Relasi Kekuasaan Antara Kepala Desa Dengan Camat (Studi Kasus : Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan)

(1)

Relasi Kekuasaan Antara Kepala Desa Dengan Camat ( Studi Kasus : Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan)

Disusun Oleh :

Hotlam Martumbur Simamora 100906009

Dosen Pembimbing : Prof. Subhilhar, Ph.D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HOTLAM MARTUMBUR SIMAMORA (100906009)

RELASI KEKUASAAN ANTARA KEPALA DESA DENGAN CAMAT (STUDI KASUS : DESA SIRISIRISI KECAMATAN DOLOKSANGGUL KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN)

Rincian isi skripsi 81 halaman, 11 buku, 4 Perundang-undangan, 2 Peraturan-peraturan, 3 situs internet.

ABSTRAK

Penulisan ini menguraikan tentang relasi kekuasan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi. Dalam penulisan ini dimana relasi antara Kepala Desa dengan Camat melihat sejauh mana berhubungan seperti dalam memfasilitasi Desa dalam membuat peraturan Desa, administrasi tata pemerintahan Desa dan program-program yang dilakukan oleh Camat ke Desa. Dalam relasi sudah diatur dalam peraturan-peraturan dan perundang-undang di indonesia karena Desa membutuhkan pembinaan, koordinasi, fasilitas dan pengawasan dari Camat dalam menjalankan Pemerintahan dan penyelenggaraan Desa tersebut. Posisi Camat dalam di Desa merupakan pimpinan dalam Desa dan pembinaan dalam Desa sekaligus tokoh masyarakat.

Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Dalam konteks ini kita memahami kekuasaan tersebut kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Kepala Desa dan Camat dalam mencapai tujuannya. Dalam kekuasaan merupakan bagaimana menjalankan Pemerintahan mulai dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan program-program yang dilakukan oleh Pemerintahan baik dalam pembangunan sarana dan prasana seperti dalam bidang pemerintahan, bidang pendidikan dan bidang kesehatan. Guna bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Kekuasaan identik pada suatu alat untuk mempengaruhi orang lain maupun kelompok-kelompok lain sama hal nya seperti


(3)

kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat dimana Camat mempunyai kekuasaan dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan atau program-program di Desa.

Desa Sirisirisi merupakan Desa yang berada di Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Di Desa Sirisirisiri relasi dengan Camat dapat dilihat dalam undang-undang dan peraturan-peraturan seperti dalam hal pembinaan terhadap Desa, pengawasan terhadap Desa, koordinasi terhadap Desa dan memfasilitasi Desa. Dalam hal pembinaan seperti membina kegiatan pemberdayaan masyarakat, dalam hal pengawasan seperti mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan mengawasi penggunaan alokasi dana Desa, Dalam hal koordinasi seperti dalam bidang kemasyarakatan, bidang Pemerintahan dan bidang pembangunan dan memfasilitasi seperti penyusunan peraturan Desa, administrasi tata Pemerintahan dan pengelolaan aset Desa. Sehingga dilihat bagaimana relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat dalam menerapkan kebijakan-kebijakan di Desa dan menjalankan program-program di Desa Sirisirisi.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HOTLAM MARTUMBUR SIMAMORA (100906009)

RELATIONSHIP BETWEEN THE POWERS OF THE HEAD OF THE VILLAGE WITH THE HEAD (CASE STUDY: SIRISIRISI VILLAGE SUB DOLOKSANGGUL REGENCY OF HUMBANG HASUNDUTAN DISTRICT)

Details of the contents of the thesis 81 pages, 11 books, 2 Legislation, 2 regulations, and 3 internet sites.

ABSTRACT

This writing describes the relationship of power between the head of the village with the Head in the village Sirisirisi. In this study, in which the relationship between the head of the village with the Head see the extent to which relate as in facilitating the Village in making village regulations, administrative village governance and programs undertaken by the district head to the village. In relation is set in the rules and regulations in Indonesia because of the Village Act requires guidance, coordination, and supervision of sub-district facilities in the running and organization of the village administration. Position in the sub-district in the village is the village leadership and coaching in the village at the same time public figures.

Power is the ability of a person or group to influence the behavior of another person or group, in accordance with the wishes of the perpetrator. In this context we understand the power of the activities carried out by the head of the village and sub-district in achieving its objectives. In power is how to run the government began to issue policies and programs undertaken by the Government both in the construction of facilities and infrastructures such as in government, education and health sector. To aim for the welfare of society. Identical power on a tool to influence other people and other groups, its the same thing as the power of the sub-district head of the village where the sub-district shall have the power to influence policies or programs in the village.

Sirisirisi village is located in Sub Doloksanggul, Regency of Humbang Hasundutan District, North Sumatra Province. In relation with the Head Sirisirisiri


(5)

village can be seen in the laws and regulations as in the case of development of the village, the supervision of the village, the village and facilitate the coordination of the village. In terms of guidance as to foster community development activities, in terms of supervision as overseeing the implementation of the Government Rural and supervise the use of funds allocated Village, In the case of coordination such as in the areas of society, government field and the field of development and facilitating such as the preparation of village regulations, administrative procedures and management of government assets village. Thus seen how the power relations between the head of the village with the Head in implementing policies in the village and run programs in the village Sirisirisi. Keywords : Power, Village Head, Subdistrict Head


(6)

Karya Ini Dipersembahkan Untuk

Ayahanda Dan Ibunda Tercinta


(7)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan, kiranya disetiap kehidupan ini senantiasa selalu bersyukur buat segala apapun yang dirasakan. Memang layak kiranya mengucap syukur kepada Tuhan Yesus karena kasihnya begitu besar kepada kita. Bahkan yang boleh dirasakan penulis hingga menyelesaikan tulisan ini dengan berbagai tantangan sehingga penulis merasa tak mampu. Sehingga skripsi ini dapat selesai sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) di Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul : ”Relasi Kekuasaan Antara Kepala Desa Dengan Camat (Studi Kasus : Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan)”.

Proses skripsi ini ketika penulis berada pada semester delapan dan Sembilan. Tentunya karya ilmiah ini dapat terselesaikan oleh berbagai pihak yang membantu dan mendukung. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dekan FISIP USU. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku ketua Jurusan Departemen Ilmu Politik dan Bapak Drs. P. Antonius Sitepu, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Politik FISIP USU dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan memberikan banyak bimbingan.

Penulis juga mengucapkan kepada Prof. Subhilhar, PhD yang menjadi Dosen Pembimbing selama penulis menyelesaikan skripsi ini yang memberikan


(8)

masukan-masukan yang diberikan kepada penulis. Dan penulis juga banyak mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh Dosen Ilmu Politik FISIP USU yang telah memberikan kontribusi memberikan ilmu selama perkuliahan dan kepada seluruh staf pengawai Departemen Ilmu Politik yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi kampus.

Penulis secara khusus mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang selama ini mendidik dan membesarkan dengan kasih sayang yaitu Ayahanda Saleman Simamora dan Ibunda Sutiara br Purba dan tidak lupa Opung Martunas Purba, kepada Tulang dan Nantulang Banjar Godang dan kepada adek kami , Delima M Simamora, Desy M Simamora dan Hotner M Simamora dan semua keluarga yang mendukung dan memberikan penulis motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih kepada seluruh aparat Pemerintahan Desa Sirisirisi dan Kecamatan Doloksanggul yang begitu baik menerima penulis. Kepada teman spesial Susi Deliana Sihotang yang telah memberikan semangat dalam penyelesaian dalam skripsi ini, dan kepada teman-teman Departemen Ilmu Politik Stambuk 2010 yang telah memberikan masukan untuk penulisan skripsi ini. Dan kepada Basa Siallagan, S.IP dan Gusmita Indah Pratiwi yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan tidak lupa untuk sekolah SMA Negeri 1 Doloksanggul yang menjembati untuk menjadi mahasiswa di FISIP USU.


