Kertas cakram diameter 5 mm diresapkan dalam ekstrak. Proses peresapan dilakukan dengan cara merendam kertas cakram dalam ekstrak dengan berbagai konsentrasi selama 25 menit. Kertas cakram
tersebut kemudian diletakkan di atas permukaan media bakteri dengan pinset dan ditekan sedikit. Media bakteri yang telah ditetesi bahan antibakteri diinkubasi pada suhu 25
⁰C, selama masa pertumbuhan optimum masing-masing bakteri. Pembacaan awal dilakukan setelah 24 jam. Diameter zona hambatan yang terbentuk
diukur dengan penggaris untuk menentukan efektivitas antibakteri Volk dan Wheeler, 1993. Pengukuran zona hambatan dilakukan dengan mengukur diameter daerah jernih. Diameter zona hambat adalah pada
diameter yang tidak ditumbuhi bakteri di sekitar kertas cakram dikurangi diameter kertas cakram.
Gambar 1. Diagram alir proses pengambilan zat aktif tanaman Jatropha Multifida Linn dengan menggunakan
pelarut metanol
3. Hasil dan Pembahasan
Ekstraksi Tahap 1 Optimasi Waktu
Pada penelitian ini diketahui kadar tanin dalam bahan baku adalah 3,27. Untuk mengetahui waktu optimal dilakukan penelitian pendahuluan dengan menggunakan variabel
berubah waktu dari 1 hingga 6,5 jam dengan suhu 60 C, pengadukan 700 rpm dan rasio 0,1 gr bahanml
solven. Hasil ekstraksi yang diperoleh terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kadar Tanin dan Yield Pada Berbagai Waktu Ekstraksi Waktu Ekstraksi jam
Kadar tanin Yield
1 0,55
16,81
2 0,87
26,56
3 0,96
29,55
4 1,11
34,06 6,5
1,22 37,29
Gambar 2. Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Tanin
Dari hasil penelitian dengan variasi waktu terlihat bahwa semakin lama waktu ekstraksi, kadar tanin yang dihasilkan semakin besar. Hal ini dikarenakan kontak antara solute dengan solvent menjadi semakin lama,
sehingga banyak solute yang akan diambil. Dari gambar 2 terlihat bahwa pada saat ekstraksi dilakukan pada waktu 1-4 jam kenaikan kadar tanin yang di dapat cukup signifikan tetapi pada saat waktu ekstraksi lebih dari
4 jam kenaikan tidak cukup signifikan. Hal ini dikarenakan penambahan waktu yang melebihi batas optimumnya tidak efisien karena pelarut telah jenuh dengan solute.
Ekstraksi Tahap 2 Optimasi Rasio
Pada ekstraksi tahap 1 untuk menentukan rasio yang optimum, dilakukan ekstraksi dengan variasi rasio 0,01-1,14 gr bahanml solven, suhu 60
C , pengadukan 700 rpm, dan waktu ekstraksi selama 4 jam. Hasil ekstraksi yang diperoleh terlihat pada tabel 4.2
Tabel 2. Kadar Tanin dan Yield Pada Berbagai Rasio Bahan BakuSolven Rasio gr bahanml solven
Kadar tanin Yield
0,01 3,20
97,91 0,02
3,19 97,70
0,06 1,23
37,67 0,10
1,12 34,30
0,14 0,51
15,62
Gambar 3. Pengaruh Rasio Bahan BakuSolven Terhadap Kadar Tanin
Dari gambar 4.2 terlihat bahwa semakin tinggi rasio bahan dengan metanol maka kadar tanin yang dihasilkan semakin kecil. Kadar tanin optimal dicapai pada saat rasio 0,02. Hal ini dikarenakan semakin
rendah rasio bahan pada umpan maka distribusi ke pelarut semakin besar untuk suhu yang sama. Dengan banyaknya jumlah pelarut maka kemampuan untuk mengekstrak tanin menjadi semakin baik sebab distribusi
partikel dalam pelarut semakin menyebar sehingga memperluas permukaan kontak.
Optimasi Suhu
Pada ekstraksi tahap 2 untuk menentukan suhu optimum, dilakukan ekstraksi dengan variasi suhu 50- 65
⁰C, rasio 0,02 gr bahanml solven, pengadukan 700 rpm, dan waktu ekstraksi selama 4 jam. Hasil ekstraksi yang diperoleh terlihat pada tabel 3
1 2
3 4
5
2 4
6 8
K a
d a
r T
a n
in
W aktu jam
1 2
3 4
5
0,02 0,04
0,06 0,08
0,1 0,12
0,14 0,16
K a
d a
r T
a n
in
Rasio gr 250 ml
Tabel 3. Kadar Tanin dan Yield Pada Berbagai Suhu Suhu
⁰C Kadar tanin
Yield
50 2,68
82,08 55
3,23 98,93
60 3,19
97,70 65
3,06 93,72
Gambar 4. Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Tanin
Menurut Enny dan Fadilah 2007 semakin tinggi suhu ekstraksi maka nilai difusivitas dan transfer massa cenderung meningkat. Nilai difusivitas cenderung meningkat karena kenaikan suhu mengakibatkan pori –
pori pada jatropha multifida cenderung lebih terbuka, sehingga difusi tanin berlangsung lebih cepat karena hambatan difusinya lebih kecil. Sedangkan nilai transfer massa juga cenderung meningkat karena kelarutan
tanin dalam pelarut semakin naik seiring dengan kenaikan suhu operasi.
