Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan – LIPI 2013

POTRET PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN : STUDI KASUS TERHADAP
GANTANGAN DI TIGA DESA MISKIN DI KABUPATEN SUBANG
Yanu Endar Prasetyo1, Titik Sumarti2, Nuraini W. Prasodjo2 dan Akmadi Abbas1
1

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
2
Institut Pertanian Bogor (IPB)
e-mail : yanuendar@yahoo.com
ABSTRAK

Gantangan merupakan modal sosial yang terbangun dari kebiasaan dan tradisi lokal di pedesaan
Subang, Jawa Barat. Melalui pertukaran sosial Gantangan ini kita dapat melihat bagaimana
resiprositas murni (hubungan timbal balik) di pedesaan yang bertransformasi menjadi resiprositas
seimbang (balanced reciprocity), pertukaran sosial (social exchange) dan komersialisasi sosial.
Pertukaran beras dan uang yang tercatat dalam pesta hajatan Gantangan di pedesaan Subang ini
merefleksikan perubahan nilai dan norma dalam masyarakat pedesaan menjadi semakin
individualistik dan kontraktual. Studi ini mencoba untuk melihat dan menggambarkan perubahan pola
pertukaran Gantangan di tiga desa miskin yang memiliki karakteristik demografi dan agro-ekologi

berbeda di Kabupaten Subang, yaitu di desa di daerah pesisir (Subang Utara), dataran
rendah/pertanian padi (Subang tengah) dan desa di daerah pegunungan-perbukitan (Subang Selatan).
Hasil dari penelitian ini menemukan adanya tiga tipe atau bentuk pertukaran Gantangan yang eksis di
tengah masyarakat, yaitu tipe nyambungan, gintingan dan golongan. Laju komersialisasi sosial
berlangsung dalam beberapa fase, yaitu komodifikasi tradisi sosial dan munculnya para pemburu rente
dalam struktur pertukaran Gantangan ini. Harapan dari studi ini adalah bagaimana agar berbagai
intervensi yang dimaksudkan sebagai upaya penanggulangan kemiskinan dapat memahami fenomena
pertukaran sosial ini dan menjadikannya sebagai basis dari pengambilan keputusan dalam kegiatan
pemberdayaan maupun penanggulangan kemiskinan di pedesaan.
Kata kunci : Gantangan, Pertukaran Sosial, Kemiskinan, Pedesaan, Subang
Ketergantungan pada kebaikan alam itu salah
satunya terwujud dalam pola perilaku1 yang
lebih kongkrit seperti dalam upacara-upacara
adat (Wolf, 1966:10) atau norma-norma
kehidupan bermasyarakat. Misalnya upacara
sebelum menanam padi, upacara ketika panen
(mapag sri/mapag pare), upacara ruwat bumi,
pesta laut atau ruwat laut, dan lain sebagainya.
Sistem sosial masyarakat agraris semacam ini
dilakukan dalam semangat kolektivitas dan

tolong menolong yang kemudian lebih dikenal

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat di pedesaan Subang, Jawa Barat,
secara sosio-historis maupun ekologis adalah
suatu bentuk masyarakat agraris. Berbagai
bentuk aktivitas produksi pertanian, mulai dari
pertanian sawah (padi), perkebunan, perikanan
darat dan laut serta perladangan-hutan, telah
menjadi mata pencaharian pokok masyarakat
Subang secara turun menurun. Dengan
bentang alam yang sangat mendukung
pengembangan pertanian, maka sistem sosial
budaya masyarakatnya pun tidak lepas dari
siklus-siklus dunia pertanian itu sendiri.
Karena kedekatan dengan alam itu pula,
ketergantungan
masyarakat
terhadap

“kebaikan”, “kemurahan” atau “anugerah”
alam pun menjadi sangat tinggi (Scott,
1981:38). Sebuah sikap mental yang khas
dimiliki komunitas petani.

