diktat seni tembang 2

(1)

Diktat

SENI

TEMBANG II

DR. PURWADI, M.HUM

PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Telp: 0274-550843-12; Email: purwadi@uny.ac.id


(2)

KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk memperlancar proses belajar mengajar Mata Kulian Seni Tembang II di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Materi perkuliahan meliputi tembang macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe. Dengan demikian perkuliahan Seni Tembang II ini merupakan kelanjutan dari perkuliahan Seni Tembang I. Untuk pendalaman proses belajar mengajar dilengkapi pula uraian tentang seluk beluk seni tembang.

Mudah-mudahan penyusunan diktat ini dapat memenuhi harapan, sehingga seni tembang dapat berkembang. Diktat seni tembang yang sederhana ini memang diperlukan sebagai sarana pembelajaran.

Yogyakarta, 10 Maret 2011


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENGAJARAN SENI TEMBANG ... 1

BAB II TATA WIRAMA TEMBANG ... 15

BAB III SIMBOLISME DALAM TEMBANG ... 24

BAB IV TEMBANG DHANDHANGGULA ... 32

BAB V TEMBANG ASMARADANA ... 44

BAB VI TEMBANG SINOM ... 49

BAB VII TEMBANG KINANTHI ... 59

BAB VIII TEMBANG DURMA ... 62

BAB IX TEMBANG TENGAHAN ... 65

BAB X TEMBANG GEDHE ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN 1. SILABUS ... 80

LAMPIRAN 2. RPP ... 83


(4)

BAB I

PENGAJARAN SENI TEMBANG

Fungsi Tembang

Seni tembang dalam budaya Jawa mengandung unsur estetis, etis dan historis. Untuk unsur estetis atau keindahan seni tembang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kesenian pada umumnya, yaitu dulce et utile yang berarti menyenangkan dan berguna. Fungsi rekreatif tembang mampu menghibur hati yang sedang sedih, pikiran yang kalut dan suasana yang tegang. Fungsi utilitaris tembang yang berkaitan dengan aspek kegunaan dapat dilihat dari praktek ritual dalam masyarakat Jawa.

Adanya acara rutin macapatan, panembrama, ura-ura, gegendhingan, sesendhonan dan kehidupan menunjukkan bahwa seni tembang tetap diuri-uri murih lestari. Masyarakat Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unsur etis atau kesusilaan. Istilah kesusilaan ini sering disebut dengan tata krama, unggah-unggah, budi pekerti, wulangan, wejangan, wedharan, sopan santun, pernatan

dan duga prayoga. Begitu pentingnya unsur etis atau susila ini banyak sekali kitab-kitab Jawa yang mengulas secara jelas, tuntas dan tegas. Misalnya Serat Wulangreh, Serat Whedhatama, Serat Tripama, Serat Sanasunu, Serat Panitisastra, Serat Kalatidha dan Serat Sabdajati. Karya para Pujangga ini disebut sastrapiwulang yang ditulis dalam bentuk tembang.

Unsur historis tembang terdapat dalam sastra babad. Penulisan sejarah dalam bentuk sastra babad ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sangat


(5)

apresiatif terhadap kehidupan masa lampau. Kesadaran sejarah ini dilandasi oleh pemikiran bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan merupakan satu kesinambungan yang tak terpisahkan. Sastra babad yang diungkapkan dalam bentuk tembang itu bisa dijadikan referensi bagi generasi penerus sebagai kaca benggala atau cermin kehidupan.

Pengajaran gendhing itu tidak saja perlu untuk memperoleh pengetahuan dan kepandaian hal gendhing, namun perlu juga bagi tumbuhnya rasa kebatinan, karena selalu menuntun ke arah rasa kewiramaan (perasaan ritmis), seperti: rasa

runtut, patut, titi, pratitis, tetep, tatag, antep, mantep, harmonis, patut, teliti, tepat, tetap tak gentar, bersungguh-sungguh, setia dan sebagainya, begitu pula menghidup-hidupkan rasa keindahan (perasaan estetis), seperti rasa edi, peni, resik, endah, alus, luhur, bening, sangat baik, berharga, bersih, indah, halus, luhur, jernih dan sebagainya; selain itu juga menguatkan serta memurnikan rasa kesusilaan, seperti: perasaan alus, suci, lebet, santosa, jejer, gadah prabawa, mandiri, budi pekerti, raos gesang bebrajan (Marwoto, 1981). Halus, suci, dalam, sentosa, teguh, berwibawa, dapat berdiri sendiri, budi pekerti, hidup bersama dan sebagainya.

Di Jawa para pendeta dan wali sama memperhatikan kesenian gendhing, bahkan banyak yang turut memperbaharui bentuk gendhing serta kidung seperti Sunan Kali Jaga, Sunan Giri, Sri Sultan Agung, dan sebagainya. Demikian pula di dunia Barat para pemimpin agama serta para paus dan pendeta semuanya mempergunakan daya pengaruh gendhing untuk pembuka rasa kebatinan dan keagamaan, pun juga sebagai pengasah budi atau pembentukan watak yang berdasarkan tajamnya cipta, halusnya rasa serta kuatnya karsa (Dewantara, 1968).


(6)

Pada jaman sekarang para ahli kebudayaan perlu sekali memperhatikan pengajaran gendhing bagi pemuda, tidak saja karena hal tersebut di muka, tetapi juga karena sifatnya gendhing Jawa itu sungguh indah serta luhur, patut jadi kekayaan bangsa yang tiada taranya. Kecuali demikian, rasa memiliki kebudayaan indah–luhur itu dapat menimbulkan kebanggaan serta kemurnian rasa kebangsaan. Oleh karena itu piranti-piranti seni perlu juga diketahui.

Wirama Gendhing

Wirama gendhing terjadi karena suara tuntunan kendang, dalam tarian menurut tuntunan keprak seperti tersebut di bawah: Lambat cepatnya laku disebabkan oleh lambat atau mendesaknya pukulan kendang; Dalam dangkalnya suara disebabkan oleh suara dang atau dung. Tertib serta teraturnya getar dan gerak selalu mengikuti suara kendang yang berbunyi tek.

Jadi bunyi kendang itu, selain dapat lambat atau cepat, ada 5 macam: dang, dung, pak, tong serta tek; yang lain-lain hanya merupakan prenlian belaka delang, delung, sut, gembleb, dan sebagainya. Tertib serta teraturnya laku dijaga pula oleh pukulan saron, ketuk, kempul, kenong serta gong, yang masing-masing dapat diumpamakan titik lampah, titik pedotan, titik pada lingsa, titik pada dirga serta titik pada, seperti halnya dalam menulis sekar (lagu). Selain itu bunyi kempul menimbulkan rasa naik, ringan, dangkal, sehingga membawa kegembiraan; adapun bunyi kenong menimbulkan rasa menurun, dalam, berisi, hingga mendatangkan rasa tenteram atau tidak tergesa-gesa bunyi gong jelas menimbulkan rasa puas, lega, sempurna (Sri Widodo, 2000). Laku atau jalannya


(7)

gendhing itu dijelaskan oleh pukulan saron, serta terbagi dalam 2 bagian pokok: lampah lamba = pukulan yang memperdengarkan bunyi gendhing yang pokok; lampah dados (ngracik) = melipatgandakan lampah lamba, yang menyebabkan bunyi lagu terdengar jelas.

Dalam lampah lamba tiap satu kenong mengandung 8 pukulan saron untuk gendhing alit (gendhing kecil) dan gendhing madya (gendhing tengahan); adapun gendhing ageng (gendhing besar) berisi 16 pukulan (dalam gendhing ketuk 4) atau 32 pukulan (dalam gendhing ketuk 8). Adapun dalam lampah dados jumlah pukulan saron tadi lalu lipat dua.

Dalam satu gongan biasa disebut satu wilet, gendhing itu dapat berisi 2 kenongan, dapat pula berisi 4 kenongan. Tiap satu kenongan dalam gendhing alit berisi kempul, jatuh pada bilangan pukulan saron yang ke-4, gendhing madya dan besar tidak memakai kempul. Pukulan ketuk jatuh pada bilangan 2 dan 6 pada gendhing alit atau madya yang berwirama lama (8 pukulan); dalam wirama dados (16 pukulan) ketuk jatuh pada bilangan 4 dan 12.

Parikan punika : lagon kalih gatra, molung wanda. Saben sagatra kapedhot: 4 – 4. Gatra ingkang kapisan boten wonten tegesipun. Gatra ingkang kaping kalih wonten tegesipun. Panatanipun: Wanda pungkasaning pedhotanipun gatra ingkang kapisan, kecapipun kedah sami kaliyan wanda ingkang pungkasanipun/pedhotanipun gatra ingkang kaping kalih, kados ta :

1. Manuk glathik dibubuti, slendhang bathik, manas ati. 2. Emping mlinjo gepeng-gepeng,

stagen ijo mentheng-mentheng. 3. Jurung jugrug, pinggir kali,


(8)

4. Ijo-ijo godhong jati, Arep tinjo, dioncati. 5. Cao wutah, mowat-mawut,

botoh kalah, anjalebut.

Terkadhang gatra kalih wau dipun rangkepi malih sagatra wolung wanda kadosta :

Awan nglinting, bengi nglinting, sing dilinting rokok dika, Awan gonjing, bengi gonjing, gonjing mikir upajiwa.

Parikan punika ingkang kathah namung prenesan (kangge njemoni). Mila suraosipun kathah ingkang saru-saru utawi lekoh-lekoh. Ingkang kerep ngangge parikan punika limrahipun tiyang-tiyang ingkang sami njambut damel bau-suku (awrat, kasar), kadosta: tiyang nggrobag, tiyang nggered slender, keseran lan sapiturutipun (Sudibyo Aris, 1982). Prelunipun kangge slamuran. Yen kangge wonten ing gendhing, dipunangge tembangipun tledek, saur-sauran kaliyan badut, upami : ijo-ijo, grompol lan sapiturutipun.

Senggakan

Adapun pada gendhing ageng yang berisi ketuk 4, pukulan ketuk jatuh pada bilangan 2-6-10 dan 14 bila wiramanya lamba (16 pukulan); dalam wirama

dados (32 pukulan), jatuh pada bilangan 4-12-20-28. Pada gendhing ageng ketuk 8, ketuk tadi jatuh pada bilangan 2-6-10-14-18-22-26-30 dalam wirama lamba, dan bila wiramanya dados jatuh pada bilangan 4-12-20-28-36-44-52 dan 60.

Berdasarkan wiramanya, seperti tersebut pada di atas, gendhing itu dibagi dalam 3 jenis, yaitu: Gendhing alit, 8 pukulan lamba atau 16 kalau ngracik


(9)

ketawang, ladrang, gangsaran, sabrangan, tropongan, bibaran dan sebagainya. Ketawang berisi 2 kenongan, sedang lainnya 4 kenongan; kempul yang pertama dalam wirama lamba (yang seseg atau cepat) tidak dipukul (wela), kecuali “ketawang” (karena ketawang itu wiramanya lambat).