Dari grafik terlihat bahwa kenaikan suhu hingga 55 ⁰C mengakibatkan kadar tanin yang di dapat
meningkat. Akan tetapi pada saat suhu diatas 55 ⁰C kadar tanin yang di dapat menurun.
Menurut Houghton dan Raman 1998 penggunaaan suhu yang tinggi dalam mengekstraksi akan menyebabkan reaksi yang terjadi lebih kuat karena energi yang dihasilkan lebih tinggi, maka zat-zat yang
seharusnya tidak larut di dalam metanol menjadi larut. Adapun komposisi zat ekstraktif yang terlarut menurut Koch 1972 antara lain adalah tanin, pati, gum, gula, protein, dan zat warna. Bila suhu ekstraksi diatas 55
⁰C pelarut metanol akan menguap sehingga zat ekstraktif akan mengendap kembali dan meningkatkan viskositas
tanin yang diperoleh. Disamping itu hasil ekstraksi berwarna lebih gelap, hal ini tentunya akan menurunkan kualitas tanin yang diperoleh, sebaliknya apabila suhu ekstraksi dibawah 55
⁰C menjadi tidak efisien karena jumlah ekstrak yang terlarut dalam metanol relatif sedikit.
Efektivitas Antibakteri
Gambar 5. Sampel Pada Saat Uji Antimikroba Sebelum Masa Inkubasi
Gambar 6. Hasil Uji Aktivitas Antimikroba Setelah Masa Inkubasi 24 jam
0,5 1
1,5 2
2,5 3
3,5 4
4,5 5
40 45
50 55
60 65
70
K a
d a
r T
a n
in
Suhu
⁰C
Candidia albicans Staphylococcus aureus
Eschericia coli
Staphylococcus aureus Candidia albicans
Eschericia coli
Tabel 4. Hasil Uji Efektivitas Antimikroba Nama Mikroba
Kontrol Positif Waktu
Perendaman Waktu Inkubasi
Diameter Hambatan
mm
Candida albicans Ketoconazole
25 menit 24 jam
22 Staphylococcus aureus
Chloramphenicol 25 menit
24 jam 17
Eschericia Coli Cefotaximine
sodium 25 menit
24 jam 10
Nama Mikroba Waktu
Perendaman Waktu
Inkubasi Diameter Hambatan mm
Pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak 0,7 mgml
6 mgml 12 mgml
Candida albicans 25 menit
24 jam 10
13 15
Staphylococcus aureus 25 menit
24 jam 15
7 3
Eschericia Coli 25 menit
24 jam 7
6 1
Davis Stout dalam Ardiansyah 2005 mengemukakan bahwa ketentuan kekuatan antibakteri adalah sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm berarti kuat, 5-10
mm berarti sedang dan daerah hambatan 5 mm atau kurang berarti lemah. Dalam Safera 2005 bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus memiliki dinding sel yang sederhana
sehingga sangat sensitif terhadap antibakteri yang mempunyai target penghambatan dinding sel. Adanya tanin sebagai antibakteri akan mengganggu sintesa peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang
sempurna. Keadaan ini akan menyebabkan sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik maupun fisik sehingga sel bakteri menjadi mati.
Mekanisme kerja tanin sebagai antimikroba menurut Naim 2004 berhubungan dengan kemampuan tanin dalam menginaktivasi adhesin sel mikroba molekul yang menempel pada sel inang yang terdapat pada
permukaan sel. Tanin yang mempunyai target pada polipeptida dinding sel akan menyebabkan kerusakan pada dinding sel, karena tanin merupakan senyawa fenol.
Pada perusakan membran sel, ion H+ dari senyawa fenol dan turunannya flavonoid akan menyerang gugus polar gugus fosfat sehingga molekul fosfolipid akan terurai menjadi gliserol, asam karboksilat dan asam fosfat.
Hal ini mengakibatkan fosfolipid tidak mampu mempertahankan bentuk membran sel, akibatnya membran akan bocor dan bakteri akan mengalami hambatan pertumbuhan bahkan kematian Gilman, dkk., 1991. Hagerman
et.al 1998 jika terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein, terutama pada pH mendekati isoelektrik 4-5 kemungkinan protein yang terendapkan. Fenomena ini dikenal dengan denaturasi protein. Jika protein dari
bakteri terdenaturasi, enzim akan inaktif sehingga metabolisme bakteri terganggu yang berakibat pada kerusakan sel.
4. Kesimpulan