(9)

Kiranya tulisan ini memberikan manfaat dan informasi dan tentunya kami berharap kritik untuk membangun guna untuk memperbaiki hasil karya ilmiah ini, dimana penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan studi Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Medan, 27 Maret 2015

100906009


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL HALAMAN

Abstrak……….. i

Abstract……….iii

Lembar Persembahan………..vi

Kata Pengantar………vii

Daftar Isi………x

Daftar Tabel……….xii

Daftar Gambar………xii

Daftar Bagan………xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..1

B. Rumusan Masalah……….7

C. Batasan Masalah………7

D. Tujuan Penelitian………...7

E. Manfaat Penelitian………..8

F. Kerangka Teori………...8

1. Teori Kekuasaan……….8

2. Teori Birokrasi………...15

G. Metodologi Penelitian………...20

1. Metode Penelitian………..20

2. Lokasi Penelitian………...20


(11)

4. Teknik Pengumpulan Data………..21

5. Teknik Analisi Data………22

H. Sistematika Penulisan……….23

BAB II : DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian………25

1. Kabupaten Humbang Hasundutan………..25

2. Kecamatan Doloksanggul………...27

3. Desa Dan Pemerintahan Desa……….31

4. Peraturan Desa……….38

5. Desa Sirisirisi………40

a. Letak Wilayah Desa Sirisirisi………...40

b. Jumlah Penduduk Desa Sirisirisi………..40

6. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Sirisirisi………44

7. Struktur Organisasi Badan Permusyawaratan Desa Sirisirisi………..46

BAB III : RELASI KEKUASAAN ANTARA KEPALA DESA DENGAN CAMAT A. Fase Historis Hubungan Kepala Desa Dengan Camat………..47

B. Hubungan Kepala Desa Dengan Camat Dalam Undang-Undang…………54

C. Pola Relasi Hubungan Kepala Desa Dengan Camat Di Desa Sirisirisi…….59

BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan………...77


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Doloksanggul………..27 Tabel 2.2 Luas Wilayah Dan Jumlah Dusun Di Doloksanggul………...28 Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin………..41 Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan……….41 Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan………...43

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Kabupaten Humbang Hasundutan……….26

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Struktur Organisasi Kecamatan Doloksanggul………....31 Bagan 2 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Sirisirisi…………....44 Bagan 3 Struktur Organisasi BPD Desa Sirisirisi………....46


(13)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HOTLAM MARTUMBUR SIMAMORA (100906009)

RELASI KEKUASAAN ANTARA KEPALA DESA DENGAN CAMAT (STUDI KASUS : DESA SIRISIRISI KECAMATAN DOLOKSANGGUL KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN)

Rincian isi skripsi 81 halaman, 11 buku, 4 Perundang-undangan, 2 Peraturan-peraturan, 3 situs internet.

ABSTRAK

Penulisan ini menguraikan tentang relasi kekuasan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi. Dalam penulisan ini dimana relasi antara Kepala Desa dengan Camat melihat sejauh mana berhubungan seperti dalam memfasilitasi Desa dalam membuat peraturan Desa, administrasi tata pemerintahan Desa dan program-program yang dilakukan oleh Camat ke Desa. Dalam relasi sudah diatur dalam peraturan-peraturan dan perundang-undang di indonesia karena Desa membutuhkan pembinaan, koordinasi, fasilitas dan pengawasan dari Camat dalam menjalankan Pemerintahan dan penyelenggaraan Desa tersebut. Posisi Camat dalam di Desa merupakan pimpinan dalam Desa dan pembinaan dalam Desa sekaligus tokoh masyarakat.

Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Dalam konteks ini kita memahami kekuasaan tersebut kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Kepala Desa dan Camat dalam mencapai tujuannya. Dalam kekuasaan merupakan bagaimana menjalankan Pemerintahan mulai dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan program-program yang dilakukan oleh Pemerintahan baik dalam pembangunan sarana dan prasana seperti dalam bidang pemerintahan, bidang pendidikan dan bidang kesehatan. Guna bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Kekuasaan identik pada suatu alat untuk mempengaruhi orang lain maupun kelompok-kelompok lain sama hal nya seperti


(14)

kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat dimana Camat mempunyai kekuasaan dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan atau program-program di Desa.

Desa Sirisirisi merupakan Desa yang berada di Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Di Desa Sirisirisiri relasi dengan Camat dapat dilihat dalam undang-undang dan peraturan-peraturan seperti dalam hal pembinaan terhadap Desa, pengawasan terhadap Desa, koordinasi terhadap Desa dan memfasilitasi Desa. Dalam hal pembinaan seperti membina kegiatan pemberdayaan masyarakat, dalam hal pengawasan seperti mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan mengawasi penggunaan alokasi dana Desa, Dalam hal koordinasi seperti dalam bidang kemasyarakatan, bidang Pemerintahan dan bidang pembangunan dan memfasilitasi seperti penyusunan peraturan Desa, administrasi tata Pemerintahan dan pengelolaan aset Desa. Sehingga dilihat bagaimana relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat dalam menerapkan kebijakan-kebijakan di Desa dan menjalankan program-program di Desa Sirisirisi.


(15)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HOTLAM MARTUMBUR SIMAMORA (100906009)

RELATIONSHIP BETWEEN THE POWERS OF THE HEAD OF THE VILLAGE WITH THE HEAD (CASE STUDY: SIRISIRISI VILLAGE SUB DOLOKSANGGUL REGENCY OF HUMBANG HASUNDUTAN DISTRICT)

Details of the contents of the thesis 81 pages, 11 books, 2 Legislation, 2 regulations, and 3 internet sites.

ABSTRACT

This writing describes the relationship of power between the head of the village with the Head in the village Sirisirisi. In this study, in which the relationship between the head of the village with the Head see the extent to which relate as in facilitating the Village in making village regulations, administrative village governance and programs undertaken by the district head to the village. In relation is set in the rules and regulations in Indonesia because of the Village Act requires guidance, coordination, and supervision of sub-district facilities in the running and organization of the village administration. Position in the sub-district in the village is the village leadership and coaching in the village at the same time public figures.

Power is the ability of a person or group to influence the behavior of another person or group, in accordance with the wishes of the perpetrator. In this context we understand the power of the activities carried out by the head of the village and sub-district in achieving its objectives. In power is how to run the government began to issue policies and programs undertaken by the Government both in the construction of facilities and infrastructures such as in government, education and health sector. To aim for the welfare of society. Identical power on a tool to influence other people and other groups, its the same thing as the power of the sub-district head of the village where the sub-district shall have the power to influence policies or programs in the village.

Sirisirisi village is located in Sub Doloksanggul, Regency of Humbang Hasundutan District, North Sumatra Province. In relation with the Head Sirisirisiri


(16)

village can be seen in the laws and regulations as in the case of development of the village, the supervision of the village, the village and facilitate the coordination of the village. In terms of guidance as to foster community development activities, in terms of supervision as overseeing the implementation of the Government Rural and supervise the use of funds allocated Village, In the case of coordination such as in the areas of society, government field and the field of development and facilitating such as the preparation of village regulations, administrative procedures and management of government assets village. Thus seen how the power relations between the head of the village with the Head in implementing policies in the village and run programs in the village Sirisirisi. Keywords : Power, Village Head, Subdistrict Head


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku1

Pembagian sebagaimana dalam Trias Politica dikonsepsikan oleh Jhon Locke (1632-1704) membagi tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif. Sedangkan Montesquieu (1689-1755) membagi tiga kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya pembagian kekuasaan dalam tiga lembaga tersebut diharapkan dalam menjalankan pemerintahan negara tidak terjadi tumpang tindih diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Sebagaimana dalam masa orde . Pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua pemahaman tentang orang yang dikuasai dan tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi yang lain. Untuk itulah kekuasaan di dalam Negara perlu dan bahkan harus dibagi.

1


(18)

baru kekuasan bersifat sentralistik, akan tetapi amandemen UUD 1945 memperjelas pembagian dan pemisahan kekuasaan.

Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia kekuasaan eksekutif dari masa orde baru bersifat sentralistik sehingga Kepala Desa menjadi pusat kekuasaan dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kekuasan eksekutif berwenang menetapakan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang dan melakukan kontrol terhadap lembaga pembuat undang undang ini disebabkan oleh beberapa hal. Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada eksekutif. Dalam hal ini kekuasaan eksekutif mempunyai tugas bertanggung jawab atas pelaksaan hukum, mengawasi jalannya pemerintahan sipil dan militer dan melakukan kepemimpinan politik atas lembaga pembuat UU.

Pada masa orde baru desa mempunyai kewenangan dalam mengatur desanya, yang diatur berdasarkan keputusan menteri dalam negeri tentang pedoman umum kewenangan desa2

1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. . Dalam UU No 32 Tahun 2004 Pasal 206 Desa mempunyai wewenang yang mencakup:

2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.

2

HAW. Widjaja, 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan Utuh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2003. Hal 56.


(19)

3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.

Dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh pemerintah desa bersama dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Pemerintah desa selaku kekuasaan eksekutif di desa memiliki peran aktif dalam menentukan kebijakan dan peraturan desa. Pemerintah desa merupakan lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa yang dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi dan wewenang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini BPD juga berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Pembentukan Peraturan Desa yang melibatkan Kepala Desa dan BPD disebabkan BPD merupakan lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota dan urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan pada desa. Di awal reformasi adanya pergeseran sistem pemerintahan daerah, yang semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik, dimana diimplementasikanya otonomi


(20)

daerah yang diberikan kepada derah kabupaten/kota dan pemerintahan desa. Implementasi dari perubahan ini mengakibatkan tidak hanya perubahan pola hubungan antara pemerintah kabupaten/kota dengan kecamatan, tetapi juga hubungan antara kecamatan dan pemerinatahn desa3

1. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

. Berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kecamatan mempunyai kewenangan yang mencakup:

2. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.

3. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan.

4. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.

5. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan.

6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan. 7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup

tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan4

.

4


(21)

Wewenang Kecamatan yang secara langsung didapatkan oleh Camat hanya sebatas mengkoordinir beberapa bidang saja, selain yang telah disebutkan harus melalui pelimpahan wewenang yang bersifat delegasi dari kepala daerah. Hal ini menempatkan seorang Camat pada posisi yang dilematis, satu sisi Camat mempunyai wilayah dan sisi lain tidak mempunyai kewenangan yang luas dalam memimpin bawahannya, seperti Kepala Desa dan Lurah, dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Pelimpahan wewenang kepala daerah kepada Camat dan kecamatan akan memberikan ruang gerak yang cukup luas dalam melaksanakan tugasnya, namun kebanyakan pelimpahan wewenang ini tidak disertai dengan sarana dan prasarana yang mendukung, sehingga pelaksanaannya belum terlalu maksimal.

Dalam implementasi otonomi daerah kekuasan desa berada pada elit politik desa yakni Kepala Desa. Kekuasaan Kepala Desa sebagai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang menjadi otoritas Kepala Desa. Dalam hal ini kekuasaan desa juga jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan supra desa di desa. Dalam dominasi kekuasan desa cenderung menyimpang akan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan adanya pembagian kekuasaan yang tidak merata antara kekuasaan Kepala Desa dan perangkat desa. Kekuasan desa berada di bawah Kecamatan, dalam laporan pertanggungjawaban desa disampaikan kepada Bupati/Walikota. Kecamatan merupakan suatu wilayah administratif yang dimana Camat yang mempunyai kekuasan dalam menjalankan tugasnya. Camat berkedudukan di bawah dan


(22)

bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah. Kekuasaan Camat membina penyelenggaraan pemerintahan desa dalam menjalankan program-program yang dilakukan oleh desa dalam dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1979 hubungan kerja antara Kepala Desa dengan camat yang semula bersifat hirarki-subordinatif, sekarang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi bersifat pengawasan, pembinaan, fasilitasi dan kerjasama.

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana relasi kekuasaan antara Kepala Desa dan Camat. Dimana pola relasi kekuasaan sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan, dalam pelaksanaannya diwarnai oleh praktek-praktek yang tidak harmonis dan menunjukkan terjadinya dominasi Camat ke Kepala Desa. Wujud dari terjadinya hubungan yang tidak harmonis antara Kepala Desa dan Camat terlihat sejauh mana program-program yang berelesasi yang dilakukan dan menjalin komunikasi antara Kepala Desa dan Camat.

Dari uraian yang telah dipaparkan diatas peneliti memiliki ketertarikan untuk membahas relasi kekuasaan, Maka dalam hal ini peneliti mengangkat judul penelitian tentang Relasi Kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat (Studi Kasus : Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan).


(23)

B. Rumusan Masalah

Dalam menjalankan suatu program dalam desa adanya relasi dengan Kecamatan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Namun dalam pelaksanaan nya, kekuasaan Kepala Desa cenderung memperlihatkan dominasi kekuasaannya. Dari pemaparan pada latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan?

C. Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini, perlu membuat pembatasan masalah terhadap apa yang diteliti, dengan tujuan untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dan hasil penelitian dan tidak menyimpang dari tujuan penulisan yang ingin dicapai. Penelitian ini berfokus pada Relasi kekuasan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana relasi kekuasan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan.


(24)

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi peneliti maupun bagi orang lain, terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan baru bagi peneliti dan mengembangkan kemampuan berfikir untuk menulis karya ilmiah.

2. Penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan tentang relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat.

3. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang Kekuasaan politik dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

F. Kerangka Teori 1. Teori Kekuasaan

Kekuasan merupakan konsep yang sangat krusial dalam ilmu sosial pada umumnya, dan dalam ilmu politik khususnya dalam hal ini politik beranggapan bahwa kekuasaan inti dari politik yaitu untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan sangat berkaitan dengan pengaruh dan mempengaruhi. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) dalam artian bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler and ruled), satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi


(25)

perintah. Definisi mengenai kekuasaan kekuasaan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Talcott Parson seperti yang dikutip oleh Miriam Budiarjo5

Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif (Power then is generalized capacity to secure the performance of binding obligations by units in a system of collective).

:

Jadi, Parson melihat segi positif dari kekuasaan jika di hubungkan dengan authority dan kemungkinan-kemungkinan. Rencana-rencana bersama dapat terlaksana dengan baik. Sementara itu apabila kita mengacu pada teori kekuasaan menurut Max Weber dan Barbara Goodwin.

Sebagaimana yang dikutip dari buku Miriam Budiarjo “ Dasar-Dasar Ilmu Politik” menurut Max Weber dalam bukunya Wirtschaft Und Gessellsaft (1922), kekuasaan itu diartikan sebagai berikut :

Kekuasan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksankan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini (Macht beduetet jede chance innerhalb einer soziale bezieung den eigenen willen durchzusetchen auch gegen widerstreben durchzusetchen, gleichviel worauf diese chance beruht)6

5

Miriam Budiarjo. Ibid Hal 63.

.

6


(26)

Gagasan yang disampaikan oleh Max Weber, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.

Sebagaimana yang dikutip dari buku Rudi Salam Sinaga “ Pengantar Ilmu Politik” menurut Barbara Goodwin, kekuasaan itu diartikan sebagai berikut :

Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya dia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya7

Dalam pandangannya, Goodwin biasanya kekuasaan diselenggarakan melalui isyarat yang jelas. Ini sering dinamakan kekuasaan manifest. Namun kadang-kadang isyarat itu tidak ada. Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasaan eksplisit. Dalam perkembangannya, kekuasaan digunakan untuk mempengaruhi kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan itu sendiri. Hal ini relevan dengan definisi yang disampaikan oleh para ilmuwan politik yang secara umum menjelaskan bahwa kekuasaan adalah mempengaruhi seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan yang diinginkan. Kekuasaan mempunyai jangkauan cukup luas meliputi

.

7


(27)

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah, kemampuan untuk memberi keputusan.

Menurut Max Weber, kekhasan hegemoni dan dominasi adalah pihak yang berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Suatu hegemoni dan dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan atau pembenaran masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni maupun dominasi merupakan suatu paksaan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat kesejahteraan.

Lebih lanjut, Weber membedakan tiga jenis dominasi yakni dominasi karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. 1) Dominasi karismatik adalah dominasi yang keabsahannya didasarkan atas kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa. Sang penguasa menjalankan kekuasaannya bukan atas dasar peraturan yang berlaku tetapi atas dasar peraturan yang dibuat sendiri dan kesetiaan bawahan mentaati aturan tersebut. 2) Dominasi tradisional, merupakan perkembangan dominasi kharismatik yang telah mengalami pergeseran. Dalam dominasi tradisional penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya. Biasanya dominasi demikian merupakan kelanjutan dominasi sebelumnya. 3) Dominasi


(28)

legal rasional kekuasaan pemimpin didasarkan atas aturan hukum yang dibuat secara sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan penguasa didasarkan pada hukum, pemimpin dipilih atas dasar hukum yang berdasarkan kriteria tertentu, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum pula.

Dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Jadi, selalu ada hubungan yang tidak seimbang atau asimetris. Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan ketergantungan (dependency) dan lebih timpang hubungan ini, lebih besar pulasifat ketergantungannya. Hali ini oleh generasi pemikir decade 20-an sering disebut sebagai dominasi, hegemoni, atau penundukan. Istilah wilayah kekuasaan (domain of power) melihat siapa-siapa saja yang di kuasai oleh orang atau kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada pelak, kelompok organisasi atau kolektivitas yang kena kekuasaan.

Konsep kekuasaan (politik) diupayakan sebagai suatu elaborasi dengan menjadikan kekuasaan itu sebagai fenomena politik kekuasaan8. Untuk memahami fenomena kekuasaan politik, Charles F Andrain dan Ramlan Surbakti seperti yang dikutip oleh P. Anthonius Sitepu dapat ditinjau dari enam (6) dimensi yaitu9:

8

P. Anthonius Sitepu. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.130. 9


(29)

1. Dimensi Potensial dan Aktual

Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisir, dan jabatan. Sebaliknya seseorang yang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila telah menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan-kegiatan politik secara efektif.

