Relasi Kekuasaan Antara Kepala Desa Dengan Camat (Studi Kasus : Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku1

Pembagian sebagaimana dalam Trias Politica dikonsepsikan oleh Jhon Locke (1632-1704) membagi tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif. Sedangkan Montesquieu (1689-1755) membagi tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya pembagian kekuasaan dalam tiga lembaga tersebut diharapkan dalam menjalankan pemerintahan negara tidak terjadi tumpang tindih diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Sebagaimana dalam masa orde . Pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua pemahaman tentang orang yang dikuasai dan tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi yang lain. Untuk itulah kekuasaan di dalam Negara perlu dan bahkan harus dibagi.

1


(2)

baru kekuasan bersifat sentralistik, akan tetapi amandemen UUD 1945 memperjelas pembagian dan pemisahan kekuasaan.

Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia kekuasaan eksekutif dari masa orde baru bersifat sentralistik sehingga Kepala Desa menjadi pusat kekuasaan dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kekuasan eksekutif berwenang menetapakan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang dan melakukan kontrol terhadap lembaga pembuat undang undang ini disebabkan oleh beberapa hal. Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada eksekutif. Dalam hal ini kekuasaan eksekutif mempunyai tugas bertanggung jawab atas pelaksaan hukum, mengawasi jalannya pemerintahan sipil dan militer dan melakukan kepemimpinan politik atas lembaga pembuat UU.

Pada masa orde baru desa mempunyai kewenangan dalam mengatur desanya, yang diatur berdasarkan keputusan menteri dalam negeri tentang pedoman umum kewenangan desa2

1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. . Dalam UU No 32 Tahun 2004 Pasal 206 Desa mempunyai wewenang yang mencakup:

2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.

2

HAW. Widjaja, 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan Utuh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2003. Hal 56.


(3)

3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.

Dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh pemerintah desa bersama dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Pemerintah desa selaku kekuasaan eksekutif di desa memiliki peran aktif dalam menentukan kebijakan dan peraturan desa. Pemerintah desa merupakan lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa yang dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi dan wewenang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini BPD juga berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Pembentukan Peraturan Desa yang melibatkan Kepala Desa dan BPD disebabkan BPD merupakan lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota dan urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan pada desa. Di awal reformasi adanya pergeseran sistem pemerintahan daerah, yang semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik, dimana diimplementasikanya otonomi


(4)

daerah yang diberikan kepada derah kabupaten/kota dan pemerintahan desa. Implementasi dari perubahan ini mengakibatkan tidak hanya perubahan pola hubungan antara pemerintah kabupaten/kota dengan kecamatan, tetapi juga hubungan antara kecamatan dan pemerinatahn desa3

1. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

. Berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kecamatan mempunyai kewenangan yang mencakup:

2. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.

3. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan.

4. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.

5. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan.

6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan. 7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup

tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan4

.

4


(5)

Wewenang Kecamatan yang secara langsung didapatkan oleh Camat hanya sebatas mengkoordinir beberapa bidang saja, selain yang telah disebutkan harus melalui pelimpahan wewenang yang bersifat delegasi dari kepala daerah. Hal ini menempatkan seorang Camat pada posisi yang dilematis, satu sisi Camat mempunyai wilayah dan sisi lain tidak mempunyai kewenangan yang luas dalam memimpin bawahannya, seperti Kepala Desa dan Lurah, dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Pelimpahan wewenang kepala daerah kepada Camat dan kecamatan akan memberikan ruang gerak yang cukup luas dalam melaksanakan tugasnya, namun kebanyakan pelimpahan wewenang ini tidak disertai dengan sarana dan prasarana yang mendukung, sehingga pelaksanaannya belum terlalu maksimal.

Dalam implementasi otonomi daerah kekuasan desa berada pada elit politik desa yakni Kepala Desa. Kekuasaan Kepala Desa sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang menjadi otoritas Kepala Desa. Dalam hal ini kekuasaan desa juga jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa. Dalam dominasi kekuasan desa cenderung menyimpang akan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan adanya pembagian kekuasaan yang tidak merata antara kekuasaan Kepala Desa dan perangkat desa. Kekuasan desa berada di bawah Kecamatan, dalam laporan pertanggungjawaban desa disampaikan kepada Bupati/Walikota. Kecamatan merupakan suatu wilayah administratif yang dimana Camat yang mempunyai kekuasan dalam menjalankan tugasnya. Camat berkedudukan di bawah dan


(6)

bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah. Kekuasaan Camat membina penyelenggaraan pemerintahan desa dalam menjalankan program-program yang dilakukan oleh desa dalam dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1979 hubungan kerja antara Kepala Desa dengan camat yang semula bersifat hirarki-subordinatif, sekarang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi bersifat pengawasan, pembinaan, fasilitasi dan kerjasama.

