LARAS PELOG DAN SLENDRO

7

BAB II LARAS PELOG DAN SLENDRO

Instrumen pukul gamelan juga menarik komponis Barat. Perkenalan De Bussy dengan gamelan Jawa pada Pameran Internasional 1889 di Paris sangat mempengaruhi penciptaan konsepsi barunya. Kenyataan demikian merupakan suatu hal yang menggembirakan, sebab pada waktu itu instrumen musik Asia dicemoohkan sebagai “alat penyiksa”. De Bussy barangkali orang Barat pertama yang memahami struktur musik gamelan, yang berlapis-lapis dan juga iramanya yang rumit. Menurut komponis Perancis terkemuka ini, dibanding dengan instrumen pukul Asia, musik Barat bunyinya seperti sirkus keliling. Sunardi Wisnubroto 1997 mengatakan “The gamelan has two laras scaletonal system, laras slendro and laras pelog. Laras pelog, if in older times the slendro system is exclusively used in wayang purwa, the pelog scale is used in wayang gedhog. The pelog system is a septatonic scale of seven notes. The name of the notes and its notation are as follows: name of note : bem panunggul, gulu jangga, dhadha, pelog, lima, nem, barang; notation : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7; solmisation : ji, ro loro, lu telu, pat papat, ma lima, nem enem, pi pitu”. Di dalam Karawitan Jawa gendhing-gendhing Laras Pelog dibagi menjadi 3 bagian: Gendhing-gendhing Laras Pelog Patet 5. Gendhing-gendhing Laras Pelog Patet 6. Gendhing-gendhing Laras Pelog Patet Barang 7. Gendhing- gendhing Laras Pelog ini banyak sekali dipakai untuk mengiringi pergelaran 8 Wayang Gedog. Wayang Gedog adalah wayang Panji, yaitu wayang yang menggambarkan sejarah Kerajaan Kediri dan Janggala pada jaman dahulu kala. Dalam kesusasteraan Jawa dan Bali, Serat Panji merupakan sastra yang populer sekali di kalangan orang-orang Jawa maupun Bali, bahkan di negara Thailand, Kamboja, Malaysia pun mengenal sastra Panji itu. Menurut keterangan Poerbatjaraka 1952, Raja Kameswara I di Kerajaan Kediri itulah yang di- gambarkan sebagai tokoh Raden Panji Inu Kertapati, hanya tempat kerajaannya saja yang terbalik, mestinya dari Janggala. Sedang tokoh Dewi Candra Kirana atau Dewi Sekartaji adalah seorang putri Raja Kediri. Pementasan pergelaran Wayang Gedog pada jaman dahulu sering kali diadakan, malah hampir boleh dikatakan rutin, terutama dalam Kraton Surakarta dan juga di Alun-alun Utara pada upacara Sekaten. Kata Gedog berasal dari Kedok yang artinya Topeng, sebab adanya Topeng atau Tari Yang Memakai Topeng lebih dahulu adanya daripada Wayang Gedog itu sendiri menurut Prof. Dr. Purbotjaroko almarhum. Antara tahun 1700 sampai 1800 Masehi banyak ditemukan tulisan-tulisan yang membeberkan adanya fragmen-fragmen petilan tari yang menggambarkan Tari Topeng tersebut, antaranya Tari Topeng Klana, Pentul Tembem, Gunung Sari Gandrung, Jaran Kepang dan sebagainya yang bersumber dari Naskah-naskah Panji Harsono Kodrat, 1982. Sedang Wayang Gedog itu sendiri dibuat pada sekitar awal abad 19. Seni sungging yang ada pada Wayang Gedog benar-benar indah, termasuk Pakem ceritanya yang mengandung Drama Asmara Kelas Berat baik disegi Komidi atau Tragedinya dan juga Banyak Sekali Dipakainya Gendhing-gendhing Laras Pelog yang sungguh-sungguh enak didengar dan dirasakan. 