PELAKSANAAN KEWENANGAN LEMBAGA HIMPUN PEMEKONAN DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEKON PADA PEKON PURALAKSANA KECAMATAN WAY TENONG KABUPATEN LAMPUNG BARAT

(1)

Dian Rama Nuari

ABSTRAK

PELAKSANAAN KEWENANGAN LEMBAGA HIMPUN PEMEKONAN DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEKON PADA PEKON

PURALAKSANA KECAMATAN WAY TENONG KABUPATEN LAMPUNG BARAT

Oleh Dian Rama Nuari

Lembaga Himpun Pemekonan (LHP) merupakan sebutan yang telah disesuaikan dengan bahasa dan kearifan lokal daerah setempat yang berarti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Himpun Pemekonan. Lembaga Himpun Pemekonan mempunyai kewenangan dalam membentuk peraturan pekon. Pada prinsipnya peraturan pekon merupakan produk hukum tingkat pekon dan merupakan hasil kebijakan yang dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa atau Peratin dengan Lembaga Himpun Pemekonan yang bertujuan untuk memperlancar proses Pemerintahan Pekon. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu: (1) Bagaimanakah pelaksanaan kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon pada Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat dan (2) Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat Lembaga Himpun Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon pada Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari observasi dan wawancara dengan informan yang telah ditetapkan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan. Data kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Lembaga Himpun Pemekonan mempunyai wewenang dalam membahas rancangan peraturan pekon bersama peratin, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan pekon dan peraturan peratin. Dalam pembentukan peraturan pekon. Sebelum peraturan pekon dikeluarkan terlebih dahulu diadakan rapat pembahasan rancangan Peraturan Pekon Puralaksana dan telah mencapai kesepakatan barulah peraturan pekon


(2)

Dian Rama Nuari ditetapkan dan dikeluarkan. (2) Faktor Penghambat Lembaga Himpun Pemekonan dalam Pembentukan Peraturan Pekon pada Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat yaitu faktor Sumber Daya Manusia karena kurangnya pengetahuan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam membentuk peraturan pekon yang dikarenakan oleh latar belakang pendidikan yang terbatas serta profesi sehari-hari sebagai petani di pekon. Selain itu yang menjadi faktor penghambat adalah kurangnya anggaran atau biaya dalam pembentukan peraturan pekon.


(3)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF THE AUTHORITY LEMBAGA HIMPUN PEMEKONAN IN THE FORMATION OF PEKON REGULATION ON

PEKON PURALAKSANA IN WAY TENONG DISTRICT WEST LAMPUNG

By

Dian Rama Nuari

Institutions himpun pemekonan (LHP) is appellation that has been adjusted for language local wisdom and local which means agency consultation village (BPD) set in a bylaw kabupaten lampung west number 13 year 2006 on the arrangement of organizations and work systems himpun pemekonan institutions. Institutions himpun pemekonan has the authority in forming pekon regulation. Problems in this research viz: (1) how exercise of authority institutions himpun pemekonan in the formation of regulation pekon in pekon puralaksana and (2) what are be a barrier institutions himpun pemekonan in the formation of regulation pekon in pekon puralaksana, kecamatan way tenong, kabupaten lampung west.

Methods used in this research is empirical juridical. The data collected is primary and secondary data. The primary data was obtained from observation and interviews with an informant who has been set, while secondary data acquired through study literature available. The data were analyzed both qualitative a sort of descriptive set.

The result showed that: (1) authority lhp in forming village regulations on pekon puralaksana in way tenong lampung western district based on by the district lampung western number 13 years 2006 about organisational hierarchy and work procedure himpun pemekonan institutions. Lhp have the authority in discussing the draft regulation pekon with peratin, carry out surveillance on the rules and regulations peratin pekon. Before the rule pekon issued first meeting was organized discussion the draft regulation pekon puralaksana and then pekon rules set and removed. (2) the barrier lhp in the formation of regulations pekon namely the human resources for lack of knowledge their duty and authority that caused by


(4)

Dian Rama Nuari

educational background and professional limited in daily as farmers in pekon. In addition a factor barrier is the lack of budget in costs.


(5)

PELAKSANAAN KEWENANGAN LEMBAGA HIMPUN PEMEKONAN DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEKON PADA PEKON

PURALAKSANA KECAMATAN WAY TENONG KABUPATEN LAMPUNG BARAT

Oleh

DIAN RAMA NUARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Dian Rama Nuari, Penulis dilahirkan di Kota Bumi Lampung Utara pada tanggal 6 Januari 1993 dan Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara yaitu dari pasangan Bapak Hakuan dan Ibu Minuryati.

Penulis mengawali mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Puralaksana pada tahun 1999-2005, Sekolah Lanjut Tingkat Pertama di SMP Negeri 1 Way Tenong pada tahun 2005-2008, dan menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Way Tenong pada tahun 2008-2011.

Pada tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur Undangan.


(9)

PERSEMBAHAN

Atas ridho Allah SWT dan segala kerendahan hati kupersembahkan skripsiku ini kepada :

“(alm) babah, terimakasih atas limpahan kasih sayang semasa hidupnya dan memberikan rasa rindu yang berarti”

“Mamak, terimakasih atas iringan doa dan tak ada keluh kesal di wajahmu dalam

mengantar anakmu ke gerbang masa depan yang cerah”

“Kakakku Rully dan ayukku Eka dan Gina tercinta, tiada yang paling

mengharukan saat kumpul bersama kalian dan menjadi warna yang tak akan bisa tergantikan”

Terimakasih atas doa dan bantuan kalian selama ini, hanya karya kecil ini yang dapat aku persembahkan maaf belum bisa menjadi penutan seutuhnya, tapi akan

aku akan selalu menjadi yang terbaik untuk kalian semua”

“Untuk almamater tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung, tempatku

memperoleh ilmu dan merancang mimpi yang menjadi sebagian jejak langkahku menuju kesuksesan”