1

534

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan manusia
itu terbangun dan terwujud ke dalam tiga unsur,
(1) wujud ideal (gagasan, ide-ide, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan, dsbnya) (2) wujud
perilaku (sistem sosial, aktivitas kompleks) dan
(3) wujud fisik (artefak, benda-benda hasil karya
manusia) (1982:5-6). Kebudayaan itulah yang
akan mempenetrasi masing-masing anggotanya
secara mental, fisik, dan sosial (sehingga mereka
berhubungan satu sama lain dengan cara tertentu)
(Fay, 2002:75)


Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan – LIPI 2013

dalam konsep Gotong Royong2. Gotong
royong inilah bentuk perilaku sosial khas
pedesaan yang di dalamnya terdapat hubungan
timbal balik dan saling menolong. Perilaku
sosial – termasuk gotong royong – itu tidak
lain merupakan bentuk dari pertukaran, baik
material
maupun
nonmaterial
(Homans,1958:606). Meskipun, pendirian
penulis disini lebih cenderung untuk melihat
gotong royong ini sebagai fakta sosial dan
struktur sosial kompleks (Ritzer & Goodman,
2010:369, Scott & Calhoun, 2004:10-11)

masuk oleh sistem ekonomi pasar telah
mengubah

nilai-nilai
solidaritas
dan
kolektivitas masyarakat ini menjadi semakin
individualis
dan
komersil
(Somantri,
2006:466, Tjondronegoro, 2008:167). Nilainilai dan norma-norma adat mengalami
desakralisasi akibat ilmu pengetahuan,
teknologi, dan mekanisasi pertanian yang terus
masuk hingga ke pelosok-pelosok desa. Ciri
penanda ekonomi pra-kapitalis yang dahulu
melekat (redistribusi pangan melalui lumbung
padi dan resiprositas dalam tolong-menolong,
silih genten) kini telah mengalami perubahan
bentuk akibat pengaruh komersialisasi atau
ekonomi kapitalis tersebut.

Kolektivitas Sosial yang mengakar dalam

gotong royong itulah yang kemudian tercermin
dalam perilaku sosial sehari-hari masyarakat
pedesaan Subang. Berbagai siklus kehidupan
senantiasa dirayakan beramai-ramai, mulai
dari kelahiran, khitanan, perkawinan, hingga
kematian seseorang. Semua aktivitas itu
dilakukan dalam kerangka untuk menjaga
harmoni sosial. Kolektivitas ini juga kentara
dalam bentuk-bentuk kesenian lokal yang
digemari masyarakat, seperti wayang, jaipong,
sisingaan, film (layar tancap), hingga organ
tunggal pun selalu meriah dan melibatkan
banyak orang, baik di atas panggung maupun
di bawah (penonton dan pengiring). Sebelum
masuknya arus monetisasi, kolektivitas paling
utama tercermin dalam dunia pertanian,
dimana sejak pengolahan lahan, pemeliharaan
hingga pemanenan dilakukan dengan gotong
royong, baik dalam satu lingkungan keluarga
maupun tetangga dekat. Kolektivitas ini tidak

hanya nampak sebagai sebuah perilaku
kolektif, melainkan juga melahirkan mentalitas
yang ingin agar diri dan kelompoknya dapat
terlihat baik di mata orang atau kelompok lain.

Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi
antara kondisi kemiskinan pedesaan yang
sering digambarkan sebagai kemiskinan
ekonomi dan sumber daya itu muncul.
Bagaimana masyarakat desa yang “dipandang
miskin” itu justru memelihara tradisi yang
nampak memberatkan tersebut? Ibaratnya,
memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit,
bagaimana harus menolong dan berbagi
dengan orang lain? Apakah tesis dan proposisi
yang pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa
“orang makin miskin makin bersikap komersil
dan individualistik” tersebut benar adanya,
mengingat pola tradisi Gantangan ini telah
berubah sedemikian rupa menjadi medan