2. Dimensi Konsensus dan Paksaan

Dalam menganalisis hubungan kekuasaan harus membedakan kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan consensus. Para analisis politik yang lebih menekankan aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, apabila menekankan pada aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik.

3. Dimensi Positif dan Negatif

Tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan positif dan negatif. Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber


(30)

kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain mencapai tujuan yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi juga merugikan pihaknya.

4. Dimensi Jabatan dan Pribadi

Dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan, kekuasaan terkandung erat dalam jabatan-jabatan. Penggunaan kekuasaan yang terkandung dalam jabatan secara efektif tergantung pada kualitas pribadi yang dimiliki dan ditampilkan oleh setiap pribadi yang memegang jabatan. Dalam masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan didasarkan atas realitas pribadi lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung di dalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan kekuasaan efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi. 5. Dimensi Implisit dan Eksplisit

Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak terlihat dengan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan dimensi eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak lain”.


(31)

6. Dimensi Langsung dan Tidak Langsung

Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Yang termasuk dalam kategori sumber-sumber kekuasaan adalah sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi) normatif jabatan, keahlian, status sosial popularitas pribadi, massa yang terorganisasi, senjata, penjara, kerja paksa, teknologi, aparat yang menggunakan senjata. Sedangkan kekuasaan yang tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.

2. Teori Birokrasi

Secara etimologis Birokrasi berasal dari kata bureau (bahasa Perancis) dan Kratos (bahasa Yunani). Bureau adalah meja tulis dan kratos adalah pemerintahan. Secara sedehana dapat di katakana bahwa Birokrasi adalah pemerintahan dari meja ke meja atau di balik meja, atau juga orang-orang yang bekerja di belakang meja tulis di kantor-kantor. Namun, pengertian tersebut berkembang, dalam artian politik, Birokrasi di artikan sebagai wujud dari aparat pemerintahan Negara dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan melalui


(32)

serangkaian tahapan atau biro-biro yang masing-masing diberi mandat utuk menentukan kebijakan.

Max Weber adalah seorang sosiolog Jerman yang kenamaan awal abad ke-19 menulis karya yang sangat berpengaruh bagi negara-negara yang berbahasa inggris dan di Negara-negara di daratan Eropa. Konsep yang terkenal Max Weber adalah konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang kritiknya terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasiitu profesional dan rasional dijalankan. Tipe ideal merupakan konstruksi abstrak yang membantu kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan.

Menurut Weber bahwa proses semacam ini bukannya menunjukkan objektivitas dari esensi birokrasi, tipe ideal itu bias dipergunakan untuk membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Menurut Weber tipe ideal birokrasi ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Istilah rasional dengan aspek pemahamannya merupakan kunci dari konsep tipe ideal birokrasi Weberian.


(33)

Menurut Weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut10

1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatanya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.

:

2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.

3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.

4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat, merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.

5. Setiap pejabat disileksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.

6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap

10

Miftah Thoha. 2008, “Birokrasi Pemerintahan Indonesia Di Era Reformasi”, Kencana Prenada Media Group. Hal.18-19.


(34)

pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.

7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merita sesuai dengan pertimbangan yang objektif.

8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. 9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu

sistem yang dijalankan secara disiplin.

Butir-butir tipe ideal tersebut tidak semua bisa diterapkan dalam kondisi tertentu oleh suatu jenis pemerintahan tertentu. Penekanan Weber terhadap rasionalitas dan efisiensi sebenarnya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi kehidupan Max Weber pada saat itu. Dengan demikian, ukuran rasionalitas atas efisiensi amat berbeda dengan kriteria untuk ornanisasi zaman modern sekarang ini yang kondisinya tidak sama dengan zamannya Max Weber. Model birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah mesin yang disiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.

Gagasan birokrasi dikemukakan oleh Hegel dan Karl Marx, pemikiran Karl Marx terhadap birokrasi merupakan suatu gejala yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam hubungannya dengan administrasi negara. Pandangannya terhadap birokrasi hanya bisa dipahami dalam kerangka umum teorinya tentang


(35)

perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme. Karl Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis dan mengkritisi filosofi Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintahan) dengan masyarakatnya.

Karl Marx bisa menerima konsep pemikiran Hegel tentang ketiga aktor tersebut, yakni : birokrasi, kepentingan particular, dan kepentingan general (pemerintahan). Birokrasi menurut Karl Marx merupakan suatu kelompok partikular yang sangat spesifik11

Birokrasi menurut Karl Marx merupakan isntrumen kelas kapitalis. Oleh karena itu, melalui revolusi proletariat dan kehadiran kelas-kelas di dalam masyarakat maka negara dan birokrasinya harus dihancurkan. Menurut Karl Marx di dalam masyarakat komunis itu dimana tidak ada eksploitasi dan pembagian sosial maka keberadaan birokrasi itu merupakan upaya tidak ada artinya karena

redundant. Dengan demikian, pengganti struktur opresif dari birokrasi yang . Birokrasi bukanlah kelas masyarakat, walaupun eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakat kedalam kelas-kelas tertentu. Lebih tepatnya, menurut Karl Marx birokrasi adalah alat negara atau pemerintahan itu sendiri. Birokrasi merupakan instrument yang dipergunakan oleh kelas dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.

11


(36)

terpisah dan antagonis dari masyarakat, di dalam negara komunis fungsi birokrasi itu dilakukan oleh semua anggota masyarakat.

G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Dalam buku Metodologi Penelitian karya Narbuko dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan data-data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif12

2. Lokasi Penelitian .

Pelaksanaan penelitian ini diadakan di desa Sirisirisi, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.

3. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif. Dengan metode kualitatif, penelitian sama-sama mempersoalkan reliabilitas, validitas, pengukuran dan alat ukur juga berbeda13

12

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.hal.44.

. Metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang suatu fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dalam mendiskripsikan relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat.

13


(37)

Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data, yaitu observasi dan wawancara14

4. Teknik Pengumpulan Data

. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka peneliti membutuhkan informan kunci (key informan). Key informan yang dipilih yaitu Kepala desa Sirisirisi, Sekretaris desa, mantan Kepala desa, Camat serta seksi pemberdayaan masyarakat dan desa dengan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Peneliti akan melaksanakan wawancara secara langsung dan bertemu dengan informan yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian. Pihak-pihak yang diwawancarai dilibatkan dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan informasi dapat diperoleh.

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer atau sumber pertama di lapangan15

14

H. M. Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hal 78

. Dilaksankan dengan metode wawancara mendalam (in-depth interview) adalah sama seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara, tujuan wawancara, peran informan, dan cara melakukan wawancara yang berbeda dengan wawancara pada umumnya.

15

Burhan Bungin. 2001. “Metodologi Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif dan Kualitatif”, Surabaya : Airlangga University Press. Hal. 128


(38)

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder16

5. Teknik Analisis Data

. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, peraturan-peraturan, internet serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian.

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data-data primer dan data-data-data-data sekunder. Analisa data-data kualitatif memberikan desain strategi dalam menempatkan teori pada data yang diperoleh17

Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data secara deskriptif berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh kejelasan atas permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.

. Metode ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa hasil wawancara dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil wawancara akan diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing informan.

16

Burhan Bungin. Ibid. Hal 128

17


(39)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar mendapatkan gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini kedalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN

Dalam Bab II akan mendeskripsikan objek penelitian desa sirisirisi, kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

BAB III RELASI KEKUASAAN ANTARA KEPALA DESA DENGAN CAMAT

Pada Bab III ini akan menyajikan hasil penelitian mengenai bagaimana relasi kekuasaan antara kepala dengan camat di desa Sirisirisi kecamatan Doloksanggul.


(40)

BAB IV PENUTUP

Pada Bab IV berisi kesimpulan yang diperoleh hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya.


(41)

BAB II

DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Kabupaten Humbang Hasundutan

Kabupaten Humbang Hasundutan terletak antara 2o1' - 2o 28' Lintang Utara dan 98o10o - 98o58' Bujur Timur18

Wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan berbatasan dengan :

. Kabupaten Humbang Hasundutan dibentuk pada 28 Juli 2003 yang beribukota di Doloksanggul. Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas sebesar 251.765,93 Ha. Kondisi fisik kabupaten ini berada pada ketinggian 330-2.075 meter dpl. Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari 10 Kecamatan dan 144 Kelurahan/Desa. Menurut data sensus penduduk pada tahun 2010 penduduk nya berjumlah 171.687 jiwa.

