Relasi Kekuasaan Antara Bupati Dengan Kepala Desa Dan Kemiskinan Pedesaan Pandeglang

RELASI KEKUASAAN ANTARA BUPATI DENGAN KEPALA DESA
DAN KEMISKINAN DI PEDESAAN PANDEGLANG

ASEP MUSLIM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Relasi Kekuasaan
Antara Bupati dengan Kepala Desa dan Kemiskinan di Pedesaan Pandeglang adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,

September 2016
Asep Muslim
NIM I363110011

RINGKASAN
ASEP MUSLIM. Relasi Kekuasaan Antara Bupati dengan Kepala Desa dan
Kemiskinan Pedesaan Pandeglang. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING,
ARYA H. DHARMAWAN dan ENDRIATMO SOETARTO.
Perkembangan demokrasi lokal di Indonesia mengindikasikan adanya
semacam pembiasan dari nilai-nilai ideal demokrasi yang sesungguhnya. Salah satu
pembiasan tersebut diindikasikan adanya penumpukan kekuasaan pada kelompok
tertentu sebagaimana keberadaan dinasti politik yang menguasai arena kekuasaan
lokal di beberapa wilayah di Indonesia.
Dalam analisis Neher (1995), kecenderungan menumpuknya kekuasaan pada
suatu tokoh atau kelompok tertentu ini dijelaskan merupakan salah satu karakteristik
kultur masyarakat Asia yang masih kuat ikatan patronase-nya. Hal yang sama
kondisinya dengan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Ikatan patronase ini
menggambarkan relasi kekuasaan yang menempatkan patron sebagai pusat

kekuasaannya. Dengan demikian, untuk memahami model demokrasi lokal perlu
dianalisis dari pola-pola relasi kekuasaannya.
Dalam penelitian ini, relasi kekuasaan yang dipilih adalah antara bupati dan
kepala desa. Kedua struktur tersebut dipilih sebagai representasi struktur
pemerintahan yang dipilih secara langsung melalui proses politik. Adapun kepala
desa yang dipilih adalah kepala desa yang memiliki karakter kajawaraan sebagai
sub kultur khas masyarakat Banten.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menjelaskan faktor sosial-kultural yang
mempengaruhi relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa, (2) menemukan pola
relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa dan (3) menganalisis proses relasi
kekuasaan bupati dengan kepala desa dan implikasinya terhadap kemiskinan
masyarakat pedesaan.
Penelitian kualitatif dipilih sebagai metode penelitian dengan menggunakan
desain studi kasus. Tiga Desa yaitu Desa Citalahab, Desa Awilega dan Desa
Campaka sebagai kasus merepresentasikan kepala desa: jawara politisi, pengusaha
dan jawara kolot. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam,
pengamatan terlibat dan studi literatur. Sumber data ditentukan secara purposive
yaitu tokoh ulama, tokoh jawara, bupati, kepala desa, camat, aparatur desa, aparatur
kecamatan, aparatur pemerintahan daerah dan masyarakat biasa.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa adanya pengaruh faktor sosial-kultural

utamanya peran dan kedudukan ulama dan jawara dalam mempengaruhi relasi
kekuasaan bupati dengan kepala desa. Ikatan jaringan kekuasaan yang dibentuk
terhadap jaringan ulama dan jawara sangat menentukan terhadap derajat kekuasaan
yang terbentuk sehingga baik dalam jaringan kekuasaan yang dibangun oleh kepala
desa jawara politisi, jawara pengusaha maupun jawara kolot, ketiganya melibatkan
unsur jaringan ulama dan jawara dalam jaringan kekuasaannya.
Penelitian juga menemukan dua bentuk pola relasi kekuasaan antara bupati
dengan kepala desa yaitu konflik dan kompromi. Pola konflik terbentuk karena
faktor kekecewaan atas stagnansi pembangunan desa, perbedaan kepentingan
kekuasaan, penolakkan bantuan dan apatisme dalam tata kelola desa. Sementara pola
kompromi terbentuk dalam hal proses pembangunan daerah, pendistribusian

bantuan, peningkatan PADS (Pendapatan Asli Daerah Sendiri)/PADes (Pendapatan
Asli Desa) dan penyusunan APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa).
Pola relasi kekuasaan di atas terbentuk sebagai proses yang diawali dari
adanya ketergantungan kekuasaan kepala desa terhadap bupati yang sangat tinggi.
Dalam kondisi ini bupati sangat diuntungkan oleh potensi strukturnya yang
memposisikannya sebagai superordinat terhadap kepala desa. Melalui proses
pengimbangan kekuasaan dengan pembentukan jaringan kekuasaan, pada akhirnya
kepala desa relatif mampu mengimbangi kekuasaannya. Hal ini berdampak kepada

pola relasi kekuasaan yang tidak lagi sangat tergantung terhadap bupati sehingga
menyulut adanya relasi konflik sekaligus kompromi.
Kedua bentuk pola relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa tersebut
berdampak terhadap semakin tersisihkannya kepentingan masyarakat pedesaan. Pola
relasi konflik membuat bupati dan kepala desa terjebak dalam ego kekuasaannya
masing-masing yang membuat keduanya tidak bisa menjalin komunikasi dan
koordinasi pemerintahan yang baik yang pada akhirnya mengabaikan kepentingankepentingan masyarakat. Sementara pola kompromi dilakukan dengan bentukbentuk pelanggaran administrasi yang pada akhirnya juga merugikan masyarakat
pedesaan. Kondisi pola relasi kekuasan ini menunjukkan bahwa relasi kekuasaan
yang terbentuk tidak memberikan manfaat terhadap pengentasan kemiskinan
masyarakat pedesaan di Kabupaten Pandeglang.
Kata kunci: relasi kekuasaan, bupati, kepala desa, konflik, kompromi, kemiskinan.

SUMMARY
ASEP MUSLIM. The Power Relations between The Regent and The Head of
Village and Pandeglangnese Rural Poverty. Supervised by LALA M.
KOLOPAKING, ARYA H. DHARMAWAN and ENDRIATMO SOETARTO.
The development of local democracy in Indonesia indicated a kind of
refraction from the values of the real democracy. The empirical fact showed that
democratization in local level construct the local strongmen that rule in economy,
social and local politics. This fact stimulates an absolute power construction in local

level as a kind of democratic refraction in the shape of political dynasty or political
oligarchy in several local areas, Banten is one of this concrete samples.
The existence of this political dynasty stimulates an accumulation of power
in specific group, so the balance of power is not appeared. In analysis of Neher
(1995), this trend of power accumulation in a figure specific person could be
described as one of the characteristic of the Asian cultural society that has strong
patronage relation. This condition is the same with the most of Indonesian society
especially Banten. This patronage relation is a description of power relation that
position patron as the centre of power. In order to understand the local democratic
model in Banten, it should be analysed by cultural approach in case of the power
relation patterns among all structures in Bantenese society.
In this research, the case of power relation is between the regent and the head
of village in Pandeglang. Those structures are chosen as representation of
government structure that directly elected by the political process. Meanwhile the
chosen head of villages are the head of village that has the character of kajawaraan
as one of the specific sub culture of Bantenese society.
The aim of this research are (1) to explain the social and cultural factors that
have influence in the power relation between the regent and the head of village, (2)
to explore the power relation patterns between the regent and the head of village and
(3) to analyse the impact of power relation to the Pandeglangnese rural poverty.

