Resiprositas Tradisi Nyumbang (Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan)

(1)

RESIPROSITAS TRADISI

NYUMBANG

(Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV,

Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA (S-1) ILMU SOSIAL DAN

ILMU POLITIK

Disusun Oleh :

SRI NOFIKA PUTRI

060905024

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

RESIPROSITAS TRADISI

NYUMBANG

(Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV,

Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Maret 2012


(3)

ABSTRAK

Sri Nofika Putri. 2012. Resiprositas Tradisi Nyumbang (Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 122 halaman, 7 tabel, 19 Gambar dan beberapa lampiran yang terdiri dari daftar informan, dokumentasi lapangan, daftar istilah, surat izin penelitian, dan peta lokasi penelitian.

Penelitian ini mengambarkan tradisi nyumbang dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang dan juga menjelaskan strategi serta resiprositas yang ada dalam tradisi ini. Tradisi nyumbang dapat dijumpai dalam setiap acara siklus daur hidup seperti hajatan dan selamatan. Perkembangan dan kemajuan zaman tidak menjadikan tradisi nyumbang hilang, justru saat ini tradisi tersebut semakin diminati masyarakat Desa Rawang, hal ini dapat dilihat dari intensitas untuk menggelar hajatan, setiap keluarga berlomba-lomba untuk bisa menggelar hajatan dalam rangka apapun itu.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang didapat melalui hasil lapangan dilakukan dengan cara observasi partisipasi yakni peneliti dalam hal ini ikut terlibat dalam kegiatan hajatan dan non partisipasi peneliti hanya mengamati serangkaian kegiatan yang peneliti tidak dapat ikut terlibat didalamnya seperti musyawarah keluarga, penghitungan uang hasil hajatan dan lain-lain. dan wawancara yang ditujukan kepada beberapa informan (informan kunci, pangkal dan biasa). Untuk pengumpulan data, peneliti menggunakan pedoman wawancara, dokumentasi berupa foto dan catatan lapangan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang tidak terlepas dari aktivitas sumbang menyumbang. Aktivitas tersebut mengandung unsur kerjasama resiprositas (hubungan timbal balik) antara orang-orang yang turut terlibat didalam hajatan. Resiprositas dianggap sebagai strategi yang dilakukan individu atau masyarakat di Desa Rawang Pasar IV untuk melestarikan tradisi yang dimilikinya agar dapat bertahan hingga sekarang. Resiprositas yang ada mengarah pada resiprositas yang seimbang, individu dalam resiprositas ini tidak mau ada yang saling dirugikan, walaupun kadangkalah juga ditemukan resiprositas negatif dengan maksud ingin mencari keuntungan semata tetapi jarang ditemukan dalam masyarakat. Keputusan untuk melakukan kerjasama resiprositas lebih dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan motif sosial. Bagi sebagian besar masyarakat Desa Rawang Pasar IV tradisi nyumbang

terkadang dianggap memberatkan perekonomian rumahtangga, tetapi disisi yang lain mereka juga tidak dapat menghindarinya ataupun menolaknya hal ini dikarenakan adanya pengharapan dari tradisi tersebut. Keinginan untuk bisa menggelar hajatan serta menyumbang rata-rata menjadi harapan warga desa, temasuk keinginginan untuk bisa menyumbang atau mengembalikan pemberian, walaupun dengan cara berhutang katanya. Hajatan dan tradisi nyumbang sudah menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat Desa Rawang.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya’lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan rasa terimakasih yang tulus kepada pihak-pihak yang selama ini memberi pengaruh besar serta terlibat dalam proses penyelesaian skripsi ini hingga selesai. Terimakasih ini dihaturkan kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin M. Si, selaku Dekan FISIP USU. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi FISIP USU dan Bapak Drs.Agustrisno, M.SP, selaku Sekertaris Departemen Antropologi FISIP USU, kepada bapak Drs. Edi Saputra Siregar, selaku dosen wali penulis.

Kepada dosen pembimbing dan sekaligus motivator penulis yaitu ibu Dra. Rhyta Tambunan, M.Si, terima kasih atas waktu, ilmu serta kesabaran yang diberikan dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Kepada Dosen Penguji penulis di seminar proposal ibu Dra. Tjut Syariani, M.Sos.Sc (ketua penguji) dan ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum (anggota penguji I) terimakasih atas masukan yang diberikan guna penulisan skripsi ini untuk menjadi lebih baik, serta kepada seluruh Dosen dan Staf pengajar FISIP-USU, yang telah bersedia berbagi pengalaman dan pengetahuan akademis. Seluruh Pegawai FISIP-USU, terima kasih atas bantuannnya. Kepada seluruh informan penelitian terutama kepada Staf pegawai Kec. Rawang Panca Arga dan jajaran pegawai kantor Desa Rawang Pasar IV yang bersedia membantu serta memberikan informasi, data yang penulis butuhkan selama di lapangan. Kepada masyarakat Desa Rawang


(5)

Pasar IV semuanya terimakasih atas keterbukaannya berbagi pengalaman dan informasi, terutama warga yang ada di dusun V, terimakasih banyak.

Khusus dalam paragraf ini penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada kedua orang tua penulis tercinta, mereka adalah pahlawan dalam hidup penulis yang tidak pernah putus-putusnya selalu berkorban baik moril maupun materil, demi menghantarkan pada cita-cita dan kebahagian penulis kedepannya. Kepada ayahanda tercinta Misli AB dan ibunda tersayang Sumini yang telah berkorban, mendidik dan membesarkan penulis dengan limpahan do’a dan kasih sayang. Kepada Pak Lek dan Buk lek (Suyono dan Bu Ani) yang banyak memberikan kebaikan kepada penulis dan penulis anggap sebagai orang tua kedua selama menempuh pendidikan di Medan. Kepada kakak tersayang Sri Susmila Yanti A.Md beserta suami Abangda Subandrio dan adik tersayang Mhd. Syapril Ramadana yang senantiasa mendoakan dan memotivasi penulis selama pendidikan. Begitu juga kepada keluarga besar penulis yang selalu mendoakan penulis untuk terus berjuang dalam menempuh pendidikan.

Semua teman-teman seperjuangan di Departemen Antropologi: Atika Rizkiyana, Lisnawati Tinendung, Mardiana Harahap, Desy Zulfiani, Rebecca Hanatri, Masridanur, Lasmiyanti, Sidriani Handayani, Firman, Umar, Nanta, Sari Ariesta, Erika, Inggrid, Natalia Gaby, Helena Damanik, Ruly Tumanggor, Enny, Melda, Hendra, Wilfrid, Daniel Aros, Alloynina Ayu, Hema, Noprianto, dan semua teman-teman stambuk 06 yang tidak semuanya bisa disebutkan namanya, terimakasih atas motivasi dan dukungannya selama ini. Banyak kenangan indah yang tidak bisa dilupakan selama menempuh pendidikan bersama teman-teman


(6)

stambuk 06 baik itu suka maupun duka, dimana ini akan menjadi lembaran cerita yang akan terus di ingat dalam perjalanan hidup penulis.

Menyadari sepenuhnya adanya keterbatasan pada diri penulis, lebih dan kurangnya skripsi ini masih jauh dari sempurna. Kendatipun demikian, penulis berharap agar isi yang termaktub dalam skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu Antropologi.

Terimah kasih atas segala perhatian dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, Maret 2012 Penulis


(7)

RIWAYAT HIDUP

Sri Nofika Putri (23), lahir pada tanggal 26 Nopember 1988 di Rawang, Kota Kisaran, Kab, Asahan. Anak ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Misli AB dan ibu Sumini.

Riwayat Pendidikan Penulis: SD Negeri No. 013851 Desa Rawang (1994-2000), MTs Negeri Meranti (2000-2003), SMA Negeri 1 Kisaran (2003-2006), dan pada tahun 2006 mengikuti pendidikan S-1 Antropologi Sosial, FISIP USU Medan. Judul Skripsi untuk mendapat gelar S-1 yakni Resiprositas Tradisi Nyumbang (Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan).


(8)

KATA PENGANTAR

Resiprositas1

Tanpa adanya resiprositas, tradisi nyumbang dalam hajatan dan selamatan tidak akan bertahan hingga sekarang. Hal ini di karenakan setiap namanya pemberian dalam bentuk dan jenis apa pun itu katanya, walau sekalipun tanpa mengharapkan pamri, akan senantiasa diharapkan juga adanya balasan. Seperti yang dikatakan Marcel Mauss (1954) dalam bukunya “The Gift” mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma, segala bentuk pemberian selalu dibarengi dengan suatu pemberian kembali atau imbalan.

merupakan salah satu strategi yang digunakan masyarakat Jawa di Desa Rawang untuk mengeksistensikan tradisi nyumbang. Tradisi

nyumbang merupakan aktivitas berupa tindakan membantu seseorang yang

memiliki beban dalam penyelenggaraan hajatan atau selamatan dalam bentuk bantuan materil (uang, barang) dan non-materil (tenaga, jasa), hakekat dari tradisi ini sendiri untuk meringankan beban serta menjaga solidaritas antar sesama.

Resiprositas nyumbang dalam hajatan masyarakat Desa Rawang dilakukan atas dasar motif tertentu dari orang yang terlibat dalam hajatan ini. Motif ekonomi merupakan motif utama seseorang untuk melakukan kerjasama resiprositas

nyumbang dalam hajatan, hal ini karena seseorang merasa bahwa apa yang

diberikan kepada pemilik hajat merupakan bentuk investasi dengan maksud di kemudian hari sipemilik hajat juga melakukan hal yang sama terhadap pemberi tersebut. Selain motif ekonomi motif sosial juga menjadi bagian seseorang

1

Resiprositas adalah hubungan timbal balik oleh individu atau kelompok pada masyarakat dalam suatu pertukaran


(9)

melakukan kerjasama resiprositas ini seperti menjalin silahturahmi dan hubungan sosial serta tidak jarang pula dijadikan ajang pamer atau mencari prestise.

Pada perkembangannya saat ini acara menggelar hajatan ditengah masyarakat Desa Rawang semakin banyak dijumpai, padahal jika dilihat kehidupan perekonomian serta pendapatan dari tiap keluarga di desa ini masih tergolong rendah. Namun demikian faktor ekonomi yang lemah lantas tidak menjadikan intensitas menggelar hajatan di desa ini semakin surut justru malah sebaliknya. Bila dicermati biaya untuk menggelar hajatan bukanlah sedikit, bahkan pengeluaran untuk itu melampui dari penghasilan semestinya. Fenomena yang demikian ini banyak terjadi di masyarakat kita saat ini termasuk masyarakat Desa Rawang, mereka rela berhutang demi untuk menyumbang ataupun sekedar untuk menggelar hajatan dengan harapan mendapat keuntungan dari kegiatan tersebut.

Tradisi nyumbang dan menggelar hajatan telah menjadi gaya hidup dalam keluarga dan masyarakat Jawa di Desa Rawang. Ukuran mampu atau tidaknya ekonomi seseorang dilihat dari kegiatan sumbang menyumbang dan menggelar hajatan ini, jadi adanya pengakuan dari masyarakat dalam kegiatan seperti ini dianggap sangat penting sehingga mau tidak mau memacu seseorang untuk menonjolkan dirinya dan keluarganya di depan masyarakat bahwa dirinya juga mampu.

