PERAN BADAN HIPPUN PEMEKONAN (BHP) GADINGREJO TIMUR DALAM PENETAPAN PERATURAN PEKON TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA PEKON (APBPEKON) TAHUN 2014

(1)

ABSTRACT

THE ROLE VILLAGE CONSULTATIVE BODY (BHP) IN THE EAST GADINGREJO VILLAGE IN DETERMINATION OF REGULATION

ON BUDGETVILLAGE (APBPEKON) 2014

By

AGUS PRIYADI

Village Consultative Body (BHP) is one of the elements of village governance. As a vehicle of democracy at the village level, BHP has a legislative function to set the village Regulation. BHP role in determining of the village regulations are digging, accommodating, gather, formulate and convey the aspirations of society; discuss and formulate the village regulation designing with the leader of village; to establish the village regulation with the leader of village. The process of establishing the village regulation, BHP is required to play an active role at every step from the formulation until the establishment of village regulations.

The purpose of this research is to know how the role of consultative board village (BHP) gadingrejo in the determination of east village regulations on budget village (APBPekon) 2014. According to Budi Winarno that this research uses the theory of making public policy and the theory of social interaction states by Muhlis Madani. Type of the research that is used is descriptive with a qualitative approach, it means that the research with the managing data and the facts to be further researchers analysis that is concerned with the role of BHP in


(2)

data collecting technique uses an interview in depth and study documentation

The result of this research indicates that the BHP in the east gadingrejo cannot exercise the role in accordance with the duties and their function in the process of setting village regulation on budget village (APBPekon) 2014. The process of setting village regulation in terms of 4 (four) steps, they are the identification of problem, agenda setting, legitimacy and determination of policy .The identification of problem is not done by BHP, and than agenda setting, legitimacy and determination of policy is dominated by the leader of village without involving BHP. BHP has not role that is caused by the relationship of kontravensi between domination of BHP that is done by the leader of village.


(3)

ABSTRAK

PERAN BADAN HIPPUN PEMEKONAN (BHP) GADINGREJO TIMUR DALAM PENETAPAN PERATURAN PEKON TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA PEKON (APBPEKON) TAHUN 2014

Oleh AGUS PRIYADI

Badan Hippun Pemekonan (BHP) merupakan salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan pekon. Sebagai wahana demokrasi pada tingkat pekon, BHP memiliki fungsi legislasi untuk menetapkan peraturan pekon. Peran BHP dalam penetapan peraturan pekon yaitu menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; membahas dan merumuskan rancangan peraturan pekon bersama kepala pekon; menetapkan peraturan pekon bersama kepala pekon. Pada proses penetapan peraturan pekon, BHP dituntut untuk berperan aktif pada setiap tahapan mulai dari perumusan hingga penetapan peraturan pekon.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran Badan Hippun Pemekonan (BHP) Gadingrejo Timur dalam penetapan Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan teori pembuatan kebijakan publik menurut Budi Winarno dan teori interaksi sosial menurut Muhlis Madani. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif, artinya penelitian dengan mengelola data


(4)

peran BHP dalam penetapan Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014. Teknik pengumpulan data yaitu wawancara secara mendalam dan studi dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BHP Gadingrejo Timur tidak dapat menjalankan peran sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam proses penetapan Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014. Proses penetapan peraturan pekon tersebut ditinjau dari 4 (empat) tahap yaitu identifikasi masalah, agenda setting, legitimasi dan penetapan kebijakan. Identifikasi masalah tidak dilakukan oleh BHP, selanjutnya tahap agenda setting, legitimasi dan penetapan kebijakan seluruhnya didominasi oleh kepala pekon tanpa melibatkan BHP. Tidak berperannya BHP disebabkan oleh hubungan kontravensi antara BHP atas dominasi yang dilakukan oleh kepala pekon.


(5)

Oleh

AGUS PRIYADI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(6)

(7)

(8)

(9)

Penulis dilahirkan di Krandegan Pekon Gadingrejo Timur Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 1990 dan merupakan anak terakhir dari 3 (tiga) bersaudara pasangan Bapak Parmo dan Ibu Sutarsih.

Penulis mengawali pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Negeri 8 Gadingrejo pada tahun 1997-2003, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Gadingrejo tahun 2003-2006, penulis melanjutkan kembali pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2006-2009.

Tahun 2010 adalah tahun pertama penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Tahun 2014, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Pekon Bandar Jaya Kecamatan Bengkunat Kabupaten Pesisir Barat.

Selama penulis melaksanakan studi di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Penulis mulai belajar berorganisasi pada tahun 2010, penulis mulai aktif di Himpunan Mahasiwa Jurursan (HMJ) Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta menjadi Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Sosial dan


(10)

Tingkat Jurusan (LKMMTJ) Ilmu Pemerintahan dan Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa Tingkat Dasar (LKMMTD) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.


(11)

Alhamdulillahirobilalamin

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Ku persembahkan karya kecil ini teruntuk ...

Kedua orang tua ku, Ayahanda Parmo dan Ibunda Sutarsih

Yang selalu memberikan kasih sayang tanpa henti, perhatian yang terus berlimpah, arahan untuk yang terbaik, dukungan untuk perkembangan ku, serta doa yang selalu menyertai ku sejak kecil hingga sekarang, dan semoga kalian selalu diberi kesehatan oleh Allah SWT

hingga maut memisahkan kita, Amin.

Saudara-saudara ku,

Sigit Puji Widodo, Nani Sumarni. Terimakasih untuk kasih sayang yang selalu kalian berikan sampai detik ini, semangat, saran doa dan dukungannya

Sahabat-sahabatku yang selalu mewarnai hidupku

Para pendidikku yang kuhormati


(12)

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui sedangkan kamu

tidak mengetahui (QS. Al Baqarah: 216)

Berencana itu baik, melaksanakannya akan jauh lebih baik (Agus Priyadi)

Ketika kau masih bisa merasakan bahwa apa yang dimakan terasa enak, artinya harapan untuk menjadi lebih itu masih ada

(Agus Priyadi)

Hidup ini seperti menaiki sepeda, kita harus tetap mengayuh agar tetap seimbang (Albert Eisntein)


(13)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Peran Badan Hippun Pemekonan (BHP) Gadingrejo Timur Dalam Penetapan Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014”.Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang terlibat didalamnya., baik secara langsung maupun tidak langsung dan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Allah SWT atas segala yang Engkau berikan kepada hamba, baik rezeki, kekuatan, kesabaran, serta semangat yang terus menguat seiring berjalannya waktu. Hingga skripsi ini dapat hamba selesaikan.

2. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

3. Bapak Drs. A. Effendi, MM selaku Pembantu Dekan 1, Prof. Dr. Yulianto M.S selaku Pembantu Dekan II, Drs. Pairul Syah, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.


(14)

atas semua bimbingan serta arahan yang bapak berikan dengan penuh kesabaran, saran yang sangat memberi semangat, motivasi dan inspirasi. Terima kasih juga telah bersedia menjadi sosok ayah yang begitu baik untuk Agus selama menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan. Semoga Allah SWT selalu memberi yang terbaik untuk bapak dan keluarga tercinta. Amin... Terimakasih Pak Denden, tetap menjadi sosok yang berwibawa ya Pak. 5. Bapak Drs. R.Sigit Krisbintoro, MIP selaku Sekretaris Jurusan Ilmu

Pemerintahan yang telah memberikan masukan dan semangat dalam menyusun skripsi ini.

6. Bapak Drs. Yana Ekana PS, M.Si selaku Dosen Pembahas yang telah memberikan ilmu dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih bapak telah bersedia membahas dan mencari solusi terkait skripsi Agus, mengajarkan untuk menjadi pribadi yang sabar. Terima kasih atas ilmu luar biasa yang bapak berikan. Sehat selalu ya Pak Yana.

7. Bapak Drs. Ismono Hadi, M.Si selaku Pembimbing Akademik. Terimakasih Pak telah membimbing Agus, memberikan saran selalu memotivasi. Semoga yang terbaik selalu hadir dari Allah kepada bapak. Terima Kasih Pak Ismono 8. Dosen-dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Ibu Ari Darmastuti, Pak Pitoyo

Budiono, Pak Suwondo, Pak Piping, Pak Budi Harjo, Pak Arizka Warganegara, Pak Robi Cahyadi, Pak Syafaruddin, Pak Syihab, Pak Budi Kurniawan, Ibu Dwi Wahyu Handayani, Pak Darmawan Purba, Ibu Tabah Maryanah, Pak Maulana Mukhlis, Pak Syarif Makhya, Pak Himawan, dan Bu


(15)

9. Bapak Andoyo selaku Kepala Pekon Gadingrejo Timur, Mas Rahmad Nursoleh Selaku Sekertaris Pekon beserta perangkat Pekon Gadingrejo Timur. BHP Gadingrejo Timur, Pak Narsiman, Pak Paingan, Pak Eko, Pak Tris serta pengurus BHP lainnya dan masyarakat Pekon Gadingrejo Timur, Om H. Sudino, Mas Lusianto, Mas Rasyid. Terima Kasih sudah membantu Agus selama penelitian di Pekon Gadingrejo Timur Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu

10. Keluargaku, Ayahanda Parmo dan Ibunda Sutarsih, Kakakku Sigit Puji Widodo, Mbak Nani Sumarni, Mas Eli, Mbak Ana, Gitya, Elansa, Dika. Terima kasih atas do’a dan dukungan yang selalu kalian berikan serta kasih sayang yang tak ternilai harganya.