The research was executed qualitatively by the critic paradigm approach and
case study design. Three villages in Pandeglang namely Citalahab, Awilega and
Campaka Village were chosen as the research location that represented the head of
village that have characteristic of politician jawara, entrepreneur jawara and the old
jawara. Data were collected by in depth interview, participatory observation and
literature study. Data sources were determined purposively namely the figure of
ulama, figure of jawara, regent, head of villages, chief of sub district, village
apparatus, sub district apparatus, bureaucrat and common people.
The result of the research explained that there are the existence of the social
cultural factors influence especially the role of ulama and jawara that have influence
to the power relation between the regent and the head of village. The power network
that constructed to the network of ulama and jawara have determine to the
constructed power structure, so whether in the power network that constructed by
the jawara politician head of village, the jawara entrepreneur or the senior jawara,
all of them involved the network of ulama and jawara in their power network.
The research also found two kinds of power relation pattern between the
regent and the head of village namely conflict and compromise pattern. The conflict
pattern is constructed because of the disappointed factor to the stagnancy of the rural
development, the difference of power interest, the rejection of the government aid


and the apathy of the rural governance. Meanwhile the compromise pattern is
constructed in the process of local development, the distribution of government aid,
the increase of PADS (the local-self income)/PADes (the original village income)
and the arranging of APBDes (the budget of the village income and expenditure).
The power relation pattern above was constructed as the process that started
by the existence of power dependence of the head of village to the regent. In this
condition, the regent is a very beneficial side by the potential of his structure that
position him as the superordinate to the head of village. By the process of power
balancing in the construction of the power network, the head of village is relatively
able to counterbalance to the regent. It has implication to the power relation pattern
that make them were not depend on the regent anymore, so it creates a conflict
pattern and also a compromise one.
Those kinds of power relation pattern have the impact to eliminate the
interest of rural society. The conflict relation pattern makes the regent and the head
of village was trapped in their egoistic individual power that makes both of them
could not create a good communication and a governmental coordination that finally
it will neglect the public interest. Meanwhile the compromise pattern was executed
in the forms of maladministration process that also finally would inflict to the rural
society. The condition of the power relation pattern showed that the constructed
power relation did not give a beneficial contribution to the elimination of the rural

society poverty in Pandeglang regency.
Keywords: power relation, regent, head of village, conflict, compromise, poverty.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

RELASI KEKUASAAN ANTARA BUPATI DENGAN KEPALA DESA
DAN KEMISKINAN DI PEDESAAN PANDEGLANG

ASEP MUSLIM

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor

pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1.

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A.

2.

Dr. H.M. Subhi, MM

Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi:
1.


Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A.

2.

Dr. H.M. Subhi, MM

Judul Disertasi

:

Relasi Kekuasaan Antara Bupati dengan Kepala Desa dan
Kemiskinan di Pedesaan Pandeglang

Nama

:

Asep Muslim

NIM


:

I363110011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S.
Ketua

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr.
Anggota.

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, M.A.
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian Tertutup :
Tanggal Sidang Promosi :

Tanggal Lulus:

18 Juli 2016
22 Agustus 2016

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penyusunan
disertasi ini dapat diselesaikan. Hanya karena kuasa-Nya lah sehingga peneliti diberi
kemampuan untuk menyelesaikan disertasi ini.
Penelitian ini sendiri tidak mungkin dapat terselesaikan seandainya tidak
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak utamanya dari Bapak Dr. Ir. Lala M.
Kolopaking, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang dengan tanpa lelah
memberikan arahan dan bimbingannya kepada peneliti, Bapak Dr. Ir. Arya H.
Dharmawan, M.Sc.Agr yang tidak pernah henti-hentinya memotivasi peneliti baik
dalam kapasitasnya sebagai Anggota Komisi Pembimbing maupun Ketua Program
Studi Sosiologi Pedesaan dan Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto selaku Anggota
Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan-bimbingan bijaknya.
Semoga arahan dan bimbingannya menjadi amalan soleh yang dicatat sebagai nilai
ibadah Bapak-Bapak sekalian.
Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis haturkan kepada:
1. Bapak Rektor IPB.
2. Bapak Dekan Pascasarjana IPB.
3. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Sosiologi Pedesaan atas pencerahan
keilmuan yang diberikan.
4. Teman-teman mahasiswa pascasarjana Sosiologi Pedesaan khususnya kepada
sahabat seperjuangan Pak Mawardi, Pak Martua dan Ibu Jamilah.
5. Ibu Lia, Ibu Susi, Ibu Neni, Mba Anggra, Pak Haji, Pak Ahmad (PSP3) dan
segenap jajaran staf administrasi Fakultas Ekologi Manusia atas jalinan
kekeluargaan dan pelayanan administrasi yang diberikan.
6. Jajaran staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPB atas bantuan kelancaran
administrasi yang diberikan.
7. Rekan-rekan di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pandeglang, Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten Pandeglang dan Unma Banten atas kebersamaan
dan maklumnya selama peneliti melaksanakan studi.
8. Mimih Cibuah, Apih dan Mimih Kadumanggu dan segenap keluarga atas
dukungan morilnya.
9. Istri tercinta Aida Sulistiawati, SE dan buah hati tersayang Najma Humaira dan
Jihan Asyifa Yugairu atas dukungan moril-spirituil yang senantiasa diberikan.
Peneliti menyadari bahwa pemahaman peneliti terkait dengan tema
penelitian relasi kekuasaan dalam disertasi ini masih sangat dangkal, oleh karenanya
peneliti memohon maaf atas ketidaksempurnaannya. Namun demikian peneliti
berharap semoga apa yang tertuang didalamnya memberikan kemanfaatan.

Bogor,

September 2016
Asep Muslim

viii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

x
xi

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Signifikansi Penelitian
Penelitian Terdahulu
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Kebaruan (Novelty)

1
1
6
6
8
18
18

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
Demokrasi Elitis Versus Partisipatif: Pilihan Sistem Pemerintahan Yang
Menyejahterakan
Elit dan Kepemimpinan Lokal, serta Sumber dan Saluran Kekuasannya
Konsep Ulama dan Jawara: Pertautan Antara Politik dan Urusan Keduniaan
Ulama dan Jawara dalam Pertarungan Elmu Putih dan Elmu Hideung
Relasi Kekuasaan Masyarakat Pedesaan dan Kecenderungan
Pola Kekuasaan Ketergantungan
Kemiskinan Pedesaan: Demokratisasi Yang Tidak Menyejahterakan
Kerangka Pikir

19

3. METODOLOGI PENELITIAN
Hipotesis Pengarah
Paradigma Penelitian
Strategi Penelitian: Memahami Relasi Kekuasaan Masyarakat Pedesaan
Metode Penelitian
Analisis Data
Lokasi Penelitian
Tahapan Penelitian

43
43
45
45
47
49
51
52

4. KONDISI KEPENDUDUKAN, KEHIDUPAN KEAGAMAAN DAN
KEMISKINAN PEDESAAN PANDEGLANG
Kondisi Kependudukan dan Perkembangan Daerah
Kebijakan Pemerintah Lokal dalam Kehidupan Keagamaan:
Antara Kepentingan Politik dan Keagamaan
Struktur Kekuasaan Berbasis Pesantren
Agama dan Adat Istiadat: Antara Loyalitas Religi, Kearifan
Tradisi dan Sinkretis
Peran Sosial-Politik Ulama dan Jawara: Pergeseran dari
Pejabat Pemerintahan menjadi Vote Getter Politik dan dari
Pengawal menjadi Pejabat Politik
Gambaran Kemiskinan Pedesaan Pandeglang

19
20
24
26
28
36
38

53
54
59
60
64

66
73

ix
5. DINAMIKA RELASI KEKUASAAN BUPATI DENGAN KEPALA
DESA: PERKEMBANGAN DAN KONDISINYA SAAT INI
Dinamika dan Masa Depan Relasi Bupati dan Kepala Desa
Dampak Demokrasi dan Otonomi Desa
Negara, Ulama dan Jawara: Politik Korporatis
Desa sebagai Ujung Tombak dan Ujung Tombok Pemerintahan
Politik Desa dalam Dinamika Politik Lokal: Quo Vadis Demokrasi Desa?
Antara Relasi Kekuasaan, Politik Anggaran dan Kemiskinan Pedesaan
Ikhtisar
6. RELASI KEKUASAAN BUPATI DENGAN KEPALA DESA:
PERTARUNGAN JARINGAN KEKUASAAN
Struktur Relasi Desa dengan Supra Desa
Struktur Kekuasaan Khas Pedesaan Banten
Pola-Pola Relasi Kekuasaan Pedesaan Banten
Jaringan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa
Pertarungan Jaringan Kekuasaan: Kasus Pencalegan Istri Bupati
Ikhtisar
7. POLA RELASI KEKUASAAN BUPATI DENGAN KEPALA DESA:
RELASI KEKUASAAN YANG TIDAK MENYEJAHTERAKAN
Respon Bupati atas Peran Kepala Desa
Respon Kepala Desa atas Kepemimpinan Bupati
Kepentingan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa
Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa Jawara Politisi
Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa Jawara Pengusaha
Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa Jawara Kolot
Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa: Relasi Kekuasaan Yang
Tidak Menyejahterakan
Ikhtisar
8. KESIMPULAN: RELASI KEKUASAAN DAN KEMISKINAN
PEDESAAN
Faktor Sosial Kultural dalam Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala
Desa
Pola-Pola Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa
Faktor-Faktor Determinan dalam Relasi Kekuasaan Bupati dengan
Kepala Desa dan Dampaknya terhadap Kemiskinan
Masyarakat Pedesaan
Implikasi Penelitian
Implikasi Teoritis
Implikasi Kebijakan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

76
76
81
82
83
84
88
90

95
95
97
101
106
116
125

127
127
128
131
133
136
137
139
145

147
147
148

148
149
149
151
153
158
167

x

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 3.1
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 6.1
Tabel 7.1
Tabel 7.2

Pergeseran Tatanan Pemerintahan Desa
Jenis-Jenis Sumber Kekuasaan
Sumber dan Saluran Kekuasaan dikaitkan dengan
Pembentukan Elit Desa
Status Desa Lokasi Penelitian
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten
Pandeglang Tahun 1996-2013
Pemilahan Golongan Penduduk Kecamatan Sobang
Pergeseran Peran Sosial-Politik Ulama dan Jawara
Dinamika Penguasa dalam Struktur Masyarakat Pedesaan
Pandeglang
Sumber dan Saluran Kekuasaan Ulama dan Jawara
Status Kemandirian dan Kemajuan Desa di Kabupaten
Pandeglang
Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten Pandeglang
Tahun 2011-2014
Dinamika Relasi Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa
Struktur Belanja Daerah Kabupaten Pandeglang Tahun 2014
Relasi Kekuasaan dalam Jaringan Kekuasaan Kepala Desa
Pola Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa
Piutang PBB Perdesaan pada Tiga Desa Lokasi Penelitian

14
22
23
51
57
58
67
69
71
73
74
80
89
108
140
144

xi

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 3.1
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 5.1

Perbandingan Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substansial
Kerangka Pemikiran
Model Analisis
Peta Pandeglang
Struktur Kekuasaan Pesantren Salafiyah di Pandeglang
Struktur Kekuasaan Ulama dan Jawara
Hubungan Antara Relasi Kekuasaan, Politik Anggaran dan
Kemiskinan Pedesaan
Gambar 6.1 Model Aliran Sistem Politik David Easton
Gambar 6.2 Piramida Struktur Kekuasaan Masyarakat Pedesaan Pandeglang
Gambar 6.3 Dinamika Relasi Ulama dan Umaro berdasarkan Perspektif
Peranan Ulama dalam Pemerintahan
Gambar 6.4 Jaringan Kekuasaan Bupati
Gambar 6.5 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa
Gambar 6.6 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Politisi
Gambar 6.7 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Pengusaha
Gambar 6.8 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Kolot
Gambar 6.9 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Politik Desa 1
Gambar 6.10 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Politik Desa 1
Gambar 6.11 Pertarungan Jaringan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa
Gambar 8.1 Hubungan Ketergantungan Kekuasaan dan Relasi
Terbentuknya Pola Relasi Kekuasaan