Ada lagi gendhing-gendhing yang termasuk gendhing alit, seperti: sampak (playon, srepegan), yang mempunyai aturan (tidak tetap) mengenai jatuhnya ketuk, kempul, kenong dan gong, deikian pula halnya dengan dolanan, prenesan dan sebagainya. Gendhing madya (tengahan) dalam tiap satu kenongnya berisi 16 pukulan seperti gendhing alit yang ngracik, hanya saja antara 2 ketuk tidak ada kempulnya; apalagi wiramanya lebih antal (lambat) daripada gendhing alit dan biasanya disebut gendhing ketuk kalih (gendhing ketuk dua). Adapun gendhing madya seperti halnya dengan gendhing ageng mempunyai bagian muka, yang disebut gendhingnya (di Surakarta disebut merong), sedang bagian belakang dipukul sebagai pengganti gendhing, disebut ndawuh (di Surakarta minggah). Adapun dawahing gendhing lalu rangkap wiramanya; gendhing ketuk kalih lalu menjadi ketuk sekawan (ketuk empat) atau kadang-kadang dapat juga menjadi gendhing ladrangan dengan kempul.

Gendhing ketuk kalih (tengahan, madya) ialah misalnya: candra, gandrung-gandrung, sarayuda, lahela dan sebagainya. Gendhing ageng: tiap satu kenong, berisi ketuk 4 atau ketuk 8 (yaitu 16 atau 32 pukulan lamba serta 32 atau 64 pukulan dados); bila sudah ndawah lalu menjadi gendhing ketuk 8 atau ketuk 16 (pukulan 64 atau 128). Gendhing ageng, ialah misalnya: gendhing mawar, jangga, semang dan sebagainya. Mengenai ndawah tidak selamanya ndawah


(10)

tetep akan tetapi dapat pula ndawah menjadi gendhing alit lainnya menurut kehendak penuntunnya; yang demikian itulah termasuk tanduk prenes. Untuk menentukan wirama gendhing cukuplah dengan menyebutkan jumlah ketuk atau kendangnnya; misalnya: gendhing ketuk kalih kendangan candra, demikian lalu jelaslah wiramanya (Waridi, 2004).

Senggakan memper parikan. Wilanganipun boten temtu, namung pados mathukipun kaliyan gendhing ingkang dipun gerongi. Kanggenipun namung kangge nyenggaki gendhing, inggih punika selanan ingkang atawisipun gerongan utawi pada bakuning gendhing. Prelunipun namung kangge samben sadangunipun ngentosi gerongan candhakipun. Wilanganipun wonten ingkang 12, kapedhot : 4 – 8, kadosta :

1. Klenthing miring, krambil bolong sisa bajing, milang-miling, golek tandhing lencir kuning. 2. Kanthong sutra, kumlewer neng sabuk wala,

Sun dudute, manawa condhong karepe. 3. Putra-putri putrane Petruk patrolan,

Gareng mati, matine tiban bedudan.

Ingkang wilanganipun sanes malih, kadosta : 1. Ri, ri, ri, Purwosari keh sepure,

2. Emoh konjak emoh anggur, takpilih sing gede duwur.

3. Empek-empek andhong-andhong, mbukak dengkek kleru plompong. 4. Babal bunder manglung kali.

5. Duwa lo lo lowe

Pandhapukanipun namung kaotak-atik murih sagedipun ceples kaliyan gendhingipun. Ingkang prelu dipun engeti namung kecapipun ingkang sami.


(11)

Pedhotan

Salah satu piranti dalam tembang macapat adalah pedhotan. Menurut Wiryah Sastrowiryono (1988), pedhotan dijelaskan sebagai berikut: Pangetokipun gatra dados kalih perangan, tigang perangan utawi langkung, inggih punika ingkang nedahaken andheging napas. Dhawahing pedhotan kedah trep tembungipun, dados sampun ngantos wonten tembung kapedhot dados kalih, sepalih tumut ngajeng, sepalihipun tumut wingking. Makaten ugi ukara inggih boten piyoga kapedhot, yen : sapalih tumut sekar inginggil, sepalihipun tumut sekar ing andhap. Dene waton pamedhotipun wau makaten : yen cacahing wanda ing dalem sagatra wonten :

5, pamedhotipun : 3 – 2, utawi : 2 – 3 .

6, pamedhotipun : 4 – 2, utawi : 2 – 4 utawi : 3 – 3 7, pamedhotipun : 4 – 3, utawi : 3 – 4 utawi : 2 – 3 – 2 . 8, pamedhotipun : 4 – 4, utawi : 3 – 2 – 2 utawi : 3 – 2 – 3 . 9, pamedhotipun : 4, salangkungipun mirid ingkang 5 wanda.

Langkungipun saking 9 wanda : 4, salajengipun mirid tirahanipun. Tumrapipun sandi asma, pamedhotipun ajeg :

6 wanda, kapedhot : 2 – 4. 7 wanda, kapedhot : 3 – 4. 8 wanda, kapedhot : 4 – 4.

Langkungipun saking 8 wanda, kapedhot 4, salajengipun mirid tirahanipun. Tiyang nyekaraken, bilih saged anglenggahi dateng patokan kalih prakawis, gurulagu tuwin guruwicalan, nama sampun saged tumindak. Nanging manawi ukaranipun dereng manut ing pedotan, sekaranipun nama taksih kirang sakeca, awit pedotan punika ingkang nedahaken andeging napas. Dados saupami kendeling napas ngantos medot tembung, sanadyan boten lepat ukaranipun,


(12)

nanging kital ing pamaos, mila raosing sekaran lajeng kirang sakeca (Nanang Windradi, 2002).

Sayektosipun manawi dipun petani, sanadyan sekaranipun para linangkung inggih wonten ingkang boten netepi patokaning pedotan. Bok manawi ingkang makaten wau namung caking boten anggalih dateng patokan kemawon, nanging sampun kulina tuwin keraos dateng gregeting sekaran, mila sekaranipun inggih sae kemawon. Namung menggah tiyang nyekaraken, salugunipun manawi ngantos katah, asring wonten ingkang cewet.

Ananging menggah ing tiyang ingkang sampun kulina, sadawah-dawahing sekaranipun tamtu katali ingkang nglenggahi pedotan, awit pandameling ukara ing sekar sampun atul, ewa samanten menggah ing pedotanipun, punika manawi namung dipun waos kangge maos serat, cakipun sakeca kemawon, kajawi manawi kangge anggerong, punika tamtu keraos kital, awit sakecaning gerongan punika manawi pedotanipun manut kados caraning pedotan ing sandiasma. Dene peranganing pedotan wau kados ingandap punika:

Padalingsa ingkang cacahing wanda 5, kenging kapedot 3.2 utawi 2.3 Padalingsa ingkang cacahing wanda 6, kenging kapedot 4.2 utawi 3.3 utawi 2.4. Padalingsa ingkang cacahing wanda 7, kenging kapedot 4.3 utawi 3.4 utawi 2.3.2. Padalingsa ingkang cacahing wanda 8, kenging kapedot 4.4 utawi 3.3.2 utawi 3.2.3. Padalingsa ingkang cacahing wanda 9, kenging kapedot 4, salajengipun kenging mirit kados ing pedotan wanda 5. Langkungipun saking 9, sasampunipun dipun pedot 4 rumiyin, salajengipun inggih dipun pedot miturut tirahanipun. Sarehning patokaning pamedot wau boten namung sawarni, dados


(13)

tumrap tiyang ingkang bade nyekaraken saged milih ing sasakecanipun, tuwin menggah cacahing wanda inggih boten angangelaken ukara.

Namung tumrap sekar ingkang mawi sandiasma, pamedotipun ragi geseh, kedah ajeg, manawi: Padalingsa ingkang cacahing wanda 6, pedotanipun 2.4. Ingkang cacahing wanda 7, pedotanipun 3.4. Ingkang cacahing wanda 8, pedotanipun 4.4. Langkungipun saking 8, pamedotipun 4 rumijn, salajengipun kados inginggil.

Mirit kawontenanipun serat-serat kina, anggitanipun para pujangga utawi para saged, kiranging sregipun pedotan namung sakedik sanget, dados sadaya sampun meh anglenggahi patokan. Mila tumrap ingkang sami (bade sinau nyekaraken, sanadyan dereng nama saged, tamtu inggih lajeng mangertos utawi saged neniteni tuwin salajengipun saged angewahi kados pundi menggah leresing pedoten, pepiritanipun mendet saking patokan ingkang kasebut inginggil (Purwadi, 1995).

Sarehning patokan nyekaraken ing bab pedotan punika saweg pinanggih wonten ing jaman sapunika, dados sampun sami anggalih bilih serat-serat kina ingkang sinawung ing sekar punika awon, awit awon saening sekaran ingkang netepi pedotan punika pancen dereng kamanah, dados panitikipun namung wonten ing awon saening ukara. Awon saening ukara wan caged nitik saking enem sepuhing serat. Dene pepiritanipun kados ingandap punika: Bebukanipun serat Panji Angreni ingkang sampun umur 150 taun langkung. Kinanti. Dan purwakaning angapus, mwang anreh gita tan saking, pratameng Kawi grendaka, ya maka pangaksamaning, para sujana jumena, patapning jamaka gendhing.


(14)

Sekaran inginggil punika ukaranipun kaken, Kawinipun boten kulina kesrambah, pedotanipan boten netepii patokan, dados ingkang kecakup namung gurulagu tuwin guruwicalanipun. Tumrapipun ing jaman sapunika sampun boten wonten pepilihanipun. Nanging titiking serat kina katingal sanget. Punika nandakaken hilih kawontenanipun kala jaman samanten inggih beda sanget kaliyan jaman sapunika, mila wileting ukara, peprenesan tuwin sanes-sanesipun tumraping jaman sapunika inggih boten amranani. Bebukanipun serat Wulangreh, anggitandalem Ingkang Sinuhun Paku Buwana kaping IV. Dhandhanggula. Pamedare wasitaning ati, cumantaka aniru pujangga, dahat muda ing batine, nanging peksa ginunggung, datan weruh akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kelantur, tutur kang ketula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.

Sekaran punika prasadja sanget, meh boten wonten Kawinipun, pedotanipun sampun leres sadaya. Mirit sekaran punika, dados menggah ing tiyang nyekaraken, sanadyan namung ngangge ukara limrah ugi sakeca, angger netepi ing pedotanipun. Bebukanipun serat Lokapala, karanganipun Raden Ngabei Sindusastra.

Dhandhanggula

Rebo Epon panitraning manis, Jumadilawal jimmawal warsa, enjang ping wolulikure, kaneming Julungpudjut, Sri tumurun anuju Dadi, Paningron Sang Hyang Yama, Ijrah Nabi Sewu,

rongatus wandasa gangsal,

sinangkalan: Wiku misik swara tunggil, neng barisan Pijenan.


