Perempuan dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa Potret Dinamika Monetisasi Desa

PEREMPUAN DALAM TRADISI NYUMBANG
DI PEDESAAN JAWA:
Potret Dinamika Monetisasi Desa

SOETJI LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Perempuan dalam
Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa: Potret Dinamika Monetisasi Desa adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor,

Mei 2014

Soetji Lestari
I363090041

RINGKASAN

SOETJI LESTARI. Perempuan dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa:
Potret Dinamika Monetisasi Desa, di bawah bimbingan TITIK SUMARTI,
NURMALA K. PANDJAITAN, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO
Di Indonesia kajian mengenai gender dan pertukaran hadiah belum banyak
dilakukan. Kajian mengenai tradisi nyumbang memang sudah beberapa kali
dilakukan, namun belum banyak menyentuh aspek gender. Dalam konteks
perdesaan, hal ini penting untuk melihat bagaimana monetisasi desa telah
merubah keberadaan perempuan beserta segala pranata sosial yang ada, termasuk

tradisi nyumbang sebagai salah satu wujud solidaritas warga. Pengeluaran yang
harus ditanggung rumah tangga desa ini dianggap semakin berat seiring dengan
perkembangan ekonomi pasar. Kalau sebelumnya nyumbang dapat menggunakan
produk pertanian, namun sekarang lebih banyak menggunakan uang tunai. Uang
sebagai alat rasionalisasi dikhawatirkan juga berpengaruh terhadap etika moral
yang dibangun masyarat desa dan menjadikan tradisi nyumbang sebagai media
transaksi ekonomi, sehingga perlu dikaji bagaimana mekanisme resiprositas yang
berlangsung dalam tradisi nyumbang; serta bagaimana perempuan desa
mengambil peran dalam tradisi ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis tentang: (1)
tipologi dan diferensiasi gender dalam tradisi nyumbang yang berlangsung di
Perdesaan Jawa (2) proses dan sistem resiprositas yang berlangsung dalam tradisi
nyumbang di tengah dinamika monetisasi serta keberadaan perempuan dalam
sistem resiprositas ini, serta (3) etika moral yang dibangun perempuan dalam
tradisi nyumbang di tengah dinamika monetisasi desa.
Pendekatan teoritis yang digunakan untuk memahami realitas di lapangan
adalah teori pemberian dari Mauss (1992) sebagai bagian dari tradisi Durkheimian
dan dari Komter (2007) yang mengakomodir tradisi pemikiran resiprositas dari
perspektif Antropologi dan Sosiologi. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif dengan pendekatan paradigma konstruktivis dan mengambil

setting lokasi sub budaya Jawa Banyumasan (yang diwakili desa-desa di
Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purbalingga). Subyek penelitian adalah
perempuan/ibu rumah tangga dari berbagai latar belakang pekerjaan (non-farm),
terutama buruh pabrik bulu mata dan pekerja rumah tangga (sebagai pekerja nonfarm). Pengumpulan data dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD),
wawancara mendalam dan observasi dengan terlibat dalam kegiatan tradisi
nyumbang. Dalam penelitian ini, proses analisis data dilakukan menggunakan
analisis deskriptif kualitatif melalui proses analisis interaktif dan model Spradley.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan tipologi nyumbang yang
didasarkan pada ruang lingkup kewajiban nyumbang, yakni lingkup desa
(mbarang gawe/hajatan besar) dan lingkup tapis wiring (tetangga dekat: hajatan
kecil/slametan). Perbedaan tipologi ruang lingkup nyumbang ini disertai
perbedaan pembagian kerja secara seksual. yang menempatkan pasangan suami
isteri memiliki kewajiban sosial yang berbeda dalam tradisi nyumbang, baik
dalam bentuk sumbangan maupun intensitas menyumbang. Laki-laki

menyumbang uang; perempuan menyumbang bahan pangan. Demikian pula
secara gender ada perbedaan proses dan mekanisme sistem resiprositas antara
laki-laki dan perempuan yang diakibatkan oleh perbedaan bentuk sumbangan. Di
tengah monetisasi sumbangan, perempuan desa Banyumas masih menggunakan
bahan pangan (beras dan non-beras/lawuh wedang) sebagai media resiprositas

dan sumbangan ini dikontrol melalui mekanisme keberadaan megari. Hal tersebut
bukan saja karena warisan sistem ekonomi subsisten melainkan banyak kalkulasi
sosial dan kalkulasi ekonomi yang menempatkan beras sebagai media resiprositas
yang utama. Beras sebagai media resiprositas yang utama dalam tradisi
nyumbang, karena bagi perempuan desa beras memenuhi berbagai aspek nilai
simbolik (beras sebagai simbol pangan pokok desa), nilai guna (jamuan utama
hajatan) dan nilai tukar (memiliki nilai tukar yang tepat dan memiliki daya jual
yang tinggi).
Adaptasi perempuan dalam berhadapan dengan ekonomi pasar dengan
realitas keterbatasan ekonomi, sementara harus mempertahankan tradisi dan
menjaga hubungan baik dengan tetangga, telah mengarahkan perempuan untuk
melakukan tindakan segala rasionalitas sebagai bentuk rasionalitas kompromi.
Dalam tradisi nyumbang perempuan dihadapkan pada tekanan ekonomi pasar,
realitas keterbatasan uang tunai, mempertahankan tradisi, dan menjaga hubungan
baik dengan tetangga dan kerabat. Melalui rasionalitas kompromi, perempuan
dapat mempertahankan ikatan sosial dalam tradisi nyumbang dengan segala
keterbatasan ekonomi yang dimiliki. Tekanan-tekanan ekonomi dan sosial
(besarnya pengeluaran nyumbang dan besarnya beban hutang) dapat dikendalikan
melalui falsafah ndilalah (sebagai kearifan lokal masyarakat Jawa yang percaya
terhadap keadilan Tuhan) yang memberi daya tahan secara sosial dari berbagai

tekanan.
Dengan demikian kesimpulan umum dalam penelitian ini adalah bahwa:
”Monetisasi desa telah mengarahkan etika moral perempuan desa dalam tradisi
nyumbang kepada bentuk tindakan rasionalitas yang kompromis antara tindakan
rasional dan tindakan non-rasional untuk mempertahankan solidaritas sosial yang
berbasis pangan”

Kata kunci: Tradisi Nyumbang, Perempuan Desa, Sistem Resiprositas dan
Solidaritas Sosial