9 Iringan Pergelaran Wayangan Gedog. Gendhing-gendhing Laras Pelog 5 dipakai untuk mengiringi Jejeran I sampai perang Ampyak Rampogan. Perang Ampyak Rampogan sesungguhnya menggambarkan para Prajurit sedang berkarya, di luar areal kraton, umpamanya memperbaiki jalan-jalan, membuat jalan-jalan baru, nembus hutan, meratakan jalan dan sebagainya. Adapun gendhing patet 5 Pelog itu di antaranya Kombangmara, Kembangmara, Duradasih, Mayangsari, Pasang, Jatikondang, Sekarteja dan sebagainya. Gendhing Laras Pelog 6 dipakai dari sebuah perang Ampyak Rampogan atau Prampogan sampai perang Bugis Perang tanding antara Raden Panji Inu Kertapati dengan D. Mabela, D. Makrincing, D. Madelu wadyabalanya Prabu Kalana atau Prabu Klana Sewandana Klana Tunjungseta, seorang raja dari Bantarangin. Pada Jejer II, di mana Prabu Klana dilayarkan dikeluarkan pada layar atau kelir dibunyikan gendhing-gendhing Laras pelog Patet 6. Umpamanya gendhing Rambu, Semang, Tamenggita, Myanggong, Gobed, atau Bendrong, dan sebagainya Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Laras Pelog Patet Barang dipakai untuk Jejeran-jejeran sesudah perang Bugis sampai selesai, umpamanya: Kuwung-kuwung, Kututmanggung, Srikaton Barang, Rimong, Jentar, Belek, Sumirat dan sebagainya. Untuk mengiringi perang biasanya dipakai Kemuda Kemudo dan Sampak Barang, juga tiduk lupa dipakai Ayak-ayakan Kemudo. Ada beberapa nama-nama dalang yang mahir menggelarkan Wayang Gedog semalam suntuk dari Kraton Surakarta. Pada pergelaran Wayang Gedog, wayang yang dipakai untuk simpingan Display yaitu wayang-wayang yang dijajarkan di layar Tetap Wayang-wayang Purwa, karena jumlah wayang Gedog sendiri tidak banyak. Gendhing yang 10 dipakai untuk talu sebelum memulai pergelaran wayang ialah Ketawang Mertapuran. Untuk mengiringi Tari Gambyong dipakai Ladrang Pangkur Pl. Br., Gambirsawit Pacarcina, dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Golek dipakai gendhing Lambangsari Pl. Br., Ladrang Cluntang, Ladrang Asmarandana. Untuk mengiringi Tari Bondankendi dipakai Ladrang Ginonjing dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Badaya dipakai Gendhing Badaya Sekarsih, Duradasih, Kinanti dan sebagainya. Untuk mengiringi Srimpi Catursari dipakai Ladrang Retna- ningsih. Untuk mengiringi Tari Srikandi-Larasati dipakai Surung Dayung, Gonjang-Ganjing, Puspawarna dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Menak Koncar dipakai Gendhing Asmarandana. Untuk mengiringi Tari Sancaya Kusumawicitra dipakai Gendhing Moncer P1. Br. Untuk mengiringi Tari Andogo Bugis dipakai Gendhing Puspanjala dan Kemudo. Untuk mengiringi Tari Pentul Tembem dipakai Gendhing Pangkur Pareanom, Pacung, Rujak Jeruk, dan Loro-loro Topeng. Untuk mengiringi Tari Perang Anoman dan Wilkataksini dipakai Gendhing Kagokmaduro, Lere-lere atau Wani- wani dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Menakjinggo Gandrung dipakai Gendhing Ricik-ricik dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Klana gandrung dipakai Gendhing Liwung, Bendrong, Pocungrubuh dan Eling-eling. Untuk mengiringi Tari Gatutkaca gandrung dipakai Gendhing Palaran, Bendrong, Pocungrubuh, Kinanti Pangukir Sl. 9 Sampak dan sebagainya. Untuk mengiringi Bancak Doyok Fragmen Tari dipakai banyak sekali gendhing- gendhing seperti: Sarayuda, Tanjunggunung, Srundeng Gosong, Kembang Nangka, Glatik, Inceng-inceng, Ayun-ayun, Lagu, dan sebagainya. Untuk 11 mengiringi Tari Gambir AnomRatu Sabrang Bagus dipakai Gendhing Rina-rina atau Wrahatbala atau Bendrong, dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Kupu- kupu dipakai Gendhing Kupu Kuning Dolanan. Untuk mengiringi Tari Kuda Lumping dipakai Gendhing Pangkur Harsono