11. Keluarga besar, (Alm) Danu Dihardjo, (Alm) Abdullah Si’ap, Bude Nari, Pakde Royo, Pakde Harto, (Almh) Bulek Yati, Om Yanto, Om Joko, Om Kendro, Bulek Sri, Om Toro, Yoppy, Pram dan semua keluarga yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas dukungan yang selalu diberikan. Semoga kita sekeluarga tetap dalam lindunganNya. Amin 12. Sahabat layaknya saudara, Rifky Syafrian, Bagus Bernadi, Zona Feronika

Y.M, Riangga Setiawan, Rahmad Surtanto, Jufri Aryaguna. Terima kasih atas semua waktu yang diberikan, selalu menemani, memberi semangat, karna kita berteman lebih dari saudara.

13. Sahabat seperjuangan Ilmu Pemerintahan: Muhammad Syarifudin, Rike Prisina (terima kasih sudah mau direpotin trus), Retno Mahdita, Resti


(16)

Tano, Aditya Arief, Rendra, Yudha, Radit, Ekky, Ade, Aditya, Febri Dwi F, Tiffany Anandini, Kevin, Iin, Angga, Cakra, Siska, Yoan, Reddyah, Danni, Dicky, Antarizki, Herowandi, Ali Wirawan, Rangga Giri, Ryan Maulana, Budi Setiyaji, Prananda, Ikhwan, Ricky, Ilham, Alam, Ardi Yuzka, Harizon, Monicha, Nur Asriani, Ridho Jupanter, Violanda, Mutiara Tikha, Riendi Ferdian, Mirzan Triandana, Yulis Leonardo, Angga Jevi Surya, Andrialius, Dwi Hariyanti, Oktia, Tami, Betty, Fitri, Uli, Indra J.N. Sukses buat kita semua !

14. Kakak-kakak Tingkatku. Bang Andri Marta, S.IP, M.IP, terima kasih bang atas arahan dan motivasi yang selalu abang berikan, bersedia menjadi mentor yang luar biasa untuk saya. Bang M. Hafidz, Bang Bukit, Bang Riyan Stevi, Bang Alfindra, Bang Angga, Bang Esha, Mbak Yusi, Mbk Novita, Mbak Gustiari, Bang Agung, Bang Dhestoni, Bang Dendri, Bang Ardi, Bang Puput. 15. Adik-adik tingkatku, Viko Bagja Lukito, Anbeja, Hazi, Bela Puspita

Dwiranti, Wilanda Rizky, Yuanita, Yuyun D. Anggraini, Dian Seputri, Nurdiana dan adik-adik yang namanya belum disebutkan satu persatu, semangat kuliahnya dan terus berproses.

16. Teman-teman KKN, Emak Riska, Nina, Yodi, Ami, Yani, Wesly, Seto, Yufita, Rian, Wasis, Rosita dan Wika.

17. Manajemen Safana Tour, Erwanto, Bayu, Budi dan Devi. Kompak selalu ! 18. Pengurus Karang Taruna Tunas Jaya Pekon Gadingrejo Timur, Mas Mirad,


(17)

20. Seluruh karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : Bu Riyanti, Pakde Jumadi, Pak Herman, Pak Napoleon, Pak Syamsuri. Terimakasih atas bantuan nya selama ini.

21. Almamaterku tercinta, Universitas Lampung

Penulis berdoa semoga Allah SWT dapat membalas semua kebaikan, bantuan dan doa yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Mei 2015

Penulis


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...8

C. Tujuan Penelitian...8

D. Manfaat Penelitian ...8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Peran Badan Hippun Pemekonan (BHP) ...9

1. Penyerapan Aspirasi ...14

2. Membahas dan Merumuskan Rancangan Peraturan Pekon ...16

3. Penetapan Peraturan Pekon ...20

B. Tinjauan Tentang Peraturan Pekon ...21

1. Materi Muatan Peraturan Pekon ...23

2. Jenis Peraturan Pekon ...23

3. Mekanisme Persiapan, Pembahasan, Pengesahan dan Penetapan Peraturan Pekon ...25

4. Bentuk dan Susunan Peraturan Pekon ...28

C. Tinjauan Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) ....29

1. Penetapan Rancangan APBPekon ...32

2. Evaluasi Rancangan APBPekon ...32

3. Pelaksanaan APBPekon ...33

4. Perubahan APBPekon ...35

5. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBPekon ...35

D. Tinjauan Tentang Pemerintah Pekon ...36

1. Kepala Pekon ...36

2. Perangkat Pekon ...38

E. Interaksi Antar Aktor Dalam Pembuatan Kebijakan Publik ...38

1. Aktor Dalam Pembuatan Kebijakan Publik ...38

2. Interaksi Kepala Pekon, Badan Hippun Pemekonan (BHP) dan Masyarakat ...39


(19)

F. Kerangka Pikir...43

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian...47

B. Fokus Penelitian ...49

C. Lokasi Penelitian ...51

D. Jenis Data ...51

E. Penentuan Informan...52

F. Teknik Pengumpulan Data ...53

G. Teknik Pengolahan Data...56

H. Teknik Analisis Data ...56

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Berdirinya Pekon Gadingrejo Timur ...59

B. Kondisi Umum Pekon Gadingrejo Timur ...60

C. Struktur Organisasi, Tugas Pokok Dan Fungsi Pemerintah Pekon Gadingrejo Timur ...63

D. Struktur Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi Badan Hippun Pemekonan (BHP) Gadingrejo Timur Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu ...71

E. Proses Penetapan Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014 di Pekon Gadingrejo Timur Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu ...74

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Peran BHP Gadingrejo Timur dalam menetapkan Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014 ...76

1. Identifikasi Masalah...78

2. Agenda Setting...89

3. Legitimasi ...97

4. Penetapan Kebijakan...101

B. Interaksi Antara Badan Hippun Pemekonan (BHP) Gadingrejo Timur Dengan Kepala Pekon Gadingrejo Timur Dalam Penetapan Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014 ...107

1. Proses Interaksi Asosiatif Antar Aktor Pembuat Peraturan Pekon Tentang APBPekon Tahun 2014 ...112

2. Proses Interaksi Disosiatif Antar Aktor Pembuat Peraturan Pekon Tentang APBPekon Tahun 2014 ...115


(20)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ...120 B. Saran ...121


(21)

Tabel Halaman 1. Jumlah penduduk Pekon Gadingrejo Timur ... 61 2. Tingkat pendidikan penduduk Pekon Gadingrejo Timur... 62 3. Pekerjaan penduduk Pekon Gadingrejo Timur ... 63


(22)

Gambar Halaman 1. Kerangka Pikir ... 46 2. Struktur Organisasi Pemerintah Pekon Gadingrejo Timur ... 64 3. Struktur Badan Hippun (BHP) Pemekonan Gadingrejo Timur ... 72


(23)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan pemerintah menerapkan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dengan memberikan wewenang kepada daerah untuk mengelola urusan rumah tangganya sendiri menjadi titik awal proses reformasi pemerintahan, khususnya di bidang pemerintahan daerah. Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Adapun yang dimaksud dengan asas desentralisasi yaitu asas penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Implikasi dari pemberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah menjadikan pekon atau sebutan lain dari desa tidak lagi merupakan wilayah administratif yang hanya melayani kepentingan administrasi. Pekon juga tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksanaan daerah. Pekon telah menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri atau otonom yang berada dalam wilayah kabupaten, sehingga setiap warga pekon berhak berbicara atas kepentingan sendiri serta mengurus rumah


(24)

tangganya sendiri sesuai kondisi sosial budaya di lingkungan masyarakatnya (Widjaja, 2012: 17).

Pekon sebagai sebutan lain dari desa, merupakan bentuk pemerintahan terkecil yang memiliki batas-batas wilayah dan adat istiadat yang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa menerangkan bahwa desa atau pekon memiliki hak otonom sehingga pekon mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakatnya berdasarkan prakarsa dari masyarakat itu sendiri atau dapat dikatakan bahwa pekon memiliki kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan prakarsa masyarakat berdasarkan undang-undang.

Pekon dapat mengembangkan potensi yang ada guna menyejahterakan masyarakat yang ada di pekon tersebut dengan hak otonom yang dimilikinya. Lahirnya otonomi desa membuat perubahan bagi pekon itu sendiri yaitu terjadinya pergeseran struktur politik pemerintahan pekon yang jauh berbeda dibanding sebelumnya. Angin segar yang dibawa arus reformasi adalah lahirnya pelembagaan politik ditingkat pekon yang diharapkan memberikan dinamika dan suasana politik yang lebih demokratis, otonom, independen dan prospektif dalam pembangunan masyarakat pekon.

Kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang dimiliki pekon mengakibatkan pekon dapat membuat dan menetapkan peraturan perundang-undangan untuk lingkup pekon, atau disebut dengan peraturan pekon. Peraturan pekon disusun sebagai acuan dalam


(25)

penyelenggaraan pemerintahan pekon. Peraturan pekon merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi serta dibuat berdasarkan kepentingan umum dan sosial budaya setempat dalam upaya untuk mencapai tujuan pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat.