(10)

MOTO

“Tiadanya keyakinanlah yang membuat orang takut menghadapi tantangan; dan saya percaya pada diri saya sendiri”

(Muhammad Ali)

“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah “


(11)

SANWACANA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil„alamin, Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan dalam Pembentukan Peraturan Pekon pada Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan ilmu pengetahuan, bimbingan, dan masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Fx Sumarja, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, motivasi dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

3. Ibu Nurmayani, S.H, M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan motivasi dan


(12)

masukan yang membangun serta mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

4. Bapak Syamsir Syamsu, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan saran dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

5. Ibu Marlia Eka, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang juga telah memberikan saran dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung;

7. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya Bapak/Ibu Dosen Bagian Hukum Administrasi Negara sumber mata air ilmuku yang penuh ketulusan, dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat dan motivasi bagi penulis, serta segala kemudahan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi;

8. Untuk teman-teman Fakultas Hukum: Reza, Sindu, Tommy, Dimas, Tara, Revan, Oji, Amir, Akbar, Julian, Aris, Hari, Tary, Dhana, Prisca, Kio, Bumi Sari Crew terimakasih untuk kebersamaannya, saling melindungi, dan menyayangi (Anggun, Risa, Vicky, dan Edi), dan rekan-rekan angkatan 2011 khususnya jurusan Hukum Administrasi Negara atas kekeluargaan dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini, semoga tidak akan terputus ditelan zaman.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua doa, bantuan dan dukungannya;


(13)

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada Penulis. Akhir kata Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi Penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bandar Lampung, 4 November 2015 Penulis,


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur Kepengurusan Lembaga Himpun Pemekonan

Puralaksana ...40 Gambar 2. Alur Skema Pembentukan Peraturan Pekon Pekon

Puralaksana ...45


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2. Rumusan Masalah...6

1.3. Ruang Lingkup Penelitian ...6

1.4. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ...7

1.4.1. Tujuan Penelitian ...7

1.4.2. Kegunaan Penelitian ...7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kewenangan ...8

2.2. Pengertian Desa ...9

2.3. Pemerintahan Desa ...12

2.3.1. Pengertian Pemerintahan Desa ...12

2.3.2. Kepala Desa ...12

2.3.3. Badan Permusyawaratan Desa ...15

2.3.4. Perangkat Desa ...19

2.4. Otonomi Desa ...20

2.5. Peraturan Desa ...26

2.5.1. Manfaat Peraturan Desa ...30


(16)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Masalah ...33

3.2. Sumber Data ...33

3.3. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ...35

3.3.1. Prosedur Pengumpulan Data ...35

3.3.2. Prosedur Pengolahan Data ...36

3.4 Analisis Data ...37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinjauan Umum tentang Lembaga Himpun Pemekonan pada Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat...38

4.1.1 Gambaran Umum ...38

4.1.2 Hak dan Kewajiban ...39

4.1.3 Susunan Organisasi ...40

4.2 Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan dalam Pembentukan Peraturan Pekon pada Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat ...41

4.3 Faktor-Faktor Penghambat Lembaga Himpun Pemekonan dalam Pembentukan Peraturan Pekon pada Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat ...49

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ...51

5.2 Saran ...52 DAFTAR PUSTAKA


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia selalu berusaha untuk mencapai kemajuan di segala bidang untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang di dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “melindungi segenap tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan keadilan sosial”. Berdasarkan pada semangat itu, maka pemerintah Indonesia telah melaksanakan pembangunan di segala bidang diseluruh wilayah Indonesia baik dipusat, di daerah dan sampai ke desa-desa.

Semangat tersebut kemudian juga dituangkan dalam hal otonomi desa sebagai bagian dari otonomi daerah, yakni merupakan amanat dari Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Kemudian dalam Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah


(18)

2

provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Berdasarkan pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 ini maka lahirlah Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di revisi kembali melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Semangat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menganut prinsip pengakuan (rekognisi) atas otonomi asli, dimana desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat (self governing community), dan bukan merupakan kewenangan yang diserahkan pemerintah atasan atau kabupaten pada desa.1

Desa memiliki hak asal-usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang, maka lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Daerah-daerah di Indonesia dalam konteks bahasa banyak yang menyebutkan

“desa” dalam ragam bahasa yang lainnya, namun tetap sama artinya dengan desa,

misal di masyarakat Padang, dikenal dengan sebutan “nagari”. Namun, jika dilihat secara etimologis kata desa berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “deca”, seperti

1

Rudi, Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia, Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2012, hlm 102.


(19)

3

dusun, desi, negara, negeri, negari, naagaro, negory (nagarom), yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran, tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan satu kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas.2

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai unit terkecil dalam stuktur ketatanegaraan Indonesia desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan. Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara, yakni menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat. Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. 3

Badan Permusyawaratan Desa dibentuk dalam rangka melaksanakan kewenangan yang dimiliki untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Sebagai lembaga legislasi dan wadah yang berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Lembaga ini pada hakikatnya adalah mitra kerja Pemerintah Desa yang memiliki kedudukan yang sejajar dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Badan Permusyawaratan Desa dapat membuat Rancangan Peraturan Desa yang secara bersama-sama Pemerintah Desa ditetapkan menjadi Peraturan Desa.

2

Didik Sukrino, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa, Malang: Setara Press. 2012., hlm 59.

