STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR
1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010

SKRIPSI

Skripsi Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjanan Hukum Pada Fakultas Hukum Unviversitas Muhammadiyah
Yogyakarta

Diajukan oleh :
Nama

: PEPY YUSPIKA GUMILAR

NIM

: 20120610186

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016

STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR
1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010

SKRIPSI

Skripsi Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjanan Hukum Pada Fakultas Hukum Unviversitas Muhammadiyah
Yogyakarta

Diajukan oleh :
Nama

: PEPY YUSPIKA GUMILAR

NIM

: 20120610186


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

i

HALAMAN PERSETUJUAN
STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR
1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010

Disusun Oleh:
Nama

: PEPY YUSPIKA GUMILAR

NIM

: 20120610186


Skripsi ini telah disetujui Dosen Pembimbing pada tanggal 24 Agustus 2016

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Wiratmanto, S.H., M.Hum

Endang Heriyani, S.H., M.Hum

NIK. 19570801198710153.002

NIK. 196501161992032.002

ii

HALAMAN PENGESAHAN
STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR
1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 46/PUU-VIII/2010

Skripsi Ini Telah Dipertahankan Dihadapan Dosen Penguji Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pada Tanggal : 6 September 2016

Yang terdiri dari :
Ketua

Prihati Yuniarlin, S.H., M.Hum
NIP. 19630602198812153.007
Anggota I

Anggota II

Wiratmanto, S.H., M.Hum
NIK. 19570801198710153.002

Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum
NIK. 196810231993032153.015


Mengesahkan
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum
NIK. 19710409199702153.028

iii

HALAMAN PERNYATAAN
1. Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil saya sendiri
dan di dalamnya tidak terdapat karya yang telah diajukan untuk
memperoleh kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan di Lembaga
Pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian
maupun yang belum/tidak diterbitkan sumbernya dijelaskan di dalam
tulisan daftar pustaka.
2. Bersedia

untuk


dipublikasikan

oleh

Universitas

Muhammadiyah

Yogyakarta.

Yogyakarta, 20 April 2016
Yang menyatakan,

Pepy Yuspika Gumilar

iv

HALAMAN MOTTO


“Bahagia itu diciptakan bukan dicari, maka majulah tanpa menyingkirkan orang
lain, naiklah tinggi tanpa menjatuhkan orang lain , dan berbahagialah tanpa
menyakiti orang lain” – Pepy Yuspika Gumilar

v

HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati, saya persembahkan skripsi ini kepada:

Allah SWT

Nabi Muhammad SAW

1. Kedua orang tuaku, papa Drs. Hendra Gumilar dan mama Mimin
Nurmanah, Sp.d yang telah memberikan segalanya untuk hidupku, dan
telah begitu banyak memberikan dukungan baik secara materil ataupun
non materil dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak semoga
papa sama mama selalu sehat dan ada dalam lindungan Allah SWT.
2. Saudariku tercinta Rafikah Isnia Aulia Wati Gumilar, makasih sayang buat
do’a, dukungan, serta ledekannya buat teteh makin semangat buat selesaiin

skripsi ini. Semoga kita rukun terus ya buat bahagiain mama papa.
3. Untuk kamu, yang selama ini mau nemenin aku dari mulai ngerjain tugas,
belajar buat uts, dengerin keluhan aku, dan walaupun kamu gak bisa
nemenin sampai akhir. Terimakasih banyak untuk semuanya.

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,
yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “STATUS ANAK LUAR
KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUUVIII/2010” sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana S-1 Fakultas Hukum,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dengan penuh rasa hormat penulis, maka dalam kesempatan ini ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Bambang Cipto, MA selaku Rektor Universitas Muhammadyah
Yogyakarta

2. Bapak Dekan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bapak Dr.
Trisno Raharjo, S.H., M.Hum
3. Wiratmanto, S.H., M.Hum

selaku Pembimbing I dengan penuh

kesabaran memberikan bimbingan, petunjuk dan pengarahan serta
dorongan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
4. Endang Heriyani, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I dengan penuh
kesabaran memberikan bimbingan, petunjuk dan pengarahan serta

vii

dorongan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
5. Ahdiana Yuni Lestari, SH.,M.Hum, selaku dosen Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang bersedia memberikan
waktunya untuk membantu penulis untuk melakukan penelitian dalam
rangka penulisan skripsi.

