Diktat Seni Karawitan 2

(1)

Diktat

SENI

KERAWITAN II

DR. PURWADI, M.HUM

PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Telp: 0274-550843-12; Email: purwadi@uny.ac.id


(2)

KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk memperlancar proses belajar mengajar Mata Kuliah Seni Kerawitan II di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Penyusunan diktat ini merupakan kelanjutan dari materi Mata Kuliah Seni Kerawitan I.

Secara sistematis dalam diktat ini, menjelaskan seluk-beluk kerawitan yang meliputi golongan lagu ladrang, ketawang dan sekar ageng beserta dengan contoh-contohnya. Masing-masing penjelasan contoh itu disajikan dengan genep, genah, gampang, dan gamblang.

Kehadiran diktat ini dapat digunakan oleh mahasiswa dan penggemar budaya Jawa yang hendak mendalami, mengkaji dan mempelajari seni karawitan. Dengan demikian pengajaran seni kerawitan dapat lebih berkembang.

Yogyakarta, 15 Maret 2010


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I TITI LARAS GAMELAN ... 1

BAB II LARAS PELOG DAN SLENDRO ... 4

BAB III PENGGUNAAN IRINGAN KARAWITAN ... 19

BAB IV PERANAN IRINGAN LAGU KERAWITAN ... 28

BAB V LAGU LADRANG ... 35

BAB VI GENDHING KETAWANG ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 90

LAMPIRAN 1. SILABUS ... 91

LAMPIRAN 2. RPP ... 94


(4)

BAB I

TITI LARAS GAMELAN

Susunan gamelan Jawa seperti telah disebutkan, sebagian besar terdiri atas instrumen pukul (percussion), dilengkapi dengan seruling, instrumen gesek (rebab), dan siter, yang bila dibandingkan dengan susunan musik Barat lebih banyak instrumen tiup dan gesek/petik daripada instrumen pukulnya (Dwijo Carito, 2000). Akibat perbedaan ini ada sementara pendapat dari Barat yang menganggap susunan gamelan Jawa yang kaya instrumen pukul tetapi miskin dalam instrumen gesek dan tiup itu sebagai kepincangan. Orang Barat lebih terbiasa mengungkapkan perasaannya dengan bunyi yang ditiup, digesek atau dipetik.

Gamelan Jawa dibagi menjadi 2 bagian. Pembagian ini berdasarkan perbedaan nada (Laras) yang ada pada masing-masing gamelan tersebut, yaitu Gamelan Laras Slendro dan Gamelan Laras Pelog (Harsono Kodrat, 1982). Kalau kita bertanya dalam hati, mana yang lebih tua umurnya atau existensinya memang akan sedikit memusingkan untuk menjawabnya. Tetapi ada sekedar ancer-ancer yang bisa dipergunakan untuk pegangan. Kalau diperhatikan keseluruh instrumen yang ada pada Gamelan Slendro maupun Pelog, memang agak sulit untuk menentukannya. Ancer-ancer yang saya maksudkan yaitu terhadap adanya Gamelan Kodok Ngorek dan Gamelan Munggang. Gamelan Kodok Ngorek terdiri Laras Slendro, sedang Gamelan Munggang Seton terdiri Laras Pelog. Kedua gamelan tersebut sudah ada pada ratusan tahun yang lalu (Ki Hajar Dewantara,


(5)

1953). Instrumen Gender yang ada pada Gamelan Kodok Ngorek Laras Slendro itu jelas umurnya jauh lebih tua daripada Gender Pelog yang ada pada gamelan sekarang. Sedang Bonang Pelog yang ada pada Gamelan Munggang existensinya jauh lebih tua daripada Bonang Slendro yang ada pada gamelan sekarang. Jadi kesimpulan ada beberapa instrumen Gamelan Slendro yang lebih tua, ada juga instrumen Gamelan Pelog yang lebih tua dari Gamelan Slendro (Kodiron, 1989).

Gendhing Karawitan Jawa dibagi menjadi 2 kelompok besar sesuai dengan Laras (Nada) yang ada pada kedua instrumen Gamelan Slendro maupun Pelog. Kalau kita perhatikan dan rasakan tentang ciri-ciri khas yang ada pada kedua kelompok gendhing-gendhing tersebut, kita akan mengetahui sedikit banyaknya persamaan dan perbedaannya. Adapun yang saya maksudkan dengan ciri-ciri khas itu terletak pada Cengkok (tipe khusus suatu alunan nada-nada yang ada pada masing-masing gendhing) dan Laras. Persamaan antara Gendhing Slendro dan Gendhing Pelog ialah, keduanya dapat digunakan untuk mengiringi salah satu macam tarian, umpamanya Tari Golek Lambangsari. Di sini dapat digunakan Gendhing Laras Slendro, yaitu Gendhing Lambangsari Slendro Manyura Ketuk 2 atau Gendhing Lambangsari Pelog Barang Ketuk 2. Umpamanya lagi Tari Gambyong, Golek Cluntang, Pangkur, Asmarandana dan sebagainya, bisa diiringi dengan gendhing-gendhing yang sama tetapi nadanya lain. Selain itu patokan-patokan yang ada pada gendhing-gendhing Slendro hampir sama dengan Gendhing Pelog (Koentjaraningrat, 1984).

Perbedaan yang agak kentara pada kedua gendhing-gendhing tersebut ialah pada gerak lagunya Irama atau ritme. Kalau gendhing-gendhing Slendro


(6)

sedikit agak kalem, luwes, dan menarik hati (ndudut ati). Inilah kelebihan Empu-empu dalam mengolah rasa yang dituangkan dalam Gendhing Slendro terutama. Anggapan pengarang, seolah-olah gendhing-gendhing Slendro konsumtip bagi orang-orang tua (Kasepuhan) yang sesuai dengan Irama yang Mengalun Lembut, Penuh Kewibawaan dan Ketenangan (Rekso Panuntun, 1991). Sedang sebagian besar gendhing-gendhing laras Pelog kentara sekali akan gerak-gerak lagunya yang begitu bergairah, sentuhan-sentuhan ritme yang melengking-lengking kenes, lenggang-lenggoknya irama yang menjengkelkan tetapi sangat menyenangkan hati, aneh tetapi nyata (Gregetake ning merakati).

Jelas adanya gendhing-gendhing laras Pelog merupakan konsumsi anak muda (Kanoman) atau generasi yang mempunyai perasaan muda. Sering sekali dalam suatu pergelaran Tari atau Wayangan dipakai gendhing-gendhing dari jajaran Laras Slendro dibunyikan dengan Laras Pelog oleh Laras Pelog atau sebaliknya. Contohnya gendhing-gendhing Kutut Manggung, Gambir Sawit, Onang-onang, Moncer, Asmarandana, Pangkur, Bendrong, dan sebagainya. Sebetulnya hal ini boleh saja dilakukan sekedar untuk memenuhi selera penari, ki dalang, yang punya kerja atau mungkin ulah para pengrawitnya sendiri untuk menyesuaikan suasana hahargyan (pesta) agar lebih meriah.


(7)

BAB II

LARAS PELOG DAN SLENDRO

Instrumen pukul gamelan juga menarik komponis Barat. Perkenalan De Bussy dengan gamelan Jawa pada Pameran Internasional 1889 di Paris sangat mempengaruhi penciptaan konsepsi barunya. Kenyataan demikian merupakan suatu hal yang menggembirakan, sebab pada waktu itu instrumen musik Asia dicemoohkan sebagai “alat penyiksa”. De Bussy barangkali orang Barat pertama yang memahami struktur musik gamelan, yang berlapis-lapis dan juga iramanya yang rumit.

Menurut komponis Perancis terkemuka ini, dibanding dengan instrumen pukul Asia, musik Barat bunyinya seperti sirkus keliling. Sunardi Wisnubroto (1997) mengatakan “The gamelan has two laras (scale/tonal system), laras slendro and laras pelog. Laras pelog, if in older times the slendro system is exclusively used in wayang purwa, the pelog scale is used in wayang gedhog. The pelog system is a septatonic scale of seven notes. The name of the notes and its notation are as follows: name of note : bem (panunggul), gulu (jangga), dhadha, pelog, lima, nem, barang; notation : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7; solmisation : ji, ro (loro), lu (telu), pat (papat), ma (lima), nem (enem), pi (pitu)”.

Di dalam Karawitan Jawa gendhing-gendhing Laras Pelog dibagi menjadi 3 bagian: Gendhing-gendhing Laras Pelog Patet 5. Gendhing-gendhing Laras Pelog Patet 6. gendhing Laras Pelog Patet Barang (7). Gendhing-gendhing Laras Pelog ini banyak sekali dipakai untuk mengiringi pergelaran


(8)

Wayang Gedog. Wayang Gedog adalah wayang Panji, yaitu wayang yang menggambarkan sejarah Kerajaan Kediri dan Janggala pada jaman dahulu kala. Dalam kesusasteraan Jawa dan Bali, Serat Panji merupakan sastra yang populer sekali di kalangan orang-orang Jawa maupun Bali, bahkan di negara Thailand, Kamboja, Malaysia pun mengenal sastra Panji itu. Menurut keterangan Poerbatjaraka (1952), Raja Kameswara I di Kerajaan Kediri itulah yang di-gambarkan sebagai tokoh Raden Panji Inu Kertapati, hanya tempat kerajaannya saja yang terbalik, mestinya dari Janggala. Sedang tokoh Dewi Candra Kirana atau Dewi Sekartaji adalah seorang putri Raja Kediri.

Pementasan pergelaran Wayang Gedog pada jaman dahulu sering kali diadakan, malah hampir boleh dikatakan rutin, terutama dalam Kraton Surakarta dan juga di Alun-alun Utara pada upacara Sekaten. Kata Gedog berasal dari Kedok yang artinya Topeng, sebab adanya Topeng atau Tari Yang Memakai Topeng lebih dahulu adanya daripada Wayang Gedog itu sendiri (menurut Prof. Dr. Purbotjaroko almarhum). Antara tahun 1700 sampai 1800 Masehi banyak ditemukan tulisan-tulisan yang membeberkan adanya fragmen-fragmen (petilan) tari yang menggambarkan Tari Topeng tersebut, antaranya Tari Topeng Klana, Pentul Tembem, Gunung Sari Gandrung, Jaran Kepang dan sebagainya yang bersumber dari Naskah-naskah Panji (Harsono Kodrat, 1982). Sedang Wayang Gedog itu sendiri dibuat pada sekitar awal abad 19. Seni sungging yang ada pada Wayang Gedog benar-benar indah, termasuk Pakem ceritanya yang mengandung Drama Asmara Kelas Berat baik disegi Komidi atau Tragedinya dan juga Banyak Sekali Dipakainya Gendhing-gendhing Laras Pelog yang sungguh-sungguh enak didengar dan dirasakan.


(9)

Iringan Pergelaran Wayangan Gedog. Gendhing-gendhing Laras Pelog 5 dipakai untuk mengiringi Jejeran I sampai perang Ampyak (Rampogan). Perang Ampyak (Rampogan) sesungguhnya menggambarkan para Prajurit sedang berkarya, di luar areal kraton, umpamanya memperbaiki jalan-jalan, membuat jalan-jalan baru, nembus hutan, meratakan jalan dan sebagainya. Adapun gendhing patet 5 Pelog itu di antaranya Kombangmara, Kembangmara, Duradasih, Mayangsari, Pasang, Jatikondang, Sekarteja dan sebagainya.

Gendhing Laras Pelog 6 dipakai dari sebuah perang Ampyak (Rampogan atau Prampogan) sampai perang Bugis (Perang tanding antara Raden Panji Inu Kertapati dengan D. Mabela, D. Makrincing, D. Madelu wadyabalanya Prabu Kalana atau Prabu Klana Sewandana (Klana Tunjungseta), seorang raja dari Bantarangin. Pada Jejer II, di mana Prabu Klana dilayarkan (dikeluarkan pada layar atau kelir dibunyikan gendhing-gendhing Laras pelog Patet 6. (Umpamanya gendhing Rambu, Semang, Tamenggita, Myanggong, Gobed, atau Bendrong, dan sebagainya) (Harsono Kodrat, 1982). Gendhing-gendhing Laras Pelog Patet Barang dipakai untuk Jejeran-jejeran sesudah perang Bugis sampai selesai, umpamanya: Kuwung-kuwung, Kututmanggung, Srikaton Barang, Rimong, Jentar, Belek, Sumirat dan sebagainya. Untuk mengiringi perang biasanya dipakai Kemuda (Kemudo) dan Sampak Barang, juga tiduk lupa dipakai Ayak-ayakan Kemudo. Ada beberapa nama-nama dalang yang mahir menggelarkan Wayang Gedog semalam suntuk dari Kraton Surakarta.