Pembangunan yang dimaksud bukan saja pembangunan yang berbentuk bangunan fisik, akan tetapi mencakup pembangunan mental bangsa. Pembangunan tersebut tidak akan mungkin dapat berjalan dengan baik tanpa pengaturan serta dukungan yang kuat baik dari pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Dukungan tersebut dapat berupa dukungan moril maupun materil. Dukungan materil dalam pembagunan berupa anggaran dana yang terperinci dan efisien. Melaksanakan pembangunan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk dilaksanakan, melainkan merupakan pekerjaan yang sulit karena membutuhkan suatu perencanaan yang matang. Salah satu faktor pendukung dalam kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan pekon adalah dengan adanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon).

APBPekon merupakan rincian anggaran pendapatan dan belanja pekon selama kurun waktu setahun, seperti halnya pada tingkat daerah kabupaten atau provinsi disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau pada tingkat pusat yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Soemantri (2011: 147) menyebutkan pengertian APBDes, yaitu:

“Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 Permendagri No. 37 Tahun 2007, yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan


(26)

Belanja Desa (APBDes) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah desa dan Badan permusyawaratan Desa, dan ditetapkan dengan peraturan desa, dengan demikian maka APBDes merupakan rencana operasional tahunan dari program pemerintahan dan pembangunan desa yang diterjemahkan dan dijabarkan dalam angka-angka rupiah yang mengandung perkiraan target, pendapatan dan perkiraan batas tertinggi belanja desa”.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) merupakan produk hukum bagian dari peraturan pekon yang merupakan hasil kebijakan yang dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Pekon dengan Badan Hippun Pemekonan (BHP) yang bertujuan untuk memperlancar proses pemerintahan pekon. Peraturan pekon ini wajib dibuat, karena digunakan sebagai acuan untuk menjalankan proses pemerintahan pekon agar tidak melenceng dari yang sudah ditetapkan dalam peraturan pekon tersebut. Proses dalam penyusunan rancangan peraturan pekon terdapat pola hubungan timbal balik antara masyarakat dengan pemerintah pekon dan lembaga pembentuknya. Masyarakat dapat berperan aktif dalam proses perumusan peraturan pekon tersebut dengan memberikan pendapat dan pemikiran positif. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardjo (1999: 15) yang menerangkan bahwa masyarakat dapat memberikan masukan dalam proses penyusunan rancangan peraturan desa atau peraturan perundang-undangan yang lain karena pada dasarnya nilai-nilai dalam peraturan desa sangat berpengaruh dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

Peraturan Bupati Tanggamus Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Peraturan Pemekonan pada Pasal 9 menjelaskan bahwa, rancangan peraturan pemekonan tentang APBPekon dibahas bersama oleh pemerintah pekon dan


(27)

BHP, selanjutnya pada Pasal 10 butir 1 (satu) menjelaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan baik secara tertulis maupun lisan terhadap rancangan Peraturan Pemekonan Tentang APBPekon, sehingga warga dalam perencanaan pembangunan pekon melalui penyusunan APBPekon dapat menjadi sarana pemberdayaan masyarakat di pekon karena diberi kesempatan untuk mengemukakan usulannya dan mendapat kesempatan untuk berperan dalam proses pengambilan dan pembangunan pekon. Manfaat jangka panjangnya adalah peningkatan keterampilan politik masyarakat dan BHP dalam melakukan negosiasi, kompromi sekaligus mengambil keputusan dalam kebijakan publik.

Kenyataan yang terjadi sekarang ini, hampir setiap desa/pekon di Indonesia dirasakan belum adanya peran dari BHP yang signifikan dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan pekon, terutama dalam menjalankan fungsi legislasinya. Pembentukan peraturan pekon lebih banyak atau hampir seluruhnya disusun oleh pemerintah pekon tanpa melibatkan lembaga legislatif pekon, apalagi melibatkan masyarakat. Hasil dari penelitian terdahulu mengenai peran BHP dalam penetapan peraturan pekon yang dilakukan Wenas (2010: 6) yang menyatakan bahwa:

“BPD di desa Tumaluntung Satu belum dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, lemahnya koordinasi antara BPD dan Pemerintah Desa dalam pembuatan peraturan desa mengakibatkan minimnya peraturan desa yang dihasilkan selama ini. Disamping itu, kurang efektifnya jalinan komunikasi antara BPD dan masyarakat akan berdampak pada pelaksanaan pembangunan di desa tersebut, karena tanpa campur tangan dari masyarakat proses pembuatan peraturan desa untuk mengatur kehidupan masyarakat desa tidak akan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat”.


(28)

Realita seperti itu memberikan dampak pada kurangnya perhatian pemerintah pekon terhadap kebutuhan masyarakat pekon dalam tahap penyusunan sampai implementasi suatu peraturan pekon. Selanjutnya pada hasil penelitian Bahren (2013: 4) yang menyatakan bahwa kurangnya peran dari BPD dalam proses legislasi dalam pembentukan Peraturan Desa Semandang Kiri Kabupaten Ketapang menyebabkan produk legislasi yang berupa peraturan desa belum memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan, atau bahkan tidak tampak sama sekali.

Permasalahan yang timbul di berbagai desa/pekon di Indonesia termasuk Pekon Gadingrejo Timur Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu fenomena kurangnya peran serta lembaga legislatif pekon dalam proses perumusan hingga penetapan peraturan pekon. Peristiwa yang kemudian menarik untuk diteliti adalah mengenai proses penetapan Peraturan Pekon Gadingrejo Timur Nomor 01 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014. Proses penetapan peraturan pekon adalah tahapan mulai dari perumusan rancangan, pembahasan hingga penetapan peraturan pekon.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, bahwa dalam penetapan Peraturan Pekon Gadingrejo Timur, mekanisme pembuatan peraturan pekon tidak dijalankan sebagaimana mestinya, dimana BHP sebagai lembaga legislatif tidak mengadakan rapat secara internal antar anggota BHP itu sendiri atau bahkan antara BHP dengan kepala pekon serta masyarakat. Hal ini diakui oleh Ketua BHP Gadingrejo Timur pada saat pra-riset tanggal


(29)

11 September 2014 yang menyatakan bahwa dalam proses penyusunan dan penetapan Peraturan Pekon Gadingrejo Timur Nomor 01 Tentang APBPekon Tahun 2014, BHP tidak dilibatkan dalam proses penetapan peraturan pekon, melainkan hanya ketua BHP saja yang menerima rancangan peraturan pekon yang diserahkan oleh sekertaris pekon yang hanya tinggal ditanda tangani sebagai proses pengesahan.

Diperkuat oleh pernyataan sekretaris BHP Gadingrejo Timur, pada saat diwawancarai beliau mengatakan bahwa selama ini dalam proses penetapan peraturan pekon, BHP tidak mengadakan atau dilibatkan dalam rapat sebagaimana mestinya sesuai dengan mekanisme penetapan peraturan pekon. Sehingga dapat dikatakan bahwa BHP hanya menjadi “stempel” bagi

pemerintah pekon. Selanjutnya wakil ketua BHP Gadingrejo Timur menyatakan atas ketidak tahuannya mengenai proses penetapan peraturan pekon tersebut termasuk besaran anggaran atau kegiatan apa saja yang dianggarkan dalam APBPekon Tahun 2014.

Pada proses penetapan peraturan pekon bersama kepala pekon, BHP diindikasikan tidak dapat bertindak aktif dalam menjalankan tiap tahap dari mekanisme rapat perumusan hingga penetapan peraturan pekon ini. Hak yang diberikan untuk mengusulkan rancangan peraturan pekon tidak dipergunakan oleh BHP dengan sebaik-baiknya. Ketika usulan datang dari pemerintah pekon, BHP cenderung bersikap kurang kritis terbukti dengan tidak mengadakan rapat-rapat koordinasi terlebih dahulu dalam proses perumusan hingga penetapan peraturan pekon sehingga muncul kemungkinan bahwa


(30)

peraturan yang dihasilkan tidak banyak memberi dampak atau perubahan yang positif di Pekon Gadingrejo Timur.

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang Peran Badan Hippun Pemekonan (BHP) Gadingrejo Timur dalam Penetapan Peraturan Pekon Tentang APBPekon Tahun 2014.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Bagaimana Peran Badan Hippun Pemekonan Gadingrejo Timur dalam Penetapan Peraturan Pekon Tentang APBPekon Tahun 2014 ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menelaah Peran Badan Hippun Pemekonan Gadingrejo Timur dalam Penetapan Peraturan Pekon Tentang APBPekon Tahun 2014.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini berguna menambah wawasan pemikiran bagi studi Ilmu Pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan peran Badan Hippun Pemekonan dalam penetapan peraturan pekon.

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan masukan atau informasi terhadap penyelenggaraan pemerintah pekon, khususnya bagi pihak Badan Hippun Pemekonan (BHP).


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Peran Badan Hippun Pemekonan

Peran atau peranan dapat dikatakan sebagai sebuah proses dinamis dari serangkaian perilaku atau tindakan yang dilakukan sebuah badan atau organisasi dalam menjalankan fungsinya sesuai kedudukan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Taneko (1986: 23) bahwa yang dimaksud dengan peran adalah “kegiatan organisasi yang berkaitan dengan menjalankan tujuan untuk mencapai hasil yang diharapkan”. Selanjutnya, pengertian peranan menurut R. Linton adalah “the dynamic aspect of status” yakni, organisasi menjalankan perannya sesuai hak dan kewajibannya. Menurut Biddle peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan organisasi yang penting bagi stuktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat organisasi dalam masyarakat (Soekanto, 2009: 82).

Mill dalam Nuryanto (2013: 15) membagi peranan lembaga meliputi 2 (dua) hal yaitu:

1. Kekusaan yang bersifat swasta, digunakan bersama-sama dan karenannya saling menguntungkan bagi penguasa maupun rakyat. Oleh karenanya ada kerjasama antar pihak-pihak untuk mencapai tujuan.

2. Lembaga mempunyai tujuan, bersifat membantu, menangani dan membuat sesuatu menjadi moderat, dalam hal ini melalui perencanaan lembaga agar tepat sasaran.


(32)

Peran ditujukan pada hal yang bersifat kolektif dalam masyarakat seperti himpunan atau organisasi, berarti perangkat tingkah sangat diharapkan dimiliki oleh organisasi yang berkedudukan dalam sebuah masyarakat agar tujuan dari adanya lembaga atau organisasi tersebut dapat tercapai. Terkait dengan penelitian ini dan berdasarkan pada pemahaman penulis tentang konsep peran, maka yang dimaksud peran adalah serangkaian tindakan dari Badan Hippun Pemekonan dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang diatur dalam undang-undang atau peraturan lainnya untuk menetapkan Peraturan Pekon tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon).

Badan Hippun Pemekonan (BHP) adalah sebutan lain dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah pekon. Dalam menjalankan perannya untuk menetapkan peraturan pekon, keberadaan BHP sangat erat kaitannya dengan teori pemisahan kekuasaan yang dipopulerkan oleh Montesquieu. Menurut Montesquieu dalam Kansil (2008: 9) bahwa kekuasaan dalam negara dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

1) KekuasaanLegislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang. 2) KekuasaanEksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. 3) Kekuasaan Yudikatif, kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran


(33)

Kekuasaan dalam negara demokratis dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: kekuasaan untuk membuat undang-undang dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat. Sebagai badan legislatif, badan perwakilan rakyat dilarang untuk menjalankan undang karena tugas untuk menjalankan undang-undang diserahkan kepada badan eksekutif atau pemerintah. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang berkewajiban untuk mempertahankan idealitas undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat serta menjatuhkan hukuman atas pelanggaran undang-undang baik yang dilakukan oleh badan legislatif maupun eksekutif. Tujuan dari dibagi-baginya kekuasaan tersebut adalah agar kekuasaan tidak terpusat pada satu tangan saja yang dapat berakibat pada pemerintahan yang otoriter sehingga dapat menghambat peran serta rakyat dalam menentukan suatu kebijakan (Kansil, 2008: 10).

Berdasarkan teori pemisahan kekuasaan di atas, dapat dijelaskan bahwa Badan Hippun Pemekonan (BHP) selaku lembaga legislatif dalam pemerintahan pekon. BHP sebagai lembaga legislatif di pekon, fungsi legislasi yang dimilikinya tidak seperti fungsi legislasi pada DPR di tingkat pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah undang-undang sendiri. Fungsi legislasi pada BHP dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Fungsi daripada BHP sebagaimana diatur dalam Pasal 209 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.


(34)

Pengaturan lebih eksplisit terkait dengan kewenangan BPD diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Sebagaimana diatur pada pasal 34 dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Selanjutnya disebutkan pada Pasal 35 bahwa BPD mempunyai wewenang, yaitu:

a) Membahas rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa.

b) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa.

c) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa. d) Membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.

e) Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan menyusun tata tertib BPD.

Badan Hippun Pemekonan (BHP) sebagai badan perwakilan merupakan wadah untuk melaksanakan demokrasi pancasila. Kedudukan BHP dalam struktur pemerintahan pekon adalah sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah pekon. BHP diangkat oleh Camat atas nama Bupati. BHP beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat di pekon. Keanggotaan BHP seperti yang disebutkan dalam Pasal 30 Peraturan Pemerintahan Nomor 72 Tahun 2005 adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BHP terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BHP adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan anggota BHP tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai kepala pekon dan perangkat pekon. Anggota BHP harus berjumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah


(35)

penduduk, dan kemampuan keuangan pekon. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yang merupakan suatu keharusan untuk dapat menjadi calon anggota BHP dalam proses rekrutmen anggota BHP. Adapun syarat-syarat calon anggota BHP adalah Penduduk Desa Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Penduduk setempat sekurang kurangnya 1 (satu) tahun.

b. Mempunyai izasah serendah-rendahnya Sekolah Dasar atau yang sederajat. c. Berumur sekurang-kurangnya 20 Tahun atau telah kawin atau pernah kawin. d. Sehat jasmani dan rohani.

e. Tidak sedang menjalani hukuman atau berstatus sebagai terdakwa. f. Bersedia dicalonkan.

(Peraturan Daerah Kabupaten Pringsewu Nomor 02 Tahun 2013 tentang Badan Hippun Pemekonan)

Peran BHP dalam mendukung tata penyelenggaraan pemerintahan desa atau pekon adalah sebagai berikut:

a. Fungsi Penyerapan Aspirasi

Aspirasi dari masyarakat yang diserap oleh BPD dilakukan melalui mekanisme atau cara:

1. Penyampaian langsung kepada BPD. 2. Penyampaian melalui forum warga.

3. Penyampaian melalui pertemuan tingkat desa. b. Fungsi Pengayoman Adat

Pelaksanaan fungsi pengayoman adat oleh BPD dapat berjalan dengan baik apabila peran dari BPD dan juga kesadaran masyarakat yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai sosial seperti musyawarah dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul di dalam masyarakat tetap dijaga dan dipatuhi. c. Fungsi Legislasi

Fungsi legislasi yang dilakukan oleh BPD mengacu kepada peraturan yang ada seperti PP 72 tahun 2005, dijelaskan bahwa BPD berwenang:

1. Membahas rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa;

2. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan Kepala Desa;


(36)

3. mengusulkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa;

4. membentuk panitia pemilihan Kepala Desa;

5. menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan;

6. menyusun tata tertib BPD. d. Fungsi Pengawasan

Pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan merupakan salah satu alasan terpenting mengapa BPD perlu dibentuk. Pengawasan oleh BPD terhadap pelaksanaan pemerintahan desa yang dipimpin Kepala Desa merupakan tugas BPD. Upaya pengawasan dimaksudkan untuk mengurangi adanya penyelewengan atas kewenangan dan keuangan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Konsistensi BPD dalam melakukan pengawasan terhadap bagaimana suatu program pemerintah, fungsi pemerintahan, peraturan dan keputusan yang telah ditetapkan bersama BPD dilaksanakan oleh Pemerintah Desa. Sikap Kepala Desa yang tidak otoriter dalam menjalankan kepemimpinannya menjadikan BPD mampu melaksanakan tugas dan kewenangannya untuk mewujudkan adanya pemerintahan yang baik dan berpihak kepada warga. (https://pramudyarum.wordpress.com/2013/02/09/penyelenggaraan-pemerintahan-desa/ diakses pada tanggal 4 Januari 2015 Pukul 20.00 WIB)

Berdasarkan pemaparan di atas, dalam konteks penelitian ini BHP dapat melakukan beberapa fungsi dalam menjalankan perannya pada penetapan peraturan pekon, yaitu:

1. Penyerapan Aspirasi

Tatanan sistem demokrasi pemerintahan negara, secara sosial politik dapat diukur salah satunya berdasarkan adanya kebebasan berserikat dan berpendapat yang dimiliki setiap warga negara, oleh karena itu negara harus menjamin setiap hak warganya termasuk hak menyampaikan pendapat di depan umum. Hak menyatakan pendapat tersebut dapat disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui forum perwakilan. Melalui forum perwakilan tersebut pendapat atau aspirasi


(37)

yang berasal dari masyarakat diserap, dikelola dan dibahas secara kolektif dengan mempertimbangkan azas manfaat. Proses tersebut dilakukan jika berkaitan dengan masyarakat atau yang akan melibatkan masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan sangat penting untuk dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.

BHP dapat menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat atau melaksanakan fungsi penyerapan aspirasi dengan berbagai macam cara, seperti:

a. Penyampaian langsung kepada BHP. Penyampaian aspirasi oleh warga kepada BHP dapat dilakukan baik secara individu maupun bersama-sama dengan menyampaikan langsung kepada anggota BHP yang ada di lingkungannya (RW) masing-masing.

b. Penyampaian melalui forum warga. BHP dapat menyerap aspirasi dari masyarakat dengan mengadakan forum-forum kecil pada tiap lingkungan/wilayah RT/RW.

c. Penyampaian melalui pertemuan tingkat desa, penyampaian aspirasi melalui forum rembug pekon atau rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh pemerintah pekon. Pada forum ini pemerintah


(38)

mengundang perwakilan dari masyarakat yaitu ketua RT/RW, tokoh agama, adat, masyarakat serta mengikut sertakan BHP guna membahas mengenai permasalahan maupun program yang sedang atau akan dijalankan oleh pemerintah pekon.

2. Membahas dan Merumuskan Rancangan Peraturan Pekon Bersama Kepala Pekon

Pelaksanaan pembuatan peraturan pekon, usul dan inisiatif dapat muncul bergantian antara pemerintah pekon dan BHP. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 Permendagri Nomor 29 Tahun 2006 Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, dimana rancangan peraturan desa dapat diprakarsai oleh pemerintah desa dan dapat berasal dari usul BPD. Pemerintah pekon mengundang BHP dan tokoh-tokoh masyarakat untuk memberikan masukan mengenai materi yang akan dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (RAPBPekon) saat proses pembuatan peraturan pekon. RAPBPekon yang telah disusun oleh pemerintah kemudian diserahkan kepada BHP untuk dibahas dan disetujui bersama. Proses pembahasan ini sangat penting untuk dilakukan agar peraturan pekon yang sudah ditetapkan tidak bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat atau melenceng dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Terkait proses membahas dan merumuskan rancangan peraturan pekon bersama kepala pekon, BHP seharusnya mengimplementasikan tahapan-tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik, karena rancangan peraturan pekon yang dibuat harus benar-benar mewakili aspirasi


(39)

masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Menurut Agustino (2008: 96), hal terpenting dalam proses kebijakan publik adalah formulasi (perumusan) kebijakan. Namun, sebelum sampai itu semua, hal dasar yang perlu dipelajari dalam proses formulasi kebijakan adalah bagaimana para analis kebijakan dapat mengenal masalah-masalah publik yang dibedakan dengan masalah-masalah privat. Terdapat tiga aspek pembentukan kebijakan yaitu:

1. Bagaimana persoalan publik dapat menjadi perhatian bagi para analis kebijakan.

2. Bagaimana usulan kebijakan dibuat untuk menyelesaikan permasalahan publik tertentu, dan

3. Bagaimana pula usulan kebijakan dipilih diantara berbagai alternatif yang ada guna diformulasikan.

Tahapan–tahapan perumusan kebijakan menurut Winarno (2012: 122) terdapat empat tahapan yaitu perumusan masalah (defining problem), agenda kebijakan, pemilihan alternatif untuk memecahkan masalah, dan tahap penetapan kebijakan. Pertama, isu permasalahan atau perumusan masalah (defining problem). Winarno (2012: 123) menjelaskan bahwa perumusan masalah adalah :

Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan.


(40)

Kedua, agenda setting. Winarno (2012: 123) menjelaskan bahwa agenda kebijakan adalah :

Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Maslah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Secara panjang lebar kita telah mendiskusikan agenda kebijakan pada bab sebelumnya. Namun untuk kepentingan pembahasan bab ini, kita akan kembali sedikit menyinggung bagaimana masalah tersebut mendapat perhatian para pengambil kebijakan di tingkat pemerintahan. Suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan? Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif (DPR), kalangan eksekutif (presiden dan para pembantunya), agen-agen pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatif. Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk segera diselesaikan.

Menurut Cobb dalam Fitria (2014: 52) agenda setting merupakan bagian sebuah bentuk dari tuntutan dan dukungan publik terhadap kebijakan tertentu yang menjadi input dari proses ini. Proses agenda setting inilah kemudian terjadi beragam proses seperti agregasi, tawar menawar, dll.

Ketiga, legitimasi. Menurut Agustino (2008: 135) legitimasi dalam konteks formulasi kebijakan adalah mencari dukungan politik agar dapat diterima dan direalisasi penetapan dan pelaksanaan kebijakannya. Winarno (2012: 123) menjelaskan bahwa pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah adalah :

Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan


(41)

kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut.

Keempat, penetapan kebijakan. Winarno (2012: 123) menjelaskan bahwa penetapan kebijakan adalah :

Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan tersebut. Penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang, yurisprudensi, keputusan presiden, keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa dalam proses pembahasan dan perumusan rancangan peraturan pekon dengan menggunakan teori pembuatan kebijakan publik maka ada beberapa tahap yang harus dilakukan oleh BHP dan kepala pekon serta masyarakat sebagai aktor pembuat kebijakan yaitu tahap formulasi atau perumusan masalah, agenda setting, legitimasi dan penetapan kebijakan.

Berkaitan dengan peran BHP dalam penetapan peraturan pekon, maka tahap formulasi adalah proses dimana BHP menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat untuk mencari permasalahan yang menjadi titik acuan sebagai landasan dibuatnya peraturan pekon. Agenda setting adalah proses pembahasan dalam rancangan peraturan pekon untuk memilih masalah mana yang harus diutamakan terlebih dahulu, dimana terjadi suatu negosiasi atau tawar menawar antara BHP dan kepala pekon. Legitimasi adalah proses


(42)

dimana antara BHP dan kepala pekon berusaha untuk mencari dukungan politik atas rancangan peraturan pekon yang sudah dibuat untuk ditetapkan menjadi peraturan pekon. Penetapan adalah langkah terakhir yang dilakukan BHP bersama kepala pekon untuk menetapkan rancangan peraturan pekon menjadi peraturan pekon setelah mendapatkan kesepakatan bersama.

3. Penetapan Peraturan Pekon

Pelaksanaan fungsi penetapan peraturan pekon merupakan tindakan untuk memutuskan sebagai tahap terakhir, dimana bila pihak eksekutif dan legislatif saling setuju/sepakat, maka rancangan peraturan pekon tersebut sah menjadi peraturan pekon namun bila salah satu pihak ada yang tidak setuju maka rancangan peraturan pekon tersebut tidak dapat disahkan menjadi peraturan pekon. Dijelaskan dalam Permendagri Nomor 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa Bab IV mengenai pengesahan dan penetapan peraturan desa, yaitu:

Pasal 12

1) Rancangan Peraturan Desa yang telah disetujui bersama oleh Kepala Desa dan BPD disampaikan oleh Pimpinan BPD kepada Kepala Desa untuk ditetapkan menjadi Peraturan Desa.

2) Penyampaian Rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Pasal 13

Rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib ditetapkan oleh Kepala Desa dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa tersebut.


(43)

Pasal 14

Peraturan Desa wajib mencantumkan batas waktu penetapan pelaksanaan. Pasal 15

1) Peraturan Desa sejak ditetapkan, dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Desa tersebut.

2) Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berlaku surut.

B. Tinjauan Tentang Peraturan Pekon

Perwujudan dalam rangka pengaturan kepentingan masyarakat, maka guna meningkatkan kelancaran dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan perkembangan dan tuntutan reformasi serta dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 55 ayat 1, 2 dan 3, Peraturan Desa ditetapkan oleh kepala desa bersama Badan Perwakilan Desa. Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat.

Peraturan pekon dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan pekon untuk mencapai tujuan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Secara teoritis, pembentukan suatu peraturan atau produk hukum didasari oleh landasan pemikiran. Menurut Halim (2009: 12) ada 4 (empat) dasar pemikiran sebagai landasan pembentukan produk hukum, yaitu:


(44)

1. Dasar filosofis, merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat kedalam suatu rancangan/draft peraturan perundang-undangan sehingga hukum yang dibentuk tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral atau nilai-nilai adat yang dijunjung tinggi dimasyarakat. Menurut Satjipto Raharjo, asas hukum ini juga lazim disebut sebagai dasar/alasan bagi lahirnya suatu peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.

2. Landasan sosiologis, bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat dan harus sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Aturan hidup yang dibuat harus sesuai dengan keutuhan, keyakinan dan kesadaran masyarakat.

3. Landasan yuridis, bahwa yang menjadi landasan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan adalah peraturan atau sederet peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan dasar kewenangan seorang pejabat atau badan membentuk Peraturan Perundang-undangan.

4. Dasar hukum, tolak ukur di atas dapat memberikan jaminan bahwa rancangan peraturan perundang-undangan yang dibuat merupakan cikal bakal peraturan perundang-undangan yang diterima oleh masyarakat (acceptable), populis dan efektif. Populis, karena mengakomodir sebanyak-banyaknya keinginan penduduk di daerah. Efektif, karena peraturan yang dibuat itu operasional dan jangkauan peraturannya mencakup sebanyak-banyaknya kepentingan masyarakat dan senantiasa sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga setiap kebutuhan masyarakat pada setiap era, mampu diwadahinya.

Peratuturan pekon dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Menurut Pasal 2 Permendagri Nomor 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pemebentuk yang tepat; c. kesesuaian anatara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan;


(45)

1. Materi Muatan Peraturan Pekon

Materi muatan peraturan pekon merupakan bahan atau komponen yang ada dalam peraturan pekon tersebut. Menurut Soemantri (2011: 47) ada beberapa materi muatan dalam peraturan desa, yaitu:

1) Materi muatan peraturan desa adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat.

2) Materi muatan peraturan kepala desa adalah penjabaran pelaksanaan peraturan desa yang bersifat pengaturan

3) Materi muatan keputusan kepala desa adalah penjabaran pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa yang bersifat penetapan 4) Materi muatan peraturan desa dapat memuat masalah-masalah yang

berkembang di desa, antara lain:

a. Menetapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur penyelenggaraanm pemerintahan desa, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

b. Menetapkan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat desa.

c. Menetapkan segala sesuatu yang membebani keuangan desa dan masyarakat desa.

d. Menetapkan segala sesuatu yang memuat larangan, kewajiban dan membatasi serta membebani hak-hak masyarakat.

e. Ketentuan-ketentuan yang mengandung himbauan perintah, larangan atau keharusan untuk berbuat sesuatu dan atau tidak berbuat sesuatu yang ditunjukkan kepada masyarakat desa.

f. Ketentuan-ketentuan yang memberikan suatu kewajiban atau beban kepada masyarakat.

5) Materi peraturan desa tidak boleh mengatur urusan pemerintahan yang belum diserahkan oleh kabupaten/kota kepada desa dan tidak boleh bertentangan dengan:

a. Kepentingan umum.

b. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

2. Jenis Peraturan Pekon

Peraturan desa/pekon merupakan penjabaran lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005


(46)

Tentang Desa. Beberapa peraturan desa yang wajib dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah sebagai berikut: a. Peraturan Desa tentang Pembentukan Dusun(atau sebutan lain) (Pasal

3).

b. Peraturtan Desa tentang susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa (Pasal 12 ayat 5).

c. Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 73 ayat 3).

d. Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD) (Pasal 64 ayat 2).

e. Peraturan Desa tentang Pengelolaan Keungan Desa (Pasal 76).

f. Peraturan Desa tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Desa(Pasal 78 ayat 2), apabila Pemerintah Desa membentuk BUMD.

g. Peraturan Desa tentang Pembentukan Badan Keja Sama (Pasal 82 ayat 2).

h. Peraturan Desa tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan (Pasal 89 ayat 2).

Selain peraturan desa yang masih dibentuk di atas, lebih lanjut Soemantri (2011: 49) menjelaskan bahwa pemerintahan desa juga dapat membentuk peraturan desa yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat, antara lain:

a. Peraturan Desa tentang Pembentukan panitia pencalonan, dan pemilihan Kepala Desa.

b. Peraturan Desa tentang Penentapan yang berhak menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Kepala Desa.

c. Peraturan Desa tentang Penentuan tanda gambar calon., pelaksanaan kampanye, cara pemilihan dan biaya pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.

d. Peraturan Desa tentang Pemberian penghargaan kepada mantan Kepala Desa dan Perangkat Desa.

e. Peraturan Desa tentang Penetapan pengelolaan dan pengaturan pelimpahan/pengalihan fungsi sumber-sumber pendapatan dan kekayaan desa.


(47)

3. Mekanisme Persiapan, Pembahasan, Pengesahan dan Penetapan Peraturan Pekon

Ada beberapa mekanisme atau tahapan yang harus dilakukan dalam proses penetapan sebuah peraturan pekon yaitu mulai dari tahap persiapan, pembahasan, pengesahan hingga penetapan sebuah rancangan menjadi peraturan pekon. Berbagai mekanisme tersebut harus dilalui agar peraturan yang dihasilkan berkualitas bagus bukan sebatas formalitas belaka. Soemantri (2011: 49) memberikan sedikit gambaran mengenai mekanisme persiapan, hingga penetapatan sebuah peraturan desa, yaitu: a) Rancangan peraturan desa diprakarsai oleh pemerintah desa dan dapat

berasal dari usul BPD.

b) Masyarakat dan lembaga kemasyarakatan, berhak memberikan masukan terhadap hal-hal yang berberkaitan dengan materi peraturan desa, baik secara tertulis maupun lisan terhadap rancangan peraturan desa dan dapat dilakukan dalam proses penyusunan rancangan peraturan desa.

c) Rancangan peraturan desa dibahas secara bersama oleh pemerintah desa dan BPD.

d) Rancangan peraturan desa yang berasal dari pemerintah desa, dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama BPD.

e) Rancangan peraturan desa yang telah disetujui bersama oleh kepala desa dan BPD selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama, disampaikan oleh pimpinan BPD kepada kepala desa untuk ditetapkan mennjadi peraturan desa, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya rancangan peraturan desa tersebut.

f) Peraturan desa wajib mencantumkan batas waktu penetapan pelaksanaan.

g) Peraturan desa sejak ditetapkan, dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan desa tersebut dan tidak boleh berlaku surut.

h) Peraturan desa yang telah ditetapkan, disampaikan oleh kepala desa kepada camat sebagai bahan pembinaan dan pengawasan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

i) Khusus rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan dan penataan ruang yang telah disetujui bersama BPD,

1) Sebelum ditetapkan oleh kepala desa, paling lama 3 (tiga) hari disampaikan oleh kepala desa kepada Bupati/Walikota untuk dievaluasi.


(48)

2) Hasil evaluasi tersebut disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada kepala desa paling lama 20 (dua puluh) hari sejak rancangan peraturan desa tersebut diterima.

3) Apabila Bupati/Walikota dalam waktu 20 (dua puluh) hari belum memberikan hasil evaluasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa tersebut, maka kepala desa dapat menetapkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa menjadi peraturan desa. Bupati/walikota dapat mendelegasikan evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDes kepada Camat.

Menurut Permendagri Nomor 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, terdapat aturan normatif untuk persiapan, pembahasan, pengesahan, penetapan, penyampaian dan penyebarluasan peraturan desa pada Bab III hingga Bab VI, yaitu:

BAB III

PERSIAPAN DAN PEMBAHASAN Pasal 6

Rancangan Peraturan Desa diprakarsai oleh Pemerintah Desa dan dapat berasal dari usul inisiatif BPD.

Pasal 7

1) Masyarakat berhak memberikan masukan baik secara tertulis maupun lisan terhadap Rancangan Peraturan Desa.

2) Masukan secara tertulis maupun lisan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Desa.

3) Mekanisme penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

Pasal 8

Rancangan Peraturan Desa dibahas secara bersama oleh Pemerintah Desa dan BPD.

Pasal 9

Rancangan Peraturan Desa yang berasal dari Pemerintah Desa, dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama BPD.

Pasal 10

1) Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, dan penataan ruang yang telah disetujui bersama


(49)

dengan BPD, sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa paling lama 3 (tiga) hari disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota untuk dievaluasi.

2) Hasil evaluasi rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Kepala Desa paling lama 20 (dua puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Desa tersebut diterima.

3) Apabila Bupati/Walikota belum memberikan hasil evaluasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa dapat menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) menjadi Peraturan Desa.

Pasal 11

Evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat didelegasikan BAB IV PENETAPAN DAN PENGESAHAN

Pasal 12

1) Rancangan Peraturan Desa yang telah disetujui bersama oleh Kepala Desa dan BPD disampaikan oleh Pimpinan BPD kepada Kepala Desa untuk ditetapkan menjadi Peraturan Desa.

2) Penyampaian Rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Pasal 13

Rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib ditetapkan oleh Kepala Desa dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa tersebut.

Pasal 14

Peraturan Desa wajib mencantumkan batas waktu penetapan pelaksanaan. Pasal 15

1) Peraturan Desa sejak ditetapkan, dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Desa tersebut.

2) Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berlaku surut.


(50)

BAB V PENYAMPAIAN PERATURAN DESA Pasal 16

Peraturan Desa disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat sebagai bahan pembinaan dan pengawasan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.

BAB VI PENYEBARLUASAN Pasal 17

Peraturan Desa dan peraturan pelaksanaannya wajib disebarluaskan kepada masyarakat oleh Pemerintah Desa.

4. Bentuk dan Susunan Peraturan Pekon

Bentuk dan susunan peraturan pekon menurut Sulaiman dalam Widjaja (2012: 99) adalah :

1. Judul

a) Judul peraturan desa memuat keterangan mengenai jenis nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan mnama peraturan desa. b) Nama peraturan desa dibuat secara singkat dan mencerminkan isi

peraturan desa.

c) Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan detengah margin tanpa diakhiri tanda baca.

2. Pembukaan

a) Jabatan pembentukan peraturan desa.

b) Konsideran yang diawali dengan kata menimbang dan seterusnya. c) Dasar hukum.

d) Memutuskan. e) Menetapkan.

f) Nama peraturan desa. 3. Batang Tubuh

a) Memuat pasal yang berisikan ketentuan umum.


(51)

4. Penutup

Penutup atau bagian akhir peraturan desa terdiri dari : a) Nama tempat ditetapkan.

b) Tanggal, bulan dan tahun ditetapkan. c) Nama jabatan.

5. Penjelasan

a) Uraian singkat mengenai latar belakang perlunya penetapan peraturan desa.

b) Uraian pasal demi pasal. 6. Lampiran (jika diperlukan)

C. Tinjauan Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon disingkat APBPekon merupakan bagian dari peraturan pekon yang berisi tentang penerimaan dan pengeluaran kas pekon setiap tahunnya. APBPekon terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja dan pembiayaan pekon. Rancangan APBPekon dibahas pada musyawarah pekon dan ditetapkan oleh BHP bersama dengan kepala pekon. Sumpeno dalam Astuty dan Hany (2011: 6) menyatakan bahwa APBDes merupakan suatu rencana keuangan tahunan desa yang ditetapkan berdasarkan peraturan desa yang mengandung prakiraan sumber pendapatan dan belanja untuk mendukung kebutuhan program pembangunan desa yang bersangkutan.

Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 Permendagri Nomor 37 Tahun 2007, yang dimaksud Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas


(52)

dan disetujui bersama oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dan ditetapkan dengan peraturan desa. Dapat dimaknai bahwa APBDes atau APBPekon merupakan rencana operasinal tahunan dari program pemerintahan dan pembanguna desa yang dijabarkan dan diterjemahkan dalam angka-angka rupiah yang mengandung perkiraan target pendapatan dan perkiraan batas tertinggi belanja pekon.

APBPekon sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan di pekon dimana dengan adanya APBPekon pemerintahan dapat dilaksanakan secara strategis, terukur berdasarkan jumlah anggaran yang tersedia. Penggunaan dana APBPekon harus seimbang berdasarkan prinsip pengelolaan keuangan daerah,sehingga hasil dari pelaksanaan pembangunan yang direncanakan dapat melayani masyarakat secara baik.

Pasal 73 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa menetapkan bahwa:

a. Anggaran pendapatan dan belanja desa terdiri atas bagian pendapatan desa, belanja desa dan pembiayaan.

b. Rancangan APBDes dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa.

c. Kepala Desa bersama BPD menetapkan APBDes setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Selanjutnya Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa menjelaskan lebih rinci mengenai struktur APBDes sebagai berikut:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) terdiri dari: a. Pendapatan desa.

b. Belanja desa. c. Pembiayaan desa.


(53)

Pendapatan desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa, meliputi:

a. Pendapatan Asli Desa (PADesa). b. Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota. c. Bagian dari Retribusi Kabupaten/Kota. d. Alokasi Dana Desa (ADD).

e. Bantuan Keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Desa lainnya.

f. Hibah.

g. Sumbangan Pihak Ketiga.

Belanja desa meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa yang terdiri dari:

1) Belanja Langsung, terdiri dari: a. Belanja Pegawai.

b. Belanja Barang dan Jasa. c. Belanja Modal.

2) Belanja Tidak Langsung, terdiri dari: a. Belanja Pegawai/Penghasilan Tetap. b. Belanja Subsidi.

c. Belanja Hibah (Pembatasan Hibah). d. Belanja Bantuan Sosial.

e. Belanja Bantuan Keuangan. f. Belanja Tak Terduga.

Pembiayaan desa, meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya yang terdiri dari:

1) Penerimaan Pembiayaan, meliputi:

a. Sisa lebih perhitungan anggaran (SilPA) tahun sebelumnya. b. Pencairan Dana Cadangan.

c. Hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan. d. Penerimaan Pinjaman

2) Pengeluaran Pembiayaan, meliputi: a. Pembentukan Dana Cadangan. b. Penyertaan Modal Desa. c. Pembayaran Utang.


(54)

1. Penetapan Rancangan APBPekon

Proses dalam pembuatan rancangan APBPekon, sekretaris pekon yang ditugaskan untuk menyusun rancangan Peraturan Pekon Tentang APBPekon berdasarkan pada Rencana Kerja Pembangunan Pekon (RKPPekon) dan menyampaikan rancangan peraturan tersebut kepada kepala pekon untuk memperoleh persetujuan. Kepala pekon menyampaikan rancangan peraturan pekon, paling lambat minggu pertama bulan November tahun anggaran sebelumnya, kepada BHP untuk dibahas bersama dalam rangka memperoleh persetujuan bersama. Pembahasan rancangan peraturan pekon, menitikberatkan pada kesesuaian dengan RKPPekon. Rancangan peraturan pekon tentang APBPekon yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh kepala pekon sebagaimana dimaksud, paling lambat 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada Bupati/Walikota untuk dievaluasi, dan Rancangan Peraturan Pekon tentang APBPekon ditetapkan paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBD Kabupaten/Kota ditetapkan (Soemantri, 2011:153).

2. Evaluasi Rancangan APBPekon

Penetapkan evaluasi rancangan APBPekon dilakukan oleh Bupati/walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja. Apabila hasil evaluasi melampaui batas waktu dimaksud, Kepala Pekon dapat menetapkan Rancangan Peraturan Pekon tentang APBPekon menjadi peraturan pekon. Bupati/Walikota menyatakan hasil evaluasi Rancangan Peraturan Pekon tentang APBPekon tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan


(55)

perundang-undangan yang lebih tinggi, maka kepala pekon bersama BHP dapat melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh kepala pekon dan BHP, dan kepala pekon tetap menetapkan rancangan peraturan pekon tentang APBPekon tersebut menjadi peraturan pekon, Bupati/walikota membatalkan peraturan pekon dimaksud dan sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBPekon tahun anggaran sebelumnya. Pembatalan peraturan pekon dan pernyataan berlakunya pagu tahun anggaran sebelumnya tersebut, ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pembatalan, kepala pekon harus memberhentikan pelaksanaan peraturan pekon dan selanjutnya kepala pekon bersama BHP mencabut peraturan pekon dimaksud dan dilakukan dengan peraturan pekon tentang pencabutan peraturan pekon tentang APBPekon. Pelaksanaan pengeluaran atas pagu APBPekon tahun sebelumnya, ditetapkan dengan keputusan kepala pekon (Soemantri, 2011: 154).

3. Pelaksanaan APBPekon

Semua pendapatan pekon dilaksanakan melalui rekening kas pekon, khusus bagi pekon yang belum memiliki pelayanan perbankan di wilayahnya maka pengaturannya diserahkan kepada daerah. Program dan kegiatan yang masuk pekon merupakan sumber penerimaan dan pendapatan pekon dan wajib dicatat dalam APBPekon. Setiap pendapatan pekon tersebut harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah. Kepala


(56)

pekon wajib mengintensifkan pemungutan pendapatan pekon yang menjadi wewenang dan tanggungjawabnya. Pemerintah pekon dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan pekon. Pengembalian atas kelebihan pendapatan pekon dilakukan dengan membebankan pada pendapatan pekon yang terjadi dalam tahun yang sama. Untuk pengembalian kelebihan pendapatan pekon yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada belanja tidak terduga. Pengembalian dimaksud, harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah. Setiap pengeluaran belanja atas beban APBPekon harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah dan harus mendapat pengesahan oleh sekretaris pekon atas kebenaran material yang timbul dari penggunaan bukti yang dimaksud. Pengeluaran kas pekon yang mengakibatkan beban APBPekon tidak dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan pekon tentang APBPekon ditetapkan menjadi peraturan pekon. Pengeluaran kas pekon dimaksud tidak termasuk untuk belanja pekon yang bersifat mengikat dan belanja pekon yang bersifat wajib yang ditetapkan dalam peraturan kepala pekon. Bendahara pekon sebagai wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke rekening kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Soemantri, 2011: 155).


(57)

4. Perubahan APBPekon

Menurut Soemantri (2011: 156) bahwa perubahan APBPekon dapat dilakukan apabila terjadi:

a. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar jenis belanja.

b. Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran (SilPA). tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan.

c. Keadaan darurat. d. Keadaan luar biasa.

5. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBPekon

a. Penetapan pertanggungjawaban pelaksanaan APBPekon

Sekretaris pekon menyusun rancangan peraturan pekon tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBPekon dan rancangan keputusan kepala pekon tentang pertanggungjawaban kepala pekon dan menyampaikan kepada kepala pekon untuk dibahas bersama BHP paling lambat setelah 1 (satu) bulan setelah tahun anggran berakhir. Berdasarkan persetujuan kepala pekon dan BHP, maka rancangan peraturan pekon tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBPekon dapat ditetapkan menjadi peraturan pekon.

b. Penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBPekon

Peraturan Pekon tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBPekon dan Keputusan Kepala Pekon tentang Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Pekon sebagaimana dimaksud di atas, disampaikan kepada bupati/walikota melalui camat, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah


(58)

peraturan tersebut ditetapkan.

D. Tinjauan Pemerintah Pekon

Pemerintah pekon merupakan organisasi birokrasi yang bertugas untuk menyelenggarakan jalannya roda pemerintahan di pekon. Pemerintah pekon terdiri dari kepala pekon yang dibantu oleh perangkat pekon. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, bahwa pengertian pemerintah desa adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

Menurut Soemantri (2011: 7) menyebutkan bahwa:

“Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa, sedangkan perangkat desa terdiri dari sekertaris desa dan perangkat lainnya, yaitu sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan, yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya setempat”.

1. Kepala Pekon

Kepala desa atau kepala pekon mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Menurut Soemantri (2011: 7) dalam melaksanakan tugas kepala desa mempunyai wewenang :

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;

b. mengajukan rancangan peraturan desa;

c. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBDes untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;

e. membina kehidupan masyarakat desa; f. membina perekonomian desa;


(59)

g. mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;

h. mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kepala desa mempunyai kewajiban:

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. melaksanakan kehidupan demokrasi;

e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;

f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa;

g. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundangundangan; h. menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;

i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa;

j. melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa; k. mendamaikan perselisihan masyarakat di desa;

l. mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa;

m. membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat;

n. memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa; dan

o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.

Kepala desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati/walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.


(60)

2. Perangkat Pekon

a) Sekretaris Desa

Berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, jabatan Sekretaris Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Bagi Sekretaris yang ada selama ini bukan PNS dan memenuhi persyaratan, secara bertahap diangkat menjadi PNS sesuai peraturan perundang-undangan.

b) Perangakat Desa Lainnya

Perangkat desa lainnya terdiri dari staf atau kepala urusan yang bertugas membantu sekretaris desa. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, Perangkat Desa lainnya adalah staf sekretariat, pelaksana teknis lapangan dan perangkat kewilayahan. Perangkat desa tersebut diangkat oleh kepala desa dari masyarakat desa setempat, yang berusia paling rendah 20 tahun dan paling tinggi 60 tahun, dan ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa.