• Sebelah Utara : Kabupaten Samosir

• Sebelah Timur : Kabupaten Tapanuli Utara

• Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Tengah

• Sebelah Barat : Kabupaten Pakpak Bharat

Mayoritas penduduk pertanian terbesar adalah kopi dengan luas panen 9.246 Ha dan produksi 6.461 ton (Humbang Hasundutan Dalam Angka 2007). Perkebunan kopi terdiri dari 48.45%


(42)

luas lahan pertanian dan perkebunan.Selain kopi, kabupaten ini juga kaya dengan kemenyan. Dengan luas panen 5.235 Ha menghasilkan 1.278 ton. Luas lahan kemenyan mencapai 23,16%19

. Komoditas lainnya adalah karet, kulit manis, kemikir, coklat, kelapa sawit, aren, kelapa, tebu, jahe, cengkeh, jangung dan andaliman. Potensi ekonomi lain di kabupaten pembangkit listrik. Terdapat 10 lokasi air terjun yang dapat dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik. Air terjun dengan ketinggian jatuh tertinggi adalah Aek Sipang dengan ketinggian 125 meter. Berikutnya adalah Sipulak (75 m), Sisira (75 m), Simarhilang (50 m), dan lain-lain. Sebanyak 4 air terjun ini berada di satu desa yakni Sijarango (Janjimatogu), Kecamata

Gambar 2.1 Peta Kabupaten Humbang Hasundutan

*Sumber : Pofil Kabupaten Humbang Hasundutan

13.14 WIB


(43)

2. Kecamatan Doloksanggul

Kecamatan Doloksanggul terletak 1622 meter diatas permukaan laut (dpl) dengan luar wilayah 20.930 Ha. Kecamatan Doloksanggul terdiri dari 27 Desa dan 1 Kelurahan. Kecamatan Doloksanggul terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan dengan batas-batas sebagai berikut :

• Sebelah Timur : Desa Siponjot (Silaban) Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan.

• Sebelah Selatan : Desa Hutatinggi, Sirang Gitgit Kecamatan Parmonangan Kabupaten Tapanuli Utara.

• Sebelah Barat : Desa Sibuluan Kecamatan Onanganjang Kabupaten Humbang Hasundutan.

• Sebelah Utara : Desa Marade, Sipituhuta, Aeknauli I, Aeknauli II Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan.

Jumlah penduduk Kecamatan Doloksanggul berdasarkan sensus penduduk bulan Mei tahun 2013 sebanyak 48.512 jiwa yang terdiri dari :

Tabel 2.1

Jumlah penduduk Kecamatan Dolosanggul

Berdasarkan Jenis kelamin


(44)

1 Laki-Laki 23.995 Jiwa

2 Perempuan 24.517 Jiwa

Jumlah (Total) 48.512 jiwa

*Sumber : Profil Kecamatan Doloksanggul

Table 2.2

Luas wilayah dan jumlah dusun di Kecamatan

Doloksanggul

No Nama Desa Luas(Ha) Jumlah Dusun

1 Sirisirisi 538,19 3

2 Sileang 1,778,44 4

3 Bonani Onan 196,37 3

4 Simarigung 848,94 3

5 Janji 162,64 2

6 Sihite I 185,15 3

7 Purbadolok 974,48 3


(45)

9 Pakkat 1,123,63 3

10 Lumbantobing 187,36 2

11 Lumban Purba 984,88 3

12 Matiti I 601,32 3

13 Sosorgonting 828,92 3

14 Pariksinomba 1,149,13 3

15 Purba Manalu 1,161,81 3

16 Silaga-laga 750,4 3

17 Hutagurgur 944,79 4

18 Sosortolong Sihite III 743,76 3

19 Simangaronsang 793,81 4

20 Hutabagasan 815,21 3

21 Matiti III 798,68 3

22 Sampean 1,194,23 2

23 Aeklung 751,06 4


(46)

25 Saitnihuta 840,64 4

26 Sosortambok 605,77 2

27 Kelurahan Pasar Doloksanggul

151,56 8

28 Hutaraja 1,001,08 3

Jumlah 20,929,53 93


(47)

Bagan 1

Struktur Organisasi Kecamatan

Doloksanggul

*Sumber : Profil Kecamatan Doloksanggul.

3. Desa dan Pemerintah Desa

Pasca reformasi proses penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi salah satu sasaran reformasi. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sekaligus mengatur Daerah Otonom dan Desa yang kemudian di revisi kembali melalui


(48)

Undang Nomor 32 Tahun 2004 serta diubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah.

Desa berdasarkan Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang meiliki batas-batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota.

Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 72 Tahun 2005, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :

a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota;

d. Urusan pemerintahan lainya yang oleh peraturan perundang undangan diserahkan kepada desa.

Dalam melaksanakan Pemerintahan Desa terdiri dari kepala desa beserta perangkat desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berkedudukan sebagai mitra kerja Pemerintahan Desa. Kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat desa, yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya


(49)

disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Kepada BPD kepala desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok peratanggung jawaban namun tetap memberikan kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakan dan atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang bertalian dengan pertanggung jawaban yang dimaksud.

Pemerintahan Desa terdiri dari pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam hal ini pemerintahan Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa yang sejajar dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang menjalankan roda-roda pemerintah Desa seperti pembuatan dan melaksanakan peraturan Desa anggaran dan pendapatan Desa dan keputasan Kepala Desa sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 Bab XI tentang Desa pasal 200 ayat 1.

Di dalam Desa Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa warga negara Republik Indonesia dengan masa jabatan 5 (lima) tahun. Calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa akan ditetapkan sebagai Kepala Desa oleh BPD dan dilantik oleh Bupati. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan penyelenggaraan desa yang mempunyai kewenangan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugas, kepala desa mempunyai wewenang yang diatur dalam PP No.72 Tahun 2005 pasal 14 ayat 2 :


(50)

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD.

b. Mengajukan rancangan peraturan Desa.

c. Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD.

d. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD.

e. Membina kehidupan masyarakat Desa. f. Membina perekonomian Desa.

g. Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.

h. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

i. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kepala Desa juga mempunyai hak sebagaimana diatur dalam UU No 6 Tahun 2014 Pasal 26 ayat 3 sebagai berikut :

a. Mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa. b. Mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa.

c. Menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan.


(51)

d. Mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan, dan

e. Memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 kedudukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sejajar dengan Pemerintahan Desa dimana BPD merupakan mitra kerja dalam Pemerintahan Desa dan memiliki kedudukan sejajar dalam menjalankan pemerintahan, pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini membuat BPD bersama Kepala Desa menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 35 BPD mempunyai wewenang sebagai berikut :

a. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa.

b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa.

c. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa. d. Membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.

e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan


(52)

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal 37 ayat 1 BPD mempunyai hak sebagai berikut :

a. Mengajukan rancangan peraturan desa. b. Mengajukan pertanyaan.

c. Menyampaikan usul dan pendapat. d. Memilih dan dipilih, dan

e. Memperoleh tunjangan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal 37 ayat 2 BPD mempunyai kewajiban dalam penyelenggara Pemerintahan Desa sebagai berikut :

a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan.

b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

c. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

e. Memproses pemilihan Kepala Desa.

f. Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.


(53)

g. Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, dan

h. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.

Dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 210 keanggotaan BPD adalah sebagai berikut :

a. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.

b. Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD.

c. Masa jabatan BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) masa jabatan berikutnya, dan

d. Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan BPD diatur dalam peraturan Daerah (Perda) yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP).

BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa yang dimana mempunyai kedudukan dalam pembangunan masyarakat Desa. BPD mempunyai tugas dalam meberikan pendapat dan pertimbangan terhadap Pemerintahan Desa dalam menyangkut kepentingan Desa dan masyarakat Desa, dan dapat disimpulkan bahwa BPD sebagai perwujudan dalam demokrasi di Desa sebagai berikut :


(54)

a. Mengayomi, yaitu menjaga kelestarian adat-istiadat yang hiudp dan berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan.

b. Legislasi, yaitu merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama dengan Pemerintahan Desa.

c. Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, APDes,serta Keputusan Desa.

d. Menampung aspirasi masyarakat desa, yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat desa kepada aparatur Pemerintahan Desa.

4. Peraturan Desa

Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Peraturan Desa yang wajib dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah sebagai berikut :

a. Peraturan Desa tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa;

b. Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;

c. Peraturan Desa Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD);


(55)

e. Peraturan desa tentang pembentukan Badan Milik Usaha Desa, apabila pemerintah desa membentuk BUMD;

f. Peraturan desa tentang Pembentukan Badan Kerjasama; g. Peraturan desa tentang Lembaga Kemasyarakatan.

Selain peraturan desa yang wajib dibentuk seperti tersebut diatas, pemerintah desa juga dapat membentuk peraturan desa yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari peraturan daerah dan perundang-undangan lainya yang sesuai dengan kondisi sosial budaya stempat, antara lain:

a. Peraturan desa tentang pembentukan panitia pencalonan dan pemilihan kepala desa;

b. Peraturan desa tentang penetapan yang berhak menggunakan hak Pilih dalam pemilihan kepala desa;

c. Peraturan desa tentang penentuan tanda gambar calon, pelaksanaan kampanye, cara pemilihan dan biaya pelaksanaan pemilihan kepala desa;

d. Peraturan desa tentang pemberian penghargaan kepada mantan kepala desa dan perangkat desa;

e. Peraturan desa tentang penetapan pengelolaan dan pengaturan pelimpahan/pengalihan fungsi sumber-sumber pendapatan dan kekayaan desa;


(56)

5. Desa Sirisirisi

Desa Sirisirisi terletak di Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan dengan luas wilayah 538,19 Ha dan mempunyai lahan pemukiman 30,106 Ha.

a. Letak Wilayah Desa Sirisirisi

Secara geografis Desa Sirisirisi terletak di Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Ketinggian Desa rata-rata 1.300 di atas permukaan laut (dpl) dan rata-rata-rata-rata suhu sekitar 27 – 30 °C dengan kategori daerah dingin/sejuk.

Secara administratif Desa Sirisirisi terdiri dari (3) Dusun yang terdiri dari Dusun I, Dusun II dan Dusun III dengan batas-batas sebagai berikut :

• Sebelah Utara : Desa Simangaronsang

• Sebelah Selatan : Desa Bonanionan, Desa Sihite I dan Desa Pasaribu

• Sebelah Barat : Desa Hutaraja, Desa Bonanionan

• Sebelah Timur : Desa Janji, Desa Bonanionan b. Jumlah Penduduk Desa Sirisirisi

Jumlah penduduk Desa Sirisirisi pada tahun 2014 sebanyak 2.267 jiwa dengan komposisi penduduk Laki-laki sebesar 1.129 jiwa dan komposisi penduduk perempuan sebesar 1.136 jiwa. Hal ini penting untuk dipertimbangkan,


(57)

karena penduduk merupakan subjek dan sasaran dalam proses pelayanan oleh pemerintah desa.

1. Jumlah penduduk Desa Sirisirisi berdasarkan jenis kelamin Table 2.3

Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

Tahun 2014

Laki-laki (jiwa) 1.129

Perempuan (jiwa) 1.136

Total (jiwa) 2.267

*Sumber : Profil Desa Sirisirisi

Menurut data statistik tahun 2014 di Desa Sirisirisi diketahui bahwa jumlah penduduk 2.267 jiwa. Jika dilihat dari faktor jenis kelamin, maka penduduk Desa Sirisirisi terdiri dari 1.129 jiwa laki-laki dan 1.136 jiwa perempuan. Dengan demikian komposisi penduduk Desa Sirisirisi jumlah perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki.

2. Jumlah penduduk Desa Sirisirisi berdasarkan pekerjaan Tabel 2.4

Jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan No Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)


(58)

1 Petani 493

2 Karyawan Swasta 89

3 Karyawan Honorer 10

4 Karyawan BUMN 7

5 PNS 78

6 Pedagang 12

7 Guru 19

*Sumber : Profil Desa Sirisirisi

Wilayah Desa Sirisirisi tergolong mayoritas petani karena mempunyai lahan pertanian yang sangat luas. Sebagian besar penduduk Desa Sirisiri bekerja sebagai karyawan swasta, karyawan honorer dan karyawan BUMN. Sedangkan yang lainnya bekerja sebagai pedagang dan hanya sebagian kecil yang berprofesi PNS dan guru.

3. Jumlah penduduk Desa Sirisirisi berdasarkan tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam pembangunan, karena dengan pendidikan masyarakat akan membentuk sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang akan sangat berpengaruh pada pelaksanaan dan pelayanan di desa. Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Sirisirisi mulai dari


(59)

yang tidak sekolah sampai dengan perguruan tinggi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.5

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa)

1 Belum/Tidak Pernah Sekolah 476

2 SD 336

3 SMP 660

4 SMA 610

5 D1/D2/D3 175

6 S-1 10


(60)

6. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Sirisirisi

Pemerintahan Desa Sirisirisi memiliki struktur organisasi sebagai berikut: Bagan 2

Struktur Pemerintahan Desa Sirisirisi

*Sumber : Profil Desa Sirisirisi

KEPALA DESA RADEN SIMAMORA

SEKRETARIS DESA PUNGUAN PURBA NIP. 19680422010115

KAUR PEMBANGUNAN PARASIAN SIMAMORA

KAUR UMUM SABAR SIMAMORA KAUR PEMERINTAHAN

MULLER PURBA

KEPALA DUSUN II

SARIAMAN SIMAMORA

KEPALA DUSUN I

MARIPIN PURBA

KEPALA DUSUN III


(61)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Nomor 72 Tahun 2005 pasal 1 yang dimaksud dengan Pemerintahan Desa dimana Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa adalah lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 9 Tahun 2008 tentang tata kerja Pemerintahan Daerah dengan Desa yang dimana Desa mempunyai tugas menyelenggarakan Pemerintah, Pembangunan dan Kemasyarakatan serta melaksanakan urusan Pemerintahan yang dilimpahkan Bupati melalui Camat dan laporan pertanggungjawaban Desa harus di laporkan kepada Bupati melalui Camat.


(62)

7. Struktur Organisasi Badan Permusyawaratan Desa Sirisirisi

Berdasarkan keputusan Camat Doloksanggul Nomor 125/DS/2013 tentang pengesahan dan penetapan anggota Badan Permusyawaratan Desa Sirisirisi Kecamatan Doloksanggul periode 2014-2019. Adapun struktur organisasi BPD Sirisirisi adalah sebagai berikut :

Bagan 3

Struktur BPD Desa Sirisirisi


(63)

BAB III

RELASI KEKUASAAN ANTARA KEPALA DESA DENGAN CAMAT A.Fase Historis Hubungan Kepala Desa Dengan Camat

Pada masa orde baru hubungan kepala desa dengan camat diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 yang bersifat hirearkhis-subordinatif dimana camat mampunyai wewenang dalam mengatur desa. Namun, perjalanan dan pelaksanaan Undang-undang tersebut kondisi pemerintahan menjadi lebih buruk terutama pada aparat pemerintahan pusat sampai ke pejabat daerah. Korupsi pada masa orde baru lebih banyak terjadi di pusat dan menyebar ke daerah-daerah. Politik uang terjadi dalam pemilihan kepala daerah baik di Propinsi maupun Kabupaten atau Kota, bahkan juga terjadi pada saat pemilihan Kepala Desa. Hubungan Kepala Desa dengan Camat dalam Undang-undang tersebut pada saat itu Camat sebagai atasan Kepala Desa dan Camat sebagai kepala wilayah (Penguasa Tunggal).

Oleh karena itu, Camat mempunyai pengaruh besar dalam mengatur Kepala Desa. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 Camat mempunyai kedudukan seperti yang disebutkan diatas dengan tugas, fungsi dan wewenang sebagai berikut :


(64)

a. Camat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah desa.

b. Camat sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan (memimpin kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, mengkoordinasikan pelaksanaan pembangunan dan membina kehidupan bermasyarakat di segala bidang, yaitu bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan).

Kondisi hubungan Kepala Desa dengan Camat pada masa orde baru mengalami proses pelemahan karena bersifa sentralistik dimana struktur Pemerintahan Desa yang ada tidak mampu mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa sehingga Pemerintahan Desa semakin rapuh. Banyak kasus-kasus perselisihan ditingkat Desa yang pada akhirnya tidak mampu terselesaikan dengan baik, oleh karena media dan perangkat Desa lainnya termasuk nilai-nilai yang menjadi kebiasaan masyarakat untuk menyelesaikan persoalannya telah diberangus oleh Negara. Hal ini membuat Kepala Desa didudukkan sebagain bawahan Camat dan Bupati serta bertanggungjawab kepadanya, sehingga Kepala Desa lebih loyal kepada Bupati atau Camat daripada masyarakatnya.

