdur Rahman al-Awza’I, wafat tahun 156 H di Syam
o Jarir bin Abdul Hamid, wafat tahun 188 H di Rei.
4.

Masa seleksi, penyempurnaan dan pengembangan sestem penyusunan kitab-kitab
hadist.
4.A Masa Seleksi Hadist

Yang dimaksud dengan masa seleksi atau penyaringan disini, ialah masa upaya para
mudawwin Hadist yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para ulama
sebelumnya yang telah berhasil melahirkan suatu kitab tadwin. Masa ini dimulai sekitar akhir
abad II atau awal abad III, atau ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas,
khususnya sejak masa al-Makmun sampai dengan akhir abad III atau abad IV, masa al-Muktadir.
Munculnya periode seleksi ini, karena pada periode sebelumnya yakni periode tadwin,
belum berhasil memisahkan beberapa hadist mauquf dan maqhtu’ dari hadist Marfu. Begitu pula
belum bisa memisahkan beberapa hadist yang dha’if dari yang shahih. Bahkan masih adanya
hadist yang maudhu’ tercampur pada hadist-hadist yang shahih.
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadist yang
diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama dimasa ini berhasil
memisahkan Hadist-hadist yang dha’if dari yang shahih dan hadist-hadist yang ma’uquf dan
yang maqtu’ dari yang marfu’, meskipun berdasarkan penelitian para ulama berikutnya masih
ditemukan tersisipkannya hadist-hadist yang dha’if pada kitab-kitab yang shahih.
4.B

Kitab-Kitab Induk Yang Enam (Al-Kutub As-Sittah)

Satu per satu kitab-kitab hasil seleksi ketat itu muncul pada masa ini. Ulama yang
pertama kali berhasil menyusun kitab tersebut ialah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin
Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, ysng terkenal dengan “Al-Bukhari” (194-252
H) dengan kitabnya al-jami’ ash-shahih. Setelah itu, muncul kemudian Abu Hasan Muslim bin
al-Hajjaj al-Kusairi an-Naisaburi, yang dikenal dengan “Muslim” (204-261 H) dengan kitabnya
yang juga disebut al-jami’ ash-shasih.
Menyusul kemudian Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ ats bin Ishaq al-Sijistani (202-275
H), Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmudzi (200-279 H), dan Abu Abdillah ibn Yazid
ibn Majah (207-273 H). hasil keempat ulama ini dikenal dengan kitab “as-Sunah” yang menurut
para ulama kualitasnya dibawah karya al-Bukhari dan Muslim.
Dengan dua kitab al-jami’ dan empat kitab as-sunah, maka kitab hasil tadwin dengan
metodologi yang sama, sampai disini berjumlah enam kitab, yang dijadikan induk, standard, atau

18

tempat merujuk kitab-kitab lain yang datang sesudahnya. Secara lengkap kitab-kitab yang enam
diatas, diurutkan sebagai berikut:


Al-Jami’ ash-Shahih susunan al-Bukahri



Al-Jami’ ash-Shahih susunan Muslim



As-sunan susunan Abu Daud



As-sunan susunan at-Tarmudzi



As-sunan susunan an-Nasa’i
o As-sunan susunan Ibn Majah

Menurut sebagian ulama aturan-aturan diatas menunjukkan urutan kualitas masing-masing,
sehingga penyebutannya menjadi baku. Namun menurut sebagian yang lainnya, tidak selalu
baku, sebab ada yang mempersoalkan apakah yang pertama itu adalah karya al-Bukhari atau
karya Muslim. Begitu juga halnya dengan urutan-urutan lainnya. Kemudian untuk urutan
keenam juga terdapat perbedaan pendapat, ada yang menempatkan Malik bin Anas dan ada yang
menempatkan ad-Darimi. Mayoritas ulama nampaknya mengikuti pendapat yang disebut
pertama.
4.C

Zaman Keemasan Pembukuan Hadist (200-300 H)

Pada periode ini muncul suatu langkah baru dalam pembukuan hadist yaitu membukukan
hadist Rasulullah semata. Ini berlangsung dipenghujung abad ke II Hijriah. Para penghimpun
hadist ini diantaranya ada yang menyusun kitab-kitab “Musnad” yaitu suatu sistem penyusunan
hadist, yang oleh penyusunnya dikelompokkan, masing-masing sahabat tersendiri, tanpa terikat
oleh kesuatuan masalah tertentu. Hadist-hadist tentang shalat ditempatkan berdampingan dengan
hadist-hadist zakat, dan bersama-sama dengan hadist jual beli umpamanya. Jadi, yang dijadikan
patokan dalam penyusunan menurut sistem ini adalah kelompok sahabat.
Sebagian penyusunan hadist dengan sistem ini mengklasifikasikan sahabat berdasarkan
kronologi keislamannya. Mereka menempatkan dalam urutan pertama sepuluh orang sahabat
yang mendapat jaminan masuk surga. Berikutnya adalah para peserta Badar, lalu para peserta
Hudaibiyah, kemudian disusul dengan sahabat yang masuk islam dan hijrah dalam pertengahan
kurun hudaibiyah dan penaklukan mekah. Selanjutnya mereka yang memeluk islam pada waktu
penaklukan mekah, sahabat yang berusia muda, kemudian para sahabat wanita yang
meriwayatkan hadist.