37
41
50
55
63
72
92
98
99
103
106
109
110
113
115
117
119
124
150

1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suatu kenyataan yang terbantahkan bahwa sebagian besar negara-negara di
dunia saat ini mengadopsi demokasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi itu
sendiri ditransformasikan Barat baik melalui proses kolonialisme maupun pengaruh
politik global. Pada saat demokrasi Barat ditransplantasikan ke dalam sistem
pemerintahan negara-negara non-Barat yang memiliki sejarah dan budaya yang
sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan penyesuaian diri dan mengalami
berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang
berbeda tersebut (Wignjosoebroto: 2002:485-493). Penyerapan nilai-nilai tersebut
dapat dipandang sebagai suatu pembiasan di satu sisi, tetapi dapat pula dipandang
sebagai keberagaman di sisi lain. Dikatakan sebagai pembiasan karena prinsip dasar
demokrasi Barat yang bersandar pada kesamaan (equality), keadilan (justice) dan
kebebasan (freedom)1 ternyata membentuk model demokrasi yang jauh dari ketiga
nilai tersebut. Sementara itu, dikatakan sebagai suatu keberagaman karena
demokrasi itu sendiri sangat menjunjung tinggi pluralisme. Dengan demikian, dalam
tafsiran yang berbeda hal ini membentuk model demokrasi yang berragam untuk
masing-masing level sistem sosial budayanya.
Keberagaman nilai-nilai kultur suatu bangsa berpengaruh besar terhadap
bentukan demokrasinya. Asia dengan kultur Timur yang khas membentuk suatu
demokrasi yang disebut oleh Neher (1994) sebagai Asian Style Democracy2. Pada
model demokrasi Asia, Neher menegaskan bahwa negara-negara Asia tidak
mengimplementasikan konsep demokrasi Barat (global) secara utuh yang
menekankan pada adanya pemilu secara kompetitif, partisipasi politik warga negara
dan kebebasan sipil.
Neher menjelaskan bahwa terdapat faktor kultural yang berpengaruh besar
terhadap pembentukan demokrasi. Karakteristik yang paling mendasar dari faktor
kultural ini adalah adanya patronase yang masih melekat dalam masyarakat Asia.
Adanya hubungan patronase yang sangat kuat ini kemudian membentuk loyalitas
personal yang “dimanfaatkan” oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membentuk
jaringan kekuasaannya yang kemudian di tataran lokal membentuk oligarkhioligarkhi politik.
Loyalitas personal inilah yang menurut Neher mendasari patronase politik
terbentuk di Asia sebagaimana dapat ditelusuri dari loyalitas personal pengikutnya
terhadap tokoh Mao Tse Sung di China, Chiang Kai Shek di Taiwan, Kim Il Sung di
Korea Utara, Ho Chi Minh di Vietnam, Lee Kuan Yew di Singapura, Norodom
Sihanouk di Kamboja, Ferdinand Marcos di Philipina, serta Sukarno dan Suharto di
Indonesia.
Seturut dengan karakteristik demokrasi di kawasan Asia, negara-negara Asia
pun membentuk karakter negaranya masing-masing. Untuk hal ini, Indonesia
1

Idealisme demokrasi Barat dipilari oleh ketiga nilai tersebut sebagaimana dapat ditelusuri dari
gagasan demokrasi yang dijelaskan Dye (1996:7) bahwa demokrasi tercermin dari adanya partisipasi
rakyat, pemerintahan mayoritas, penghargaan martabat individu dan persamaan dalam pengembangan
kemampuan diri.
2
Neher (1994) menjelaskan karakteristik demokrasi Asia yang disebutnya sebagai Asian Style
Democracy itu memiliki beberapa indikator yaitu adanya patron-client communitarism, loyalitas
personal (personalism), respek terhadap otoritas dan hierarki, partai politik dominan dan adanya
negara yang kuat (strong state).

2
menginternalisasikan prinsip dasar Pancasila sebagai konsep pembentukan
demokrasi kenegaraannya. Oleh karenanya istilah yang sering melekat dalam
penyebutan demokrasi di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila3.
Secara politik, Demokrasi Pancasila diadopsi dalam rangka melaksanakan
sistem pemerintahan yang sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia. Namun secara
sosiologis, sebenarnya terdapat dua karakteristik mendasar dari model demokrasi di
Indonesia yaitu demokrasi yang berdasarkan pengambilan keputusan secara
musyawarah dan mufakat. Musyawarah dan mufakat adalah demokrasi yang paling
hakiki dimiliki bangsa Indonesia dalam menyelesaikan seluruh permasalahan
kehidupan kebangsaannya. Sejatinya kedua nilai inilah yang dijunjung tinggi dan
menjadi pijakan dasar setiap pengambilan kebijakan di setiap level pemerintahan
dan kemasyarakatan.
Meskipun Demokrasi Pancasila dijadikan model sistem pemerintahan
(demokrasi formal) saat ini, namun dalam politik praktis berkaitan dengan sejarah
perkembangan pemerintahan di Indonesia ternyata setiap periode melahirkan model
demokrasi yang berbeda-beda. Pada masa orde lama, muncul istilah demokrasi
liberal (1950-1959) seiring dengan perubahan konstitusi UUDS 1950 yang secara
jelas mengadopsi prinsip kebebasan seluas-luasnya model Barat. Pada masa ini juga
melahirkan model Demokrasi Terpimpin dengan ciri utamanya yaitu dominasi
kekuasaan presiden yang relatif tidak sesuai dengan konsep ideal demokrasi yang
menempatkan rakyat sebagai pihak yang paling berdaulat.
Pelaksanaan demokrasi pada masa orde baru semakin membias dari nilainilai demokrasi ideal. Hal ini diindikasikan dengan adanya dwifungsi ABRI,
pengerucutan orientasi politik, mobilisasi pemilihan umum, tidak adanya kebebasan
pers dan tidak adanya jaminan HAM. Lahirnya era reformasi juga ternyata tidak
memberikan jalan yang mudah bagi pelaksanaan Demokrasi Pancasila secara ideal.
Kenyataannya adalah bahwa otonomi daerah sebagai salah satu agenda reformasi
justru memberikan peluang lahirnya pembiasan demokrasi semakin menjadi-jadi
seperti model-model demonstrasi (political demand) yang dilakukan dengan
kekerasan dan oligarkhi politik. Satu fenomena yang paling mengemuka adalah
munculnya local strongman. Kemunculan penguasa lokal ini mengindikasikan suatu
pembiasan demokrasi yang sangat kentara karena salah satu tujuan utama dari
demokrasi itu sendiri adalah bagaimana kekuasaan mutlak (absolute power) dapat
dieliminasi sehingga tercipta keseimbangan kekuasaan (balance of power) diantara
berbagai pihak dalam sistem politik, sementara adanya “raja-raja kecil” tersebut
secara jelas menggambarkan bagaimana dominasi kekuasaan menuju kekuasaan
mutlak terbentuk dalam model demokrasi lokal. Secara konkret, gambaran
demokrasi lokal ini mengemuka pada konsep politik dinasti atau oligarkhi politik
keluarga. Untuk kasus Banten, politik dinasti ini misalnya dapat ditelusuri dari
dominasi politik keluarga Tubagus Chasan Sohib dan keluarga Mulyadi Jayabaya.
Terdapat perbedaan pandangan berkaitan dengan lahirnya model demokrasi
lokal ini. Pandangan pertama menyepakati bahwa lahirnya model demokrasi lokal
sebagai varian demokrasi yang khas ini tidak dapat diabaikan dari hubungannya
dengan perkembangan demokrasi, implementasi otonomi daerah dan penguatan civil
society. Sementara pandangan yang lain menyepakatinya secara bertolak belakang
dimana menganggap bahwa tidak ada keterkaitan diantara ketiga faktor tersebut.
Pandangan kedua berasumsi bahwa munculnya politik dinasti atau “raja-raja kecil”
3