Pada pergelaran Wayang Gedog, wayang yang dipakai untuk simpingan (Display) yaitu wayang-wayang yang dijajarkan di layar Tetap Wayang-wayang


(10)

dipakai untuk talu (sebelum memulai pergelaran wayang) ialah Ketawang Mertapuran. Untuk mengiringi Tari Gambyong dipakai Ladrang Pangkur Pl. Br., Gambirsawit Pacarcina, dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Golek dipakai gendhing Lambangsari Pl. Br., Ladrang Cluntang, Ladrang Asmarandana. Untuk mengiringi Tari Bondankendi dipakai Ladrang Ginonjing dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Badaya dipakai Gendhing Badaya (Sekarsih, Duradasih, Kinanti dan sebagainya). Untuk mengiringi Srimpi Catursari dipakai Ladrang Retna-ningsih. Untuk mengiringi Tari Srikandi-Larasati dipakai Surung Dayung, Gonjang-Ganjing, Puspawarna dan sebagainya.

Untuk mengiringi Tari Menak Koncar dipakai Gendhing Asmarandana. Untuk mengiringi Tari Sancaya Kusumawicitra dipakai Gendhing Moncer P1. Br. Untuk mengiringi Tari Andogo Bugis dipakai Gendhing Puspanjala dan Kemudo. Untuk mengiringi Tari Pentul Tembem dipakai Gendhing Pangkur Pareanom, Pacung, Rujak Jeruk, dan Loro-loro Topeng. Untuk mengiringi Tari Perang Anoman dan Wilkataksini dipakai Gendhing Kagokmaduro, Lere-lere atau Wani-wani dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Menakjinggo Gandrung dipakai Gendhing Ricik-ricik dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Klana gandrung dipakai Gendhing Liwung, Bendrong, Pocungrubuh dan Eling-eling.

Untuk mengiringi Tari Gatutkaca gandrung dipakai Gendhing Palaran, Bendrong, Pocungrubuh, Kinanti Pangukir Sl. 9 Sampak dan sebagainya. Untuk mengiringi Bancak Doyok (Fragmen Tari) dipakai banyak sekali gendhing-gendhing seperti: Sarayuda, Tanjunggunung, Srundeng Gosong, Kembang Nangka, Glatik, Inceng-inceng, Ayun-ayun, Lagu, dan sebagainya. Untuk


(11)

mengiringi Tari Gambir Anom/Ratu Sabrang Bagus dipakai Gendhing Rina-rina atau Wrahatbala atau Bendrong, dan sebagainya. Untuk mengiringi Tari Kupu-kupu dipakai Gendhing Kupu Kuning (Dolanan). Untuk mengiringi Tari Kuda Lumping dipakai Gendhing Pangkur (Harsono Kodrat, 1982).

Untuk mengiringi Tari Putri Cina Kelaswara dipakai Gendhing Cluntang Br., Gonjang-Ganjing Pl. 6. Gunungsari Gandrung dipakai Gendhing Randukintir terus naik Ayun-ayun P1.6, Pangkur, Onang-onang, Gunungsari, dan sebagainya. Untuk mengiringi Tayuban dipakai berbagai Gendhing Pelog maupun Slendro. Untuk mengiringi Tari Ketek Ogleng dipakai Gendhing Rujak Jeruk, Sumyar, dan sebagainya. (Berasal dari Drama Tari Ketek Ogleng dari Serat Panji). Untuk mengiringi Drama Tari Keong Mas banyak sekali dipakai gendhing-gendhing Pelog. Umpamanya: Palaran Gambuh, Megatruh, Maskumambang, Pangkur, Sinom, Eling-eling Kasmaran, Durma, Kinanti, Kemudo, dan sebagainya (Serat Panji). Untuk mengiringi Drama Tari Ande-ande Lumut versi Serat Panji banyak juga dipakai gendhing-gendhing pelog (bahkan hampir seluruhnya). Sebagian besar Tarian/Drama Tari diiringi gendhing-gendhing Laras Pelog yang sesuai dengan sifat-sifat Gendhing Pelog itu sendiri.

Untuk mengiringi Ketoprak atau Pagelaran Drama Sejarah yang menggambarkan Lakon Sejarah Raja-raja di Pulau Jawa/Sunda maupun Madura termasuk peperangan-peperangan yang ada di dalamnya yang banyak juga mengandung nilai-nilai historis. Untuk Pagelaran ini banyak dipakai gendhing-gendhing Pelog (Harsono Kodrat, 1982). Untuk mengiringi Pagelaran Wayang Kulit Purwa, yaitu pada bagian-bagian tertentu, umpamanya untuk Keluarnya


(12)

Bala Tentara Kerajaan (Budalan Jawi termasuk Jaranan), pada adegan Pandita, Adegan Sabrangan, Perang Pupun. Gendhing yang biasa dipakai ialah di antaranya: Lancaran Tropong Bang, Tropongan, Manyar Sewu, Singanebah, Samiran, Kalongking, Onang-onang, Ricik-ricik, Sampak Barang, dan sebagainya. Penggarapan gendhing-gendhing pelog ini harus disesuaikan dengan suasana, sehingga pertunjukan menjadi lebih hidup dan menarik.

Laras slendro, in former times the slendro scale is used exclusively to accompany wayang purwa, a wayang kulit performance, which story is derived from the two Indian epic Ramayana and Mahabarata. Up to now dances, which depict a fragment from those two epics are still accompanied by the slendro scale. According to Javanese tradition, the slendro system is more ancient than the pelog system. But ethnological evidence established the reverse order of their appearance. The slendro scale is a pentatonic scale with five notes. The name of the notes, the notation and how they are sung are as follow : name of note : barang, gulu, dhadha, lima, nem; notation : 1, 2, 3, 5, 6; solmisation : ji, ro (loro), lu (telu), ma (lima), nem (enem). The octave interval is called gembyangan. The interval covering three steps in the gender is called kempyung, while the interval covering four steps is called adu manis.

Gendhing-gendhing Laras Slendro juga dibagi menjadi 3 bagian; yaitu seperti di bawah ini: gendhing Laras Slendro Patet 6. Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet 9. Gendhing-Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet Manyura. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa Laras Slendro Patet 6 itu, di antaranya: Kawit, Kabor, Titipati, Ldr. Bedat, Kedaton Bentar, Lana, Udansore, Menggah, dan sebagainya.


(13)

Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet 9 itu umpamanya: Gambir Sawit, Renyep, Gonjang-Ganjing, Gondokusuma, Bondet, Genjong, dan sebagainya. Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet Manyura itu umpanya: Lambangsari, Lipursari, Cucurbawuk, Asmarandana, Merakkasimpir, Bujonggonom, Kututmanggung, dan sebagainya. Pembagian Gendhing-gendhing Laras Slendro menjadi 3 bagian berdasar Patet itu karena disesuaikan patokan-patok-an/pembakuan yang ada pada Pergelaran Wayang Purwa Kulit maupun Orang (Harsono Kodrat, 1982).

Gendhing-gendhing Karawitan Jawa Laras Slendro Yang Dipakai Untuk Mengiringi Pergelaran Wayang Kulit Purwa (Parwa) Pada Jaman Dahulu Dan Patokan-patokan Yang Berlaku Pada Masa Itu. Gendhing-gendhing yang dipakai untuk mengiringi pergelaran Wayang Kulit Purwa dibagi menjadi 3 bagian, sesuai dengan jadwal pergelaran wayang itu sendiri yang juga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet 6 dipakai untuk bagian pertama pada jadwal pergelaran, yaitu dari jam 21.00 sampai 24.00, atau pada Jejer I sampai Jejer Pandita (Pertapaan). Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet 9 dipakai untuk bagian kedua pada jadwal pergelaran, yaitu dari jam 24.00 sampai jam 03.00, atau pada Jejer Pandita sampai Perang Kembang dan sebagainya. Gendhing-gendhing Laras Slendro Patet Manyura dipakai untuk bagian terakhir dari jadwal pergelaran, yaitu dari jam 03.00 sampai jam 05.00 pagi, atau dari Jejer Sabrang Akhir sampai perang Pupuh/Tancep Kayon.

Sudah menjadi kebiasaan umum yang berlaku pada masa sekarang (kaprah) di mana pada Jejer I selalu dimulai dengan Ayak-ayakan diteruskan


(14)

dengan Gendhing Krawitan (Karawitan), hal ini pada masa lampau tidak diperbolehkan, karena bukan baku (patokan). Adapun yang baku harus dimulai dengan buka Karawitan juga sejak awal Jejer (Memang waktunya lebih panjang). Pada jaman kuna untuk menggelarkan suatu tontonan wayang, Ki Dalang dan para niyaga (penabuh) memang harus perfect, disiplin, dan menurut pembakuan-pembakuan yang ada waktu itu, terutama gendhing-gendhing yang dipakai untuk mengiringi masing-masing wayang yang akan keluar di layar (Zoetmulder, 1985). Para Empu berpendapat bahwa masing-masing wayang mempunyai gendhing sendiri-sendiri (Sepantasnya dibunyikan gendhing-gendhing yang selaras dengan wajah si wayang yang akan dikeluarkan, pengarang). Apakah gendhing-gendhing lembut, sereng, garang, gecul (mengandung banyolan) dan sebagainya sesuai dengan watak wayangnya.

Gendhing Yang Dipakai Untuk Jejer I. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer Astina harus Gendhing Kabor. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer Amarta harus Gendhing Kawit (Gendhing Gender). Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer Suralaya (Kaindran) harus Gendhing Kawit juga. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer Dwarawati harus Gendhing Krawitan. Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Jejer yang lain-lain cukup Krawitan juga.

Gendhing-gendhing Untuk Mengiringi Tamu Yang Datang Pada Jejer I. Jika tamu dari Mandura, yaitu Prabu Baladewa dibunyikan Gendhing Ldr. Remeng atau Diradameta. Jika tamu dari Sengkapura, yaitu Prabu Kangsa (Jaka Maruta) dibunyikan Gendhing Ldr. Sobrang. Jika tamu dari Madukara, yaitu


(15)

Raden Arjuna (Janaka) dibunyikan Gendhing Ldr. Asrikaton. Jika tamu dari Sawojajar, yaitu R. Nakula dan Sadewa dibunyikan gendhing Ldr. Kembangpepe. Jika tamu dari Amarta, yaitu Prabu Yudistira bersaudara dibunyikan Gendhing Ldr. Mangu-mangu. Jika Tamu dari Astina, umpamanya Patih Sengkuni dibunyi-kan Gendhing Ldr. Lere-lere. Jika tamu dari Karang Kawidadan, yaitu Randa Widada (Sembadra) dibunyikan Gendhing Ldr. Sobah. Jika tamu Sabrangan, umpamanya seorang Patih dibunyikan Gendhing Ldr. Plupuh, Erang-erang, dan sebagainya. Jika tamu yang berupa Raksasa (Buta atau Burung/Kukila) dibunyikan Gendhing Moncer, Ldr. Bedat. Yang lain-lain dipakai Ayak-ayakan Nem/Srepegan 6.

Gendhing-gendhing untuk Adegan-adegan Kedatonan Sesudah Jejer I. Untuk mengiringi kedatonan Astina Sepuh, yaitu Dewi Gendari dipakai Gendhing Lontang. Untuk mengiringi kedatonan Astina Muda di Taman Kadilengeng, yaitu Dewi Banowati (Banuwati) dipakai Gendhing Damarkeli. Untuk mengiringi kedatonan Pancalaradya dipakai Gendhing Maskumambang (Harsono Kodrat, 1982). Untuk mengiringi kedatonan Dwarawati/Taman Banoncinawi dipakai Gendhing Titipati atau Kadukmanis. Untuk mengiringi kedatonan Lesanpura dipakai Gendhing Tunjung Karoban atau Render. Untuk mengiringi kedatonan Mandraka dipakai Gendhing Gandrung Manis atau Laranangis. Untuk mengiringi kedatonan Kumbina dipakai Gendhing Puspawedar. Untuk mengiringi kedatonan Mandura Sepuh semasa Prabu Basudewa dipakai Gendhing Kanyut atau Gantalwedar. Untuk mengiringi kedatonan Amarta, yaitu Dewi Drupadi dipakai Gendhing Larasati. Untuk mengiringi kedatonan Alengka di taman Arga Soka,


(16)

yaitu Dewi Tari dipakai Gendhing Laranangis atau Rendeh. Untuk mengiringi kedatonan Traju Trisna/Boma, untuk Dewi Hagnyanawati dipakai Gendhing Gandrungmanis. Untuk kedatonan Suralaya/Batara Guru tidak memakai gendhing, hanya digunakan Ayak-ayakan 6.

Gendhing-gendhing Yang Dipakai Untuk Paseban Jaba (Adegan Para Kusuma dan Prajurit) Di Bangsal Pangrawit. Untuk paseban jaba Mandura, di mana Prabu Baladewa dihadap (diadep) para santana dan Patih Pragota/Prebawa dan sebagainya gendhing yang dipakai Capang. Untuk paseban jaba Dwarawati, di mana Raden Samba dihadap R. Setyaki dan Patih Udawa dipakai Gendhing Kedaton Bentar, (Kadaton Bentar). Untuk paseban jaba Astina, Sengkuni/Adipati Karna dihadap para Kurawa dibunyikan Gendhing Kambangtiba. Untuk paseban jaba Astina di mana hanya ada Dursasana beserta para kadang Kurawa dipakai Gendhing Semukirang. Untuk paseban jaba Amarta, di mana R. Wrekudara dihadap R. Arya Gatutkaca dipakai Gendhing Dandun atau Gendu. Untuk paseban jaba Mandura Sepuh, di mana Arya Prabu dihadap R. Ugrasena gendhing yang dipakai Prihatin atau Titisari. Untuk paseban jaba Mandraka, di mana R. Buriswara atau Burisrawa dihadap R. Rukmarata dipakai Gendhing Bolang-Bolang atau Mandulpati. Untuk paseban jaba Wirata, di mana R. Seta dihadap R. Utara dan Wrahatsangka dipakai Gendhing Talimurda. Untuk paseban jaba Pancalaradya (Cempalaradya) di mana R. Trustajumpena dihadap patih, dipakai Gendhing Randat.

Untuk paseban jaba Para Dewa dipakai Gendhing Turirawa. Untuk paseban jaba Lesanpura, di mana R. Setyaki dihadap patih dipakai Gendhing


(17)

Titisari atau Larasati. Untuk paseban jaba Pringgodani, di mana Brajadenta dihadap Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, Kalabendana dipakai Gendhing Diradameta. Untuk paseban jaba Pancawati, di mana Narpati Sugriwa dihadap para Senapati Wanara Anoman, Anggada, Patih Anila, Kapi Saraba, Cocak Rawun, Kapi Jembawan, dan sebagainya dipakai Gendhing Lere-lere. Untuk paseban jaba Alengka (Ngalengkadiraja), di mana R. Indrajid dihadap adik-adiknya yaitu Bukbis, Trisirah, Asmani Kumba, Kumba Asmani dan sebagainya dipakai Gendhing Kagokmadura atau Diradameta.

Gendhing-gendhing yang dipakai untuk Jejeran Kedua atau Jejer Sabrangan. Untuk Jejer Sabrangan Bagus, misalnya Dewasrani dengan ibunya yaitu Batari Durga dipakai Gendhing Udansore atau Menyanseta atau Lokananta. Untuk Jejer Sabrangan Buta (Raksasa Besar) misalnya Batara Kala, Gorawangsa, Arimba, Niwatakawaca (Nirbitakawaca), Kalawasesa, Kalasrenggi, Ratu Buta yang memakai Wayang Suratrimantra, dan sebagainya dipakai Gendhing Majemuk, Lobaningrat, atau Guntur. Untuk Jejer Kangsa di Sengkapura dipakai Gendhing Babad. Untuk Jejer Amarta dipakai Gendhing Bujonggo atau Peksi Bayan. Untuk Jejer Ngalengka dipakai Gendhing Parinom. Untuk Jejer Ratu Sewu Negara yang mempunyai mata telengan dipakai Gendhing Rindik, Menggah, atau Lana (Harsono Kodrat, 1982).

Untuk Jejer Suduk Pangudal-udal yaitu Batara Narada dipakai Gendhing Peksi Bayan. Untuk Jejer Mandura Muda di mana Kakrasana ditampilkan dipakai Gendhing Bujonggo. Untuk Jejer Astina dipakai Gendhing Jomba (Jamba). Untuk Jejer Binatang Hutan dan Raksasa Rucah dipakai Gendhing Babad Kenceng atau


(18)

Ldr. Wani-wani (Binatang-binatang yang ada pada Wayang Purwo di antaranya: Kukila (Burung), Turangga (Kuda), Taksaka (Ular), Dwirada (Gajah), Sardula (Macan), Wraha (Celeng), Warak, Wanara (Monyet), Mina (Ikan), Garangan Seta (Landak), Peksi Jawata (Sebangsa Burung Dewa), Lembu Andini, Banteng Maesasura, Jatasura, Wilkataksini (Raksasa Kepala Buaya), dan sebagainya.

Gendhing-gendhing yang Dipakai untuk Mengiringi Jejer Pandita Atau Bambangan di Tengah Hutan/Harga (Gunung/Guha/Kasatrayan). Untuk mengiringi Bagawan Abiyasa dari Bukit Ratawu bersama Raden Arjuna (Janaka) dipakai Gendhing Lunta atau Lara-lara. Untuk mengiringi Raden Arjuna di tengah hutan dan Arjuna dalam keadaan susah dipakai Gendhing Lagudempel, Laler Mengeng atau Renyep. Untuk mengiringi Raden Arjuna di kasatryan Madukara dipakai Gendhing Bontit, Kuwung-kuwung atau Danaraja. Untuk mengiringi Raden Arjuna yang sedang menjadi Emban di hutan dipakai Gendhing Gendrehkemasan. Untuk mengiringi Arjuna yang sedang bertapa sebagai Baga-wan Mintaraga dipakai Gendhing Jongkang.

Untuk mengiringi Raden Arjuna sedang bertapa di suatu gunung/gua dipakai Gendhing Santi. Untuk mengiringi Bagawan Abiyasa bersama Raden Abimanyu dipakai Gendhing Gondokusumo (Gandakusuma). Untuk mengiringi Pandita bersama Bambangan yang lain (bukan Abiyasa) dipakai Gendhing Bondet, Gambirsawit Onang-onang. Untuk mengiringi Raden Janaka di hutan Setragandamayit (Ganggawarayang) dipakai Gendhing Dendagede. Untuk mengiringi Semar yang sedang bertapa dan akan terbang ke Suralaya dipakai gendhing Gender Babarlayar (Harsono Kodrat, 1982). Untuk mengiringi Semar di


(19)

Klampis Ireng (Karang Tumaritis/Karang Kadempel) dipakai Gendhing Loro-loro Gondang (Loro-loro Gendong?) atau Logondang. Untuk mengiringi Bambang Sitijo (Boma) dari Ekapretala dipakai Gendhing Kenceng. Untuk mengiringi Bambang Nagatatmala dari Saptapretala dipakai Gendhing Sumedang.

Gendhing-gendhing yang dipakai untuk Mengiringi Buta Parepat Di Tengah Hutan. Untuk mengiringi Buta (Raksasa) Parepat di antaranya Cakil, Pragalba, Sindungriwut, Galiyuk, Togog/Sarawita dipakai Gendhing Jangkrik Genggong diteruskan Embat-embat Penjalin, atau Jangkrik Genggong diteruskan Ldr. Semingin. Untuk mengiringi Ular/Macan (Taksaka/Naga dan Sardula) dipakai Gendhing Babad Kenceng. Untuk mengiringi Buta Alasan Laki dan Perempuan (Biasanya malihan Dewa) dipakai Gendhing Kagok Madura atau Ugo-Ugo.

Gendhing-gendhing yang dipakai Para Ratu (Raja) sesudah Perang Kembang dalam Patet. Untuk mengiringi Kalakesawa (Kresna) bersama Sembadra (Mandandari) dipakai gendhing Jongkang. Untuk mengiringi Nata Buta bersama Emban (Cantikawreti) Kenyowandu dipakai Gendhing Galagotang. Untuk mengiringi Pandita bersama Endang dipakai Gendhing Gambirsawit. Untuk mengiringi Prabu Jungkungmardeya atau Nata Petaprelaya dipakai Gendhing Renyep. Untuk mengiringi Nata Dwarawati (Prabu Kresna) dipakai Gendhing Rondon atau Semeru. Untuk mengiringi Nata Astina (Prabu Duryudana) dipakai Gendhing Kencongbarong.

Untuk mengiringi Nata Sabrang Bagus Umpama Prabu Lobaningrat/ Gambir Anom dipakai gendhing Songgeng. Untuk mengiringi Nata Amarta


(20)

bersaudara (Pandawa) dipakai Gendhing Gandrung Mangungkung. Untuk mengiringi Bima (Wrekudara) di tengah hutan sendirian dipakai Gendhing Babadkenceng atau Kagok Madura. Untuk mengiringi Jejer Pertapaan Argabelah di mana Bagawan Bagaspati dihadap Dewi Setyawati dipakai Gendhing Onang-onang atau Genjong. Untuk mengiringi pertapaan Argasonya di mana Wasi Jaladara bertapa dipakai Gendhing Gambirsawit. Untuk mengiringi berkumpulnya beberapa raja dari Pancalaradya, Kumbina, dan para Pandawa dipakai Gendhing Semiring atau Candra (Harsono Kodrat, 1982). Untuk mengiringi Kapi Jembawan dan. Raden Narayana dipakai Gendhing Sumar. Untuk mengiringi Batara Yamadipati bersama Dewi Mumpuni dipakai Gendhing Genjong. Untuk mengiringi Batara Narada bersama Batara Indra dipakai Gendhing Gegersore. Untuk mengiringi Duryudana terluka karena peluru emas Mimis Kancana atau Janaka Budug dipakai Gendhing Tlutur.

Untuk mengiringi adegan Pringgodani di mana Prabu Anom Gatutkaca dihadap segenap paman-pamannya dipakai Gendhing Genjonggoling atau Kencongbarong. Untuk mengiringi Jejer Kadewatan di mana Batara Guru dihadap segenap para Dewa dipakai Gendhing Uluk-uluk. Untuk mengiringi Jejer Wirata di mana Prabu Matswadati (Durgandana) dihadap R. Seta, Utara, Wrahatsangka dan sebagainya dipakai Gendhing Geger Sore atau Kagok Madura. Gendhing-gendhing yang dipakai untuk Mengiringi JejeranJejeran/Adegan-adegan dalam Patet Manyura, Menjelang Tancep Kayon (Bubaran). Untuk Jejer Astina dipakai Gendhing Gliyung atau Sumirat. Untuk Jejer Wirata dipakai Gendhing Pocung. Untuk Jejer Dwarawati dipakai Gendhing Ramyang.


(21)

Untuk Jejer Singgela di mana Prabu Bisawarna dihadap patih dipakai Gendhing Kandamanyura. Untuk Jejer Pandawa dipakai Gendhing Kututmanggung. Untuk Jejer Kendalisada dipakai Gendhing Eling-eling Badranaya. Untuk Jejer Buta dipakai Gendhing Ricik-ricik. Untuk Jejer Gilingwesi dipakai Liwung. Untuk Jejer Kaputren dipakai Gendhing-gendhing Ladrangmanis. Untuk mengiringi Perang Pupuh yaitu perang besar diakhir pergelaran Wayang Kulit dipakai Sampak Manyura diteruskan Ayak-ayakan Manyura.

Biasanya untuk mengiringi Arya Bimasena (Wrekudara) setelah menang perang dibunyikan lagu Ting Ting Mo Jati Mogel ... yaitu Lagu Tayungan. Pada pergelaran Wayangan jaman kuna setelah tancep kayon (Gunungan) lalu dibunyikan Gendhing Kinanti untuk mengiringi Gambyongan/Ledekan. Kalau Waranggana tidak ngantuk/lelah, tari Gambyong tersebut ditarikan Waranggana sendiri Pasinden. Atau sering digunakan paraga Wayang Golek yang berupa boneka atau Wayang Petruk. Ini mengandung arti bahwa Wayangan yang telah digelarkan Ki Dalang tadi supaya dicari digoleki makna dan petunjuk yang ada pada ceritanya untuk diterapkan dalam alam kehidupan nyata maupun Kerokhanian. Tentang teknik pembuatan gamelan telah diterangkan oleh Trimanto (1984) dalam bukunya yang berjudul Membuat dan Merawat Gamelan..


(22)

BAB III

PENGGUNAAN IRINGAN KARAWITAN

Pada zaman dahulu instrumen Gamelan Slendro sering dipakai untuk pagelaran Wayang Kulit-Purwa (Parwa). Sedang Gamelan Pelog dipakai untuk mengiring pagelaran Wayang Gedog (Wayang Panji). Gamelan dipergunakan (dibunyikan) pada upacara-upacara tertentu (pagelaran-pagelaran) yang dapat dibagi menjadi 5 bagian. Gamelan dibunyikan untuk mengiringi pagelaran Wayang Kulit, Wayang Purwa, Wayang Gedog, Wayang Madya, Wayang Klitik, Wayang Tengol, Wayang Orang, Ketoprak dan sebagainya.

Gamelan dibunyikan untuk mengiringi tarian-tarian (Beksan), umpamanya Bandabaya, Beksan Lawung, Srimpi, Pentul Tembem, Srikandi-Larasati, Kusumawicitra, Bancak Doyok, Golek, Prawiramuda, Klana Gandrung, Gatutkaca Gandrung, Gambir Anom, Andogo-Bugis, Anoman-Wilkataksini dan sebagainya. Gamelan dibunyikan untuk mengiringi Upacara Sekaten (Nama instrumen Gamelan Sekati, umpamanya Guntur Madu dan Guntur Sari dan sebagainya), adapun gendhing yang dipakai biasanya: Rambu, Rangkung, Jalaga, Tukung, Kombangmara, Babarlayar, Denggung Turulare, Siring, Agul-agul, dan sebagainya. Gamelan dibunyikan untuk mengiringi Klenengan pada upacara Nikah, Khitanan (Supitan), Ngunduh menantu, Sesukan (bersuka-ria) karena kenaikan pangkat, Sesukan sehabis membangun rumah, Arisan Keluarga Besar, Upacara Tumbuk Yuswa (genap usia 8 windu) dan sebagainya.

Untuk mengiringi Upacara Kenegaraan atau Keagamaan, banyak sekali gendhing-gendhing yang dipakai untuk kedua upacara ini, misalnya: Srikaton,


(23)

Langengita-Srinarendra, Gendhing Denda Gede, Denda Sewu, Menyan Kobar, Kebogiro, Carabalen, Gendhing Kinanti Badaya Srimpi Sekarsih, Lagu Dempel, Duradasih, dan banyak lagi gendhing Bedaya untuk mengiringi tari Bedaya Sumreg, Bedaya Ketawang, Anglir Mendung, Badaya Srimpi, juga ada yang dipakai untuk Upacara Ngruwat, Sesanti (Panembrama) dan sebagainya. Kedua instrumen Gamelan Slendro maupun Pelog pada masa sekarang hampir dikatakan sama jumlahnya, maksud saya untuk mengiringi pagelaran Wayang semalam suntuk, terutama pagelaran Wayang Purwa (Harsono Kodrat, 1982). Pertunjukan wayang akan semakin hidup apabila disertai dengan penggarapan gendhing-gendhing karawitan yang memadai.

Simbolisme dalam Pewayangan, masa kelahiran. Serat Wedhapurwaka karya R. Ng. Ranggawarsita memberikan penjelasan makna yang dikandung jagad pakeliran.

Mangkana to wuryaning wawardi, dhihin saking ing jagad gelaran, wimejang siji-sijine, kang nanggap wayang iku, sajatine Hyang Maha Widi, kelir iku angkasa, debog bantala gung, balenconge surya candra, dekang dadi dhedhalang iku tri murti, wayang sakehing titah.

Kapindhone tumraping sujanmi, kang ananggap wayang Sang Hyang Atma, kekelir angen-angene, raga gedebogipun, dhedhalange iku cipta-sir, balenconge pramana wayangipun nafsu, pencar dadi pancadriya, kang pradangga mangka busananing dhiri, marmanta Sang Hyang Atma (Padmasoekotjo, 1995: 20).

Terjemahan:

Beginilah penjelasan makna, dulu dari jagad gelaran, diterangkan satu-satu, yang menanggap wayang itu, sebenarnya yang paling berkuasa, kelir itu angkasa, debog tanah besar, balencong matahari bulan, sedang yang mendalang itu tri murti, wayang semua makluk.

Keduanya terhadap manusia, yang menanggap wayang itu jiwanya, kelir itu angan-angan, raga debognya, dhalang itu cipta sir, balencong pramana,


(24)

wayang nafsu, pencar jadi panca indra, sedang pradangga menjadi busana diri, demikian itulah jiwanya.

Bahwasanya dunia dan manusia itu semula diciptakan dari tiada oleh Tuhan, hal ini dalam dunia pewayangan dilambangkan dengan pendhapa suwung yang kosong, tetapi berisi. Begitu juga setelah kelir dibentangkan dan wayangnya dijajar (disimping), maka di tengah-tengah kelir pun masih kosong, tetapi di dalam kekosongan itu sudah ada gunungan atau kayon yang berarti hayyu atau hidup. Ini pun lambang kosong, tetapi berisi setelah kayon ditarik ke bawah, maka muncullah wayang pertama yang berwujud parekan disusul wayang raja, kemudian adik atau ari-arinya. Ini semua secara kosmis merupakan suatu lambang kelahiran atau mulainya ada lakon (Sri Mulyono, 1989: 111).

Pertunjukan wayang yang berjalan semalam suntuk itu dibagi menjadi tiga periode yaitu: Pathet Nem. Periode yang berlangsung pukul 21.00-24.00 ini melambangkan masa kanak-kanak. Sesuai dengan suasana tersebut, maka gamelan dan lagu dalam pathet nem ini ditandai dengan kayon (gunungan) ditancapkan cenderung ke kiri. Periode pathet nem ini dibagi menjadi 6 adegan (jejeran) yaitu Jejeran raja yang dilanjutkan dengan adegan kedhatonan. Setelah selesai bersidang raja diterima permaisuri untuk bersantap bersama. Jejeran ini melambangkan bayi yang mulai diterima dan diasuh kembali oleh ibunya.

Adegan paseban jawi, melambangkan seorang anak yang sudah mulai mengenal dunia luar. Adegan jaranan (pasukan binatang, gajah, babi hutan). Adegan itu melambangkan watak anak yang belum dewasa dan biasa mempunyai sifat seperti binatang. Anak itu tidak memperhatikan aturan yang ada, tetapi hanya memikirkan diri sendiri. Adegan Perang Ampyak (menghadapi rintangan)


(25)

melambangkan perjalanan seorang anak yang sudah beranjak dewasa yang mulai menghadapi banyak kesukaran dan hambatan, namun dapat dilaluinya dengan aman.

Adegan sabrangan (raksasa), melambangkan seorang anak yang sudah dewasa tetapi watak-wataknya masih banyak didominasi oleh keangkaraan, emosi dan nafsu. Adegan Perang Gagal, suatu perang yang belum diakhiri suatu kemenangan, kekalahan, hanya berpapasan saja, atau masing-masing mencari jalan lain. Adegan ini melambangkan suatu tataran hidup manusia masih dalam fase ragu-ragu, belum mantap, karena belum ada suatu tujuan yang pasti (Sri Mulyono, 1989: 111-112)

Tentang pathet nem ini R. Ng. Ranggawarsita men-jelaskan dalam Serat Wedhapurwaka demikian

Pathet nenem rasaning dumadi, saking saka rongron, kadhaton yaiku tegese, rahsa kumpul neng gwa garba wibi, gya paseban jawi, iku tegesepun. Jabang bayi wus lahir neng Jawi, sabrangan cariyos, bayi wis tumangkar karsane, darbe mosik sabarang kepengin , prang gagal kang arti, tumangkaring nafsu, (Padmo-soekotjo, 1995: 22).

Terjemahan:

Pethet nem rasa kehidupan, dari dua pihak, kedhaton yaitu maknanya, rahsa kumpul dalam kandungan ibu, segera paseban jawi, itu maknanya, bayi sudah lahir di luar, sebrangan diceritakan, bayi sudah ber-kembang pikirannya, punya ulah segala kehendak, perang gagal artinya, berkembang nafsu.

Wulangan yang diterapkan pada pathet nem ini merupakan ajaran yang bersumber dari lingkungan hidup lahir dan sebagian dari lingkungan hidup batin. Gambaran alam benda dan alam biologis di dalam janturan jejeran. Pada penggambaran keadaan alam ini diharapkan selalu mengingat kesatuan hidup,


(26)

meliputi manusia, alam sekitarnya dan kekuasaan Tuhan. Tata laku dalam alam manusia atau masyarakat dise-suaikan dengan tata susila yang berlaku dalam suatu buda-ya. Namun di sini juga diingat latar belakang kesatuan hidup dan usaha mencari kesempurnaan. Lingkungan hidup alam batin diambil ajaran-ajaran yang membawa manusia dari rasa nafsu naluri dan rasa ke-akuan meningkat ke dalam rasa kesusilaan dan pengalaman dalam masyarakat (Abdullah Ciptoprawiro, 1986: 89). Pathet nem dengan posisi kayon sedikit miring ke kanan

melambangkan iman manusia yang harus dipelihara sebaik­baiknya.

Masa Dewasa. Pathet sanga, Periode ini berlangsung pada pukul 24.00-03.00 dengan ditandai gunungan yang berdiri tegak di tengah-tengah kelir seperti pada waktu mulai pergelaran. Pathet sanga ini dibagi menjadi tiga jejeran yaitu : Adegan bambangan, yaitu adegan seorang satria ber-ada di tengah hutan atau sedang menghadap pendeta. Adegan ini melambangkan manusia yang sudah mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan. Adegan Perang Kembang,Yaitu adegan perang antara raksasa Cakil berwarna kuning, Rambut Geni ber-warna merah, Pragalba berwarna hitam, Galiuk berwar-na hijau, melawan seorang satria yang diiringi panakawan. Adegan ini melambangkan suatu tataran manusia yang sudah mulai mampu dan berani menga-lahkan nafsu angkara murka (sufiah, lawamah, amarah dan mutmainah). Adegan Jejer Sintren, Yaitu suatu adegan seorang satria yang sudah menetapkan pilihannya dalam menempuh jalan hidupnya (Sri Mulyono, 1989: 112 - 113).

Serat Wedhapurwaka menerangkan demikian: .... Sabubare prang gagal pathete salin Sanga prapteng tengah wengi...


(27)

Gya pandhitan wayah tengah wengi lire yuswaning wong ya wus tengah tuwuh ing wancine ya ing kono barang kang kinapti rarase wus salin sarwa awas emut

Dyan prang kembang wus ana pepati tegese lamun wong wus kuwawa nayuti nafsune pan wis bangkit amateni pancaindriya kang mrih durlaksaneng kalbu (Padmosoekotjo, 1995: 23)

Terjemahan:

...setelah perang gagal pathetnya ganti Sanga sampai tengah malam.... Segera adegan pendhita saat tengah malam ibarat umur manusia

ya sudah tengah baya waktunya ya di situ segala kehendak iramanya sudah berganti serba awas waspada

Sedang perang kembang telah ada kematian artinya kalau manusia

sudah mampu mengendalikan nafsu memang telah bisa meredam

pancaindera yang hendak mengotori hati

Wejangan pada pathet sanga ini disampaikan kepada seorang satria oleh dewa, pendeta, pertapa, Semar atau pinisepuh lainnya. Wejangan berisikan kesadaran dalam ngudi kasampurnan. Dari lingkungan hidup batin meningkat kemampuan rasa kesusilaan sampai kemampuan rasa jati. Perjalanan mencapai kesempurnaan melalui darma atau kewajiban dengan memperoleh kesaktian atau jaya­kawijayan. Wejangan tentang manunggal, kesempurnaan Abdullah Ciptoprawiro, 1986: 89)

Masa Tua. Pathet manyura, Periode ini berlangsung dari pukul 03:00-06.00, ditandai dengan gunungan (kayon) condong ke kanan. Pathet manyura ini


(28)

dibagi menjadi tiga jejeran yaitu: Jejer Manyura. Tokoh utama adegan ini sudah berhasil dan mengetahui dengan jelas akan tujuan hidupnya. Mereka sudah dekat dengan sesuatu yang dicita-citakan. Adegan Perang Brubuh. Yaitu suatu adegan perang yang diakhiri dengan suatu kemenangan dan banyak jatuh korban. Adegan ini melambangkan suatu tataran manusia yang sudah dapat menyingkirkan segala hambatan hingga berhasil mencapai tujuannya. Tancep Kayon. Penutup pergelaran wayang tersebut, diadakan tarian Bima atau Bayu yang berarti angin

atau nafas. Kemudian gunungan (kayon) ditancapkan di tengah­tengah kelir lagi. Adegan yang terakhir ini melambangkan proses maut, jiwa meninggalkan alam fana dan menuju kepada kehidupan alam baqa, kekal dan abadi (Sri Mulyono, 1989: 113). R. Ng. Rangga-warsita dalam Serat Wedhapurwaka menerangkan:

Dupi prapteng wanci lingsir wengi rasane ginantos

ingaranan pathet manyura lah ing kono upamane janmi wus anandhang sakit

aperak ing lampus

Wancinira wus prapteng byar enjing bubar tancep kayon

iya iku kulup umpamane

wong wus krasa sanget kang sesakit prapteng sakaratil

katerak reridhu

Gora godha sasring pati ngrayah angreroyok

yen kalipyan tan tekeng kajaten ya Sang Bayusiwi

tegese puniku

Bayusiwi iku angin cilik mungguh angining wong ya napas wuwus pradikane ya ing kono jroning sakaratil


(29)

napas kang mungkasi neneng temah lampus (Padmosoekotjo, 1995: 23). Terjemahan:

Saat sudah sampai lewat malam iramanya berganti

disebut pathet manyura

nah di situ ibarat manusia telah terkena sakit mendekati kematian

Waktunya sudah menginjak pagi bubar tancep kayon

yaitulah ibaratnya

orang telah merasa sakit sekali tiba saat maut

terkena cobaan

Aneka ujian menuju kematian mengeroyok mengepung jika lupa tak sampai kesejatian Bratasena yang mengakhiri perang artinya begini

Bayusiwi itu angin kecil padahal angin manusia

yaitu napas jantung tempatnya di situ dalam sakaratul maut napas yang mengakhiri diam lalu meninggal

Wedharan pada pathet manyura berupa nasihat atau pernyataan pada jejeran menjelang perang brubuh. Setelah mendapatkan pengetahuan dan penghayatan dari wejangan pathet sanga seorang satria lalu memperlihat-kan kemampuannya untuk memberantas dur angkara. Tindakan yang dilakukan tanpa marah, tanpa pamrih yang melihat pada dirinya (Abdullah Ciptoprawiro, 1986: 89). Uraian tersebut menjelaskan bahwa pergelaran wayang semalam suntuk itu sebagai lambang keberadaan manusia secara ontologis-metafisis, yaitu dari tiada men-jadi


(30)

ada dan kemudian melaksanakan lakon, maut dan kembali menjadi tiada lagi. Semua sudah diatur menurut jadwal yang sudah ditentukan pada waktu sebelum hidup (pergelaran), yaitu di Lauh Mahfudz atau surat dan ilahi.

Setelah paripurna pergelaran wayang semalam suntuk itu, maka semua wayang beserta perlengkapannya dikukut sedemikian rupa, sehingga pendapa menjadi kosong atau suwung. Kemudian barulah Sang Dalang bertemu dengan yang kuasa untuk menerima pahala sebagai berkah usahanya (Sri Mulyono, 1989: 14). Pathet manyura yang ditandai dengan posisi kayon sedikit miring ke kiri melambangkan bahwa manusia harus beramal, sehingga kehidupannya akan berbuah kebahagiaan. Iman-ilmu-amal yang padu akan mengantarkan diri manusia yang ihsan. Ibarat orang berdagang, pada akhirnya harus mendapat untung, namun tidak selamanya untung harus berupa harta. Dalam pemahaman orang Jawa terdapat konsep tentang untung rugi, yakni tuna santak bathi sanak ‘rugi harta untung mendapat saudara’.


(31)

BAB IV

PERANAN IRINGAN LAGU KERAWITAN

Dalang wayang purwa menjadi figur sentral dalam pagelaran yang melibatkan para penabuh gamelan. Peranan dalang dalam pergelaran wayang purwa menempati posisi yang sangat penting. Dalang harus menguasai bermacam-macam keahlian meliputi bidang sastra, bahasa, tari, musik, dan drama. Dalang adalah tokoh utama dalam semua bentuk teater wayang, yang telah dijelaskan pada subbab di muka. Dia adalah penutur kisah, penyanyi lagu atau suluk, pemimpin instrumen gamelan yang mengiringi pementasan wayang, yang mengajak penonton memahami suasana pada saat tertentu, dan di atas segalanya itu, dialah pemberi jiwa pada boneka atau pelaku-pelaku manusianya itu.

Clara van Groenendael (1987) menjelaskan bahwa pekerjaan dalang didasarkan atas tradisi yang berabad-abad tuanya dan diturunkan selalu secara lisan, umumnya dari ayah kepada anak laki-laki. Di samping pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh mereka, misalnya tentang cerita, gending yang dimainkan oleh penabuh gamelan, pangrawit atau niyaga, suluk, dan teknik pergelaran, juga ada sekian banyak pengetahuan gaib yang terlibat di dalamnya. Pengetahuan ini mengenai doa-doa dan mantra-mantra khusus, serta tata cara tertentu dalam hal tingkah laku yang memberikan kekuatan bagi dalang menghadapi kejadian-kejadian penting dalam kehidupan masyarakat, misalnya; musim kering dan hama yang mengancam panen, malang mujur nasib seseorang,


(32)

dan juga keberhasilan sendiri sebagai seorang dalang. Pengetahuan gaib demikian semata-mata hanya boleh dikuasai oleh mereka yang sudah diberkati, dan juga yang telah menempuh beberapa bentuk pengajaran tertentu sebelumnya. Pengetahuan yang bersifat duniawi dan yang gaib ini berpadu, dan membentuk apa yang dinamakan padhalangan, yaitu ilmu atau seni dalang.

Hampir sama dengan Clara van Groenendael, Claire Holt (1976:132-135) juga menjelaskan bahwa seni dalang yang dahulu disampaikan dari ayah ke anak dan dari maestro ke cantrik, yang sekarang diajarkan juga di sekolah-sekolah khusus di Jawa Tengah, menuntut pengetahuan yang banyak, keterampilan yang tinggi dan disiplin yang besar. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada masa yang akan datang dan harus diketahui oleh seorang ahli pedalangan tahap-tahap dengan urutan sebagai berikut.

Tambo atau sejarah, yaitu pengetahuan tentang ceritera-ceritera kuna, sejarah para raja bukan hanya genealogi-genealogi mereka saja. Pemahaman yang benar-benar tentang gendhing atau musik, cara-cara memainkan serta fase-fasenya berupa nyanyian, diperlukan untuk iringan sebuah pertunjukan wayang. Gendheng atau resitasi, penguasaan resitasi yang dinyanyikan yang diiringi oleh musik gamelan, orkes instrumen-instrumen Jawa dan juga resitasi yang diucapkan yang berhubungan dengan bunyi gamelan. Gendhung diartikan sebagai sebuah keberanian yang tak memihak, berperilaku seperti seorang yang tak terusik oleh apa pun, melupakan diri sendiri, tanpa malu atau takut untuk memainkan wayang seperti orang gila.


(33)

Bahasa berupa penguasaan tingkat-tingkat tutur yang bermacam-macam yang cocok bagi status setiap tokoh wayang. Ompak-ompakan atau kepandaian berbicara, 'pernyataan yang dilebih-lebihkan' dalang harus mampu menggambarkan semua keindahan yang dicipta dengan kata-kata yang penuh perasaan yang mempertingginya di atas realitas melulu, serta dengan satu cara yang cocok bagi pawayangan.

Ilmu batin atau pengetahuan spiritual yang bertujuan supaya orang mampu menjelaskan esensi dari pengetahuan ini bila misalnya dalang berbicara perihal seorang pendeta yang memberi nasihat kepada seorang ksatria. Pengetahuan spiritual di sini tidak mengacu pada agama, tetapi pada kesempurnaan jiwa atas kekuatan magi atau kesaktian.

Tuntutan-tuntutan ini bahkan tidak menyentuh kemahiran-kemahiran lain yang esensial bagi dalang, terutama tekniknya dalam seni pewayangan antara lain antawacana, sabetan atau teknik menggerakkan wayang. Tekanannya adalah pada seni menceriterakan, hubungannya dengan gamelan, kemampuan seorang dalang mendramatisasi narasinya dalam suatu keadaan dan melupakan diri sendiri secara penuh, pada pengetahuan spiritual berupa ajaran-ajaran metafisis dari para pendeta dan guru, pengetahuan pesona, serta kekuatan-kekuatan magi dari para dewa serta raksasa.

Di satu sisi ada kesejajaran yang mencolok antara kualifikasi yang dituntut seorang dalang dengan kualifikasi yang diwajibkan sutradara, pengarah, dan produser dari drama klasik, dan di sisi lain disamakan dengan seorang shaman yang sedang memimpin upacara pada komunitas Dayak di Kalimantan Tengah.


(34)

Makna kata dalang diinterpretasikan dalam dua pengertian. Pertama, berarti seseorang yang berkelana, yang mengisyaratkan seorang pemain yang berkeliling. Yang lain menghubungkan gelar itu dengan konsep-konsep kreativitas dan kecerdikan, yang mengisyaratkan bahwa dalang adalah seorang yang memiliki keterampilan dalam penciptaan, juga kebijakan dengan demikian gelar itu memiliki sebuah konotasi yang mengilhami penghormatan. Dalang benar-benar merupakan seseorang yang sangat dihormati dari komunitas mereka; mereka mendapat sebutan kehormatan Ki yaitu singkatan bagi Kyai atau Yang Patut Dimuliakan. Dengan demikian, jelas bahwa dalang adalah seorang manusia superior.

Di samping keterampilan-keterampilannya dalam memainkan boneka atau wayang, ia harus memiliki daya tahan yang besar, kebugaran yang prima untuk memimpin sebuah pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Durasi pementasan atau pakeliran pada umumnya selama 8 jam dari jam 21.00-05.00, dengan seorang dalang sebagai pemain tunggal, yang tidak pernah meninggalkan tempatnya. Sepanjang malam ia duduk bersila di tikar atau karpet di depan layar putih atau kelir yang diterangi sebuah lampu yang tergantung di atas dan sedikit di depan kepalanya. Nyala lampu minyak yang berkedip-kedip yang disebut blencong di Jawa, di Bali dinamakan damar, digunakan untuk menciptakan suasana yang lebih hangat dan lebih hidup daripada cahaya yang ajeg atau tetap dari bola lampu listrik, yang menggambarkan kemajuan teknologi. Dua batang pisang yang cukup kokoh untuk menopang boneka-boneka wayang yang ditancapkan ke dalam daging batang pisang pada ujung yang runcing dari pegangannya, dijadikan satu


(35)

secara horisontal sepanjang pinggir bawah layar, dan dengan demikian berperan sebagai panggung.

Di sebelah kiri dalang, dalam jangkauan kaki kanannya terletak sebuah kothak dari kayu dipukul-pukul dalang, yang dengan pemukul kayu yang disebut cempala untuk memberi tanda-tanda bagi para pangrawit setiap ada peralihan lagu-lagu atau penggantian ke ritme-ritme baru. Para pangrawit berjajar di belakangnya atau di sampingnya, duduk di tikar di belakang instrumen mereka, yang nama-namanya saja merefleksikan kemerduan suara gamelan yaitu: kendang, gender, bonang, slenthem, saron, kenong, kethuk, kempul, dan gong. Suara sayu rebab dan suara suling atau seruling yang penuh permainan serta kerinduan menyelinapkan diri dalam kesatuan komposisi musikal orkes gamelan. Dari waktu ke waktu dalang menambah suara gemuruh dari lempengan-lempengan metal yang bersentuhan yaitu kepyak, yang digantungkan pada dinding kotak kayu; ia memukulnya dengan jari-jari kaki kanannya, dan kadang memukulnya dengan sebuah cempala kecil yang dicepit di antara jari-jari kaki kanannya, untuk merangsang suasana geger perang dan menghentakkan tekanan-tekanan keras pada pukulan-pukulan dan hantaman-hantaman balasan dari para ksatria yang sedang berperang. Dengan demikian pada gerak-gerak lengannya, tangannya, jari-jarinya, kakinya, dan suaranya, dalang harus menjaga kebersamaan pola-pola ritmis yang berbeda pula.

Tidak jarang seorang dalang memahat wayang-wayangnya sendiri. Ia memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ikonografi wayang-wayang yang dapat dilihat sekarang sebagai satu bidang yang luas. Jumlah variasi


(36)

bentuk-bentuk fantastis wayang sangat mengagumkan. Wayang-wayang itu sendiri adalah produk kecermatan yang tak terhingga serta memancarkan atau mencerminkan keahlian yang sangat teliti. Siluet-siluet wayang pertama dipahat dari kulit kerbau, dan kemudian bentuk-bentuk serta busana dipenuhi lubang dengan garis-garis lembut, titik-titik, lengkung-lengkung serta relung-relung selembut rambut, yang bila dilihat di bawah sorotan atau sinar lampu, beberapa bagian yang terkecil seperti hiasan dari benang emas kelihatan sangat indah dilukis dan dicat warna emas sama (Wignya Sutarno, 1956).

Wayang terjepit di antara belahan yang sangat menarik dari sebatang tangkai atau gapit yang terbelah, melengkung ke atas dan menyembul dari sebatang pegangan runcing ujungnya. Sebagian besar wayang yang terbuat dari kulit memiliki dua tangkai tangan yang dikaitkan pada cempurit dibuat dari bambu atau tanduk kerbau. Ujung-ujung yang digerakkan hanyalah siku dan sendi-sendi bahu. Gerakannya tidaklah terbatas pada lengan, tetapi secara keseluruhan boneka dapat digerakkan maju atau mundur, menari, jatuh bangun, berputar, melayang-layang, atau turun dari ketinggian, dan lebih atraktif lagi pada gerakan wayang yang sedang berperang, seolah-olah boneka hidup.

Keahlian dalang dalam seni sastra menyatu dengan kepandaiannya berolah seni suara. Pada adegan-adegan yang tidak tenang, misalnya adegan perang, ia memegang wayang pada setiap tangannya dan membuatnya mengancam untuk berkelahi, menusuk dengan keris, atau melepaskan sebuah anak panah. Gerak-gerak setiap wayang dihasilkan oleh jari-jari yang cekatan dari hanya dengan tangan yang mengendalikannya. Dalang juga mengubah-ubah dan memperkuat


(37)

efek bayangan-bayangan wayang dengan menempatkan wayang-wayang itu pada posisi tertentu pada layar, hingga bayang-bayang itu menjadi berubah-ubah dan menjadi lebih panjang daripada siluet-siluet gelap yang tajam dari figur-figur yang berdiri tepat pada layar. Dengan demikian, hitam dan kelabu, ketajaman dan kepanjangan, tidak bergerak dan kemungkinan yang luas dari gerak, ada dalam permainan antarsemuanya secara terus-menerus. Bila dalang telah menyiapkan panggungnya, ia menancapkan gunungan di tengah-tengah panggung batang pisang, gunungan merupakan lambang dari dunia wayang, yaitu kayon atau kekayon sebagaipertanda bahwa pegelaran wayang kulit akan segera dimulai.


(38)

BAB V LAGU LADRANG

Ladrang Remeng Sl. Pt. 6

Buka: 1 . 2 1 6

A. . 6 6 . 6 6 5 6 6 5 3 2 2 3 2 . . 1 2 2 3 2 3 2 1 1 2 B. 3 2 1 1 2 3 2 1 3 3 5 3

. 3 5 6 6 5 3 5 6 6 5 3 2 3 C. 6 5 2 1 1 2 3 5 6 6 5 3 2 1

. 1 1 1 2 3 2 1 3 2 1 2 . 1 D. . 1 2 . 1 . 1 2 . 1

. 1 2 . 1 . . 6

Ladrang Dwirada Meta Sl. Pt. 6

Buka: . 1 . 2 1 1 1 . 6

A. . 6 6 . 6 6 5 6 6 5 3 2 2 3 2 . 5 . 6 . 6 . 5 . 1 . 1 . 1 . 1 . 3 . 2 . 1 . 1 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 1 . 1 . 6 . 1 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 1 . 1 . 3 . 2 . 1 . 5 . 6 . 6 . 5 . 3 . 2 . 1 . 1 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2


(39)

B. 2 3 5 3 2 1 2 C. 3 3 2 1 2 3 3 2 1 2

3 3 2 1 2 3 3 3 2 1 2

D. . . 2 . 2 2 . 3 5 6 . 6 5 6 . 1 . . 2 . . 3 5 6 . 6 5 6 . 1 . . 2 . . 3 5 6 . 6 5 6 . 6 5 5 6 1 . . . 3 . 5 . 6 E. . . 5 6 . 5 6 . 5 6 5 6 . . 6 . 5 . 3 . 2 . 2 . 3 2

Suwuk: F. G.

Ladrang Kaki Tunggu Jagung Sl. Pt. 6

Buka: 3 1 2 3 1 2 . . . . . . . . A.

. 2 1 2 6 . 1 2 3 2 1 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 2 . 3 . 5 . 6 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 2 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 2 . 5 . 3 . 6


(40)

. 1 3 3 2 2 1 2 2 1 2 . 1 3 3 2 2 1 2 2 1 2 . . 3 3 2 2 1 3 2 1 2 . 3. 1 2 3 1 2 5 3 2 1 2 3 1 2 . . . . . . . . C. . . . . . . . .

. . . . . . . .

Ladrang Bedhat Sl. Pt. 6

Buka : . . . . . . A. . 1 1 1 2 3 2 1 1 . 2 3 2 1

1 . 2 3 2 1 3 2 1 2 . 1 2 B. . 1 2 3 2 1 2 . 1 2 3 2 1 2

. 1 2 3 2 1 2 6 5 6 5 3

C. . 3 5 6 . 3 5 6 . 3 5 6 . 5 3 2 . 3 5 6 . 3 5 6 . 3 5 6 . 5 3 2 . 3 5 6 . 3 5 6 . 3 5 6 . 5 3 2 . 5 . 5 . . . . . . 6 . 5 . 3

D. . 3 2 3 5 6 5 3 . 3 2 3 5 6 5 3 . 5 6 . 5 6 . 5 6 3 5 6 6 E. . 5 3 5 6 5 6 . 5 3 5 6 5 6

. 5 6 . 5 6 . 5 6 5 3 2 3 . 5 . 6 . 5 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 5 . 6 . 5 . 5 . 5 . 5 . 6 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 2 . 5 . 3 . 2 . 5 . 3 . 5 . 2 . 2 . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6 . 5 . 6 . 6 . 6 . 6 . 6 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1


(41)

Ladrang Sobah Sl. Pt. 6

Buka : 1 2 3 . 3 . 3 . . 1 . 2 . 3 . 1 . 2 A. . 3 . 1 . 3 . 2 . 3 . 1 . 3 . 2

. 3 . 1 . 3 . 2 . . . 1 . B. . 1 . . 1 . . 3 . 6 . 3 . 5

. 3 . 2 . 5 . 3 . 1 . 2 . 3 . 2

Ladrang Sobrang Sl. Pt. 6

Buka: 6 6 3 5 6 . 5 3 3 2 . 3 5 6 A . 3 . 1 . 3 . 2 . 3 . 1 . 3 . 2

. 3 . 1 . 3 . 2 . . . 1 . B. . 1 . . 1 . . 3 . 6 . 3 . 5

. 3 . 2 . 5 . 3 . 1 . 2 . 3 . 2

Ladrang Peksi Kuwung Sl. Pt. 6

Buka: 1 . 6 . . 6 . . 6 . 3 . 6 . 5 A. . . . . . . . .

. 3 . 2 . 3 . 5 . . . . B. . . . . . . . .

. 3 . 6 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6

C. 2 3 5 6 2 1 2 3 . . 2 3 5 6 2 1 2 3 . . . 3 . 2 . 3 . 5 . . . .

. 6 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 6 . 6 . 5 . 2 . 2 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 5


(42)

Ladrang Mangu Sl. Pt. 6

Buka: 1 2 3 5 6 1 2 2 3 . . A. . . . . . . . .

. 5 . 6 . . 6 . 3 . 5 . 3 . 2 B. . 5 . 6 . 5 . 3 . 1 . 6 . 5 . 3

. 5 . 6 . . 6 . 3 . 5 . 3 . 2 C. . 5 . 3 . 1 . 6 . 2 . 1 . 2 . 3

. . . 1 . . . . .

Ladrang Erang-Erang Sl. Pt. 6

Buka: . . . . A. . . . . . . . .

. . . . . 1 . . 3 . 2 B. 2 2 3 2 5 6 5 3 2 1 2

. . 3 5 6 5 2 2 3 2 5 6 5 3 2 1 2 2 . . 2 2 . 3 5 6 5 3 2 1 C. . 3 5 6 3 3 5 3

. . 3 5 6 5 3 2 5 6 5 3 2 1 1 1 . . 3 2 1 . 2 2 . . 2 3 2 1 3 2 2 2 3 2

. 6 . 5 . 3 . 5 . 6 . 1 . 6 . 5 . 3 . 2 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 1 . 1 . 5 . 6 . 6 . 3 . 5 . 3 . 2 . 2 . 3 . 6 . 5 . 3 . 2 . 2 . 3 . 5 . 6 . 3 . 5 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 5 . 6 . 5 . 6 . 6 . 6 . 6 . 3 . 3 . 5 . 6 . 3 . 5 . 3 . 2 . 3 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 5 . 5 . 5 . 2 . 2 . 3 . 5 . 2 . 6 . 5 . 6 . 3 . 5 . 3 . 2 . 3 . 5 . 6 . 6 . 5


(43)

D. . . 2 3 6 5 3 2 . . 2 1 3 2 1 . . 1 1 . . 1 1 2 1 3 2 1 . . . . 1 1 2 3 6 5 3 2 . 1 2

E. 3 3 . . 3 3 . 5 6 6 5 3 2 3 1 . . . . 1 1 2 3 6 5 3 2 . 1 2 6 . . . . 6 6 . . 6 6 6 5 3 2 3 5 6 5 3 2 1 1 3 2 1 F. 2 2 3 2 5 6 5 3 2 1 2

. . 1 . 3 . 2 . 1 . . 2 . 1 . 2 . . 2 . 1 . 2 . . 2 . 1 . 2 . . 3 . 2 . .

Ladrang Krawitan

A. . . . . . . . 5 . 6

. . 6 . . 6 . . . . 6 B. . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 6 . 5 . 3

. 5 . 2 . 3 . 2 . 3 . 5 . 3 . 2 C. . 3 . 5 . 6 . 3 . . 6 . 5 . 3

. . 6 . 5 . 3 . 2 . 3 . 6 . 5 D. . 3 . 2 . 6 . 5 . 3 . 2 . 3 . 2

. 3 . 2 . 3 . 2 . 5 . 3 . .

E. . 3 . 2 . 3 . 5 . . . . 6 . . 6 . . 6 . . . . 6

. 6 . 6 . 6 . 6 . 3 . 3 . 5 . 6 . 3 . 5 . 3 . 2 . 3 . 5 . 6 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6 . 6 . 1 . 1 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6 . 6 . 3 . 5 . 6 . 5 . 6 . 3 . 6 . 3 . 5 . 6 . 6 . 6 . 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 1 . 1 .

2 1.

. 2 . 1 . 1 . 6 . 5 . 2 . 1 . 2 . 1 . 1 . 2 . 1 . 2


(44)

Ladrang Ling-Weling Sl. Pt. 6

A. 1 2 3 5 2 B. 1 1

3 2 3 2 5 3 1 C. 5 3 1 5 3 1 5 6 5 6 3 5 3 2 D. 6 5 3 2 6 5 3 2

3 2 3 2

Ladrang Sembung Gilang Sl. Pt. 9

Buka: 2 2 2 5 3 2 1 1 2 1

A. 2 . 2 5 2 . 2 5 2 . 2 5 6 5 6 B. 2 . 2 5 2 . 2 5 2 . 2 5 6 5 6 C. 6 3 5 6 6 6 D. 5 3 2 1 5 6 6 3 5

. 5 . 6 . 3 . 5 . 6 . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 2 . 6 . 3 . 6 . 6 . 3 . 5 . 6 . 6 . 6 . 6 . 5 . 3 . 2 . 5 . 6 . 6 . 3 . 5 . 1 . 1 . 2 . 1 . 2 . 2 . 3 . 2 . 1 . 3 . 2 . 1 . 2 . 3 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1


(45)

Ladrang Jangkrik Genggong Sl. pt. 9

Buka: 1 6 5 . 6 5 3 2 . 3 5 6 3 5 Lancaran: 3 2 3 5 6 6 5 6 6 5 3 2 3 5

5 3 2 1 2

A. . . 2 3 1 2 3 2 5 6 6 5 3 2 1 5 5 6 5 3 2 1 6 6 3 2 . 1 B. . . 2 1 2 . 2 1

2 1 2 . 2 1 2 2 . 3 1 2 3 2

Ladrang Embat-Embat Penjalin Sl. Pt. 9

A. . 5 5 . 5 5 6 5 6 3 6 5 6 3 6 5 6 3 6 5 6 3 6 5 3 2 . 3 5 6 6 B. . 6 6 . 6 6 6 5 6 5 6

5 6 5 6 5 3 2 3 5 6 3 5 C. . 5 5 . 5 5 6 5 2 1 2 . 2 1

2 1 2 . 2 1 3 2 . 3 2 . 3 2 3 5 6 5 3 2 1 2 D. . . 2 3 1 2 3 2 . 3 3 3 5 6 5 3 5 3 2 3 2 1 2 1

2 3 5 6 6 5 6 5 3 2 3 2 1 2 1 2 3 5 . 6 5 3 5 3 2 1 2 3 5 6 5 . 2 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 6 . 5 . 5 . 2 . 3 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 6 . 5 . 6 . 5 . 1


(46)

Ladrang Clunthang Sl. Pt. 9

Buka: 5 5 5 6 6 5 2 2 2 3 2 1 1 2 1 A. .5 . 6 . 2 . 1 . 5 . 6 . 5 . 6

. 5 . 6 . 3 . 5 . 2 . 1 . 6 . 5 B. . . 6 . 3 . 5 . . 6 . 3 . 5

. . 6 . 3 . 5 . 2 . 3 . 2 . 1

Cakepan:

a. Tindake sang pekik mandhap saking gunung

anganthi repat panakawan catur ingkang nembe mulat

ngira dewa ndharat geter petrek-petrek pra endhang swarane

anjawat angawe-awe ngujiwat solahe mrih dadya sengseme

b. Dhuh Raden sang abagus mugi keparenga pinarak

wisma kula amethik sekar melathi arum amrih wangi

kagema cundhuk sesumping sangsangan amimbuhi

mencorong cahya ndika Raden c. Wauta sang kusuma

laju tindakira

tan kengguh mring pra endhang lir madu ature yekti

awit anuhoni

sabdane Sang Mahamuni .

1

.

1

.

1

.


(47)

tan nedya kendel lamun sadurunge purna jatine d. Nglangkungi dhusun-dhusun

busekan pra janma geng alit anyabawa

ngungun citrane sang pekik rame sung sesanti

narka sangya maru bumi tan kendhat ngobong dupa pamrihe agung rejekine

Ladrang Lompong Keli Sl. Pt. 9

Buka: . 5 . 6 . 6 5 2 2 2 2 1 1 2 1 A. . 6 . 5 . 2 . 1 . 6 . 5 . 2 . 1

. 6 . 5 . 3 . 2 . . 1 . . B. . 3 . 2 . . . 3 . 2 . .

Ladrang Sri Martana Sl. Pt. 9

A. . . 6 . 5 . . 6 5 . . 6 6 6 . . 6 6 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 2 . 1 . 2 . 1

. . . 5 . 5 . . . . 5 . 6 . . . 5 . 6 . . 6 . . . 6 B. . . 6 6 . . 6 6 . 2 . 3 . 5 . 5 . 5 . 3 . 2 . 1

. 1 . 6 . 1 . 6 . 5 . 3 . 2 . 1 . 5 . 6 . . . 6 . . 5

. 1 . 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 2 . 1 . 2 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 1 . 2 . 1 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 3 . 2 . 1 . 2 . 3 . 2 . 1 . 1 . 2 . 1 . 1


(48)

C. . . 6 . 5 . . 6 . 5 . . . 2 . . . 3 . . . 5 . . . 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 2 . 3 . 5 . 6

. . . 5 . . . . . . 5 . . . 2 . . . 5 . . . 3 . . . 2 . . . 1 . 5 . 1 . 5 . 2 . 5 . 3 . 2 . 1

Ladrang Wani-Wani Sl. Pt. 9

Buka: . . . . . . . . A. . 1 . . . . 1 . . . .

. 2 . 3 . 5 . 3 . 6 . 5 . 3 . 2 B. . 5 . 3 . 5 . 2 . 5 . 3 . 5 . 2

3 6 5 2 3 6 5 2 3 5 6 6 . . 6 6 5 6 6 5 3 2 3 5

Ladrang Babad Kenceng Sl. Pt. 9

Buka: 2 5 3 5 2 6 3 6 5

A. . 3 . 6 . 3 . 5 . 3 . 6 . 3 . 5 . 2 . 3 . 5 . 3 . 6 . 5 . 3 . 5 B. . 5 . 3 . 5 . 2 . 5 . 3 . 5 . 2 . 5 . 3 . 5 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 C. . . 6 . 3 . 5 . . 6 . 3 . 5 . 2 . 3 . 5 . 3 . 6 . 5 . 3 . 2

. 2 . 1 . 2 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 5 . 3 . 5 . 2 . 6 . 3 . 6 . 5 . 6 . 3 . 5 . 6 . 3 . 5 . 2 . 1 . 1 . 1 . 3 . 2 . 1 . 1


(49)

Ladrang Uga-Uga Sl. Pt. 9

Buka: 2 3 2 . 2 3 2 5 6 6 5 3 5 A. 2 3 2 . 2 3 2 5 2 3 2 . 2 3 2 5

2 3 2 . 2 3 2 5 6 6 5 3 5 2 3 2 . 2 3 2 5 2 3 2 . 2 3 2 5 2 3 2 . 2 3 2 5 6 6 5 3 5 B. 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1

1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1

Ladrang Giyak-Giyak Sl. Pt. 9

Buka: 2 1 2 1 2 2 1 1 . .

A. . 2 . 1 . . . 2 . 5 . 2 . 1

. 2 . 1 . . . . 6 . . 5 6 . 5 . 6 . 5 6 .

B. . . . 5 . 6 . 5 . 6 . 3 . 2

. . 2 3 5 6 . 5 . 2 . 1 . 2 . 1 . . . 1 . 2 . 1 . 1 . 2 . 1 . 1 . 2 . 1 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 1 . 2 . 1 . 6 . 5


(50)

Ladrang Candra Upa Sl. Pt. 9

Buka: 5 5 6 3 5 6 5 6 6 2 1 3 2 A. . . 1 2 3 2 . 2 1 1 2

. . 2 3 5 . 6 5 6 6 2 1 3 2

B. . 2 . 2 . . 3 5 6 . 6 5 . 6 . 2 . 2 . 3 5 6 6 5 . 6 . 2 . 2 . . 3 5 6 . 6 . . 5 2 3 2 1 . 5 6

C. . . . 6 5 6 5 6 5 3 2 1 6 6 . 6 5 3 5 5 6 2 1 3 2

Ladrang Uluk-Uluk Sl. Pt. 9

Buka: 2 . 1 . 2 . 1 2 2 1 1 . . A. . 3 . 2 . 3 . 5 . 3 . 2 . 5 . 6

. 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . . Ngelik: 1 . .

B. . 5 . 6 . 5 . 6 . . . 5 . 3 . 2 . 3 . 5 . 3 . 6 . 5 . 3 . 2 C. . 3 . 2 . 5 . 6 . 2 . 3 . 5 . 6

. 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . . . 6 . 5 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 3 . 2 . 1 . 1 . 1 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 5 . 6 . 2 . 1 . 6 . 5


(51)

Ladrang Kembang Tanjung Sl. Pt. 9

Buka: . 2 1 1 . 2 1 1 2 2 1 . . A. . 2 . 3 . 2 . 1 . 2 . . 2 . 1

. 2 . . 2 . 1 . 2 . 1 . . Ngelik: . 1 . 2 . 1 . 5 . 6 B. . 5 . 6 . . . . 6 . .

. . 6 . 2 . 1 . 2 . 1 . .

Ladrang Gonjang-Ganjing Sl. Pt. 9

Buka: . 2 . 1 . 2 . 1 2 2 1 1 . . A. . 2 . 1 . . . 2 . 5 . 2 . 1

. 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . .

Ngelik: 1 . 6 B. . . . 6. 5 . 1 . 6 . 5 . 6

. 5 . 6 . 3 . 5 . 2 . 1 . . .

6

. 6

. 5

. 6

. 6

. 6

. 5

.

2

.

1

.

2

.

2

.

1

.

2

. 6

. 5

. 6

. 5

. 6

. 5

. 6

. 5 .

2

.

1

. 3

.

2

. 6

. 5


(52)

Ladrang Kagok Madura Sl. Pt. 9

Buka: 5 3 2 3 . 3 6 3 5 1 1 2 1

A. 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 3 2 3 . 3 3

B. . . . 6 5 6 3 2 5 6 6 3 5 6 6 5 3 5 C. 6 5 6 5 3 2 1 5 6 6 5 3 2 1 5 6 6 5 3 2 1 6 6 3 2 . 1 D. 3 2 3 . 3 6 3 5 3 2 3 . 3 6 3 5

3 2 3 . 3 6 3 5 1 1 2 1 1

Ladrang Gondosuli Sl. Pt. 9

A. . 5 . 6 . 2 . 1 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 3 . 5 . 2 . 1 . . B. . 1 . 2 . . . 1 . . 3 . 2

. 3 . 2 . 3 . 2 . 3 . 1 . . C. . 1 . 2 . . . 1 . . 3 . 2

. 5 . 6 . 3 . 5 . 2 . 1 . 2 . 1 D. . 3 . 2 . . . 1 . . 3 . 2

. 5 . 6 . 3 . 5 . 2 . 1 . . . 6 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 1 . 1 . 1 . 1 . 2 . 1 . 3 . 2 . 1 . 2 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5


(53)

Ladrang Eling-Eling Kasmaran Sl. Pt. 9

Wirama lancaran:

3 2 1 1 2 3 2 1 1 2 3 5 . . 5 6 1 2 1 1 1 1 2 A. . 3 .2 . . . 1 . . 3 . 2

. 3 .2 . . . 1 . . 3 . 2

. 3 . 5 . 6 . 5 . . 6 . 3 . 2 . 1 . 6 . . 5 . 1 . 6 . 3 . 2 Ngelik:

6 . . B. . . . . . . 6 . 3 . 5

. . . . 6 . 5 . 3 . 1 . 2 . 3 . 5 . 6 . 5 . . 6 . 3 . 2 . 1 . 6 . . 5 . . 6 . 3 . 2

Ladrang Srikaton Sl. Pt. Manyura

A. . 2 . 1 . 2 . 6 . 2 . 1 . 2 . 6 . 2 . 1 . 2 . 6 . 3 . 6 . 3 . 2 B. . 5 . 6 . 5 . 3 . 1 . 6 . 5 . 3 . 2 . 1 . 2 . 6 . 2 . 1 . 2 . 6

. 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 1 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 3 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 1 . 1


(54)

Ladrang Lipur Sari Sl. Pt. Manyura

A. . . . 3 . . . 2 . . . 3 . . . 2 3 3 . . 3 3 . . 1 1 3 2 5 3 2 1 3 2 6 5 3 5 6 1 3 2 6 5 3 5 6 1 2 3 . . 3 3 6 1 2 2 . 3 . 1 . 2 Ngelik:

B. 3 3 . . 3 3 . . 1 1 3 2 5 3 5 6 . . 3 5 3 5 6 . . 3 5 3 5 6 . . . 6 . 5 . . 6 . 5 . 3 C. 6 6 5 6 5 3 6 6 5 6 5 3

6 6 . . 6 6 5 6 3 2 5 3 2 1 3 2 6 5 3 5 6 6 5 3 5 6 2 3 . . 3 3 6 2 2 . 3 . 1 . 2

Ladrang Gonjang Sl. Pt. Manyura

Buka: . 3 . 2 . 3 . 2 3 3 2 2 . 1 . A. . 3 . 2 . 1 . 6 . 3 . 6 . 3 . 2

. 3 . 2 . 3 . 2 . 3 . 2 . 1 . B. . 3 . 2 . 1 . . 3 . 1 . 2 . 1

. 5 . 6 . . . . 6 . 5 . 3 C. . 3 . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6

. 3 . 2 . 3 . 1 . 3 . 2 . 1 . .

1

.

1

. 3

.

2

.

1

.

1

.

1

.

1

.

1

.

1

.

1

.

1

. 3

.

2

.

1

.

1

. 6

. 6

. 6 .

2

.

1

.

2

. 6


(55)

Ladrang Gonjang Seret Sl. Pt. Manyura

Buka: . 3 . 2 . 3 . 2 3 3 2 2 . 1 . A. . 3 . 2 . 1 . 6 . 3 . 6 . 3 . 2

2 3 . 3 2 1 2 1 2 3 . 3 2 1 2 1 2 3 . 3 2 1 6 3 5 . 6 3 . 6

B. 1 2 6 2 1 2 6 2 1 2 6 2 1 2 6 3 . 3 . 3 . 3 5 6 6 5 3 2 1 . 2 2 3 . 3 2 1 2 1 2 3 . 3 2 1 2 1 2 3 . 3 2 1 6 3 5 . 6 3 5 . 6 C. 6 6 6 6 3 . 3 . 3 . 3 5 6 6 5 3 5 6 5

6 . 6 5 6 5 6 . 6 5 6 5 6 . 6 5 3 1 2 . 3 1 2 3 6 D. 5 6 3 6 5 6 3 6 5 6 3 6 5 6 3 6 . 6 . 6 6 5 6 3 2 1 2 3 2 1

Ladrang Pucung Rubuh Sl. Pt. Manyura

Buka: 6 6 6 3 5 6 6 5 3 2 . 5 . 3

A. . 2 3 5 . 2 35 2 3 5 6 5 2 5 3 . . . 6 . . . 5 . . . 3 . . . 2 . . . 5 . . . 3 . . . 5 . . . 2 . 3 5 . 2 3 5 6 6 5 2 3 5 3 . 2 3 5 . 2 35 2 3 5 6 5 2 5 3 . . . 6 . . . 5 . . . 3 . . . 2 . . . 5 . . . 3 . . . 5 . . . 2 . 3 5 . 2 3 5 6 6 5 2 3 5 3 B. . 6 . 6 6 5 2 3 5 3 . . . 6 . . . 5 . . . 2 . . . 1

. . . 3 . . . 2 2 . 6 . 5 . 3 . 2 . 3 5 2 3 5 6 6 5 2 3 5 6 . 6 . 6 6 5 2 3 5 3 . . . 6 . . . 5 . . . 2 . . . 1

. 6 . 1 . 1 . 2 . 2 . 1 . 2 . 2 . 1 . 2 . 2 . 1 . 2 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . 1 . 2 . .


(56)

Ladrang Pangkur Sl. Pt. Manyura

Buka: . 3 . 2 . 3 . 2 3 1 3 2 . 1 2 Lancaran:

3 2 3 1 3 2 1 1 3 2 5 3 2 1 3 5 3 2 6 5 3 2 5 3 2 1 3 2 1 Ompak:

6 5 3 2 1 . 3 . 2 . 1 . A. . 3 . 2 . 3 . 1 . 3 . 2 . 1 . 6

. . 6 6 5 3 . 2 . 1 . . . 3 . . . 2 3 2 5 3 6 5 3 2 6 5 3 2 1 . 3 . 2 . 1 .

Ngelik: 2 . . B. . . . . . 3 5 6 5 6

. . 5 2 2 1 3 2 6 5 6 5 3 . . 3 5 6 5 6 3 5 6 6 5 3 2 6 3 2 6 3 2 1 . 3 . 2 . 1 .

Ladrang Lere-Lere Sl. Pt. Manyura

Buka: . 3 . 1 2 3 1 2 . . 6 . 3 6 6 . 5 3 2

. 6 . 6 . 6 . 6 . 1 . 3 . 2 . 6 . 1 . 1 . 1 . 2 . 3 . 2 . 1 . 3 . 2 . 6 . 3 . 2 . 2 . 5 . 3 . 2 . 3 . 1 . 2 . 2 . 1 . 1 . 1 . 1 . 6 . 1 . 1 . 3 . 2 . 1


(57)

A. . . 6 . 3 5 6 . 5 3 2 . . 6 . 3 5 6 . 5 3 2 . . 5 3 2 1 2 . 1 2 3 2 1 2 3 3 . . 3 3 2 1 1 2 3 2 1 2 B. 3 3 . . 3 3 2 1 1 2 3 2 1 2

3 3 . . 3 3 2 1 1 2 3 2 1 2 . 3 . 1 2 3 1 2 . 3 . 1 2 3 1 2 . . 6 . 3 5 6 . 5 3 2

Ladrang Moncer Sl. Pt. Manyura

Buka: . 2 3 4 6 5 3 2 6 5 3 5 6 6 A. 5 3 6 5 3 6 3 3 2 3 6 5 3 2 3 2 3 5 6 5 3 2 6 5 3 5 6 6 Ngelik:

B. . . 6 3 5 6 6 3 5 6 6 5 3 2 3 2 3 5 6 5 3 2 6 5 3 5 6 6

Ladrang Geger Sakutha Sl. Pt manyura

Buka: 3 5 2 . 3 5 2 1 1 2 1

A. 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 6 6 . . 5 3 2 6

. 1 . 1 . 3 . 2 . 1 . 1 . 1 . 3 . 2 . 1 . 6 . 6 . 6 . 6 . 6 . 6 . 6 . 6 . 1 . 1 . 3 . 2 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 6 . 5 . 3 . 5 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5


(58)

B. . 6 . . 5 3 2 6 . 6 . . 5 3 2 6 . 6 . . 5 3 2 6 3 3 6 5 3 2 1 2 C. 3 2 3 5 6 5 3 2 3 2 3 5 6 5 3 2

5 3 5 2 5 3 5 2 1 1 . .

Ladrang Slamet Sl. Pt. Manyura

Buka: . 1 3 2 1 2 3 1 1 3 2 . 1 2 A. 2 1 2 3 2 1 2 3 3 . . 6 5 3 2 5 6 5 3 2 1 2 2 1 2 3 2 1 2

B. . . 6 . 5 6 3 5 6 6 5 3 2 6 6 . . 5 11 6 3 2 .1 2

Ladrang Asmaradana Sl. Pt. Manyura

Buka: . 3 . 2 . 3 . 2 3 1 3 2 . 1 2 Lancaran:

2 1 2 6 2 1 2 3 5 3 2 1 3 2 3 1 6 3 2 1 3 2 1 6 5 3 2 1 3 2 1 A. . 2 . 1 . 2 . . 2 . 1 1 2 3

3 6 3 2 5 3 2 1 3 5 3 2 3 1 2 6 5 3 5 3 6 5 2 1 3 5 3 2 3 1 2 6

. 6

. 5

. 3

. 5

. 6

. 6

. 6

. 6

. 6 .

1

.

1

.

1

.

1

.

1

.

1

. 6

. 6

. 6

. 6

. 6


(59)

Ladrang Manis Sl. Pt. Manyura

Buka: 1 3 2 1 2 3 5 3 6 5 3 2 . 1 2 A. . 2 . 3 . 2 . 1 . 2 . 3 . 2 . 1

. 2. 3 . 5 . 3 . 5 . 2 . 1 .

B. . . . 5. 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 6 . 5 . . 6 . 3 . 2 . 1 .

Ladrang Kembang Pepe Sl. Pt. Manyura

Buka: 2 2 1 3 1 1 3 2 . 1 .

A. . 5 . 3 . 1 . . 5 . 3 . 1 . . 5. 2 . 5 . 3 . 1 . 2 . 1 .

B. . . 6 . 5 . 3 . 5 . 2 . 5 . 3 . 5 . 2 . 5 . 3 . 1 . 2 . 1.

. . 6 . 5 . 3 . 5 . 2 . 5 . 3

Ladrang Sekar Gadung Sl. Pt. Manyura

Buka: 2 2 1 . 1 2 . 1 .

A. . 1 . . 3 . 2 . 1 . . 3 . 2 . 3 . 2 . 3 . 5 . 1 . . 1 .

. 6

. 6

. 6 .

2

.

1

.

1

. 6

. 6

. 6

. 6

. 6

. 6 .

1

. 6 .

1

. 6

. 5

. 6

. 6

. 6

. 6

. 6

. 6


(1)

III Latihan lanjut gamelan dengan lagu lancaran beserta iringan waranggana

Praktek memainkan gamelan secara kolektif dengan lagu lancaran lanjutan diiringi waranggana.

200’

IV Latihan lanjut gamelan dengan lagu ladrang

Praktek komprehensif memainkan gamelan secara kolektif dengan lagu ladrang.

200’

V Latihan lanjut gamelan dengan lagu ladrang dengan diiringi waranggana

Praktek komprehensif memainkan gamelan secara kolektif dengan lagu ladrang yang bisa diiringi waranggana.

200’

VI Latihan lanjut gamelan dengan lagu ketawang

Praktek komprehensif memainkan gamelan secara kolektif dengan lagu ketawang.

300’

VII Latihan lanjut gamelan dengan lagu ketawang dengan diiringi waranggana

Praktek komprehensif memainkan gamelan secara kolektif dengan lagu ketawang yang bisa diiringi waranggana.

300’

VIII Ujian akhir 100’

IV. REFERENSI/ SUMBER BAHAN A. Wajib :

1. Harsono Kodrat, 1982. Gending-gending Karawitan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta.

2. Purwadi dan Afendy Widayat. 2005. Seni Karawitan Jawa. Yogyakarta : Pustaka Sakti.

3. Sunardi Wisnubroto, 1997. Sri Lestari An Introduction to Gamelan. Gama Press. Yogyakarta.

4. Trimanto, 1984. Membuat dan Merawat Gamelan. Depdikbud. Yogyakarta.

B. Anjuran :

1. Sastrowiryono, 1978. Sekar Macapat, Bimbingan Kesenian Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Yogyakarta.

2. Soetrisno R., 2004. Dimensi Moral Dalam Syair Tembang Pada Pergelaran Wayang Purwa. Pustaka Raja. Yogyakarta.


(2)

V. EVALUASI

No Komponen Evaluasi Bobot (%)

- Teknik yang dipakai dalam evaluasi berupa ujian tulis. Nilai akhir diperoleh dari perhitungan sebagai berikut.

NA = T + S + 2A 4

100 %

Jumlah 100%

Yogyakarta, 15 Maret 2010 Dosen


(3)

LAMPIRAN 2.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

MATA KULIAH : SENI KARAWITAN II

RPP/FBS-PBJ/252 Revisi : 00 15 Maret 2010 Hal. 1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa

2. Mata Kuliah & Kode : Seni Karawitan II Kode : PBJ 252 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Gasal ( ) Waktu : 16 pertemuan

4. Standar Kompetensi : Mahasiswa lebih mampu dan lebih terampil memainkan instrumen gamelan dengan lagu-lagu yang termasuk golongan lancaran, ladrang, sekar ageng dan langgam. Dengan mengenal masing-masing instrumen gamelan akan menjadikan mahasiswa secara kolektif mampu memainkan gamelan yang disertai dengan iringan waranggana atau swarawati.

5. Kompetensi Dasar : a. Mahasiswa mengetahui pengetahuan lengkap tentang seni karawitan.

b. Pengetahuan itu akan lebih mengantarkan mahasiswa menjadi ahli secara teoritis dan trampil secara praktis.

6. Indikator Ketercapaian : Setelah mengikuti program ini mahasiswa lebih mampu (1) mengenal dasar-dasar seni karawitan; (2) mengetahui jenis-jenis instrumen gamelan; (3) dapat memainkan instrumen gamelan itu secara kolektif dalam berkesenian.

7. Materi Pokok/Penggalan Materi : Seperangkat gamelan beserta dengan buku petunjuk bermain seni karawitan

8. Kegiatan Perkuliahan :

Tatap Muka Komponen Langkah

Uraian Kegiatan Estimasi

Waktu

Metode Media Sumber

Bahan/ Referensi

PENDAHULUAN Memberi deskripsi secara

komprehensif tentang seni karawitan Jawa dan

1 x tatap muka atau 100

Ceramah, demonstrasi

Perangkat gamelan


(4)

LATIHAN GOLONGAN LAGU LANCARAN

Lancaran : Mahesa Kurda dengan irama I, kemudian dilanjutkan irama II dan terakhir disertai dengan iringan swarawati.

4 pertemu an x 100 menit Teori dan praktek menabuh gamelan Perangkat gamelan

A dan B

LATIHAN GOLONGAN LAGU LADRANG

Ladrang: Ayun-ayun dengan irama I, kemudian dilanjutkan irama II dan terakhir disertai dengan iringan swarawati.

4 pertemu an x 100 menit Teori dan praktek menabuh gamelan Perangkat gamelan

A dan B

LATIHAN GOLONGAN LAGU KETAWANG

Ketawang : Ganda Mastuti dengan irama I, kemudian dilanjutkan irama II dan terakhir disertai dengan iringan swarawati.

4 pertemu an x 100 menit Teori dan praktek menabuh gamelan Perangkat gamelan

A dan B

PEMANTAPAN LATIHAN

Memberi pemantapan dengan cara

mempertinggi ketrampilan menabuh gamelan sesuai dengan lagu-lagu kreasi.

1 x tatap muka atau 100 menit Ceramah, demonstrasi Perangkat gamelan

A dan B

TANYA JAWAB AKHIR

PERKULIAHAN

Memberi kesempatan kepada peserta kuliah untuk menanyakan seluk-beluk bahan perkuliahan yang telah diajarkan sehingga lebih bagus hasilnya.

1 x tatap muka atau 100 menit Ceramah, demonstrasi dan diskusi Perangkat gamelan

A dan B

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono Kodrat, 1982. Gending-gending Karawitan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta.

2. Purwadi dan Afendy Widayat. 2005. Seni Karawitan Jawa. Yogyakarta : Pustaka Sakti.

3. Sastrowiryono, 1978. Sekar Macapat, Bimbingan Kesenian Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Yogyakarta.

4. Soetrisno R., 2004. Dimensi Moral Dalam Syair Tembang Pada Pergelaran Wayang Purwa. Pustaka Raja. Yogyakarta.


(5)

6. Sunardi Wisnubroto, 1997. Sri Lestari An Introduction to Gamelan. Gama Press. Yogyakarta.

7. Trimanto, 1984. Membuat dan Merawat Gamelan. Depdikbud. Yogyakarta.

Yogyakarta, 15 Maret 2010 Dosen


(6)

PENYUSUN

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh pada tahun 2001.

Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020. Email: purwadi@uny.ac.id.