Kodrat, 1982. Untuk mengiringi Tari Putri Cina Kelaswara dipakai Gendhing Cluntang Br., Gonjang-Ganjing Pl. 6. Gunungsari Gandrung dipakai Gendhing Randukintir terus naik Ayun-ayun P1.6, Pangkur, Onang-onang, Gunungsari, dan sebagainya. Untuk mengiringi Tayuban dipakai berbagai Gendhing Pelog maupun Slendro. Untuk mengiringi Tari Ketek Ogleng dipakai Gendhing Rujak Jeruk, Sumyar, dan sebagainya. Berasal dari Drama Tari Ketek Ogleng dari Serat Panji. Untuk mengiringi Drama Tari Keong Mas banyak sekali dipakai gendhing-gendhing Pelog. Umpamanya: Palaran Gambuh, Megatruh, Maskumambang, Pangkur, Sinom, Eling-eling Kasmaran, Durma, Kinanti, Kemudo, dan sebagainya Serat Panji. Untuk mengiringi Drama Tari Ande-ande Lumut versi Serat Panji banyak juga dipakai gendhing-gendhing pelog bahkan hampir seluruhnya. Sebagian besar TarianDrama Tari diiringi gendhing-gendhing Laras Pelog yang sesuai dengan sifat-sifat Gendhing Pelog itu sendiri. Untuk mengiringi Ketoprak atau Pagelaran Drama Sejarah yang menggambarkan Lakon Sejarah Raja-raja di Pulau JawaSunda maupun Madura termasuk peperangan-peperangan yang ada di dalamnya yang banyak juga mengandung nilai-nilai historis. Untuk Pagelaran ini banyak dipakai gendhing- gendhing Pelog Harsono Kodrat, 1982. Untuk mengiringi Pagelaran Wayang Kulit Purwa, yaitu pada bagian-bagian tertentu, umpamanya untuk Keluarnya 12 Bala Tentara Kerajaan Budalan Jawi termasuk Jaranan, pada adegan Pandita, Adegan Sabrangan, Perang Pupun. Gendhing yang biasa dipakai ialah di antaranya: Lancaran Tropong Bang, Tropongan, Manyar Sewu, Singanebah, Samiran, Kalongking, Onang-onang, Ricik-ricik, Sampak Barang, dan sebagainya. Penggarapan gendhing-gendhing pelog ini harus disesuaikan dengan suasana, sehingga pertunjukan menjadi lebih hidup dan menarik. Laras slendro, in former times the slendro scale is used exclusively to accompany wayang purwa, a wayang kulit performance, which story is derived from the two Indian epic Ramayana and Mahabarata. Up to now dances, which depict a fragment from those two epics are still accompanied by the slendro scale. According to Javanese tradition, the slendro system is more ancient than the pelog system. But ethnological evidence established the reverse order of their appearance. The slendro scale is a pentatonic scale with five notes. The name of the notes, the notation and how they are sung are as follow : name of note : barang, gulu, dhadha, lima, nem; notation : 1, 2, 3, 5, 6; solmisation : ji, ro loro, lu telu, ma lima, nem enem. The octave interval is called gembyangan. The interval covering three steps in the gender is called kempyung, while the interval covering four steps is called adu manis. Gendhing-gendhing Laras Slendro juga dibagi menjadi 3 bagian; yaitu seperti di bawah ini: Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet 6. Gendhing- gendhing Laras Slendro Patet 9. Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet Manyura. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa Laras Slendro Patet 6 itu, di antaranya: Kawit, Kabor, Titipati, Ldr. Bedat, Kedaton Bentar, Lana, Udansore, Menggah, dan sebagainya. 13 Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet 9 itu umpamanya: Gambir Sawit, Renyep, Gonjang-Ganjing, Gondokusuma, Bondet, Genjong, dan sebagainya. Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet Manyura itu umpanya: Lambangsari, Lipursari, Cucurbawuk, Asmarandana, Merakkasimpir, Bujonggonom, Kututmanggung, dan sebagainya. Pembagian Gendhing-gendhing Laras Slendro menjadi 3 bagian berdasar Patet itu karena disesuaikan patokan-patok- anpembakuan yang ada pada Pergelaran Wayang Purwa Kulit maupun Orang Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa Laras Slendro Yang Dipakai Untuk Mengiringi Pergelaran Wayang Kulit Purwa Parwa Pada Jaman Dahulu Dan Patokan-patokan Yang Berlaku Pada Masa Itu. Gendhing-gendhing yang dipakai untuk mengiringi pergelaran Wayang Kulit Purwa dibagi menjadi 3 bagian, sesuai dengan jadwal pergelaran wayang itu sendiri yang juga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet 6 dipakai untuk bagian pertama pada jadwal pergelaran, yaitu dari jam 21.00 sampai 24.00, atau pada Jejer I sampai Jejer Pandita Pertapaan. Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet 9 dipakai untuk bagian kedua pada jadwal pergelaran, yaitu dari jam 24.00 sampai jam 03.00, atau pada Jejer Pandita sampai Perang Kembang dan sebagainya. Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet Manyura dipakai untuk bagian terakhir dari jadwal pergelaran, yaitu dari jam 03.00 sampai jam 05.00 pagi, atau dari Jejer Sabrang Akhir sampai perang PupuhTancep Kayon. Sudah menjadi kebiasaan umum yang berlaku pada masa sekarang kaprah di mana pada Jejer I selalu dimulai dengan Ayak-ayakan diteruskan 14 dengan Gendhing Krawitan Karawitan, hal ini pada masa lampau tidak diperbolehkan, karena bukan baku patokan. Adapun yang baku harus dimulai dengan buka Karawitan juga sejak awal Jejer Memang waktunya lebih panjang. Pada jaman kuna untuk menggelarkan suatu tontonan wayang, Ki Dalang dan para niyaga penabuh memang harus perfect, disiplin, dan menurut pembakuan- pembakuan yang ada waktu itu, terutama gendhing-gendhing yang dipakai untuk mengiringi masing-masing wayang yang akan keluar di layar Zoetmulder, 1985. Para Empu berpendapat bahwa masing-masing wayang mempunyai gendhing sendiri-sendiri Sepantasnya dibunyikan gendhing-gendhing yang selaras dengan wajah si wayang yang akan dikeluarkan, pengarang. Apakah gendhing-gendhing lembut, sereng, garang, gecul mengandung banyolan dan sebagainya sesuai dengan watak wayangnya. Gendhing Yang Dipakai Untuk Jejer I. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer Astina harus Gendhing Kabor. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer Amarta harus Gendhing Kawit Gendhing Gender. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer Suralaya Kaindran harus Gendhing Kawit juga. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer Dwarawati harus Gendhing Krawitan. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer yang lain-lain cukup Krawitan juga. Gendhing-gendhing Untuk Mengiringi Tamu Yang Datang Pada Jejer I. Jika tamu dari Mandura, yaitu Prabu Baladewa dibunyikan Gendhing Ldr. Remeng atau Diradameta. Jika tamu dari Sengkapura, yaitu Prabu Kangsa Jaka Maruta dibunyikan Gendhing Ldr. Sobrang. Jika tamu dari Madukara, yaitu 15 Raden Arjuna Janaka dibunyikan Gendhing Ldr. Asrikaton. Jika tamu dari Sawojajar, yaitu R. Nakula dan Sadewa dibunyikan gendhing Ldr. Kembangpepe. Jika tamu dari Amarta, yaitu Prabu Yudistira bersaudara dibunyikan Gendhing Ldr. Mangu-mangu. Jika Tamu dari Astina, umpamanya Patih Sengkuni dibunyi- kan Gendhing Ldr. Lere-lere. Jika tamu dari Karang Kawidadan, yaitu Randa Widada Sembadra dibunyikan Gendhing Ldr. Sobah. Jika tamu Sabrangan, umpamanya seorang Patih dibunyikan Gendhing Ldr. Plupuh, Erang-erang, dan sebagainya. Jika tamu yang berupa Raksasa Buta atau BurungKukila dibunyikan Gendhing Moncer, Ldr. Bedat. Yang lain-lain dipakai Ayak-ayakan NemSrepegan 6. Gendhing-gendhing untuk Adegan-adegan Kedatonan Sesudah Jejer I. Untuk mengiringi kedatonan Astina Sepuh, yaitu Dewi Gendari dipakai Gendhing Lontang. Untuk mengiringi kedatonan Astina Muda di Taman Kadilengeng, yaitu Dewi Banowati Banuwati dipakai Gendhing Damarkeli. Untuk mengiringi kedatonan Pancalaradya dipakai Gendhing Maskumambang Harsono Kodrat, 1982. Untuk mengiringi kedatonan DwarawatiTaman Banoncinawi dipakai Gendhing Titipati atau Kadukmanis. Untuk mengiringi kedatonan Lesanpura dipakai Gendhing Tunjung Karoban atau Render. Untuk mengiringi kedatonan Mandraka dipakai Gendhing Gandrung Manis atau Laranangis. Untuk mengiringi kedatonan Kumbina dipakai Gendhing Puspawedar. Untuk mengiringi kedatonan Mandura Sepuh semasa Prabu Basudewa dipakai Gendhing Kanyut atau Gantalwedar. Untuk mengiringi kedatonan Amarta, yaitu Dewi Drupadi dipakai Gendhing Larasati. Untuk mengiringi kedatonan Alengka di taman Arga Soka, 16 yaitu Dewi Tari dipakai Gendhing Laranangis atau Rendeh. Untuk mengiringi kedatonan Traju TrisnaBoma, untuk Dewi Hagnyanawati dipakai Gendhing Gandrungmanis. Untuk kedatonan SuralayaBatara Guru tidak memakai gendhing, hanya digunakan Ayak-ayakan 6. Gendhing-gendhing Yang Dipakai Untuk Paseban Jaba Adegan Para Kusuma dan Prajurit Di Bangsal Pangrawit. Untuk paseban jaba Mandura, di mana Prabu Baladewa dihadap diadep para santana dan Patih PragotaPrebawa dan sebagainya gendhing yang dipakai Capang. Untuk paseban jaba Dwarawati, di mana Raden Samba dihadap R. Setyaki dan Patih Udawa dipakai Gendhing Kedaton Bentar, Kadaton Bentar. Untuk paseban jaba Astina, SengkuniAdipati Karna dihadap para Kurawa dibunyikan Gendhing Kambangtiba. Untuk paseban jaba Astina di mana hanya ada Dursasana beserta para kadang Kurawa dipakai Gendhing Semukirang. Untuk paseban jaba Amarta, di mana R. Wrekudara dihadap R. Arya Gatutkaca dipakai Gendhing Dandun atau Gendu. Untuk paseban jaba Mandura Sepuh, di mana Arya Prabu dihadap R. Ugrasena gendhing yang dipakai Prihatin atau Titisari. Untuk paseban jaba Mandraka, di mana R. Buriswara atau Burisrawa dihadap R. Rukmarata dipakai Gendhing Bolang- Bolang atau Mandulpati. Untuk paseban jaba Wirata, di mana R. Seta dihadap R. Utara dan Wrahatsangka dipakai Gendhing Talimurda. Untuk paseban jaba Pancalaradya Cempalaradya di mana R. Trustajumpena dihadap patih, dipakai Gendhing Randat. Untuk paseban jaba Para Dewa dipakai Gendhing Turirawa. Untuk paseban jaba Lesanpura, di mana R. Setyaki dihadap patih dipakai Gendhing 17 Titisari atau Larasati. Untuk paseban jaba Pringgodani, di mana Brajadenta dihadap Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, Kalabendana dipakai Gendhing Diradameta. Untuk paseban jaba Pancawati, di mana Narpati Sugriwa dihadap para Senapati Wanara Anoman, Anggada, Patih Anila, Kapi Saraba, Cocak Rawun, Kapi Jembawan, dan sebagainya dipakai Gendhing Lere-lere. Untuk paseban jaba Alengka Ngalengkadiraja, di mana R. Indrajid dihadap adik- adiknya yaitu Bukbis, Trisirah, Asmani Kumba, Kumba Asmani dan sebagainya dipakai Gendhing Kagokmadura atau Diradameta. Gendhing-gendhing yang dipakai untuk Jejeran Kedua atau Jejer Sabrangan. Untuk Jejer Sabrangan Bagus, misalnya Dewasrani dengan ibunya yaitu Batari Durga dipakai Gendhing Udansore atau Menyanseta atau Lokananta. Untuk Jejer Sabrangan Buta Raksasa Besar misalnya Batara Kala, Gorawangsa, Arimba, Niwatakawaca Nirbitakawaca, Kalawasesa, Kalasrenggi, Ratu Buta yang memakai Wayang Suratrimantra, dan sebagainya dipakai Gendhing Majemuk, Lobaningrat, atau Guntur. Untuk Jejer Kangsa di Sengkapura dipakai Gendhing Babad. Untuk Jejer Amarta dipakai Gendhing Bujonggo atau Peksi Bayan. Untuk Jejer Ngalengka dipakai Gendhing Parinom. Untuk Jejer Ratu Sewu Negara yang mempunyai mata telengan dipakai Gendhing Rindik, Menggah, atau Lana Harsono Kodrat, 1982. Untuk Jejer Suduk Pangudal-udal yaitu Batara Narada dipakai Gendhing Peksi Bayan. Untuk Jejer Mandura Muda di mana Kakrasana ditampilkan dipakai Gendhing Bujonggo. Untuk Jejer Astina dipakai Gendhing Jomba Jamba. Untuk Jejer Binatang Hutan dan Raksasa Rucah dipakai Gendhing Babad Kenceng atau 18 Ldr. Wani-wani Binatang-binatang yang ada pada Wayang Purwo di antaranya: Kukila Burung, Turangga Kuda, Taksaka Ular, Dwirada Gajah, Sardula Macan, Wraha Celeng, Warak, Wanara Monyet, Mina Ikan, Garangan Seta Landak, Peksi Jawata Sebangsa Burung Dewa, Lembu Andini, Banteng Maesasura, Jatasura, Wilkataksini Raksasa Kepala Buaya, dan sebagainya. Gendhing-gendhing yang Dipakai untuk Mengiringi Jejer Pandita Atau Bambangan di Tengah HutanHarga GunungGuhaKasatrayan. Untuk mengiringi Bagawan Abiyasa dari Bukit Ratawu bersama Raden Arjuna Janaka dipakai Gendhing Lunta atau Lara-lara. Untuk mengiringi Raden Arjuna di tengah hutan dan Arjuna dalam keadaan susah dipakai Gendhing Lagudempel, Laler Mengeng atau Renyep. Untuk mengiringi Raden Arjuna di kasatryan Madukara dipakai Gendhing Bontit, Kuwung-kuwung atau Danaraja. Untuk mengiringi Raden Arjuna yang sedang menjadi Emban di hutan dipakai Gendhing Gendrehkemasan. Untuk mengiringi Arjuna yang sedang bertapa sebagai Baga- wan Mintaraga dipakai Gendhing Jongkang. Untuk mengiringi Raden Arjuna sedang bertapa di suatu gununggua dipakai Gendhing Santi. Untuk mengiringi Bagawan Abiyasa bersama Raden Abimanyu dipakai Gendhing Gondokusumo Gandakusuma. Untuk mengiringi Pandita bersama Bambangan yang lain bukan Abiyasa dipakai Gendhing Bondet, Gambirsawit Onang-onang. Untuk mengiringi Raden Janaka di hutan Setragandamayit Ganggawarayang dipakai Gendhing Dendagede. Untuk mengiringi Semar yang sedang bertapa dan akan terbang ke Suralaya dipakai gendhing Gender Babarlayar Harsono Kodrat, 1982. Untuk mengiringi Semar di 19 Klampis Ireng Karang TumaritisKarang Kadempel dipakai Gendhing Loro-loro Gondang Loro-loro Gendong? atau Logondang. Untuk mengiringi Bambang Sitijo Boma dari Ekapretala dipakai Gendhing Kenceng. Untuk mengiringi Bambang Nagatatmala dari Saptapretala dipakai Gendhing Sumedang. Gendhing-gendhing yang dipakai untuk Mengiringi Buta Parepat Di Tengah Hutan. Untuk mengiringi Buta Raksasa Parepat di antaranya Cakil, Pragalba, Sindungriwut, Galiyuk, TogogSarawita dipakai Gendhing Jangkrik Genggong diteruskan Embat-embat Penjalin, atau Jangkrik Genggong diteruskan Ldr. Semingin. Untuk mengiringi UlarMacan TaksakaNaga dan Sardula dipakai Gendhing Babad Kenceng. Untuk mengiringi Buta Alasan Laki dan Perempuan Biasanya malihan Dewa dipakai Gendhing Kagok Madura atau Ugo- Ugo. Gendhing-gendhing yang dipakai Para Ratu Raja sesudah Perang Kembang dalam Patet. Untuk mengiringi Kalakesawa Kresna bersama Sembadra Mandandari dipakai gendhing Jongkang. Untuk mengiringi Nata Buta bersama Emban Cantikawreti Kenyowandu dipakai Gendhing Galagotang. Untuk mengiringi Pandita bersama Endang dipakai Gendhing Gambirsawit. Untuk mengiringi Prabu Jungkungmardeya atau Nata Petaprelaya dipakai Gendhing Renyep. Untuk mengiringi Nata Dwarawati Prabu Kresna dipakai Gendhing Rondon atau Semeru. Untuk mengiringi Nata Astina Prabu Duryudana dipakai Gendhing Kencongbarong. Untuk mengiringi Nata Sabrang Bagus Umpama Prabu Lobaningrat Gambir Anom dipakai gendhing Songgeng. Untuk mengiringi Nata Amarta 20 bersaudara Pandawa dipakai Gendhing Gandrung Mangungkung. Untuk mengiringi Bima Wrekudara di tengah hutan sendirian dipakai Gendhing Babadkenceng atau Kagok Madura. Untuk mengiringi Jejer Pertapaan Argabelah di mana Bagawan Bagaspati dihadap Dewi Setyawati dipakai Gendhing Onang- onang atau Genjong. Untuk mengiringi pertapaan Argasonya di mana Wasi Jaladara bertapa dipakai Gendhing Gambirsawit. Untuk mengiringi berkumpulnya beberapa raja dari Pancalaradya, Kumbina, dan para Pandawa dipakai Gendhing Semiring atau Candra Harsono Kodrat, 1982. Untuk mengiringi Kapi Jembawan dan. Raden Narayana dipakai Gendhing Sumar. Untuk mengiringi Batara Yamadipati bersama Dewi Mumpuni dipakai Gendhing Genjong. Untuk mengiringi Batara Narada bersama Batara Indra dipakai Gendhing Gegersore. Untuk mengiringi Duryudana terluka karena peluru emas Mimis Kancana atau Janaka Budug dipakai Gendhing Tlutur. Untuk mengiringi adegan Pringgodani di mana Prabu Anom Gatutkaca dihadap segenap paman-pamannya dipakai Gendhing Genjonggoling atau Kencongbarong. Untuk mengiringi Jejer Kadewatan di mana Batara Guru dihadap segenap para Dewa dipakai Gendhing Uluk-uluk. Untuk mengiringi Jejer Wirata di mana Prabu Matswadati Durgandana dihadap R. Seta, Utara, Wrahatsangka dan sebagainya dipakai Gendhing Geger Sore atau Kagok Madura. Gendhing- gendhing yang dipakai untuk Mengiringi JejeranJejeranAdegan-adegan dalam Patet Manyura, Menjelang Tancep Kayon Bubaran. Untuk Jejer Astina dipakai Gendhing Gliyung atau Sumirat. Untuk Jejer Wirata dipakai Gendhing Pocung. Untuk Jejer Dwarawati dipakai Gendhing Ramyang. 21 Untuk Jejer Singgela di mana Prabu Bisawarna dihadap patih dipakai Gendhing Kandamanyura. Untuk Jejer Pandawa dipakai Gendhing Kututmanggung. Untuk Jejer Kendalisada dipakai Gendhing Eling-eling Badranaya. Untuk Jejer Buta dipakai Gendhing Ricik-ricik. Untuk Jejer Gilingwesi dipakai Liwung. Untuk Jejer Kaputren dipakai Gendhing-gendhing Ladrangmanis. Untuk mengiringi Perang Pupuh yaitu perang besar diakhir pergelaran Wayang Kulit dipakai Sampak Manyura diteruskan Ayak-ayakan Manyura. Biasanya untuk mengiringi Arya Bimasena Wrekudara setelah menang perang dibunyikan lagu Ting Ting Mo Jati Mogel ... yaitu Lagu Tayungan. Pada pergelaran Wayangan jaman kuna setelah tancep kayon Gunungan lalu dibunyikan Gendhing Kinanti untuk mengiringi GambyonganLedekan. Kalau Waranggana tidak ngantuklelah, tari Gambyong tersebut ditarikan Waranggana sendiri Pasinden. Atau sering digunakan paraga Wayang Golek yang berupa boneka atau Wayang Petruk. Ini mengandung arti bahwa Wayangan yang telah digelarkan Ki Dalang tadi supaya dicari digoleki makna dan petunjuk yang ada pada ceritanya untuk diterapkan dalam alam kehidupan nyata maupun Kerokhanian. Tentang teknik pembuatan gamelan telah diterangkan oleh Trimanto 1984 dalam bukunya yang berjudul Membuat dan Merawat Gamelan.. 22

BAB III PENGGUNAAN IRINGAN KARAWITAN