3


(20)

4

Pada prinsipnya peraturan desa merupakan produk hukum tingkat desa dan merupakan hasil kebijakan yang dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang bertujuan untuk memperlancar proses Pemerintahan Desa. Peraturan desa ini wajib dibuat, karena digunakan acuan untuk menjalankan proses Pemerintahan Desa agar tidak melenceng dari yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Desa. Dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Desa terdapat proses timbal balik antara masyarakat desa dengan Peraturan Desa dan Lembaga pembentuknya. Masyarakat desa dapat memberikan masukan dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Desa atau Peraturan Perundang-Undangan yang lain karena pada dasarnya nilai-nilai dalam Peraturan Desa sangat berpengaruh dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat.4

Pembentukan peraturan desa merupakan instrumen penting yang sangat menentukan dalam rangka perwujudan tata pemerintahan desa yang baik (good village governance) di tingkat desa. Penyusunan Perdes perlu dilakukan proses penguatan kerjasama Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa khususnya tahap penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya agar berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan memenuhi prinsip-prinsip good village governance seperti transparansi, partisipasi, efektifitas dan akuntebel.

Badan Permusyawaratan Desa dalam hal ini, sebagai lembaga pengawasan memiliki kewajiban untuk melakukan kontrol terhadap implementasi peraturan desa serta jalannya pemerintahan desa. Disinilah kemudian peran Badan

4

Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999, hlm. 15.


(21)

5

Permusyawaratan Desa yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah desa. Badan Permusyawaratan Desa inilah yang harus menjadi motor penggerak otonomi desa.5 Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.6 Oleh karenanya Badan Permusyawaratan Desa sebagai badan permusyawaratan yang berasal dari masyarakat desa, disamping menjalankan fungsinya sebagai jembatan penghubung antara kepala desa dengan masyarakat desa, juga harus menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi representasi (perwakilan).7

Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga pengawasan memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap implementasi peraturan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) serta jalannya pemerintahan desa. Kewenangan Badan Permusyawaratan Desa dalam pembentukan desa pun tidaklah berdiri sendiri, Badan Permusyawaratan Desa bekerja bersama Kepala Desa sehingga kewenangan dalam Pembentukan Peraturan Desa tidak boleh dibuat secara sepihak.

Pemberian kewenangan (devolution of authority) kepada unit-unit atau satuan pemerintahan yang lebih rendah dan lebih kecil merupakan sesuatu kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat dihindari.8 Namun, yang menjadi permasalahan adalah faktor penghambat dalam pelaksanaan kewenangan Lembaga Himpun

5

Ibid.

6

JF. Tualaka, Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: Jogja Great Publisher, 2009, hlm. 210.

7

Sadu Wasistiono dan M Irawan Tahir, Prospek Pengembangan Desa, Bandung: CV Fokus Media, 2007, hlm. 35.

8

Syaukani, HR, Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 21.


(22)

6

Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon. Oleh karenanya perlu di kaji mengenai pelaksanaan kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk menuangkan penelitian yang berbentuk skripsi yang berjudul: Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan dalam Pembentukan Peraturan Pekon Pada Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon pada Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat ?

b. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat Lembaga Himpun Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon pada Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat ?

1.3Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian hukum administrasi negara, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan (LHP) dalam pembentukan peraturan Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat. Ruang Lingkup lokasi penelitian adalah pada Lembaga Himpun Pemekonan (LHP) dan Peratin Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat. Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2015.


(23)

7

1.4 Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. 4. 1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon pada Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat Lembaga Himpun Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon pada Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat.

1. 4. 2 Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memperluas juga memperdalam ilmu hukum termasuk di dalamnya Hukum Administrasi Negara yang berkaitan dengan Hukum Administrasi Daerah.

b. Kegunaan Praktis

1) Upaya peningkatan dan perluasan pengetahuan bagi peneliti dalam bidang hukum.

2) Bahan kajian bagi peneliti maupun pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan fungsi Lembaga Himpun Pemekonan dalam pengaturan kewenangan pembentukan peraturan pekon.

3) Sumbangan pemikiran dan bahan bacaan serta sumber informasi bagi yang membutuhkan.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kewenangan

Pengertian kewenangan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Berbicara kewenangan memang menarik, karena secara alamia manusia sebagai mahluk sosial memiliki keinginan untuk diakui ekstensinya sekecil apapun dalam suatu komunitasnya, dan salah satu faktor yang mendukung keberadaan ekstensi tersebut adalah memiliki kewenangan.9

Secara pengertian bebas kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu10. Sementara berbicara tentang sumber-sumber kewenangan, maka terdapat 3 ( tiga ) sumber-sumber kewenangan yaitu :

a. Sumber Atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/pejabat Negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk Undang-Undang. Sebagai contoh: Atribusi kekuasaan presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang.

9

Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Negara Pasca Sarjana, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm 33.


(25)

9

b. Sumber Delegasi yaitu penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari badan/lembaga pejabat tata usaha Negara lain dengan konsekuensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Sebagai contoh Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang persetujuan calon wakil kepala daerah.

c. Sumber Mandat yaitu pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh: Tanggung jawab memberi keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.

Dari ketiga sumber tersebut maka merupakan sumber kewenangan yang bersifat formal, sementara dalam aplikasi dalam kehidupan sosial terdapat juga kewenangan informal yang dimiliki oleh seseorang karena berbagai sebab seperti: Kharisma, kekayaan, kepintaran, ataupun kelicikan. Tapi pada kesempatan ini, akan lebih banyak berbicara tentang kewenangan yang bersifat formal dan berkaitan erat dengan konsep hubungan pemerintah pusat dan daerah.

2.2 Pengertian Desa

Desa sebagai tempat tinggal kelompok masyarakat tertentu ditimbulkan oleh berbagai unsur, yaitu :

a. Sifat manusia sebagai mahkluk sosial; b. Unsur kejiwaan;

c. Alam sekeliling manusia; d. Kepentingan yang sama; e. Bahaya dari luar.

Terjalin hubungan antar individu dalam kelompok masyarakat tersebut yang melandasi hubungan kekerabatan, tempat tinggal dan kesamaan kepentingan. Dalam desa tersebut terdapat adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya


(26)

10

kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat, dan kebiasaan yang masih hidup dan tetap diakui. Menurut Prof. Ter Haar, yang dimaksud dengan masyarakat hukum yaitu suatu lingkungan kehidupan penduduk yang mempunyai tata susunan sebagai berikut:

a. Tata susunan kekal;

b. Mempunyai harta kekayaan sendiri (wilayah dan sumber kehidupan dan pendapatan);

c. Mempunyai pengurus sendiri;

d. Merupakan suatu unit atau suatu kesatuan yang kompleks terhadap pihak luar.

Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat-masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau parental) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit juga perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri komunal, di mana gotong-royong, tolong-menolong, serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar.


(27)

11

Adanya sejumlah penduduk dalam suatu wilayah atau tempat tinggal yang permanen, biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang sangat kuat sebagai pengaruh kesatuan wilayah tempat tinggal. Keadaan ini menyebabkan pola tata masyarakat desa mempunyai ciri khas yaitu masyarakat komunal. Manusia dalam masyarakat tersebut merupakan mahkluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat dan kekal. Kondisi ini dapat dilihat dari:

a. Hukum adat itu memandang masyarakat sebagai paguyuban, yaitu kehidupan bersama telah ada dan manusia memandang lainnya sebagai tujuan;

b. Hubungan manusia menghadapi manusia lainnya dilakukan dengan perasaan dan segala sentimennya.

Istilah desa secara eksplisit tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu terdapat dalam Pasal 7 Angka 43. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan desa yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, desa merupakan sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, kampung, dusun. Dan pedesaan merupakan daerah pemukiman yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, dan air sebagai syarat penting bagi terwujudnya pola-pola kehidupan agraris penduduk di daerah itu.


(28)

12

2.3Pemerintahan Desa

2.3.1 Pengertian Pemerintahan Desa

Pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemertintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa terdiri dari Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)15. Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Sedangkan BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah desa. Mengenai susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa.

2.3.2 Kepala Desa

Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Kepala desa mempunyai wewenang:

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;

b. Mengajukan rancangan peraturan desa;

c. Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;

d. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBD Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;

e. Membina kehidupan mayarakat desa; f. Membina perekonomian desa;


(29)

13

g. Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;

h. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

i. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kepala Desa mempunyai kewajiban11:

a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. Melaksanakan kehidupan demokrasi;

e. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;

f. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa; g. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; h. Menyelenggarakan administrasi pemerintah desa yang baik;

i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa; j. Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa;

k. Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa; l. Mengembangkan pendapatan masyarakat;

m. Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat

11Ibid.,


(30)

14

istiadat;

n. Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa; dan

o. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.

Secara administratif, kepala desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati/walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat12.

Laporan penyelenggaraan pemerintahan desa disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu tahun. Laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD disampaikan 1 (satu) kali dalam satu tahun dalam musyawarah BPD. Laporan penyelenggaraan pemerintah desa kepada masyarakat, dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa, radio komunitas atau media lainnya13.

Kepala Desa dilarang :

a. Menjadi pengurus partai politik;

b. Merangkap jabatan sebagai Ketua dan/atau Anggota BPD; c. Merangkap jabatan sebagai Anggota DPRD;

d. Terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah;

e. Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasi warga atau golongan masyarakat lain;

f. Melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme, menerima uang, barang dan/jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan

12

Rudy, Op.Cit., hlm 88.


(31)

15

yang akan dilakukannya;

g. Menyalahgunakan wewenang; dan h. Melanggar sumpah/janji jabatan.

Kepala Desa berhenti, karena : a. Meninggal dunia; b. Permintaan sendiri; c. Diberhentikan.

Kepala Desa diberhentikan karena :

a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;

b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;

c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa; d. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan; e. Tidak melaksanakan kewajiban kepala desa; dan f. Melanggar larangan bagi kepala desa.

2.3.3 Badan Permusyawaratan Desa

Berdasarkan pada Pasal 1 butir (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain (Lembaga Himpun Pemekonan) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Berdasarkan pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi Membahas dan menyepakati


(32)

16

Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Badan Permusyawaratan Desa atau BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya14.

Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan desa. BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD mempunyai wewenang :

a. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;

b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa;

c. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa; d. Membentuk panitia pemilihan kepala desa;

e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan

f. Menyusun tata tertib BPD.

14

AH. Nasution, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hlm 105.


(33)

17

Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Badan Permusyawaratan Desa berhak: a. Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan

Desa kepada Pemerintah Desa;

b. Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan

c. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:

a. mengajukan usul rancangan Peraturan Desa; b. mengajukan pertanyaan;

c. menyampaikan usul dan/atau pendapat; d. memilih dan dipilih; dan

e. mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Selain hak, anggota BPD juga mempunyai kewajiban :

a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;

b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa;

c. Mempertahankan dan memlihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;


(34)

18

d. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

e. Memproses pemilihan kepala desa;

f. Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan;

g. Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat; dan

h. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.

Pimpinan dan Anggota BPD menerima tunjangan sesuai dengan kemampuan keuangan desa. Tunjangan pimpinan dan anggota BPD ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Untuk kegiatan BPD disediakan biaya operasional sesuai kemampuan keuangan desa yang dikelola oleh Sekretaris BPD.

Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. Selain itu juga, pimpinan dan anggota BPD dilarang :

a. Sebagai pelaksana proyek desa;

b. Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;

c. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;

d. Menyalahgunakan wewenang; dan e. Melanggar sumpah/janji jabatan.


(35)

19

BPD sebagai suatu lembaga perwakilan di desa berfungsi sebagai perencana segala hal yang berkaitan dengan pembangunan di desa, kemudian sepenuhnya akan dilaksanakan oleh kepala desa sebagai eksekutif di desa melalui sebuah mekanisme kontrol dari BPD hingga pada penerimaan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan pada BPD. Sebagai prinsip dasar yang diperhatikan bahwa lembaga perwakilan tersebut adalah milik rakyat, maka rakyatlah yang akan menentukan urusan-urusan apa saja yang akan sebaiknya diatur.15

2.3.4 Perangkat Desa

Perangkat desa bertugas membantu kepala desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dengan demikian, perangkat desa bertanggungjawab kepada kepala desa.

Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Perangkat desa lainnya terdiri dari :

a. Sekretariat desa;

b. Pelaksana teknis lapangan; c. Unsur kewilayahan.

Jumlah perangkat desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Sekretaris Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan, yaitu:

a. Berpendidikan paling rendah lulusan SMU atau sederajat; b. Mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan; c. Mempunyai kemampuan di bidang administrasi perkantoran;

15Ibid.,


(36)

20

d. Mempunyai pengalaman di bidang administrasi keuangan dan di bidang perencanaan;

e. Memahami sosial budaya masyarakat setempat; dan f. Bersedia tinggal di desa yang bersangkutan.

Sekretaris Desa diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota. Perangkat desa lainnya diangkat oleh kepala desa dari penduduk desa dengan keputusan kepala desa. Usia perangkat desa paling rendah 20 (dua puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun.16

2.4 Otonomi Desa

Widjaja menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan landasan kuat bagi desa dalam mewujudkan “Development Community” dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau

bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent Community” yaitu desa

dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang

16

Martin Jimung, Politik Lokal dan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2005, hlm 154.


(37)

21

sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan politik.

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah provinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat. Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha menjelaskan sebagai berikut :

a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.

b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan. Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.


(38)

22

Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggung jawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Semangat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang yang meletakkan posisi desa berada di bawah Kabupaten tidak koheren dan konkruen dengan nafas lain dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang justru mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul17. Pengakuan pada kewenangan asal-usul ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang menganut prinsip pengakuan (rekognisi). Konsekuensi dari pengakuan atas otonomi asli adalah desa memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat


(39)

23

setempat (self governing community), dan bukan merupakan kewenangan yang diserahkan pemerintahanatasan pada desa.

Adanya dua prinsip/asas dalam pengaturan tentang desa tentu saja menimbulkan ambivalensi dalam menempatkan kedudukan dan kewenangan desa. Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah desa memiliki otonomi? Ketidakjelasan kedudukan dan kewenangan desa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 membuat Undang-Undang tersebut belum kuat mengarah pada pencapaian cita-cita Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Sejak lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, otonomi (kemandirian) desa selalu menjadi bahan perdebatan dan bahkan menjadi tuntutan riil di kalangan asosiasi desa (sebagai representasi desa), tetapi sampai sekarang belum terumuskan visi bersama apa makna otonomi desa18.

Permasalahan dalam memaknai otonomi desa ini pun sebenarnya terkait dengan batasan institusional dikarenakan posisi desa yang sudah baku ditetapkan oleh Undang-Undang 23 Tahun 2014 sebagai desa administratif. Format bakunya adalah desa administratif yang tentu bukan desa adat yang mempunyai otonomi asli (self governing community) dan bukan juga desa otonom (local self government) seperti daerah otonom. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak menempatkan desa pada posisi yang otonom, dan tidak membolehkan terbentuknya desa adat sendirian tanpa kehadiran desa administratif 19.

Posisi desa administratif ini membawa konsekuensi atas keterbatasan kewenangan desa, terutama pada proses perencanaan dan keuangan. Kewenangan asal-usul (asli) susah diterjemahkan dan diidentifikasi karena keberagamannya. Kewenangan dalam bidang-bidang pemerintahan yang diserahkan oleh/dari

18

AH. Nasution, Op.Cit., hlm. 107.

19


(40)

24

kabupaten lebih banyak bersifat kewenangan sisa yang tidak dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota dan mengandung banyak beban karena tidak disertai dengan pendanaan yang semestinya. Keterbatasan kewenangan itu juga membuat fungsi desa menjadi terbatas dan tidak memberikan ruang gerak bagi desa untuk mengurus tata pemerintahannya sendiri20.

Gagasan utama desentralisasi pembangunan adalah menempatkan desa sebagai entitas yang otonom dalam pengelolaan pembangunan. Dengan demikian, perencanaan desa dari bawah ke atas (bottom up) juga harus ditransformasikan menjadi village self planning, sesuai dengan batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh desa. Desentralisasi pembangunan identik dengan membuat perencanaan pembangunan cukup sampai di desa saja. Desa oleh karenanya mempunyai kemandirian dalam perencanaan pembangunan tanpa instruksi dan intervensi oleh pemerintah supradesa. Disinilah kemudian peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau yang disebut dengan nama lain, sebagai lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggara pemerintahan desa. BPD inilah yang harus menjadi motor penggerak otonomi desa, Otonomi desa setidaknya harus melingkupi pada tiga asas hak asal-usul, yaitu:

a. pengakuan terhadap susunan asli;

b. pengakuan terhadap sistem norma/pranata sosial yang dimiliki dan berlaku; serta,

c. pengakuan terhadap basis material yakni ulayat serta aset-aset kekayaan desa (property right). Dengan demikian, sebenarnya otonomi desa ini bisa diimplementasikan dengan baik dalam kerangka desa adat, bukan desa


(41)

25

administratif.

Gagasan otonomi desa sebenarnya mempunyai relevansi (tujuan dan manfaat) sebagai berikut :

a. Memperkuat kemandirian desa sebagai basis kemandirian NKRI; b. Memperkuat posisi desa sebagai subyek pembangunan;

c. Mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat; d. Memperbaiki pelayanan publik dan pemerataan pembangunan;

e. Menciptakan efisiensi pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal;

f. Menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat desa;

g. Memberikan kepercayaan, tanggungjawab dan tantangan bagi desa untuk membangkitkan prakarsa dan potensi desa;

h. Menempa kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan;

i. Membuka arena pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah desa, lembaga-lembaga desa; dan masyarakat

j. Merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal.

Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa, sedangkan Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat lainnya, yaitu sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan, yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya setempat21.

Sesuai Pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.