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang
mengandung Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan keadilan social (Marbun, 2005:116).

3
adalah bagian dari proses penelusuran identitas bangsa terhadap model sistem
pemerintahan yang paling ideal. Dengan demikian adanya politik dinasti dalam
pandangan kedua ini dapat dimaknai sebagai bentuk penyerahan kuasa rakyat
terhadap pengadopsian sistem pemerintahan yang paling sesuai dengan sistem
sosialnya (politik dinasti sebagai social order).
Pandangan-pandangan di atas pada dasarnya merupakan upaya untuk
mencari jawaban terhadap suatu anomali demokrasi. Anomali ini diindikasikan
dengan proses demokratisasi di satu sisi yang semakin mengglobal, sementara di sisi
lain berkembang pula model anti-demokrasi dalam politik lokal yang justru
menggunakan label demokrasi untuk menguatkan kesan anti-demokrasinya. Untuk
kasus Banten misalnya, adanya politik dinasti yang terbentuk melalui proses
demokratisasi formal merupakan hal yang dipandang sah secara administrasi dan
politik, tetapi keberadaannya dapat menyulut terjadinya kekuasaan mutlak pada satu
kelompok tertentu. Sementara itu kekuasaan mutlak itu sendiri sangat dihindari
dalam prinsip-prinsip demokrasi karena merupakan salah satu syarat potensial
terbentuknya pemerintahan otoritarian yang sangat berseberangan dengan
demokrasi. Dengan demikian, meskipun adanya politik dinasti ini sah secara proses
pembentukannya4, tetapi hasil akhirnya sangat berpotensi untuk semakin
menenggelamkan nilai-nilai demokrasi. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa
demokrasi di Banten pada prinsipnya tidak berkembang menuju ke arah demokrasi
yang ideal (demokrasi secara substansial) – utamanya berdasarkan prinsip keadilan
dan kesetaraan, tetapi justru semakin membias kepada model-model otoritarian.
Berkaitan dengan kedua pandangan di atas, peneliti sendiri tidak memihak
pada salah satu dari kedua pandangan tersebut. Dalam hal ini peneliti berasumsi
bahwa cara pandang keduanya dapat diterima, namun satu hal yang relatif diabaikan
dari kedua pandangan tersebut adalah faktor kultural. Dalam pandangan peneliti,
faktor kultural memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap terbentuknya
politik dinasti ini.
Terlepas dari perdebatan pandangan-pandangan tersebut, baik model Asian
Style Democracy, Demokrasi Pancasila berikut berragam model bentukannya dan
model demokrasi lokal termasuk demokrasi desa, ketiganya sangat berkaitan dengan
sistem sosial budaya yang membalutnya. Sebagaimana uraian di awal, hal ini
mengindikasikan kuatnya faktor kultural. Dengan demikian maka Asian Style
Democracy pada dasarnya dipengaruhi oleh kultur masyarakat Asia, Demokrasi
Pancasila yang merupakan pengaruh dari kristalisasi nilai-nilai budaya di Indonesia,
dan demokrasi lokal yang tentunya dipengaruhi oleh budaya lokal.
Berdasarkan pendekatan kultural tersebut, dari ketiga model demokrasi di
atas, terdapat karakteristik yang sama yang membentuk kekhasan ketiganya yaitu
melekatnya kultur patronase. Sebagaimana dijelaskan Neher, terdapat dua
4

Dikatakan sah karena dalam proses terpilihnya para penguasa politik lokal Banten dilakukan
berdasarkan kelembagaan demokrasi formal (pemilu yang sah secara administrasi dan politik).
Perkembangan demokrasi secara formal ini juga menunjukkan hal yang positif terutama berdasarkan
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terakhir (2014) yang dilansir BPS yang menunjukkan angka
tertinggi sejak tahun 2009, meskipun angka tersebut berfluktuasi setiap periodenya. Hal ini nampak
dari data IDI dimana Banten mengalami perkembangan cukup baik yaitu tahun 2009 sebesar 67,98;
2010 sebesar 60,60; 2011 sebesar 67,37; 2012 sebesar 65,29; 2013 sebesar 69,79 ; dan 2014 sebesar
75,50 (Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Banten Nomor 40/08/36/Th.IX tanggal 13 Agustus 2015).
IDI ini sendiri dinilai dari tiga aspek demokrasi yang meliputi kebebasan sipil, hak-hak politik dan
lembaga-lembaga demokrasi.