19

Ulama terbaik yang menyusun hadist dengan sistem ini pada masa itu adalah Imam besar
Ahmad bin Hanbal dalam kitab musnad-nya yang mashur. Pengarang lainnya, yang mengikuti
sistem musnad ini mengklasifikasikan sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan
sahabat yang huruf pertama namanya huruf “alif”, huruf “ba”, dan seterusnya.
Pada masa itu ulama terbaik yang menyusun berdasarkan cara demikian ialah Imam Abul
Qasim at-Tabrani (wafat 260 H) dalam kitabnya Al-Mu’jamul Kabir. Ulama lainnya yang juga
menyusun hadist dengan sisitem musnad ini adalah Ishaq bin Rahawaih (wafat 238 H), Usman
bin Abi Syaibah (wafat 239 H), Ya’qub ibn Abi Syaiubah (wafat 263 H), dan lain-lain.
Disamping itu, pada masa ini ada juga ulama yang menyusun kitabnya menurut
sistematika BAB fiqh dan sebagainya. Ia memulai penyusunannya dengan kitab shalat, zakat,
haji, lalu BAB gadaian dan seterusnya.
4.D Masa Pengembangan Dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-Kitab
Hadist
Peyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan
beberapa variasi pen-tadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan
beberapa saat dari munculnya kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ Malik bin Abas, dan al-Musnad
Ahmad ibn Hambal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab jawami
(mengumpulakn kitab-kitab hadist menjadi satu karya), kitab syarah (kitab komentar dan
uraian), kitab mukhtashar (kitab ringkasan), men-takhrij (mengkaji sanad dan mengembalikan
kepada sumbernya), menyusun kitab athraf (menyusun pangkal-pangkal suatu hadist sebagai
petunjuk kepada materi hadist secara keseluruhan), dan penyusunan kitab hadist untuk topiktopik tertentu.
Diantara usaha itu, ialah mengumpulkan isi kitab shahih al-Bukhari dan Muslim, seperti
yang dilakukan oleh Muhammad ibn Abdillah al-Jauzaqi dan ibn al-Furrat (w. 414 H).
Diantaranya juga yang mengumpulkan isi kitab yang enam, seperti ysng dilakukan oleh Abd alHaq ibn Abd ar-Rahman al-Asybili (terkenal dengan ibn al-Kharrat. W 583 H), al-Fairu azZabadi dan ibn al-Atsir al-Jazari. Ulama yang mengumpulkan kitab-kitab hadist mengenai
hukum diantaranya ialah ad-Daruquthni, al-Baihaqi, Ibn Daqiq al’Id. Ibn Hajar al-Asqalani, dan
Ibn Qudmah al-Maqdisi.
Masa perkembangan hadist yang disebut terakhir ini terbentang cukup panjang, dari
mulai abad keempat Hijriah terus berlangsung beberapa abad berikutnya.

B. Perkembangan Ilmu Hadits

20

Ilmu Hadits pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih
hidup. Akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat,
terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan
mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara
langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi
periwayatan hadits. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu
semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan
ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari
bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin
ilmu yang berdiri sendiri. Dan ilmu Hadits itu sendiri adalah Ilmu
pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai
kepada Rasul SAW.
Uraian berikut akan menitkberatkan sejarah pertumbuhan dan
perkembangan ilmu hadits menjadi tiga periodesasi yaitu awal lahirnya ilmu
hadits sampai pada masa sekarang. Berikut ini adalah sejarah singkatnya :
1.

Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang adalah
hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa
yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat
lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi
berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan
kodifikasi hadits.
Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa
generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau,
seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai
minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras
mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat
secara langsung. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat
yang kebe Ketigatulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa
yang mereka peroleh dari beliau.
Pada masa ini kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadits) yang menjadi cikal bakal
ilmu hadits terutama ilmu hadits dirayah dilakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila
seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Nabi
SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia
menerima dan mengamalkan hadits tersebut.
Pada masa Sahabat yang dimulai dari khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu
pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadits-hadits Nabi SAW.
Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarya adalah:

21

a.

Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’, maka
setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping al-Quran yang menjadi
dasar hukum umat Islam.
b. Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan
Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat
pelajaran.
Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a.
Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka
hafal benar lafazh dari Nabi.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya
karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami
pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat
berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
a.
Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer
dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
b. Menapis dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup
adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits
yang diragukan, para sahabat meminta saksi, keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
c.
Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum.
Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadits menyangkut sanad maupun matan
hadits semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah hadits,
seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang diikuti sahabat
sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu hadits yang disampaikan seseorang, kecuali yang
bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang
disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu
hadits, yaitu orang yang menyampaikan sebuah hadits harus bersedia disumpah atas kebenaran
riwayat yang dibawanya.
Perinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh
para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang
terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Mussab (15-94 H), Al-Hasan Al-bashri (21-110 H),
Amir bin Syurahbi Asy-sya’bi (17-104 H) dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Dalam catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil
menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad AlHasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, AlMuhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang
paling populer dan terlengkap, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh para
ulama-ulama berikutnya.

22

Kemudian muncul ulama-ulama muhaditsin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah (405
H), yang mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadits, yang isinya membagi ilmu hadits menjadi 50
macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H), yang menambah
beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian Al-Khathieb Al-Baghdad
(463 H), beliau mengarang beberapa macam kitab ilmu hadits, yang dijadikan rujukan oleh
ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan
periwayatan), beliau menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah
adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami’ li Adabibsy Syaikh was Sami’.
Setelah itu ada Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun kitab Al-Ilma’ yang pembahasannya
diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan ulama-ulama yang menyusun
ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman Ibnush Shalah Ad Dimasyqi
(642 H) dalam kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadits yang dajarkan kepada
murid-muridnya di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab ini dinadhamkan oleh ulamaulama berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri
dalam kitab Fathul Mughits dan oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama yang
mengikhtisarkan seperti An Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang diringkas dalam kitab AtTaqrib yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi
(911 H) dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Demikian perkembangan
ilmu hadits pada abad ini yang kemudian di sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang
datang belakangan.
2.

Masa Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis
oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnush Shalah yang paling
baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H),
yang kemudian disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al
Ba’atsul Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadits.
Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab kecil yang diringkasan namun termasuk ringkasan yang
paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya, serta telah disyarahkan oleh
penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad bin Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadits
dalam sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadits yang merupakan
syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi. Dan kitab Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi
karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria AlAnshari (925 H).

3.

Masa Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)
Perkembangan ilmu hadits abad demi abad terus mengalami perkembangan dan
penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadits dari ulama muhaditsin adalah AsySyaikh Thahir Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila Ilmi Usulil Atsar, salah
satu kitab yang mempunya nilai tinggi dalam ilmu hadits dan As-Sayid Jamaluddin Al-Qasimy

23

(1332 H) dengan kitabnya Qawaidut Tahdits fi Fununil Hadits, suatu kitab yang banyak
faedahnya dan sangat tertib susunannya.
Ulama kontemporer yang masih bergelut membahas dan mendalami ilmu hadits adalah Dr.
Mahmud At-Thahhan dalam karyanya yang berjudul Taisir Musthalah Al-Hadits.
Demikianlah perkembangan ilmu hadits yang mengalami kemajuan dari waktu kewaktu
untuk menjadi sebuah ilmu yang sempurna.

KESIMPULAN
As-Sunnah merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam praktik atau
penerapan ajaran islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa
pribadi Nabi saw, merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan
untuk manusia, serta ajaran islam yang dijabarkan dalam kehidupan seharihari. Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran islam selain didasar

Dokumen yang terkait

ALOKASI WAKTU KYAI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DI YAYASAN KYAI SYARIFUDDIN LUMAJANG (Working Hours of Moeslem Foundation Head In Improving The Quality Of Human Resources In Kyai Syarifuddin Foundation Lumajang)

1 46 7

ANALISIS KONTRIBUSI MARGIN GUNA MENENTUKAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PRODUK DALAM KONDISI KETIDAKPASTIAN PADA PT. SUMBER YALASAMUDRA DI MUNCAR BANYUWANGI

5 269 94

IDENTIFIKASI INSEKTA DI TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO SEBAGAI SUMBER BELAJAR BIOLOGI DALAM BENTUK BUKU SAKU

4 92 26

ANALISIS VALIDITAS BUTIR SOAL UJI PRESTASI BIDANG STUDI EKONOMI SMA TAHUN AJARAN 2011/2012 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN JEMBE

1 50 16

ENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING) PADA POKOK BAHASAN TEOREMA PYTHAGORAS KELAS VIIIE SMP NEGERI 1 BALUNG SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2011/2012

0 63 18

HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI PANGAN SUMBER PROTEIN, ZAT BESI, DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA SISWA SEKOLAH DASAR

0 36 22

PERKEMBANGAN YAYASAN PERGURUAN ISLAM DARUL HIKMAH DI JATILUHUR BEKASI 1997.2010

0 50 151

PENGARUH MINAT BACA, KETERSEDIAAN SUMBER BELAJAR, DAN DISIPLIN BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR EKONOMI SISWA KELAS X SEMESTER GANJIL SMA NEGERI 1 BANYUMAS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

1 13 79

PENGARUH MODELPROJECT BASED LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS KELAS VII DI SMP NEGERI 7BLAMBANGAN UMPU WAY KANAN TAHUN AJARAN 2014 / 2015

1 16 68

ANALISIS PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DANAU RAWA PENING KABUPATEN SEMARANG

9 68 121