(15)

Sekaran inginggil punika sampim ngangge iketan ukara Jawi ing jaman sapunika, pedotanipun namung lepat satunggal, ing padalingsa kaping kalih. Ukaranipun sarwa prasaja, tuwin salajengipun ingkang kawrat ing serat Lokapala wau sae, greget-sautipun anenangi manah. Dene lepatipun pedotan wan namung jalaran kepeksa ngangge tembung ingkang gangsal wanda. Bebukanipun serat Rama, karanganipun R.Ng. Yasadipura.

Dhandhanggula

Tabuh sapta nudjwa Buda Manis, wulan Sura leaping tigangdasa, ing mangsa kapat wukune : Kurantil Jekang taun, Sirneng tata pandita siwi, sangkala duk manurat, agnya Maha nurun, mangun langening carita., caritane Betara Rama ing Kawi, jinarwakken ing krama.

Sekaran inginggil punika larasipun sami kaliyan serat Lokapala. Bebukanipun serat Cemporet, karanganipun Raden Ngabei Ranggawarsita.

Dhandhanggula

Song-song gora candraning artati, lir winedyan saraseng parasdya, ringa-ringa pangriptane,

tan darbe labdeng kawruh, angruruhi wenganing budi, kang mirong ruhareng tyas, jaga angkara nung,

minta luwaring duhkita,

ajwa kongsi kewran lukiteng kinteki, kang kata ginupita.

Sekaran inginggil punika sampun boten wonten kuciwanipun, luwesing ukara tuwin sakecaning panganggenipun Kawi pantes dados tetuladan.


(16)

Keadaan pengetahuan gendhing Jawa dewasa ini belum sesuai dengan keadaan jaman serta alam kesarjanaan: cara-cara pengajaran berdasarkan patokan yang ilmiah. Pendapat-pendapat serta cara-cara pengajaran tadi kadang-kadang saling bertentangan, sebab masing-masing memakai dasar sendiri-sendiri yang hanya bersandarkan rasa serta perkiraan belaka, lagi sering berpegang pada ketakhayulan (Soerasa, 1983). Hal demikian itu membingungkan mereka yang hendak belajar, hingga akhirnya menyebabkan mundurnya kesenian gendhing Jawa.

Pengetahuan gendhing yang berdasarkan kesarjanaan, tidak saja akan menggampangkan pengajaran, namun juga akan dapat mengokohkan kedudukan gendhing Jawa serta menghidupkannya, sebab akan dapat melenyapkan sebarang ikatan yang serta membelit dan merintangi langkah (kebiasaan yang berulang-ulang seperti mesin, kebekuan); kemerdekaan gendhing Jawa akhirnya akan dapat memperbaiki, memajukan serta menambah keluhuran kebudayaan bangsa.

Segala cara serta jalannya pengajaran (sistem dan metode) harus bersifat benar dan gampang (praktis). Untuk melengkapkan susunan pengetahuan serta pengajaran gendhing Jawa, terlebih dahulu harus diketahui adanya tiga hal: Betapa dalam serta luasnya kesenian gening Jawa; Isi dan bagian-bagiannya gendhing Jawa, serta bagaimana hubungannya segala bagian tadi; Bagaimana cara menyusun pelajaran, agar dapat mempersatukan bagian-bagian tadi sehingga merupakan benda yang utuh kembali (Dewantara, 1968).

Traping ukara wonten ing sekar kaangkaha : Kados pandhapukipun (pandamelipun) ukara gancaran. Sapada sekar kadamela saukara. Sekar sepada


(17)

kabage dados sawatawis andheg, kangge unjal ambegan. Saben andheg wonten ingkang langkung saking sagatra, utawi saukara. Pedhotan = dados peranganing ukara ing sagatra-gatranipun. Andheg = dados ukara utawi dados peranganing ukara ing sapada-padanipun = dados peranganing pedhotan ageng.


(18)

BAB II

TATA WIRAMA TEMBANG

Jenis Wirama

Gendhing ialah wirama dalam bentuk suara atau wirama yang dapat didengar. Wirama disini jatuh di atas, karena kedudukannya ialah sebagai jiwanya gendhing; dalam pada itu, suara itu buka lain daripada raganya (badannya) gendhing. Dalam segala jenis gendhing selalu dapat dibuktikan, bahwa buruk-baiknya gendhing itu pada umumnya tergantung daripada buruk-buruk-baiknya wirama.

Gendhing Gangsaran, Kodok ngorek, Munggang dan sebagainya, sekalipun hanya berwujud satu -, dua- dan tiga suara, namun dapat menimbulkan perasaan yang mengesan serta kenikmatan karena wiramanya. Oleh bangsa asing gendhing Jawa itu sering dikatakan eentoning, membosankan, karena mereka tidak dapat turut merasakan wiramanya.

Wirama iti ialah segala getaran dan gerak yang teratur serta harmonis, cepat lambatnya laku, dalam dangkalnya ungkapan suara, berat ringannya greget

(kegairahan) dan graita (pengertian), yang semuanya selalu silih berganti, hingga akhirnya menjadikan hidupnya suasana, lagipula menimbulkan rasa yang mengesan. Urutan tertib daripada tekanan berat dan ringan dengan pengaruh yang menjiwai.

Wirama adalah tanda dari segala yang hidup; teraturnya kodrat alam, pergantian siang dan malam, perputaran dunia, jalannya matahari, bintang dan bulan, kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, semuanya tadi


(19)

memakai wirama yang jelas, ialah teratur, tertib, harmonis, patut dan sebagainya (ketertiban, simetri). Suara gendhing ada dua macamnya, yaitu dapat diwujudkan dengan suara manusia, lalu disebut sekar (tembang, lagu), dapat juga disuarakan dengan alat yang dinamakan gangsa (gamelan), yang biasa lalu disebut gendhing. Kedua-duanya tetap dinamakan lagu (Soetrisno, 2004).

Di dalam gendhing Jawa wirama itu terbagi atas beberapa macam, yang dapat diringkaskan dalam 3 bagian: a. gendhing ageng (gendhing besar), b. gendhing madya (gendhing tengahan), c. gendhing alit (gendhing kecil); jadi sama dengan pembagian gendhing suara (vokal); sekar ageng (kawi), sekar madya

(tengahan, dagelan) dan sekar alit (macapat). Ketiga macam gendhing dan sekar tadi memiliki watak sendiri-sendiri: a. lebet, antep, kendo (dalam, berat, lambat), b. cekapan (sedang), c. enteng, cetek lan kenceng (ringan, dangkal, cepat).

Lagu suara (gendhing vokal) itu dalam kesenian Jawa selalu mempergunakan irama bebas (tidak senantiasa tetap lakunya); akan tetapi

gendhing gangsa (gendhing instrumental) itu hampir semuanya memakai irama tetap (kecuali lagon) dan ada-ada, karena gamelan harus mengikuti suara ki dalang). Sekar gendhing itu ialah gendhing suara yang harus diperdengarkan berbarengan dengan gamelan; maka dipakailah irama tetap. Sekar gendhing itu ialah gendhing yang digubah menjadi tembang (nyanyian), seperti: kinanti-kinanti puspawarna, subakastawa, tarupala, dan sebagainya atau tembang yang dilagukan dengan irama tetap serta dijadikan gendhing, seperti: gendhing pocung, megatruh, mijil, bremara wilasita, manggalagita, serta gendhing-gendhing ladrang, ketawang dan lain-lain yang memakai nama sekar macapat, sekar tengahan, atau sekar ageng.


(20)

Titi Laras

Laras atau pathet itu keduanya merupakan tali pengikat suara gendhing atau sekar yang dapat menyebabkan teraturnya, apalagi pantas serta tidak kakunya segala lagu. Laras adalah urut-urutan suara mulai yang paling rendah sampai yang tertinggi, yang tetap serta teratur swarantaranya (jarak antara satu-satunya suara). “Laras” itu dipergunakan pula untuk menamakan satu-satunya suara, yang sudah termasuk dalam urut-urutan suara yang telah teratur tadi. Umpamanya: laras selendro dan pelog; laras salendro itu berisi laras barang, laras jangga, laras dada (tengah), laras gangsal serta laras enem.

Pathet itu rakitan suara, yang merupakan bagian (pepetan atau pitetan) dari satu-satunya laras sebagai daerah bergeraknya lagu agar enak didengar, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, hingga akhirnya dapat berkesan serta menimbulkan perasaan tertentu, gembira, sedih, marah, tenteram, dan sebagainya.

Yen ngrakit sekar Macapat, pangrakitipun basa/basa kawi :  Yen krama, krama kemawon.

 Yen ngoko, ngoko kemawon.

 Ugi kenging : krama sumela ing ngoko, utawi ngoko sumela ing krama. Nanging kedah angengeti dateng unggah-ungguhing basa. Srananipun kedah njajah utawi kerep maos buku-buku sekar.

 Panganggenipun basa Ngamanca kenging dipun-wetahaken kemawon, kenging nrajang pedhotan, sampun ngantos pedhot wonten ing pada.  Kenging ngringkes utawi ngulur tembung, upami :


(21)

mring, dados : maring di, dados : adi

sing, dados : saking pama, dados : upama prang, dados : perang kula, dados : kawula de, dados : dene tandha, dados : pratandha tan, dados : datan

jwa, dados : aywa, lan sapiturutipun.

Panganggenipun basa kawi : prayoginipun mawi basa Kawi ingkang limrah, inggih punika basa Kawi ingkang kerep kangge ing serat-serat waosan. Basa Kawi kaangkaha namung sumela kemawon, sampun ngantos kekatahen.

Laras, laras menika swara ingkang ajeg kedheripun lan tetep inggilpun (Sri Widodo, 1995).

Menurut Sardjijo (1991), irama, Wirama atau Birama itu selalu terjalin dalam lagu, gending dan tembang. Di muka telah disebutkan bahwa lagu itu terdiri dari unsur-unsur: nada, harmoni dan w irama. Yang termasuk dalam nada ialah: 1) melodi, besar kecil nada; 2) ritme panjang pendek nada; 3) keras lunak nada (suara); 4) warna nada; Harmoni adalah keserasian paduan suara bersama. Sedangkan irama (wirama) yang tidak lepas dari nada dan suara tersebut mempunyai unsur-unsur; 1) ritme, 2) metrum, 3) gerak nada dan 4) tempo.

Seni Suara Jawa mempunyai dua jenis irama ialah: Irama bebas, dalam bahasa Jawa disebut wirama mardika; Irama teratur, dalam bahasa Jawa disebut

wirama tumata; Irama Bebas atau Wirama Mardika. Banyak tembang dan lagu Jawa yang dinyanyikan dengan irama bebas. Walaupun dikatakan dilagukan dengan irama bebas, mesti terdengar dan terasa adanya keterlibatan langsung adanya: panjang pendek suara, keras lunak suara, besar kecil nada, cepat lambat waktu (tempo), liukan suara atau alunan suara dan lain sebagainya. Lagu-lagu


(22)

dan tembang yang termasuk dalam kawasan irama bebas ialah: Tembang Macapat (Sekar Alit), Sekar Tengahan (Tembang Dhagel), Sekar Ageng (Tembang Gedhe), Lagon Sulukan, Sindhenan dan sebagainya.

Irama Teratur atau Wirama Tumata. Variasi panjang pendek suara (nada), keras lunak suara, cepat lambat suara dan sebagainya itu diatur dalam tata irama dan digambarkan dengan titik irama beserta tanda-tanda kelengkapannya, seperti garis ritme, garis matra, tanda respirasi, lengkung ligatura dan sebagainya.

Gangsa

Gangsa (gamelan) ialah alat pemukul guna memperdengarkan gendhing; bagian-bagiannya bermacam-macam serta dapat dibagi menjadi 4 jenis, ialah alat-alat:

a. pencipta wirama: kendang serta keprak;

b. pencipta suara: rebab, gender (barung dan penerus), gambang, suling, clempung serta saron peking;

c. pemelihara wirama: ketuk, kempul, kenong, gong kempyong, ketipung, kecer, kemanak, bende, dan beri;

d. pemelihara suara: bonang penembung, gender penembung (slentem), saron demung serta saron biasa.

Guritan punika :

a. Gatra (ukara) sawatawis ingkang kecaping wandanipun wekasan sami. Sami swaranipun sarta sami sesigegipun, utawi ingkang sami namung swaranipun kemawon.

b. Cacahing wanda ing sagatra-gatranipun boten ajeg, wonten ingkang ngenem, wonten ingkang molu.

c. Wonten ingkang namung waton sami kecapipun kemawon. d. Wonten ingkang sami kecapipun ngalih.

Guritan punika ingkang limrah kangge dolanan lare. Wonten ugi ingkang kangge njenggaki geronganing gendhing.


(23)

Tuladha-tuladha guritan :

1. Kembang jambu karUK………... (6 uk) Tangan ngatung njalUK…………... (6 uk) Pentil asem calUK………... (6 uk) Wadah ujah emplUK………….………...(6 uk) 2. Kembang terong, kembang terong……....(8 ong)

Wong epek disirik uwong...(8 ong) Mring duweke eman kalong...(8 ong) Marang tangga tansah ngesong...(8 ong) 3. Cabawa, camiling,

milang-miling golek tandhing lencir kuning. 4. Kembang terong,

ati bengkong oleh oncong.

mbang srigading, mekar ngambar bangun enjing. mbang sridenta, mekar ngambar wayah rina. 5. Orang-aring, orang-aring,

kodok ijo mlebu jaring.

Wonten malih ingkang sami kecapipun ngalih, kadosta : 6. Cohung, ora gombak ora kuncung,

anggepe kaya tumenggung, ora jogan ora longan, anggepe kaya pangeran. 7. Dhempo talu tameng,

Nalajaya numbak celeng,

keris bengkung tumbak bengkung, Nalajaya ditelikung,

ciyet-ciyet,

Nalajaya dibebencet. 8. Sluku-sluku bathok,

bathoke ela-elo, si rama menyang Sala, leh-olehe payung motha, pak jenthit lo lo lobang, lombok ijo lombok abang. Wangsalan

4 gatra a 6 wanda


(24)

Wangsalan punik memper cangkriman, nanging batanganipun (tebusanipun) dipunciriyosaken pisan. Limrahipun, pandhapukipun punika dados kalih gatra, ngalih welas wanda. Gatra kapisan amot cangkriman (wangsalan) kalih. Jawabippun kawrat wonten ing gatra kaping kalih, awujud tembung wetah utawi wancahanipun kemawon. Wangsalan punika suraosipun ingkang limrah wedharing piwulang utawi wedharing raos gandrung.

Tuladha :

Ancur kaca, peksi langking mangsa sawa. Rasakena, yen lagi nandang deduka.

Katrangan : Ing gatra kapisan cangkrimanipun kalih, inggih punika : a. Ancur kaca = raos (toja raos).

b. Peksi langking mangsa sewu = dhandhang.

Tembung rasa kaliyan dhandhang (utawi wancahanipun) kawrat wonten ing gatra ingkang kaping kalih.

Gatra kaping kalih ingriku mungal : “Rasakena, yen lagi nandang deduka. Rasakena mendet tembung rasa.

Nandang, saking tembung dhandhang dipun wancah : ndang. 1. Kasut kayu wulu cumbuning Pandawa, (gamparan)

Paran baja, prije margane kapangja. (Semar)

2. Kolik priya, priyagung anjani putra, (tuhu; Anoman) Satuhune, wong anom betah ing lapa.

3. Uler kambang kang sela panglawed ganda; (lintah-pipisan) Betahena tumekan pati pisan.


(25)

Jirak pindha mungwing wana, Sayeng kaga we rekta kang muroni, Sinambi kalane ngganggur,

Wastra tumrap mastaka,

Pangikete wangsalan kang sekar pangkur, Baon sabin ing nawala,

Kinarya langen pribadi.

Wangsalan ingkang sampun limrah kangge ing serat-serat sanesipun serat sekar utawi kangge gineman, jawabipun sampun boten susah dipun-criosaken, margi sampun dipun anggep dados paribasan utawi ungel-ungelan ingkang sampun kaprah kangge, kadosta :

1. Ngebun-ebun enjing njejawah sonten. = nglamar. Jerenganipun : ebun enjing = awun-awun jawah sonten = rarabi.

jawabipun : nyuwun rabi.

2. Nek terus ora ana udan, lah rak kebombang temenan tandurku, = kapiran. Kebombang punika wangsalanipun tiyang tani : kebo abang-sapi. 3. Lo, Mas, njanur gunung, esuk-esuk kok wis mrene !

Janur gunung = januring klapa gunung –januring aren- kadingaren. Terkadhang wangsalan ingkang sampun kangge gineman punika jawabipun inggih dipun criosaken pisan, kadosta:

 Kalung parut, apa kuwat?  Balung pakel, alok-alok hose.

 Rehning aku wis rumangsa luput, ija jenang sela apuranen.  Kawis pita wis begjane.

 Roning mlinjo, sampun sayah nyuwun ngaso.

Dhalang yen sasmita dateng niyaga, aken ngungalaken gendhing, namung dipun srampat ngangge wangsalan kemawon, kadosta :


(26)

Katrangan : yuda kenaka : peranganing kuku, kukur-kukur; nedha gendhing Pangkur.

2. Solahing danawa, pinda jangkrik mambu kili. Nedha gendhing : Jangkrik genggong 3. Piyak ngarsa tangkeb ing wuri.

Nedha gendhing : Ayak-ayak

4. Tansah mangu-mangu denira arsa mungga ing satinggil. Neda gendhing : Ladrang mangu.

5. Kaya gadhung pepuletan wedale putri kekalih. Nedha gendhing : Sekar gadhung.

Ing serat-serat sekar, ukara sasmita wiwiting sekar, utawi santuning sekar, ingkang kathah inggih asring dipun srampad ngangge wangsalan, kadosta :

1. Sumping sekar roning kamal

Roning kamal = godhong asem, sinom; sekar sinom. 2. Mrih sarkara kang makirtya nguni.

Sarkara =gendis; sekar dhandhanggula 3. Lir mas kentiring ranu.

Kentiring ranu = keli, kumambang; sekar; maskumambang. 4. Kadya gegandhengan asta.

Kanten asta; sekar kinanthi. 5. Ing wuri tan winirasa.


(27)

BAB III

SIMBOLISME DALAM TEMBANG

Purwakanthi

Dalam seni tembang banyak sekali ditemukan jenis-jenis purwakanthi. Kesusastraan yang padat berisi dan diolah dengan bahasa indah disebut geguritan

atau puisi (Jati Rahayu, 2002). Keindahan bahasa puisi Jawa terletak pada tiga macam yaitu: Wilet yaitu kelak-kelok suara agar ajeg, beruntun dan memiliki makna yang tinggi. Wirama yaitu panjang pendek, keras liat dan tinggi rendah jatuhnya suara. Yang tidak kalah penting yaitu Purwakanti atau dhong dhinging

suara. Adapun purwakanti itu dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Purwakanti Guru Swara Yaitu runtutnya suara. Cara memberi gambaran tentang sifatnya gendhing dengan jalan menyebut kendangannya serta jumlah ketuk, begitu pula laras serta pathetnya, boleh dikata sudah tepat sekali, sebab sungguh dapat menggampangkan gambaran kita serta sekaligus menetapkan kebenaran daripada keternagan, bahwa gendhing itu ialah sifatnya wirama dalam bentuk suara. Contohnya: Pandelori (sebetulnya Bandil-ori), ketuk kalih, kendangan gandrung-gandrung kendang kalih laras pelog pathet barang; demikian sifatnya gendhing Bandil-ori menjadi jelas dengan sendirinya.

Ingkang dipun wastani Purwakanthi punika : ungel-ungelan utawi ukara (wujud) tembung sawatawis ingkang kecapipun, utawi swaranipun sami. Purwakanthi punika namung kangge rerengganing tembung, supados sakeca


(28)

swaranipun. Kanggenipun ingkang kathah wonten ing serat-serat sekar. Ing pagineman ugi wonten, limrahipun ingkang suraos pitutur.

Purwakanthi punila wonten warni tiga :

 Purwakanthi guru sastra : inggih punika purwakanthi ingkang pangrakitipun awewaton aksara pejah. Upami : Tindakipun mandheg-mangu, yen ngandika tatas-titis. Contoh :

Pucung

Nora uwus kareme anguwus uwus, Uwose tan ana,

Mung janjine muring muring, Kaya buta buteng betah nganiaya. Sakeh luput ing angga tansah linimput, Linimpet ing sabda,

Narka tan ana udani,

Lumuh ala ardane ginawa gada.

Durung punjul ing kawruh kaselak jujul, Kaseselan hawa,

Cupet kapepetan pamrih,

Tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa. (Serat Wedhatama)

 Purwakanthi guru swara: inggih punika purwakanthi ingkang pangrakitipin awewaton aksar swara (aksara gesang). Upami :

Yogyanira dhuh pra mudha, den santosa ing wardaya, madhep mantep kang sinedya, aywa pasah ing panggodha, rubedaning atinira,

wegah marang ing rekasa, dhimen enggal kawistara, wohing gegayuhanira.


(29)

Bobot, bibit, bebet.

Janji jujur jajahane mesthi makmur. Ketula-tula ketali.

Laras, lurus, leres, liris bakal laris. Lila lamun kelangan nora gegetun.

Pak Kerta tuku kertu liwat kretek Kertasana. Petruk patroli kalih putrane kalih putra-putri. Sapa tekun golek teken bakal tekan.

Kang salah bakal seleh. Sluman-slumun slamet.