6. Drs. Rizal Pasi, S.H., selaku hakim pada Pengadilan Agama Bantul
yang telah membantu penulis untuk melakukan penelitian dalam
rangka penulisan skripsi.
7. Untuk sahabat-sahabatku Fitri Astuti Handayani, Shobikha Tritina
Hakima, Septi Kurniawati, Narita Angga Riyantari. Terimakasih udah
nemenin, suka duka udah dilewatin bareng semoga kita tetep kaya gini
yaa sampai tua nanti.
8. Untuk Putri Maharani, Andhika Sewanto, Dwi Nova sahabat
seperjuangan. Terimakasih udah mau bantuin aku, digangguin terus
sama pertanyaan-pertanyaan dari yang penting sampai gak penting.
Semoga sukses buat kalian.
9. Untuk Shafira Ayu Zulfawani, Choerul Chofidoh, Septian Adi
Nugroho, Andiningtyas DM. Terimakasih buat kegilaan nya walaupun
kita kenal akhir-akhir perjuangan tapi kesan kalian luar biasa.
10. Untuk Mba Veda, Tia, Dini, Mba Diella dan anak-anak kosan lainnya.
Terimakasih yaa, maaf udah diberisikan karena ngerjain skripsi sampe
malam.

viii


11. Semua teman-teman seangkatan Fakultas Hukum 2012 . terimakasih
banyak sukses dan semangat terus buat kita semua.
12. Dan semua pihak yang telah membantu, baik secara moril ataupun
materiil.
Penulis menyadari, bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak memiliki
kekurangan dan keterbatasan dalam pembuatan skripsi ini, oleh karena itu kritik
dan saran akan diterima dengan lapang dada untuk perbaikannya. Akhirnya
penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Yogyakarta,
Penyususun

Pepy Yuspika Gumilar

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
ABSTRAK ............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 7
A. Tinjauan Tentang Perkawinan...................................................................... 7
B. Tinjauan Tentang Anak .............................................................................. 26
C. Pengakuan Anak Luar Kawin .................................................................... 35
D. Pengesahan Anak Luar Kawin ................................................................... 41
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................... 48
A. Jenis Penelitian ........................................................................................... 48
B. Bahan Penelitian......................................................................................... 49
C. Narasumber ................................................................................................ 50
D. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 50
E. Tempat Pengambilan Bahan Penelitian ..................................................... 51
F.

Teknik Analisis Data .................................................................................. 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS .............................................. 54
A. Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Undang-Undang Perkawinan ..... 54
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji
Materiil Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin ............................................ 55
C. Perlindungan Hukum Satus Anak luar kawin menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 ........................................................................................................... 73

x

BAB V PENUTUP ............................................................................................. 111
A. Kesimpulan .............................................................................................. 111
B. Saran ......................................................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 113
LAMPIRAN ........................................................................................................ 113

xi

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materiil
Kedudukan Anak diluar Kawin menjadi pintu terang dalam permasalahan
kedudukan anak luar kawin dalam hukum di Indonesia. Pasalnya dengan lahirnya
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hak-hak serta perlindungan hukum
terhadap anak luar kawin lebih terjamin. Perlindungan bagi anak wajib diatur
oleh Pemerintah karena anak memiliki peran yang strategis demi mencapai citacita bangsa di masa depan, tanpa perlu adanya diskriminasi apakah anak tersebut
anak sah atau anak diluar perkawinan.
Metode Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dalam hal
perlindungan hukum terhadap anak luar kawin setelah adanya Putusan Mahkmah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 disertai dengan wawancara dengan
narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini.
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa, setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi anak diluar kawin dapat memiliki hubungan keperdataan
dengan kedua orang tuanya sepanjang masih bisa dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Setelah penetapan pengesahan terhadap anak luar
kawin maka hak-hak yang dimiliki anak luar kawin akan sama dengan hak yang
dimiliki seorang anak yang sah.

Kata kunci

: Anak Luar Kawin, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 , Kedudukan Anak Luar Kawin

12

ABSTRAK
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materiil
Kedudukan Anak diluar Kawin menjadi pintu terang dalam permasalahan
kedudukan anak luar kawin dalam hukum di Indonesia. Pasalnya dengan lahirnya
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hak-hak serta perlindungan hukum
terhadap anak luar kawin lebih terjamin. Perlindungan bagi anak wajib diatur
oleh Pemerintah karena anak memiliki peran yang strategis demi mencapai citacita bangsa di masa depan, tanpa perlu adanya diskriminasi apakah anak tersebut
anak sah atau anak diluar perkawinan.
Metode Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dalam hal
perlindungan hukum terhadap anak luar kawin setelah adanya Putusan Mahkmah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 disertai dengan wawancara dengan
narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini.
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa, setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi anak diluar kawin dapat memiliki hubungan keperdataan
dengan kedua orang tuanya sepanjang masih bisa dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Setelah penetapan pengesahan terhadap anak luar
kawin maka hak-hak yang dimiliki anak luar kawin akan sama dengan hak yang
dimiliki seorang anak yang sah.