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana relasi kekuasaan antara Kepala Desa dan Camat. Dimana pola relasi kekuasaan sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan, dalam pelaksanaannya diwarnai oleh praktek-praktek yang tidak harmonis dan menunjukkan terjadinya dominasi Camat ke Kepala Desa. Wujud dari terjadinya hubungan yang tidak harmonis antara Kepala Desa dan Camat terlihat sejauh mana program-program yang berelesasi yang dilakukan dan menjalin komunikasi antara Kepala Desa dan Camat.

Dari uraian yang telah dipaparkan diatas peneliti memiliki ketertarikan untuk membahas relasi kekuasaan, Maka dalam hal ini peneliti mengangkat judul penelitian tentang Relasi Kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat (Studi Kasus : Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan).


(7)

B. Rumusan Masalah

Dalam menjalankan suatu program dalam desa adanya relasi dengan Kecamatan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Namun dalam pelaksanaan nya, kekuasaan Kepala Desa cenderung memperlihatkan dominasi kekuasaannya. Dari pemaparan pada latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan?

C. Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini, perlu membuat pembatasan masalah terhadap apa yang diteliti, dengan tujuan untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dan hasil penelitian dan tidak menyimpang dari tujuan penulisan yang ingin dicapai. Penelitian ini berfokus pada Relasi kekuasan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana relasi kekuasan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan.


(8)

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi peneliti maupun bagi orang lain, terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan baru bagi peneliti dan mengembangkan kemampuan berfikir untuk menulis karya ilmiah.

2. Penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan tentang relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat.

3. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang Kekuasaan politik dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

F. Kerangka Teori 1. Teori Kekuasaan

Kekuasan merupakan konsep yang sangat krusial dalam ilmu sosial pada umumnya, dan dalam ilmu politik khususnya dalam hal ini politik beranggapan bahwa kekuasaan inti dari politik yaitu untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan sangat berkaitan dengan pengaruh dan mempengaruhi. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) dalam artian bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler and ruled), satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi


(9)

perintah. Definisi mengenai kekuasaan kekuasaan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Talcott Parson seperti yang dikutip oleh Miriam Budiarjo5

Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif (Power then is generalized capacity to secure the

performance of binding obligations by units in a system of collective).

:

Jadi, Parson melihat segi positif dari kekuasaan jika di hubungkan dengan authority dan kemungkinan-kemungkinan. Rencana-rencana bersama dapat terlaksana dengan baik. Sementara itu apabila kita mengacu pada teori kekuasaan menurut Max Weber dan Barbara Goodwin.

Sebagaimana yang dikutip dari buku Miriam Budiarjo “ Dasar-Dasar Ilmu Politik” menurut Max Weber dalam bukunya Wirtschaft Und Gessellsaft (1922), kekuasaan itu diartikan sebagai berikut :

Kekuasan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksankan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini (Macht beduetet jede chance innerhalb einer soziale bezieung den eigenen willen durchzusetchen auch gegen

widerstreben durchzusetchen, gleichviel worauf diese chance beruht)6

5

Miriam Budiarjo. Ibid Hal 63.

.

6


(10)

Gagasan yang disampaikan oleh Max Weber, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.

Sebagaimana yang dikutip dari buku Rudi Salam Sinaga “ Pengantar Ilmu Politik” menurut Barbara Goodwin, kekuasaan itu diartikan sebagai berikut :

Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya dia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya7

Dalam pandangannya, Goodwin biasanya kekuasaan diselenggarakan melalui isyarat yang jelas. Ini sering dinamakan kekuasaan manifest. Namun kadang-kadang isyarat itu tidak ada. Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasaan eksplisit. Dalam perkembangannya, kekuasaan digunakan untuk mempengaruhi kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan itu sendiri. Hal ini relevan dengan definisi yang disampaikan oleh para ilmuwan politik yang secara umum menjelaskan bahwa kekuasaan adalah mempengaruhi seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan yang diinginkan. Kekuasaan mempunyai jangkauan cukup luas meliputi

.

7


(11)

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah, kemampuan untuk memberi keputusan.

Menurut Max Weber, kekhasan hegemoni dan dominasi adalah pihak yang berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Suatu hegemoni dan dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan atau pembenaran masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni maupun dominasi merupakan suatu paksaan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat kesejahteraan.