Tidak jarang tradisi nyumbang ini juga kerap menimbulkan konflik antara individu yang mengadakan kerjasama resiprositas. Umumnya masalah itu muncul karena adanya penolakan kerjasama atau ketidak seimbangan dalam kerjasama resiprositas yang dilakukan. Penolakan dan pengembalian yang tidak setimpal


(10)

dalam tradisi nyumbang dianggap sangat “menyakitkan” sehingga kerap menjadi bahan gunjingan, sindiran ataupun pemutusan hubungan dalam pergaulan didalam masyarakat.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat serta memberikan pengetahuan yang baru. Penulis juga berharap kepada mahasiswa antropologi agar lebih peka dalam melihat berbagai persoalan atau fenomena dalam masyarakat kita, karena dalam masyarakat terdapat banyak bahan kajian yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita terutam untuk kemajuan antropologi kedepannya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam srkipsi ini baik penulisan maupun pemaparannya, dalam hal ini penulis berharap kiranya pembaca dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun guna untuk memperbaiki skripsi ini agar lebih baik lagi kedepannya. Atas kritik dan sarannya diucapkan terimakasih.

Medan, Maret 2012 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PERNYATAAN ORIGINALITAS

ABSTRAKSI ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Lokasi Penelitian ... 9

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1. Tujuan Penelitian ... 9

1.4.2. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Tinjauan Pustaka ... 10

1.6. Metode Penelitian ... 15

1.6.1. Data Primer ... 16

a. Observasi ... 16

b. Wawancara... 16

c. Menentukan Informan ... 17

1.6.2. Data Skunder ... 18

I.7. Analisis Data ... 18

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Singkat Desa Rawang ... 19

2.2. Letak Geografis ...21

2.3. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Desa ... 22

2.4. Pola Pemkiman dan Perumahan Penduduk ... 25

2.5. Suku Bangsa ... 27

2.6. Sistem Religi ... 29

2.7. Sistem Kekerabatan ... 30

2.8. Sistem Pendidikan ... 32

2.9. Matapencarian dan Ekonomi Masyarakat ... 34


(12)

2.11. Bahasa ... 41

2.12. Sarana dan Prasarana... 42

BAB III. TRADISI NYUMBANG DALAM SIKLUS DAUR HIDUP MASYARAKAT JAWA DI DESA RAWANG 3.1. Filosofis Budaya Tradisi Nyumbang... 45

3.2. Siklus Daur Hidup Masyarakat Jawa ... 48

3.3. Selamatan dan Hajatan dalam Masyarakat Jawa Desa Rawang ... 50

3.4. Siklus Daur Hidup yang Termasuk dalam Acara Selamatan ... 53

3.4.1. Mitoni ... 56

3.4.2. Sepasaran ... 59

3.4.3. Upacara Kematian ... 61

3.5. Siklus Daur Hidup yang Termasuk dalam Acara Hajatan ... 61

3.5.1. Khitanan (Sunatan) ... 65

3.5.2. Hajatan Pernikahan ... 61

3.6. Mereka yang Terlibat dalam Tradisi Nyumbang Hajatan dan Selamatan ... 72

3.7. Kegiatan Mengundang yang Menimbulkan Kewajiban Nyumbang ... 74

3.7.1. Ulem-ulem ... 74

3.7.2. Undangan Tertulis (Surat Undangan)... 76

3.7.3. Undangan Rantang (Tonjok’an) ... 77

3.8. Bentuk Sumbangan yang Diterima Saat Hajatan ... 81

3.9. Faktor yang Mempengaruhi Besar Kecilnya Nilai Nyumbang dalam Hajatan... 83

3.10. Nyumbang yang Menjadi Gaya Hidup ... 87

BAB IV. RESIPROSITAS DALAM TRADISI NYUMBANG 4.1. Sekilas Tentang Resiprositas. ... 95

4.2. Pemberi dan Penerima dalam Resiprositas Tradisi Nyumbang ... 99

4.3. Kerjasama dalam Resiprositas ... 99

4.3.1 Resiprositas antara Perewang dengan Pemilik Hajat.. .. 100

4.3.2.Resiprositas antara Tamu Undangan dengan Pemilik Hajat ... 101

4.3.3. Resiprositas antara Anggota Kerabat dengan Pemilik Hajat ... 103

4.4. Tiga Macam Kewajiban dalam Resiprositas ... 104

4.4.1. Kewajiban Memberi ... 104

4.4.2. Kewajiban Menerima ... 105

4.4.3. Kewajiban Membayar Kembali ... 106

4.5. Motif-motif yang Mendorong Kerjasama Resiprositas ... 108

4.6. Nilai Uang Bagi Masyarakat ... 111

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 116


(13)

DAFTAR PUSTAKA ... 121 LAMPIRAN

1. Daftar Nama Informan 2. Dokumentasi Lapangan 3. Daftar Istilah

4. Surat Izin Penelitian 5. Peta Lokasi penelitian


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Penduduk, KK dan Kepadatan ... 22

Tabel 2 : Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Golongan Usia dan Jenis Kelamin .. ... 24

Tabel 3 : Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 28

Tabel 4 : Penduduk Berdasarkan Agama... 29

Tabel 5 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 33

Tabel 6 : Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Rawang Pasar IV... 35


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1, & 2 : Gambaran Perumahan Warga Desa Rawang Pasar IV yang

Merupakan Bangunan Permanen ... 27

Gambar 3 : Buruh Penanam Padi ”nderep”... 64

Gambar 4 : Pekerja Musiman ”ngomben” ... 64

Gambar 5 : Kondisi Jalan Desa Rawang Pasar IV ... 65

Gambar 6 : Jalan Utama Kec. Rawang Panca Arga ... 65

Gambar 7 : Nasi Bancaan ... 65

Gambar 8 : Rujak Bhe’bek ... 66

Gambar 9 : Pengantin Wanita Sungkeman... 86

Gambar 10 : Arak-arakan Manten Pria ... 86

Gambar 11 : Ritual Pijak Telur dan Sungkeman ... 69

Gambar 12 : Gendongan Pengantin ... 69

Gambar 13 : Acara Tepung Tawar... 69

Gambar 14 : Tamu Undangan Laki-laki yang Menyalami Tuan Rumah ... 70

Gambar 15 : Surat Undangan Tipe Modern ... 76

Gambar 16 : Baskoman Para Tamu ... 82

Gambar 17 : Buku Catatan Nyumbang dan Nominalnya...91

Gambar 18 : Amplop Sumbangan Para Tamu yang Masih Disimpan...91

Gambar 19 :Kedai Klontong Pak Amat yang Menyediakan Segala Jenis Kebutuhan Sembako Pesta untuk Warga Desa Rawang, Sekaligus Sebagai Bandar/Pemodal...93


(16)

ABSTRAK

Sri Nofika Putri. 2012. Resiprositas Tradisi Nyumbang (Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 122 halaman, 7 tabel, 19 Gambar dan beberapa lampiran yang terdiri dari daftar informan, dokumentasi lapangan, daftar istilah, surat izin penelitian, dan peta lokasi penelitian.

Penelitian ini mengambarkan tradisi nyumbang dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang dan juga menjelaskan strategi serta resiprositas yang ada dalam tradisi ini. Tradisi nyumbang dapat dijumpai dalam setiap acara siklus daur hidup seperti hajatan dan selamatan. Perkembangan dan kemajuan zaman tidak menjadikan tradisi nyumbang hilang, justru saat ini tradisi tersebut semakin diminati masyarakat Desa Rawang, hal ini dapat dilihat dari intensitas untuk menggelar hajatan, setiap keluarga berlomba-lomba untuk bisa menggelar hajatan dalam rangka apapun itu.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang didapat melalui hasil lapangan dilakukan dengan cara observasi partisipasi yakni peneliti dalam hal ini ikut terlibat dalam kegiatan hajatan dan non partisipasi peneliti hanya mengamati serangkaian kegiatan yang peneliti tidak dapat ikut terlibat didalamnya seperti musyawarah keluarga, penghitungan uang hasil hajatan dan lain-lain. dan wawancara yang ditujukan kepada beberapa informan (informan kunci, pangkal dan biasa). Untuk pengumpulan data, peneliti menggunakan pedoman wawancara, dokumentasi berupa foto dan catatan lapangan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang tidak terlepas dari aktivitas sumbang menyumbang. Aktivitas tersebut mengandung unsur kerjasama resiprositas (hubungan timbal balik) antara orang-orang yang turut terlibat didalam hajatan. Resiprositas dianggap sebagai strategi yang dilakukan individu atau masyarakat di Desa Rawang Pasar IV untuk melestarikan tradisi yang dimilikinya agar dapat bertahan hingga sekarang. Resiprositas yang ada mengarah pada resiprositas yang seimbang, individu dalam resiprositas ini tidak mau ada yang saling dirugikan, walaupun kadangkalah juga ditemukan resiprositas negatif dengan maksud ingin mencari keuntungan semata tetapi jarang ditemukan dalam masyarakat. Keputusan untuk melakukan kerjasama resiprositas lebih dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan motif sosial. Bagi sebagian besar masyarakat Desa Rawang Pasar IV tradisi nyumbang

terkadang dianggap memberatkan perekonomian rumahtangga, tetapi disisi yang lain mereka juga tidak dapat menghindarinya ataupun menolaknya hal ini dikarenakan adanya pengharapan dari tradisi tersebut. Keinginan untuk bisa menggelar hajatan serta menyumbang rata-rata menjadi harapan warga desa, temasuk keinginginan untuk bisa menyumbang atau mengembalikan pemberian, walaupun dengan cara berhutang katanya. Hajatan dan tradisi nyumbang sudah menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat Desa Rawang.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang

Sumatera Utara memiliki catatan sejarah yang besar, salah satunya yakni datangnya orang Jawa di Sumatera pada masa kolonial Belanda. Sumatera Utara saat itu dikenal dengan Sumatera Timur tanah kekuasaan raja-raja Melayu. Daerah yang merupakan bagian Sumatera Timur yakni: tanah Deli (kawasan Medan), Langkat, Deli Serdang, Batubara, Asahan, sampai Labuhan Batu. Sumatera Timur dikenal dengan daerah perkebunan tembakau dan karet, pembukaan onderafdeling (perkebunan besar) tahun 1890-1920 oleh Belanda mengawali datangnya pekerja kuli kontrak murah dari pulau Jawa di tanah Sumatera. Gelombang kedatangan kuli dari Jawa terus berlangsung dan semakin banyak didatangkan, dan di Sumatera mereka disebar di beberapa daerah yang menjadi konsentrasi perkebunan kekuasaan Belanda. Salah satu daerah di Sumatera yang menjadi kawasan perkebunan adalah Asahan, pada tanggal 22 September tahun 1865 kesultanan Asahan berhasil dikuasai Belanda, sejak saat itu kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Belanda sampai pada dibukanya kawasan perkebunan di tanah Asahan.

Pekerja kuli Jawa bekerja sebagai buruh kasar perkebunan, cerita-cerita menyedihkan tentang kehidupan mereka bekerja di perkebunan sudah menjadi hal yang biasa didengar termasuk ketika penjajahan Jepang, kondisi para pekerja buruh tidak jauh berbeda bahkan semakin sengsara dengan adanya sistem kerja negara penjajah tersebut. Banyak dari mereka yang melarikan diri dari


(18)

perkebunan untuk kembali ke Jawa, tetapi ada juga yang akhirnya tertangkap oleh polisi kebun dan mendapat siksaan. Bagi mereka yang takut untuk melarikan diri memilih untuk bertahan dengan mematuhi sistem kerja yang diberlakukan baik oleh pemerintah kolonial maupun pada masa pemerintahan Jepang. Nasib pekerja kuli dari Jawa ini tidak mengalami perubahan diperantauaan.

Rasa ikatan senasib dan sepenanggungan antara para pekeraja kuli dari Jawa ini menimbulkan hubungan persaudaraan diantara mereka untuk sama-sama bertahan dan bahu membahu hidup diperantauan. Dulur tunggal sekapal

merupakan istilah bagi hubungan persaudaraan yang dibangun atas dasar persamaan nasib para buruh kontrak Jawa di Asahan. Pekerja kuli dari Jawa ini datang ke Sumatera juga membawa serta kebudayaan yang dimilikinya sebagai bentuk identitas diri mereka sebagai orang Jawa yang berasal dari tanah Jawa. Kebudayaan yang sering di pertunjukan adalah kesenian seperti tarian. Ludruk,

Jarana, nembang dan sebagainya, kebudayaan serupa kesenian ini dimaksudkan

untuk mengobati kerinduan mereka akan kampung halaman serta menghibur diri selama diperantauan. Demikian juga halnya dengan adat istiadat yang mereka miliki senantiasa untuk bisa diterapkan dalam kehidupan mereka diperantauan. Untuk mengeksistensikan kebudayaan yang dibawah ini cara adaptasi dengan penduduk lokal2

Saat ini kebudayaan Jawa dan Orang Jawa di Asahan menjadi bukti dari sejarah tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Asahan Asahan merupakan strategi utama agar kebudayaan Jawa yang mereka miliki dapat diterima.

2

Penduduk lokal Asahan pada masa kesultanan Abdul Jalil tahun 1630 hingga pada saat kekuasaan pemerintahan Asahan dipegang oleh Belanda adalah suku bangsa Melayu dan sebagian di wilayah Bandar Pasir Mandoge yang berbatasan dengan Pematang Siantar adalah suku bangsa Batak.(http://melayuonline.com/ind/history/dig/327/kerajaan-asahan)


(19)

tahun 2010, tercatat bahwa jumlah penduduk suku Jawa di Asahan kini mencapai 59,41 %, suku Batak 29,40 %, suku Melayu 5,19 % sedangkan sisanya 6,00 % adalah suku Minang, Banjar, Aceh dan lainnya. Mereka yang suku Jawa sebagian besar banyak tinggal di desa-desa, perkebunan dan pinggiran kota dan sebagian kecil lainnya tinggal di kota. Matapencaharian mereka pun beragam mulai dari petani, karyawan perkebunan, buruh pabrik, pedagang, pekerja rumahtangga, pegawai pemerintah, pegawai swasta dan sebagainya. Mereka yang bersuku Jawa ini tidak ingin disebut sebagai generasi kuli, penyebutan tersebut dianggap “menyakitkan” dan melukai perasaan mereka, meskipun ada yang sebagian memang berasal dari generasi pekerja kuli namun mereka lebih senang bila disebut sebagai Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera).

Kehidupan masyarakat Jawa di Asahan juga tidak dapat dilepaskan dari serangkaian kegiatan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus daur hidup, mulai dari dalam kandungan sampai kematian. Upacara yang berkaitan dengan siklus daur hidup ini masih banyak dilakukan masyarakat Jawa yang tinggal di perkebunan dan di desa-desa, seperti salah satunya Desa Rawang di Kecamatan Rawang Panca Arga, kehidupan sebagian besar penduduknya yang berprofesi sebagai petani sangat berpengaruh besar terhadap masih dilestarikannya seremonial-seremonial yang berkaitan dengan siklus daur hidup tersebut. Intensitas menggelar kegiatan seperti hajatan dan slametan tidak jarang ditemukan di pedesaan.

Acara hajatan dan slametan yang dilangsungkan biasanya mulai dari lingkup kecil-kecilan yang hanya melibatkan kerabat dan tetangga dekat sampai yang berukuran besar yang melibatkan hampir seluruh warga desa, handai taulan,


(20)

dan kerabat jauh. Dalam batas-batas kemampuan ekonominya, warga Desa Rawang lebih memilih untuk menyelenggarakan acara yang menurut mereka paling penting seraya untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai yang mereka anut. Diantara banyaknya tradisi dan upacara yang ada pada masyarakat Jawa, warga di Desa Rawang lebih mengutamakan acara yang berkaitan dengan ritus hidup seperti: tingkeban, spasaran, sunatan (khitanan), mantenan

(pernikahan) dan kematian.

Melibatkan peran serta dari keluarga, tetangga, kerabat, dan masyarakat desa dalam penyelenggaraan acara hajatan dan slametan berlangsung secara tersirat menimbulkan implikasi keterikatan sosial diantara mereka misalnya; datang memenuhi undangan pernikahan atau slametan, tindakan tersebut menimbulkan keterikatan sosial berupa kewajiban untuk saling tolong-menolong dan bekerjasama seperti dalam kegiatan sumbang-menyumbang hajatan. Kegiatan sumbang menyumbang ini sudah menjadi pemandangan yang biasa dilihat saat hajatan dan slametan, hingga sampai sekarang pun menjadi bagian tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari acara tersebut. Oleh masyarakat Jawa di Desa Rawang kegiatan sumbang menyumbang tersebut dikenal dengan tradisi nyumbang.

Tradisi nyumbang dalam masyarakat Jawa di Desa Rawang juga disebut “bestelan”. Tradisi nyumbang atau “bestelan” ini memiliki pengertian yang sama yaitu rangkaian kegiatan dari prilaku masyarakat Jawa yang memberikan bantuan baik dalam bentuk materil (uang, sembako dan barang) maupun non- materil (tenaga dan jasa) kepada tetangga atau kerabat yang membutuhkan. Tujuan dari

nyumbang atau bestelan ini adalah membantu meringankan beban keluarga yang memiliki hajatan atau slametan. Dalam pengaplikasiannya dimasyarakat ternyata


(21)

nyumbang dan bestelan memiliki cakupan tersendiri, dimana nyumbang bisa sangat luas penerapannya seperti; bisa dilakukan dalam acara yang berkaitan dengan siklus daur hidup seperti hajatan dan slametan juga dalam kegiatan sehari-hari. Sedangkan bestelan dikenal masyarakat hanya untuk kegiatan menghadiri undangan di saat hajatan dan slametan saja. Bentuk pemberian dari nyumbang dan

bestelan juga berbeda, kalau nyumbang bentuk pemberiannya bisa berupa materil dan non materil sedangkan untuk bestelan hanya terbatas pada materil saja.

Tradisi nyumbang berasal dari akar kebudayaan masyarakat Jawa yang bersifat guyub (kolektif) serta mementingkan kebersamaan ketimbang sifat individual ( urip-urip deweh ). Hakekat tradisi ini adalah meringankan beban dan menjaga solidaritas antar sesama warga masyarakat. Pada perjalanannya tradisi

nyumbang dahulu dan sekarang pastinya mengalami banyak perkembangan serta

perubahan didalam masyarakat Desa Rawang, era 80’an misalnya tradisi

nyumbang di desa ini bukan hanya terlihat di dalam seremonial siklus daur hidup saja namun dalam kehidupan sehari-hari juga terlihat seperti mendirikan rumah warga, menggarap sawah dan ladang. Bentuk bantuan yang diberikan umumnya masih berupa tenaga, jasa serta barang kebutuhan yang diperlukan, hal tersebut juga berlaku dalam acara hajatan serta slametan. Bantuan yang diberikan dianggap sebagai wujud tolong-menolong dan gotong-royong atas keperdulian antar sesama. Karena indikasinya hanya bersifat untuk membantu dan kerja sukarela maka resiproistas diantara merekapun tidak mengikat secara sosial maupun ekonomi secara ketat. Seperti pemberian bantuan berupa barang ataupun tenaga terhadap tetangga atau kerabat yang kemudian hanya dibalas dengan ucapan terimakasih saja.


(22)

Tetapi biar bagaimanapun dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam hubungan-hubungan sosialnya, orang Jawa memiliki batasan tersendiri yakni introsfeksi diri dalam pergaulan yang ditunjukan dengan sikap isin (malu),

sungkan (segan), tau diri dan toleran, inilah yang menjadi moral dalam kehidupan orang Jawa. Walaupun tadinya bentuk pertolongan hanya dilandasi oleh keperdulian dan kerja sukarela semata, namun pada penerapannya senantiasa akan dibalas kembali oleh orang yang menerima bantuan tersebut, meskipun terkadang tidak sama pengembaliannya tetapi semua tindakan tersebut sebisa mungkin akan dibalas sama dan ini senantiasa diingat oleh yang menerima bantuan ataupun yang memberi bantuan.

Saat ini tradisi nyumbang telah mengalami banyak perkembangan, masyarakat Desa Rawang sekarang mengenal tradisi nyumbang hanya dalam seremonial siklus daur hidup saja. Tradisi nyumbang yang paling mencolok sekali terlihat pada saat hajatan pernikahan dan sunatan, kedua hajatan ini dianggap sebagai moment yang ditunggu-tunggu dan penting untuk dirayakan oleh sebuah keluarga. Dalam menggelar hajatan pernikahan dan sunatan biasanya tidak tanggung-tanggung sebuah keluarga untuk menyiapkan segala sesuatunya, sampai-sampai ada yang rela berhutang demi untuk menggelar hajatan ini. Berbeda halnya dengan acara slametan yang hanya diselenggarakan secara sederhana dan tidak banyak membutuhkan persiapan layaknya sebuah hajatan besar. Kegiatan menggelar hajatan seperti ini dimasyarakat Desa Rawang relatif tinggi apalagi jika memasuki bulan-bulan tertentu, pemilihan hari baik melalui jasa seorang paranormal sudah banyak ditinggalkan, masyarakat lebih memilih


(23)

untuk mengandalkan penanggalan secara rasional tentunya sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga.

Ditengah masyarakat yang notabenya hidup sebagai petani kegiatan hajatan seperti pernikahan dan sunatan ini sangat banyak ditemui bahkan yang tadinya acara slametan yang identik dengan kesederhanaan dalam pelaksanaanya, kini banyak dijumpai ditengah masyarakat Desa Rawang menjadi acara yang meriah seperti acara hajatan pernikahan terkecuali acara slametan untuk tingkepan dan kematian yang masih dilakukan secara sederhana. Bagi sebagian besar warga Desa Rawang terkadang hal seperti ini menjadi beban sosial dan ekonomi terutama bagi mereka yang penghasilannya serba berkecukupan. Jika intensitas hajatan di desa banyak maka mau tidak mau mereka harus membuat anggaran tambahan untuk kegiatan sumbang menyumbang di desanya.

Meskipun memiliki esensi hubungan timbal balik (resiprositas) 3 di antara orang-orang yang terlibat dalam sebuah hajatan dan selamatan ini, namun tetap saja masih sering terjadi pengikarang serta ketidak setaraan pengembalian diantara kerjasama resiprositas tersebut. Hubungan timbal balik ini bisa berlangsung lama bahkan terus diwariskan kegenerasi selanjutnya sampai terlunasi apa yang sudah diterimanya. Peralihan bentuk nyumbang dalam hajatan yang lebih berorientasi pada nilai uang terkadang menjadikan seseorang berbuat curang dalam kerjasama resiprositas. Berbagai permasalah yang dimunculkan tradisi nyumbang dalam hajatan ini tidak lantas menjadikan tradisi ini hilang atau ditinggalkan justru saat ini hajatan dan kegiatan sumbang menyumbang semakin marak terlihat ditengah masyarakat Desa Rawang, masyarakat di desa ini seperti


(24)

memiliki ketergantungan terhadap keberadaan tradisi nyumbang dalam hajatan sampai-sampai tradisi tersebut menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat pertanian di Desa Rawang.