akumulasi keuntungan sebagian anggota
masyarakatnya? Atau kondisi agroekologis
dan kultur masyarakat tertentulah yang
membuat tradisi nyumbang ini memiliki wajah
dan derajat komersialisasi yang berbeda-beda?
Perumusan Masalah dan Tujuan
Permasalahan yang ingin dijawab
melalui penelitian ini antara lain :
1. Bagaimana bentuk dan tipe pola pertukaran
sosial (relasi antar aktor) gantangan di tiga
tipe agroekologi desa miskin yang berbeda?
2. Bagaimana komersialisasi ekonomi telah
mentransformasikan pola pertukaran sosial
dalam modal sosial gantangan tersebut
(komersialisasi sosial)?
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah
1. Menganalisis bentuk-bentuk pertukaran
sosial dalam modal sosial gantangan di tiga
tipe agroekologi desa miskin yang berbeda
2. Menjelaskan

bagaimana
proses
komersialisasi ekonomi di pedesaan

Namun kemudian, ketika desa-desa kian
terbuka (Popkin, 1986:1) dan dunia pertanian
mengalami komersialisasi ekonomi akibat
keberhasilan revolusi hijau (Pincus,1994:38,
Peny, 1990:81-85), kolektivitas masyarakat
pedesaan Subang ini juga mengalami
kemunduran. Ekonomi uang yang dibawa
2

Konsep ini kemudian diangkat menjadi slogan
pembangunan kabupaten Subang yang berbunyi
“Rakyat Subang Gotong Royong, Subang Maju”,
dan diangkat juga dalam program pembangunan
pedesaan dengan konsep “Desa Mandiri Gotong
Royong”.


535

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan – LIPI 2013

dalamnya terdapat perpaduan antara aktivitas
sosial, religius, ekonomi, kesenian dan bahkan
politik. Pesta hajatan itu sendiri memiliki
berbagai sebutan, istilah, aturan main, dan
makna yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah yang lainnya. Di dalam pesta
hajatan inilah sistem gantangan (pertukaran
beras, uang dan barang-barang lainnya) ini
hidup dan berkembang.

mempengaruhi transformasi modal sosial
gantangan (komersialisasi sosial)
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian lapangan ini dilakukan dari bulan
Desember 2011 sampai dengan bulan Mei

2012. Lokasi penelitian ada di tiga desa yang
masuk dalam kategori miskin menurut
pemerintah daerah kabupaten Subang, yaitu di
desa Jayamukti, kecamatan Blanakan (Subang
Utara), desa Pasirmuncang, kecamatan
Cikaum (Subang Tengah) dan desa
Cimenteng, kecamatan Cijambe (Subang
Selatan). Ketiga wilayah diatas sekaligus
merepresentasikan tiga kondisi ekologis dan
demografis yang berbeda, yaitu komunitas
pesisir,
dataran
rendah
dan
pegunungan/perbukitan. Relevansi perbedaan
kondisi agro-ekologis diatas adalah untuk
membandingkan laju komersialisasi sosial di
masing-masing lokasi penelitian.

Gantangan yang merupakan bentuk dari
resiprositas ini bukan hal baru dalam literatur
antropologi, seperti dikemukakan oleh para
antropolog yang meneliti sistem ekonomi
tradisional (pra-kapitalis) suku-suku tertentu
antara lain sistem “Kula” di pulau Trobriand,
Papua Nugini dan sistem “Potlatch” di
Kwakiutl (Mauss,1967:3, Bell, 1991:156).
Modal Sosial yang berbentuk pertukaran
barang dan uang di pedesaan seperti
Gantangan ini oleh para ekonom moral
dianggap sebagai bentuk asuransi (jaminan
sosial),
sementara
para
antropolog
menganggapnya sebagai bagian dari biayabiaya upacara (ceremonial funds), dan bagi
para penganut aliran ekonomi politik dianggap
sebagai investasi jangka panjang orang desa.

Teknik Pengambilan Data dan Analisis
Pengambilan data primer dilakukan melalui
beberapa teknik dalam metode kualitatif antara
lain : wawancara kelompok terfokus (6 kali),
wawancara mendalam, pengamatan langsung,
dan pendokumentasian audio-visual. Data
sekunder diperoleh dan diolah dari buku
catatan gantangan informan, data-data BPS,
profil desa, data dasar desa dan literatur terkait
dengan penelitian. Analisis dilakukan secara
deskriptif-eksploratif
dengan
menyusun
tipologi-tipologi dari hasil temuan di lapangan.

Bentuk dan Tipe Pertukaran Gantangan
Terdapat tiga tipe dan pola modal sosial
Gantangan yang ditemukan penulis dalam
penelitian ini, yaitu pertama, tipe dan pola A
(Nyambungan) yang merupakan sisa-sisa dari
kebiasaan tolong menolong warga desa.
Nyambungan ini adalah bentuk lain dari
pemberian (gift) dari satu warga kepada warga
lainnya ketika hajatan dan tidak mewajibkan
pengembalian, baik dari segi jumlah maupun
waktu
pengembaliannya.
Meskipun
nyambungan ini adalah pola sli gotong royong
(sukarela), namun saat ini lebih banyak
dilakukan oleh para pendatang, orang kota,
dan sebagian kecil warga desa lainnya. Ciri
menonjolnya adalah Nyambungan ini tidak
dicatat (beras 50kg beras)
yang dipertukarkan maupun jumlah anggota
yang saling bertukar. Pola Golongan ini
sedang berkembang di Subang Utara dan
Tengah, sekaligus menunjukkan ketimpangan
sosial-ekonomi dan struktur masyarakat
pedesaan yang telah terstratifikasi. Golongan
ini hanya bisa diikuti oleh masyarakat dengan
ekonomi menengah keatas karena standar
pertukarannya yang tinggi. Di dalam
masyarakat perbukitan Subang Selatan yang
tingkat
ekonominya
relatif
merata
(ketimpangan ekonomi antar rumah tangga di
satu desa relatif kecil) pola Golongan ini
belum muncul.

538

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan – LIPI 2013

Karakteristik
Komunitas
Istilah Modal
Sosial
Sejarah
Mulainya
Gantangan
Penyebaran

Tabel 1. Perbandingan Pola Pertukaran Gantangan di Tiga (3) Desa Lokasi Penelitian (2012)
Subang Utara
Subang Tengah
Subang Selatan
Masyarakat pesisir, petani/petambak, buruh tani,
Masyarakat sekitar perkebunan karet dan tebu,
Masyarakat sekitar hutan, petani,
nelayan, jasa dan perdagangan
buruh tebas, petani dan buruh pabrik
peladang, dan peternak.
Terbuka, miskin = tidak memiliki lahan
Terbuka, miskin = sumberdaya minim
Terisolir, miskin = minim akses
Telitian
Talitihan atau Gantangan
Gintingan
Pengaruh/meniru dari Karawang dan Indramayu

Melalui perkawinan, perpindahan penduduk dan
jaringan pertemanan
Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat, tidak
Pola
wajib dikembalikan, mulai menghilang.
resiprositas
dan pertukaran Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Rp. 15.000,
dan sembako lainnya, dicatat, wajib dikembalikan,
masih eksis tapi mulai menurun karena ketidakjujuran
dan frekuensi hajatan yang tidak diatur (21 kali setahun
hajatan rame-rame ditambah hajatan tanpa hiburan yang
tidak tercatat)
Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah kelompok
mirip arisan sebanyak @50 kg, uang Rp. 50.000, daging
sapi, daging ayam, dan sembako lainnya yang dikelola
oleh Ketua Golongan, dicatat, wajib dibayarkan, jumlah
anggota 45 orang, waktu pengembalian/hajatan dibatasi
4 kali setahun
Ada
Bandar
Hajatan
Waktu hajatan Musim panen, pernikahan, khitanan, kelahiran, naik haji,
membangun/merehab rumah, dan kebutuhan mendesak
lainnya
Kesan
 Perempuan : (1) Bayar (2) Makan (3) Beras
terhadap
 Laki-laki : (1) Bayar (2) Utang (3) Pusing
gantangan

Pengaruh/meniru dari Subang Utara

Pengaruh/meniru dari Subang Tengah
dan Utara

Melalui perkawinan, perpindahan penduduk dan
jaringan pertemanan
Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat,
tidak wajib dikembalikan, mulai menghilang.
Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Rp.
10.000, dan sembako lainnya, dicatat, wajib
dikembalikan, masih eksis tapi mulai menurun
karena frekuensi hajatan yang tidak diatur (19 kali
setahun) dan kesulitan ekonomi
Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah
kelompok mirip arisan sebanyak @10 liter, uang
Rp. 20.000, dan sembako lainnya yang dikelola
oleh Ketua Golongan (Rombol), dicatat, wajib
dibayarkan, jumlah anggota 40 orang/kelompok,
waktu pengembalian/hajatan tidak/belum
dibatasi/diatur.
Ada

Melalui jaringan pertemanan,
perpindahan penduduk dan perkawinan
Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak
dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai
menghilang.
Pola B. Menyimpan beras minimum 5
liter dan maksimum 50 kg, uang > Rp.
10.000, dan sembako lainnya, dicatat,
wajib dikembalikan, masih eksis dengan
frekuensi hajatan relatif rendah (7-8 kali
setahun)

Musim panen, Pernikahan, khitanan, kelahiran,
naik haji, membangun/merehab rumah, dan
kebutuhan mendesak lainnya
 Perempuan: (1) Hutang (2) Uang (3) Beras
 Laki-laki : (1) Hutang (2) Pusing (3) Bayar

Musim panen, Pernikahan, khitanan,
kelahiran

539

Ada

 Perempuan: (1) Simpanan (2) Usaha
(3) Hutang
 Laki-laki : (1) Hutang (2) Simpanan
(3) Pusing

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan – LIPI 2013

Tabel 2. Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan
TIPE
TIPE A
TIPE B
(Nyambungan)
(Gintingan)

CIRI-CIRI
Norma resiprositas
Mengikat
Memaksa
Sanksi tegas
Volume pertukaran pasti
Waktu pengembalian terjadwal
Jaringan
Antar keluarga dan Tetangga dekat
Satu desa
Luar desa
Ikatan antar aktor yang kuat
Kepercayaan (trust)
Ditagih
Dicatat Sendiri
Dicatat Juru Tulis (panitia hajat)
Dicatat oleh Ketua kelompok

TIPE C
(Golongan)

v

v
v

v
v
v
v
v

v
v

v
v
v

v
v
v
v

v
v
v

v
v
v
v

posisi dan peran sosial relatif sama serta saling
bergantian.
Misalnya
peran
sebagai
pengundang (bapak hajat) dan yang diundang
(tamu undangan). Secara garis besar, terdapat
dua bentuk resiprositas, yaitu resiprositas
umum
(generalized
reciprocity)
dan
resiprositas sebanding (balanced reciprocity)
(Damsar, 2009:105).

Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas Ke
Pertukaran Sosial
Bersamaan dengan semakin memudarnya
gotong royong, ternyata modal sosial
gantangan pedesaan ini pun berubah haluan
dari yang semula bersifat sukarela dan tanpa
pamrih, menjadi hutang piutang yang bersifat
wajib. Hampir semua perlengkapan dan
sumber daya manusia yang dikerahkan untuk
menyelenggarakan pesta hajatan kini harus
disewa atau dibayar oleh bapak hajat.
hubungan transaksional lebih dikedepankan
daripada hubungan kedekatan. Orang tidak
akan tergerak membantu tetangganya yang
hajatan jika tidak mendapatkan sesuatu
sebagai timbal baliknya (upah), seperti uang,
beras atau makanan. Bahkan dalam aspek
kehadiran/kedatangan sebagai tamu undangan
pun akan menjadi pertimbangan bagi bapak
hajat. Misalnya, ketika ia hajatan ada tetangga
atau kenalan tidak datang memenuhi
undangan, maka ketika mereka hajatan, bisa
jadi bapak hajat akan membalas untuk tidak
datang.