4
karakteristik yang merepresentasikan patronase itu yaitu adanya patron-client
communitarism dan personalism. Dua karakteristik tersebut juga muncul dalam
bentukan model demokrasi nasional. Hal ini nampak dari model demokrasi
terpimpin pada masa Soekarno, hal yang juga identik dengan gaya kepemimpinan
Soeharto. Dalam tataran demokrasi lokal, patronase ini lebih kental lagi, sehingga
sosok “raja-raja kecil” pada prinsipnya menggambarkan kuatnya kultur patronase
dalam suatu wilayah. Hal ini dapat dimaknai bahwa substansi demokrasi semakin
lemah seiring dengan mengecilnya ruang lingkup wilayah geografisnya di satu sisi,
dan semakin kuatnya nilai-nilai tradisi dalam demokrasi di sisi lain. Dengan
demikian karakteristik demokrasi semakin bergeser ke arah anti demokrasi Barat
seiring dengan bergesernya ruang lingkup wilayah geografis dari mulai level benua
(Asia), bangsa dan lokal hingga pada tataran desa.
Untuk memahami kuatnya patronase ini, maka tidak dapat dilepaskan dari
analisis mengenai relasi kekuasaan. Analisis relasi kekuasaan diperlukan karena
patronase pada prinsipnya merupakan relasi yang tidak seimbang antara patron dan
klien. Semakin tidak seimbang, maka semakin tidak demokratis. Pada model
demokrasi yang sangat mengedepankan nilai-nilai kesetaraan (equality) secara
politik, maka secara jelas kultur patronase ini sangat tidak mendukung terhadap
terciptanya kesetaraan tersebut. Inilah rupanya yang membentuk demokrasi khas
Asia yang sangat paternalistik. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara
pola relasi kekuasaan dalam suatu masyarakat dengan model demokrasi yang
berlangsung dalam masyarakat tersebut.
Dalam perspektif lain, analisis terhadap bentukan sebuah demokrasi erat
kaitannya dengan analisis relasi kekuasaan yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal
ini karena demokrasi pada prinsipnya adalah sistem pemerintahan, dan substansi
sistem pemerintahan adalah hubungan antara yang diperintah dan yang memerintah,
dan hubungan tersebut pada prinsipnya adalah relasi kekuasaan. Dengan demikian
untuk dapat menganalisis sebuah model demokrasi erat kaitannya dengan pola relasi
kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
Dalam kaitannya dengan analisis dinasti politik Banten, berdasarkan
kerangka pikir di atas dapat dimaknai bahwa terbentuknya dinasti politik tersebut
adalah karena faktor kultur patronase Banten dan pola relasi kekuasaan patron-klien
yang sangat kuat terutama terhadap dua tokoh informal ulama dan jawara. Dengan
demikian, terbentuknya model demokrasi lokal Banten sangat ditentukan oleh
kuatnya ketergantungan paternalistik masyarakat terhadap kedua tokoh ini.
Kecenderungan relasi kekuasaan patronase membentuk model demokrasi
lokal di Banten, dalam fakta empiris ditemukan pula adanya cara-cara berdemokrasi
(praktek demokrasi) yang relatif berbeda dengan model patronase tersebut. Hal ini
diindikasikan dengan model resistensi dalam berdemokrasi di tataran lokal dari
struktur-struktur yang dipandang klien terhadap patron-nya. Sebagai kasus dalam
penelitian ini adalah model resistensi yang dilakukan oleh para kepala desa terhadap
bupati di Pandeglang dalam bentuk tuntutan untuk melakukan penambahan honor
(insentif) kepala desa sehingga nilainya minimal sama dengan UMK (Upah
Minimum Kabupaten)5. Sebagai rangkaian tuntutannya, Ikades Kabupaten
Pandeglang juga menuntut dilakukannya rotasi sekdes6. Secara individual, kades
juga menuntut perbaikan kesejahteraan sebagaimana dilakukan Kades Nanggala
Kecamatan Cikeusik Sumarna yang menuntut peningkatan insentif kepala desa7.
5

Radar Banten, 21 November 2011.
Radar Banten, 23 November 2011.
7
Kabar Banten, 9 Maret 2012.

6

5
Beberapa tuntutan tersebut mengisyaratkan adanya konflik bupati dan kepala desa
yang dibalut urusan kesejahteraan dan administrasi kepegawaian.
Dalam tataran politik lokal yang lebih nyata, perseteruan politik terjadi
antara Bupati Pandeglang (EK, bupati inkumben pada saat pemilihan kepala daerah
tahun 2010) dengan salah seorang kepala desa (YS, Kepala Desa Kuluwut
Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pandeglang) yang juga menjadi salah satu kandidat
bupati. Meskipun pada akhirnya EK yang kembali terpilih, namun majunya seorang
kepala desa dalam pemilihan kepala daerah ini merupakan indikator kemajuan
demokratisasi di tingkat lokal. Dalam asumsi peneliti, keberanian seorang kepala
desa untuk tampil bersaing dalam arena politik lokal dapat dipandang sebagai
perwujudan pergeseran relasi kekuasaan antara bupati dan kepala desa dimana jika
pada masa sebelum era reformasi kepala desa tidak pernah dapat tampil dalam ruang
politik yang sama dengan bupati, namun setelah memasuki era reformasi
kesempatan tersebut menjadi terbuka, dalam aspek lain aksi kepala desa untuk
tampil dalam politik lokal dapat dipandang sebagai resistensi kepala desa terhadap
bupati.
Kultur patronase dan relasi kekuasaan yang mempengaruhi demokrasi lokal
merepresentasikan hasil dari sebuah model demokrasi lokal berdasarkan sistem
perwakilan (political representativeness) yang sah baik secara sistem politik maupun
sah secara perundang-undangan. Sementara itu pengaruh ulama dan jawara menjadi
sangat vital karena ternyata relasi kekuasaan yang terbangun secara struktural
(hubungan pemerintahan secara formal) tidak menjadi determinan utama dalam
membentuk relasi kekuasaan yang sesungguhnya. Demokrasi bergantung kepada
keputusan-keputusan informal (informal leader); para ulama dan jawara. Kondisi
model demokrasi ini memberikan peluang kepada menumpuknya kekuasaan
kelompok yang mampu membangun jaringan kekuasaan kepada ulama dan jawara
dengan memanfaatkan peluang era demokrasi. Hal inilah yang memupuk munculnya
beberapa klan penguasa atau dinas politik di Banten sebagaimana keluarga JB di
Lebak, TAS di Cilegon dan TCS untuk hampir seluruh wilayah Banten.
Masalah lain berkaitan dengan dampak demokrasi ini adalah pertanyaan
tentang apakah keberadaannya membawa kesejahteraan atau sebaliknya berdampak
kemunduran, keterbelakangan dan kemiskinan bagi masyarakatnya. Pertanyaanpertanyaan tersebut perlu dikedepankan sehubungan dengan pilihan berdemokrasi
sebagai sistem pemerintahan sebuah bangsa merupakan keyakinan bahwa model
demokrasi ini akan membawa kemanfaatan. Dengan demikian model demokrasi
akan tetap dipertahankan jika memberikan kemanfaatan dan tentunya perlu ditinjau
kembali jika sebaliknya yaitu tidak memberikan kemajuan kepada bangsa ini.
Adanya politik dinasti di Banten sebagaimana dijelaskan di atas adalah salah
satu contoh dari demokrasi yang tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan
masyarakat. Dari aspek pembangunan ekonomi, keberadaan desa-desa di Banten
terutama di wilayah Selatan tidak pernah beranjak dari ketertinggalan8. Untuk dapat
memahami permasalahan tersebut, maka perlu melakukan kajian mendalam terkait
praktek berdemokrasi melalui analisis relasi kekuasaan dalam masyarakat Banten
8

Untuk kasus Kabupaten Pandeglang, dari 326 desa yang ada terdapat 140 desa (42,94%)
diantaranya yang berstatus sebagai desa tertinggal. Kabupaten Pandeglang sendiri termasuk satu dari
enam kabupaten di pulau Jawa yang masuk dalam kategori daerah tertinggal selain Kabupaten Lebak
untuk wilayah Provinsi Banten dan Kabupaten Bondowoso, Situbondo, Bangkalan dan Sampang
untuk wilayah Provinsi Jawa Timur (http://bantenterkini.com/kabupaten-lebak-dan-pandeglangmasuk-kategori-daerah-tertinggal/ diakses tanggal 6 Juni 2016).