Fenomena tradisi nyumbang saat ini semakin menarik untuk dikaji lebih lanjut apalagi untuk menjelaskan lebih dalam lagi kerjasama resiprositas antara mereka yang terlibat. Selain itu mencari penjelasan mengapa tradisi ini masih dipertahankan sampai saat ini juga sangat penting, padahal disatu sisi kerap menjadi masalah tersendiri. Dan masih banyak lagi yang akan di jelaskan dalam penelitian ini terkait resiprositas tradisi nyumbang di Desa Rawang tersebut. 1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini terkait dengan gambaran tradisi nyumbang yang ada dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tradisi nyumbang dalam siklus daur hidup masyarakat Jawa di Desa Rawang, terutama dalam hajatan pernikahan dan khitanan!

2. Mengapa tradisi nyumbang ini masih dipertahankan oleh masyarakat Desa Rawang? Strategi seperti apa yang digunakan masyarakat untuk mempertahankan tradisi ini!

3. Resiprositas seperti apa dan kerjasama resiprositas yang bagaimana yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam tradisi nyumbang tersebut!

3

Sjafri Sairin, Pujo Semedi, Bambang Hudayana, Pengantar Antropologi Ekonomi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hal.38


(25)

1.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan. Lokasi ini di pilih karena beberapa hal termasuk diantaranya yaitu letak wilayah desa yang strategis, kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya yang unik juga merupakan salah satu perkampungan suku Jawa yang ada di Kabupaten Asahan. Selain itu pemilihan ini dikaitkan berdasarkan fenomena yang ada di desa tersebut terkait dengan tradisi

nyumbang yang akan diteliti.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tradisi nyumbang yang ada, melihat kerjasama resiprositasnya, menjelaskan berbagai lingkup persoalan dan permasalahan yang muncul serta menjelaskan kemungkinan adanya solusi dalam menghadapi persoalan terkait dengan tradisi

nyumbang ini. Selain itu juga untuk melihat strategi dari warga di Desa Rawang dalam mempertahankan tradisi nyumbang.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini sendiri diharapkan secara akademis dapat menambah wawasan keilmuan terutama dalam melihat realita dan permasalahan di tengah masyarakat untuk dijadikan sebagai kajian dan pembelajaran. Dalam hal ini tentu saja akan menambah khasana keilmuan terutama antropologi dalam kaitan dengan judul penelitian ini.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan positif terhadap masyarakat yang terkait dalam menanggapi tradisi


(26)

nyumbang itu secara arif dan positif serta agar nantinya tradisi ini kedepannya dapat dilestarikan sesuai dengan hakekat tradisi nyumbang yang sebenarnya tanpa harus menimbulkan permasalahan dan persoalan yang baru.

1.5. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan menurut Ruth Benedict merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan tertentu yang terungkap dalam aktivitas, sehingga pada hakekatnya kebudayaan itu adalah way of life, cara hidup tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula pada suatu bangsa. Sedangkan menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sitem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1986: 180). Manusia dan kebudayaan memiliki keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

J.J. Honigmann (Koentjaraningrat, 1986:186-187) membedakan adanya tiga wujud kebudayaan yaitu (1) ide, gagasan, nilai, peraturan dan sebagainya, (2) berupa kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat dan (3) benda-benda hasil karya manusia. Tradisi juga merupakan bagian dari kebudayaan yang dimaknai sebagai kebiasaan, dalam pengertian yang sederhana bahwa tradisi adalah sesuatu yang dilakukan sejak lama dan merupakan bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau religi yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi sendiri yakni adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi secara lisan maupun tulisan dan diwujudkan dalam suatu aktivitas atau kegiatan. Salah satu yang merupakan gambaran tradisi yang demikian adalah tradisi nyumbang.


(27)

Tradisi nyumbang merupakan kebudayaan yang termasuk dalam wujud aktivitas serta tindakan berpola dari semua tingkah-laku yang ada dalam masyarakat Desa Rawang terutama aktivitas dalam menggelar hajatan dan

slametan. Pada wujud kedua (sistem sosial) ini serangkaian aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lainnya dari waktu ke waktu berjalan menurut pola-pola tertentu dalam adat tata kelakuan masyarakat. Sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita, bisa diobservasi, dilihat, difoto dan didokumentasikan.

Kegiatan nyumbang yang dilakukan masyarakat dalam membantu meringankan beban orang yang memiliki hajatan tetaplah bagus dilestarikan sebagai bagian ikatan kekerabatan atau emosi sosial yang representatif dan benar-benar mencerminkan jiwa dalam masyarakat Jawa. Namun apabila tradisi itu sendiri kerap menimbulkan permasalahan dalam masyarakat maka perlu adanya pertimbangan lagi untuk mempertahankan tradisi yang demikian. Seperti yang dikatakan Franz Magnis Suseno (1983) bahwa perspektif hidup didalam bingkai etika Jawa harus terwujud dalam pola rutinitasnya lebih mengutamakan sisi moralitas yang luhur, berbudi dan tidak menghancurkan antar sesama maupun diri sendiri. Hal ini dalam artian bahwa didalam setiap aktivitas yang dilakukan jangan sampai membebani orang lain dan diri sendiri apalagi sampai menimbulkan permasalahan didalam lingkungan masyarakat.

Tradisi nyumbang dalam daur hidup masyarakat Jawa Desa Rawang, baik yang diselenggarakan dalam bentuk hajatan maupun slametan, juga diharapkan mengutamakan sisi moralitas yang berbudi dan tidak merugikan. Dengan kata lain bahwa tradisi nyumbang yang ada haruslah di ikuti dengan resiprositas yang


(28)

seimbang. Bagi mereka yang diundang dan terlibat dalam acara hajatan ataupun selamatan ini diharapkan dapat memenuhi kewajibannya yaitu salah satunya memenuhi undangan pesta. Memenuhi undangan merupakan suatu kewajiban sosial, ini dikarenakan adanya pengharapan pemberian dari mereka yang datang. Sedangkan bagi yang menerima (pemilik hajat) juga ada keharusan untuk membalas kembali atas apa yang diterimanya tersebut.

Marcel Mauss (Suparlan 1992: xviii) mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Segala bentuk pemberian selalu dibarengi dengan suatu pemberian kembali atau imbalan4. Dengan demikian maka yang ada bukan hanya pemberian yang dilakukan oleh seorang kepada lainnya, tetapi suatu tukar-menukar yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok yang saling memberi dan mengimbangi. Malinowski juga menjelaskan bahwa semua bentuk transaksi yang berada dalam satu garis hubungan yang berkesinambungan di mana disatu kutub pemberian ini bercorak murni, tanpa tuntunan imbalan dan di kutub lainnya bercorak pemberian yang harus diimbali5, maksudnya adalah bahwa bentuk nyumbang bisa saja diberikan secara cuma-cuma dalam artian seorang pemberi tidak mengharapkan adanya balasan/imbalan dari orang yang telah diberinya, sedangkan di sisi lainnnya terdapat bentuk nyumbang yang harus diimbali sehingga pemberian tersebut bersifat pamri (adanya pengharapan balasan kembali) dan ada timbal baliknya (resiprositas). Sistem menyumbang yang menimbulkan kewajiban untuk membalas ini merupakan suatu prinsip dari kehidupan masyarakat kecil, yang oleh Malinowski disebut principle of reciprocity, atau prinsip timbal balik antara yang memberi dan menerima.

4

Marcel Mauss, The Gift, Form and Functions of Exchange in Archaic Societies, terj. Parsudi Suparlan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal. xviii


(29)

Sistem pertukaran memunculkan rasa pengharapan adanya pengembalian ataupun pertukaran yang sama nilainya (resiprokal). Dimana rasa timbal balik (resiprokal) ini sangat besar dan ini difasilitasi oleh bentuk simetri institusional. Hubungan simetri ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung, contohnya adalah seorang petani mengundang tetangganya, untuk ikut kenduri selamatan atas kelahiran anaknya. Pada waktu yang lain kepala desa mengundang juga untuk peristiwa yang serupa. Dalam aktivitas tersebut mereka tidak menempatkan diri pada kedudukan sosial yang berbeda, mereka sejajar sebagai warga kelompok keagamaan, meskipun sebagai warga desa mereka memiliki derajat kekayaan dan prestise sosial yang berbeda-beda. Menurut Polanyi peristiwa tersebut menunjukkan adanya posisi sosial yang sama, pada suatu saat menjadi pengundang dan yang diundang6.

Dalton menjelaskan bahwa resiprositas merupakan pola pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran tersebut, individu memberikan dan menerima pemberian barang atau jasa karena kewajiban sosial7. Melalui resiprositas orang tidak hanya mendapatkan barang tetapi dapat memenuhi kebutuhan sosial yaitu penghargaan baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Hubungan personel diantara individu atau kelompok juga merupakan syarat terjadinya aktivitas resiprositas. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama seperti kehidupan petani di pedesaan, dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan-hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat

5


(30)

dalam mematuhi adat kebiasaan. Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas.

Menurut Sahlins (Sairin 2002: 48), ada tiga macam resiprositas, yaitu: resiprositas umum (generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity) dan resiprositas negative (negative reciprocity)8. Dalam resiprositas umum individu dan kelompok yang saling memberikan barang dan jasa kepada individu atau kelompok lain tidak menentukan batas waktu pengembalian, tidak ada hukum yang mengontrol seseorang untuk memberi dan mengembalikan pemberian yang ada, hanya kepercayaan dan moral dari mereka yang bekerjasama. Resiprositas sebanding dilakukan apabila barang dan jasa yang dipertukarkan harus mempunyai nilai yang sebanding, dalam pertukaran ini ada tuntutan kapan harus memberi, menerima, dan mengembalikan. Ciri resiprositas sebanding ini ditunjukkan oleh adanya norma-norma atau aturan-aturan serta sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi. Ciri lainnya yakni adanya putusan untuk melakukan kerjasama resiprositas berada ditangan masing-masing individu. Mereka yang terlibat dalam kerja sama resiprositas tidak mau ada yang dirugikan.

Resiprositas negativ merupakan resiprositas yang dikatakan sudah terpengaruh oleh sistem ekonomi uang atau pasar, dimana bentuk pertukaran tradisional digantikan dengan bentuk pertukaran modern serta munculnya dualisme pertukaran. Berkembangnya uang sebagai alat tukar menjadikan barang dan jasa kehilangan nilai simbolik yang luas serta menjadi beragam maknanya.

7

Ibid., hal 42

8


(31)

Hal ini karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar obyektif terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan. Inilah yang disebut negatif, karena dapat menghilangkan suatu tatanan pertukaran yang telah ada. Tingkat gotong royong pun sekarang semakin berkurang karena kegiatan masyarakat yang semakin

money oriented membuat nilai-nilai keikhlasan untuk saling membantu pun

berkurang.

Tradisi nyumbang yang ada dalam masyarakat Jawa di Desa Rawang juga tidak bisa terlepas dari adanya resiprositas. Hanya saja sejauh ini resiprositas yang ada seringkali mengalami perubahan, hal ini dikarenakan niatan untuk menggelar hajatan atau melakukan kerjasama resiprositas setiap individu dalam masyarakat kerap dipersepsikan berbeda. Jadi resiprositas yang seharusnya berjalan seimbang bisa saja berubah kearah negative kalau niatan seseorang melakukan hajatan itu hanya untuk meraup keuntungan semata.

1.6. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Melalui metode ini akan dideskripsikan secara gamblang tradisi nyumbang pada masyarakat Desa Rawang, untuk dapat mengambarkan atau mendeskripsikan secara baik tradisi ini. Oleh karena itu diperlukan adanya teknik pengumpulan data sebagai pendukung penelitian, terutama dalam menggali informasi sebanyak mungkin di lapangan sehingga didapat data yang diinginkan (harapkan).

1.6.1. Data Primer

Data primer merupakan data utama yang diperoleh melalui observasi dan wawancara, berikut ini keterangan dari data utama tersebut:


(32)

a. Observasi

Observasi merupakan metode yang dipakai dalam penelitian ini. Observasi dilakukan untuk mengamati serangkaian kegiatan masyarakat maupun individu baik berupa tingkah laku, aktivitas, hubungan sosial dan lain sebagainya guna mendukung penelitian serta disesuaikan dengan data yang diinginkan. Dalam observasi ini peneliti bisa mengamati secara langsung kegiatan yang sedang dilakukan warga desa di sana, terutama ketika sedang ada hajatan atau selamatan, dari sini peneliti bisa mengikuti dan mengamati apa yang sedang dilakukan oleh warga dalam hal tersebut. Kemudian jika di desa tidak ada ditemukan acara seperti hajatan ataupun selamatan saat dilapangan, peneliti melakukan observasi seputar kegiatan dan aktivitas warga dalam kesehariannya.

b. Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview)9 dan dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara

(interview guide). Wawancara mendalam difokuskan kepada pertanyaan yang

diajukan dalam rumusan masalah, serta pertanyaan yang lainnya baik yang sudah dipersiapkan (bukan dalam bentuk kuesioner) ataupun pertanyaan yang dikembangkan dari wawancara di lapangan. Wawancara sambil lalu juga digunakan dalam penelitian ini, pertanyaan yang diajukan tidak terstruktur

9

Wawancara Mendalam (depth Interview) yaitu penelitian kualitatif biasanya lebih sering menggunakan wawancara mendalam ketimbang wawancara terstruktur (menggunakan kuesioner) dalam proses pengumpulan data lapangan. Wawancara mendalam biasanya dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai panduan yaitu, berisi seperangkat pertanyaan terbuka sesuai dengan aspek-aspek yang ingin didapatkan informasinya (Lubis, 2007).


(33)

sebagaimana wawancara mendalam. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan wawasan dan pengetahuan yang informan10 ketahui dari tradisi nyumbang.

c. Menentukan Informan

Informan dalam penelitian ini terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu: informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Informan pangkal dalam penelitian adalah orang yang pertamakalinya ditemui peneliti yang memiliki pengetahuan tentang desa dan masyarakatnya, dan dari informan ini lah nantinya peneliti diarahkan langsung ke masyarakat serta diarahkan kepada orang yang memang mengetahui lebih banyak pengetahuan tentang kehidupan desanya. Bapak Ruslin selaku KADES Desa Rawang adalah informan pangkal pertama dalam penelitian ini, dari beliau saya dipertemukan dengan bapak Ramlan KADUS Desa Rawang Pasar IV, bapak KADUS inilah yang kemudian membantu peneliti menemui warga masyarakat di Desa Rawang Pasar IV, terutama warga desa yang pernah dan akan melangsungkan hajatan dalam waktu dekat. Dari sinilah kemudian peneliti mencari warga yang bisa dijadikan sebagai informan kunci.

Informan kunci dalam penelitian ini sebelumnya telah dikategorikan berdasarkan beberapa kriteria diantaranya; keluarga Jawa, sudah lama menetap didesa, memiliki pengetahuan luas tentang tradisi nyumbang dalam daur hidupnya, memiliki pengalaman melangsungkan hajatan/slametan baik yang sudah lama maupun yang baru berlangsung, berusia ± 40 tahun. Sedangkan informan biasa dalam penelitian ini adalah warga Desa Rawang yang peneliti temui untuk memberikan informasi seputar pengetahuannya yang berkaitan dengan tradisi nyumbang.


(34)

1.6.2. Data Skunder

Data skunder merupakan data pendukung yang bisa diperoleh dari bacaan, tulisan, literatur, media, perpustakaan, kearsipan dan lain sebagainya. Data skunder sangat penting dalam memberikan penyempurnaan hasil observasi dan wawancara, data ini bisa didapat dari hasil penelitian orang lain dan referensi berbagai sumber yang relefan seperti jurnal, surat kabar, bulletin, artikel, buku-buku dan media elektronik.

1.7. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif, Analisis data dimulai dari mengumpulkan data-data yang diperoleh dari lapangan baik dari observasi, wawancara dan dokumentasi, analisis ini juga meliputi data-data atau informasi yang diperoleh dari media massa, buku dan lain sebagainya yang kiranya dapat mendukung hasil penelitian. Data-data yang sudah ada dikelompokkan sesuai dengan kategori yang ditentukan sehingga dengan demikian akan memudahkan peneliti untuk menyajikan data yang ada dalam bentuk informasi yang disusun dalam bentuk standart penyusunan karya ilmiah sebagai bentuk hasil sebuah kesimpulan akhir penelitian yakni dalam bentuk laporan.

dilapangan yakni warga desa setempat yang memiliki pengetahuan seputar kegiatan tradisi


(35)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Desa Rawang

Rawang merupakan nama desa secara keseluruhan di Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan. Desa Rawang begitulah disebut dan dikenal masyarakat di Kab. Asahan. Desa ini terbagi dalam 7 bagian wilayah, seperti; Rawang Pasar IV, Rawang Pasar V, Rawang Pasar VI, Rawang Lama, Rawang Baru, Panca Arga dan Pondok Bungur. Wilayah desa yang pertama kali menjadi pemukiman adalah Desa Rawang Lama yang letaknya berdekatan dengan Kecamatan Meranti. Di Desa Rawang Lama ini penduduknya mayoritas adalah suku Jawa dan Melayu Pesisir. Keberadaan mereka sudah berlangsung sejak masa kolonial Belanda di Asahan, kebanyakan suku Jawa yang ada di Desa ini semuanya berasal dari Pulau Jawa, mereka umumnya bekerja sebagai buruh perkebunan dan bertani.

Pertambahan jumlah penduduk desa dan perluasan lahan pertanian yang masih berpindah-pindah, menjadikan pembukaan lahan baru diluar dari Desa Rawang lama. Banyak keluarga muda dari Desa Rawang Lama ini yang kemudian pindah membangun tempat tinggalnya di luar dari desanya yakni disekitar tanah garapan milik orang tua mereka ataupun milik suaminya. Selain itu juga jumlah penduduk pendatang semakin banyak, mereka umumnya berasal dari pekerja perkebunan yang sudah pensiun atau habis kontraknya. Merekalah yang kemudian banyak membuka lahan pertanian dan membangun gubuk-gubuk sederhana sebagai tempat tinggalnya.


(36)

Menurut informan dalam wawancara penelitian (Kakek Lasam, 70 tahun)11, dulu desa ini seluruhnya masih berupa hutan yang ditumbuhi semak belukar, kondisinya berupa rawa-rawa dan tanah bergambut. Orang yang ingin memiliki lahan harus berjuang membuka hutan agar dapat menggarapnya, apabila sudah berhasil maka lahan yang sudah diperolehnya menjadi miliknya, jadi jangan heran kalau nenek atau kakek-kakek yang ada di desa ini punya banyak tanah dan anak-anaknya bisa dapat bagian. Sahnya kepemilikan tanah ini di sertifikasikan ketika Indonesia sudah merdeka. Jadi nama ‘rawang’ itu diambil dari nama tempat ini asalmulanya yaitu hutan dan rawa-rawa. Penduduk yang ada di desa ini kebanyakan adalah suku Jawa mereka bukan transmigran melainkan pekerja kuli perkebunan yang sudah habis masa kontraknya. Kebanyakan lebih memilih hidup di perantauan ketimbang pulang ke Jawa, dan sebagian lagi adalah warga pendatang seperti suku Batak, Mandailing, Melayu yang umumnya berasal dari daerah Siantar, Tanjung Balai, dan Batubara.

Setelah Desa Rawang Lama barulah bermunculan pemukiman baru dengan jumlah penduduk yang lumayan banyak, itulah yang menjadi cikal bakal desa baru yang sampai sekarang ini menjadi Desa Rawang Pasar IV, Pasar V,sampai Pasar VI. Wilayah Pondok Bungur (Kampong Bungo) sendiri merupakan perkampungan yang berada di tengah-tengah perkebunan karet, dan kampung ini sebenarnya sudah ada sejak masa kolonial, sedangkan desa yang

11

Kakek Lasam (70 thn), adalah tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama yang disegani dan dituakan di Desa Rawang. Diusianya yang sudah tidak muda lagi beliau masih terlihat bersemangat, sehat dan senantiasa beraktivitas seperti biasanya. Kakek Lasam adalah seorang guru, beliau masih aktif mengajar di SMP Perguruan Taman Siswa di Desa Rawang dan pernah juga mengajar di sekolah MTS N Meranti di Desa Rawang dengan matapelajaran yang sama. Dedikasinya adalah pendidikan dan terus mengajar. Beliau sudah puluhan tahun tinggal di desa ini, orang tuanya sendiri berasal dari pulau Jawa yang dulu bekerja diperkebunan milik pemerintah Belanda di Asahan. Beliau pernah sekolah di pulau Jawa dan pulang kekampung halaman orang tuannya di Jawa Tengah.


(37)

baru terbentuk dan tergolong masih muda adalah desa Rawang Baru dan Panca Arga. Keduanya baru dibentuk setelah Desa Rawang pemekaran membentuk pemerintahan kecamatan sendiri dan terlepas dari pemerintahan kecamatan yang lama yakni Kecamatan Meranti. Pada tahun 2010 resmi Kecamatan Rawang Panca Arga berdiri dengan harapan membawa perubahan yang lebih baik untuk kemajuan masyarakat Desa Rawang secara keseluruhan. Kantor Kecamatan Rawang Panca Arga sekarang berada di wilayah Desa Rawang Pasar IV

2.2. Letak Geografis

Letak geografis desa yang di maksud dalam penelitian ini adalah Desa Rawang Pasar IV yang menjadi fokus lokasi penelitian. Secara geografis desa ini memiliki batasan-batasan wilayah sebagai penanda luas keseluruhan wilayah desa serta pemerintahan desa secara atministratif, diantaranya yakni:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rawang Lama b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Gambir Baru c. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pondok Bungur d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Rawang Pasar V

Luas wilayah desa ini secara keseluruhan ± 643 Ha yang terdiri dari 10 dusun, sedangkan berdasarkan topografi wilayah berada pada temperatur antara 20 – 33ºC dengan ketinggian wilayah ± 10 meter dari permukaan laut serta kondisi alamnya terdiri dari dataran rendah, beriklim tropis yang dipengaruhi oleh 2 (dua) musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, rata-rata curah hujan per tahun antara 200 – 300 mm. Kondisi alam yang merupakan dataran rendah menjadikan wilayah ini sebagian dari daratannya adalah lahan pertanian (sawah, ladang), perkebunan dan perikanan. Komoditi utama dari desa ini sendiri berasal


(38)

dari pertanian sawah dan ladang (padi, tanaman palawijah) dan sebagian lagi adalah hasil perkebunan (kakao, sawit, dan pisang) serta tambak ikan (ikan lele dan ikan Mas).

2.3. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Desa

Jumlah penduduk Desa Rawang Pasar IV keseluruhan ± 2.829 jiwa dengan jumlah banyak KK sekitar 735 KK yang tersebar di 10 dusun. Adapun data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut;

Tabel 1. Nama Desa, Jumlah Penduduk, KK dan Kepadatan.

NO DESA

JLH PENDUDUK

(JIWA)

JLH KK

KEPADATAN (PER KM2)

1. Rawang Pasar IV

2.829 735 5

2. Rawang Pasar V 2.914 675 5

3. Rawang Pasar VI

1.212 284 4

4. Rawang Baru 2.059 548 1

5. Rawang Lama 3.149 837 2

6. Pondok Bungur 3.926 925 3

7. Panca Arga 1.873 440 2

Jumlah 17.751 4.444 -

Sumber: Rawang Panca Arga dalam angka 2010.

Bila dilihat dari tabel di atas dari 7(tujuh ) desa yang berada di Kecamatan Rawang Panca Arga dapat diketahui besarnya jumlah penduduk di tiap desanya dan total keseluruhan penduduk yang berada di Kecamatan Rawang Panca Arga ± 17.751 jiwa dengan 4.444 KK. Desa Rawang Pasar IV sendiri jika dilihat pada tabel diatas berada pada urutan ke-4 (empat) terbesar dengan jumlah penduduknya sekitar 2.829 jiwa, KK sekitar 735 dan tingkat kerapatan pemukiman penduduk


(39)

sekitar 5 per/Km, ini sama dengan tingkat kerapatan penduduk yang ada di Desa Rawang Pasar V.

Sumber: Rawang Panca Arga dalam angka 2010

Bila dilihat dari tabel diatas dapat diketahui luas wilayah desa masing-masing yang ada di Kecamatan Rawang Panca Arga. Desa yang wilayahnya luas yakni Pondok Bungur (18,4 Ha), Rawang Lama (26 Ha) dan Rawang Baru (25 Ha), namun tingkat kepadatan penduduk ketiganya tergolong jarang hanya sekitar 1-3 per/Km². Bila dibandingkan dengan luas desa lainnya yang tergolong kecil seperti Rawang Pasar IV, Pasar V, namun justru tingkat kepadatan penduduknya sangat rapat. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan selama penelitian,Desa Rawang Pasar IV dan Pasar V merupakan dua desa yang letaknya sangat strategis, akses kedua desa ini menuju kota tergolong dekat sekitar 30 menit waktu tempuh dengan sepeda motor. Jalan utama di dua desa ini di aspal sedangkan untuk menuju desa lainnya masih berupa tanah dan batu kalau ada yang kena pengaspalan kualitasnya sudah sangat buruk, berlubang dan tidak nyaman dilalui. Tingkat kerapatan penduduk di Desa Rawang Pasar IV memang tergolong rapat, namun itu terletak hanya di beberapa dusun saja seperti dusun 1,2,3 dan 4.


(40)

Roda perekonomian di dusun-dusun ini berjalan sangat baik, tingkat partisipasi masyarakat di dusun ini juga sangat antusias dalam pembangunan dan kemajuan desa.

Besarnya Jumlah penduduk desa juga dapat dilihat melalui golongan usia dan Jenis kelamin, hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel.2. Jumlah Penduduk Dirinci Menurut Golongan Usia dan Jenis Kelamin

NO Golongan Usia

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9. 10. 11. 12. 13.

0 – 12 bulan 13 bulan – 4 tahun

5 – 6 tahun 7 – 12 tahun 13- 15 tahun 16 – 18 tahun 19 – 25 tahun 26 – 35 tahun 36 – 45 tahun 46 – 50 tahun 51 – 60 tahun 61 – 75 tahun Lebih dari 76 tahun

58 102 110 105 122 129 142 139 131 103 107 70 49 67 108 120 113 128 139 150 146 144 110 114 68 55

Jumlah 1367 1462

Sumber: Kantor Desa Rawang Pasar IV, 2010.

Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki- laki ± 1.367 jiwa dan jumlah penduduk dengan jenis kelamin perempuan ± 1462 jiwa. Berdasarkan keterangan data tersebut bahwa jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan hanya berbanding sedikit. Rata-rata penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan dengan usia balita dan lansia.

Pertumbuhan penduduk pedesaan biasanya dipengaruhi oleh budaya dari masyarakatnya seperti kedudukan anak dalam keluarga. Masyarakat Jawa punya pemikiran bahwa ‘banyak anak banyak rezeki’, awalnya anggapan ini masih


(41)

banyak diyakini masyarakat terutama mereka dari generasi terdahulu. Jadi tidak mengherankan jika di dalam masyarakat Desa Rawang ada keluarga dengan jumlah anaknya lebih dari 5 orang bahkan sampai 12 orang. Perkembangannya saat ini justru sebaliknya, tingkat pengetahuan masyarakat yang semakin baik, informasi dan pendidikan juga baik, membuat program-program pemerintah tentang kesehatan juga mudah diterima masyarakat, seperti program keluarga berencana (KB).

2.4. Pola Pemukiman dan Perumahan Penduduk

Permukiman adalah daerah tempat bermukim (tempat tinggal). Umumnya penduduk akan memilih tempat bermukim sedapat mungkin dekat dengan tempatnya melakukan aktivitas sehari-hari, ini dikarenakan akan lebih memudahkannya melakukan mobilitas dalam kesehariannya. Pemukiman penduduk pada dasarnya membentuk pola tertentu sesuai dengan keadaan lingkungannya, seperti pola menyebar/terbuka, pola linear/ memanjang dan pola melingkar12.

Pola pemukiman yang ada di Desa Rawang Pasar IV umumnya menyebar hal ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk serta keadaan lingkungan yang tergolong dataran rendah dan rata. Pola pemukiman yang tersebar ini terjadi hampir disetiap titik dan dusunnya. Pada awalnya pola pemukiman di desa Rawang ini berbentuk linear/ memanjang mengikuti alur jalan di desa baik jalan utama desa maupun jalanan kecil termasuk juga mengikuti aliran sungai. Sehingga pemukiman yang terlihat akan lebih banyak ditemukan disepanjang jalan dan pinggiran sungai.


(42)

Saat ini pola pemukiman yang terlihat di desa lebih menyebar, ini seiring dengan berjalannya waktu dimana tingkat kepadatan penduduk desa semakin bertambah. Akibat adanya peningkatan jumlah penduduk ini kebutuhan akan lahan untuk perumahan semakin tinggi, indikasinya penggunaan lahan sawah dan ladang beralih fungsi menjadi tempat bermukim (rumah). Kondisi ini tentu akan mempengaruhi sektor lainnya terutama perekonomian. Produksi hasil sawah dan ladang tentu akan mengalami penurunan karena semakin sempitnya lahan serta alih fungsi lahan ke pemukiman. Bisa jadi bahwa 2-3 tahun mendatang sawah-sawah yang menghijau di desa ini akan semakin sulit di temukan karena digantikan dengan tempat pemukiman.

Kondisi perumahan penduduk di Desa Rawang Pasar IV tergolong sangat baik, hal ini dapat dilihat dari bangunan fisik rumah yang ada. Mengikuti anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang indikasi rumah sehat adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai perkapitannya minimal 10 m². Saat ini kondisi perumahan warga yang ada di desa telah memenuhi standar kesehatan bukan saja seperti yang di anjurkan pemerintah namun masyarakat juga memiliki konsep tersendiri tentang rumah tinggal yang layak huni, nyaman, sehat bagi penghuninya.

12

Liha


(43)

Foto. 1 Foto. 2

Kedua Foto tersebut (foto 1 dan 2) merupakan gambaran perumahan warga Desa Rawang Pasar IV yang rata-rata bangunan permanen

Rumah bagi orang Jawa terutama bukan saja dianggap sebagai tempatnya berlindung dari panas dan hujan atau beristirahatnya saat siang dan malam, tetapi rumah merupakan tempat dimana seseorang dapat hidup nyaman, memiliki manfaat bagi penghuninya (menaungi keluarganya), membawa berkah serta mencerminkan dari pemiliknya. Maka tidak mengherankan jika orang Jawa di Desa Rawang ini rata-rata rumahnya sudah permanen dan bagus-bagus, jangan melihat apa profesinya atau berapa penghasilannya bagi mereka rumah adalah yang utama, meskipun buruh pekerjaannya.

2.5. Suku Bangsa

Penduduk Desa Rawang Pasar IV memiliki keragaman suku bangsa yang tersebar di tiap-tiap dusunnya. Suku yang ada di desa ini yakni terdiri dari suku Jawa, Batak, Melayu dan lain-lain. Suku bangsa mayoritas yang ada di desa ini adalah suku Jawa atau di sebut Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera). Mereka ini adalah generasi dari para pekerja kontrak perkebunan meskipun tidak seluruhnya namun sebagian besar merupakan keturunan orang Jawa yang bekerja sebagai kuli. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(44)

Tabel 3. Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa No S u k u Jumlah Penduduk

( Jiwa )

Persentase ( % )

1. Jawa 2193 78

2. Batak 436 15

3. Melayu 50 2

4. Lain – lain 150 5

Jumlah 2.829 100

Sumber: Data Olahan Kantor Desa Rawang Pasar IV, 2010.

Besarnya jumlah penduduk yang suku Jawa sekitar 2.193 jiwa dengan persentase sekitar 78 persen. Penduduk kedua terbesar adalah suku Batak 436 jiwa dengan persentase sebesar 15 persen. Suku Batak dalam kehidupan bermasyarakat di desa ini umumnya dapat membaur dengan suku bangsa lainnya, namun dalam pola pemukiman dan tempat tinggal mereka membentuk satu kelompok dengan suku mereka sendiri yang jaraknya tidak terlalu berjauhan dengan pemukiman suku bangsa lainnya, kalaupun ada yang bertetanggaan mereka yang suku Batak umumnya adalah mereka yang muslim. Suku Batak yang ada di desa ini merupakan pendatang dari daerah disekitar Asahan.

Suku Melayu jumlahnya sekitar 50 jiwa dengan persentase sebesar 2 persen dan selebihnya suku bangsa lain seperti Aceh, Banjar, Cina dan sebagainya sebanyak 150 jiwa dengan persentase sebesar 5 persen. Suku melayu yang ada adalah melayu pesisie mereka ini sebenarnya penduduk asli Asahan namun sejak kedatangan pekerja dari Jawa serta penduduk pendatang lainnya mereka pindah kearah pesisir seperti daerah Lubuk Palas, Silau Laut, tanjung balai dan sebagian kecil lainnya tinggal membaur dengan suku bangsa lainnya di pedesaan termasuk Desa Rawang Pasar IV.


(45)

2.6. Sistem Religi

Keberagaman suku bangsa juga memberikan keberagaman terhadap sistem keyakinan/ agama yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Rawang Pasar IV ini. Agama yang ada merupakan agama resmi yang diakui di Indonesia seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu. Di bawah ini merupakan data dari jumlah penduduk di Desa Rawang yang memeluk beberapa agama resmi tersebut:

Tabel 4. Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Penduduk

( Jiwa )

Persentase ( % )

1. Islam 2273 80

2. Kristen Khatolik 332 12

3. Kristen Protestan 224 8

Jumlah 2.829 100

Sumber : Data Kantor Desa Rawang Pasar IV, 2010

Berdasarkan data table diatas dapat diketahui bahwa penduduk Desa Rawang Pasar IV, 80 persennya memeluk agama islam. Suku bangsa yang memeluk agama ini umumnya dari suku Jawa, Melayu, Aceh, Banjar dan Batak Mandailing sedangkan 12 persen dan 8 persennya lagi banyak dianut oleh penduduk yang suku Batak seperti Toba, Karo, Nias.

Dalam kehidupan beragama, kerukunan dan toleransi antar sesama warga desa yang memiliki keyakinan yang berbeda ini sangat dijaga. Hormat menghormati dan saling menghargai merupakan modal terciptanya suasana desa yang rukun dan damai. Kegiatan keagamaan yang dilakukan warga desa baik yang beragama Islam maupun Kristen dilakukan di dua tempat seperti di tempat ibadah dan rumah. Seperti warga muslim melakukan acara keagamaan misalnya Maulid Nabi Muhammad SAW menyelenggarakannya di Masjid ataupun Mushola desa,


(46)

sedangkan kegiatan perwiritan dan pengajian banyak dilakuakan di rumah dan dilakukan secara bergiliran. Demikian juga dengan warga yang beragama Kristen, mereka melakukan kebaktian setiap Minggu di Gereja masing-masing dan kebaktian kecil (seperti pengajian) di rumah-rumah.

Penerapan ajaran agama Islam terutama di dalam masyarakat Jawa di Desa Rawang ini dijalankan oleh sebagian warganya masih setengah-setengah atau belum sepenuhnya mengikuti dengan tepat ajaran agama islam. Masih banyak dijumpai warga desa yang meninggalkan ibadah wajib seperti shalat dan puasa, padahal kondisi fisik dan kesehatannya baik. Juga masih banyak warga desa yang melakukan praktek sesajen, percaya pada dukun, percaya terhadap hal-hal yang berbau mistis dan tahayul dalam kehidupan sebagian warga desa disana.

2.7. Sistem Kekerabatan

Komposisi penduduk yang ada di Desa Rawang Pasar IV bila dilihat dari keterangan tabel sebelumnya dapat diketahui secara keseluruhan bahwa suku Jawa merupakan mayoritas. Walaupun mereka sebagai mayoritas namun hubungan kekerabatan dengan suku bangsa yang lainnya tetap dijaga keakraban dan kerukunannya agar tercipta hidup yang selaras dan harmonis.

Keberadaan suku Jawa di desa ini seperti yang ada dalam sejarah, berpengaruh besar dalam kehidupan mereka diperantauan sebagai seorang pendatang. Identitas dan jati diri sebagai orang Jawa yang melekat dalam diri mereka menimbulkan rasa kebersamaan yang senasip sepenanggungan di perantauan sebagai saudara “dulur setunggal sekapal” yang sama-sama dari pulau Jawa. Hingga saat ini pun mereka yang merupakan orang Jawa kelahiran


(47)

Sumatera walaupun bukan lagi lahir di tanah Jawa namun karena adanya ikatan dan rasa identitas dan jati diri sebagai bagian dari orang Jawa mereka tetap menjalin hubungan kekerabatan.

Hubungan kekerabatan suku Jawa ditentukan oleh prinsip bilateral, yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pria maupun wanita. Perkawinan yang ada di desa ini umumnya pernikahan dari sesama suku Jawa baik dari desa setempat maupun dari luar desannya, tetapi ada juga pernikahan campuran antara suku Jawa dengan suku bangsa lainnya. Setelah menikah biasanya 2-3 minggu pasangan baru akan tinggal bergilir dirumah orang tua mereka, baru selepas itu mereka memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri baik dilingkungan desanya atau tinggal diluar dari desannya.

Penyebutan saudara dekat dan saudara jauh dalam kekerabatan orang Jawa ditentukan oleh pertalian darah dan juga silahturahmi yang terjalin. Saudara dekat (masih jelas hubungan darahnya, seperti saudara kandung ayah atau ibu) tidak diperbolehkan adanya hubungan pernikahan dari dua insan yang masih keluarga, hal ini dianggap tabuh karena masih satu darah. Sedangkan pernikahan yang terjadi dengan saudara jauh diperbolehkan karena biasanya hubungan persaudaraan selain dari keluarga ayah atau ibu juga berasal dari keluarga yang seangkatan atau berdasarkan hubungan kekeluargaan yang lainnya sehingga menimbulkan istilah saudara jauh, dalam hal ini biasanya pertalian darah sudah tidak terlihat jelas lagi.

Kekerabatan keluarga Jawa bukan hanya dihitung atau dilihat dari hubungan sedarah saja, namun melibatkan hubungan-hubungan yang lainnya hingga memunculkan penyebutan saudara atau keluarga secara luas. Istilah lain


(48)

yang dikenal dalam pertalian keluarga Jawa selain keluarga sedarah adalah keluarga perbesanan yang ada karena hubungan pernikahan. Pertalian keluarga dalam masyarakat Jawa memiliki ikatan sosial yang ketat, keluarga Jawa memiliki peranan yang penting dalam masyarakat untuk membangun kekuatan ekonomi, politik dan bahkan keagamaan.

Batas-batas penyebaran keluarga kadang terlihat tidak menentu, tetapi orang Jawa memberikan perbedaan tertentu antara “saudara dekat” (sedulur

cedak) dan “saudara jauh” (sedulur adoh). Biasanya yang termasuk dalam

kategori pertama adalah ke empat orang kakek nenek (keluarga langsung ayah dan ibu kandung), anak-anak dan cucu-cucu mereka, anak-anak dan cucu-cucunya kandung, kemungkinan dengan ditambah pula kakek dan nenek moyang serta cicit-cicit. Golongan inilah, yaitu golongan “sedulur cedak”, dalam prakteknya batas-batasnya tidak tegas, akibatnya seorang saudara dekat dapat menjadi saudara jauh sebagai akibat percekcokan, tempat kediaman yang jauh, atau oleh perpindahan ke kelas lain. Seorang saudarah jauh akibat berkediaman dekat untuk waktu yang lama dapat mengembangkan hubungan pribadinya secara lebih mendalam dengan kelompok saudaranya yang telah jauh itu malah dianggap sebagai keluarga dekat.

2.8. Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan di Desa Rawang Pasar IV sudah tergolong baik, angka peningkatan pendidikan warganya juga semakin meningkat. Hal ini menjadi kemajuan tersendiri bagi masyarakat desa dan merupakan kesadaran tinggi bagi orang tua terutama untuk mendorong anak-anaknya mengenyam pendidikan di


(49)

sekolah-sekolah yang ada hingga pada perguruan tinggi. Di bawah ini merupakan tabel data penduduk berdasarkan tingkat pendidikan:

Tabel.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Belum sekolah Tidak tamat sekolah Tamat SD/ sederajat SLTP/ sederajat SLTA/ sederajat Diploma Sarjana Buta Aksara 421 orang 116 orang 203 orang 931 orang 1099 orang 31 orang 15 orang 13 orang

Jumlah 2.829 orang

Sumber: Data Kependudukan Desa Rawang Psr IV, 2010.

Bila dilihat dari tabel tersebut dapat dilihat bagaimana komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan, dapat diketahui bahwa penduduk dengan latarbelakang pendidikan SLTA/ sederajat merupakan jumlah terbesar di desa ini, kemudian level ke-2 jumlah penduduk dengan latarbelakang pendidikan SLTP/ sederajat sekitar 931 orang serta latabelakang pendidikan lainnya. Hal ini dapat diketahui bahwa kesadaran akan pendidikan ditengah masyarakat desa ini tergolong masih diperhatikan walaupun pada dasarnya banyak dari penduduk desa yang setelah menyelesaikan bangku sekolahnya misalnya SLTA tidak melanjut ke jenjang perguruan tinggi, banyak dari penduduk di sana beranggapan bahwa untuk bisa mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTA dirasa sudah memadai.

Faktor utama yang biasanya melatarbelakangi terbatasnya seseorang untuk mengenyam pendidikan adalah masalah kondisi perekonomian keluarga termasuk diantaranya biaya pendidikan yang dibutuhkan, kemudian masalah kemauan seorang anak untuk meneruskan pendidikannya. Data diatas sedikit banyak telah mengalami kemajuan karena adanya peningkatan jumlah dari warga penduduk


(50)

desa untuk memiliki kesadaran tinggi akan pendidikan terutama pada tingkat perguruan tinggi.

Proses globalisasi berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di pedesaan seperti masyarakat di Desa Rawang. Pengaruhnya telah masuk kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat terutama dalam pendidikan. Standar kehidupan masyarakat mengacu pada standar hidup modern dimana pendidikan itu penting karena pendidikan saat ini menjadi standar di dunia kerja. Kaula muda desa juga banyak yang lebih memilih untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik dengan harapan dapat bekerja diluar sektor pertanian seperti menjadi pegawai ataupun bekerja kantoran dikota.

2.9. Matapencarian dan Ekonomi Masyarakat

Pendidikan dan matapencarian memiliki pengaruh saat ini, dimana semakin seseorang menyadari akan pentingnya pendidikan maka seseorang tersebut akan mencari jenis profesi kerjanya yang sesuai dengan kemampuannya atau pendidikannya. Penduduk di Desa Rawang Pasar IV ini memiliki berbagai profesi kerja sebagai bagian dari matapencarian guna untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan sehari-harinya, diantara profesi tersebut yakni; (1) Petani, (2) Buruh, (3) PNS, (4) Karyawan swasta, (5) Pedagang, (6) Polisi, (7) TNI, (8) Wiraswasta, (9) Guru, dan lain sebagainya. Matapencarian atau profesi kerja penduduk di Desa Rawang Pasar IV ini dapat dilihat sebagai berikut:


(51)

Tabel 6. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Rawang Pasar IV

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk ( Jiwa )

1. Petani 421

2. Pengrajin/ Industri kecil 3

3. Pegawai Negeri Sipil 22

4. Karyawan Swasta 10

5. Pedagang 50

6. Kepolisian RI (POLRI) 4

7. Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2

8. Peternak 12

9. Buruh 152

10. Pembantu Rumah Tangga 15

11. Wiraswasta 28

12. Dan lain-lain 16

Jumlah 735

Sumber: Data Kantor Desa Rawang Pasar IV, 2010.

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di desa ini bermata pencaharian sebagai petani yang jumlahnya sekitar 421 jiwa. Kemudian mata pencaharian yang selanjutnya yang banyak digeluti oleh penduduk desa adalah sebagai buruh yakni sekitar 152 jiwa penduduk. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa Desa Rawang merupakan desa agraria (pertanian) jadi sebagian besar penduduknya mengandalkan pertanian sawah dan ladang sebagai matapencariannya disamping perkebunan dan perikanan.