E. Interaksi Antar Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Publik

a. Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Publik

Aktor dalam pembuatan kebijakan merupakan orang yang mempunyai peran dan wewenang yang sah untuk ikut dalam formulasi hingga penetapan suatu kebijakan publik, walaupun pada kenyataannya sering dijumpai orang yang mempunyai wewenang sah untuk bertindak namun


(61)

masih dikendalikan oleh orang lain. Aktor memiliki posisi strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan itu sendiri. Interaksi antar aktor inilah yang kemudian menentukan arah tujuan dari suatu kebijakan. Menurut Agustino (2008: 29) yang termasuk aktor dalam pembuat kebijakan secara normatif adalah badan legislatif, eksekutif, administratur, dan para hakim.

Berdasarkan penjelasan di atas, yang dimaksud aktor pembuat kebijakan dalam penelitian ini adalah kepala pekon, Badan Hippun Pemekonan (BHP), dan masyarakat. Ketiga aktor tersebut terlibat secara langsung dalam proses perumusan hingga penetapan peraturan pekon tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon).

b. Interaksi Kepala Pekon, Badan Hippun Pemekonan (BHP) dan Masyarakat

Interaksi dalam hal ini difokuskan pada hubungan timbal balik antar orang atau lembaga yang saling mempengaruhi. Interaksi hanya akan terjadi bila antara orang atau lembaga mempunyai reaksi atau saling menanggapi. Menurut Madani dalam Fitria (2014: 16) syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial dapat terjadi antara orang dengan orang, orang dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dimaknai bahwa bentuk interaksi sosial dalam penelitian ini adalah antara kelompok dengan kelompok, yaitu antara kepala pekon bersama aparatur pekon dengan Badan Hippun


(62)

Pemekonan (BHP) dan masyarakat pekon Gadingrejo Timur dalam proses penetapan peraturan pekon tentang APBPekon.

Menurut Madani dalam Fitria (2014: 95), terdapat mekanisme interaksi Pemerintah Daerah dengan DPRD dalam pembahasan rancangan APBD, yaitu:

1. Akomodasi

Akomodasi diartikan sebagai suatu keadaan saling menguntungkan kedua kelompok aktor karena masing-masing sudah dipenuhi kepentingannya sehingga tidak terjadi perdebatan program yang serius. 2. Dominasi

Dominasi diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan adanya pertanyaan yang tidak terarah dan asal bertanya sehingga tidak substantif terhadap materi bahasan, sehingga menyebabkan pemerintah tidak mampu memberikan jawaban yang semestinya.

3. Kompromi

Komporomi diartikan sebagai suatu keadaan dengan adanya tawar-menawar program yang pada akhirnya dapat berakibat pada adanya pemberian fee pada DPRD.

Berdasarkan penjelasan di atas, dalam penelitian ini akan melihat bentuk interaksi yang terjadi antara BHP Gadingrejo Timur dengan Kepala Pekon Gadingrejo Timur dalam tahapan pembuatan peraturan pekon yaitu dimulai dari perumusan, pembahasan hingga penetapan peraturan pekon.

Selanjutnya Madani dalam Fitria (2014: 17) membagi proses interaksi sosialassosiatifdandisosiatifdalam tiga bentuk yaitu:


(1)

120

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat disimpulkan terkait Peran Badan Hippun Pemekonan Gadingrejo Timur dalam Penetapan Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014 bahwa pada tahapan identifikasi masalah, BHP belum pernah melakukan perkumpulan baik secara formal non formal dengan masyarakat untuk membahas isu dan masalah yang berkembang di masyarakat terkait dengan program pembangunan pada Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014.

Pada proses pembahasan rancangan peraturan pekon untuk memilih masalah mana yang harus diutamakan yaitu tahap agenda setting, BHP tidak pernah dilibatkan sama sekali bahkan kegiatan tersebut belum pernah terselenggara. Pada tahapan selanjutnya, legitimasi tidak dilakukan untuk mendapat dukungan kepada masyarakat atas rancangan peraturan pekon yang dibuat. Keselurahan kegiatan tersebut hanya didominasi oleh kepala pekon yang dibantu oleh perangkatnya. Penetapan kebijakan atau penetapan peraturan pekon hanya dilakukan oleh kepala pekon tanpa menghadirkan BHP sebagai lembaga legislatif pekon dan masyarakat. Pada tahap ini BHP hanya


(2)

121

berfungsi sebagai “stempel” yang menandakan bahwa peraturan pekon tersebut telah sah secara hukum.

BHP Gadingrejo Timur tidak berperan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif pekon yaitu pada penetapan Peraturan Pekon Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pekon (APBPekon) Tahun 2014 yang dimulai dari tahap identifikasi masalah, agenda setting, legitimasi dan penetapan kebijakan dikarenakan terjadi suatu interaksi antar aktor dalam penetapan peraturan pekon yaitu antara BHP dan kepala pekon yang membentuk suatu pola hubungan kontravensi, dimana terdapat suatu rasa ketidaksukaan yang dirasakan oleh pengurus BHP atas sikap kepemimpinan Kepala Pekon Gadingrejo Timur namun rasa ketidaksukaan tersebut bersifat tersembunyi tanpa diungkapkan secara umum.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:

1. Dalam memilih perwakilan rakyat selaku anggota BHP, agar dipilih dari orang-orang diprediksi mampu membawa aspirasi masyarakat yang memilihnya, selalu aktif serta amanah dalam menjalankan tugas. Dengan demikian, maka harapan masyarakat akan fungsi dan peran BHP benar-benar dapat diwujudkan.

2. Memperbaiki kinerja kepala pekon dan BHP agar dalam penetapan peraturan pekon memenuhi tahapan-tahapan atau mekanisme sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.


(3)

122

3. Membentuk hubungan kerjasama yang baik antara BHP dan kepala pekon sebagai lembaga legislatif dan lembaga eksekutif pada penyelenggaraan pemerintahan pekon.

4. BHP sangat penting untuk melakukan rapat internal antar anggota BHP untuk mengkaji kembali rancangan peraturan pekon yang diajukan oleh pihak pemerintah pekon.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2008.Dasar-Dasar Kebijakan Publik.Bandung:Alfabeta

B. Taneko, Soleman. 1986. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi.PT. Rajawali Pers Jakarta

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta

Beratha, I Nyoman. 1982. Desa Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa. Jakarta: Ghalia Indonesia

Kansil, C.S.T. 2008.Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta:Bumi Aksara

Hamzah Halim, Kemal Redindo. 2009. Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah. Jakarta: Kencana Media Group

Mashad, Dhrodin dkk. 2005. Konflik Elit Politik Pedesaan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Moleong, Lexy. 2006.Metode Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian.Jakarta: Ghalia Indonesia

Neuman, Lawrence.2013. Metodelogi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: PT. Indeks

Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Pers

Soekanto, S. 2009.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Soemantri, Bambang Trisantoro. 2011. Pedoman Penyelenggaraan pemerintah Desa. Bandung: Fokusmedia

Sugiyono. 2013.Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:Alfabeta

Wasistiono, Sadu dan Iwan Tahir. 2006. Prospek Pengembangan Desa. Jakarta: Fokusmedia


(5)

Widjaja, HAW. 2012. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (teori, proses dan kasus). CAPS (center for academic publishing service). Pringwulung

Perundang-undangan:

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa

Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa

Permendagri No. 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa

Peraturan Bupati Tanggamus Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Peraturan Pemekonan

Peraturan Daerah Kabupaten Pringsewu Nomor 02 Tahun 2013 Tentang Badan Hippun Pemekonan

Skripsi:

Nuryanto, Eko. 2013. Peran Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Kepala Pekon Dalam Penyusunan Rencana Pembanguna Jangka Menengah Pekon Gumukrejo Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu Tahun 2011-2015.Universitas Lampung. Bandar Lampung

Fitria, Siska. 2014. Relasi Kekuasaan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bukoposo dalam Pembuatan Peraturan Desa tentang Pungutan Desa Tahun 2014. Universitas Lampung. Bandar Lampung


(6)

Jurnal:

Astuty, Elgia dan Eva Hany Farida. 2011. Akuntabilitas Pemerintah Desa dalam Pengelolaan APBDesa( Studi Pada ADD Tahun Anggaran 2011 di Desa Sareng Kecamatan Geger Kabupaten Madiun)(jurnal). Universitas Negeri Surabaya

Anggreani Wenas,Stevany. 2010. Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Penetapan Peraturan Desa Di Desa Tumaluntung Satu Kecamatan Tareran Kabupaten Minahasa Selatan. Universitas Sam Ratulangi. Vol 1, No 3.

Bahren, Wilhelmus. 2013. Peranan Badan Permusyawaratan Desa dalm Proses Legislasi Pembentukan Peraturan Desa (Studi di Desa Semandang Kiri Kabupaten Ketapang).Universitas Tanjungpura Pontianak

Website:

Badan Permusyawaratan Desa

(https://pramudyarum.wordpress.com/2013/02/09/penyelenggaraan-pemerintahan-desa/ diakses pada tanggal 4 Januari 2015 Pukul 20.00 WIB)