Lebih lanjut, Weber membedakan tiga jenis dominasi yakni dominasi karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. 1) Dominasi karismatik adalah dominasi yang keabsahannya didasarkan atas kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa. Sang penguasa menjalankan kekuasaannya bukan atas dasar peraturan yang berlaku tetapi atas dasar peraturan yang dibuat sendiri dan kesetiaan bawahan mentaati aturan tersebut. 2) Dominasi tradisional, merupakan perkembangan dominasi kharismatik yang telah mengalami pergeseran. Dalam dominasi tradisional penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya. Biasanya dominasi demikian merupakan kelanjutan dominasi sebelumnya. 3) Dominasi


(12)

legal rasional kekuasaan pemimpin didasarkan atas aturan hukum yang dibuat secara sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan penguasa didasarkan pada hukum, pemimpin dipilih atas dasar hukum yang berdasarkan kriteria tertentu, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum pula.

Dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Jadi, selalu ada hubungan yang tidak seimbang atau asimetris. Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan ketergantungan (dependency) dan lebih timpang hubungan ini, lebih besar pulasifat ketergantungannya. Hali ini oleh generasi pemikir decade 20-an sering disebut sebagai dominasi, hegemoni, atau penundukan. Istilah wilayah kekuasaan

(domain of power) melihat siapa-siapa saja yang di kuasai oleh orang atau

kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada pelak, kelompok organisasi atau kolektivitas yang kena kekuasaan.

Konsep kekuasaan (politik) diupayakan sebagai suatu elaborasi dengan menjadikan kekuasaan itu sebagai fenomena politik kekuasaan8. Untuk memahami fenomena kekuasaan politik, Charles F Andrain dan Ramlan Surbakti seperti yang dikutip oleh P. Anthonius Sitepu dapat ditinjau dari enam (6) dimensi yaitu9:

8

P. Anthonius Sitepu. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.130. 9


(13)

1. Dimensi Potensial dan Aktual

Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisir, dan jabatan. Sebaliknya seseorang yang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila telah menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan-kegiatan politik secara efektif.

2. Dimensi Konsensus dan Paksaan

Dalam menganalisis hubungan kekuasaan harus membedakan kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan consensus. Para analisis politik yang lebih menekankan aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, apabila menekankan pada aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik.

3. Dimensi Positif dan Negatif

Tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan positif dan negatif. Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber


(14)

kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain mencapai tujuan yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi juga merugikan pihaknya.

4. Dimensi Jabatan dan Pribadi

Dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan, kekuasaan terkandung erat dalam jabatan-jabatan. Penggunaan kekuasaan yang terkandung dalam jabatan secara efektif tergantung pada kualitas pribadi yang dimiliki dan ditampilkan oleh setiap pribadi yang memegang jabatan. Dalam masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan didasarkan atas realitas pribadi lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung di dalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan kekuasaan efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi. 5. Dimensi Implisit dan Eksplisit

Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak terlihat dengan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan dimensi eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak lain”.


(15)

6. Dimensi Langsung dan Tidak Langsung

Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Yang termasuk dalam kategori sumber-sumber kekuasaan adalah sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi) normatif jabatan, keahlian, status sosial popularitas pribadi, massa yang terorganisasi, senjata, penjara, kerja paksa, teknologi, aparat yang menggunakan senjata. Sedangkan kekuasaan yang tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.

2. Teori Birokrasi

Secara etimologis Birokrasi berasal dari kata bureau (bahasa Perancis) dan Kratos (bahasa Yunani). Bureau adalah meja tulis dan kratos adalah pemerintahan. Secara sedehana dapat di katakana bahwa Birokrasi adalah pemerintahan dari meja ke meja atau di balik meja, atau juga orang-orang yang bekerja di belakang meja tulis di kantor-kantor. Namun, pengertian tersebut berkembang, dalam artian politik, Birokrasi di artikan sebagai wujud dari aparat pemerintahan Negara dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan melalui


(16)

serangkaian tahapan atau biro-biro yang masing-masing diberi mandat utuk menentukan kebijakan.

Max Weber adalah seorang sosiolog Jerman yang kenamaan awal abad ke-19 menulis karya yang sangat berpengaruh bagi negara-negara yang berbahasa inggris dan di Negara-negara di daratan Eropa. Konsep yang terkenal Max Weber adalah konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang kritiknya terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasiitu profesional dan rasional dijalankan. Tipe ideal merupakan konstruksi abstrak yang membantu kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan.

