PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMEKONAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN PEKON TAHUN ANGGARAN 2010 DI PEKON PUJODADI KECAMATAN PARDASUKA KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMEKONAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN PEKON TAHUN ANGGARAN 2010

DI PEKON PUJODADI KECAMATAN PARDASUKA KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

Oleh

FEBRI KURNIAWAN

Tujuan Penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah mekanisme partisipasi masyarakat dan apa saja faktor pendukung dan penghambat partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Pekon Pujodadi Nomor 1 Tahun 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif empiris yaitu dengan melakukan penelitian lapangan berupa wawancara dan penelitian kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Pekon Pujodadi Nomor 1 Tahun 2010 menggunakan mekanisme musyawarah. Kemudian faktor pendukung partisipasi masyarakat adalah tingkat kepamongan pemerintah pekon, kedekatan emosional antara pemerintah pekon dengan masyarakat, pemberian kompensasi oleh pemerintah pekon kepada perwakilan masyarakat, dan mekanisme pelaksanaan partisipasi masyarakat yang mudah. Sedangkan faktor penghambat partisipasi masyarakat terdiri dari faktor masyarakat, yuridis, pemerintahan.


(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”

Tataran pemerintahan daerah yang paling rendah terletak pada desa. Ketentuan mengenai desa dapat ditemui pada Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah1 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20082 yang menyatakan “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat

1

Lembaran Negara Repulik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 3866.

2


(3)

istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Undang-undang pemerintahan daerah mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun yang disebut dengan sebutan lainnya, dan kepada desa melalui pemerintahan desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.3

Pemerintahan desa dapat membentuk peraturan desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa.4 Peraturan desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, serta harus memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat, dalam upaya mencapai tujuan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat jangka panjang, menengah dan jangka pendek.5

Peraturan desa dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa. Dalam proses pembentukan peraturan desa tersebut, terdapat hak masyarakat untuk turut berpartisipasi.

Ketentuan mengenai partisipasi masyarakat diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

3

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa (LNRI Tahun 2005 Nomor 158, TL NRI Nomor 4587).

4

Ibid., Pasal 55.

5

Bambang Triharsono Soemantri, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintah Desa, Fokus Media, Bandung, 2010, hlm 47.


(4)

undangan6 yaitu masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Secara spesifik partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan desa diatur dalam Pasal 57 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa7 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan desa. Kemudian mengenai mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan desa harus diatur di dalam peraturan daerah kabupaten/kota tempat desa tersebut berada. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa.

Terkait dengan ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tersebut, Kabupaten Pringsewu yang berdiri pada tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Pringsewu8 belum mempunyai peraturan daerah yang mengatur tentang peraturan desa. Kabupaten Pringsewu merupakan hasil pemekaran wilayah Kabupaten Tanggamus. Oleh karena itu Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus berlaku di wilayah Kabupaten Pringsewu karena Kabupaten Pringsewu belum mempunyai peraturan daerah sendiri. Hal tersebut berlaku berdasarkan Peraturan Pejabat Bupati Pringsewu Nomor Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Secara Mutatis dan Mutandis di Kabupaten Pringsewu.

6

LNRI Tahun 2011 Nomor 125, TLNRI Nomor 4389.

7

LNRI Tahun 2005 Nomor 158, TLNRI Nomor 4587.

8


(5)

Di Pekon Pujodadi, Kecamatan Pardasuka, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung telah dibentuk Peraturan Pemekonan Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Rencana Kerja Pembangunan Pekon Tahun Anggaran 2010. Pekon adalah sebutan untuk desa dan peraturan pemekonan adalah sebutan untuk peraturan desa di Kabupaten Pringsewu. Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa peraturan desa merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan pembentukannya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ketentuan-ketentuan tersebut seperti terpenuhinya asas-asas peraturan perundang-undangan dan proses pembentukannya juga harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, termasuk partisipasi masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan pemekonan di Pekon Pujodadi terkendala oleh belum diaturnya secara jelas mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan pemekonan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Ditingkat Pekon9 sebagaimana kehendak Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006. Namun pembentukan peraturan pemekonan di Pekon Pujodadi khususnya Peraturan Pemekonan Pekon Pujodadi Nomor 1 Tahun 2010 tetap melibatkan masyarakat dalam proses pembentukannya.

9


(6)

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Nomor 1 Tahun 2010 di pekon Pujodadi, Kecamatan Pardasuka, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung?

2. Faktor apa yang mendukung dan menghambat partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Nomor 1 Tahun 2010 di Pekon Pujodadi?

1.3. Ruang Lingkup

Lingkup penelitian ini adalah berhubungan dengan bidang Hukum Tata Negara mengenai peraturan desa yang memfokuskan pembahasan pada partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Nomor 1 Tahun 2010 di Pekon Pujodadi, Kecamatan Pardasuka, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Nomor 1 Tahun 2010 di Pekon Pujodadi, kecamatan Pardasuka, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Nomor 1 Tahun 2010 di Pekon Pujodadi, Kecamatan Pardasuka, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.


(7)

1.5. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. 1. Kegunaan teoritis

Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan pengetahuan ilmu Hukum Tata Negara, khususnya terkait partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan desa.

2. Kegunaan praktis

a. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis mengenai mekanisme partisipasi masyarakat baik secara normatif maupun secara praktis dalam pembentukan peraturan desa.

b. Untuk bahan informasi bagi pihak-pihak pengambil keputusan dan pemangku kepentingan dalam proses pembentukan peraturan desa.


(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Partisipasi Masyarakat

Untuk memahami konsep partisipasi masyarakat, pembahasan terlebih dahulu diarahkan pada siapa yang berpartisipasi dan apa yang terkandung dalam konsep partisipasi. Telaah mengenai siapa yang berpartisipasi akan mengarah pada apa yang dimaksud dengan masyarakat. Masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)11 adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

Menurut Korten seperti dikutip oleh Khairul Muluk dan dikutip kembali oleh Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi12 istilah masyarakat yang secara popular merujuk kepada sekelompok orang yang memiliki kepentingan bersama. Menurut Logemann, masyarakat adalah suatu skema koordinasi hubungan antar manusia yang ajeg.13 Menurut Sudikno Mertokusumo14 masyarakat merupakan suatu

11

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga,

Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm 721.

12

Jazim hamidi dan Mustafa Lutfi, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah, UB Press, Malang, 2011, hlm 120.

13

Ibid.

14


(9)

kehidupan bersama yang terorganisir untuk mencapai dan merealisir tujuan bersama.

Sedangkan terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan Maria Farida Indrati berpendapat bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah setiap orang pada umumnya terutama masyarakat yang “rentan” terhadap peraturan tersebut, setiap orang atau lembaga terkait, atau setiap lembaga masyarakat yang terkait.15

Pembahasan selanjutnya mengenai apa yang dimaksud dengan partisipasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia partisipasi diartikan sebagai hak turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan, peran serta.16 Dengan demikian pengertian partisipasi sama dengan pengertian peran serta.

Menurut Armen Yasir17 secara umum partisipasi adalah keikutsertaan warga biasa (yang tidak memegang kekuasaan) dalam mempengaruhi proses pembuatan (isi) kebijakan publik dan ikut menentukan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Partisipasi juga dapat diartikan sebagai ikut serta, berperan serta dalam suatu kegiatan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi.18 Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik. Oleh Huntington dan Nelson, partisipasi

15

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan;Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm 265.

16

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op. cit., hlm 831.

17

Armen Yasir, Hukum Perundang-undangan, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2008, hlm 132.

18

Hamzah Halim dan Kemal Redindo SP, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah; Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm 108.


(10)

politik diartikan sebagai kegiatan warga negara sipil (private citizen) yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.19

Dilihat dari perkembangannya, partisipasi masyarakat merupakan konsep yang berkembang dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang publik atau adanya mekanisme untuk mewujudkan partisipasi adalah suatu tuntutan yang mutlak sebagai upaya demokratisasi sejak pertengahan abad ke 20. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya diatas kertas, tidak lagi semata-mata menjadi wilayah kekuasaan mutlak birokrat dan parlemen, karenanya partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, secara aktif dalam penentuan kebijakan publik atau peraturan.20

Terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, Satjipto Rahardjo melihat pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai medan pembentukan dan pergumulan kepentingan, dan sebagai suatu pelembagaan konflik sosial, sehingga peraturan perundang-undangan sekaligus berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik.21 Dengan demikian, peraturan perundang-undangan mencerminkan suasana konflik antar kekuatan dan kepentingan dalam masyarakat sehingga keterlibatan masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi penting.22

19

Ibid.

20

Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 186-187.

21

Hamzah Halim dan Kemal Redindo SP, Op. cit., hlm 113.