Kata kunci

: Anak Luar Kawin, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 , Kedudukan Anak Luar Kawin

BAB I
PENDAHULUAN
Anak menurut hukum dibedakan menjadi dua, yaitu antara anak
sah dan anak tidak sah. Menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah”.
Anak tidak sah sebagaimana dimaksud oleh ketentuan UndangUndang pada dasarnya adalah keturunan yang kelahirannya tidak
didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Hal ini sebagai akibat dari
gejala sosial di masyarakat, sebagai contoh fenomena samenlaven (kumpul
kebo), perilaku seks bebas, hubungan zina, kawin siri dan bahkan akibat
dari perkosaan. Anak tidak sah dalam arti luas meliputi anak luar kawin,
anak zina, dan anak sumbang. Sedangkan dalam arti sempit yang
dimaksud dengan anak tidak sah terbatas pada anak luar kawin saja.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang
menentukan status dan kedudukan seorang anak dalam hubungan
hukumnya dengan orang tuanya adalah keabsahan perkawinan kedua
orang tuanya.1

Rossy Novita Khatulistiwa, 2013, “Uji Materil Pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan : Implikasi Terhadap Sistem Hukum Keluarga Di Indonesia” Program Studi Magister
Kenotariatan, Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang, Hlm.2
1

2

Anak luar kawin adalah anak yang lahir dari orang tua yang tidak
menikah secara sah. Oleh kedua orang tuanya, anak tersebut dapat diakui
sebagai anak ketika orang tuanya kawin secara sah. Apabila pengakuan
tersebut dilakukan, maka tetap saja anak tersebut menjadi anak luar kawin
(yang tidak diakui). Dalam banyak hal, hukum mempersamakan antara
anak luar kawin yang diakui dengan anak kandung yang sah.2
Kedudukan hukum seorang anak terhadap orang tuanya ditentukan
berdasarkan status kelahiran anak tersebut. Anak sah mempunyai
kedudukan hukum yang sah di mata hukum sehingga mempunyai
hubungan keperdataan dengan ortang tuanya. Anak luar kawin
berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP, hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga dari ibunya sebagaimana
ditentukan sebagai berikut:3
“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Anak luar kawin juga berhak mendapatkan perlindungan hukum
termasuk dalam bidang keperdataanya seperti yang dapat dinikmati oleh
anak-anak lainnya, tidak boleh ada diskriminasi dalam hal menyangkut
hak asasi manusia. Walaupun disadari bahwa anak sebagai subjek hukum
dan sekaligus sebagai generasi penerus bangsa ini, namun dalam
kenyataannya masih banyak anak-anak yang belum menikmati haknya.
Lahirnya seorang anak diluar perkawinan akan menimbulkan banyak
2
3

Munir Fuady, 2014, Konsep Hukum Perdata, Jakarta, PT Grafindo Persada, hlm. 10
Rossy Novita Khatulistiwa, Loc.Cit.

3

masalah bagi anak tersebut dikemudian hari. Lahirnya anak juga
mengakibatkan hukum antara anak dengan orang tuanya dan keluarga
orang tuanya, bahkan kepada masyarakat dan negara. Lebih dari itu akan
timbul juga masalah seperti status anak, perwalian dan hak waris yang
menyangkut diri anak.
Salah satunya seperti yang terjadi pada Hj. Aisyah Mochtar yang
lebih dikenal dengan nama Machica Mochtar memperjuangkan status
hukum anaknya yakni Muhammad Iqbal Ramadhan yang lahir pada 5
Februari 1996 buah dari perkawinannya dengan Moerdiono yang
dilangsungkan pada 20 Desember 1993 secara agama Islam (siri) dan tidak
di catatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam permohonanya, Machica Mochtar mengungkapkan bahwa
ia dan putranya, Muhammad Iqbal Ramadhan merasa dirugikan hak
konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
UUP. Hal ini karena perkawinan antara Machica Mochtar dengan
Moerdiono tidak diakui menurut hukum positif sehingga anaknya (Iqbal),
tidak mempunya hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan
keluarga ayahnya.4
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam
memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal
semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama
menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal

4

Keterangan Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm.56

4

adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan
catatan sipil. Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit, dan Melis mengartikan
perkawinan adalah:5
“Persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui
oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal” (dalam R Soetojo
Prawirohamidjojo, 1988: 35). Esensi pengertian perkawinan sebagai
lembaga hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena
apa yang terdapat di dalamnya.
Menurut Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
kedudukan anak luar kawin akan diatur dalam Peraturan Pemerintah,
namun sampai saat ini belum terwujud sebagaimana yang diinginkan oleh
masyarakat bahkan negara ini sendiri.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penulis merumuskan judul
dalam penelitian skirpsi ini adalah STATUS ANAK LUAR KAWIN
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 SETELAH
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat diperoleh
rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah status anak luar kawin menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010?
Berdasarkan latar belakang hingga munculnya rumusan masalah
maka penulis mempunyai tujuan dalam melakukan penelitian ini yaitu
sebagai berikut :
5

Salim HS, S.H., M.S., 2011, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Yogyakarta, Sinar
Grafika, hlm.61

5

1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui status anak luar kawin serta perlindungan
hukumnya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 setelah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
2. Tujuan Subyektif
Untuk memperoleh data dan bahan-bahan yang menunjang penelitian
dalam rangka penyusunan skripsi

sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
Berdasarkan latar belakang hingga munculnya rumusan masalah
dan tujuan penelitian maka penulis mengharapkan penelitian ini
mempunyai manfaat yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian guna penulisan hukum ini diharapkan bermanfaat untuk
ilmu pengetahuan bidang perdata yang berkaitan dengan perlindungan
hukum status anak yang lahir di luar perkawinan baik dalam hal
perlindungan

hukum

ataupun

yang

berkaitan

dengan

status

hubungannya dengan orang tua kandungnya menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010.
2. Manfaat Praktis
Penelitian guna penulisan hukum ini diharapkan mempunyai manfaat
praktis dengan dilakukannya penelitian ini juga dapat bermanfaat pada

6

masyarakat luas atas betapa pentingnya status anak dalam sebuah
perkawina

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam terminologi bahasa Arab perkawinan adalah nikah, yang
secara bahasa kata ‗nikah’ bermakna “himpunan atau kesatuan” dapat pula
bermakna “berhimpunnya sesuatu dengan yang lainnya”. Adapun kata
perkawinan menurut kamus bahasa Indonesia adalah “perjanjian yang
diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang siap menjadi suami istri, perjanjian dengan akad yang
disaksikan beberapa orang dan diberi izin oleh wali perempuan”. Hal ini
senada dengan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
yang menyatakan bahwa, perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Yang dimaksud dengan “arti” Perkawinan adalah: “Ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri”,
sedangkan “tujuan” Perkawinan adalah: “membentuk keluarga/rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2

1

Siska Lis Sulistiani, 2015, Keududukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.9
2
K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.14

8

Dengan “ikatan lahir-bathin” dimaksudkan bahwa Perkawinan itu
tidak hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan bathin” saja,
tapi harus kedua-duanya.3
Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan
biologis dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan
atau hubungan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita.4
“perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina
rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami
isteri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh
karenanya akan mengalami suatu proses psykhologis yang berat
yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan”.5
Pengertian ini juga diperkuat dalam pasal 2 Kompilasi Hukum
Islam bahwa perkawinan adalah pernikahan, di mana pernikahan itu
adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholiidha untuk menaati
perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.6
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak.7
Pengertian perkawinan dari beberapa sarjana, sebagai berikut:8

3

Ibid
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, PT
Bina Aksara, hlm.2
5
Ibid
6
Siska Lis Sulistiani, Loc.cit
7
Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm.1
8
Gatot Supramono, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta, Penerbit Djambatan

4

9

a. Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam

bukunya Hukum

Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan—Hukum Adat –
Hukum Agama, mengemukaan:
“menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu
bukan saja sebagai “perikatan perdata” tetapi juga merupakan
“perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan
dan ketetanggan.” Sedangkan menurut hukum agama perkawinan
adalah perbuatan suci (sekramen, samskara), yaitu suatu perikatan
antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan
Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga
serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik desuai dengan
ajaran agama masing-masing.”
b. Sayuti Thalib, S.H., dalam bukunya Hukum Kekeluargaan
Indonesia memberikan pengertian pendek mengenai perkawinan
yaitu:
“Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.
c. Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam bukunya hukum kekeluargaan
mengatakan inti perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut
beliau itu tidak ada nikah (perkawinan)

bilamana tidak ada

hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil bila tidak ada seksual
antara suami isteri, maka tidak perlu ada tenggang waktu (iddah)
untuk menikah lagi bagi bekas isteri itu dengan laki-laki lain.

10

d. Drs. HA. Zahry Hamid dalam bukunya pokok-pokok hukum
perkawinan islam dan undang-undang perkawinan di Indonesia,
memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam sebagai
berikut:
“Pernikahan atau perkawinan ialah suatu ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama
dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang
dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syariat Islam”.
Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu dipahami benar-benar oleh
masyarakat, oleh karena ia merupakan landasan pokok dari aturan hukum
perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan lainnya yang mengatur tentang
perkawinan.9
2. Tujuan Perkawinan
Pada mula-mulanya dapat dipastikan bahwa perkawinan itu adalah
suatu tindakan yang keramat yang mengesahkan hubungan seorang lelaki
dan seorang perempuan , sebagai suami-isteri. Hubungan suami isteri itu
mempunyai tujuan yaitu melangsungkan adanya keturunan.
Di dalam kepercayaan orang Indonesia suatu perkawinan yang
tiada menurunkan anak adalah suatu perkawinan yang tidak berhasil.

9

Ibid, hlm.8

11

Terdapat suatu kepercayaan di Jawa sini bahwa jika dari suatu
perkawinan tidak dilahirkan seorang anak, maka si suami dan si isteri
harus memperbaharui perkawinannya (bangun nikah) dengan harapan agar
supaya dengan pemilihan hari yang lebih tepat, anak keturunan dapat
dilahirkan.
Suatu perkawinan yang disebut perkawinan in extremis bisa juga
dilakukan. Di dalam hal ini ada perkawinan dengan orang yang telah
hampir meninggal.10
Hal ini terbukti pada kenyataan, seperti yang dikemukakan oleh
Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH:11
“bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang
sudah sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu
perkawinan dinamakan “In ex tremis”, yaitu pada waktu salah satu
pihak sudah hampir meninggal dunia”.
Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan
bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa ‗untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

10

Ali Afandi, 1986, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta, Bina Aksara,
hlm.95-96
11
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, PT
Bina Aksara, hlm.1-2

12

dapat

mengembangkan

kepribadiannya

membantu

dan

mencapai

kesejahteraan spritual dan material’.12
Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.13
Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, bila kita rasakan sangat ideal. Karena tujuan
perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi sekaligus
terdapat adanya suatu pertautan bathin antara suami dan isteri yang
ditunjukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal
dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan Kehendak Tuhan
Yang Maha Esa.
Dalam perkawinan “ikatan lahir bathin” dimaksud, adalah bahwa
perkawinan tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja, atau ikatan bathin
saja. Akan tetapi hal ini harus ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin
ikatan lahir dan ikatan bathin yang merupakan pondasi yang kuat dalam
membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Selanjutnya, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu
rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini dimaksudkan,
bahwa perkawinan itu hendaklah berlangsung seumur hidup dan tidak

12

Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat
Hukum Agama, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm.22
13
K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.15

13

boleh berakhir begitu saja. Dan pembentukan keluarga yang bahagia dan
kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas
pertama dalam Pancasila.
Dalam hukum perdata, hubungan antara suami dan isteri hanya
melihat dari segi lahirnya saja atau dari segi hubungan perdata, artinya
yaitu terlepas dari peraturan-peraturan yang diadakan oleh suatu agama
tertentu.14
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat
kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan
menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk
kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai
adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.15
Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa
pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawadah dan rahmah.16
3. Syarat Materiil dan Syarat Formil Perkawinan
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan
terbaagi menjadi syarat intern (materill) dan syarat-syarat ektern
(formal).17

14

Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, Op.Cit , hlm.4
Hilman Hadikusuma, Op.Cit , hlm 23
16
Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.10
17
R. Soetojo Prawirihamidjojo, 1988, Prularisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, Jakarta, Airlangga, hlm 39
15

14

a. Syarat Materiil
Syarat materill adalah syarat yang berkaitan dengan para pihak
yang akan melangsungkan perkawinan.
Sebelum melangsungkan perkawinan, maka calon mempelai
harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh
Undang-Undang sebagaimana diatur Pasal 6-12 Undang-undang
Perkawinan, dan khusus bagi mereka yang pegawai negeri sipil
masih ditambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983.18
Adapun syarat-syarat pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1) Ada persetujuan dari kedua calon mempelai
Syarat yang pertama ini terdapat pada Pasal 6 ayat (1)
Undang-undang
didasarkan

atas

Perkawinan,

bahwa

perkawinan

harus

persetujuan

kedua

calon

akan

yang

melangsungkan perkawinan. Kedua calon itu masing-masing
harus saling setuju untuk mengikat tali perkawinan dengan nya,
yang dituangkan dalam bentuk tulisan.19
Adanya persetujuan calon mempelai sebagai salah satu
syarat perkawinan, dimaksudkan agar supaya setiap orang
dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah
tangga dalam perkawinan.20

18

Gatot Supramono, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta, Penerbit Djambatan,
hlm 14-15
19
Ibid, hlm 15
20
Ibid, hlm 15

15

Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-undang
Perkawinan, dapat kami hubungkan sistem perkawinan pada
zaman dahulu, zaman kakek-nenek kita dan sebelumnya
dimana pada waktu itu terjadi kawin paksa. Seorang anak harus
patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan
orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya.21
Untuk menanggulangi

kawin paksa Undang-Undang

perkawinan telah memeberikan jalan keluarnya, yaitu suami
atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan
menunjuk Pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk kawin itu
dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
2) Umur calon mempelai, untuk laki-laki sudah mencapai umur
19 tahun, sedangkan umur wanitanya sudah mencapai 16 tahun
Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa untuk dapat
melangsungkan perkawinan maka syaratnya bagi laki-laki
umurnya minimal 19 tahun dan untuk perempuan minimal 16
tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan).22
Mengapa disyaratkan umur minimal seperti ini, dalam
Perjelasan

Umum

menyebutkan

bahwa

Undang-undang
Undang-undang

yang

bersangkutan

menganut

prinsip,

dengan umur tersebut calon sumi isteri itu dianggap telah
masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, dan
21
22

Ibid, hlm 15
Ibid, hlm 16

16

dianggap telah mampu mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.23
3) Ada izin dari kedua orang tua atau walinya bagi calon
mempelai yang belum berumur 21 tahun
Mengenai izin untuk melakukan perkawinan dari kedua
orang tua atau walinya hanya berlaku bagi mereka yang belum
berumur 21 tahun. Undang-undang tidak memberi penjelasan
mengapa ditentukan batas 21 tahun ke atas tidak perlu ada izin
yang demikian. Hemat kami karena umur 21 tahun dianggap
telah dewasa untuk melakukan tindakan hukum perkawinan ini
sehingga tidak perlu meminta izin orang tua atau walinya.24
4) Tidak melanggar larangan perkawinan
Untuk dapat melangsungkan perkawinan syarat berikutnya
bahwa mempelai tidak boleh melanggar larangan perkawinan.
Dalam Undang-undang Perkawinan ada 6 (enam) point
larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 yaitu :25
a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
ataupun keatas;
b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.;

23

Ibid, hlm 16
Ibid, hlm 17
25
Ibid, hlm 18
24

17

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu/bapak tiri;
d) Berhubungan susuan, yaitu oarng tua susuan, anak susuan
dan bibi/paman susuan;
e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang;
f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin;
5) Berlaku asas monogami
Asas

ini

juga

menjadi

salah

satu

syarat

untuk

melangsungkan perkawinan. Seorang suami hanya dapat
mempunyai satu orang isteri. Oleh karena itu calon mempelai
laki-laki tidak dapat melangsungkan perkawinan lebih dari satu
orang sekaligus. Kalaupun nantinya si suami hendak beristeri
lebih dari seorang, harus ada alasan yang sah untuk itu.26
6) Berlaku waktu tunggu bagi janda yang hendak menikah lagi
Peraturan tentang waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 11
Undang-undang Perkawinan, khusus bagi seorang perempuan
yang putus perkawinannya, baik karena kematian suaminya
maupun karena perceraian, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari
bagi yang putus perkawinanya karena perceraian, 130 hari bagi

26

Ibid, hlm 19

18

mereka

yang

putus

perkawinannya

karena

kematian

suaminya.27
b. Syarat Formil
Syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan
formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan
perkawinan.
Untuk melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan
menurut undang-undang tata cara yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak dilakukan
demikian, banyak orang yang menyebut perkawinan itu hanya di
bawah tangan. Dan masih ada sebagian masyarakat yang
melaksanakan seperti ini.
Syarat- syarat formil yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1) Pemberitahuan
Dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa
setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya
itu kepada Pegawai Pencatatan di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.28
Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuannya
disampaikan kepada Kantor Urusan Agama, karena berlaku
Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talat, dan Rujuk. Sedangkan bagi orang yang bukan beragama
27
28

Ibid, hlm 20
Ibid, hlm 21

19

Islam pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor Catatan
Sipil setempat.29
2) Penelitian
Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan,
selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan pegawai
pencatat perkawinan. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PP No 9
Tahun 1975 pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan
menurut Undang-undang. Selain itu berdasarkan ayat (2) nya
pegawai pencatat perkawinan juga diwajibkan melakukan
penelitian terhadap :
a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon
mempelai;
b) Keterangan

mengenai

nama,

agama/kepercayaan,

pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
c) Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang,
apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya
belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun;
d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4
Undang-undang dalam hal calon mempelai adalah
seorang suami yang masih mempunyai isteri;

29

Ibid, hlm 22

20

e) Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud
Pasal 7 ayat (2) Undang-undang, yaitu dispensasi dalam
hal calon mempelai tidak memenuhi syarat batas
minimum umur perkawinan;
f) Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau
dalam hal perceraian surat keterangan peceraian, bagi
perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB, apabila salah seoang mempelai
atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
h) Surat

kuasa otentik atau dibawah tangan yang di

sahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang
calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri
karena

sesuatu

alasan

yang

penting,

sehingga

mewakilkan kepada orang lain..30
3) Pengumuman
Setelah

dipenuhinya

tata

cara

dan

syarat-syarat

pemberitahuan serta tiada suatu halangan perkawinan, maka
tahap

berikutnya

adalah

Pegawai

Pencatat

perkawinan

menyelenggarakan pengumuman. Berdasarkan pasal 8 PP No.
9 Tahun 1975 pengumuman tentang adanya kehendak
melangsungkan perkawinan.

30

Ibid, hlm 22-24

21

Adapun

mengenai caranya, surat pengumuman tersebut

ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan pada kantor
pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan
dan mudah dibaca oleh umum.31
4) Pelaksanaan32
Sesuai ketentuan pemberitahuan akan kehendak calon
mempelai untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan
itu dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman di
atas dilakukan.
Mengenai bagaimana tata cara pelaksanaan perkawinan,
Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 ternyata menegaskan
kembali Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, yaitu
perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing
agama dan kepecayaannya itu, supaya sah.
Peraturan Pemerintah ini juga mensyaratkan bahwa selain
itu perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat
perkawinan yang bewenang dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Sesaat sesudah dilangsungkannya pekawinan sesuai Pasal
10 PP No. 9 Tahun 1975, selanjutnya kedua mempelai
menandatangani akta pekawinan yang telah disiapkan oleh
pegawai pencatat pekawinan.
4. Syarat Sah Perkawinan
31
32

Ibid, hlm 24-25
Ibid, hlm 25-26

22

Sahnya suatu pekawinan ditinjau dari sudut keperdataan, apabila
pekawinan itu sudah dicatat atau didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.
Selama pekawinan itu belum terdaftar, maka pekawinan itu belum di
anggap sah menurut ketentuan hukum, walaupun telah memenuhi prosedur
dan tata cara menurut ketentuan agama.
Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan perkawinan hanyalah
sebagai perbuatan administrasi saja dalam perkawinan tersebut dan tidak
menentukan sah atau tidak nya perkawinan.33
Apabila diteliti ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan
dalam Undang-undang Perkawinan adalah sebagai berikut:
“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepecayaannya itu.”
Dinyatakan juga tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan perumusan tesebut berarti
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Jadi pencatatan bukan syarat yang menentukan sahnya
perkawinan.34
Sahnya suatu perkawinan itu ditentukan oleh ketentuan agama dan
kepercayaan mereka yang melakukan perkawinan; berarti apabila suatu
perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dan

33
34

Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, 1987, Op.Cit, hlm. 19
Ibid .hlm 20

23

kepercayaannya, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum
sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.35
Pasal 2 Undang-undang Perkawinan berbunyi:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dikatakan, bahwa tidak ada
perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan

yang

berlaku

bagi

golongan

agamnya

dan

kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.36
Jadi bagi mereka yang memeluk agama Islam, maka yang
menentukan sah tidaknya perkawinan itu adalah ketentuan-ketentuan
hukum Islamn. Hal yang sama juga terdapat pada agama Nasrani dan
Hindu Bali yaitu hukum agama merupakan yang menjadi dasar dari
pelaksanaan sahnya suatu perkawinan.37

35

Ibid
Ibid, hlm 20-21
37
Ibid, hlm 21

36

24

Prof. Dr. Hazairin, SH menjelaskan masalah tidak ada perkawinan
di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dalam
bukunya yang bejudul “Tinjauan Mengenai Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan” adalah sebagai berikut:38
“ jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Dengan demikian
juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu Budha seperti yang
dijumpai di Indonesia. Maka untuk suatu sahnya perkawinan itu,
haruslah
menurut
ketentuan
hukum
agamanya
dan
kepercayaannya.”

Jelaslah suatu perkawinan yang didasarkan pada Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dengan pelaksanaan Peraturan Peraturan No. 9 Tahun
1975 adalah mutlak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan
dari masing-masing orang yang akan melaksanakan perkawinan; kalau
tidak maka perkawinan itu tidak sah.39
5. Akibat Adanya Perkawinan
Akibat dari adanya suatu perkawinan, maka dengan sendirinya
menimbulkan bermacam-macam masalah. Namun masalah yang menonjol
dan juga cukup penting adalah : masalah hubungan suami isteri, hubungan
antara orang tua dengan anak serta masalah harta benda.

38
39

Ibid, hlm 21
Ibid

25

Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum, baik
terhadap suami dan isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan
dalam perkawinan. Akibat-akibat hukum perkawinan tersebut, adalah:40
a.

Akibat perkawinan terhadap suami isteri
1) Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (Pasal 30 UUP),
2) Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat 1 UUP),
3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
dan suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(Pasal 31 ayat [2] dan [3] UUP),
4) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
(Pasal 34 ayat [1] UUP).

b.

Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan
1) Timbulnya harta bawaan dan harta bersama,
2) Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya
terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apa
pun,

40

Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.13-14

26

3) Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 UUP).
c.

Akibat perkawinan terhadap anak
1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah adalah anak
yang sah (Pasal 42 UUP)
2) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya saja.

B. Tinjauan Tentang Anak
1. Pengertian Anak
Adanya anak menunjukan adanya bapak dan ibu yang melahirkan
anak itu, atau dengan kata lain; adalah hasil dari terjadinya suatu
persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, maka
lahirlah seorang anak yang mana laki-laki itu adalah bapaknya dan
perempuan itu adalah ibunya.41
Keberadaan seorang anak diatur dalam peraturan hukum positif
Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah seorang yang belum
berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak, anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa
yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Hal ini
41

Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm.122

27

selaras dengan pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang pengadilan anak dan PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang
pengangkatan anak. Ketentuan tersebut menerangkan bahwa anak yang
masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak
berusia 18 tahun.
Dari pandangan sosial, Hadiotono

berpendapat bahwa anak

merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan
tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari
keluarga dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar
tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam
kehidupan bersama. Dari beberapa terminologi tersebut pada prinsipnya,
anak adalah pribadi yang memiliki peranan strategis dalam mengemban
tanggung jawab masa depan bangsa, namun anak masih memerlukan
peranan orang tua dalam memelihara, mendidik dan mengarahkan dalam
mencapai kedewasaannya.42
Pengertian anak juga diatur dalam Konvensi Anak 1989. Konvensi
tersebut diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990.
Pengertian anak menurut Pasal 1 konvensi anak adalah:
“setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun,
kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anakanak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.

42

Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm 15-16

28

Adapun secara biologis anak merupakan hasil dari pertemuan sel
telur seorang perempuan yang disebut ovum dengan spermatozoa dari
laki-laki yang kemudian menjadi zygot,

lalu tumbuh menjadi janin.

Sehingga secara biologis tidak mungkin seorang anak lahir tanpa adanya
kontribusi laki-laki dan perempuan. Tetapi hal ini berbeda dari sisi yuridis,
seorang anak terkadang lahir tanpa keberadaan seorang ayah, hal ini
terdapat dalam Undang-Undang perkawinan, di mana suatu kelahiran
tanpa disertai dengan adanya perkawinan yang sah (anak luar kawin),
maka si anak hanya akan memiliki ibu sebagai orang tuanya, sedangkan
KUHPerdata menganut prinsip yang lebih tegas

bahwa tanpa adanya

pengakuan dari kedua orang tuanya, maka si anak dapat dipastikan tidak
memiliki tidak akan memiliki ayah maupun ibu secara yuridis.43
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
mengenal 2 (dua) macam status anak yaitu anak sah dan anak luar kawin.
Mengenai anak sah dan anak luar kawin dijelaskan didalam Pasal 42 dan
43 Undang-Undang Perkawinan.
2. Anak Sah
Berdasarkan beberapa aturan perundang-undangan anak sah
diberikan definisi antara lain, sebagai berikut:44
a.

Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa “anak sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah”

43
44

Ibid, hlm.16
Ibid, hlm.18-19

29

b.

Pasal 250 KUHPerdata menyebutkan bahwa “anak yang dilahirkan
atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai
ayahnya”.

c.

Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak sah
adalah: “anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
Hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan
oleh isteri tersebut”.
Sedangkan berdasarkan teori para doktrinal anak sah memiliki

pengertian lain, menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan
anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.45
Menurut Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dengan adanya
perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi
anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya. Maka seorang
anak mendapatkan kedudukan sebagi anak yang sah apabila kelahiran si
anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah
didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Menurut makna etimologi
dari beberapa kategori pengertian tersebut, antara lain:46
1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan
dalam perkawinan yang sah,

45
46

Hilman Hadikusuma, 1999, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.80
Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm. 19

30

2) Seorang anak dibenihkan di luar perkawinan namun dilahirkan dalam
perkawinan yang sah,
3) Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah namun
dilahirkan di luar perkawinan
4) (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh
pasangan suami isteri di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri.
3. Anak Luar Kawin
Seorang anak dikategorikan sebagai anak sah menurut Pasal 42
Undang-Undang perkawinan jika dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari
perkawinan yang sah, ada dua kategori yang dirumuskan oleh UndangUndang untuk menunjukan keabsahan seorang anak, yaitu berdasarkan
waktu kelahirannya dan sebab yang mengaitkan tumbuh nya anak di
dalam rahim seorang perempuan sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
Sedangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang perkawinan , perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Bisa dikatakan bahwa pengertian anak luar kawin
menurut Undang-undang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan bukan
sebagai akibat perkawinan sah yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut. Dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa
anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Jika kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 250 KUHPerdata
yang berbunyi, “tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan

31

sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya”, maka
substansi pengertian keduanya memiliki sedikit perbedaan, karena
ketentuan Pasal 250 KUHPerdata lebih menekankan keabsahan anak
semata-mata hanya pada hubungan kebapakan, hal ini dari kalimat terakhir
yang berbunyi, “...memperoleh si suami sebagai bapaknya”.
Disebutkan dalam Pasal 272 KUHPerdata bahwa, “anak luar kawin
kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau pernodaan darah disahkan
oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka bila sebelum
melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah
terhadap anak itu atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta
perkawinannya sendiri”. Menurut DY Witanto beberapa faktor yang
melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak luar kawin antara
lain:47
a.

Karena usia pelaku masih dibawah batas