Menurut Weber bahwa proses semacam ini bukannya menunjukkan objektivitas dari esensi birokrasi, tipe ideal itu bias dipergunakan untuk membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Menurut Weber tipe ideal birokrasi ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Istilah rasional dengan aspek pemahamannya merupakan kunci dari konsep tipe ideal birokrasi Weberian.


(17)

Menurut Weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut10

1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatanya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.

:

2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.

3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.

4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat, merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.

5. Setiap pejabat disileksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.

6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap

10

Miftah Thoha. 2008, “Birokrasi Pemerintahan Indonesia Di Era Reformasi”, Kencana Prenada Media Group. Hal.18-19.


(18)

pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.

7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merita sesuai dengan pertimbangan yang objektif.

8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya

dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.

Butir-butir tipe ideal tersebut tidak semua bisa diterapkan dalam kondisi tertentu oleh suatu jenis pemerintahan tertentu. Penekanan Weber terhadap rasionalitas dan efisiensi sebenarnya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi kehidupan Max Weber pada saat itu. Dengan demikian, ukuran rasionalitas atas efisiensi amat berbeda dengan kriteria untuk ornanisasi zaman modern sekarang ini yang kondisinya tidak sama dengan zamannya Max Weber. Model birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah mesin yang disiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.

Gagasan birokrasi dikemukakan oleh Hegel dan Karl Marx, pemikiran Karl Marx terhadap birokrasi merupakan suatu gejala yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam hubungannya dengan administrasi negara. Pandangannya terhadap birokrasi hanya bisa dipahami dalam kerangka umum teorinya tentang


(19)

perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme. Karl Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis dan mengkritisi filosofi Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintahan) dengan masyarakatnya.

Karl Marx bisa menerima konsep pemikiran Hegel tentang ketiga aktor tersebut, yakni : birokrasi, kepentingan particular, dan kepentingan general (pemerintahan). Birokrasi menurut Karl Marx merupakan suatu kelompok partikular yang sangat spesifik11

Birokrasi menurut Karl Marx merupakan isntrumen kelas kapitalis. Oleh karena itu, melalui revolusi proletariat dan kehadiran kelas-kelas di dalam masyarakat maka negara dan birokrasinya harus dihancurkan. Menurut Karl Marx di dalam masyarakat komunis itu dimana tidak ada eksploitasi dan pembagian sosial maka keberadaan birokrasi itu merupakan upaya tidak ada artinya karena

redundant. Dengan demikian, pengganti struktur opresif dari birokrasi yang

. Birokrasi bukanlah kelas masyarakat, walaupun eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakat kedalam kelas-kelas tertentu. Lebih tepatnya, menurut Karl Marx birokrasi adalah alat negara atau pemerintahan itu sendiri. Birokrasi merupakan instrument yang dipergunakan oleh kelas dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.

11


(20)

terpisah dan antagonis dari masyarakat, di dalam negara komunis fungsi birokrasi itu dilakukan oleh semua anggota masyarakat.

G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Dalam buku Metodologi Penelitian karya Narbuko dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan data-data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif12

2. Lokasi Penelitian

.

Pelaksanaan penelitian ini diadakan di desa Sirisirisi, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.

3. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif. Dengan metode kualitatif, penelitian sama-sama mempersoalkan reliabilitas, validitas, pengukuran dan alat ukur juga berbeda13

12

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.hal.44.

. Metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang suatu fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dalam mendiskripsikan relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat.

13


(21)

Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data, yaitu observasi dan wawancara14

4. Teknik Pengumpulan Data

. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka peneliti membutuhkan informan kunci (key informan). Key informan yang dipilih yaitu Kepala desa Sirisirisi, Sekretaris desa, mantan Kepala desa, Camat serta seksi pemberdayaan masyarakat dan desa dengan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Peneliti akan melaksanakan wawancara secara langsung dan bertemu dengan informan yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian. Pihak-pihak yang diwawancarai dilibatkan dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan informasi dapat diperoleh.

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer atau sumber pertama di lapangan15

14

H. M. Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hal 78

. Dilaksankan dengan metode wawancara mendalam (in-depth interview) adalah sama seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara, tujuan wawancara, peran informan, dan cara melakukan wawancara yang berbeda dengan wawancara pada umumnya.

15

Burhan Bungin. 2001. “Metodologi Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif dan Kualitatif”, Surabaya : Airlangga University Press. Hal. 128


(22)

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder16

5. Teknik Analisis Data

. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, peraturan-peraturan, internet serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian.

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data-data primer dan data-data-data-data sekunder. Analisa data-data kualitatif memberikan desain strategi dalam menempatkan teori pada data yang diperoleh17

Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data secara deskriptif berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh kejelasan atas permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.