Tata, titi, tentrem, kerta raharja. Tatag, teteg, bakal tutug.

Watak wantuning wanita utama yaiku wani nata lan kudu tata, titi, titis, tatas, tlaten, tumemen lan bekti ngati-ati.

 Purwakanthi laku (lampah): inggih punika purwakanthi ingkang wujidipun saking ukara camboran, wiwitanipun ukara kaping kalih sami kaliyan pungkasanipun ukara kapisan.

Upami :

Kulik priya, priya-gung anjani putra.

Aja wani marang wong tuwa, wong tuwa ala-ala malati. Asung bekti, bektine kawula marang gusti.

Bayem arda, ardane ngrasuk busana.

Blitar Tulungagung, yen ora ketulungan dadi wong bambung. Lungguh dhingklik, dhingklike wong cilik-cilik.

Mangan ati, atine kang kelara-lara. Nandhang lara, larane wong lara lapa.

Nganjuk Trenggalekwulan, wulane prawan kumencar. Raja putra, putrane ratu Jenggala.

Remuk rempu, rempune dadi awu. Saking tresna, tresnane mung samudana.

Wadining wong wadon, wang sinawang ora rumangsa. Witing tresna, tresnane mung sawetara.

Purwakanthi ingkang sami kecapipun, upami :  diothak athik, mathuk (aksara : th)


(30)

Purwakanthi ingkang sami swaranipun, upami :  Ati bengkong oleh oncong. (swara ong)

 Meneng-meneng ngandut jreneng. (swara : eng)

 Ora gombak ora kuncung, anggepe kaya tumenggung. (swara : ung)  Lambe satumang, kari samerang. (swara : ang)

Ungel-ungelane utawi paribasan ingkang ngangge purwakanthi, upami :  Wong mono kudu sing gemi, nastiti, ngati-ati.

 Wong milih jodo iku kudu ngelingi : bibit, bebet, bobot.  Sing teteg bae ngger atimu, sapa was, tiwas.

 Garing-garing anggere garang.

 Tinimbang kalah uwong anggur kalah uwang.  kendel ngringkel, jirih ijih.

 Sapa salah, seleh.  Slaman, slumun, slamet.

 Para kadang kadeyan, para wandu wandawa.  Opor bebek mentas awake dhewek.

Tembung-tembung ingkang suraos sanget, katranganing tembung kawontenan inggih kathah ingkang ngangge purwakanthi, kadosta : Ajur-mumur; abang mbranang; kuning mbiring; kuning njengkining; ireng tunteng; cilik mentik; cilik ongkak-angkik; padang njingglang; remuk bubuk; mung loro selo; mung telu selu. Parikan utawi guritan punika sadaja mesti mawi purwakanthi. Wonten malih purwakanthi: basa utawi purwakanthi wewilutan, inggih punika: tembung pungkasaning gatra, sairib kaljan wiwitaning gatra candhakipun, terkadhang namung sami aksaranipun satunggal upami :

Aywa mematuh nalutuh, tanpa tuwas tanpa kasil,


(31)

kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati, urip keh rencananira, sambekala den kalingling.

Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamun kurang ing pangarah, sayekti karendet ing ri, apese kesandhung padhas, babak bundhas anemahi. Meloke yen arsa muluk,

muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggepe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sepi.

Kawruh mung ana ing wuwus, wuwuse gumaib-gaib,

kasliring titik tan kena, mencereng alise gatik, apa pandhita antiga, kang mengkono iku kaki. Mangka ta kang aran laku,

lakune ngelmu sajati, tan dahwan pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing kahardan, amung eneng marang ening. Sasmitaning Tembang

Sasmita tembang adalah simbol-simbol yang digunakan untuk merujuk pada nama tembang tertentu. Misalnya:

Manis-arum sinawung langenri Sru kawuryan pamujaning raras Kang mulya pangreh sarehe Lir manik nandaya gung


(32)

Sih wigunaning karya Akarya wulangun

Wulanguning tama-harja

Harjeng deya sinemangkara sukmuji Pangesti maweng sastra

Adapun menurut Sardjijo (1991), sasmita tembang adalah sebagai berikut: Buku-buku karangan para pujangga banyak yang memuat isyarat atau sasmita

berupa kata (perkataan) atau kelompok kata yang menunjukkan nama tembang dalam pupuh itu atau nama tembang pupuh berikutnya secara tersamar. Pada umumnya isyarat atau sasmita tembang itu berada pada awal pada (bait) pupuh I dan pada gatra akhir pupuh-akhir sebagai petunjuk nama tembang pupuh berikutnya. Contoh:

(1) Ana crita surasane becik, memanise kena kanggo wulang, tur carita satemene; ... (Sapu Ilang Suhe, Hardjowirogo), dalam pupuh I, pada I, gatra ke 2; nama pupuh itu tembang Dhandhanggula.

(2) Karsanipun ngantia meng prajaningsun, sami anenedha, ing Dewa amrih basuki, sutanira kang karya rarasing driya. (Panji jayeng tilam ranggawarsitan). Pupuh berikutnya adalah pupuh tembang mijil. (rarasing driya = rarasati).

Perkataan yang biasanya digunakan sebagai isyarat nama tembang itu adlah sebagai berikut:

Pucung : pinucung, mucung, kluwak atau kata yang bersuku kata akhir ”cung”.

Maskumambang : kambang, kentir, imbul ing ranu, kumambang. Gambuh : tambuh, tumambuh, embuh, jumbuh, kambuh. Megatruh : pegat, megat, duduk, truh, dudukwuluh

Wirangrong: wirang, mirong, dsb. Balabak : klelep, kabalabak, dsb.

Kinanthi : kanthi, kekanthen, gandheng, dsb. Mijil : wijiling, wiyos, wiraos, wetu, rarasati.

Pangkur : mingkur, mungkur, kukur-kukur, yuda kenake, dsb. Asmaradana : brangta, branta, kingkin, asmara, sedhih, dsb. Durma : udur, mundur, durcara, duraka, dsb.


(33)

Jurudemung : mas juru, mung, jurudemung. Girisa : miris, giris.

Sinom : anom, taruna, srinata, roning kamal, pangrawit, weni, logondhang, dsb.

Dhangdhanggula : manis, legi, sarkara, hartati, madu, dhandhang, gula-drawa, kilang dsb.

Candrasengkala

Dalam tembang juga sering digunakan sengkalan untuk menandai angka tahun. Masing-masing angka ditandai dengan kata-kata khusus. Misalnya dalam tembang Dhandhanggula berikut ini:

1. Tunggal gusti sujanma semedi, badan nabi maha buda, nijata luwih pamase; wong buweng rat lek iku, surya candra kartika bumi; wiji urip ron eka, prabu kenja nekung, raja putra sasadara, paksi dara tyas wungkul sudira budi, wani hyang jagad nata.

2. Asta kalih ro nembah ngabekti, netra kembar myat mandheg najana, swiwi lar sikara banteng; peksa apasang sungu, ati-ati talingan dresti; carana tangan karna, bau suku caksuh; mata paningal locana, amanebah karana ngrengga panganten dwi, kanthi buja-bujana.

3. Bahni tiga ujwa lan kaeksi, katon murub dahana pajudan, katingalan kaya benter; nala uninga kawruh, lir wrin weda naut-nauti; teken siking pawaka, kukus api apju, brama rana rananggana, utawaka uta ujel kobar hagni, wignja guna trijata.

4. Catur warna wahana pat warih, wau dadi dadya keblat papat, toya suci hudaka we, who nadi jladri sindu, joga gawe tlega her wening; udan bun tirta marta, karya sumber sumur; masuh marna karti karta, jalanidi samodra udaya tasik, tawa segara wedang.

5. Pandhawa lima wisikan gati, indri-indriya warastra wrayang, astra lungit sara sare; guling raksasa diyu, buta galak wil yaksa yaksi, saya wisaya bana; jemparing cakra hru; tata nata bayu bajra, samirana pawana maruta angin, panca marga margana.

6. Rasa nenem rinaras hartati, lona tikna madu sarkara, amla kayasa karaseng; hoyag obah nem kayu, wreksa glinggang prabatang ojig; sad anggas-anggang-anggang, mangsa naya retu, wayang winayang anggana, ilat kilat lidhah lindhu carem manis, tahen osik karengnya. 7. Sapta prawata acala giri, hardi gora prabata imawan, pandhita pitu

kaswareng; resi sagota wiku, yogi swara dwija suyati; wulang-weling wasita, tunggang turangga gung; swa aswa titihan kudha, ajar arga sabda nabda angsa munio, suka biksu biksuka.

8. Asta basu anggusti basuki, slira murti bujangga manggala, taksaka menyawak tekek; dwipa dwipangga bajul, gajah liman dwirada hesthi; esta matengga brahma, brahmana wewolu; baya bebaya kunjara, tanu sarpa samaya madya mangesthi, panagan ula naga.


(34)

9. Bolong nawa dwara pintu kori, bedah lawang wiwara gapura, song wilasita angleng; trusta trusti trus butul, dewa sanga jawata manjing; arum ganda kusuma, muka rudra masuk; rago angrong guwa menga, babahan leng ambuka gatra anggangsir, nanda wangi wadane.

1. Boma musna nis das mlethik, langit sirna ilang kumbul awang-awang, mesat muluk gegana ngles; tumenga nenga luhur, suwung sunya muksa doh tebih; swarga tanpa barakan, tan rusak brastha swuh; walang kos pejah akasa, tawang wijat oncat windu widik-widik, nir wuk sat surut sempal.


(35)

BAB IV

TEMBANG DHANDHANGGULA

Dbandhanggula yang berasal dari kata dhandhang dan gula yang berarti pengharapan akan yang manis. Adapun guru lagu dan guru wilangan tembang dhandhanggula adalah sebagai berikut:

Dhandhanggula Lik Suling

Wardiningkang wasita jinarwi, (10 i) Wruh ing kukum iku watekira, (10 a) Adoh marang kanistane. (8 e)

Pamicara puniku, (7 u)

weh resepe ingkang mijarsi. (9 i)

Tatakrama punika, (7 a)

ngedohken pajendu. (6 u)

Kagunan iku kinarya, (8 a) ngupa boga; dene kalakuan becik, (12 i) weh rahayuning raga. (7 a)

Dhandhanggula Dhedhep Tidhem

Dhedhep tidhem prabawaning ratri, sasadara wus manjer kawuryan, tan kuciwa memanise,

menggep srinateng dalu, siniwaka sanggyaning dasih, aglar neng cakra wala, winulat ngelangut, prandene kabeh kebekan,

saking kehing taranggana kang sumiwi, warata tanpa sela.

Kinalangan kekuwung awengi, lir wewengkon bale mandhakiya, pasewakaning pamase,

jroning kalang kadulu,

kang sumewa marek neng ngarsi, mung punggawa sajuga,


(36)

karya panjer surup,

pra mukyaning taranggana,

kang sawega rumeksa pringganing ratri, ngayomi ayuning rad.

Tan petungan panjrah ing wadya lit, arahane mawor mawurahan,

ngapit narmada prenahe, jro petenging sarayu,

angragancang Sang Bimasekti, nyuwak tutuking naga,

kang sikareng laku, yeku mangka pralampita,

mrih mengeta kang mantep teteping budi, widada kang sinedya.

Dhandhanggula Palaran

. . . .

5 5 . 6 1 . 2 . 1 . 6 . 1 . 6 5 . 0 Sun ma- ngi- dung

. . . . . . . . 1 1 1 2 1 . 6 5 . 6 1 . 6 . 1 2 . 0 U- mas- ta- weng wi- di,

. . . .

1 2 6 2 . 1 6 6 6 6 5 . 3 2 3 5 . 3 . 56 . 0 Gu- na war- na- ning kang se- se- kar- an

. . . . . . . .

2 2 2 2 . 1 5 . 6 1 2 6 1 . 6 5 . 0 Cengger menges me- nger me- nger

. . . . . . .

1 1 1 1 2 1 . 6 5 . 6 1 . 6 1 2 . 0 Se-kar tlutur tu- mun- tur

.

5 2 . 5 . 6 . 1 . 65 . 2 5 . 3 . 21 . 1 12 1 . 65 . 6 1 . 612 . 0 Man- da- ka- ki ki- nar- ya jam- pi . . .


(37)

Pu- dak a- mrik su- mer- bak

2 2 1 6 1 . 2 . 6 1 6 . 1 6 5 . 0 Kongas se- kar ga- dung

Selingan: //: 5 5 . / 5 1 6 5 / . : // Utawi: lagon Dolanan Jamuran .

2 2 2 2 2 2 2 3 . 2 . 3 5 . 0 Weh jebad mbang ganda- pu- ra

. . . . .

1 2 . 3 . 21 . 5 2 . 3 . 21 1 1 1 1 1 2 1 . 65 6 1 . 612 . 0

Mbang Sri- ga- ding megar ngambar ba- ngun enjing .

5 6 6 6 1 5 1 2 . 1 . 6 5 . 0 Ma-nut sur- ja mbang pur-ba

Dhandhanggula Tlutur

. . . . . . . 6 6 6 6 . 6 1 2 2 2 . 2 . 3 2 . 0 Wongsal-wangsul pe rang- e ka- lin- dih .

1 6 5 6 . 6 6 6 6 . 6 5 5 . 6 . 0 Lah pu- ni- ka Su- ba- li Su- gri- wa 2 2 2 1 6 . 6 6 . 6 1 . 2 . 0 Ke- ka- lih ka- dang yek- ti- ne

.

5 6 6 6 6 . 6 . 1 6 . 0 Su- ba- li ing- kang se- puh

5 3 2 3 . 5 . 2 2 2 . 5 3 . 2 1 . 6 . 0 Mar-ma ku- la ki- nengken mri- ki


(38)

3 3 3 3 3 . 3 2 3 . 5 . 0 Nga-turi ndjeng pan- du- ka 2 1 1 1 . 1 6 6 . 1 . 0 Ki- nen mbengkas sa- tru

. . . . . . . 1 1 1 1 1 1 . 1 . 2 1 . 0 Yen Su- ba- li sa- ged pe- djah

. . . . . . . . . 6 5 . 53 5 . 5 61 2 2 2 2 . 21 2 . 3 . 0 Ra- tu hamba nyaosaken pa- ti u- rip 5 5 3 2 . 2 2 2 3 . 5 . 0


(39)

(40)

(41)

(42)

(43)

(44)

(45)

(46)

(47)

BAB V

TEMBANG ASMARADANA

Kata Asmaradana yang berasal dari: asmara + dana dan berarti cinta + memberi = senang membeni. Adapun guru wilangan dan guru lagunya adalah sebagai berikut:

Asmaradana Wayah Bengi

Dhek samana wayah bengi, (8 i) Petenge kamoran udan, (8 a) Baledheke tansah dhar-dher, (8 e)

Atiku ora kepenak, (8 a)

Amung tansah trataban, (7 a) Kowe pijer kagum-kagum, (8 u) Menengmu mung yen takemban, (8 a) Asmaradana Serat Damarawulan

Anjasmara ari mami Mas mirah kulaka warta Dasihmu tan wurung layon Aneng kutha Prabalingga

Prang tandhing lan Wuru Bhisma Kariyamukti wong Ayu

Pun Kakang pamit palastra Wus bejane awak mami Tan tulus pangestuning tyas Dhasar gembeng wong acingeng Aja gawe wirang Bisma

Mara age patenana

Eman-eman dhuh Wong Bagus Yen mengko nganti palastra


(48)

Asmaradana Bawaraga

2 2 2 2 2 2 . 3 5 . 3 . 2 . 0 Ka- tu- ran kang pa- na- kra- mi

. . . . . . .

1 1 1 1 . 6 1 2 . 6 . 1 . 6 5 2 . 1 . 6 . 0 Ing sa- ra- wuh jeng ngan- di- ka

2 2 2 2 . 3 5 . 2 3 2 . 1 . 6 . 0 Won-ten ma- li- awan de- pok

. . . . . . .

1 1 1 1 . 6 1 2 . 6 . 1 . 6 5 2 . 1 . 6 . 0 De- wa- ji mu- gi leng- gah- a

.

5 5 5 . 6 1 5 . 3 2 . 3 . 1 . 32 . 1 6 . 5 . 0 Wonten dham- par ka- wu- la 2 2 2 2 . 3 5 . 2 2 . 1 . 6 . 0 Ja ba- nget ta- ri- ma- ningsun

5 5 5 5 . 3 2 5 . 3 . 2 1 6 . 5 . 0 Ra- den Leksma- na leng- gah- a

Asmaradana Bala Lumaris

/ . 3 . 3 / . 5 . 6t / . 3 . 2 / . 3 . lp / ………. .

/ . 3 . 5 / . 3 . 2t / . 1 . 2 / . 1 . 6n / . .

/ 0 0 0 0 / 6 6 1 2 / . 0 23 1 / . 12 1 6 / Su-mrek kang ba- la lu- ma- ris


(49)

. / . . . 6 / . 1 . 2t / . 6 . 3 / . 2 . 1p / . . . . .

/ . . . 0 / 6 6 62 1 / 61 2 16 3 / . 1 3 2 1 / Bu-dal-e sa- king Se- ma- rang / . 3 . 5 / . 3 . 2t / . 1 . 2 / 1 . 6n /

/ . . . 0 / 3 3 35 2 / . 0 35 3 / . 2 12 1 6 / A-sri ti-non ge-ga- man- e / . . . 6 / . 1 . 2t / . 6 . 5 / . 6 . lp / . . . . . . . / . . . 0 / 6 6 1 2 / 12 3 26 5 / . 3 3 56 1 / A-keh war-na- ne kang ba- la / . 3 . 5 / . 3 . 2t / . 1 . 6 / . 5 . 6n / . . . . . . . . / . . . . / 0 6 1 2 / . 0 23 1 / . 12 1 6 / Wong sa-brang lan wong Ja- wa / . 3 . 5 / . 6 . 5t / . 3 . 2 / . 3 . 2p / . . . . .

/ . . . 0 / 6 6 62 1 / 61 2 16 3 / . 35 3 2 / Swa-ra-ne a- sri gu- mu - ruh / . 5 . 6 / . 5 . 3t / . 2 . 1 / . 2 . 6n.g / / .

/ . 0 5 6 / . 1 65 3 / . 0 2 3 / . 2 12 1 6 / Ka-dya om- bak- ing sa- mo- dra.


(50)

(51)

(52)

BAB VI TEMBANG SINOM

Kata sinom atau pupus berarti daun muda. Hal ini melambangkan seorang anak yang sudah mulai berkembang. Dapat diupamakan sebagai daun yang bersemi. Tembang Sinom, guru lagu dan guru wilangannya adalah sebagai berikut:

Sinom Kalokeng Jana

Kang sampun kalokeng jana, (8 a) Jaya-jayaning ngaurip, (8 i)

Amiguna ingaguna, (8 a)

Pan inggih amung satunggil, (8 i) Pangeran Mangkubumi, (7 i) Tanggon lamun magut pupuh, (8 u) Tansah ngajomi wadya, (7 a)

Mundur lon lamun kalindhih, (8 i) Boten purun cidreng prang atarung dhadha. (12 a) Sinom Ngeksiganda

Nulada laku utama,

Tumrape wong Tanah Jawi, Wong agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senapati,

Kepati amarsudi, Sudane hawa lan nepsu, Pinesu tapa brata, Tanapi ing siyang ratri,

Amamangun karyenak tyasing sasama. Samangsane pasamuwan,

Mamangun marta martani, Sinambi ing saben mangsa, Kala kalaning asepi,


(53)

Nggayuh geyonganing kayun, Kayungyun eninging tyas, Sanityasa pinrihatin,

Puguh panggah cegah dhahar lawan nendra. Saben mendra saking wisma,

Lelana laladan sepi,

Ngingsep sepuhing supana, Mrih pana pranaweng kapti, Tis tising tyas marsudi, Mardawaning budya tulus, Mesu reh kasudarman, Neng tepining jala nidhi,

Sruning brata kataman wahyu dyatmika. Wikan mengkoning samodra,

Kederan wus den ideri, Kinemat kamot hing driya, Rinegan segegem dadi, Dumadya angratoni,

Nenggih kangjeng Ratu Kidul, Ndedel nggayuh nggegana, Umara marak maripih,

Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.

Sinom Kentar

. . . . . . . . . . 3 3 3 3 3 3 . 2 1 1 . 2 . 0 A – wang – a – wang gi – nu - pi - ta,

. . . . .

2 2 2 2 . 1 6 . 6 1 6 . 1 . 6 5 . 0 Ko – capa Sri Na- ra- pa- ti,

. . . . . . .

1 2 2 2 . 1 1 . 1 2 1 . 6 . 0 Wusnya na- pak ju – man- ta- ra,

6 6 6 6 6 6 5 5 . 3 2 1 . 6 . 0 a- wor me- ga pin- dha ta- tit,


(54)

. . . . . . . .

1 1 1 . 2 3 . 1 2 . 1 6 . 0 Tansah a- mi- ling- mi- ling,

. . . . . . . . . .

3 3 3 3 . 2 1 3 . 1 . 2 . 1 6 3 . 2 . 0 Mi- der- mi- der ka- di yang- kung,

. . . . . . . . 2 2 2 2 2 . 1 2 . 1 6 . 0 Ma- was ke- blat se- ka- wan,

6 6 6 6 6 6 5 5 . 3 2 1 . 6 . 0 Nrawang tan- a- na ka- ek- si,

3 5 5 5 . 5 6 6 6 6 6 . 3 5 3 . 2 . 0

Mung Sri Kresna mangeksi Sang Pad- ma- na- ba.