Setelah jatuhnya orde baru maka muncul Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur hubungan Kepala Desa dengan Camat. Pada UU Nomor 22 Tahun 1999 Camat adalah perangkat daerah Kabupaten atau perangkat daerah Kota yang didefinisikan sebagai kepala kecamatan Pasal 66 ayat 2 yang tidak lagi


(65)

mempunyai otoritas penuh atas tugas-tugas Pemerintahan (atributif) melainkan bergeser sebagai pelaksana tugas-tugas yang dilimpahkan/didelegasikan Pasal 66 ayat 4 oleh kepala daerah yang disebut Bupati/Walikota. Dengan kata lain tugas dan fungsi Camat pada era otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 hanyalah menerima sebagian pelimpahan kewenangan yang ditugaskan oleh Bupati atau Walikota atau yang lebih ekstrim, Camat tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya, apabila tidak mendapat pelimpahan kewenangan dari Bupati atau Walikota.

Dalam Undang-undang ini adanya pengurangan wewenang Camat yang sedemikian drastis dari pejabat administratif yang masih mempunyai kewenangan atributif menjadi pejabat administratif yang hanya bersifat delegatif yang membuat posisi Camat menjadi canggung. Kecanggungan posisi atau peran Camat tersebut semakin nampak dalam Pasal 109 ayat 1 yang bunyinya: Beberapa Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan Desa yang diatur dengan keputusan bersama dan diberitahukan kepada Camat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang tersebut keberadaan Camat dalam hubungannya dengan Desa sama sekali tidak jelas peran dan fungsinya.

Ketidakjelasan keberadaan Camat dalam Undang-undang ini yang pertama dapat dilihat pada UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 4 dimana Kecamatan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintah Daerah dan melaksanakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Kepala Daerah dan diatur dengan Keputusan Kepala Daerah. Dalam posisi demikian Kecamatan tidak


(66)

mempunyai wilayah yang meliputi desa-desa yang ada di wilayahnya, karena Pasal tersebut tidak secara tegas mengatur kewenangan Camat terhadap pemerintah desa. Camat hanya sekedar menerima pelimpahan urusan-urusan dari Kepala Daerah. Yang kedua pada UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 5 dimana Kecamatan mempnyai fungsi sebagai berikut :

a. Penyiapan bahan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

b. Penyiapan bahan dan pelaksanaan peningkatan perekonomian rakyat. c. Penyiapan bahan dan pelaksanaan pembangunan.

d. Penyiapan bahan dan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial. e. Pemberdayaan masyarakat desa.

f. Pembinaan ketentraman dan ketertiban.

g. Pelaksanaan koordinasi dengan perangkat daerah dan instansi vertical, dan

h. Pengelolaan ketatausahaan kecamatan.

Dalam pasal tersebut menunjukkan tugas Camat tidak jelas Karena tugas-tugas yang tercantum dalam Pasal tersebut sangat luas sehinga sulit dalam mengukur berhasil tidaknya Camat dalam menjalankan tugas-tugas tersebut. Sedangkan tugas yang secara tegas menyangkut hubungannya dengan desa hanya disebutkan pemberdayaan masyarakat desa. Tugas ini jelas akan menjadi sulit dilaksanakan karena posisi Camat yang tidak jelas ketika berhubungan dengan Desa.Seperti telah disebutkan di atas, berdasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, ketika berhubungan dengan desa posisi Camat mengambang. Posisi


(67)

mengambang tersebut terlihat dalam salah satu pasal dari Undang-Undang tersebut bahwa ketika antar desa mengadakan kerjasama ternyata Camat hanya sekedar diberitahu, sehingga dalam hal ini sama sekali tidak mempunyai makna apapun. Seharusnya Peraturan Daerah lebih menegaskan posisi Camat tersebut.

Misalnya, Camat mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan di level desa yang bersifat lintas desa. Di sini bisa saja diatur bahwa dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang bersifat lintas desa tersebut Camat benar-benar tidak melakukan intervensi atau mempengaruhi tetapi sekedar sebagai fasilitator ketika antar desa akan melakukan kerjasama. Kedudukan Camat kepada Desa pada Undang-undang tidak ada hubungan hirarkis dengan Pemerintah Desa (Desa tidak berada pada posisi sub-ordinasi Camat). Dalam pelaksaan kerja sama Kepala Desa dan Camat membentuk badan kerja sama, kerjasama tersebut hanya untuk kepada kepentingan Desa tersebut.

Ketidakjelasan posisi Camat dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 melahirkan Undang-undang baru yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam Undang-undang ini di jelaskan secara rinci tugas Camat yang tercantum dalam Pasal 126 ayat 3 yang meliputi :

a. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

b. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.


(68)

c. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan.

d. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.

e. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan.

f. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan atau kelurahan, dan g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup

tugasnya dan atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.

Dalam penjelasan Pasal 126 ayat 3 huruf (f) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan membina antara lain dalam bentuk fasilitasi pembuatan Peraturan Desa dan terwujudnya administrasi tata Pemerintahan Desa yang baik. Berdasarkan definisi terebut seolah-olah ingin menggambarkan bahwa Camat tidak akan intervensi kepada Pemerintah Desa, tetapi ternyata kalau kita hubungkan dengan pasal 222 ayat 4 bahwa Bupati dan Walikota dalam pembinaan dan pengawasan dapat melimpahkan kepada Camat, maka jelas bahwa Camat akan dengan mudah mengintervensi Desa. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Camat mempunyai kedudukan yang hireakis karena dapat memperoleh pelimpahan/pendelegasian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dari Bupati atau Walikota, dan hal ini membuat Sekretaris Desa adalah pegawai negeri sipil, maka camat berkedudukan sebagai atasannya.


(69)

Berdasarkan pasal di atas dengan jelas menempatkan posisi Camat sebagai pembina dan pengawas bagi pemerintah desa. Hal ini akan memperkuat posisi Camat ketika berhadapan dengan pemerintah desa. Dalam hal ini mebuat posisi dua pejabat penting dalam pemerintahan Desa, yaitu Kepala Desa dan Sekretaris desa jelas akan berada di bawah kendali Camat. Kepala Desa akan dikendalikan melalui pembinaan dan pengawasan, sedang Sekretaris Desa akan dikendalikan melalui jalur pegawai negeri sipil yang secara hirarkis akan tunduk kepada Camat sebagai atasannya Oleh karena itu Sekretaris desa berasal dari pegawai negeri sipil, otomatis ia merupakan bawahan dari Camat yang akan memberi penilaian terhadap Sekretaris desa tersebut. Sehingga karier Sekretaris desa sebagai pegawai negeri sipil sangat tergantung kepada Camat sama hal nya seperti Kepala Desa dimana Sekretaris desa merupakan ujung tombak administrasi desa, maka sebenarnya posisi Kepala Desa juga akan dengan gampang dikendalikan oleh Camat dan mempunyai kekuasaan dan menempatkan Camat sebagai atasan Pemerintahan Desa.

Penguatan posisi Camat tersebut perlu dikritisi sehingga tidak akan mengakibatkan hilangnya kemandirian desa atau otonomi desa. Salah satu cara agar otonomi desa tetap terjaga adalah dengan melibatkan pemerintah desa dalam perumusan Peraturan Daerah yang akan mengatur peran, tugas dan fungsi Kecamatan. Terutama yang menyangkut hubungan Pemerintah Kecamatan dengan Pemerintah Desa. Hubungan Camat dengan Desa bersifat sistemik, karena saling ketergantungan, saling mempengaruhi dan berinteraksi secara langsung


(70)

dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini kedudukan Camat adalah sebagai perangkat daerah, jadi Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga mempunyai kekuasaan atas Pemerintahan Desa.

Dalam hal ini posisi Camat dalam konteks Desa adalah sebagai pimpinan di Desa dan sebagai pembina dalam Desa. Disamping itu masyarakat maupun Pemerintah Desa sendiri secara faktual masih melihat Camat sebagai kepala wilayah dengan fungsi-fungsi sosial yang mengikat. Hingga saat ini, Desa masih menempatkan Camat sebagai kepala wilayah yang memiliki peran-peran sosial seperti mediasi konflik, komunikasi sosial, memimpin acara-acara sosial, dan sebagainya. Camat masih ditempatkan sebagai salah satu tokoh masyarakat dan penguasa penting di wilayah Kecamatan yang diharapkan dengan kekuasaan yang dimilikinya akan memainkan peran-peran sosial lebih jauh.

B. Hubungan Kepala Desa Dengan Camat Dalam Undang-Undang

Hubungan antara Kepala Desa dengan Camat seperti sudah di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 danUU No 5 Tahun 1979, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 danUU No 5 Tahun 1979 hubungan antara Kepala Desa dengan Camat adalah sebagi berikut :


(71)

a. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah desa. b. Memimpin kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Desa,

mengkoordinasikan pelaksanaan pembangunan dan membina kehidupan bermasyarakat di segala bidang, yaitu bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di dalam Desa.

Dalam Undang-undang ini Camat adalah sebagai atasan Kepala Desa dimana Camat mempunyai wewenang dalam mengatur Kepala Desa dan Pemerintahan Desa karena pada saat pemerintahan itu yang bersifat hirearki dan sentralistik yang membuat Kepala Desa bawahan Camat. Hal ini membuat Kepala Desa tidak mempunyai ruang kerja dalam mengatur Desanya karena sudah dibatasi oleh Camat. Oleh karena itu membuat Kepala Desa kehilangan kekuasaan dalam mengatur Desanya. Selain itu Camat juga membimbing dan melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah maupun Pemerintahan Desa.

Dalam keadaan seperti ini dimana pemerintahan bersifat sentralistik dimana Camat menduduk Pemerintah Desa sebagai bawahan. Hal ini membuat hilangnya peluang desa untuk menjadi entitas politik yang berotonomi menjadi sangat sempit bahkan tidak mungkin. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesadaran bahwa kedudukan pemerintah desa sebagai anak buah Camat hanya relevan kalau dilihat dari kacamata birokrasi. Kepala Desa bukanlah merupakan birokrat sebagai kepanjangan tangan dari Camat, seperti halnya Lurah. Ketika Kepala Desa tetap saja dipahami


(72)

kehadiran dan perannya sekedar sebagai jajaran birokrasi pemerintahan, maka potensi dan kemandirian masyarakat desa tidak akan teraktualisasikan secara optimal, sebab sejauh ini birokrasi pemerintahan lebih berperan sebagai pengatur dari pada sebagai fasilitator.

Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999 membuat Camat menjadi tidak jelas posisinya dalam Pemerintahan desa. Dalam Undang-undang ini hubungan Kepala Desa dengan Camat hanya sebatas memberitahu dan melakukan kerjasama antara Kepala Desa dengan Camat. Posisi Camat dalam Undang-undang sangat mengambang dan Camat tidak mempunyai wewenang dan intervensi dalam mengatur Kepala Desa maupun Pemerintahan Desa dan hanya sekedar fasilitator dan melakukan koordinasi di level Desa dan melakukan kerjasama baik dalam membuat program kerja dan membuat kebijakan di Desa.

Tidak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 muncul UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur hubungan antara Kepala Desa dan Camat didalam Undang-undang ini dijelaskan bagaimana tugas dan fungsi camat dalam berhubungan dengan Desa seperti : melakukan pengawasan terhadap Desa, melakukan pembinaan dalam Desa, memfasilitasi kegiatan Desa dan melakukan koordinasi atau melakukan rapat koordinasi dengan dengan Desa. Dalam melakukan pengawasan Camat ke Desa seperti :


(73)

a. Memonitoring dan evaluasi pembangunan Desa (ADD) dalam program ini ada bantuan dari Bupati ke Desa dan bantuan tersebut disampaikan oleh Camat ke Desa.

b. Peningkatan sistem pengawasan internal dan pengendalian kebijankan Kepala Daerah dan Desa.

Dalam melakukan pembinaan Camat ke Desa seperti :

a. Melakukan pembinaan PKK dan sudah menjadi program Camat ke Desa.

b. Program pengembangan adat dan kegiatan sosial dan budaya masyarakat.

c. Melakukan pembinaan terhadap muda-mudi Desa seperti karang taruna dan melakukan pembinaan terhadap lansia (lanjut usia). Posyandu dan PAUD (pendidikan anak usia dini).

Dalam melakukan fasilitas Camat ke Desa seperti :

a. Memfasilitasi musrembang Desa.

b. Memfasilitasi penyusunan Peraturan Desa (perdes) dan peraturan-peraturan lainya di dalam Desa.

c. Memfasilitasi Desa dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan di pedesaan dan perkotaan.

d. Memfasilitasi administrasi tata Pemerintahan, e. Memfasilitasi pengelolaan keuangan Desa


(1)

warisan jaman yang patut dipertahankan karena sudah menjadi mindset bersama. Hal ini membuat Camat dan jajaranya berhubungan dan berinteraksi terhadap Kepala Desa dan perangkat Desa.


(2)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hubungan antara Kepala Desa dengan Camat sudah sebagaimana di atur dalam Undang-undang, dimana pada masa orde baru dimana hubungan antara Kepala Desa dengan Camat di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 danUU No 5 Tahun 1979 dimana dalam Undang-undang ini Camat merupakan penguasa yang kuat di dalam Desa oleh karena itu Camat mempunyai wewenang dalam mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Desa mengingat pada masa orde baru dimana Pemerintah yang bersifat hirearkis-subordinatif dan bersifat sentralisitik. Jatuhnya orde baru UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 direvisi menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999 hubungan antara Kepala Desa dengan Camat dimana posisi Camat dalam hubungan Desa tidak jelas kerena Camat merupakan pejabat admistratif. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintah Desa tidak lagi berada pada sub-ordinasi Camat.

Dan dimana posisi Camat dengan Kepala Desa hanya sekedar diberitahu apabila ada kerjasama antar Desa. Tidak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 pada Undang-undang ini dijelaskan hubungan antara Kepala Desa dengan Camat sangat jelas dimana Camat melakukan seperti : melakukan pembinaan terhadap PKK, melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pengawasan


(3)

terhadap penggunaan alokasi dana Desa (ADD), menfasilitasi Desa dalam membuat peraturan Desa dan menfasilitasi Musrenbang Desa, dan melakukan koordinasi atau kerjasama dengan Desa meliputi : koordinasi dalam pembangunan di Desa, koordinasi dalam kemasyarakatan di desa dan koordinasi ketertiban di Desa.

Dalam hubungan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi dilihat dari program-program Desa dan kebijakan-kebijakan yang sudah di lakukan oleh Camat kepada Desa Sirisirisi baik dalam bidang pembinaan, pengawasan, fasilitasi dan koordinasi untuk mencapai kesejateraan masyarakat Desa tersebut. Peranan Camat dalam Desa merupakan sebagai pemimpin dalam Desa dan sebagai pembina dalam Desa sekaligus sebagai tokoh penting dalam masyarakat. Posisi Camat di dalam Desa sebagai penguasa wilayah masih mengakar sangat kuat. Dimana hubungan Kepala Desa dengan Camat merupakan sebagai jembatan dalam berlangsungnya penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Hubungan antara Kepala Desa dengan Camat dimana Kepala Desa memberikan saran masukan terkait pembangunan di Desa Sirisirisi, kemasyarakatan dan pemerintahan Desa. Di sisi lain Camat melakukan sosialisasi terhadap Kepala Desa apabila ada masalah dalam Desa. Dan setiap program-program yang dilakukan oleh Desa harus diketahui oleh Camat. Kuatnya posisi Camat dalam mengatur penyelengaraan Pemerintahan Desa menjadi hilangnya otonomi dan kemandirian di Desa, perlu diketahui Pemerintahan Daerah harus


(4)

menghormati hak, asal usul dan adat istiadat desa seperti dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 216 ayat 2.

Dalam pola relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Camat di Desa Sirisirisi dimana Camat melakukan pembinaan, pengawasan, menfasilitasi dan koordinasi seperti yang ada sudah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sehingga Camat mempunyai kekuasaan dalam mengatur Desa dan mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa. Di sisi kecamatan merupakan ruang bagi Desa untuk memenuhi kebutuhan bersamanya, baik dalam pelayanan publik maupun pembangunan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam, 2008. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Widjaja, HAW, 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan Utuh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Sinaga, Rudi Salam 2013, Pengantar Ilmu Politik, Yogykarta : PT Graha Ilmu Sitepu, P. Anthonius. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu Sitepu, P. Anthonius. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu Thoha, Miftah. 2008, “Birokrasi Pemerintahan Indonesia Di Era Reformasi”,

Kencana Prenada Media Group

Thoha, Miftah. 2003,”Birokrasi Dan Politik Di Indonesia”,PT Raja Grafindo Persada

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga University Press

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media

Group

Bungin, Burhan. 2001. “Metodologi Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif


(6)

Undang-Undang

UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Peraturan-Peraturan

PP No. 19 Tahun 2008 Pasal 15 Tentang Kecamatan PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa

Sumber Internet

2014 pukul 21.27

Diakses pada

tanggal 08 Juli 2014 jam 13.14 WIB

13.14 WIB

Sumber Lain

Profil Pemerintahan Desa Sirisirisi, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.