22


(11)

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan asas keterbukaan yang terdapat didalam asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.23 Mengenai asas keterbukaan tersebut dijelaskan bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.24

Menurut A. Hamid S. Attamimi partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan juga merupakan pelaksanaan dari asas konsensus (het beginsel van consensus), yakni adanya kesepakatan rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Hal ini mengingat pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama oleh pemerintah dan rakyat.25

Menurut J.M. Otto sebagaimana dikutip oleh Yuliandri dilihat dari teori pembentukan peraturan perundang-undangan keharusan adanya partisipasi masyarakat merupakan tujuan dari teori “the synoptic policy-phases theory” (teori tahapan kebijakan sinoptik). Menurut teori ini pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai suatu proses yang terorganisasi, dan terarah secara baik,

23

Pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 10 tahun 2004 Jo. Pasal 5 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011.

24

Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

25


(12)

terhadap suatu pembentukan keputusan yang mengikat, sebagai upaya mencari dan menentukan arahan bagi masyarakat secara keseluruhan. Suatu kebijakan dibentuk oleh lembaga yang akuntabel, serta melalui proses yang terbuka dan bertanggung jawab, agar tercapai ketepatannya (enforceability), keseimbangan (adequacy), dan keterlaksanaan (implementability) dari suatu aturan.26

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan merupakan salah satu hal yang terkait dengan landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu landasan sosiologis (sociologiche gelding).27 Landasan sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mempunyai arti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi, seperti masalah perburuhan, kebersihan, ketertiban dan lain sebagainya, dan termasuk pula kecenderungan-kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat.28

Jimly Asshiddiqie29 mengemukakan bahwa landasan sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena itu harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris sehingga sesuatu gagasan normatif yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan benar-benar

26

Ibid.

27

Ibid, hlm 135.

28

Ibid.

29


(13)

didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah masyarakat hukum yang mengaturnya.30

Berdasarkan penjelasan tentang landasan sosiologis dalam peraturan perundang-undangan yang telah dikemukakan tersebut, dapat diketahui bahwa landasan sosiologis dalam peraturan perundang-undangan terkait erat dengan keadaan masyarakat sebagai tempat pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang dibentuk. Menurut Bagir Manan dengan terpenuhinya landasan sosiologis dalam sebuah peraturan undangan diharapkan suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan sepontan sehingga akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya.31 untuk memenuhi landasan sosiologis tersebut dapat dilakukan dengan cara membuka partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah menurut Mas Achmad Santoso32 merupakan wujud penyelengaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governnance, diantaranya adalah keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi. Menurut Satjipto Rahardjo33 transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum (peraturan daerah) adalah untuk menjaga netralitas. Netralitas disini berarti

30

Ibid.

31

Yuliandri, Op. cit., hlm 135.

32

Hamzah halim dan Kemal Redindo SP, Op. cit., hlm 113

33


(14)

persamaan, keadilan, dan perlindungan bagi seluruh pihak terutama masyarakat. Keputusan dan hasil peran serta mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat dan menjadi sumber informasi yang berguna sekaligus merupakan komitmen sistem demokrasi.

Urgensi partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah menurut Sirajuddin dan Rudy Alfonso antara lain:

1. Menjaring pengetahuan, keahlian, atau pengalaman masyarakat sehingga Perda yang dibuat benar-benar memenuhi syarat Perda yang baik;

2. Menjamin Perda sesuai dengan kenyataaan yang ada di dalam masyarakat, menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging), rasa bertanggung jawab (sense of responsibility), dan akuntabilitas (sense of accountabilty) perda tersebut;

3. Menumbuhkan adanya kepercayan (trust), penghargaan (respect), dan pengakuan (recognition) masyarakat terhadap pemerintahan daerah.34

Ketentuan yuridis mengenai partisipasi masyarakat dalam pmbentukan peraturan perundang-undangan sebelumnya diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan kembali diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis yang dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

34


(15)

2.2. Desa/Pekon

KBBI menyebutkan bahwa desa adalah sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampong, dusun; udik atau dusun, dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota; tempat, tanah, daerah.35

Kata “desa” diperkenalkan oleh seorang warga Belanda Mr. Hermen Warner Muntinghe yang bertugas sebagai Pembantu Gubernur Jendral Inggris pada tahun 1817. Secara etimologis kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “deca”, seperti dusun, desi, negara, negeri, nagaro, negori (nagarom), yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran, tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas.36

Istilah desa sendiri sangat beragam di berbagai tempat di Indonesia. Desa hanya dipakai dalam masyarakat pulau Jawa, Madura, dan Bali. Sebutan yang lazim untuk desa ialah kelurahan, disebabkan karena kepala desa mendapat sebutan “Lurah”. Sedangkan kampung/dukuh/grumbul ialah merupakan bagian daripada desa yang merupakan kelompok tempat warga masyarakat. Masyarakat Aceh menggunakan nama Gampong atau Meusanah untuk daerah hukum paling bawah. Di daerah Alas untuk pengertian masyarakat seketurunan disebut Margo. Untuk masyarakat Batak, daerah hukum setingkat desa dinamakan Kuta, atau Hutta. Di Minangkabau dinamakan Nagari, sedang daerah gabungan dinamakan Luha. Di Sumatera Timur daerah hukum yang paling bawah ialah suku. Di sumatera Selatan (Kerinci, Palembang, Bengkulu), nama daerah hukum ialah dusun dan

35

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., hlm 256.

36

Didik Supriono, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa; Politik Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia, Setara Press, Malang, 2010, hlm 59.


(16)

daerah gabungan dinamakan Mendopo atau Marga. Di Lampung namanya Dusun atau Tiyuh, Minahasa (Wanua), Ujung Pandang (Gaukang), Bugis (Matowa), Toraja (Toraja), dan Dusun Dati untuk desa di Maluku.37

Pengertian desa juga sangat beragam, artinya sangat tergantung dari sudut mana melihat desa. Perspektif geografi misalnya, desa dimaknai sebagai tempat atau daerah, dimana penduduk berkumpul dan hidup bersama dan mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan kehidupannya. Suhartono memandang desa sebagai tempat dimana bermukim penduduk dengan peradaban yang dinilai lebih terbelakang ketimbang kota. Dijelaskan desa bercirikan bahasa ibu yang kental, tingkat pendidikan yang relatif rendah, mata pencaharian umumnya dari sektor pertanian. Bahkan terdapat kesan bahwa pemahaman umum memandang desa sebagai tempat bermukim para petani.38

Perspektif sosiologis, desa diberi pengertian sebagai bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung kepada alam. Pandangan mengenai desa yang demikian diasosiasikan dengan masyarakat yang hidup sederhana, pada umumnya hidup dari lapangan pertanian, ikatan sosial, adat dan tradisi masih kuat, sifat jujur dan bersahaja, pendidikannya relatif masih rendah dan sebagainya.39

37

Ibid.

38

Ibid., hlm 61-62.

39


(17)

Sudut pandang sosial ekonomi memandang desa sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan keluarga secara bersama.40

Sudut pandang hukum dan politik, terdapat dua konsep desa, yaitu: Desa yang diakui, yakni Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang disebut dengan nama-nama setempat dan Desa dibentuk, yakni desa yang diakui oleh pemerintah berdasarkan undang-undang. Kartohadikoesoemo, menyebut desa sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri. Suhartono juga menambahkan bahwa terdapat kesan yang kuat bahwa kepentingan dan kebutuhan politik pada masyarakat desa hanya diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa sendiri bukan dari luar desa.41

Sedangkan dari perspektif historis, desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara-negara modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Desa-desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam

40

Ibid.

41


(18)

mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumber daya ekonomi.42

Perumusan pengertian-pengertian di atas, merupakan perumusan perorangan, tidak formal dan hanya menggambarkan kondisi desa sehingga perumusannya beraneka ragam. Untuk memudahkan pemahaman, setidak-tidaknya perumusan desa harus mengandung hakekat desa, harus berintikan unsur-unsur desa, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi terbentuknya desa.

Perumusan formal pengertian desa berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 Tentang Pemerintahan Desa adalah :

“…suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pasal 1 huruf o Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan ketentuan mengenai pengertian desa yaitu:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten.”

Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan ketentuan mengenai pengertian desa yaitu:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

42


(19)

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pasal 1 ayat (5) merumuskan pengertian desa sama dengan pengertian yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Sebutan untuk desa diwilayah Kabupaten Tanggamus yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 Tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Tanggamus adalah pekon. Pengertian pekon terdapat didalam Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan, Penghapusan, dan atau penggabungan Pekon. Didalam ketentuan umum Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 23 Tahun 2000 Pasal 1 huruf d menjelaskan pengertian pekon adalah:

“…kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten”.

Kabupaten Pringsewu merupakan kabupaten yang terbentuk dari pemekaran Kabupaten Tanggamus. Kabupaten Pringsewu berdiri pada tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Pringsewu. Berdasarkan Peraturan Pejabat Bupati Pringsewu Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus secara Mutatis dan Mutandis di Kabupaten Pringsewu maka ketentuan penyebutan istilah desa di Kabupaten Pringsewu masih mengikuti ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus yaitu menggunakan istilah Pekon dan mempunyai pengertian yang sama.


(20)

2.3. Peraturan Desa/Peraturan Pemekonan

Menurut HAW. Widjaja peraturan desa adalah semua peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dimusyawarahkan dan telah mendapatkan persetujuan Badan Perwakilan Desa.43

Pengertian peraturan desa berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1. Pengertian peraturan desa berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama dengan Desa.

2. Pengertian peraturan desa berdasarkan Pasal 1 angka 14 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bersama kepala desa.

3. Pengertian Peraturan Desa berdasarkan Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) bersama kepala desa.

Peraturan pemekonan adalah sebutan untuk peraturan desa di Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Pringsewu. Peraturan mengenai peraturan pemekonan adalah Perda Kabupaten Tanggamus Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan di Tingkat Pekon. Pembentukan Perda ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan yang telah

43


(21)

ditetapkan dalam Permendagri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa.

Kabupaten Pringsewu yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Tanggamus yang secara resmi berdiri pada tahun 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 belum mempunyai produk hukum peraturan daerah terkait dengan pengaturan peraturan desa. Karenanya Kabupaten Pringsewu masih menggunakan peraturan daerah Kabupaten Tanggamus yang terkait dengan pembentukan peraturan desa. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pejabat Bupati Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Secara Mutatis Mutandis di Kabupaten Pringsewu sejak Tanggal 15 Juli 2009.

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Peraturan Daerah Kabupaten tanggamus Nomor 7 Tahun 2007 yang dimaksud dengan peraturan pemekonan adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Hippun Pemekonan (BHP) bersama kepala pekon.

2.3.1. Kedudukan Peraturan Desa/Peraturan Pemekonan

Keberadaan Peraturan Desa mulai dikenal sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang pembentukannya merupakan salah satu


(22)

tugas dari Badan Perwakilan Desa, sebuah badan yang dibentuk sebagai perwujudan demokrasi ditingkat desa.44

Pemberlakuan undang-undang tentang pemerintahan daerah yang baru melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetap mengakui dan menguatkan peraturan desa meskipun tetap belum memberikan definisi atau batasan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan peraturan desa. Definisi tentang peraturan desa disebutkan di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu peraturan erundang-undangan yang dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Definisi ini juga yang digunakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang merupakan pengaturan lebih lanjut tentang desa.45

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menempatkan peraturan desa sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam hierarki yang digolongkan ke dalam salah satu bentuk peraturan daerah. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan itu ditentukan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang; c. Peraturan pemerintah;

d. Peraturan presiden; e. Peraturan daerah.

44

R. Septyarto Priandono, Mekanisme Pembuatan Peraturan Desa, www.kumham-jogja.info, diunduh tanggal 2 November 2011 pukul 15.23 WIB.

45


(23)

Pasal 7 ayat (2) Undang-ndang Nomor 10 tahun 2004 menentukan pula bahwa peraturan daerah adalah meliputi:

1. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur;

2. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

3. Peraturan desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Dengan memasukkan peraturan desa atau peraturan lainnya yang setingkat dengan peraturan desa ke dalam pengertian peraturan perundang-undangan, berarti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 memperlakukan peraturan desa itu sebagai peraturan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang.46

Mendudukkan peraturan desa menjadi salah satu jenis peraturan perundang-undangan di dalam hierarki yang digolongkan ke dalam salah satu bentuk peraturan daerah saat ini diakui sebagai sebuah kesalahan karena peraturan desa berbeda dengan peraturan daerah sehingga di dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan desa dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan, tetapi tetap diakui keberadaannya sebagai salah satu jenis peratuan perundang-undangan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.47

46

Jimly Asshiddiqie, Op. cit., hlm 94.

47


(24)

2.3.2. Materi Muatan Peraturan Desa/Peraturan Pemekonan

.Menurut Armen Yasir48 materi muatan peraturan desa adalah segala urusan rumah tangga desa berdasarkan hak asal-usul desa dan adat istiadat setempat serta urusan rumah tangga dibidang tugas pembantuan. Dibidang otonomi peraturan desa dapat mengatur segala urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat desa berdasarkan adat istiadat masyarakat setempat. Di bidang tugas pembantuan peraturan desa hanya mengatur tata cara melaksanakan subtansi urusan pemerintahan atau suatu kepentingan masyarakat tertentu.49

Menurut HAW. Widjaja50 materi muatan yang tertuang dalam peraturan desa antara lain:

a. Menetapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur;

b. Menetapkan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat desa; c. Menetapkan segala sesuatu yang membebani keuangan desa dan masyarakat

desa.

Selain itu materi muatan peraturan desa juga dapat memuat masalah-masalah yang berkembang di desa yang perlu pengaturannya dan peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.51

Pasal 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa materi muatan peraturan desa yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka

48

Armen Yasir, Op. cit., hlm 104-105.