SUMMARY

SOETJI LESTARI. Women in Nyumbang Tradition in Javanese Rural: The
Portrait of Rural’s Monetization Dynamic. Supervised by TITIK SUMARTI,
NURMALA K. PANDJAITAN, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO
In Indonesia, study about gender and gift exchange has not been carried
out extensively. Study on nyumbang tradition has indeed been often carried out,
yet it has not been related to gender aspects. In the village context, this is
important to see how village monetization has changed the women existence
together with all the existing social aspects, including nyumbang tradition as one

of the people’s solidarity expressions. The expense that each household has to
spend is considered too much as the market economic development becomes
heavier. If previously nyumbang tradition was carried out using an agricultural
product, nowadays it is carried out using cash money. Money as a means of
rationalization is also feared to influence moral ethics that has been built by the
village community and thus makes nyumbang tradition an economic media
transaction. Therefore, it is necessary to study how a reciprocity mechanism has
been going on in the nyumbang tradition, and how women in the villages play a
role in this tradition.
This research is aimed at studying and analyzing the followings: (1)
typology and different genders in the nyumbang tradition that has been going on
in Java villages, (2) the process and system of reciprocity that has been going in
the nyumbang tradition in the middle of monetization dynamics and the existence
of women in this system, and (3) moral ethics that has been built by women in the
nyumbang tradition in the middle of village monetization.
The theoretical approach that was used to cemprehend the reality in the
field is a theory given by Mauss (1992) as a part of Durkheimian and Komter
tradition (2007) that can accommodate reciprocity thought tradition from the
Anthropological and Socioligal perspective. The research method used a
qualitative method with a constructive paradigm approach and the setting took

place at sub-culture locations of Banyumas Java (represented by villages in
Banyumas Regency and Purbalingga Regency). The research subjects were
women/housewives from the various working background (non-farm), especially
eyelashes factory labours and household workers (as non-farmworkers). Data
collection was carried out through Focus Group Discussion (FGD), depth
interview and observation involved in the nyumbang tradition activity. In this
research data analyzing process was carried out using qualitative descriptive
analyses through interactive analyzing process and Spradley model.
The research results showed that there was a difference of typology of
nyumbang that is based on the scope of nyumbang obligation, namely the village
scope (close neighbors: small party/feast). The difference of typology scope of
nyumbang and differences in gender working division, which put a husband-wife
couple, had social obligation different from nyumbang tradition, whether it was in
the form of contribution or intensity of contribution. Males contributed money,
whereas females contributed foods. In terms of gender there was a difference of

process and mechanism of reciprocity system between males and females that
resulted from differences in the contribution forms. In the middle of contribution
monetization, women in Banyumas villages still used food materials (rice and
non-rice/lawuh wedang) as a medium of reciprocity, and contribution was

controlled via mechanisms of megari existence. This was not only due to the
subsysten economic system heritage but also due to a lot of social and economic
calculation that had put rice as the main medium of reciprocity. Rice was the main
medium of reciprocity in the nyumbang tradition, because for village women rice
could fulfill various aspects of symbolic values (rice as a symbol of the village
main staple food), usage values (main dish in feasts), and exchange values (having
an appropriate exchange value and high selling value).
Women adaptation to market economy when facing economical
constraints, while at the same time maintaining tradition and keeping
their
good relation with their neighbors, has led them to carry out various actions of
rationalization as a compromised rationalization. In the nyumbang tradition,
women are faced with market economic pressure, cash money constraints,
tradition and good relation with neighbors and relatives maintenance. Through
compromised rationalization, women are able to maintain social ties in the
nyumbang tradition with various economical constraints faced. Economical and
social pressures (the amount of nyumbang expense and the amount of debt) can be
controlled through ndilalah philosophy (as a local wisdom of Javanese
community that believe in God justice) so that they can survive socially from
various pressures

Thus, the general conclusion of the research is that: ”Village monetization
has led women’s moral ethics in the nyumbang tradition to compromised
rationalization between rational and non-rational actions to maintain food-based
social solidarity”.

Key words: Nyumbang Tradition, Rural Women, Reciprocity System and Social
Solidarity

©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya
karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.

PEREMPUAN DALAM TRADISI NYUMBANG
DI PEDESAAN JAWA:

Potret Dinamika Monetisasi Desa

SOETJI LESTARI

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program studi Sosiologi Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup
1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.
(Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Pedesaan – Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor)
2. Prof. Dr. Aida Vitayala S. Hubeis
(Guru Besar pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat – Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka
1. Prof. Dr. Irwan Abdullah
(Guru Besar pada Departemen Antropologi - Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta)
2. Prof. Dr. Aida Vitayala S. Hubeis
(Guru Besar pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat – Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor)

Judul
Disertasi

: Perempuan dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa: Potret
Dinamika Monetisasi Desa

Nama

: Soetji Lestari

NIM

: I363090041

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Titik Sumarti, M.S.
Ketua

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS,DEA
Anggota

Prof. Dr. S.M.P. Tjondronegoro
Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi
Mayor Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.,Agr.

Tanggal Ujian:
28 Februari 2014

Tanggal Lulus

PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena atas rahmat dan berkahNYA,
saya dapat menyelesaikan draft disertasi yang berjudul: “Perempuan dalam Tradisi
Nyumbang di Pedesaan Jawa: Potret Dinamika Monetisasi Desa” dengan segala
keterbatasan, kelemahan dan kekurangannya.
Selama dalam perjalanan studi dan proses penyelesaian disertasi ini, saya telah
berhutang budi dan dibantu banyak pihak, baik berupa bantuan moril dan materiil,
pencerahan ilmu, penguatan hati dan mental, doa dan perhatian serta berbagai
kemudahan fasilitas. Karena itu melalui kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan
terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada beberapa pihak yang tidak bisa saya
sebut semuanya.
Rasa hormat dan terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada komisi
pembimbing disertasi: Ibu Dr. Titik Sumarti, MS. (selaku ketua komisi pembimbing), Ibu
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS,DEA, dan Bapak Prof. Dr. S.M.P. Tjondronegoro
(anggota komisi pembimbing) yang dengan dedikasi dan kesabarannya telah
mencurahkan segala pemikiran dan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan
bobot akademis untuk disertasi saya. Di luar itu saya juga memeroleh kesabaran dan
dengan segala keramahtamahan yang membesarkan hati saya di tengah “kelemotan” saya
dalam proses penyelesaian disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga saya sampaikan kepada
Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA (selaku Dosen Penguji Luar Ujian Tertutup) dan
Prof. Dr. Aida Vitayala S. Hubeis (selaku Dosen Penguji Luar Ujian Tertutup dan Ujian
Terbuka), serta Prof. Dr. Irwan Abdullah (selaku Dosen Penguji Luar Ujian Terbuka) atas
kesediaan dan kelapangan hati beliau semua untuk menjadi penguji luar komisi dalam
ujian tertutup dan ujian terbuka saya ini. Masukan dan arahannya untuk menyempurnakan
dan memerbaiki disertasi saya ini memiliki makna yang sangat berarti.
Rasa terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi saya haturkan
kepada Pengelola PS/Mayor Sosiologi Pedesaan dan segenap Bapak/Ibu staf pengajar
pada program studi S2/S3 Sosiologi Pedesaan Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor yang telah
banyak memberi bekal ilmu selama dalam proses perkuliahan. Bekal ilmu berupa teori,
metodologi dan kasus-kasus sangat besar maknanya dalam ikut mewarnai disertasi saya
ini. Terima kasih yang sangat kepada Bapak Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr.,
(selaku ka-Prodi SPD) yang selalu mendorong dan menyemangati kami untuk segera
menyelesaikan kewajiban tugas belajar kami.
Rasa terima kasih dan penghargaan yang mendalam juga saya haturkan kepada
pimpinan Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) tempat saya meniti karier, mulai
dari pengelola jurusan, pimpinan Fakultas sampai pada pimpinan Universitas yang telah
memberi kesempatan tugas belajar sekaligus kemudahan administrasi dan bantuan dana
yang sangat membantu sekali. Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada jajaran
pimpinan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNSOED yang
selama saya studi telah memberikan kesempatan untuk ikut berkompetisi dan
memperoleh Hibah Penelitian, yakni Hibah Bersaing (2010) dan Hibah Disertasi (2013)
sehingga ikut memudahkan dalam proses penyusunan disertasi saya ini. Sebagaimana
diketahui pada saat saya mendaftar S3 ke IPB salah satu persyaratannya adalah
melampirkan sinopsis disertasi. Selanjutnya dari sinopsis disertasi ini saya sempurnakan
menjadi proposal untuk mengikuti kompetisi Hibah Bersaing dan alhamdulillah dapat.
Pelaksanaan penelitian Hibah Bersaing saya lakukan pada saat perkuliahan berjalan,
sehingga meskipun berat karena harus mondar-mandir penelitian ke Purwokerto, namun
bekal perkuliahan sangat membantu dalam saya menyelesaikan penelitian ini. Akhirnya

dari sinopsis dan hibah bersaing ini saya memantapkan diri untuk mengangkat tema
“Tradisi Nyumbang” untuk disertasi.
Terima kasih khusus saya sampaikan kepada sahabat dan teman seprofesi, Ibu Tri
Rini Widyastuti (saat ini ketua jurusan Sosiologi FISIP UNSOED), yang selalu setia
menemani saya dari awal proses penelitian (observasi presurvei) sampai pada saat semua
kegiatan FGD, yang dengan rajinnya menuliskan catatan-catatan FGD dengan detail dan
cepat sekali. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Desa Linggasari
Banyumas dan Mbak Evi dari LSM Purbalingga yang setiap saat penulis ganggu dengan
berbagai pertanyaan lewat BBM; juga kepada Bapak Sunardi, sesepuh dan budayawan
Banyumasan yang bersedia memberikan informasi-informasi di rumah beliau nan asri dan
dilanjutkan lewat inbox facebook. Rasanya masih berderet “orang-orang penting” yang
penulis berhutang budi atas jasa dan bantuannya, Bu Tyas dan Pak Dalhar (tim Peneliti
Hiber), Bu Triwur, Bapak Dodit, Bapak Slamet AN, Ibu Joko, Bapak Yudha Heryawan,
dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Tak lupa terima kasih
yang luar biasa saya sampaikan kepada segenap subyek dan informan penelitian saya di
desa Datar dan Linggasari (Banyumas) dan di desa Mangunegara dan Kalikabong
(Purbalingga) atas segala informasinya yang sangat berharga dengan segala keramahtamahannya. Semoga Allah membalas yang setimpal jasa baik beliau semua.
Ucapan terima kasih yang tiada terhingga saya dedikasikan untuk teman-teman
seperjuangan Angkatan 2009 Sosiologi Pedesaan: Ibu Adriana, Ibu Thrywati, Bapak
Sakaria, Bapak Muh Syukur, dan Bapak Mahmuddin yang telah berjuang dan selalu
berbagi bersama selama masa perkuliahan. Terima kasih pula untuk kakak-kakak dan
adik-adik kelas yang juga ikut membangun kebersamaan, persahabatan dan keakraban
yang luar biasa di Kampus IPB tercinta. Semoga silaturahmi kita terus terjaga.
Rasa hormat dan terima kasih saya persembahkan kepada kedua orang tua saya
tercinta yang telah berjuang secara maksimal untuk pendidikan saya di tengah
keterbatasan ekonomi dan pendidikan beliau berdua. Doa, kasih sayang, didikan moral,
dukungan dan perhatian yang luar biasa dan tiada henti telah saya peroleh dari beliau.
Rasa hormat dan terima kasih yang sama juga saya haturkan kepada Ibu dan Bapak (alm)
Mertua saya atas segala doa dan perhatiannya. Saya mohon maaf karena selama studi,
silaturahmi saya menjadi sangat berkurang. Kepada kakak-kakak dan adik-adik, adik-adik
ipar saya juga sangat berterima kasih atas segala doa dan perhatiannya, khususnya
kepada Mbak Umi saudara kandung perempuan saya satu-satunya yang selalu
membesarkan hati saya dengan berbagai doa dan perhatiannya saat saya berkeluh kesah.
Pada akhirnya, rasa terimakasih yang paling istimewa saya berikan kepada suami
tercinta Edy Suyanto yang saat ini juga sedang menempuh studi S3 di IPB. Terima kasih
atas segala dukungan dan semangatnya yang luar biasa untuk penyelesaian studi saya
sehingga harus rela hak-haknya sebagai suami berkurang dan harus selalu bersabar dan
berbesar hati menghadapi “ketegangan” saya saat-saat “bad mood” menyusun disertasi.
Permohonan maaf yang dalam kepada anak laki-laki saya Febri yang harus rela banyak
kehilangan perhatian bimbingan dan kasih sayang saya sebagai Ibu selama saya studi dan
harus rela ikut merantau di Bogor. Terima kasih yang tiada tara kepada si Mbak Saroh
yang telah lama sekali menjadi bagian keluarga kami yang ikut membantu melancarkan
tugas-tugas domestik sehingga bisa mengurangi beban tugas domestik saya.
Akhir kata, saya berharap bahwa disertasi saya ini bisa memberikan rangsangan
akademik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana tradisi memberi
di tengah ancaman individualisme, monetisasi maupun rasionalisasi ekonomi.
Bogor, Mei 2014
Penulis

DAFTAR ISI

RINGKASAN
SUMMARY
HALAMAN PENGESAHAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
GLOSARI
1

2

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perumusan Masalah, State of The Art, dan Pertanyaan
Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

iv
vi
xi
xii
xiv
xvi
xviii
xix
xx
1
1
6
10
10

KERANGKA TEORI
Konsep dan Makna Pemberian dalam Sistem Resiprositas
Teori Pertukaran Sosial dalam Tradisi Pemikiran Sosiologi
Kemiskinan, Tradisi Masyarakat Jawa dan Monetisasi Desa
Keberadaan Perempuan Desa dalam Pertukaran Sosial
Etika Moral Tradisi Nyumbang: Antara Rasionalitas dan
Moralitas (Pertarungan Makna)
Proposisi
Kerangka Berpikir Penelitian

12
12
16
21
25
34

3

METODE PENELITIAN
Pendekatan/Paradigma Penelitian
Penentuan Lokasi, Subyek dan InformanPenelitian
Metode Pengumpulan Data/Informasi
Metode Analisis Data

41
41
42
45
49

4

BANYUMASAN SELAYANG PANDANG
Pengantar
Profil Penduduk Banyumas dan Purbalingga
Profil Sumber Daya Perempuan Banyumas
Budaya Banyumasan: Antara Jawa dan Sunda
Perkembangan Hajatan dan Nyumbang sebagai Industri Jasa

50
50
51
56
62
65

5

TIPOLOGI DAN DIKOTOMI GENDER DALAM TRADISI
NYUMBANG
Pengantar
Tipologi/Anatomi Kegiatan Nyumbang
Diferensiasi dan Struktur Sosial dalam Tradisi Nyumbang

68

38
39

68
69
89

Pembagian Kerja Secara Seksual dalam Tradisi Nyumbang
Makna Memberi dan Nyumbang: Dari Tandur ke Nyelengi
Ikhtisar
6

7

8

92
100
104

PROSES DAN SISTEM RESIPROSITAS DALAM TRADISI
NYUMBANG DI TENGAH MONETISASI DESA
Pengantar
Undangan, Perubahan Sosial dan Monetisasi
Sistem dan Mekanisme Resiprositas
Megari dan Pangan Pranata Resiprositas Wilayah Perempuan
Beras Antara Nilai Sosial dan Nilai Ekonomi Resiprositas
“Kode Khusus” Proses Resiprositas
Ikhtisar

105

ETIKA MORAL PEREMPUAN DESA DALAM TRADISI
NYUMBANG
Pengantar
Etika Moral “Uleman” Perempuan Desa
Rewang: Dari Gotong Royong Menuju Ana Tembunge
Tradisi Berhutang versus Falsafah Ndilalah
Rasionalitas Perempuan Desa: Rasionalitas Kompromi (Sebuah
Refleksi Teoritis)
Ikhtisar

131

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Rekomendasi

155
155
159

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

105
106
114
117
122
128
129

131
132
136
143
146
153

161

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin Maret 2010
Menurut Desa-Kota di Pulau Jawa dan Indonesia (BPS, 2011)

3

2

HDI, GDI dan GEM di Wilayah Banyumas dan Purbalingga
Tahun 2004-2007

4

3

Penduduk Usia 10 tahun Ke Atas Yang Bekerja di Kab. Purbalingga Menurut Status Pekerjaan dan Jenis Kelamin 2006-2007

5

4

Penduduk Usia 10 tahun Ke Atas Yang Bekerja di Kab. Purbalingga Menurut Lapangan Usaha Utama dan Jenis Kelamin 2007

9

5

Perbedaan Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik

20

6

Perubahan Bentuk Nyumbang di Perdesaan Jawa dari Waktu ke
Waktu

24

7

Perbedaan Karakteristik Konsep Seks dan Gender

26

8

Pemberi dan Penerima Hadiah Berdasarkan Gender

29

9

Dikotomi Peran Laki-laki dan Perempuan (Oposisi Biner)

31

10

Metafisik dari Paradigma Penelitian

41

11

Lokasi dan Subyek Penelitian

45

12

Jadwal dan Tempat Pelaksanaan FGD

48

13

Jumlah Penduduk di Kabupaten Banyumas dan Purbalingga

52

14

Tingkat Pendidikan Penduduk 5 tahun ke Atas di Kab. Banyumas

52

15

Tingkat Pendidikan Penduduk 5 tahun ke Atas di Kab.
Purbalingga

53

16

Lapangan Pekerjaan Penduduk Usia 15 tahun ke Atas Yang
Bekerja di Kab. Banyumas

54

17

Lapangan Pekerjaan Penduduk Usia 15 tahun ke Atas Yang
Bekerja di Kab. Purbalingga

55

18

Jumlah Penduduk Miskin di Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga,
dan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 – 2010

55

19

Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Upah Minimum
Kabupaten/Kota

56

20

HDI/IPM di Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, dan di Jawa
Tengah

57

21

GDI/IPG di Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, dan di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2011

58

22

GEM/IDG di Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, dan di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2011

59

23

Jumlah Tenaga Kerja di Kab. Purbalingga Menurut Jenis Kelamin

61

24

Jumlah Tenaga Kerja Pengolahan Rambut di Kab. Purbalingga
Menurut Jenis Kelaminnya Per Maret 2012

61

25

Potensi Kegiatan Nyumbang di Desa dalam Setiap Bulan Jawa
Antara Laki-laki dan Perempuan

94

26

Pola/Tipologi Perbedaan Gender dalam Tradisi Nyumbang di Desa
Banyumasan

97

27

Perbedaan Perilaku Nyumbang Berdasarkan Perbedaan Tipologi
Masyarakat pada Kelompok Perempuan

99

28

Cara Undangan Hajatan di Desa

112

29

Musik Tape Recorder Penanda “Panggilan/Undangan” Hajatan
melalui Loud Speaker (Kasus di Desa Linggasari)

113

30

Harga Beras Sumbang Per Mei 2012

123

31

Kalkulasi Sosial Perempuan Desa untuk Tidak Beralih dari Beras
ke Uang

125

32

Nilai Jual Bahan Pangan Hasil Sumbangan di Mrebet
Purbalingga Mei 2012

126

33

Keberadaan Sumbangan Perempuan Desa Banyumas

152

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Model Kausal untuk Teori Resiprositas dari Pertukaran Sosial

19

2

Kerangka Berpikir Penelitian

40

3

Peta Wilayah Budaya Banyumas di Propinsi Jawa Tengah

43

4

Peta Lokasi Penelitian di Kab. Purbalingga dan Kab. Banyumas

44

5

Alur/Proses Analisis Data Penelitian Kualitatif

49

6

Perkembangan IPM di Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 – 2011

57

7

Perkembangan IPG di Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 – 2011

58

8

Perkembangan IDG di Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 – 2011

60

9

Tipologi Nyumbang di Perdesaan Banyumas

70

10

Alokasi Pengeluaran Slametan: Banyak Berbagi (Kasus Mitoni)

81

11

Potensi Kegiatan Nyumbang di Desa dalam Setiap Bulan Jawa
Antara Laki-laki dan Perempuan

95

12

Trend Pesan Khusus dalam Undangan yang berkembang di
Banyumas Pada Tahun 2012

109

13

Undangan Pernikahan Orang di Perdesaan Jawa yang Dibeli Secara
Kosongan

111

14

Mekanisme Prinsip Resiprositas dalam Tradisi Nyumbang
“Mbarang Gawe” di Perdesaan Jawa Banyumasan

115

15

Tas Nyumbang Banyumas dan Tas Nenggok Purbalingga: Tas
Resiprositas Perempuan dalam Tradisi Nyumbang di Banyumasan

120

16

Makna Beras bagi Perempuan Desa dalam Tradisi Nyumbang

127

17

Cara Perempuan Desa Mengundang Hajatan

135

18

Gaya rewang Jawa Wetanan, mengerahkan banyak tetangga
perempuan

138

19

Suasana rewang hajatan rumah tangga sederhana

140

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Review Beberapa Penelitian Terdahulu yang Relevan

Lampiran 2

Peta Politik di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten
Purbalingga

Lampiran 3

Foto-Foto Hasil Kegiatan Penelitian

GLOSARI
Bejo

: Beruntung (secara kebetulan)

Beras sumbang

: Beras yang digunakan perempuan untuk nyumbang yang
diperoleh dari warung; dan warung mendapat beras
tersebut dari hasil sumbangan yang dijual oleh keluarga
yang baru saja mengadakan hajatan. Dengan kata lain
beras sumbang adalah beras yang berputar dari sumbangan
ke sumbangan melalui agen warung

Bledogan

: Nikah “dadakan” (mendadak) karena ada sesuatu hal

Cawelan

: Cawelan dalam konteks tradisi nyumbang adalah ikut
tetangga menghadiri hajatan di luar desa yang tidak
dikenal namun memiliki hubungan kerabat dekat dari
tetangganya.

Ditembung

: Diminta persetujuannya

Dorang

: Nyumbang yang diberikan (perempuan) setelah acara
hajatan selesai. Karena terlambat nyumbang, umumnya
sumbangan juga lebih besar

Keton gawane

: Terlihat apa yang dibawa

Kondangan

: Menghadiri undangan hajatan (khususnya hajatan
perkawinan dan khitanan)

Lawuh wedang

: Jajanan/makanan pendamping minuman

Luwihan/lewihan

: Sisa yang berlebih

Mantu

:

1. Hajatan pernikahan yang diselenggarakan pihak dari
(calon) mempelai perempuan
2. Menantu

Mbarang gawe

: Menyelenggarakan hajatan “besar” (pernikahan dan
sunatan)

Mbesan

: Hajatan pernikahan yang dilakukan oleh pihak laki-laki
sebelum acara akad nikah pada keluarga perempuan

Megari

: Perempuan yang bertugas mengatur dan mengontrol
distribusi makanan pada hajatan mbarang gawe dari hasil
sumbangan dan mendistribusikan kembali untuk berbagai
keperluan (terutama untuk jamuan dan isi bingkisan
sumbangan)

Mernahmernahke

: Mengatur, mensiasati

Mungel

Berbunyi, bersuara

Ndilalah/ndelalah : Kebetulan (yang tidak disengaja)

Nenggok

: Istilah bagi orang nyumbang berupa bahan makanan.
Istilah ini muncul karena dahulu barang bawaan
ditempatkan dalam tenggok, keranjang bambu yang dapat
dijinjing. Meski saat ini tenggok tidak lagi digunakan –
diganti keranjang plastik atau tas anyaman plastik – istilah
nenggok tidak berubah

Ngirim

: Mengirim. Dalam konteks hajatan perkawinan di
Banyumas adalah pengantin baru setelah menikah datang
silaturahmi pada keluarga pengantin laki-laki dengan
ngirim (membawa) segala macam bingkisan

Ngunduh mantu

: Hajatan pernikahan yang dilakukan oleh pihak laki-laki
beberapa waktu setelah acara akad nikah/resepsi yang
diselenggarakan pihak mempelai perempuan

Njlimet

: Rumit, sulit, kompleks

Nyingget arto

: Menghemat pengeluaran uang secara tunai (langsung)

Pacitan

: Makanan kecil, macam-macam kue

Pemancal

: Pemberian jago kepada kepala desa dari pihak (calon)
keluarga mempelai laki-laki apabila ada warga desanya
yang menikah dengan laki-laki dari luar desa.

Petung

: Penuh perhitungan

Tapis wiring

: Seputar, sekeliling (yang terdekat)

Rangken

: Memasang rangka rumah (kuda-kuda)

Rewang

: Membantu tetangga yang sedang melaksanakan hajatan
yang terkait urusan masak-memasak (logistik makanan).
Rewang identik dengan perempuan

Sambatan

: Membantu tetangga yang sedang melaksanakan suatu
hajatan yang terkait urusan tenaga fisik, seperti memasang
rangka rumah atau memasang tarub pada saat mbarang
gawe. Sambatan identik dengan laki-laki

Semaya

: Minta ditunda, mengulur waktu

Singget

: Singkat, hemat, sederhana, tidak repot

Srawung

: Bergaul, bersosialisasi

Ulem-ulem

: Undangan menghadiri hajatan

Umume

: Norma yang berlaku umum

Umpang-umpang

: Dalam konteks tradisi nyumbang adalah sumbangan
makanan (umumnya makanan keringan atau mie) yang
ditumpangkan di atas sumbangan beras (sebagai
sumbangan pokok)

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Altruism, giving, pro-social conduct, and reciprocity are the basis of the
existence and performance of societies, through their various occurrences:
in families; among the diverse motives of the political and public sectors;
as the general respect and moral conduct which permit life in society and
exchanges; for remedying “failures” of markets and organizations (which
they sometimes also create); and in charity and specific organizations
(Kolm, 2006)
Salah satu dasar hubungan sosial kerjasama adalah gift giving ataupun
saling tukar hadiah yang dipelihara melalui nilai-nilai altruism, giving, pro-social
conduct dan reciprocity. Molm (2010) mengidenfikasi pentingnya resiprositas
antara lain dari: Hobhouse (1906) yang menyebut sistem resiprositas merupakan
prinsip-prinsip yang penting dalam masyarakat, sementara menurut Simmel
(1950) bahwa keseimbangan dan kohesi sosial tidak bisa ada tanpa ada sistem
resiprositas, sedangkan menurut Becker manusia adalah spesies “homo
reciprocus”. Menurut Belshaw (1981), untuk memahami sistem ekonomi suatu
masyarakat yang mengkaitkan dengan analisa budaya dan sosial, maka tidak ada
jalan lebih baik daripada memulainya dengan kelembagaan tukar-menukar.
Sebagai lembaga tersendiri, tukar menukar telah menerobos seluruh bangunan
sosial dan dapat dipandang sebagai tali pengikat masyarakat. Dari sini akan
terlihat bagaimana sekelompok masyarakat saling tolong menolong, bergotong
royong, saling memberi dan memanfaatkan berbagai jasa yang ada. Tradisi tukar
menukar hadiah adalah tradisi yang bersifat universal, lintas bangsa, lintas etnis,
juga lintas kelas. Tradisi tukar hadiah juga tumbuh subur di tengah masyarakat
desa yang miskin sekalipun.
Perdesaan Jawa yang selama ini diidentikkan dengan kemiskinan ada satu
tradisi yang tetap bertahan, yakni ”tradisi nyumbang” (present), sebagaimana yang
terjadi pada masyarakat kuno/primitif di masa lalu. Nyumbang adalah istilah Jawa
untuk menggambarkan satu kegiatan masyarakat untuk memberikan suatu
sumbangan (identik dengan barang dan uang) pada kerabat karena ada hajatan
atau moment tertentu (kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian,
mbangun rumah, dan lain sebagainya). Istilah nyumbang lebih berkonotasi pada
tradisi masyarakat desa.
Nyumbang (gift giving) merupakan pranata sosial sekaligus simbol ikatan
sosial masyarakat desa yang penting, yang memiliki fungsi resiprositas dengan
cara saling memberi dan saling tolong menolong sekaligus menggambarkan
dinamika interaksi komunitas warga desa. Dari beberapa hasil penelitian yang
pernah dilakukan (Hefner 1983; Djawahir, dkk. 1999; Abdullah 2001; Kutanegara
2002; Widyastuti 2003, Prasetyo 2003, Lestari 2010) menunjukkan meskipun
masyarakat desa hidup dalam situasi kemiskinan yang menekan, kegiatan “tradisi
nyumbang” tetap memiliki kekuatan sosialnya. Dalam tradisi masyarakat
perdesaan di Jawa, “tradisi nyumbang” merupakan kegiatan tolong menolong dan
kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan sosial yang sangat penting dalam
menjaga harmonisasi sosial. Nyumbang merupakan pranata sosial yang menunjuk
kepada kebersamaan perasaan moral dalam komunitas (Abdullah 2001).

2

Sepanjang upacara lingkaran hidup manusia, seperti kelahiran, sunatan,
perkawinan dan kematian, para tetangga, kerabat dan teman datang untuk
membantu. Dengan demikian beban sosial, ekonomis, dan psikologis yang mereka
tanggung akan menjadi lebih ringan. Pada saat yang lain, mereka yang telah
menerima sumbangan akan mengembalikannya kepada mereka yang pernah
membantu. Bantuan yang diberikan dapat berupa tenaga, uang maupun barangbarang kebutuhan sehari-hari, terutama yang akan digunakan dalam acara
tersebut. Kebiasaan untuk saling membantu di antara warga masyarakat telah
memunculkan proses tukar menukar dalam bentuk barang dan tenaga (Kutanegara
2002).
Masalah lain yang saat ini tengah dialami desa adalah proses
perekonomian uang yang makin meluas dan intensif yang bukan saja merasuk
terhadap strategi nafkah rumah tangga desa (Sayogyo 2006), tetapi juga
berpengaruh dalam membangun relasi-relasi sosial, sebagaimana yang dikatakan
oleh Simmel bahwa pertukaran ekonomi (uang) juga merupakan bentuk interaksi
sosial. Ketika uang menggantikan barter, bentuk interaksi sosial pun berubah,
yang berdampak pada kualitas hubungan antar para aktor (Blikololong 2010).
Beberapa studi yang ada memerlihatkan bagaimana perubahan dari sistem
ekonomi subsisten ke sistem ekonomi uang justru membawa masyarakat desa
kepada kemiskinan (Penny 1990; Mubyarto 1993; dan Tjondronegoro 1998).
Hasil penelitian Penny menunjukkan bahwa ekonomi pasar memerlihatkan
dampak yang berbeda terhadap desa. Tesis pokok Penny dalam buku “Kemiskinan
Peranan Sistem Pasar” adalah bahwa desa-desa yaitu di Sriharjo Imogiri
Yogyakarta dan Sukamulia di Sumatera Utara yang memiliki komunitas “orangorang Jawa” ternyata bisa mengalami dampak yang berbeda dari “sistem pasar”.
Desa Sriharjo yang telah amat komersial dengan mudah dieksploitasi oleh
kekuatan-kekuatan sistem pasar bebas, sehingga membuat desa Sriharjo menderita
dan bertambah miskin. Sebaliknya desa Sukamulia yang masih cenderung
subsisten tidak terlalu terpengaruh oleh kekuatan sistem ekonomi pasar (Penny
1990). Sementara menurut Heyzer (1986) proses komersialisasi pertanian juga
merupakan tekanan penting yang mengubah organisasi dan institusi sosial
perdesaan, seperti tradisi nyumbang.
Sebagaimana diketahui, isu kemiskinan masih menjadi isu sentral dalam
melihat permasalahan masyarakat desa di Indonesia, terutama di perdesaan Jawa.
Sebagian besar penduduk desa termasuk kategori miskin. Menurut hasil Susenas,
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta
orang. Dari jumlah penduduk miskin tersebut sebagian besar (64 persen) berada di
perdesaan, termasuk di perdesaan Jawa. Di Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) dan Jawa Timur persentase penduduk miskin perdesaan berada
di atas rata-rata angka nasional (16,56 persen), sementara di Jawa Tengah 18,66
persen, DIY 21,95 persen dan Jawa Timur 19,74 persen (lihat Tabel 1). Banyak
konsep-konsep penelitian sosial tentang kemiskinan yang lahir dari perdesaan
Jawa, seperti involusi pertanian, share of poverty, dan lain sebagainya. Desa-desa
di Jawa selama ini telah menarik perhatian para ilmuwan sosial, sosiolog,
antropolog maupun ilmuwan sosial yang lain, seperti White, Boeke, Geertz,
Hüsken, Hayami dan Kikuchi, Penny, Sayogyo, dan lain sebagainya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Hayami dan Kikuchi (1981) Jawa memiliki
bahan observasi sosial yang unik, karena mengalami pertumbuhan penduduk yang

3

tinggi sejak abad kesembilan belas dan ditandai dengan kepadatan penduduk yang
tertinggi. Tekanan penduduk dikhawatirkan bersamaan terjadinya tekanantekanan dari kekuatan modernisasi lainnya, seperti teknologi baru dan
komersialisasi, yang dapat merusak kelembagaan tradisional desa dan
mengakibatkan terjadinya polarisasi komunitas petani dengan konflik kelas yang
menajam.
Tabel 1 Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin Maret 2010
Menurut Desa-Kota di Pulau Jawa dan Indonesia
Kota
Desa
Wilayah
Garis Kemiskinan
% Penduduk
Garis Kemiskinan
% Penduduk
(Rp/kapita/ bulan)

Miskin

(Rp/kapita/ bulan)

Miskin

DKI

331.169

3,48

-

-

Jabar

212.210

9,43

185.335

13,88

Banten

220.771

4,99

188.741

10,44

Jateng

205.606

14,33

179.982

18,66

DIY

240.282

13,98

195.406

21,95

Jatim

213.383

10,58

185.879

19,74

Indonesia

232.988

9,87

192.354

16,56

Sumber data: BPS, 2011
Mengamati data Tabel 1 di atas memerlihatkan bagaimana perdesaanperdesaan di Pulau Jawa, khususnya dalam propinsi yang sebagian besar bersuku
Jawa (Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur) memiliki
tingkat kemiskinan yang tinggi karena berada di atas angka rata-rata nasional.
Propinsi Jawa Tengah memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi walaupun
menggunakan garis kemiskinan yang paling rendah di antara propinsi-propinsi
lain di Pulau Jawa. Dilihat dari wilayah kabupaten, menurut data BPS (2011),
kabupaten Purbalingga adalah merupakan kabupaten dengan persentase penduduk
miskin yang tertinggi di Jawa Tengah yakni mencapai 24,58 persen. Jawa yang
merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi dan administrasi pemerintahan dengan
sistem transportasi dan komunikasi yang sangat terbuka untuk masuknya
pengaruh modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi harus dihadapkan pada masalah
kemiskinan yang tak pernah selesai.
Dari sisi gender, data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menunjukkan bahwa dari 1,3 miliar warga dunia yang masuk katagori miskin, 70
persennya adalah kaum perempuan Hal ini menguatkan terjadinya feminisasi
kemiskinan yakni sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan
dialami oleh kaum perempuan. Demikian pula sebagian besar orang miskin di
Indonesia adalah perempuan (ILO 2004). Hal ini antara lain ditandai dengan
tingkat pendidikan, tingkat buta huruf, dan juga tingkat pendapatan perempuan
yang lebih rendah dibanding laki-laki. Meningkatnya tingkat partisipasi angkatan
kerja (TPAK) perempuan (SP 1980: 32,43; SP 1990: 38,79, SP 2000: 56,62) tidak
serta merta menjadi indikator meningkatnya kondisi ekonomi perempuan, karena
pada kenyataannya TPAK perempuan di desa jauh lebih tinggi dibanding TPAK
perempuan kota. Hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2000 menunjukkan
TPAK perempuan kota 46,52, sedangkanTPAK perempuan desa adalah sebesar

4

64,30. Kondisi ini memerlihatkan bagaimana tingginya keterlibatan perempuan
dalam ketenagakerjaan lebih disebabkan oleh faktor ekonomi daripada faktor
aktualisasi diri. Salah satu cara untuk melihat rendahnya kondisi sosial ekonomi
perempuan adalah dengan melihat selisih data Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index/HDI) dengan data Indeks Pembangunan Responsif
Gender (Gender related Development Index/GDI). HDI merupakan indikator
kualitas penduduk yang merupakan kombinasi antara indeks angka harapan hidup,
angka buta huruf dan tingkat pendapatan. Sementara GDI adalah indikator yang
sama dengan memperhatikan selisih perbedaan (ketidaksetaraan) antara penduduk
laki-laki dan perempuan (Hubeis 2010). Dengan kata lain HDI yang tinggi, tetapi
GDI-nya rendah menunjukkan adanya ketimpangan gender, semakin tinggi selisih
antara HDI dan GDI berarti semakin tinggi ketimpangan gender yang terjadi pada
indikator-indikator tersebut. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan dalam kasus di
Kabupaten Banyumas dan Purbalingga di Propinsi Jawa Tengah, seperti terlihat
dalam Tabel 2 di bawah.
Tabel 2 HDI, GDI dan GEM di Wilayah Banyumas dan Purbalingga Tahun 2004-2007
Wilayah

HDI/IPM

GDI/IPG

GEM/IPG

2004

2005

2006

2007

2004

2005

2006

2007

2004

2005

2006

2007

Banyumas

70.3

70.7

70.8

71,2

58.1

58.7

62.1

62.6

58.3

59.3

62.4

62.5

Purbalingga

68.7

69.3

69.9

70.4

58.2

58.6

58.5

60.6

62.5

62.3

62.1

63.1

Jateng

68.9

69.8

70.3

70.9

59.4

60.8

63.7

64.3

56.5

56.9

59.3

59.7

Sumber Data: Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005 dan 2006

Berdasarkan Tabel 2 di atas terlihat adanya ketimpangan gender dalam
kualitas sumber daya manusia. Hal ini ditandai adanya selisih indeks yang cukup
tinggi antara HDI (sebagai indeks pembangunan manusia yang umum) dengan
indeks pembangunan manusia yang berbasis gender (baik GDI maupun GEM). Di
Banyumas misalnya HDI-nya pada tahun 2004 adalah 70,3, namun ketika
dikontrol dengan variabel jenis kelamin GDI-nya hanya 58,7, demikian pula
Indeks Pemberdayaan Gender (IPG) hanya 58,3. Demikian pula yang terjadi pada
tahun-tahun berikutnya, gap gender relatif masih tinggi. Ini artinya bahwa kualitas
sumber daya manusia perempuan tidak mengalami peningkatan yang berarti.
Peningkatan TPAK perempuan yang selama ini banyak diungkap belum
memberikan kontribusi yang signikan bagi kesejahteraan perempuan. Hal ini
dimungkinkan lebih banyak aspek sosial budaya yang berperan terhadap kondisi
kesejahteraan mereka, seperti tingginya pengeluaran sosial pada perempuan yang
tidak bisa lagi dipenuhi melalui sistem ekonomi subsisten serta rendahnya nilai
tukar produksi pertanian.
Di masa lalu tradisi tukar menukar hadiah bisa menjadi perangsang
tumbuhnya produk pertanian. Hal ini terjadi pada komunitas perdesaan
Hanuabada, sebuah daerah tandus dengan hasil bumi yang sangat minimal. Tradisi
tukar menukar yang ada di daerah ini mengandung persaingan disertai pesta pora
dengan pembagian bahan makanan. Pembagian bahan makanan merupakan
perangsang pokok bagi produk pertanian, dan seandainya tidak ada pembagian
makanan seperti itu, maka produksi pertanian mungkin sudah tidak ada lagi
(Belshaw 1981). Namun seiring dengan perkembangan ekonomi pasar,

5

pengeluaran yang harus ditanggung rumah tangga desa ini semakin berat. Kalau
sebelumnya nyumbang dapat menggunakan produk pertanian, namun sekarang
lebih banyak menggunakan uang tunai. Dengan demikian setiap warga desa
membutuhkan lebih banyak uang dalam rangka memenuhi kebutuhan di luar
konsumsi harian, ini menyebabkan uang lebih penting dalam setiap transaksi
sosial (Husken dan White 1989: Abdullah 1990; Darini 2011).
Perkembangan semacam ini menyebabkan ketergantungan orang desa
terhadap uang semakin besar dan meluas. Ekonomi subsisten kehilangan kekuatan
di dalam memenuhi kebutuhan masyarakat desa. Dalam hal ini perempuan tampak
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas perubahan-perubahan yang
terjadi, karena secara sosial budaya, perempuan adalah pengatur ekonomi rumah
tangga. Sementara dalam transaksi sosial seperti tradisi nyumbang, perempuan
merupakan aktor sosial penting yang banyak mengambil peran (Geertz 1983;
Stoller 1984; Abdullah 2001; Djawahir 1999; dan Lestari 2010 ). Namun
demikian peran-peran tersebut dan bagaimana posisi perempuan dalam tradisi
nyumbang dan implikasinya pada dinamika pranata dan interaksi masyarakat desa
belum pernah diungkap secara khusus.
Keberadaan perempuan dalam tradisi nyumbang di perdesaan Jawa relevan
untuk diungkap dalam konteks untuk melihat potret dinamika monetisasi yang
semakin meluas merasuk ke dalam hampir semua sendi kehidupan masyarakat
desa. Sementara data-data ketenakerjaan yang ada selama ini menunjukkan
bahwa sebagian besar pekerja perempuan adalah pekerja yang tidak dibayar atau
berupah rendah (lihat Tabel 3). Tentu saja kondisi ini membuat berat perempuan
miskin perdesaan sebagai pengelola rumah tangga maupun pencari nafkah
berhadapan dengan kewajiban sosial untuk nyumbang yang semuanya telah masuk
dalam sistem ekonomi uang. Berperan ganda menjadi hal yang biasa bagi
perempuan perdesaan, terutama yang berasal dari rumah tangga miskin (Abdullah
2001). Banyak kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan sosial yang tidak lagi bisa
dipenuhi secara subsisten melainkan melalui uang tunai. Namun demikian di satu
sisi, dari observasi awal dan penelitian yang dilakukan sebelumnya perempuan
masih “enggan” menggunakan uang tunai sebagai media resiprositas dalam
kegiatan nyumbang.
Tabel 3 Penduduk Usia 10 tahun Ke Atas Yang Bekerja di Kab. Purbalingga Menurut
Status Pekerjaan dan Jenis Kelamin 2006-2007
Status Pekerja

2006
Lk

2007
Pr

22,19
3,37%

1,11%

2.96%

1.23%

18,82%

33,75%

28.85%

32.57%

Sektor Informal
Berusaha sendiri tanpa dibantu
Berusaha dgn dibantu buruh tdk tetap
Pekerja tidak dibayar
Lainnya

77,81
17,68%
27,08%
8,13%
24,93%

65,14
15,24%
15,32%
25,57%
9,01%

68,19
13,32%
33.66%
8.63%
12.58%

66,20
13.31%
11.03%
33.98%
7.88%

100%
(241.587)

100%
(127.026)

100.00%
(237623)

100.00%
(167303)

Sumber: Susenas 2007 yang diolah kembali

31,81

Pr

Sektor Formal
Berusaha dengan dibantu buruh tetap
Buruh/karyawan/pegawai

Jumlah Pekerja ≥ 10 Th

34,86

Lk

33,80

6

Perumusan Masalah, State of The Art, dan Pertanyaan Penelitian
Sebagaimana yang dikatakan oleh Komter (2005), studi tentang gift giving
dan resiprositas (maupun pertukaran sosial) banyak mengacu pada studi-studi
antropologi terutama dari hasil penelitian Mauss, Malinowski dan Strauss yang
mendasarkan diri pada masyarakat kuno. Mauss dapat menunjukkan bagaimana
berbagai kontrak sosial dan ekonomi yang berlaku dalam masyarakat modern
sekarang ini smerupakan warisan dari sistem tukar-menukar pemberian pada
masyarakat kuno dan bagaimana pertukaran merupakan sebuah fenomena sosial
total, sementara Malinowski melalui teori pertukaran simbolis “kula-ring”nya
ingin menunjukkan bahwa solidaritas sosial terbangun dari keterlibatan psikologis
antar warga yang melakukan pertukaran sosial sehingga terbentuk sebuah jaringan
sosial. Berbeda dengan Malinowski, Strauss lebih banyak memberikan penekanan
struktural pada teori pertukarannya sehingga dikenal dengan teori pertukaran
struktural. Menurut Mauss, pertukaran yang dilakukan oleh sesorang selalu
melibatkan dan dipandu oleh nilai-nilai sosial (value)] dan aturan-aturan (rules).
Dari para tokoh-tokoh tersebut keberadaan perempuan belum menjadi
fokus perhatian yang khusus. Selama ini studi mengenai peran perempuan dalam
pertukaran hadiah memang belum banyak menjadi fokus penelitian yang ada,
termasuk dalam masyarakat Barat (Komter 2005). Sejak Mauss dan Malinowski
menghadirkan konsep the gift sebagai isu penting dalam studi antropologi,
pertanyaan pentingnya adalah bagaimana gender memainkan peranan dalam
pertukaran hadiah ini. Studi-studi antropologi yang tua mengasumsikan bahwa
perempuan tidak memiliki peran yang relevan dalam pertukaran hadiah.
Sementara Malinowski mengakui bahwa perempuan mengambil bagian yang
penting dalam tindakan seremonial tertentu, tetapi tidak menyebutkan kegiatan
bagian perempuan dalam pertukaran hadiah, semua contoh yang terlibat yang
ditunjukkan adalah laki-laki. Pasca Malinowski yakni Levi-Strauss yang memberi
perhatian pada praktek pertukaran hadiah di beberapa masyarakat non-Barat
menunjukkan perempuan adalah sebagai alat tukar hadiah yang penting.
Perempuan keberadaannya digambarkan sebagai dasar sistem relasi keluarga. Di
sini laki-laki memandang perempuan sebagai obyek pertukaran hadiah bukan
sebagai subyek atau aktor. Antropolog Barat memandang tiadanya kehadiran
perempuan sebagai aktor yang otonom dalam pertukaran hadiah sebagai tanda
adanya hirarki dominasi laki-laki atas perempuan, seperti yang terjadi pada
masyarakat Malenesia. Sementara menurut Komter (2005), beberapa studi yang
ada menunjukkan dengan tegas bahwa perempuan tidak hanya memberikan
hadiah lebih banyak dari laki-laki - materi maupun yang nonmateri - tetapi juga
merupakan penerima terbesar. Dalam salah satu bab mengenai Women and Gift,
Komter (2005) menyebut nama Annette Weiner (1976) dan Marilyn Strathern
(1988) sebagai antropolog perempuan yang menaruh perhatian terhadap masalah
Gender and Gift. Weiner dalam bukunya Women of Value, Man of Renown (1976)
berusaha mengkritisi gambaran yang muncul dari Malinowski bahwa perempuan
sebagai aktor yang tidak memiliki peranan penting dalam pertukaran hadiah.
Sementara Strathern mengkritik terhadap pandangan feminis dan teori antropologi
Barat. Dalam