(42)

26

Kepala Desa berwenang:

a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan desa; b. mengangkat dan memberhentikan perangkat desa;

c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa; d. menetapkan Peraturan Desa;

e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; f. membina kehidupan masyarakat Desa;

g. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa.

2.5 Peraturan Desa

Pasal 69 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa mengatur mengenai peraturan desa sebagai berikut:

(1) Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa.

(2) Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(3) Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.

(4) Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. (5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh

Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota.


(43)

27

(6) Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya.

(7) Kepala Desa diberi waktu paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.

(8) Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya.

(9) Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa. (10) Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan

Peraturan Desa.

(11) Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh sekretaris Desa.

(12) Dalam pelaksanaan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan pelaksanaannya.

Pasal 70 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa mengatur sebagai berikut:

(1) Peraturan bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan kerja sama antar-Desa.

(2) Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perpaduan kepentingan Desa masing-masing dalam kerja sama antar-Desa.


(44)

28

Berdasarkan penjelasan mengenai peraturan desa butir ke (7) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur bahwa Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa merupakan kerangka hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembangunan Desa.

Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum, yaitu:

a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;

d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; dan

e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.

Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa.

Peraturan Desa yang mengatur kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan berskala lokal Desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa


(45)

29

dan Badan Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan Peraturan Desa senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh warga masyarakat Desa setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat Desa.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang telah ditetapkan, Badan Permusyawaratan Desa berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Itulah salah satu fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan Desa. Selain Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan Peraturan Desa. Jenis peraturan yang ada di Desa, selain Peraturan Desa adalah Peraturan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa.

Berdasarkan Pada Pasal 1 Butir (6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa disebutkan bahwa pengertian Peraturan Desa adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dengan persetujuan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam membuat suatu rancangan Peraturan Desa, Kepala Desa dibantu oleh perangkat desa dan memperoleh masukan dari berbagai elemen masyarakat tentang hal-hal yang perlu diatur. Setelah mendapat berbagai masukan dari masyarakat, Kepala Desa menyusun draft Peraturan Desa dan diserahkan kepada Badan Permusyawaratan Desa yang akan melaksanakan rapat guna membahas draft tersebut. Badan Permusyawaratan Desa yang terbentuk dari berbagai perwakilan elemen masyarakat tersebut tidak langsung menerima draft yang diajukan oleh Kepala


(46)

30

Desa, tetapi dibahas dengan alur musyawarah, sehingga Peraturan Desa yang ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya.

Peraturan Desa yang ditetapkan oleh Badan Permusyawaratan Desa memuat tentang:

a. Peraturan yang bersifat mengatur;

b. Segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat desa; c. Segala sesuatu yang menimbulkan beban bagi keuangan desa.

Draft Peraturan Desa tersebut diajukan pada Badan Permusyawaratan Desa untuk pengambilan keputusan dengan berdasarkan masukan dari masyarakat dan merupakan tanggung jawab Badan Permusyawaratan Desa.

2.5.1 Manfaat Peraturan Desa

Adapun manfaat dari Peraturan Desa, yaitu:

1. Sebagai pedoman kerja bagi semua pihak dalam penyelenggaraan kegiatan di desa.

2. Terciptanya tatanan kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang di desa. 3. Memudahkan pencapaian tujuan.

4. Sebagai acuan dalam rangka pengendalian dan pengawasan. 5. Sebagai dasar pengenaan sanksi atau hukuman.


(47)

31

2.5.2 Penyusunan Peraturan Desa

Penyusunan Peraturan Desa dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa dibedakan menjadi penyusunan Peraturan Desa oleh Kepala Desa dan penyusunan Peraturan Desa oleh Badan Permusyawaratan Desa.

Pasal 6 mengatur tentang penyusunan Peraturan Desa oleh Kepala Desa, sebagai berikut:

(1) Penyusunan rancangan Peraturan Desa diprakarsai oleh Pemerintah Desa. (2) Rancangan Peraturan Desa yang telah disusun, wajib dikonsultasikan kepada

masyarakat desa dan dapat dikonsultasikan kepada camat untuk mendapatkan masukan.

(3) Rancangan Peraturan Desa yang dikonsultasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diutamakan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat yang terkait langsung dengan substansi materi pengaturan.

(4) Masukan dari masyarakat desa dan camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan Pemerintah Desa untuk tindaklanjut proses penyusunan rancangan Peraturan Desa.

(5) Rancangan Peraturan Desa yang telah dikonsultasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan Kepala Desa kepada Badan Permusyawaratan Desa untuk dibahas dan disepakati bersama.

Pasal 7 mengatur tentang penyusunan Peraturan Desa oleh Badan Permusyawaratan Desa, sebagai berikut:


(48)

32

(2) Rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali untuk rancangan Peraturan Desa tentang rencana pembangunan jangka menengah Desa, rancangan Peraturan Desa tentang rencana kerja Pemerintah Desa, rancangan Peraturan Desa tentang APBDes dan rancangan Peraturan Desa tentang laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDes. (3) Rancangan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

diusulkan oleh anggota BPD kepada pimpinan BPD untuk ditetapkan sebagai rancangan Peraturan Desa usulan BPD.


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan dua cara, yaitu:

a. Pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dengan cara mengumpulkan dan mengkaji peraturan-peraturan tertulis dari buku-buku dan literatur-literatur yang memuat bahan-bahan serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pokok pembahasan dalam penelitian skripsi ini.

b. Pendekatan yuridis empiris, yaitu dengan mengambil data primer dengan cara survei ke lapangan atau meninjau langsung lokasi serta melakukan wawancara terhadap pihak terkait atau informan (Ketua, Wakil, Sekretaris atau Bendahara Lembaga Himpun Pemekonan atau Perangkat Pekon) yang ada kaitannya dengan skripsi ini.

3.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.


(50)

34

3.2.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan, yaitu hasil wawancara dengan responden atau narasumber. Narasumber adalah pihak-pihak yang dijadikan sumber informasi di dalam suatu penelitian dan memiliki pengetahuan serta informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kasubag Umum Kepegawaian Kecamatan Way Tenong, : 1 orang Kabupaten Lampung Barat.

2. Ketua Lembaga Himpun Pemekonan Puralaksana Kecamatan : 1 orang Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat.

3. Peratin Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong , : 1 orang Kabupaten Lampung Barat.

4. Camat Way Tenong Kabupaten Lampung Barat. : 1 orang

Jumlah : 4 orang

3.2.2 Data Sekunder

Sedangkan data sekunder terdiri dari : (a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain :

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang


(51)

35

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Desa.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Desa.

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

8. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Himpun Pemekonan.

(b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berupa literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan hukum yang ditulis.

(c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang bersumber dari kamus hukum, surat majalah hukum, jurnal penelitian hukum serta bersumber dari bahan-bahan yang didapat melalui internet.

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data

Untuk membantu dalam proses penelitian ini, maka peneliti menggunakan dua macam teknik pengumpulan data, yaitu :


(52)

36

(a) Studi Lapangan

Studi lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan data primer, yaitu dengan melakukan observasi dan wawancara dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan atau informasi yang diperlukan kepada peneliti.

(b) Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder dengan cara membaca, mempelajari, mengutip, dan merangkum data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

3.3.2 Prosedur Pengolahan Data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

(a) Identifikasi

Identifikasi data yaitu mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan dalam Pembentukan Peraturan Pekon (Studi Pada Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat).

(b) Editing

Editing data yaitu meneliti kembali data yang diperoleh dari keterangan para informan maupun dari kepustakaan. Hal ini perlu untuk mengetahui apakah data tersebut sudah cukup dan dapat dilakukan.


(53)

37

(c) Klasifikasi data

Klasifikasi data yaitu menyusun data yang diperoleh menurut kelompok yang telah ditentukan secara sistematis sehingga data tersebut siap untuk dianalisis. (d) Sistematisasi data

Sistematisasi data yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dalam data tersebut dapat dianalisis menurut susunan yang benar dan tepat.

(e) Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yaitu langkah selanjutnya setelah data tersusun secara sistematis kemudian dilanjutkan dengan penarikan suatu kesimpulan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus.

3. 4 Analisis Data

Tujuan dari analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan diinterprestasikan. Data yang telah diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif maksudnya adalah analisis data yang digunakan dengan menjabarkan secara rinci kenyataan atau keadaan atas suatu obyek dalam bentuk kalimat guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap permasalahan yang diajukan sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan.


(54)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini disimpulkan sebagai berikut:

a. Pelaksanaan kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan (LHP) dalam membentuk Peraturan Pekon Pada Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Himpun Pemekonan, dimana sebutan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yaitu Lembaga Himpun Pemekonan (LHP). Pasal 4 Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2006 mengatur bahwa LHP mempunyai wewenang dalam membahas rancangan peraturan pekon bersama peratin, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan pekon dan peraturan peratin. Dalam pembentukan peraturan pekon. Sebelum peraturan pekon dikeluarkan terlebih dahulu diadakan rapat pembahasan rancangan Peraturan Pekon Puralaksana dan telah mencapai kesepakatan barulah peraturan pekon ditetapkan dan dikeluarkan.


(55)

52

b. Faktor penghambat Lembaga Himpun Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon pada Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat yaitu faktor Sumber Daya Manusia (SDM) karena kurangnya pengetahuan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam membentuk peraturan pekon yang dikarenakan oleh latar belakang pendidikan yang terbatas serta profesi sehari-hari sebagai petani di pekon dan kurangnya anggaran atau biaya dalam pembentukan peraturan pekon.

5.2Saran

Berdasarkan pada kesimpulan di atas, Peneliti mengajukan saran sebagai berikut: a. Lembaga Himpun Pemekonan dan perangkat pekon lainnya yang mana

merupakan sumber daya manusia yang masih terbatas karena kurangnya pengetahuan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam membentuk peraturan pekon sebaiknya perlu diberikan pelatihan-pelatihan

capacity building oleh pemerintah daerah setempat.

b. Pembentukan peraturan pekon yang tidak hanya melibatkan Lembaga Himpun Pemekonan (LHP) tetapi juga melibatkan seluruh perangkat pekon membutuhkan anggaran atau biaya sehingga sebaiknya untuk pembentukan peraturan pekon dananya dianggarkan dalam APBPek.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Asshidiqie, Jimly. 2010. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Negara Pasca Sarjana. Jakarta: Sinar Grafika.

Jimung, Martin. 2005. Politik Lokal dan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

Juanda. 2008. Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: PT Alumni.

Nasution, AH. 2008. Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rudi. 2012. Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia. Bandar Lampung: Indepth Publishing.

Sukrino, Didik. 2012. Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa. Malang: Setara Press.

Syaukani, HR, Afan Gaffar, dan M. Ryaas Rasyid. 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tualaka, JF. 2009. Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan. Yogyakarta: Jogja Great Publisher.

Wasistiono, Sadu dan M Irawan Tahir. 2007. Prospek Pengembangan Desa.

Bandung: CV Fokus Media.

Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.


(57)

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Desa.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Desa. 7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman

Teknis Peraturan di Desa.

8. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Himpun Pemekonan.


(1)

(a) Studi Lapangan

Studi lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan data primer, yaitu dengan melakukan observasi dan wawancara dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan atau informasi yang diperlukan kepada peneliti.

(b) Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder dengan cara membaca, mempelajari, mengutip, dan merangkum data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

3.3.2 Prosedur Pengolahan Data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

(a) Identifikasi

Identifikasi data yaitu mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan dalam Pembentukan Peraturan Pekon (Studi Pada Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat).

(b) Editing

Editing data yaitu meneliti kembali data yang diperoleh dari keterangan para informan maupun dari kepustakaan. Hal ini perlu untuk mengetahui apakah data tersebut sudah cukup dan dapat dilakukan.