6
yang dalam penelitian ini mengambil unit analisis relasi kekuasaan antara bupati
dengan kepala desa di Pandeglang.
Signifikansi Penelitian
Penelitian relasi kekuasaan bupati dan kepala desa sangat relevan untuk
diteliti karena beberapa alasan. Pertama, penelitian ini merupakan upaya untuk
memahami secara lebih mendalam konsep kekuasaan masyarakat pedesaan.
Kedua, tinjauan pelaksanaan otonomi daerah selama ini kurang menyentuh
kekhasan lokal yang berragam sebagai suatu kenyataan Indonesia yang ber-Bhineka
Tunggal Ika. Pengesampingan tinjauan kekhasan lokal menjadikan negara lalai
dalam mempertimbangkan perbedaan keberagaman daerah terlebih desa, padahal
perbedaan inilah yang menjadikan demokrasi membias kepada kekhasan lokal yang
dimilikinya – terlepas dari pemahaman demokrasi prosedural ataupun demokrasi
substansial. Sensitivitas politik lokal sejatinya perlu dipertimbangkan sehingga
otonomi menyentuh sasarannya, serta nilai-nilai kearifan lokal tidak dilangkahi oleh
prinsip-prinsip demokrasi atau sebaliknya. Pada tataran ini tentunya yang
diharapkan adalah bagaimana demokrasi dan nilai-nilai kearifan lokal dapat
bersinergi dengan baik.
Ketiga, relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa sangat menentukan
dalam keberhasilan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karenanya harmonisasi
diantara keduanya perlu mendapatkan perhatian serius sehingga mendukung
terhadap upaya-upaya pembangunan masyarakat.
Keempat, penelitian ini merupakan upaya pemikiran kritis implikasi praktek
demokrasi terhadap terjebaknya kemiskinan masyarakat pedesaan.
Penelitian Terdahulu
Relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa tidak dapat dilepaskan dari
peran yang mainkan oleh ulama dan jawara. Oleh karenanya tinjauan penelitian
hubungan ulama dan jawara menjadi menjadi sangat penting dalam kaitannya
dengan relasi bupati dengan kepala desa ini. Dinamika peran ulama dan jawara
sangat menarik karena meskipun keduanya berada dalam ranah tradisi ternyata
perkembangan kebijakan politik menjadi faktor determinan terhadap relasi tersebut,
sehingga dalam hal ini tidak hanya faktor budaya yang memberikan pengaruhnya.
Oleh karenaya dalam melakukan kajian tentang ulama dan atau jawara tidak hanya
bisa ditinjau dari dimensi budaya semata, karena dalam banyak kondisi justru faktor
politiklah yang banyak mempengaruhinya. Fakta ini misalnya dapat ditelusuri dari
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Aziz (2002), Hamid (2010), Bandiyah
(2010) dan Alkhudri (2013).
Pembatasan konsep ulama dan jawara yang dibingkai oleh relasi kekuasaan
keduanya juga mewarnai penelitian-penelitian yang telah dilakukan semisal
Kartodirdjo (1984) yang mengintrodusir istilah “bandit sosial” yang dilekatkan
kepada jawara karena pengaruh politik kolonial Belanda dan Tihami (1992) yang
mengkonstruksi jawara sebagai santri (murid kyai). Istilah “bandit sosial” dan
jawara sebagai santri ini kemudian banyak melatarbelakangi usaha-usaha kajian
jawara sebagaimana yang dilakukan oleh Bandiyah (2010) yang mencoba
menelusuri transformasi jawara sebagai “bandit sosial” pada masa kolonial menjadi
pejabat politik pada masa kontemporer.
Naik turunnya relasi ulama dan jawara banyak dikaitkan dengan terjadinya
pergeseran peran sosial dari kedua tokoh informal ini, sehingga kesan pembalikkan
peran yang selama ini nampak dalam konstelasi politik lokal Banten dimana jawara

7
cenderung lebih mendominasi juga banyak dianalisis dalam penelitian yang
dilakukan oleh Sunatra (1997), Suhaedi (2003), Alamsyah (2009), Hamid (2010),
Bandiyah (2010), Pribadi (2011) dan Alkhudri (2013).
Kecenderungan paling nampak dari menguatnya peran politik jawara
terutama setelah lahirnya era reformasi banyak dijadikan tema sentral dalam
penelitian-penelitian seperti yang coba dieksplorasi oleh Alamsyah (2009), Hamid
(2010), Bandiyah (2011), Pribadi (2011) dan Alkhudri (2013). Penelitian-penelitian
tersebut dilakukan setelah Banten memisahkan diri dari Jawa Barat sebagai provinsi
mandiri. Artinya adalah lahirnya Banten sebagai provinsi telah secara langsung
mempengaruhi penguatan posisi politik lokal jawara, yang padahal sebagaimana
dijelaskan Aziz (2002) pada awal pembentukan Banten sebagai provinsi, peran
strategis jawara sebenarnya belum memperlihatkan kekuatannya.
Dalam memahami relasi kekuasaan ulama dan jawara itu sendiri tidak bisa
dilepaskan dari tatanan relasi kekuasaan yang berlangsung dalam masyarakat
Banten. Oleh karenanya tinjauan tentang relasi-relasi kekuasaan pada masyarakat
pedesaan sangat penting dilakukan untuk dapat menggambarkan keterkaitannya
dengan pembentukan relasi kekuasaan ulama dan jawara. Diantara relasi-relasi
kekuasaan yang terbentuk, hubungan patron-klien mendominasi hampir sebagian
besar kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia sebagaimana tertuang dalam
ulasan yang dilakukan oleh Saxebol (2002), Hefni (2009), Kausar (2011), dan
Rustinsyah (2011; 2012).
Rujukan yang paling penting dari hubungan patron-klien ini adalah Scott
(1972) sebagai salah seorang penggagas pertama yang mengaitkannya dengan
hubungan pertukaran. Oleh karenanya konsep-konsep hubungan pertukaran perlu
dipersandingkan untuk memahami hubungan patron-klien secara komprehensif
sebagaimana upaya yang dilakukan oleh Emerson (1962). Melalui pemikiran
Emerson inilah dapat dipahami hubungan ketergantungan kekuasaan antara patron
dan klien yang mengikat sekaligus memelihara jalinan relasi diantara keduanya.
Sementara itu Sidel (1989) memberikan wawasan yang lebih luas tentang adanya
pola-pola relasi kekuasaan yang lebih mendalam dibandingkan dengan relasi patronklien, meskipun tidak dapat dilepaskan dari karakteristik yang serupa dengan relasi
ini. Artinya pada masyarakat-masyarakat dengan budaya patronase yang sangat kuat,
sangat dimungkinkan terjadinya hubungan yang lebih mendalam dibandingkan
dengan relasi patron-klien ini. Kecenderungan ini muncul di masyarakat pedesaan
Banten dalam bentuk relasi yang peneliti sebut sebagai relasi patron-klien khas
pedesaan Banten. Justru karena alasan ini pulalah, penelitian ini dilakukan sehingga
memperkaya tinjauan relasi patron-klien yang ragamnya akan bervariasi sesuai
dengan kultur yang membingkainya.
Dalam kaitannya dengan relasi desa dan supra desa yang menempatkan desa
sebagai subordinat menjadi fokus kajian untuk beberapa penelitian terutama yang
dipilari oleh penelitian Nordholt (1987) dengan tekanan hubungan antara camat dan
kepala desa. Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Dewi (2003) yang
menegaskan posisi desa adat dalam era otonomi desa, Dewi (2006) yang
menggambarkan konflik nagari sebagai akibat dari kebijakan otonomi daerah,
Nurdin (2009) yang menggambarkan hubungan negara dan nagari dalam kaitannya
dengan proses rekonstruksi nagari di Minangkabau dan Arisnaldi (2012) yang
menggambarkan pelaksanaan otonomi (desa dan daerah, meskipun tekanannya lebih
kepada otonomi daerah) dan demokrasi dalam dominasi kekuasaan negara.