Sinom Wenikenna

. . . . . . . . . 2 2 2 2 . 1 1 2 6 . 5 1 1 . 0 Yo-gah n- ya ngambah le- mah, . . . .

1 1 1 1 6 5 . 5 6 5 . 6 . 5 3 . 0 Ngambaha sa- ri- ning ga- dhing,

. . . . . . .

1 2 . 3 2 . 1 1 . 6 6 . 5 1 . 6 . 5 . 0 Ga- dhing u- ling en- ta- en- ta,

5 5 . 3 2 3 . 5 . 1 2 . 2 . 32 1 . 6 . 0 u- sum- e ja- ra- wa- lan- di,


(55)

. . .

6 6 6 . 1 2 . 6 1 . 6 5 . 0 Pendhok mas pa- ri ran – ting,

. . . . . . . .

2 2 2 2 . 1 6 2 . 1 6 . 1 . 65 . 2 5 . 3 . 21 . 0 U - sum –e pri- ja- ji a – gung ,

.

5 5 5 5 5 . 6 1 . 65 . 0 Pu – na- ka- wan kang dan – dan,

5 5 . 3 2 3 . 235. 1 2 . 2 . 3 . 21 . 6 . 0 Pu - ra nya. I a – ngla - den - I, . . .

1 2 . 6 1 . 65 . 0 ci – ci go – ci,

. . . . . . . .

2 2 2 2 . 1 6 2 . 1 6 . 1 6 5 . 2 5 . 3 21 . 0 Wa–lang sa-ngit mal- beng bra-ma.

Sinom Palaran

. . . . . . . . . . . . 1 2 2 2 2 2 . 2 3 2 . 3 . 21 . 0 Le sok de- men a- me- mu- lang, . . . . . .

1 1 1 1 1 1 . 5 6 5 . 6 . 5 3 . 0 Ka- ya wong we- ruh ing ga ib,

. . . . . . .

6 1 1 1 1 1 . 6 1 . 6 . 5 . 0 Lan ta a- ya ta a- ya- a,


(56)

Ke-nyer- ke-nyer per- nah ka- ki, . . .

6 6 6 . 1 2 . 6 1 6 . 5 . 0 Tak-re – met si- da ma- ti,

. . . . . .

5 6 1 1 . 1 6 1 . 2 . 6 . 1 . 65 2 . 1 . 0 Mung tuju- ne ba- e du- rung, . . . . . .

1 1 1 1 1 . 6 1 6 . 5 . 0 Ka – ka Pra- bu ra- wa- na,

5 5 5 5 5 53 3 . 21 6 . 5 . 0 Pe-pun- den-ing ka- ri ku- wi, . . .

1 2 . 6 1 . 6 5 . 5 5 5 5 5 5 . 23 2 . 3 . 21 . 0 Si meng- ko – nok onggrok nganggo me- lu mu-lang.

Sinom Ginonjing

. . . . . . . . . . 1 2 2 2 2 2 . 2 1 2 . 3 . 0 Ka- ka Prabu kadang ku- la,

. . . . . . . . .

1 1 1 1 . 2 3 . 1 . 2 1 6 . 5 . 0 Pa- ran da- ru- naning ga- lih

. . . . . . .

1 2 3 3 . 2 1 1 . 6 5 . 6 . 5 3 2 . 1 . 0 Jeng e- yang ngan- tos tu- me- dak,


(57)

Lir cocak den- i- ra pe- ling, 1 2 2 2 2 . 2 1 2 . 3 . 0 Te- ka da- tan gi- na- lih,

1 1 1 1 1 1 . 1 . 2 3 2 . 0 Ka- dos pun-di ka- ka- Pra- bu, 3 5 5 5 5 . 6 . 5 3 2 . 1 . 0 Ing karsa jengan- di- ka,

6 1 1 1 1 1 . 2 3 1 . 2 . 1 6 . 0 E - yang Be- ga- wan Su- ma- li,

2 3 3 3 . 2 2 2 2 2 2 3 1 6 1 . 2 . 0 Pra- mi – la- nya dha-wuh- a- ken pa- ngan- di- ka.

Sinom Grandhil

. . . . . . . .

7 2 2 2 2 2 . 2 7 2 . 3 . 2 7 . 0 Sa – yek- ti ing ki- na- ki- na

. . . . . . .

7 2 2 2 2 2 . 3 . 2 7 . 6 . 0 Wonten pra-lam-bang nar- pa- ti,

. .

6 7 2 7 2 . 3 . 6 7 . 2 7 2 . 3 . 27 . 0 Lampaning pa- ra- na- ren- dra,


(58)

I a- dos pa - du- ka ka- ka ji 2 3 3 3 3 . 2 7 2 . 3 . 0 Yen ma- ka- ten Sang de- wi,

5 6 6 6 . 6 5 3 . 5 6 7 . 5 . 76 . 5 3 . 2 . 0 Yo – gya ji- na- os na wang- sul, 6 7 2 . 3 6 3 . 5 6 7 . 2 7 2 . 3 . 2 7 . 0 Dhu –ma teng Pra-bu Ra- ma,

6 6 6 6 . 6 7 5 . 6 . 2 . 3 2 7 . 6 . 0 I- ki ba- ji mi- tu- tur- I,

2 3 3 3 . 3 5 6 6 . 65 3.567. 5.65 3.2.0 A- ja ngucap mun-dak njejem- ber- I ja- gad.


(59)

(60)

(61)

(62)

(63)

TEMBANG KINANTHI

Kata kinanthi yang berasal dari kanthi diberi sisipan ini, menjadi kinanthi,

artinya : dikanthi, digandheng, disertai, ditemani. Adapun guru lagu dan guru wilangannya adalah sebagai berikut:

Kinanthi Surya Candra

Surya, candra lawan daru, (8 u) Myang kartika iku sami, (8 i) Gung kaliwat padangira, (8 a) Datan ana kang madani, (8 i) Nanging isih kalah padang, (8 a) Yen katandhing ninging ati. (8 i)

Kinanthi Serat Rama Nalikane rohing dalu

Wong agung mangsah semedi Sirep kang bala wanara Sedaya wus sami guling Nadyan ari sudarsana Wus dangu nggenira duling Kukusing dupa kumelun Ngeningken tyas sang apekik Kang kawengku sagung jajahan Nanging sanget angikibi

Sang Resi Kanekaputra Kang anjok saking wiyati Teka ndadak melu-melu Kaya budine wong ceplik Lali lamun kalokengrat Tri bawana amurwani Mustikaning jagad raya Dhemen lalen sangga runggi Kinanti Kukusing Dupa


(64)

Kinanti Dadya Tapa


(65)

(66)

TEMBANG DURMA

Tembang durma umumnya digunakan untuk situasi yang sedang tegang, sereng, dan berani. Adapun guru lagu dan guru wilangannya sebagai berikut:

Durma Reksasapati

Dyan anarik candrasa Prabu Rawana, (12 a) Pinrang Jatayu keni, (7 i)

Suwiwine sempal, (6 a)

Tiba Sang peksi raja, (7 a) Sinta manglayang sira glis, (8 i)

Cinandhak kena, (5 a)

Mring Sang reksasapati. (7 i) Lumayua lan arimu dipun enggal,

sang retna anahuri, bibi eman-eman, kembange akeh megar, dupeh sarpa gigi lani, lah ngarah apa, ni randha duk miarsi. Kontrangkantring, saking marase kalintang, dhuh adhuh anak mami, age lumayua,

yata kang kawuwusa,

wonten gegaman geng prapti, jawining taman,

ingkang hadarbebaris.

Nateng Siyem kalawan nateng Manila, prapta tunggiling kardi,

harsa amisesa,

marang randha Dhadhapan, yata risang sarpa uning, yen praptanira

risang narpati kalih. Durma Dhendha Rangsang


(67)

Durma Swara Gora


(68)

(69)

BAB IX

TEMBANG TENGAHAN

Tembang tengahan mempunyai metrum dan konvensi yang khusus, sehingga penggunaannya pun pada situasi tertentu pula. Sebenarnya menurut Sardjijo (1991), sampai sekarang belum ada kesepakatan bersama apakah sebenarnya Tembang Tengahan itu. Yang jelas bersamaan dengan timbulnya bahasa Jawa Tengahan, timbul pula tembang baru yang berbeda dengan aturan Kakawin, yang disebut Tembang Tengahan. Syair Tembang Tengahan tatkala itu tentunya dengan bahasa Jawa Tengahan. Dilihat dari aturan-aturan bentuk tembangnya tidak berbeda sama sekali dengan aturan bentuk Tembang Alit/Macapat. Oleh karena itu, Poerbatjaraka mengatakan bahwa sekar tengahan punika sajatosipun boten wonten (Poerbatjaraka, 1952). Konvensi tembang Tengahan meliputi tembang Balabak, Jurudemung, Girisa, Wirangrong. Contoh :

Wirangrong

Den samnya marsudeng budi Weweka dipun waspaos

Aja dumeh, dumeh bisa muwus

Yen tan pantes ugi sanadyan mung sakecap Yen tan pantes prenahira

Jurudemung

Sang Wiku mesem lingira Mungguh sarupaningsun Layang candrageni itu Kang ambabar katrangannya Ing candrasangkala wau Kang mawa kakawin tembang Kusumawicitra linuhung.


(70)

Padmosoekotjo mengatakan bahwa tembang Kawi (Gedhe) mawa paugeran guru laku lan guru wilangan; tembang Tengahan lan tembang Macapat mawa paugeran guru gatra, guru wilangan lan guru lagu. Dadi paugerane tembang Tengahan karo Macapat padha bae, mung bae tembang Tengahan tuwuh luwih dhisik.

Jalaran saka iku sok ditembungake mangkene: tembang tengahan iku tembang Macapat kang luwih dhisik, tembang Macapat iku tembang Tengahan kan uwih kari (Harsono Kodrat, 1982). Tembang Tengahan yang banyak terdapat dalam pustaka Jawa dan telah digolongkan dalam tembang Macapat ialah: Balabak, Wirangrong, Jurudemung, Dhudhukwuluh dan Gambuh. Yang jarang di temui dalam buku-buku Jawa antara lain: Puthutgelut, Lonthang, Kenya Kedhiri, Palugon dan lain-lainnya. Lagu Tembang Tengahan pun menggunakan laras Slendro dan Pelog beserta pathet-pathetnya sejumlah nama tembang yang ada.