Kehidupan perekonomian masyarakat di desa masih tergolong rendah bila dilihat dari penghasilan dan pendapatan utama perbulannya/rumahtangga petani ± dibawah Rp.1.000.000, ini belum termasuk tambahan dari penghasilan di sektor lainnya misalnya dari kebun, berdagang, bekerja sampingan/serabutan dan sebagainya. pendapatan yang tidak besar tersebut harus dibagi dengan biaya hidup lainnya seperti pendidikan anak, belanja rumah tangga, iuran arisan, atau sumbang menyumbang untuk hajatan. Alokasi pendapatan tersebut harus benar-benar


(52)

cermat dibagikan yang berperan disini adalah istri sebagai pengelolah keuangan rumah tangga, istri petani harus pandai-pandai meminimalisir pengeluaran serta menyisihkan uang yang ada untuk tabungan.

Upah buruh di desa dihitung per harinya yakni sekitar Rp 20.000 ini berlaku bagi buruh harian saja yang bekerja selama 2-3 hari paling lama. Hal ini berbeda lagi dengan buruh yang bekerja menjaga padi yang dibayar ketika masa panen tiba, sedangkan yang bekerja Nderep13 dibayar berdasarkan ikatan bibit yang dicabutnya 1 (satu) ikat bibit dihargai Rp 250. Selain buruh tani ada sebagian kecil yang bermata pencaharian sebagai buruh bangunan dan buruh pabrik dikota. Profesi buruh ini dilakoni oleh mereka tidak memiliki lahan pertanian di desa.

Foto.3. Buruh penanam padi “nderep” Foto.4. Pekerja musiman “ngomben” Gambar di atas merupakan gambaran profesi penduduk yang ada di Desa Rawang seperti Buruh tani dan pekerja musiman di waktu memasuki masa panen, mereka ini bekerja secara berkelompok. Pekerja musiman “ngomben” ini sebagian besar memiliki sawah tetapi bila musim panen tiba mereka merangkap profesi untuk ikut bekerja sebagai pemanen padi untuk penghasilan tambahan. Berbagai jenis profesi yang ada di desa ini sebenarnya tidak digeluti hanya dalam satu

13

Nderep istilah bahasa Jawa pasaran yang digunakan masyarakat untuk pekerjaan mencabut bibit padi dan menanam padi disawah.


(1)

tradisi ini seolah mengikuti arus kebutuhan disamping meringankan, tradisi ini juga memiliki tujuan timbal balik bagi mereka yang terlibat didalamnya, seperti pemberi dan penerima dalam hajatan ini. Tradisi ini lebih menonjol dalam acara hajatan karena hajatan merupakan sebuah acara sosial yang bersifat perayaan dan rekreasi yang acaranya dilangsungkan lebih besar seperti menggelar acara pernikahan dan khitanan (sunatan) yang ditandai dengan perjamuan makan dan minum serta bersukaria. Hajatan juga dipandang sebagai suatu acara yang ditunggu-tunggu karena untuk menggelar hajatan ini tabungan dan simpanan yang disimpan selama ini harus rela dikorbankan. Jadi untuk menghargai semua itu para tamu undangan yang hadir dan mereka yang terlibat dalam acara ini setidaknya memberikan sumbangan yang pantas dari jamuan dan acara yang diselenggarakan. Berbeda dengan selamatan yang hanya besifat sederhana karena tujuannya juga berbeda, selamatan lebih dimaknai sebagai syukuran yang khitmad untuk memohon doa keselamatan sehingga tidak perlu dilakukan secara besar-besaran seperti menggelar hajatan.

Pertanyaan kedua dapat dijawab bahwa tradisi ini dapat bertahan karena masih ada masyarakat yang mau mempertahankan dan menjalankan tradisi ini walaupun mereka sadar bahwa tradisi ini bukan lagi serupa awalnya. Tradisi ini mengikuti perkembangan masyarakat pembawanya atau pewarisnya sesuai dengan perkembangan zaman walaupun demikian tradisi ini masih dapat dijumpai dalam hajatan masyarakat Jawa di Desa Rawang. Selain karena adanya masyarakat pendukung tradisi ini, resiprositas yang dilakukan oleh mereka yang terlibat juga melatar belakangi tradisi ini tetap bertahan. Masyarakat memiliki kepentingan dan motif tersendiri dalam tradisi seperti ini makanya mereka merasa


(2)

tradisi ini sangat penting dilakukan dalam kehidupan mereka, walaupun disatu sisi juga menjadi beban tersendiri bagi sebagian orang tetapi tetap saja tradisi ini tidak dapat dihilangkan dari kehidupan masyarakat di Desa Rawang ini. Strategi yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan tradisi nyumbang agar tetap eksis sampai saat ini yakni dengan menumbuhkan hubungan-hubungan baik dalam masyarakat seperti; keterbukaan dalam pergaulan, toleransi, solidaritas serta sikap perduli terhadap sesama. Hal yang penting juga adalah adanya timbal balik didalam setiap jenis bantuan yang telah diterimanya, karena sama-sama kita tahu bahwa saat ini kemajuan jaman telah banyak mempengaruhi sendi kehidupan masyarakat tidak terkecuali masyarakat di Desa Rawang. Masyarakat yang lebih mengerti akan nilai uang secara rasional tentu memperhitungkan segala sesuatunya atau dengan kata pentingnya “tidak ada yang gratis zaman sekarang”.

Pertanyaan ketiga juga terjawab bahwa resiprositas yang menjadi gambaran tradisi nyumbang masyarakat Desa Rawang saat ini dalah resiprositas sebanding. Masyarakat yang terlibat dalam tradisi ini menginginkan apa yang diberikannya dibalas sebanding dengan orang yang telah menerimanya, jika resiprositas ini tidak terpenuhi maka akan ada sangsi sosial seperti cibiran atau gunjingan dalam masyarakat. Orang yang melakukan kerjasama ini tidak mau dirugikan satu sama lainnya. Resiprositas yang ada juga mengarah negatif karena orang yang terlibat membantu hajatan bukan lagi atas dasar keikhlasan untuk membantu, tetapi lebih kepada adanya timbal balik dari kerjasama yang mereka sepakati, tenaga dan jasa yang dibantukan mulai di hargai dengan uang serta kadangkala orang yang melakukan hajatan juga lebih mencari keuntungan semata dan merugikan orang lain, artinya mencari keuntungan dengan menggelar hajatan.


(3)

Kerjasama resiprositas yang seimbanglah yang di inginkan oleh mereka yang terlibat dalam tradisi ini, artinya mereka tidak ingin rugi dan tidak ingin merugikan orang lain. Walaupun berbagai motif dan kepentingan masing-masing individu untuk melakukan kerjasama ini namun keseimbangan dalam melakukan kerjasama ini tetap harus dilakukan karena jika tidak maka orang tidak akan percaya lagi untuk melakukan kerjasama yang serupa ini dikemudian hari.

5.2. Saran

Tradisi nyumbang ini memiliki hakekat yang baik sebagai bentuk keperdulian kita terhadap sesama dalam rangka meringankan beban dari orang yang sedang memiliki acara hajatan atau selamatan, bahkan juga dalam kehidupan sehari-hari.

Resiprositas yang ada pada dasarnya juga memiliki nilai positif selama itu tidak merugikan diri kita dan orang lain dan resiprositas ini juga penting dilakukan sebagai bentuk ungkapan terimakasih atau menghargai seseorang yang mau melakukan kerjasama dengan diri kita. Dan dengan adanya resiprositas ini hajatan dan selamatan masih dapat berjalan hingga sekarang.

Gotong royong dalam menyelenggarakan hajatan dan selamatan kiranya sangat baik jika masih dipertahankan, tetapi alangkah lebih baik jika itu tidak dihargai dengan pemberian upah atas dasar tarif dari seseorang itu membantu. Boleh membalas tetapi harus dibalas sesuai dengan apa yang dibantukannya kepada kita, tenaga dengan tenaga, jasa dengan jasa, barang dengan barang dan lainnya tentunya ini juga disesuaikan dengan kondisi seseorang dan perekonomiannya.


(4)

Tradisi ini tetap harus dipertahankan karena biar bagaimanapun dalam hajatan masyarakat Jawa bukan saja tradisi nyumbangnya yang terlihat tetapi disana ada budaya Jawa, adat istiadat Jawa ada di dalamnya, hal ini perlu dilestarikan. Boleh mengikuti perkembangan zaman tetapi nilai-nilai yang positif dan arif jangan sampai dihilangkan.

Bagi keluarga yang tergolong ekonomi rendah alangkah baiknya jika ingin menggelar hajatan dan tidak memiliki biaya lebih baik mengadakannya dengan acara syukuran ataupun jika tidak kerjasmalah dengan anggota keluarga untuk saling bahu membahu.

Sistem arisan dalam masyarakat untuk membatu pemilik hajatan perlu diadakan dan dipertahankan karena ini juga meringankan pemilik hajat. Berlakulah seimbang jika sudah terlibat dalam tradisi ini jangan sampai merugikan orang lain jika diri sendiri juga tidak ingin dirugikan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Belshau.Cyril S, 1981: Tukar Menukar Tradisional Dan Pasar Modern. Jakarta, PT Gramedia.

Bratawijaya, Thomas Wiyasa, 1997: Mengungkap dan Mengenali Budaya Jawa. Jakarta, PT Pradnya Paramita.

Bungin. B, 2003 : Analisis Data Pennelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Bugin. B, 2007: Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group

Ernawati. Susy, 2008: Sistem Resiprositas Pembagian Jambar Juhut Pada Upacara Perkawinan Batak Toba. Skripsi S-1 Antropologi FISIP USU. Tidak diterbitkan

Geertz. Clifford, 1981, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta, Pustaka Jaya.

Geetz. Hildred, 1985: Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers

Hardjowirogo, Marbangun, 1995: Manusia Jawa. Jakarta: PT TOKO GUNUNG AGUNG

Hariyono. P, 1994: Kultur Cina dan Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Hudayana, Bambang. 1989: Gotong royong di Pedesaan Jawa ditinjau dari Konsep resiprositas dan Redistribusi dalam Antropologi Ekonomi. Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Pusat Bahasa,1986 Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Koentjaraningrat,1984: Masyarakat Desa Di Indonesia. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

---,1986 : Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Penerbit PT Gramedia

---, 1998 : Pengantar Antropologi II. Jakarta : RINEKA CIPTA Magnis Suseno.Franz, 1983 : Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia

Marcel Mauss, 1992: The Gift, Form and Functions of Exchange in Archaic Societies, terj. Parsudi Suparlan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Mulder Neils, 1983 : Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan


(6)

Nugroho Heru, 2001 : Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Sairin Sjafri, Pujo Semedi, Bambang Hudayana,2002 : Pengantar Antropologi Ekonomi Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sairin Sjafrin, 2002 : Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia (persfektif antropologi).Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Sedyawati Edi, 2003 : Budaya Jawa dan Masyarakat Modern. Jakarta: BPPT Press

Suratno P, H. Astiyanto, 2009 : Gustiorasaré: 90 mutiara kearifan budaya jawa. Yogyakarta: Adiwacana.

Sutrisno Slamet, 1985: Sorotan Budaya Jawa Dan Yang Lainnya. Yogyakarta: ANDI OFFSET

Sumber lain

(akses, 28/11/2010)

• (akses,

10/04/2011)

• http://id.wikipedia.org/wiki/pesta (akses, 22/04/2011)

Harian

Kompas, Sabtu 13 Desember 2008 (Logika Tradisi Nyumbang)

Artikel Model Penelitian Metode Kualitatif. Dikompilasi oleh Zulkifli Lubis, tahun 2007