49

Ibid.

50

HAW. Widjaja, Op. cit., hlm 96.

51


(25)

penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pasal (4) Ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 memberikan batasan bahwa materi muatan peraturan desa adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat, serta penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Pendekatan secara yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan melalui pengkajian dan penafsiran terhadap literatur hukum dan peraturan perundang-perundangan yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Secara operasional dilakukan dengan penelitian kepustakaan.

2. Pendekatan secara yuridis empiris, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan hubungan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Secara operasional dilakukan dengan wawancara.

3.2. Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari pihak yang terkait dalam penelitian ini melalui wawancara terarah.


(27)

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, yang meliputi:

a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;

c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dicabut oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa;

e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa;

f. Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan, Penghapusan, dan atau Penggabungan Pekon;

g. Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Peraturan Pemekonan;

h. Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Badan Hippun Pemekonan;

i. Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pembentukan Dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Di Tingkat Pekon.


(28)

j. Peraturan Pejabat Bupati Pringsewu Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Secara Mutatis dan Mutandis di Kabupaten Pringsewu;

2. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah pendapat sarjana mengenai partisipasi masyarakat;

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3.3. Penentuan Populasi dan Sampel, Pengumpulan, dan Pengolahan Data

3.3.1. Penentuan Populasi dan Sampel

Sebelum melakukan studi lapangan, penulis terlebih dahulu menentukan populasi dan sampel. Populasi dalam penulisan skripsi ini adalah setiap orang yang ikut secara langsung dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Pekon Pujodadi Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Rencana Kegiatan Pembangunan Pekon Tahun Anggaran 2010. Sedangkan untuk menentukan sampel penulis menggunakan teknik sampling nonprobabilitas atau nonrandom. Kemudian penulis menggunakan sampling dengan maksud tertentu (purposive sampling) yaitu berdasarkan pengetahuan dan pengalaman responden. Sampel dalam penelitian ini adalah:

1. Kepala Pekon Pujodadi, Mukhlis Sulistyo;


(29)

3. Ketua BHP Pekon Pujodadi, Busro Daroji;

4. Dua orang dari perwakilan masyarakat Pekon Pujodadi yang berpartisipasi dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Pekon Pujodadi Nomor 1 Tahun 2010 yaitu Sokhibun Yusuf dan Jamari.

3.3.2. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1. Studi kepustakaan, yaitu serangkaian kegiatan mengumpulkan, membaca, mempelajari, membuat catatan dan kutipan-kutipan serta menelaah bahan-bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terkait dengan permasalahan yang sedang dibahas.

2. Studi lapangan, yaitu kegiatan yang dilakukan dengan meminta penjelasan kepada pihak-pihak yang mengetahui dan terkait dengan permasalahan. Metode yang digunakan yaitu wawancara terarah dengan cara menanyakan langsung kepada responden atau pihak yang berkompeten untuk memberikan informasi yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.

3.3.3.Pengolahan Data

Pengolahan data melalui tahap-tahap berikut :

1. Identifikasi data, yaitu mengidentifikasikan data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok bahasan


(30)

2. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh disesuaikan dengan pokok bahasan, yaitu dengan mengutip data yang diperoleh dari buku-buku, literatur, dan instansi yang berhubungan dengan pokok bahasan.

3. Klasifikasi data, yaitu dengan menempatkan data-data sesuai dengan ketetapan dan aturan yang telah ada

4. Sistematika data, yaitu menyusun data menurut tata urutan yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga mudah untuk dianalisa.

3.4. Analisis Data

Metode yang digunakan adalah metode deksriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deksriptif digunakan agar mampu memberikan data yang seteliti mungkin tentang topik yang menjadi kajian penelitian. Sedangkan penekatan kualitatif dilakukan untuk mempermudah dalam menghasilkan data deksriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan. Oleh karena itu, yang dilakukan selanjutnya adalah memberikan arti dari setiap data kemudian dianalisis secara mendalam, dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis dan logis sehingga menggambarkan suatu jawaban dari masalah yang diteliti, sehingga kemudian dapat ditarik simpulan.


(31)

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan

1. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Pekon Pujodadi Nomor 1 Tahun 2010 pada tahap pembahasan draf rancangan peraturan pemekonan menggunakan mekanisme musyawarah;

2. Faktor pendukung partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Pekon Pujodadi Nomor 1 Tahun 2010 adalah tingkat kepamongan Pemerintah Pekon Pujodadi, Kedekatan emosional antara Pemerintah Pekon Pujodadi dengan masyarakat, pemberian kompensasi oleh Pemerintah Pekon Pujodadi kepada perwakilan masyarakat, dan mekanisme pelaksanaan partisipasi masyarakat yang mudah. Sedangkan faktor penghambat partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Pemekonan Pekon Pujodadi Nomor 1 Tahun 2010 adalah faktor masyarakat, yuridis, dan birokrasi.

5.2. Saran

1. Membentuk peraturan daerah Kabupaten Pringsewu yang mengatur tentang peraturan desa dan memuat secara jelas mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan desa;


(32)

2. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan aparat pemerintahan pekon dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mengadakan pelatihan.


(33)

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMEKONAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN PEKON TAHUN ANGGARAN 2010

DI PEKON PUJODADI KECAMATAN PARDASUKA KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

Febri Kurniawan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(34)

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMEKONAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN PEKON TAHUN ANGGARAN 2010

DI PEKON PUJODADI KECAMATAN PARDASUKA KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

Oleh Febri Kurniawan

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk meyelesaikan pendidikan Strata Satu

Pada

Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(35)

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Perihal Undang-undang. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Amiruddin, Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Budiarjo, Miriam. 1994. Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hamidi, Jazim, Mustafa Lutfi. 2011. Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan daerah. UB Press. Malang.

Hamzah, Halim, Kemal Redindo SP. 2010. Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah. Kencana Prenada Media Grup. Jakarta. Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan; Proses dan Teknik

Pembentukannya. Cet. 9. Kanisius. Jogjakarta.

Kurnia, Mahendra Putra. 2007. Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif. Kreasi Total Media. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normarif: suatu Tinjauan Singkat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sukriono, Didik. 2010. Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa, Politik Hukum Pemerintahan Desa di Indonesia. Setara Press dan PKK Universitas Kanjuruhan. Malang.

Tutik, Titik Triwulan. 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Widjaya, HAW. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Yasir, Armen. 2008. Hukum Perundang-undangan. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(36)

Tim Penyusun Pusat Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Ed. 3 – cet. 1. Balai Pustaka. Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839) sebagaimana telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389) sebagaimana telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa.

Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan, Penghapusan dan atau Penggabungan Pekon (Lembaran Daerah Kabupaten Tanggamus Tahun 2000 Nomor 104 Seri D Nomor 61). Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 27 Tahun 2000 tentang

Peraturan Pemekonan (Lembaran Daerah Kabupaten Tanggamus Tahun 2000 Nomor 108 Seri D Nomor 65).


(37)

Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 13 Tahun 2006 tentang Badan Hippun Pemekonan (Lembaran Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 13 Tahun 2006).

Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Di Tingkat Pekon (Lembaran Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 24 Tahun 2007).

Peraturan Pejabat Bupati Pringsewu Nomor Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus secara Mutatis dan Mutandis di Kabupaten Pringsewu.

Internet

http://www.kum-ham.jogja.info, diunduh tanggal 2 November 2011 pukul 20.23 WIB.


(38)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Luas Pekon Pujodadi………... 2. Klasifikasi Penduduk Pekon Pujodadi………... 3. Tingkat Pendidikan Masyarakat Pekon Pujodadi………..

30 31 32


(39)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Yulia Neta, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Muhtadi, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Armen Yasir, S.H., M.Hum. ...

2. Pj. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S.

NIP 196211091987031003


(40)

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk:

Papa dan Mama tercinta

Adik-adik ku, Edo dan Hendi

serta


(41)

Judul Skripsi : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMEKONAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN PEKON TAHUN ANGGARAN 2010 DI PEKON PUJODADI

KECAMATAN PARDASUKA KABUPATEN

PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

Nama Mahasiswa : Febri Kurniawan

Nomor Pokok Mahasiswa : 051011138

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Yulia Neta, S.H., M.H. Muhtadi, S.H., M.H. NIP 196407161987032002 NIP19701242008121002

2. Ketua Bagian Hukum Tata Negara

Yulia Neta, S.H., M.H.


(42)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Yulia Neta, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini;

3. Bapak Muhtadi, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini;

4. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum. selaku Pembahas I yang telah memberikan masukan, kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini;

5. Bapak Zulkarnain Ridlwan, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan masukan, saran dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini;

6. Bapak Syamsir Syamsu, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung;

7. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas ilmu yang telah diajarkan selama penulis menjadi mahasiswa


(43)

8. Bang Aleh dan Bang Yus, terima kasih atas bimbingan dan bantuannya; 9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

banyak membantu penulis selama penulis berada di Fakultas Hukum Universitas lampung;

10.Mas Fendi, Mas Jarwo, dan Mas marji, terimakasih atas bantuan dan motivasinya;

11.Teman-teman 05, Aswan, Dody, Galang, Joko, Muamar, Negra, Novan, Nurul, Rahamad, Rio, Yoni, dll. Terima kasih untuk kebersamaannya;

12.Kanda, Yunda, dan Dinda di rumah Hijau Hitam yang telah memberikan pengalaman berharga;

13.Almamater tercinta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis


(44)

MOTTO

Hadapi saja….


(45)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pardasuka pada tanggal 20 Februari 1987, merupakan anak pertama dari pasangan Berlian dan Nuraida. Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri 6 Pardasuka yang diselesaikan pada tahun 1999; Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Pardasuka yang diselesaikan pada tahun 2002; Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2005. Melalui jalur SPMB pada tahun 2005, penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(1)

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk:

Papa dan Mama tercinta

Adik-adik ku, Edo dan Hendi

serta


(2)

Judul Skripsi : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM

PEMBENTUKAN PERATURAN PEMEKONAN NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN PEKON TAHUN ANGGARAN 2010 DI PEKON PUJODADI

KECAMATAN PARDASUKA KABUPATEN

PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

Nama Mahasiswa : Febri Kurniawan

Nomor Pokok Mahasiswa : 051011138

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Yulia Neta, S.H., M.H. Muhtadi, S.H., M.H. NIP 196407161987032002 NIP19701242008121002

2. Ketua Bagian Hukum Tata Negara

Yulia Neta, S.H., M.H. NIP 196407161987032002


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Yulia Neta, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini;

3. Bapak Muhtadi, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini;

4. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum. selaku Pembahas I yang telah memberikan masukan, kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini;

5. Bapak Zulkarnain Ridlwan, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan masukan, saran dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini; 6. Bapak Syamsir Syamsu, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama

penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung;

7. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas ilmu yang telah diajarkan selama penulis menjadi mahasiswa


(4)

Fakultas Hukum Universitas Lampung, semoga ilmu yang diberikan bisa bermanfaat;

8. Bang Aleh dan Bang Yus, terima kasih atas bimbingan dan bantuannya; 9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

banyak membantu penulis selama penulis berada di Fakultas Hukum Universitas lampung;

10.Mas Fendi, Mas Jarwo, dan Mas marji, terimakasih atas bantuan dan motivasinya;

11.Teman-teman 05, Aswan, Dody, Galang, Joko, Muamar, Negra, Novan, Nurul, Rahamad, Rio, Yoni, dll. Terima kasih untuk kebersamaannya;

12.Kanda, Yunda, dan Dinda di rumah Hijau Hitam yang telah memberikan pengalaman berharga;

13.Almamater tercinta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis


(5)

MOTTO

Hadapi saja….

(Iwan Fals)


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pardasuka pada tanggal 20 Februari 1987, merupakan anak pertama dari pasangan Berlian dan Nuraida. Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri 6 Pardasuka yang diselesaikan pada tahun 1999; Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Pardasuka yang diselesaikan pada tahun 2002; Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2005. Melalui jalur SPMB pada tahun 2005, penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.


Dokumen yang terkait

Implementasi Peraturan Wali Kota No 35 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan Di Kota Medan

3 70 113

Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas Pokok Dan Fungsi BadanPenanaman Modal Kota Medan (Studi Pada Pengawasan Badan Penanaman Modal Kota Medan)

0 124 257

Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)

1 67 82

Implementasi Perda Nomor 05 Tahun 2010 Tentang Retribusi Jasa Usaha Angkutan Umum Ditinjau dari Hukum Administrasi Negara (Studi Kota Padang Sidempuan)

8 159 109

Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Nias Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Daerah Pasar Yaahowu Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah

6 93 138

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN MUSRENBANG (Studi di Kabupaten Pasuruan Tahun Anggaran 2010-2013)

1 6 32

PERAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KEPALA PEKON DALAM PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH PEKON GUMUKREJO KECAMATAN PAGELARAN KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2011-2015

2 34 151

PERAN BADAN HIPPUN PEMEKONAN (BHP) GADINGREJO TIMUR DALAM PENETAPAN PERATURAN PEKON TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA PEKON (APBPEKON) TAHUN 2014

6 90 103

GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA PEKON DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERIODE TAHUN 2012-2015 (Studi Kasus di Pekon Sindang Pagar Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat)

1 16 77

PELAKSANAAN KEWENANGAN LEMBAGA HIMPUN PEMEKONAN DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEKON PADA PEKON PURALAKSANA KECAMATAN WAY TENONG KABUPATEN LAMPUNG BARAT

3 33 57