8
Perkembangan terkini berkaitan dengan otonomi daerah dan desa juga
mempengaruhi relasi-relasi kekuasaan diantara unsur-unsur yang ada dalam tata
kelola desa, baik antara para elit desa sebagaimana yang nampak dalam penelitian
yang dilakukan Nurman (2002), Cahyono (2005), Akbar (2008), dan Nuraini (2010),
ataupun antara elit desa dengan masyarakat desa yang nampak dalam penelitian
Hudayana (2011).
Selain penelitian-penelitian tentang relasi kekuasaan masyarakat pedesaan
dan penelitian-penelitian tentang tata kelola desa, penelitian-penelitian tentang
kemiskinan pedesaan di Pandeglang juga menjadi sangat penting sebagai referensi
dalam memahami aspek-aspek kemiskinan dan strategi penanggulangannya.
Berdasarkan penelitian Lestari (2014) diketahui adanya korelasi yang signifikan dari
variabel modal sosial terhadap kemiskinan dengan suatu rekomendasi bahwa
partisipasi dalam organisasi berkontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan.
Penelitian Tono (2009) merekomendasikan bahwa peran pemerintah sangat penting
dalam upaya memadukan upaya penanggulangan secara makro di tingkat lokal dan
secara mikro di tingkat rumah tangga miskin. Kesimpulan yang serupa juga dapat
ditelusuri dari penelitian Taufiqurokhman (2014) yang menyimpulkan kegagalan
peningkatan IPM di Pandeglang dipengaruhi oleh kurang optimalnya peran
pemerintah daerah dalam pengorganisasian, penafsiran dan penerapan pelaksanaan
program Jamsosratu. Sementara itu Lestari (2014) menyimpulkan bahwa program
pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah belum menekankan pada
strategi penanganan yang bersifat kewilayahan sehingga sebaran penduduk miskin di
Pandeglang cenderung bersifat mengelompok (cluster). Selain peran pemerintah,
terdapat peran yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan yang sangat
signifikan membantu upaya penanggulangan kemiskinan. Penelitian ini tersaji dalam
penelitian Sholahudin (2000) yang menjelaskan Sistem Orang Tua Angkat Dana
Firdaus Mathla’ul Anwar telah memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan
kemandirian pemuda pedesaan di Pandeglang.
Selanjutnya, untuk mempermudah pemilahan penelitian-penelitian yang
mendukung terhadap pembahasan penelitian yang dilakukan, maka peneliti akan
menyajikan tiga tinjauan pendekatan penelitian yaitu penelitian-penelitian tentang
relasi kekuasaan masyarakat pedesaan, penelitian-penelitian penatakelolaan desa
dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan desa dan supra desa dan penelitianpenelitian tentang kemiskinan pedesaan di Pandeglang. Ketiga tinjauan penelitian
tersebut tersaji dalam daftar lampiran disertasi ini.
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Untuk menganalisis relasi kekuasaan bupati dan kepala desa pada prinsipnya
terdapat dua faktor yang mempengaruhinya. Pertama adalah menyangkut kebijakankebijakan politik pemerintah pusat melalui regulasi pengaturannya, dan kedua
berkaitan dengan karakter sosio-kultural yang membalut relasi kekuasaan tersebut.
Meskipun relasi desa supra desa berada dalam wilayah birokrasi modern yang
berdasarkan prinsip-prinsip legal-formal, pada dasarnya karakter sosio-kultural ini
memiliki peranan yang sangat urgen sehingga dalam kondisi tertentu justru standar
formalistik birokrasi modern ini terpinggirkan. Untuk itulah relasi desa dan supra
desa di Indonesia akan sangat berragam dikaitkan dengan bervariasinya nilai sosiokultural bangsa ini. Signifikansi kedua pertimbangan (aspek kebijakan politik dan
nilai sosio-kultural) inilah yang akan ditinjau untuk memahami proses relasi
kekuasaan antara desa dan supra desa.

9
Dinamika relasi kekuasaan bupati dan kepala desa mengalami perubahan dari
masa ke masa sejalan dengan regulasi formal yang mengatur hubungan sistem
pemerintahan daerah. Diawali pada masa orde lama, desa diberikan posisi yang
cukup strategis misalnya dengan menempatkannya sebagai titik berat otonomi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah
yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Dalam ketentuan
peraturan ini, desa menjadi daerah tingkat ketiga di bawah provinsi dan kabupaten.
Meskipun ketentuan ini secara riil tidak terlaksana sebagian besar karena kondisi
peralihan kenegaraan, namun ketentuan ini merupakan salah satu penghargaan
kepada desa untuk mewujudkan otonominya.
Kondisinya kemudian menjadi terbalik dengan adanya kecenderungan
meminggirkan desa (dan daerah) ketika memasuki masa or