. Metode ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa hasil wawancara dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil wawancara akan diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing informan.

16

Burhan Bungin. Ibid. Hal 128

17


(23)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar mendapatkan gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini kedalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN

Dalam Bab II akan mendeskripsikan objek penelitian desa sirisirisi, kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

BAB III RELASI KEKUASAAN ANTARA KEPALA DESA DENGAN CAMAT

Pada Bab III ini akan menyajikan hasil penelitian mengenai bagaimana relasi kekuasaan antara kepala dengan camat di desa Sirisirisi kecamatan Doloksanggul.


(24)

BAB IV PENUTUP

Pada Bab IV berisi kesimpulan yang diperoleh hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya.


(1)

perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme. Karl Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis dan mengkritisi filosofi Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintahan) dengan masyarakatnya.

Karl Marx bisa menerima konsep pemikiran Hegel tentang ketiga aktor tersebut, yakni : birokrasi, kepentingan particular, dan kepentingan general (pemerintahan). Birokrasi menurut Karl Marx merupakan suatu kelompok partikular yang sangat spesifik11

Birokrasi menurut Karl Marx merupakan isntrumen kelas kapitalis. Oleh karena itu, melalui revolusi proletariat dan kehadiran kelas-kelas di dalam masyarakat maka negara dan birokrasinya harus dihancurkan. Menurut Karl Marx di dalam masyarakat komunis itu dimana tidak ada eksploitasi dan pembagian sosial maka keberadaan birokrasi itu merupakan upaya tidak ada artinya karena redundant. Dengan demikian, pengganti struktur opresif dari birokrasi yang

. Birokrasi bukanlah kelas masyarakat, walaupun eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakat kedalam kelas-kelas tertentu. Lebih tepatnya, menurut Karl Marx birokrasi adalah alat negara atau pemerintahan itu sendiri. Birokrasi merupakan instrument yang dipergunakan oleh kelas dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.

11


(2)

terpisah dan antagonis dari masyarakat, di dalam negara komunis fungsi birokrasi itu dilakukan oleh semua anggota masyarakat.

G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Dalam buku Metodologi Penelitian karya Narbuko dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan data-data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif12

2. Lokasi Penelitian

.

Pelaksanaan penelitian ini diadakan di desa Sirisirisi, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.

3. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif. Dengan metode kualitatif, penelitian sama-sama mempersoalkan reliabilitas, validitas, pengukuran dan alat ukur juga berbeda13

12

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.hal.44.

. Metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang suatu fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dalam mendiskripsikan relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat.

13


(3)

Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data, yaitu observasi dan wawancara14

4. Teknik Pengumpulan Data

. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka peneliti membutuhkan informan kunci (key informan). Key informan yang dipilih yaitu Kepala desa Sirisirisi, Sekretaris desa, mantan Kepala desa, Camat serta seksi pemberdayaan masyarakat dan desa dengan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Peneliti akan melaksanakan wawancara secara langsung dan bertemu dengan informan yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian. Pihak-pihak yang diwawancarai dilibatkan dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan informasi dapat diperoleh.

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer atau sumber pertama di lapangan15

14

H. M. Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hal 78

. Dilaksankan dengan metode wawancara mendalam (in-depth interview) adalah sama seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara, tujuan wawancara, peran informan, dan cara melakukan wawancara yang berbeda dengan wawancara pada umumnya.

15

Burhan Bungin. 2001. “Metodologi Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif dan Kualitatif”, Surabaya : Airlangga University Press. Hal. 128


(4)

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder16

5. Teknik Analisis Data

. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, peraturan-peraturan, internet serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian.

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data-data primer dan data-data-data-data sekunder. Analisa data-data kualitatif memberikan desain strategi dalam menempatkan teori pada data yang diperoleh17

Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data secara deskriptif berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh kejelasan atas permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.

. Metode ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa hasil wawancara dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil wawancara akan diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing informan.

16

Burhan Bungin. Ibid. Hal 128

17


(5)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar mendapatkan gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini kedalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN

Dalam Bab II akan mendeskripsikan objek penelitian desa sirisirisi, kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

BAB III RELASI KEKUASAAN ANTARA KEPALA DESA DENGAN

CAMAT

Pada Bab III ini akan menyajikan hasil penelitian mengenai bagaimana relasi kekuasaan antara kepala dengan camat di desa Sirisirisi kecamatan Doloksanggul.


(6)

BAB IV PENUTUP

Pada Bab IV berisi kesimpulan yang diperoleh hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya.