Marginalisasi Perempuan dalam Industrialisasi Pedesaan (Studi di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

(1)

DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN (Studi Kasus di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

FEBLI TANZENIA I34080046

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

ABSTRACT

Rural industrialization has opened up opportunities for women in the productive sector, but it also have opened up opportunities for the marginalization of women. Research is done by the purpose of identifying the marginalization experienced by women in rural industrialization, identifying the marginalization that happens on every social layer, and analyzing the relationship between layers of social change with the marginalization of women. Research conducted in Cikarawang and Tarikolot villages, Bogor, West Java. This is done with a quantitative approach, which is use survey method, and that is supported with qualitative data. Despite having been open opportunities in productive sectors, marginalization still experienced by women in rural industrialization. It can be seen from the centralization of women on the outskirts of the market labour, feminizing productive sectors and segregation based on sex, which ultimately led to widening inequalities between household dominant man who works and household dominant women who work. While the removal of the productive sector has not experienced by women in rural industrialization. In addition, if analyzed according to the social layer, known that women from the bottom layer experiencing centralization of women on the outskirts of the market labour and feminizing productive sectors and segregation based on sex. Different thing experienced by women from the middle layer, where they have feminizing productive sectors and segregation based on sex and inequalities between household dominant man who works and household dominant women who work. As women from the top layer only experienced widening economic inequality. Thus there is no relationship between socal layer and removal of the productive sector, also feminizing productive sectors and segregation based on sex. But there is a relationship between social layer and centralization of women on the outskirts of the market labour.

Keyword : marginalization, productive sector, rural industrialization, social layer, women


(3)

RINGKASAN

FEBLI TANZENIA. MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM

INDUSTRIALISASI PEDESAAN Studi Kasus di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Di bawah bimbingan NURAINI W. PRASODJO).

Revolusi Hijau di Indonesia muncul pada tahun 1960-an. Munculnya Revolusi Hijau sebagai suatu cara untuk meningkatkan produksi padi telah meminggirkan perempuan. Penggantian alat panen ani-ani menjadi sabit dan penggunaan mesin dross untuk perontokan padi telah membuat perempuan kehilangan pekerjaannya di sektor pertanian. Oleh karena itu, perempuan yang terpinggirkan tersebut menempuh strategi bertahan hidup dengan cara melakukan perubahan profesi menjadi pedagang, merantau ke luar negeri menjadi TKI, atau bekerja pada industri rumahan (Tahir 2010).

Dengan adanya Revolusi Hijau telah menggeser perekonomian masyarakat di Jawa Barat yang semula dominan hidup dari sektor pertanian, mengalami transisi menuju masyarakat yang hidup dari sektor industri (BPS 1987). Dengan adanya transisi tersebut semakin membuka kesempatan bagi masyarakat desa untuk bekerja di sektor non pertanian yang juga berarti membuka peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor produktif non pertanian. Peluang bagi perempuan ini meningkatkan partisipasi angkatan kerja wanita di sektor non pertanian, sebagai contoh adalah di sektor industri pengolahan (Sajogyo 1983).

Dalam mayarakat Indonesia sering dijumpai adanya struktur pelapisan sosial dalam masyarakat yang didasari kriteria ekonomi. Pelapisan sosial membedakan seseorang berdasarkan status kekayaan yang dimiliki yang dapat dilihat dari dan kepemilikian benda-benda berharga. Pelapisan tersebut dibagi menjadi lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah. Setiap lapisan sosial dalam masyarakat tersebut menunjukkan suatu pola alokasi tenaga kerja dalam rumahtangga yang berbeda, yang pada gilirannya dapat membentuk pola marginalisasi yang berbeda pula. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi marginalisasi yang dialami oleh perempuan dalam industrialisasi pedesaan, mengidentifikasi marginalisasi yang terjadi pada setiap lapisan sosial, dan menganalisis hubungan antara lapisan sosal dengan marginalisasi perempuan.


(4)

Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survei serta didukung dengan data kualititatif. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 60 orang, yakni 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Untuk menentukan responden, digunakan metode acak terstratifikasi (stratified random sampling). Data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui instrumen utama penelitian survei, yaitu kuesioner. Data kualitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui wawancara mendalam. Data yang telah diperoleh diolah dengan Microsoft Excel2007. Data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perempuan dalam industrialisasi pedesaan tidak mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif (tidak mengalami marginalisasi tipe 1) karena banyaknya peluang kerja dan peluang usaha yang terdapat pada kedua desa penelitian. Akan tetapi, perempuan yang memasuki sektor produktif ini mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja (mengalami marginalisasi tipe 2), dimana status pekerjaan yang dimilikinya masih rendah, yaitu sebagai buruh tani, buruh pengupas ubi, buruh bengkel, maupun buruh pabrik. Tunjangan yang diperoleh oleh responden perempuan yang berstatus buruh pabrik tergolong rendah, karena statusnya sebagai karyawan kontrak. Curahan waktu kerja yang tinggi juga dialami perempuan dalam industri pedesaan dengan pendapatan yang rendah. Selain itu, feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin serta pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan juga terjadi dalam industrialisasi pedesaan (mengalami marginalisasi tipe 3 dan 4).

Hasil penelitian yang melihat perempuan berdasarkan lapisan sosialnya menunjukkan bahwa perempuan lapisan bawah mengalami marginalisasi tipe 2 dan 3. Selain itu, perempuan lapisan menengah dan atas mengalami marginalisasi tipe 3 dan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan (marginalisasi tipe 4). Adapun marginalisasi tipe 1 tidak dialami oleh perempuan dari seluruh lapisan sosial.


(5)

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN (Studi Kasus di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Oleh

FEBLI TANZENIA I34080046

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(6)

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama : Febli Tanzenia

NRP : I34080046

Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul : Marginalisasi Perempuan dalam Industrialisasi Pedesaan (Studi di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Nuraini W. Prsodjo, MS NIP. 19630531 199103 2002

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1003


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN”

BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU

LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR

AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG

BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM

NASKAH.

Bogor, Januari 2012

Febli Tanzenia NRP. I3408046


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak kedua dari tiga orang bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Djoni Lijana dan Ibu Suningsih. Penulis dilahirkan di Karawang pada Tanggal 18 Februari 1990. Penulis menamatkan Pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Nuri Cikarang pada Tahun 1994-1996, SD Negeri Karang Baru 02 pada Tahun 1996-2002, SMP Negeri 1 Cikarang Utara pada Tahun 2002-2005, dan SMA Negeri 1 Cikarang Utara pada Tahun 2005-2008.

Pada Tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswi di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Kegiatan penulis selama di IPB adalah menjadi anggota kegiatan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) Divisi Advertising and Multimedia (2009-2010). Selain itu penulis juga pernah mengikuti kegiatan kepanitiaan Ecology Sport Event (E’spent) 2010 pada divisi Hubungan Masyarakat (Humas). Di samping aktif dalam organisasi kemahasiswaan, penulis juga menjadi mahasiswa peserta program akselerasi yang dilaksanakan oleh Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB sehingga berhasil menyelesaikan gelar sarjana dalam waktu 3,5 tahun.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat dan anugerah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Hasil penelitian yang berjudul “Marginalisasi Perempuan dalam Industrialisasi Pedesaan” ini membahas peminggiran perempuan pada sektor -sektor tertentu dalam dunia kerja.

Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan. 2) Mengidentifikasi hubungan antara lapisan sosial ekonomi dengan marginalisasi dalam industrialisasi pedesaan, dan 3) Menganalisis hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan. Penulis menyadari bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga penulis sangat berharap mendapat kritik dan saran yang membangun. Akhir kata semoga skripsi ini menjadi tulisan ilmiah yang bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Januari 2012

Febli Tanzenia I340800046


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, motivasi, serta bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya membimbing, memotivasi, serta memberikan arahan, masukan, dukungan, dan saran yang membangun selama penulisan skripsi. 2. Dra. Winati Wigna, MDS selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan dukungan, motivasi, dan inspirasi kepada penulis.

3. Mama, Papa, dan Kakak-Adikku yang telah memberikan sekaligus menjadi motivasi yang begitu besar bagi penulis melalui doa dan kasih sayangnya serta melalui dukungan baik secara moril maupun materil.

4. Teman-teman Program Akselerasi KPM 45 (Yessy Marga S, Shella R, Putri Ekasari, Nurdini Prihastiti, Syarifah Lubis, Selvi R, Mareta Tede, Rizki Mila Amalia, Debby Luciani Pratiwi, Didit Darmawan, Ari Wahyu, dan Agus Sandra) yang telah saling mengingatkan dan berbagi informasi dalam penyusunan skripsi ini.

5. Teman-teman KPM 45 Rizki Amalia, Drajat Jatnika, Firda Zahra Alfia, Sarah Rohyana, Widita Arindi, Testa Pradia, M. Galih, Novondra Hidayat, Farhan, M. Agung, Ahmad Fauzi, Jabbar S, Syakir, Nadia, Randy, Fitria R, Chaesfa, Wulan Nurdianti, Asy Syifa, Reza L, Hayya, Morina, Muriani, Wulan P, Pulung, Pradiana, dan sahabat-sahabat lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah memberi keceriaan, serta memberikan motivasi yang begitu besar.

Bogor, Januari 2012


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 5

2.1 Tinjauan Pustaka ... 5

2.1.1Konsep Genderdan Penelitian yang Berorientasi Gender... 5

2.1.2Marginalisasi... 6

2.1.3Konsep Kerja, Produktif, dan Reproduktif... 7

2.1.4 Struktur Pelapisan Sosial... 8

2.1.5Industrialisasi Pedesaan... 9

2.2 Kerangka Pemikiran ... 11

2.3Hipotesis Penelitian ... 16

2.4Definisi Operasional ... 16

BAB III PENDEKATAN LAPANG ... 21

3.1 Metode Penelitian ... 21

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 21

3.3 Teknik Pengambilan Sampel... 22

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 25

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 25

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA ... 27


(12)

4.1.1 Kondisi DemografisDesa Cikarawang dan Desa

Tarikolot ... 27

4.1.2Kondisi SosialDesa Cikarawang dan Desa Tarikolot ... 28

4.1.3Kondisi Ekonomi Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot ... 29

4.1.4 Karakteristik Responden ... 31

BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN... 34

5.1 Penyingkiran dari Pekerjaan Produktif (Marginalisasi Tipe 1) 35 5.2 Pemusatan pada Pinggiran Pasar Tenaga Kerja ... 36

5.2.1 Status Pekerjaan... 38

5.2.2 Tunjangan... 39

5.2.3 Curahan Waktu... 39

5.2.4 Pendapatan Total Individu dalam Sebulan... 40

5.3 Feminisasi Sektor Produktif dan Segregasi Berdasarkan Jenis Kelamin... 42

5.4 Pelebaran Ketimpangan Ekonomi antara Laki-laki dan Perempuan... 43

5.5 Ikhtisar ... 45

BAB VI LAPISAN SOSIAL DAN MARGINALISASI PEREMPUAN.47 6.1 Penyingkiran dari Pekerjaan Produktif... 47

6.2 Pemusatan pada Pinggiran Pasar Tenaga Kerja... 49

6.2.1 Status Pekerjaan... . 52

6.2.2 Curahan Waktu Kerja... 53

6.2.3 Tunjangan... 55

6.2.4 Pendapatan Individu... 57

6.3 Feminisasi Sektor Produktif dan Segregasi Berdasarkan Jenis Kelamin... 58

6.4 Pelebaran Ketimpangan Ekonomi ... 60

6.5 Ikhtisar ... 63

BAB VII PENUTUP... 66

7.1 Kesimpulan ... 66

7.2 Saran ... 66


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011–2012………... 22 Tabel 2. Jumlah Penduduk Usia Produktif di RW 03 Desa Cikarawang

dan RW 07 Desa Tarikolot menurut Jenis Kelamin, 2011... 23 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Golongan Umur dan Tipe

Desa, 2011... 27 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Jenis Pekerjaan dan Tipe

Desa, 201... 30 Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin,

Tingkat Pendidikan, dan Tipe Desa, 2011... 32 Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin dan Lapisan

Sosial di Desa Cikarawang, 2011... 33 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin dan

Lapisan Sosial di Desa Tarikolot, 2011... 33 Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Status

Bekerja dan Tipe Desa, 2011... 35 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden yang Mengalami Marginalisasi

Tipe 2 menurut Jenis Kelamin dan Tipe Desa, 2011... 37 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden menurut Status Pekerjaan,

Jenis Kelamin, dan Tipe Desa, 2011... 38 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin,

Tunjangan, dan Tipe Desa 2011... 39 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin,

Curahan Waktu Kerja, dan Tipe Desa, 2011... 40 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin,

Pendapatan Individu, dan Tipe Desa, 2011... 41 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden menurut Lapisan Sosial,

Jenis Kelamin, dan Tipe Desa, 2011... 42 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin,

Jenis Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011... 43 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Rumahtangga,


(14)

Tabel 17. Ratio Responden yang Memiliki Pendapatan Tinggi menurut

Jenis Rumahtangga dan Tipe Desa, 2011... 44 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki dan Perempuan yang

Mengalami Marginalisasi Tipe 1 menurut Lapisan Sosial

dan Tipe Desa, 2011 ... 48 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan

Sosial, Marginalisasi Tipe 1 dan Tipe Desa, 2011... 49 Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki dan Perempuan yang

Mengalami Marginalisasi Tipe 2 menurut Lapisan Sosial dan Tipe

Desa, 2011………... 50 Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan yang Mengalami

Marginalisasi Tipe 2 menurut Lapisan Sosial, dan Tipe Desa, 2011... 51 Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan

Sosial, Status Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011... 52 Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan

Sosial, Status Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011... 53 Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan

Sosial, Curahan Waktu Kerja, dan Tipe Desa, 2011... 54 Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan

Sosial, Curahan Waktu Kerja, dan Tipe Desa, 2011... 55 Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan

Sosial, Tunjangan, dan Tipe Desa, 2011... 56 Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan

Sosial, Tunjangan, dan Tipe Desa, 2011... 56 Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan

Sosial, Pendapatan Individu dalam Sebulan, dan

Tipe Desa, 2011………... 57 Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan

Sosial, Pendapatan Individu dalam Sebulan, dan

Tipe Desa, 2011………... 58 Tabel 30. Persentase Responden menurut Jenis Pekerjaan, Lapisan Sosial


(15)

Tabel 31. Persentase Responden menurut Jenisa Pekerjaan, Lapisan Sosial

dan Jenis Kelamin di Desa Industri, 2011... 59 Tabel 32. Jumlah dan Persentase Responden yang Mengalami Marginalisasi

Tipe 3 menurut Lapisan Sosial, Jenis Kelamin, dan

Tipe Desa, 2011………..…... 60 Tabel 33. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Rumahtangga

dan Lapisan Sosial di Desa Pertanian, 2011………....……... 61 Tabel 34. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Rumahtangga

dan Lapisan Sosial di Desa Industri, 2011…………...………... 61 Tabel 35. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Laki-laki dan Perempuan

yang Memiliki Pendapatan Rumahtangga yang Rendah

menurut Lapisan Sosial dan Tipe Desa, 2011………...….... 62 Tabel 36. Ratio Rumahtangga Responden yang Memiliki Pendapatan


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran……… 15

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner……….. 69

Lampiran 2. Pedoman Wawancara Mendalam………. 76

Lampiran 3. Dokumentas Penelitian……… 77

Lampiran 4. Sketsa Lokasi Penelitian………... 80


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada September 2000, Indonesia turut menandatangani Deklarasi Milenium yang berisi komitmen untuk mencapai delapan tujuan pembangunan dalam milenium ini, atau yang disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs). MDGs adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksakan kedelapan tujuan pembangunan. Salah satu dari tujuan MDGs adalah mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan (Galus 2010).

Adanya komitmen MDGs membuka peluang bagi perempuan untuk menyetarakan posisinya terhadap laki-laki, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan bagi perempuan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang juga turut meningkatkan peluang dalam memasuki sektor produktif seperti halnya laki-laki. Selain itu menurut Tambunan (1990), pembangunan Indonesia juga ditandai dengan munculnya industrialisasi pedesaan yang turut menyumbang bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa dan membuka lapangan kerja. Industrialisasi pedesaan merupakan usaha transformasi masyarakat pertanian pedesaan ke arah masyarakat yang bersifat industrial (Tambunan 1990).

Salah satu bentuk industrialisasi adalah Revolusi Hijau. Revolusi Hijau di Indonesia muncul pada tahun 1960-an. Munculnya Revolusi Hijau sebagai suatu cara

untuk meningkatkan produksi padi telah meminggirkan perempuan. Peminggiran

tersebut disebabkan oleh penggantian alat panen ani-ani menjadi sabit dan penggunaan mesin dross untuk perontokan padi telah membuat perempuan kehilangan pekerjaannya di sektor pertanian. Oleh karena itu, perempuan yang terpinggirkan tersebut menempuh strategi bertahan hidup dengan cara melakukan perubahan profesi menjadi pedagang, merantau ke luar negeri menjadi TKI, atau bekerja pada industri rumahan (Tahir 2010).

Dengan adanya Revolusi Hijau telah menggeser perekonomian masyarakat di Jawa Barat yang semula dominan hidup dari sektor pertanian, mengalami transisi menuju masyarakat yang hidup dari sektor industri (BPS 1987). Transisi tersebut


(18)

semakin membuka kesempatan bagi masyarakat desa untuk bekerja di sektor non pertanian yang juga berarti membuka peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor produktif non pertanian. Peluang bagi perempuan ini meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan di sektor non pertanian, sebagai contoh adalah di sektor industri pengolahan. Sajogyo (1983) menyebutkan adanya faktor yang menyebabkan peningkatan partisipasi perempuan di sektor industri pengolahan, yaitu faktor

stereotype. Stereotype tersebut menganggap perempuan tekun dan teliti. Pada sektor

industri (seperti industri rokok, tekstil, konfeksi, dan industri makanan serta minuman) sebagian menuntut ketelitian dan ketekunan yang sesuai dengan sifat perempuan. Selain itu, terdapat stereotype yang menganggap perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, sehingga dapat dibayar murah dan mendorong pilihan pengusaha pada tenaga kerja perempuan.

Berdasarkan Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan menyebutkan empat hal pokok yang ingin dicapai: 1) laki-laki dan perempuan memperoleh akses yang sama kepada sumber daya pembangunan, (2) laki-laki dan perempuan berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, (3) laki-laki-laki-laki dan perempuan memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan, dan (4) laki-laki dan perempuan memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan. Dengan kata lain, tercipta suatu kondisi kesetaraan gender. Akan tetapi hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 2009, menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki (85.93 persen) yang lebih tinggi daripada TPAK perempuan (50.68 persen). Hal ini menunjukkan masih adanya pembatasan akses perempuan pada sektor produktif.

Di sektor produktif, perempuan desa mengalami marginalisasi, dimana sebagian besar buruh pabrik adalah perempuan, khususnya yang berpendidikan rendah, sementara hampir tidak ada perempuan yang bekerja sebagai mandor. Di samping itu, upah yang diberikan untuk tingkat pekerjaan yang sama antara perempuan dan laki-laki diberikan secara berbeda, dimana laki-laki memperoleh upah yang lebih tinggi daripada perempuan dengan anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, padahal kondisi ekonomi rumah tangga di Indonesia, khususnya sejak dilanda krisis pada tahun 1997 lalu, memaksa perempuan tidak sekedar sebagai pencari nafkah tambahan, tetapi bahkan menjadi tulang punggung keluarga (Kusdiansyah 2008). Dari data yang diperoleh Organisasi Pekerja Dunia (ILO) Tahun 2002 memperlihatkan pekerja


(19)

perempuan di kebanyakan negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) mendapatkan bayaran yang lebih rendah dari laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama (de Vries 2006).

Kusdiansyah (2008) menyatakan bahwa terdapat pembagian kerja menurut gender yang juga berperan dalam marginalisasi perempuan. Kerja-kerja yang dianggap bersifat perempuan seperti mengetik (sekretaris), menjahit, pembantu rumahtangga dan sebagainya dianggap lebih rendah derajatnya daripada pekerjaan laki-laki. Selain itu, perempuan yang bekerja tersebut mendapat perlakuan serta imbalan yang berbeda, sedangkan pekerjaan seperti mandor, manajer, direktur dan sebagainya dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, sehingga perempuan tidak memiliki akses untuk menempati posisi-posisi pekerjaan tersebut.

Selain adanya pembedaan yang dilakukan terhadap laki-laki dan perempuan, pembedaan sosial pun seringkali dialami oleh lapisan masyarakat tertentu. Lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal dan dasar dari pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab sosial dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Selanjutnya Soekanto menyebutkan dasar pelapisan tersebut adalah ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, serta ilmu pengetahuan. Perempuan kaya memiliki modal untuk diinvestasikan dalam kios yang baik di pasar tetapi mereka lebih memilih mempunyai sebuah warung yang terletak di rumahnya sendiri daripada berjualan di tempat umum seperti pasar (Nieuwhof 1988 dalam Grijns dkk 1992).

Dengan adanya fakta-fakta yang telah dijelaskan di atas, perlu dikaji apakah selalu terjadi marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan dan bagaimana terjadinya marginalisasi perempuan pada setiap lapisan sosial.

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji marjinalisasi perempuan sebagai dampak dari industrialisasi pedesaan. Secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian pada permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah terjadinya marginalisasi perempuan dalam industrialisasi


(20)

2. Bagaimanakah marginalisasi terjadi pada setiap lapisan sosial yang ada dalam masyarakat?

3. Bagaimanakah hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan

dalam industrialisasi pedesaan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan 2. Mengidentifikasi marginalisasi yang terjadi pada setiap lapisan sosial 3. Mangidentifikasi hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari dilaksanakannya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai marginalisasi perempuan sebagai dampak dari industrialisasi pedesaan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya:

a. Kegunaan Penelitian bagi Penulis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan mengenai kesesuaian kondisi lapangan dengan teori yang ada serta didapatkan pemahaman dan pengetahuan baru terkait marginalisasi dalam industrialisasi pedesaan.

b. Kegunaan Penelitian bagi Masyarakat Awam

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai industrialisasi pedesaan dan marginalisasi perempuan

c. Kegunaan Penelitian bagi Civitas Akademika

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pikiran serta dapat dijadikan referensi dalam melakukan penelitian maupun kegiatan akademis lain yang berkaitan dengan penelitian ini.


(21)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Gender dan Penelitian yang Berorientasi Gender

Grijns dkk (1994) mengatakan bahwa gender didefinisikan sebagai perbedaan sosial atas dasar jenis kelamin, berbeda dengan istilah seks yang merupakan perbedaan secara biologis. Fakih (1996) mengungkapkan bahwa konsep gender menunjuk pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, seperti perempuan dianggap lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Seks adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan alat dan fungsi biologis yang tidak dapat dipertukarkan, seperti laki-laki tidak dapat menstruasi dan tidak dapat hamil, sedangkan perempuan tidak bersuara berat dan tidak berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda. Sifat ini selanjutnya akan menentukan perbedaan status, peran, dan tata hubungan antar jenis kelamin yang berbeda dan mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konsep gender adalah pembedaan peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat.

Saptari dan Holzner (1997) mengkategorikan beberapa penelitian yang termasuk kajian gender. Penelitian yang mengikutsertakan perempuan sebagai informan dan hubungan gender dianalisis secara implisit, maka penelitian tersebut tergolong kategori penelitian sadar-gender (gender-aware research). Apabila dalam sebuah penelitian telah memasukkan pengalaman perempuan secara eksplisit dan hubungan gender sebagai isu pokok, maka penelitian tersebut tergolong kategori fokus gender (gender focused

research). Adapun penelitian yang menggunakan pengalaman perempuan secara

implisit maupun eksplisit dengan hubungan gender sebagai isu pokok, maka penelitian semacam itu tergolong kategori penelitian berorientasi gender (gender-oriented

research). Dengan mengacu pada ketiga kategori penelitian yang dijelaskan oleh Saptari

dan Holzner (1997) tersebut, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian berorientasi gender (gender-oriented research).


(22)

2.1.2 Marginalisasi

Marginalisasi merupakan suatu konsep untuk memahami hubungan antara industrialisasi dengan pekerjaan. Secara luas, marginalisasi berarti pemutusan akses suatu kelompok manusia ke sumber-sumber vital (tanah dan air, modal, pekerjaan, pendidikan, hak-hak politik, dll) oleh kelompok lain yang lebih kuat posisinya. Marginalisasi tidak hanya persoalan kehilangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi, tetapi juga kehilangan status, penghargaan diri dan kepercayaan diri. Marginalisasi tidak hanya dialami oleh perempuan, tetapi juga suku bangsa dan golongan penduduk dalam periferi ekonomi pasar global (Grijns 1992).

Scott (1986) dalam Grijns dkk (1992) menjelaskan bahwa marginalisasi bersifat relatif dan juga bersifat selektif. Bersifat relatif berarti perubahan kedudukan perempuan selalu dibandingkan dengan kedudukan laki-laki, sedangkan selektif berarti perempuan mengalami marginalisasi dengan cara dan tingkat yang berbeda. Empat dimensi utama dari marginalisasi perempuan menurut Scott (1986: 653) dalam Grijns dkk (1992) adalah :

1. Marginalisasi sebagai penyingkiran dari pekerjaan produktif, dimana perempuan mengambil bagian pada pekerjaan produktif dalam kapasitas yang berbeda dengan laki-laki.

2. Marginalisasi sebagai pemusatan perempuan kepada pinggiran-pinggiran pasar tenaga kerja, dimana perempuan ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan berstatus rendah yang berupah rendah serta pemusatan mereka pada skala kecil. 3. Marginalisasi sebagai feminisasi sektor-sektor produktif atau sebagai pemisahan

kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin.

4. Marginalisasi sebagai pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan, dimana terdapat perbedaan upah dan bayaran, serta ketidaksamaan akses kepada keuntungan-keuntungan dan fasilitas-fasilitas.

Wahyuni (1992) dalam Grijns dkk (1992) melakukan penelitian mengenai marginalisasi perempuan di Jawa Barat, dimana hasil penelitian menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Jawa Barat antara tahun 1961 dan 1985 telah mengalami peningkatan, yaitu 23 persen pada tahun 1961, 30 persen pada tahun 1971, dan 31 persen pada tahun 1985. Hasil penelitian tersebut menunjukkan


(23)

bahwa marginalisasi perempuan tipe 1 yang berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif mengalami penurunan.

Angkatan kerja yang telah memasuki sektor produktif mengalami pembedaan dalam hal status pekerjaan. Umur, status kawin, dan pendidikan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi angkatan kerja menurut status pekerjaan. Dalam status tidak kawin, distribusi pekerja laki-laki dan perempuan relatif tinggi pada status pekerja keluarga dan rendah pada status pengusaha. Akan tetapi, pada status kawin, jumlah laki-laki sebagai pekerja keluarga sangat turun, sedangkan perempuan tetap tinggi karena laki-laki harus masuk dalam angkatan kerja dan menjadi pencari nafkah utama, sedangkan perempuan harus mengurus rumahtangga dan keluar dari angkatan kerja (Wahyuni 1992 dalam Grijns dkk 1992).

Perempuan di Jawa Barat juga mengalami feminisasi dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Wahyuni (1992) dalam Grijns dkk (1992) menunjukkan bahwa sub sektor pekerjaan di sektor industri yang banyak dikerjakan oleh perempuan di pedesaan Jawa Barat adalah industri makanan, industri tekstil, dan industri kayu, rotan, bambu, dan gabus. Pada ketiga sub sektor tersebut persentase laki-laki lebih kecil dari perempuan. Sebaliknya, pada industri mineral, logam dasar, dan pembuatan barang-barang dari logam persentase laki-laki lebih banyak dari perempuan. Hal tersebut dikarenakan industri makanan, tekstil, kayu, rotan, bambu, dan gabus membutuhkan tenaga kerja yang memiliki ketelitian dan ketekunan yang tinggi, seperti yang dimiliki oleh perempuan. Sementara industri mineral, logam dasar, dan pembuatan barang-barang dari logam membutuhkan tenaga yang besar, sehingga dianggap sebagai pekerjaan yang pantas untuk laki-laki dan tidak pantas untuk perempuan.

2.1.3 Konsep Kerja, Produktif, dan Reproduktif

Konsep kerja menurut Sajogyo (1983) merupakan konsep yang mengacu pada kegiatan yang membutuhkan energi, kegiatan yang memberikan sumbangan terhadap produksi barang dan jasa, kegiatan yang mencerminkan interaksi sosial, kegiatan yang memberikan status sosial pada si pekerja, dan kegiatan yang memberikan hasil langsung berupa uang, natura, maupun dalam bentuk curahan waktu. Ada dua jenis kegiatan yang berhubungan dengan konsep kerja, yaitu kegiatan reproduktif dan kegiatan produktif.


(24)

Kegiatan produktif merupakan kegiatan yang menghasilkan uang, sedangkan kegiatan reproduktif merupakan kegiatan yang tidak menghasilkan uang. Kegiatan produktif menurut Hubeis (2010) merupakan pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, contohnya berdagang, bertani, karyawan industri, dan sebagainya, sementara kegiatan reproduktif dijelaskan oleh Hubeis (2010) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan sumberdaya insani (SDI) dan kerumahtanggaan, seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, serta mengasuh dan mendidik anak. Kegiatan ini sangat penting dalam melestarikan kehidupan keluarga, akan tetapi pekerjaan ini jarang dipertimbangkan sebagai pekerjaan yang konkret.

Pekerjaan reproduktif oleh Edholm (1977) dalam Beneria (1979) dibagi menjadi tiga aspek, yaitu reproduksi sosial, reproduksi biologis, dan reproduksi tenaga kerja.

Reproduksi sosial menunjuk pada pereproduksian keadaan-keadaan yang

mempertahankan suatu sistem sosial, sementara itu reproduksi biologis atau pengembangbiakan yang pada intinya adalah pelahiran dan perkembangan fisik umat manusia. Adapun reproduksi tenaga kerja yang tidak hanya melulu perawatan sehari-hari pekerja dan calon tenaga kerja, tapi juga alokasi pelaku-pelaku ke dalam berbagai posisi di dalam proses pekerjaan.

Terdapat ketumpangtindihan dalam kerja produktif dan reproduktif. Seseorang yang melakukan pekerjaan rumah, seperti memasak, dapat sekaligus melakukannya untuk dikonsumsi oleh dirinya sendiri dan keluarganya maupun untuk dijual dan menghasilkan uang. Seseorang yang melakukan pekerjaan di rumah belum tentu melakukannya untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya sendiri, demikian pula orang yang bekerja di luar rumah belum tentu bekerja untuk menghasilkan uang. Sulit untuk memisahkan pekerjaan atas dasar tujuan karena seseorang dapat memasak untuk dijajakan sekaligus untuk dikonsumsi keluarganya (Saptari dan Holzner 1997).

2.1.4 Struktur Pelapisan Sosial

Sorokin (1959) dalam Prasodjo dan Pandjaitan (2003) menjelaskan pelapisan atau stratifikasi sosial sebagai suatu pembedaan masyarakat dalam bentuk kelas-kelas yang bertingkat karena ketidakseimbangan/ketidaksamaan pembagian hak, kewajiban, tanggung jawab, nilai-nilai sosial dan pengaruhnya dalam masyarakat. Menurut Davis


(25)

dan Moore (1945) dalam Prasodjo dan Pandjaitan (2003), pada umumnya manusia menghendaki adanya suatu pembedaan peranan dan kedudukan dalam masyarakat sebagai konsekuensi adanya pembagian kerja, sehingga setiap individu berusaha menempatkan dirinya pada posisi atau kedudukan tertentu dalam struktur sosial, yang mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat dari penempatan tersebut.

Lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal dan dasar dari pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab sosial dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Selanjutnya Soekanto menyebutkan dasar pelapisan tersebut adalah ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, serta ilmu pengetahuan.

Sajogyo (1983) menunjukkan bahwa perempuan dari rumahtangga kaya bukan saja mempunyai akses lebih mudah kepada pekerjaan yang lebih menguntungkan, tetapi juga tidak perlu bekerja berjam-jam seperti perempuan miskin. Perempuan kaya mungkin memiliki modal untuk diinvestasikan dalam kios yang baik di pasar, tetapi mereka seringkali tidak melakukannya karena dianggap lebih pantas bagi mereka untuk mempunyai sebuah warung yang terletak di rumah mereka sendiri daripada duduk di sebuah tempat terbuka seperti pasar (Nieuwhof 1988 dalam Grijns dkk 1992).

2.1.5 Industrialisasi Pedesaan

Industrialisasi adalah suatu proses interkasi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi. Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi (Agustin dan Perdani 2011).Salah satu bentuk industrialisasi yaitu industrialisasi pedesaan.

Menurut Tambunan (1990) industrialisasi pedesaan dalam konteks ekonomi Indonesia dilihat dalam pengertian yang luas, yakni sebagai usaha transformasi masyarakat pertanian pedesaan ke arah masyarakat yang bersifat industrial. Industrialisasi pedesaan berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi yang dapat diukur dari segi pendapatan dan lapangan kerja baru. Selanjutnya, Tambunan (1990) menyebutkan fungsi industrialisasi pedesaan secara luas, yaitu:


(26)

1. Mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan 2. Meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu

daerah

3. Meningkaatkan kesempatan kerja baru

4. Mendekatkan hubungan fungsional antara pertanian dengan sektor industri 5. Meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan industri

6. Mengurangi kemiskinan

Suatu perbedaan yang dapat dilihat antara industrialisasi pedesaan dengan industrialisasi perkotaan adalah karakteristik industrialisasi pedesaan yang bersifat padat karya, berbeda dengan industrialisasi perkotaan yang padat modal. Selain itu, industrialisasi pedesaan menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan pasar (Prasetyo 2007).

Saptari dan Holzner (1997) menyebutkan tiga pendekatan yang mempengaruhi industrialisasi pedesaan, yaitu pendekatan sistem, model-model pengambilan keputusan, dan materialisme historis. Pendekatan yang pertama, yaitu pendekatan sistem, merupakan pendekatan yang memperhatikan faktor lingkungan, teknologi, dan demografi dalam sistem agraris. Boserup (1970) dalam Saptari dan Holzner (1997) menggunakan pendekatan ini untuk mengidentifikasi adanya sistem pertanian perempuan dan sistem pertanian laki-laki. Di Afrika, pertanian subsisten dengan teknologi yang sederhana menjadi bagian dari kerja perempuan, sehingga para petani perempuan menanggung beban kerja yang berat. Selain itu, di Asia terdapat sistem pertanian laki-laki, dimana pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan bajak, yang bersesuaian dengan pertanian permanen, dimana partisipasi perempuan relatif rendah. Pendekatan kedua yaitu model-model pengambilan keputusan. Perempuan di Jawa seringkali terlibat dalam keputusan-keputusan manajemen berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja upahan atau keputusan untuk berinvestasi, berlawanan dengan ideologi yang berlaku, perempuan tidak begitu mengendalikan keputusan mengenai persoalan domestik. Pendekatan yang terakhir yaitu materialisme historis yang berfokus pada hubungan antara manusia dengan lingkungannya dan antara manusia dengan proses produksi. Pendekatan ini mempelajari perubahan-perubahan pada struktur agraris sebagai konsekuensi perubahan-perubahan dalam pengendalian atas sumber-sumber daya produksi yang terdiri dari tanah, modal, dan tenaga kerja.


(27)

Adanya sejumlah perubahan yang disebabkan oleh industrialisasi pedesaan, membawa perubahan pula pada pekerjaan-perkerjaan perempuan. Kelas sosial merupakan salah satu penentu penting dari adanya perubahan tersebut. Perempuan miskin yang bekerja sebagai buruh tani kehilangan pekerjaannya karena adanya mekanisasi yang dibawa oleh Revolusi Hijau. Sebaliknya, bagi perempuan kelas menengah yang menanami tanahnya sendiri cukup diuntungkan, mekanisasi yang dibawa oleh Revolusi Hijau telah membebaskan mereka dari pekerjaan pertanian. Perempuan dari rumahtangga kaya jarang melakukan pekerjaan-pekerjaan pertanian karena lebih memusatkan diri pada pekerjaan rumahtangga (Saptari dan Holzner 1997).

2.2 Kerangka Pemikiran

Industrialisasi pedesaan yang terjadi di Indonesia membawa sejumlah perubahan dalam masyarakat. Perubahan tersebut terutama dirasakan oleh perempuan. Munculnya industrialisasi pedesaan telah mempersempit peluang bagi perempuan dalam sektor pertanian karena adanya mekanisasi sistem pertanian (Saptari dan Holzner 1997). Akan tetapi, sempitnya peluang di sektor pertanian tersebut mendesak perempuan untuk memasuki sektor non pertanian yang membutuhkan tenaga kerja perempuan, misalnya dalam sektor industri makanan, industri tekstil, dan industri kayu, rotan, bambu, dan gabus, serta perdagangan makanan dan minuman. Peluang pada sektor non pertanian tersebut telah meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan antara tahun 1961 dan 1985 (Wahyuni 1992 dalam Grijns dkk 1992). Munculnya peluang kerja dan peluang usaha yang disebabkan oleh industrialisasi pedesaan turut mempengaruhi pola alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga. Perempuan tidak hanya mengerjakan pekerjaan reproduktif (mengurus anak dan mengurus rumahtangga), tetapi juga perempuan memiliki kesempatan yang besar untuk masuk ke dalam sektor produktif (menghasilkan uang). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penyingkiran perempuan dalam sektor produktif tidak terjadi dalam industrialisasi pedesaan.

Masuknya perempuan dalam sektor produktif tidak terlepas dari pembedaan-pembedaan terhadap laki-laki. Perempuan yang bekerja dalam sektor produktif seringkali dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga ditempatkan sebagai buruh dengan curahan waktu yang tinggi, namun imbalannya rendah (Wahyuni 1992

dalam Grijns dkk 1992). Dengan demikian, perempuan yang memasuki sektor produktif


(28)

Selain itu, perempuan yang bekerja produktif seringkali bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang dianggap pantas dilakukan oleh perempuan, sesuai dengan stereotype

yang ada dalam masyarakat. Perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan ketelitian yang tinggi tetapi tidak membutuhkan tenaga yang besar, pengetahuan yang tinggi, dan pendidikan yang tinggi. Perempuan yang dibedakan berdasarkan jenis pekerjaannya karena adanya stereotiype tersebut menyebabkan perempuan mengalami feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Dalam industrialisasi pedesaan, dimana teknologi pertanian telah mengalami mekanisasi, penumbukan padi dengan tangan yang biasanya dilakukan oleh perempuan, digantikan oleh penggilingan dengan menggunakan mesin, sehingga jutaan perempuan Jawa kehilangan pekerjaannya (Saptari dan Holzner 1997).

Sebelum terjadinya industrialisasi pedesaan, perempuan memiliki akses yang terbatas untuk memasuki sektor produktif, yang dapat terlihat dari rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang rendah pada tahun 1961 (Wahyuni 1992

dalam Grijns dkk 1992). Rendahnya partisipasi perempuan dalam sektor produktif

tersebut telah membuat ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. Rumahtangga laki-laki merupakan rumahtangga yang dominan laki-laki yang bekerja, sedangkan rumahtangga perempuan adalah rumahtangga yang dominan perempuan yang bekerja. Akan tetapi, setelah munculnya industrialisasi pedesaan, dimana perempuan memiliki peluang yang lebih besar untuk masuk ke sektor produktif, perempuan tetap mengalami pembedaan berupa pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja dan feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Pembedaan tersebut pada akhirnya tidak menghilangkan ketimpangan ekonomi yang dialami oleh rumahtangga laki-laki dan perempuan, justru menimbulkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan.

Dalam mayarakat Indonesia sering dijumpai adanya struktur pelapisan sosial dalam masyarakat. Pelapisan tersebut didasari dalam konteks ekonomi. Pelapisan sosial membedakan seseorang berdasarkan status kekayaan yang dimiliki yang dapat dilihat dari kepemilikian benda-benda berharga. Pelapisan tersebut dibagi menjadi lapisan atas yang memiliki status kekayaan tinggi karena kepemilikan benda berharganya tinggi, lapisan menengah yang memiliki status kekayaan yang biasa saja karena kepemilikan benda berharganya yang lebih rendah dari lapisan atas tetapi lebih tinggi dari lapisan


(29)

bawah, sementara lapisan bawah memiliki status kekayaan yang rendah karena rendahnya kepemilikan benda berharga yang dimiliki.

Adanya struktur pelapisan dalam masyarakat tersebut memunculkan suatu pola alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga. Fakih (1996) menjelaskan hal tersebut menurut perspektif Feminisme Marxis, dimana menurut perspektif ini penindasan perempuan merupakan bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural, sehingga diperlukan penyelesaian yang bersifat struktural yaitu dengan melakukan perubahan struktur kelas. Perspektif ini meyakini bahwa emansipasi perempuan hanya terjadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti melakukan kegiatan reproduksi, dimana proses ini hanya dapat terjadi melalui industrialisasi.

Berdasarkan perspektif tersebut diketahui adanya pembagian kerja menurut lapisan. Perempuan lapisan atas tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah karena segala kebutuhannya mampu dicukupi oleh kepala keluarganya, sehingga perempuan pada umumnya bekerja pada kegiatan reproduktif. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa perempuan lapisan atas mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif. Dengan adanya penyingkiran dari pekerjaan produktif tersebut menjadikan perempuan lapisan atas tergantung pada laki-laki (kepala keluarga) dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga pengambilan keputusan dalam rumahtangga dilakukan oleh laki-laki. Penyingkiran dari pekerjaan produktif yang dialami oleh perempuan tersebut pada akhirnya menyebabkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki, dimana perempuan tidak memiliki pengahasilan secara ekonomi sementara laki-laki yang boleh bekerja pada sektor produktif memiliki penghasilan secara ekonomi dari pekerjaannya tersebut.

Pada lapisan menengah, yang memiliki aset benda berharga yang rendah, tidak ada larangan bagi perempuan untuk bekerja karena pada umumnya setiap orang maupun rumahtangga memiliki kebutuhan tambahan (sekunder dan tersier) yang juga ingin dipenuhi. Oleh karena itu, perempuan memasuki sektor produktif untuk dapat memenuhi kebutuhan tambahan rumahtangganya tersebut. Akan tetapi, perempuan tetap mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja karena rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh perempuan lapisan menengah ini. Hal ini dapat terlihat dari


(30)

penempatan perempuan dalam pekerjaan yang berstatus rendah dengan upah yang rendah pula jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki.

Selain itu, perempuan lapisan menengah juga mengalami pembedaan berdasarkan jenis pekerjaan. Stereotype yang ada dalam masyarakat menempatkan perempuan pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan ketelitian tinggi dengan tenaga yang sedikit, berbeda dengan laki-laki yang ditempatkan pada pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan dan pendidikan yang tinggi, serta tenaga yang banyak. Adanya pembedaan ini menyebabkan perempuan mengalami feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin.

Adanya pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja dan feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin yang dialami oleh perempuan lapisan menengah menimbulkan ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan perempuan. Ketimpangan tersebut disebabkan oleh pembedaan yang dialami oleh perempuan dan laki-laki dalam sektor produktif. Perempuan memiliki akses yang rendah pada jenis pekerjaan tertentu yang memiliki status yang tinggi dengan imbalan yang tinggi, sehingga menyebabkan pendapatan rumahtangga perempuan memperoleh pendapatan yang lebih rendah dari rumahtangga laki-laki

Perempuan lapisan bawah, yang tidak memiliki aset berupa benda berharga, mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya karena penghasilan laki-laki sebagai kepala keluarga tidak mencukupi kebutuhan rumahtangganya, sehingga perempuan sebagai sumberdaya tenaga kerja rumahtangga terdorong untuk memasuki sektor produktif dan memiliki kontribusi ekonomi bagi rumahtangganya. Akan tetapi, seperti yang juga dialami perempuan lapisan menengah, perempuan lapisan bawah pun

mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja karena terbatasnya

keterampilan dan pendidikan mereka. Selain itu, perempuan lapisan bawah ini mengalami marginalisasi berupa feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin dengan penempatan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan yang tinggi, tetapi dengan tenaga sedikit. Dengan marginalisasi yang dialami perempuan tersebut pada akhirnya menimbulkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan karena upah yang diterima perempuan lebih rendah dari laki-laki. Penjelasan tersebut digambarkan dalam Gambar 1 berikut:


(31)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: Memiliki hubungan

: Variabel yang dideskripsikan dan diuji hubungannya

: Variabel yang memiliki kaitan tetapi tidak diuji hubungannya

2.3 Hipotesis Penelitian

Marginalisasi (Scott 1986 dalam Grijns dkk 1992)

Penyingkiran dari pekerjaan produktif (Tipe 1) Pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja (Tipe 2)

Feminisasi sektor produktif dan segregasiberdasarkan jenis kelamin (Tipe 3)

Pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumah tangga dominan laki-laki yang bekerjadan rumah tangga dominan

perempuan yang bekerja (Tipe 4) Struktur Lapisan

Sosial

- Lapisan bawah - Lapisan menengah - Lapisan atas

Industrialisasi Pedesaan

- Perubahan teknologi - Sumber tenaga kerja - Sumber modal Pengambilan keputusan rumahtangga Peluang Usaha dan Peluang Kerja

Pola Alokasi Tenaga Kerja dalam Rumahtangga Perempuan untuk kegiatan reproduktif Laki-laki untuk kegiatan reproduktif Perempuan untuk kegiatan produktif Lak-laki untuk kegiatan produktif


(32)

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat disusun hipotesa yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu:

1. Terjadi marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan a. Terjadi marginalisasi perempuan tipe 1

b. Terjadi marginalisasi perempuan tipe 2 c. Terjadi marginalisasi perempuan tipe 3 d. Terjadi marginalisasi perempuan tipe 4

2. Terjadi marginalisasi perempuan pada semua lapisan sosial

a. Perempuan pada lapisan bawah mengalami marginalisasi perempuan tipe 2, 3, dan 4

b. Perempuan pada lapisan menengah dan atas mengalami marginalisasi

perempuan tipe 1, 2, 3, dan 4

1. Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan a. Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 1 dalam

industrialisasi pedesaan

b. Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 2 dan 3

2.4 Definisi Operasional

Pengukuran variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah:

1. Struktur Pelapisan Sosial Ekonomi

Pelapisan sosial ekonomi dalam masyarakat merupakan adanya pembagian kategori yang mengacu pada status seseorang dalam masyarakat berdasarkan tingkat kepemilikan benda-benda berharga rumahtangganya dan tingkat pendidikan yang ia miliki, sehingga menempati suatu posisi tertentu dalam masyarakat. Dalam penelitian ini akan digunakan struktur pelapisan rumahtangga yang terdiri dari lapisan atas, menengah, dan bawah. Penentuan lapisan atas, menengah dan bawah dilihat dari kepemilikan benda-benda berharga yang dimiliki oleh suatu rumahtangga.


(33)

Lapisan Menengah : responden yang memperoleh skor 36-45

Lapisan Atas : responden yang memperoleh skor 46-55

2. Pola Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga

Adanya pelapisan sosial ekonomi menyebabkan munculnya pembagian kerja. Dalam penelitian yang akan dilakukan, pembagian kerja terdiri dari kegiatan produktif dan reproduktif.

a. Kegiatan Produktif merupakan kegiatan yang dapat menghasilkan uang. Contohnya berdagang, bekerja di pabrik, bertani untuk dijual, dan sebagainya

b. Kegiatan Reproduktif merupakan kegiatan yang tidak menghasilkan uang. Contohnya mencuci pakaian anggota keluarga, menyapu lantai rumah sendiri, mengurus anak, memasak, dan sebagainya.

3. Marginalisasi

a. Marginalisasi tipe 1 berupa penyingkiran perempuan dari sektor produktif merupakan suatu bentuk pembedaan yang dialami oleh perempuan, dimana perempuan tidak memiliki akses untuk memasuki sektor produktif dan turut

menyumbang bagi kontribusi ekonomi rumahtangganya. Terjadi

marginalisasi tipe 1 berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif jika kurang dari atau sama dengan 50 persen responden perempuan dari total keseluruhan responden perempuan memiliki status bekerja yang dikategorikan sebagai bekerja produktif. Sementara itu, tidak terjadi marginalisasi tipe 1 berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif jika lebih dari 50 persen responden perempuan dari total keseluruhan responden perempuan memiliki status bekerja yang dikategorikan bekerja produktif. b. Marginalisasi tipe 2 berupa pemusatan perempuan pada pinggiran pasar

tenaga kerja merupakan pemusatan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan yang tergolong ke dalam pekerjaan pinggiran. Terjadi marginalisasi tipe 2 jika lebih dari 50 persen responden perempuan dari total keseluruhan responden perempuan memiliki pekerjaan pinggiran. Sementara itu, tidak terjadi pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja jika lebih dari 50 persen responden memiliki pekerjaan bukan pinggiran. Pekerjaan pinggiran


(34)

rendah dan curahan waktu yang tinggi, namun upah yang diperoleh rendah, sedangkan bukan pekerjaan pinggiran adalah pekerjaan yang memiliki status yang tinggi dengan tunjangan yang tinggi dan curahan waktu yang rendah, namun upah yang diperoleh tinggi.

1) Status pekerjaan : Pekerjaan pinggiran merupakan pekerjaan yang memiliki status pekerjaan yang rendah, yaitu sebagai buruh atau tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar. Status pekerjaan sebagai buruh atau tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar ini diberi skor 1. Di samping itu, bukan pekerjaan

pinggiran adalah pekerjaan yang memiliki

status pekerjaan yang tinggi, yaitu sebagai pengusaha (pemilik usaha). Status pekerjaan sebagai pengusaha diberi skor 2.

2) Curahan waktu : Pekerjaan pinggiran adalah pekerjaan yang memiliki curahan waktu kerja yang tinggi, sedangkan bukan pekerjaan pinggiran adalah pekerjaan yang memiliki curahan waktu yang rendah. Menurut ketetapan BPS (Badan Pusat Statistik), jam kerja normal seseorang yang bekerja adalah 35 jam/minggu. Jika responden menghabiskan waktu > 35 jam/minggu, maka

responden tersebut dikatakan memiliki

pekerjaan pinggiran dan diberi skor 1. Jika

responden menghabiskan waktu ≤ 35

jam/minggu, maka responden tersebut dikatakan tidak memiliki pekerjaan pinggiran dan diberi skor 2.

3) Pendapatan : Responden yang memiliki imbalan ≥ jumlah imbalan rata-rata/bulan dari seluruh responden, dikatakan tidak berada pada pinggiran pasar tenaga kerja dan diberikan skor 2, sedangkan responden yang memiliki imbalan < jumlah


(35)

imbalan rata-rata/bulan dari seluruh responden dikatakan berada pada pinggiran pasar tenaga kerja dan diberikan skor 1.

4) Tunjangan : Responden yang

memperoleh tunjangan diberikan skor 2 pada setiap jenis tunjangan yang diperoleh, maka apabila ia memperoleh semua tunjangan, ia akan

mendapatkan skor maksimal, yaitu 36.

Seseorang yang tidak memperoleh tunjangan diberikan skor 1 pada setiap jenis tunjangan, maka apabila ia tidak memperoleh tunjangan sama sekali, skor minimum yang ia peroleh adalah 18.

Jika responden memperoleh skor 18-27, maka responden tersebut masuk ke dalam kategori tunjangan yang rendah dan dikatakan berada pada pinggiran pasar tenaga kerja, serta diberi kode 1. Sementara itu, jika responden memperoleh skor 28-36, maka responden tersebut masuk ke dalam kategori tunjangan yang tinggi dan dikatakan tidak berada pada

pinggiran pasar tenaga kerja, serta diberi kode

2.

Jika responden memperoleh total skor 4-5 dari keempat dimensi marginalisasi tersebut, maka responden tersebut dikatakan mengalami marginalisasi tipe 2, yaitu pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja. Akan tetapi, jika responden memperoleh total skor 6-8 dari keempat dimensi

marginalisasi, maka responden tersebut dikatakan tidak mengalami

marginalisasi tipe 2.

c. Marginalisasi tipe 3 berupa feminisasi sektor produktif dan segregasi

berdasarkan jenis kelamin, berarti adanya dominasi sektor pekerjaan yang dimasuki oleh tenaga kerja, dimana terdapat perbedaan yang menonjol pada sektor pekerjaan yang dimasuki oleh laki-laki dan perempuan. Perbedaan


(36)

tersebut dilihat dari dominasi laki-laki dan perempuan pada sektor pekerjaan tertentu dengan selisih lebih dari atau sama dengan 20 persen.

d. Marginalisasi tipe 4 yaitu pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga dominan laki-laki yang bekerja dan rumahtangga dominan perempuan yang bekerja terjadi karena adanya marginalisasi tipe 1, 2, dan 3. Pelebaran ketimpangan ekonomi antara kedua jenis rumahtangga tersebut dapat dilihat dari pendapatan rumahtangganya. Terjadi pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga dominan laki-laki yang bekerja dan rumahtangga dominan perempuan yang bekerja, jika ratio pendapatan rumahtangga laki-laki dan perempuan yang tinggi lebih dari 1.25 atau kurang dari 0.75. Ratio diperoleh dari perhitungan rumah tangga dominan laki-laki yang bekerja dibagi rumahtangga dominan perempuan yang bekerja. Rumahtangga yang memiliki pendapatan di bawah pendapatan rata-rata seluruh rumahtangga responden digolongkan ke dalam rumahtangga dengan pendapatan yang rendah, sementara rumahtangga yang memiliki pendapatan di atas pendapatan rata-rata seluruh rumahtangga responden digolongkan ke dalam rumahtangga dengan pendapatan yang tinggi. Rumahtangga yang memiliki jumlah laki-laki yang bekerja produktif lebih banyak dari jumlah perempuan yang bekerja produktif disebut dengan rumahtangga dominan laki-laki yang bekerja dan diberi skor 1, sedangkan rumahtangga yang memiliki jumlah perempuan yang bekerja produktif lebih banyak dari jumlah laki-laki yang bekerja produktif disebut rumahtangga dominan perempuan yang bekerja dan diberi skor 2.


(37)

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualititatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Metode survei dilakukan melalui pengumpulan informasi dari sampel (Koentjaraningrat 1994).

Penelitian ini juga didukung oleh pendekatan kualitatif. Data kualitatif diperoleh dari subyek penelitian secara alamiah, berdasarkan pengalaman sosial mereka masing-masing yang merupakan data deskriptif berupa kata-kata dari subyek penelitian. Pendekatan kualitatif juga dilakukan dengan metode studi kasus (Kusmayadi & Endar 2000). Studi kasus dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memahami peristiwa industrialisasi pedesaan dan marginalisasi.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RW 03 Desa Cikarawang dan di RW 07 Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi di Desa Cikarawang dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan desa pertanian yang belum atau masih sedikit tersentuh industrialisasi, terdapat perempuan yang bekerja, serta terdapat pelapisan sosial. Sedangkan pemilihan lokasi Desa Tarikolot dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan desa industri, dimana sudah sangat sulit untuk menemui areal persawahan dan kegiatan pertanian, terdapat perempuan yang bekerja dan terdapat pelapisan sosial. Di samping alasan di atas, pilihan kedua lokasi penelitian juga didasarkan oleh pertimbangan kemudahan akses transportasi. Jadwal pelaksanaan penelitian diperlihatkan dalam Tabel 1 berikut:


(38)

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 - 2012

Kegiatan Juni Juli September Oktober November Desember Januari

1 2 3 4 1 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan proposal skripsi

Kolokium

Perbaikan proposal

Pengambilan data lapang

Pengolahan

data dan

analisis data

Penulisan draft skripsi

Sidang skripsi

Perbaikan skripsi

3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumahtangga di kedua desa penelitian dan seluruh anggota rumahtangga usia produktif, baik laki-laki maupun perempuan. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu dan rumahtangga. Individu, yaitu laki-laki maupun perempuan anggota rumah tangga usia produktif, untuk membuktikan dugaan terjadinya marginalisasi tipe 1, 2, dan 3 pada perempuan dan perempuan dari lapisan bawah, menengah, dan atas. Rumahtangga, yaitu rumahtangga yang anggotanya dominan laki-laki yang bekerja (rumahtangga laki-laki) dan rumahtangga yang dominan perempuan (rumah tangga perempuan) yang bekerja, untuk


(39)

membuktikan dugaan terjadinya marginalisasi tipe 4, yaitu pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga perempuan dan rumahtangga laki-laki.

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari profil desa, diketahui bahwa di RW 07 Desa Tarikolot terdapat 326 rumahtangga, sedangkan Di RW 03 Desa Cikarawang terdapat 347 rumahtangga. Dari jumlah rumahtangga tersebut diketahui bahwa penduduk usia produktif di RW 03 Desa Cikarawang adalah 1038 orang, sedangkan di RW 07 Desa Tarikolot sebanyak 1394 orang. Oleh karena itu, perlu diketahui jumlah penduduk laki-laki dan perempuan usia produktif di kedua desa penelitian (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Jumlah Penduduk Usia Produktif di RW 03 Desa Cikarawang dan RW 07 Desa Tarikolot menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (orang)

RW 03 Desa Cikarawang RW 07 Desa Tarikolot

Laki-laki Perempuan

535 503

675 719

Jumlah 1038 1394

Sumber : Catatan Kantor Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, 2010

Setelah diketahui jumlah laki-laki dan perempuan usia produktif pada kedua lokasi penelitian, ditentukan jumlah responden untuk masing-masing jenis kelamin dengan perhitungan bobot sebagai berikut:

RW 03 Desa Cikarawang:

Laki-laki = x 30 = 15,46 = 15 orang

Perempuan = x 30 = 14,54 = 15 orang

RW 07 Desa Tarikolot:

Laki-laki = x 30 = 14,52 = 15 orang


(40)

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka jumlah responden dalam penelitian ini ditentukan sebanyak 60 orang, yakni 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Untuk menentukan responden, digunakan metode acak distratifikasi (stratified random

sampling). Responden dipilih berdasarkan lapisan sosial dengan kriteria jumlah

kepemilikan benda berharga yang dimiliki responden. Untuk dapat menggambarkan secara tepat mengenai sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi yang bersangkutan harus dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak. Dalam sampel berlapis, peluang untuk terpilihnya satu atau lebih lapisan mungkin sama, mungkin pula berbeda (Singarimbun 2006). Untuk menerapkan metode stratified random sampling ini, terlebih dahulu unit analisis disusun dalam daftar kerangka sampling berdasarkan lapisan sosialnya masing-masing. Oleh karena itu, terdapat 6 kerangka sampling yang dibuat untuk menarik sampel. Masing-masing kerangka sampling tersebut berisi daftar unsur sampling yang berbeda, yaitu:

1. Rumahtangga lapisan atas di RW 03 Desa Cikarawang

2. Rumahtangga lapisan menengah di RW 03 Desa Cikarawang

3. Rumahtangga lapisan bawah di RW 03 Desa Cikarawang

4. Rumahtangga lapisan atas di RW 07 Desa Tarikolot

5. Rumahtangga lapisan menengah di RW 07 Desa Tarikolot

6. Rumahtangga lapisan atas di RW 07 Desa Tarikolot

Kerangka sampling pelapisan sosial diperoleh melalui hasil wawancara mendalam dengan informan (Ketua RT, Ketua RW, perangkat desa). Kemudian data tersebut diperiksa kembali melalui skor yang diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden. Dari data yang diperoleh melalui wawancara mendalam, maka diketahui jumlah kepala keuarga yang ada di RW 07 Desa Tarikolot adalah sebanyak 326 KK, dimana 33 diantaranya adalah lapisan atas, 43 lapisan menengah, dan 250 lapisan bawah. Sementara di Desa Cikarawang terdapat 347 KK, dimana 93 diantaranya adalah lapisan atas, 126 lapisan menengah, dan 128 lapisan bawah. Menentukan jumlah responden yang berasal dari tiap lapisan digunakan perhitungan sebagai berikut:


(41)

Desa Cikarawang :

Lapisan atas :

Lapisan menengah :

Lapisan bawah :

Desa Tarikolot :

Lapisan atas :

Lapisan menengah :

Lapisan bawah :

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dalam bentuk laporan atau literatur mengenai profil Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, sedangkan data primer berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui instrumen utama penelitian survei, yaitu kuesioner. Kuesioner tersebut berisi pertanyaan yang akan diajukan kepada responden. Kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden berkaitan dengan tujuan penelitian. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pertanyaan mengenai karakteristik responden, data rumahtangga responden, marginalisasi, tunjangan, lapisan sosial, serta pola alokasi tenaga kerja. Data kualitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui wawancara mendalam agar dapat mengetahui pengalaman, persepsi, pemikiran, perasaan, dan pengetahuan dari subyek penelitian.

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh diolah dalam bentuk kode dan disajikan dalam


(42)

buku kode. Kode tersebut kemudian diolah ke dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab) dengan software SPSS versi 17.

Berdasarkan olahan data tersebut dilakukan analisa deskriptif berupa interpretasi data yang memberikan sejumlah informasi. Selain itu, data juga diolah dengan analisa kualitatif yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan dan menginterpretasikan fenomena yang ada di lapang.


(43)

BAB IV

GAMBARAN UMUM DESA

4.1 Desa Cikarawang 4.1.1 Kondisi Demografis

Desa Cikarawang merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan terdiri dari 7 RW. Sebelah utara Desa Cikarawang dibatasi oleh Sungai Cisadane, sebelah selatan dibatasi oleh Sungai Ciapus, sebelah barat dibatasi oleh Sungai Ciaduan, dan sebelah timur dibatasi oleh Kelurahan Situgede. Desa Cikarawang memiliki jumlah penduduk 8.227 orang, yang terdiri dari 4.199 orang laki-laki dan 4.028 orang perempuan, serta 2.114 Kepala Keluarga.

Desa Tarikolot merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan memiliki luas wilayah 250,05 ha. Sebelah utara Desa Tarikolot berbatasan dengan Desa Citeureup, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukahati, sebelah timur dengan Desa Gunungsari, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Karang Asem Timur. Pada tahun 1981 Desa Tarikolot mengalami pemekaran karena meningkatnya pertambahan penduduk. Desa tarikolot terbagi menjadi Desa Tarikolot dan Desa Gunungsari.

Desa Tarikolot memiliki 5.292 kepala keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 20.017 jiwa, yang terdiri dari 50.2 persen laki-laki dan 49.8 persen perempuan. Banyaknya jumlah penduduk Desa Tarikolot membuat desa ini menjadi desa terpadat di Kecamatan Citeureup dengan kepadatan penduduk 2.210 jiwa per kilometer persegi. Adapun jumlah penduduk berdasarkan umur pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat di dalam Tabel 3 di bawah ini

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Golongan Umur dan Tipe Desa, 2011

Sumber : Catatan Kantor Desa Cikarawag dan Kantor Desa Tarikolot tidak diterbitkan, 2010

Golongan Umur Desa Cikarawang Desa Tarikolot

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

0-14 tahun 1852 22.5 4098 20.5

15-59 tahun 6087 74.0 14533 72.6

> 59 tahun 288 3.5 1386 6.9


(44)

Dari data pada tabel tersebut menunjukkan penduduk desa Cikarawang memiliki sumberdaya manusia yang sebagian besar termasuk ke dalam angkatan kerja, karena jumlah penduduk pada usia kerja (15-59 tahun) lebih banyak, yaitu 74.0 persen, daripada penduduk bukan usia kerja (0-14 tahun dan > 59 tahun), yaitu 26.0 persen. Sedangkan pada Desa Tarikolot terdapat penduduk yang berusia 0-14 tahun sebanyak 21.9 persen laki-laki dan 19.0 persen perempuan. Adapun penduduk usia kerja (15-59 tahun) terdiri dari 70.5 persen laki-laki dan 74.7 persen perempuan, dan penduduk yang berusia > 59 tahun terdiri dari 7.6 persen laki-laki dan 6.3 persen perempuan. Dengan jumlah tersebut, terlihat bahwa penduduk Desa Tarikolot memiliki penduduk usia kerja (15-59 tahun) yang juga lebih banyak dibandingkan penduduk bukan usia kerja (0-14 tahun dan > 59 tahun).

4.1.2 Kondisi Sosial

Adanya potensi pertanian di Desa Cikarawang, menumbuhkan keinginan masyarakat untuk membentuk kelompok tani sehingga mereka memiliki wadah untuk berkumpul, bekerjasama dan membentuk suatu kesatuan ysng memiliki kesamaan identitas, atribut, sistem norma dan peraturan-peraturan berkelompok, guna mengatur pola-pola interaksi antar anggota kelompok dan mencapai tujuan bersama. Kelompok tani yang sudah terdaftar di kantor Kecamatan Dramaga berjumlah 5 kelompok, yaitu Kelompok Tani Hurip, Kelompok Wanita Tani Melati, Kelompok Tani Mekar, Kelompok Tani Setia dan Kelompok Tani Subur Jaya. Di desa ini juga terdapat lembaga-lembaga masyarakat yaitu kelompok PKK, pramuka gudep, kelompok tani, karang taruna, kelompok remaja masjid, majelis ta’lim, kader pembangunan desa (KPD), dan sebagainya.

Sebagian besar penduduk Desa Tarikolot beretnis Sunda, yakni sebanyak 95.4 persen, sedangkan sisanya beretnis Jawa 1.9 persen, Betawi 1.7 persen, Batak 0.7 persen, dan Minang 0.3 persen. Mayoritas penduduk Desa Tarikolot beragama Islam, yaitu sebanyak 99.0 persen, sementara sisanya Kristen 0.7 persen, Katholik 0.27 persen, dan Budha 0.03 persen.

Di sekitar RW 07 terdapat dua buah pabrik dengan skala besar yang menyerap banyak tenaga kerja dari Desa Tarikolot. Peluang kerja dan peluang usaha yang terdapat pada Desa Tarikolot menyerap tenaga kerja bukan hanya dari Desa Tarikolot, tetapi masyarakat dari luar desa ini pun berdatangan untuk memperoleh pekerjaan. Mereka tinggal menetap di desa ini dengan mengontrak sebuah rumah milik warga Desa


(45)

Tarikolot, sehingga meningkatkan pendapatan bagi masyarakat Tarikolot. Banyaknya warga pendatang yang menetap, menyebabkan beragamnya suku dan budaya yang ada di desa ini. Akan tetapi, meskipun beragam suku dan budaya, masyarakat Tarikolot, terutama RW 07 tetap terjaga kerukunan dan keharmonisannya.

Desa Tarikolot memiliki infrastruktur jalan yang cukup memadai karena adanya bantuan dari (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) PNPM dan PT. Indocement Tunggal Perkasa. Bantuan tersebut diberikan tidak hanya untuk pembangunan jalan utama desa, tetapi juga semua jalan-jalan kecil yang ada di desa tersebut. Memadainya kondisi jalan di desa ini memudahkan warga untuk melakukan mobilisasi untuk mencapai tempat kerja, sekolah, dan pasar. Kemudahan akses jalan ini dimanfaatkan oleh para pemilik usaha untuk menjual dagangannya di sepanjang jalan-jalan yang banyak dilalui warga. Mulai dari penjual makanan, seperti warung tegal, pedagang sate, nasi goreng, hingga pedagang gorengan, penjual pulsa, mainan anak, dan toko kelontong terdapat di sepanjang jalan desa.

Tingginya mobilitas warga di desa ini membuat pengusaha besar dari luar desa tertarik untuk membuka usaha di desa ini. Hal ini terlihat dari adanya tiga buah

minimarket dilingkungan Desa Tarikolot. Selain itu, letak desa yang tidak jauh dari

Pasar Citeureup membuat keadaan desa semakin ramai. Dengan tersedianya beragam kebutuhan warga, membuat desa ini selalu ramai oleh lalu lintas desa, bahkan pada jam pulang kerja jalan di menuju Desa Tarikolot seringkali mengalami kemacetan.

4.1.3 Kondisi Ekonomi

Kegiatan ekonomi penduduk desa Cikarawang sebagian besar dilakukan dalam bentuk pertanian, yaitu sejumlah 41,6 persen, sedangkan sisanya, yaitu 2.3 persen bekerja di bidang perdagangan, 0.4 persen bekerja di bidang jasa, 26.6 persen bekerja di bidang industri, 13.3 persen bekerja sebagai PNS, 15.8 persen merupakan pensiunan, dan sisanya pengangguran. Sedangkan banyaknya jenis usaha di bidang industri menyebabkan jenis pekerjaan penduduk Desa Tarikolot sebagian besar sebagai buruh atau karyawan dari industri-industri yang ada (96.2 persen). Tabel 4 di bawah ini menyajikan jumlah penduduk berdasarkan mata pencahariannya.


(46)

Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Jenis Pekerjaan dan Tipe Desa, 2011

Jenis Pekerjaan Desa Cikarawang Desa Tarikolot

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Pertanian 565 49.4 15 0.2

Industri 362 31.6 5801 92.4

Perdagangan 31 2.8 133 2.2

Jasa 6 0.5 302 4.8

PNS 180 15.7 26 0.4

Total 1144 100.0 6277 100.0

Sumber : Catatan Kantor Desa Cikarawang dan Kantor Desa Tarikolot tidak diterbitkan, 2010

Desa Cikarawang memiliki luas wilayah 216,56 ha, dimana lebih dari 50 persennya merupakan areal persawahan, yaitu 128,109 ha, sehingga Desa Cikarawang dikenal sebagai desa pertanian. Dari luasnya lahan yang digunakan untuk bercocok tanam, memungkinkan masyarakat Cikarawang bermata pencaharian di sektor pertanian. Selain bercocok tanam, kegiatan pertanian juga dilakukan dalam subsektor peternakan dan perikanan. Kegiatan di subsektor peternakan terlihat dari beberapa sektor ternak yang dimiliki oleh setiap warga di rumahnya masing-masing. Komoditas peternakan yang telah dikembangkan secara komersial di wilayah desa ialah penggemukan 55 kambing dan usaha peternakan ayam berkapasitas 5.000 ayam potong yang dimiliki oleh warga masyarakat. Kegiatan di subsektor perikanan belum cukup berkembang. Keberadaan danau atau situ seperti Situ Burung yang ada di desa ini juga belum dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya perikanan air tawar. Luasnya peluang usaha dan peluang kerja di sektor pertanian dan industri ini menjadikannya sebagai tulang punggung pendapatan desa, dengan menyumbang pendapatan Rp180.000.000/tahun, serta industri rumah tangga yang menyumbang pendapatan sebesar Rp75.000.000/tahun.

Di sektor industri terdapat beberapa home industry komersial yaitu pembuatan miniatur aeromodelling, pembuatan pupuk organik bokasi, dan industri makanan seperti dodol, rengginang, keripik tempe, talas, dan pisang. Usaha-usaha tersebut memberi manfaat bagi masyarakat desa dalam penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan desa.


(47)

Selain itu, terdapat juga usaha pada sektor jasa yang telah dilakukan warga di Desa Cikarawang. Kegiatan tersebut dilakukan dalam bentuk jahit-menjahit, mobil angkutan, warnet, ojek, penggilingan gabah dan pengolahan tanah pertanian, yaitu melalui penyewaan kerbau atau traktor tangan.

Pada sektor perdagangan, di daerah ini beberapa warga telah menjadi pengumpul hasil pertanian yaitu ubi jalar dan ubi kayu untuk di jual di Pasar Induk Kramatjati, dan industri pengolahan pangan. Sebagian warga ada yang menjadi pedagang sayur-mayur, kacang-kacangan, bakso, mie ayam, maupun produk-produk lain serta ada yang membuka warung di rumah.

1.1.4 Karakteristik Responden

Responden pada Desa Cikarawang merupakan lima belas laki-laki dan lima belas perempuan usia produktif (15-59 tahun) yang tinggal di RW 03. Tiga puluh persen responden memiliki tingkat pendidikan tamat SMA, sehingga pendidikannya dikatakan tinggi. Akan tetapi, jika dibedakan menurut jenis kelamin, dapat dilihat adanya perbedaan antara tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki. Responden laki-laki memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada responden perempuan. Terdapat 40.0 persen responden perempuan yang memiliki tingkat pendidikan tidak tamat SD, sedangkan responden laki-laki tidak ada. Sementara itu, terdapat 53.3 persen responden laki-laki yang tamat SMA, tetapi hanya 6.7 persen reponden perempuan.

Responden pada Desa Tarikolot merupakan lima belas orang laki-laki dan lima belas orang perempuan usia produktif (15-59 tahun) yang tinggal di RW 07. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan tamat SMP. Akan tetapi, jika dibedakan menurut jenis kelamin, dapat dilihat adanya perbedaan tingkat pendidikan yang dialami responden laki-laki dan perempuan (Tabel 5).


(1)

3.

Kondisi jalan Desa Tarikolot pada jam pulang kerja


(2)

5.

Gerbang utama PT. Wacoal Indonesia, Citeurep-Bogor


(3)

Lampiran 6. Sketsa Lokasi Penelitian


(4)

(5)

RINGKASAN

FEBLI TANZENIA. MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN Studi Kasus di Desa Cikarawang dan Desa

Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Di bawah bimbingan NURAINI W.

PRASODJO).

Revolusi Hijau di Indonesia muncul pada tahun 1960-an. Munculnya Revolusi Hijau sebagai suatu cara untuk meningkatkan produksi padi telah meminggirkan perempuan. Penggantian alat panen ani-ani menjadi sabit dan penggunaan mesin dross untuk perontokan padi telah membuat perempuan kehilangan pekerjaannya di sektor pertanian. Oleh karena itu, perempuan yang terpinggirkan tersebut menempuh strategi bertahan hidup dengan cara melakukan perubahan profesi menjadi pedagang, merantau ke luar negeri menjadi TKI, atau bekerja pada industri rumahan (Tahir 2010).

Dengan adanya Revolusi Hijau telah menggeser perekonomian masyarakat di Jawa Barat yang semula dominan hidup dari sektor pertanian, mengalami transisi menuju masyarakat yang hidup dari sektor industri (BPS 1987). Dengan adanya transisi tersebut semakin membuka kesempatan bagi masyarakat desa untuk bekerja di sektor non pertanian yang juga berarti membuka peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor produktif non pertanian. Peluang bagi perempuan ini meningkatkan partisipasi angkatan kerja wanita di sektor non pertanian, sebagai contoh adalah di sektor industri pengolahan (Sajogyo 1983).

Dalam mayarakat Indonesia sering dijumpai adanya struktur pelapisan sosial dalam masyarakat yang didasari kriteria ekonomi. Pelapisan sosial membedakan seseorang berdasarkan status kekayaan yang dimiliki yang dapat dilihat dari dan kepemilikian benda-benda berharga. Pelapisan tersebut dibagi menjadi lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah. Setiap lapisan sosial dalam masyarakat tersebut menunjukkan suatu pola alokasi tenaga kerja dalam rumahtangga yang berbeda, yang pada gilirannya dapat membentuk pola marginalisasi yang berbeda pula. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi marginalisasi yang dialami oleh perempuan dalam industrialisasi pedesaan, mengidentifikasi marginalisasi yang terjadi pada setiap lapisan sosial, dan menganalisis hubungan antara lapisan sosal dengan marginalisasi perempuan.


(6)

Penelitian dilakukan di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survei serta didukung dengan data kualititatif. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 60 orang, yakni 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Untuk menentukan responden, digunakan metode acak terstratifikasi (stratified random sampling). Data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui instrumen utama penelitian survei, yaitu kuesioner. Data kualitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui wawancara mendalam. Data yang telah diperoleh diolah dengan Microsoft Excel2007. Data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perempuan dalam industrialisasi pedesaan tidak mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif (tidak mengalami marginalisasi tipe 1) karena banyaknya peluang kerja dan peluang usaha yang terdapat pada kedua desa penelitian. Akan tetapi, perempuan yang memasuki sektor produktif ini mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja (mengalami marginalisasi tipe 2), dimana status pekerjaan yang dimilikinya masih rendah, yaitu sebagai buruh tani, buruh pengupas ubi, buruh bengkel, maupun buruh pabrik. Tunjangan yang diperoleh oleh responden perempuan yang berstatus buruh pabrik tergolong rendah, karena statusnya sebagai karyawan kontrak. Curahan waktu kerja yang tinggi juga dialami perempuan dalam industri pedesaan dengan pendapatan yang rendah. Selain itu, feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin serta pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan juga terjadi dalam industrialisasi pedesaan (mengalami marginalisasi tipe 3 dan 4).

Hasil penelitian yang melihat perempuan berdasarkan lapisan sosialnya menunjukkan bahwa perempuan lapisan bawah mengalami marginalisasi tipe 2 dan 3. Selain itu, perempuan lapisan menengah dan atas mengalami marginalisasi tipe 3 dan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan (marginalisasi tipe 4). Adapun marginalisasi tipe 1 tidak dialami oleh perempuan dari seluruh lapisan sosial.