(71)

Jurudemung


(72)

Kusuma Wirangrong


(73)

(74)

BAB X

TEMBANG GEDHE

Tembang Gedhe, contohnya : Citramengeng, Mintajiwa, Kusumastuti, Pamularsih, Sikarini, Madayanti. Bentuk tembang gedhe atau ”sekar ageng” hampir mirip dengan kakawin. Ciri-cirinya yaitu : Jumlah suku kata tiap satu baris tetap. Tiap baitada empat larik. Nama-nama tembang gedhe :

1. Basanta 6. Madayanti

2. Lebdajiwa 7. Meraknguwuh 3. Manggalagita 8. Kusumastuti

4. Sikarini 9. Sarapada

5. Nagabanda 10. Banjaransari Contoh :

Sikarini

Laku : 12 (5-7)

Langen pradangga, ngesti lebdeng pra siswa Mardi mardawa kagunan karkarena

Mung haywa kemba miwah mengeng ing karna Antep ing sedya lir parta mangsah yuda.

Madayanti

Laku : 9 (4-5)

Anjrah ingkang puspita arum Katiyub ing samirana mrik Sekar adas kongas gandanya Maweh raras renaning driya.


(75)

Sekar ageng/Kawi punika cacahipun langkung kathah sanget tinimbang sekar Macapat. Kanggenipun ingkang kerep namung kangge mbukani, mbawani gendhing. Pandhapukipun:

 Boten ngengeti dhawahing swara.  Wonten 4 (sekawan) pada pala.

 Sapada-padanipun terkadhang taksih dipun pedhot-pedhot dados sawatawis gatra.

 Cacahing wandanipun ing sapada-padanipun sami. Cacahing wanda punika dipun wastani Lampah.

Dados umpami sekar ageng Banjaran sari, lampah 19 pedhotan (6, 6, 7) x 4; tegesipun: sedaja wonten 4 pada. Saben sapada wonten 3 gatra. Sagatra-gatranipun isi: 6 wanda, 6 wanda, 7 wanda. Gunggung 76 wanda. 4 wanda wau, guru wilanganipun sapada-padanipun sami. Dene dhawahing swara (guru lagu) boten dipun engeti (Kodiron, 1976). Guru wilangan utawi lampahipun wonten ingkang : 6-8-9-10-11-12-13-14-15-16-17-18-19-20-21-22-23-24-27 sarta 28.


(76)

(77)

(78)

(79)

(80)

(81)

(82)

(83)

DAFTAR PUSTAKA

Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta : Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta. Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo : Cendrawasih.

Padmosoekotjo, 1960. Ngengrengan Kasusastran Jawa. Yogyakarta : Hien Hoo Bing.

Purwadi, 1995. Sekar Mekar. Solo : Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta. Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud. Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih. Subalidinata, 1974. Kesusastraan Jawa. Yogyakarta : Nusatama.

Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud. Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah. Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress.


(84)

LAMPIRAN 1. SILABUS

SILABUS

MATA KULIAH : SENI TEMBANG II

SIL/FBS-PBD/240 Revisi : 00 10 Maret 2011 Hal

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Kode : PBD 240 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Ganjil (l) Waktu : 16 pertemuan 4. Mata kuliah Prasyarat & Kode : ...

5. Dosen : Dr. Purwadi

I. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mahasiswa memiliki kemampuan dan ketrampilan yang lebih baik tentang jenis-jenis tembang Jawa yang meliputi : penggunaan olah vokal, sebagian tembang macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe. Pengetahuan tentang seluk beluk seni tembang Jawa ini akan memberi bekal mahasiswa menjadi ahli secara teoritis dan trampil secara praktis, sebagai pelaku dan pengembang budaya Jawa.

II. STANDARISASI KOMPETENSI MATA KULIAH

Mahasiswa mampu dan terampil melagukan sebagian tembang macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe. Dengan penguasaan dasar-dasar lagu tersebut maka mahasiswa akan menjadi pecinta dan pengembang seni tembang dalam kehidupan sehari-hari.

III. POKOK BAHASAN DAN RINCIAN POKOK BAHASAN

Minggu ke Pokok Bahasan Rincian Pokok Bahasan Waktu I Pengenalan

jenis-jenis tembang Macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe

Mengetahui dan memahami jenis-jenis tembang Macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe

100’


(85)

Dhandhanggula dengan tembang Dhandhanggula III Latihan tembang

Asmaradana

Praktek melagukan tembang secara kolektif dengan tembang Asmaradana

200’ IV Latihan melagukan

tembang Durma

Praktek melagukan tembang Durma secara kolektif

200’ V Latihan melagukan

tembang Kinanthi

Praktek melagukan tembang Kinanthi secara kolektif.

200’ VI Latihan melagukan

tembang Sinom

Praktek melagukan tembang Sinom secara kolektif.

300’ VII Latihan melagukan

tembang tengahan dan gedhe

Praktek melagukan tembang tengahan dan gedhe

300’

VIII Ujian akhir 100’

IV. REFERENSI/ SUMBER BAHAN A. Wajib:

Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih.

Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta: Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta. Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo: Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta. Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud. Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

B. Anjuran :


(86)

Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih.

Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud. Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah.

Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

V. EVALUASI

No Komponen Evaluasi Bobot (%)

- Teknik yang dipakai dalam evaluasi berupa ujian tulis. Nilai akhir diperoleh dari perhitungan sebagai berikut.

NA = T + S + 2A 4

100 %

Jumlah 100%

Yogyakarta, 10 Maret 2011 Dosen


(87)

LAMPIRAN 2.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

MATA KULIAH : SENI TEMBANG II

RPP/FBS-PBD/240 Revisi : 00 10 Maret 2011 Hal.

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Seni Tembang II Kode : PBD 240 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Gasal () Waktu : 16 pertemuan 4. Standar Kompetensi : Mahasiswa diharapkan akan lebih mampu dan terampil melagukan jenis-jenis tembang macapat, tembang tengahan dan gedhe. Dengan penguasaan seluk beluk lagu tersebut maka mahasiswa akan menjadi pecinta dan pengembang seni tembang.

5. Kompetensi Dasar : a. Mahasiswa akan lebih mengetahui pengetahuan dasar seni tembang Jawa. b. Pengetahuan itu akan memberi bekal pada

mahasiswa untuk menjadi ahli tembang Jawa secara teoritis dan trampil secara praktis. 6. Indikator Ketercapaian :Setelah mengikuti program perkuliahan ini

mahasiswa mampu mengetahui jenis-jenis tembang macapat, tengahan dan gedhe.

7. Materi Pokok/Penggalan Materi : musik gender beserta dengan buku petunjuk bermain seni karawitan

8. Kegiatan Perkuliahan :

Tatap Muka

Komponen Langkah Uraian Kegiatan EstimasiWaktu Metode Media SumberBahan/ Referens

i PENDAHULUAN Memberi deskripsi seni

dasar tembang macapat, tengahan dan gedhe

1 x tatap muka atau 100

Ceramah,


(1)

Dhandhanggula dengan tembang Dhandhanggula III Latihan tembang

Asmaradana

Praktek melagukan tembang secara kolektif dengan tembang Asmaradana

200’

IV Latihan melagukan tembang Durma

Praktek melagukan tembang Durma secara kolektif

200’ V Latihan melagukan

tembang Kinanthi

Praktek melagukan tembang Kinanthi secara kolektif.

200’ VI Latihan melagukan

tembang Sinom

Praktek melagukan tembang Sinom secara kolektif.

300’ VII Latihan melagukan

tembang tengahan dan gedhe

Praktek melagukan tembang tengahan dan gedhe

300’

VIII Ujian akhir 100’

IV. REFERENSI/ SUMBER BAHAN

A. Wajib:

Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih.

Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta: Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta. Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo: Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta. Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud. Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

B. Anjuran :


(2)

Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih.

Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud. Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah.

Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta. Yogyakarta : Gamapress.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

V. EVALUASI

No Komponen Evaluasi Bobot (%)

- Teknik yang dipakai dalam evaluasi berupa ujian tulis. Nilai akhir diperoleh dari perhitungan sebagai berikut.

NA = T + S + 2A 4

100 %

Jumlah 100%

Yogyakarta, 10 Maret 2011 Dosen


(3)

LAMPIRAN 2.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

MATA KULIAH : SENI TEMBANG II

RPP/FBS-PBD/240 Revisi : 00 10 Maret 2011 Hal.

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Seni Tembang II Kode : PBD 240 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Gasal () Waktu : 16 pertemuan 4. Standar Kompetensi : Mahasiswa diharapkan akan lebih mampu dan terampil melagukan jenis-jenis tembang macapat, tembang tengahan dan gedhe. Dengan penguasaan seluk beluk lagu tersebut maka mahasiswa akan menjadi pecinta dan pengembang seni tembang.

5. Kompetensi Dasar : a. Mahasiswa akan lebih mengetahui pengetahuan dasar seni tembang Jawa.

b. Pengetahuan itu akan memberi bekal pada mahasiswa untuk menjadi ahli tembang Jawa secara teoritis dan trampil secara praktis. 6. Indikator Ketercapaian :Setelah mengikuti program perkuliahan ini

mahasiswa mampu mengetahui jenis-jenis tembang macapat, tengahan dan gedhe.

7. Materi Pokok/Penggalan Materi : musik gender beserta dengan buku petunjuk bermain seni karawitan

8. Kegiatan Perkuliahan : Tatap Muka

Komponen Langkah Uraian Kegiatan EstimasiWaktu Metode Media SumberBahan/ Referens

i PENDAHULUAN Memberi deskripsi seni


(4)

menit LATIHAN OLAH

VOKAL Latihan dasar olah vokal dengan disertai contoh tembang macapat, tengahan dan gedhe

4 pertemu an x 100 menit

Teori dan praktek olah vokal

OHP

gender A dan B

LATIHAN GOLONGAN LAGU DOLANAN

Praktek olah vokal secara kolektif dengan tembang macapat, tengahan dan gedhe.

4 pertemu an x 100 menit Teori dan praktek tembang macapat, tengahan dan gedhe OHP

gender A dan B

LATIHAN MELAGUKAN TEMBANG MACAPAT Praktek melagukan tembang dhandhanggula, asmaradana, durma, kinanthi dan sinom

4 pertemu an x 100 menit Teori dan praktek tembang tembang dhandhang gula, asmaradan a, durma, kinanthi dan sinom OHP

Gender A dan B

PEMANTAPAN

LATIHAN Memberi pemantapan dengan cara mempertinggi ketrampilan olah vokal serta

melagukan tembang tengahan dan gedhe.

1 x tatap muka atau 100 menit Ceramah, demonstrasi dalam melagukan tembang tengahan dan gedhe OHP

gender A dan B

TANYA JAWAB AKHIR

PERKULIAHAN

Memberi kesempatan kepada peserta kuliah untuk menanyakan seluk-beluk bahan perkuliahan seni tembang.

1 x tatap muka atau 100 menit Ceramah, demonstrasi dan diskusi OHP

gender A dan B

DAFTAR PUSTAKA

Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih. Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta :

Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta. Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka. Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta : Balai


(5)

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo : Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta. Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud. Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud.

Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih. Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud.

Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah. Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

Yogyakarta, 10 Maret 2011 Dosen


(6)

PENYUSUN

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh pada tahun 2001.

Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020. Email: purwadi@uny.ac.id.