(2)

37

(c) Klasifikasi data

Klasifikasi data yaitu menyusun data yang diperoleh menurut kelompok yang telah ditentukan secara sistematis sehingga data tersebut siap untuk dianalisis. (d) Sistematisasi data

Sistematisasi data yaitu penyusunan data secara teratur sehingga dalam data tersebut dapat dianalisis menurut susunan yang benar dan tepat.

(e) Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yaitu langkah selanjutnya setelah data tersusun secara sistematis kemudian dilanjutkan dengan penarikan suatu kesimpulan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus.

3. 4 Analisis Data

Tujuan dari analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan diinterprestasikan. Data yang telah diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif maksudnya adalah analisis data yang digunakan dengan menjabarkan secara rinci kenyataan atau keadaan atas suatu obyek dalam bentuk kalimat guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap permasalahan yang diajukan sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan.


(3)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini disimpulkan sebagai berikut:

a. Pelaksanaan kewenangan Lembaga Himpun Pemekonan (LHP) dalam membentuk Peraturan Pekon Pada Pekon Puralaksana Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Himpun Pemekonan, dimana sebutan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yaitu Lembaga Himpun Pemekonan (LHP). Pasal 4 Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2006 mengatur bahwa LHP mempunyai wewenang dalam membahas rancangan peraturan pekon bersama peratin, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan pekon dan peraturan peratin. Dalam pembentukan peraturan pekon. Sebelum peraturan pekon dikeluarkan terlebih dahulu diadakan rapat pembahasan rancangan Peraturan Pekon Puralaksana dan telah mencapai kesepakatan barulah peraturan pekon ditetapkan dan dikeluarkan.


(4)

52

b. Faktor penghambat Lembaga Himpun Pemekonan dalam pembentukan peraturan pekon pada Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat yaitu faktor Sumber Daya Manusia (SDM) karena kurangnya pengetahuan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam membentuk peraturan pekon yang dikarenakan oleh latar belakang pendidikan yang terbatas serta profesi sehari-hari sebagai petani di pekon dan kurangnya anggaran atau biaya dalam pembentukan peraturan pekon.

5.2Saran

Berdasarkan pada kesimpulan di atas, Peneliti mengajukan saran sebagai berikut: a. Lembaga Himpun Pemekonan dan perangkat pekon lainnya yang mana

merupakan sumber daya manusia yang masih terbatas karena kurangnya pengetahuan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam membentuk peraturan pekon sebaiknya perlu diberikan pelatihan-pelatihan capacity building oleh pemerintah daerah setempat.

b. Pembentukan peraturan pekon yang tidak hanya melibatkan Lembaga Himpun Pemekonan (LHP) tetapi juga melibatkan seluruh perangkat pekon membutuhkan anggaran atau biaya sehingga sebaiknya untuk pembentukan peraturan pekon dananya dianggarkan dalam APBPek.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Asshidiqie, Jimly. 2010. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Negara Pasca Sarjana. Jakarta: Sinar Grafika.

Jimung, Martin. 2005. Politik Lokal dan Pemerintah Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

Juanda. 2008. Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: PT Alumni.

Nasution, AH. 2008. Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rudi. 2012. Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia. Bandar Lampung: Indepth Publishing.

Sukrino, Didik. 2012. Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa. Malang: Setara Press.

Syaukani, HR, Afan Gaffar, dan M. Ryaas Rasyid. 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tualaka, JF. 2009. Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan. Yogyakarta: Jogja Great Publisher.

Wasistiono, Sadu dan M Irawan Tahir. 2007. Prospek Pengembangan Desa. Bandung: CV Fokus Media.

Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.


(6)

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Desa.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Desa. 7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman

Teknis Peraturan di Desa.

8. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Himpun Pemekonan.


Dokumen yang terkait

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMEKONAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN PEKON TAHUN ANGGARAN 2010 DI PEKON PUJODADI KECAMATAN PARDASUKA KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

0 9 45

DADUWAI DALAM UPACARA PERKAWINAN ULUN LAMPUNG SAIBATIN DI PEKON WAY BELUAH KECAMATAN PESISIR UTARA KABUPATEN LAMPUNG BARAT

0 16 54

DADUWAI DALAM UPACARA PERKAWINAN ULUN LAMPUNG SAIBATIN DI PEKON WAY BELUAH KECAMATAN PESISIR UTARA KABUPATEN LAMPUNG BARAT

1 14 51

KONDISI ORIENTASI POLITIK MASYARAKAT PEKON SEBARUS DALAM PEMILUKADA KABUPATEN LAMPUNG BARAT

0 13 159

STUDI SOSIAL EKONOMI PROGRAM PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN KELURAHAN DI PEKON KARANG AGUNG KECAMATAN WAY TENONG KABUPATEN LAMPUNG BARAT

2 18 64

PERAN STAKEHOLDERS DALAM KONSERVASI PENYU DI PEKON MUARA TEMBULIH KECAMATAN NGAMBUR KABUPATEN LAMPUNG BARAT

0 3 9

PERAN BADAN HIPPUN PEMEKONAN (BHP) GADINGREJO TIMUR DALAM PENETAPAN PERATURAN PEKON TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA PEKON (APBPEKON) TAHUN 2014

6 90 103

GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA PEKON DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERIODE TAHUN 2012-2015 (Studi Kasus di Pekon Sindang Pagar Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat)

1 16 77

POLITIK UANG DALAM PEMILIHAN UMUM 2014 (STUDI PADA PEKON GUNUNG KEMALA KECAMATAN WAY KRUI KABUPATEN PESISIR BARAT)

4 22 74

DISHARMONISASI ANTAR LEMBAGA PEKON (Studi Kasus Kemitraan antar Lembaga Pekon terhadap Pembangunan Masyarakat di Pekon Banjarsari Kecamatan Wonosobo Kabupaten Tanggamus) - Raden Intan Repository

0 0 111