Resiprositas
umum artinya
kewajiban
memberi atau membantu orang atau kelompok
lain
dengan
tanpa
mengharapkan
pengembalian, pembayaran atau balasan yang
setara dan langsung. Sekalipun terdapat
pamrih dalam melakukan pemberian, namun
tidak ada batasan waktu dan jumlahnya serta
tidak ada mekanisme untuk menagih
pengembaliannya. Resiprositas umum ini
biasanya didorong oleh nilai-nilai dan norma
dalam masyarakat bahwasanya menolong dan
memberi kepada orang lain itu adalah suatu
perbuatan yang dianjurkan dan bernilai sosial
(Smelser, 1990:33-35). Kajian tentang
resiprositas tersebut sangat berkaitan dan
mempengaruhi studi modal sosial, karena
dalam mengukur modal sosial komunitas kita
mau tidak mau akan juga mengukur
bagaimana kepercayaan (trust) diantara
anggotanya yang tercermin dalam kerjasama
dan sistem pertukaran sosialnya (Diekmann,
2004:488). Menurut Bourdieu dan Coleman,
modal sosial merupakan (1) sumber dari

Dalam
Sosiologi
Ekonomi
(ekonomi
distribusi), hubungan timbal balik antar warga
masyarakat seperti dalam modal sosial
gantangan itu disebut sebagai resiprositas.
Hubungan timbal balik tersebut dapat terjadi
antar individu, individu dengan kelompok dan
kelompok dengan kelompok yang memiliki

540

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan – LIPI 2013

segala sesuatunya di dalam buku gantangan.
Setiap orang dalam jaringan resiprositas
sebanding ini telah
mengkalkulasikan
pengorbanan dan keuntungan yang akan
mereka peroleh masing-masing (pertukaran
sosial). Secara teoritis, resiprositas sebanding
ini masih menekankan pada “kesetaraan”
antara apa yang pernah diberikan dengan apa
yang akan diterima (balasan). Namun, secara
praktik, nampaknya resiprositas sebanding ini
menjadi pintu masuk bagi komersialisasi sosial
dan bahkan tidak menutup kemungkinan pada
akhirnya melahirkan eksploitasi sosial dan
ekonomi.

kontrol
sosial
(2)
sumber
yang
menguntungkan bagi keluarga dan (3) sumber
tersebut juga bisa berasal dari jaringan di luar
keluarga (Portes, 2010:44).
Sebaliknya, resiprositas sebanding adalah
kewajiban memberi atau membayar apa yang
orang dan kelompok lain berikan kepada kita,
dan
biasanya
jumlah
dan
waktu
pengembaliannya setara, terjadwal dan
langsung. Resiprositas sebanding inilah potret
yang terjadi dalam modal sosial gantangan di
pedesaan Subang, dimana kewajiban timbal
balik dilakukan dalam sebuah kesepakatan
yang terbuka, setara dan tercatat secara jelas

 Liberalisasi  Revolusi hijau  Swasembada beras
ekonomi

 Belum m uncul

 m uncul sist em
ist ilah/ sist em
pencat at an oleh
gant angan
m asing-m asing
bapak hajat
 Got ong royong
dan t olong
 undangan hajat an
m enolong
berupa rokok
m urni

1970
Pemberian

Resiprosit as um um

 Krisis moneter
 Sist em

 Sist em pancat atan
m ulai dilakukan oleh
juru t ulis hajat an
(gant angan)
 Hajat = kom odit as
 Anak = kom odit as
hajat

1980

1990

Resiprosit as sebanding

 M uncul kelompok-

gant angan
m akin m eluas
 Undangan
dit urunkan
m enjadi vet cin
& sabun colek
 Bandar hajat
berm unculan

kelompok yang
menerapkan
sistem gantangan
( rombol, golongan,
rombongan) secara
eksklusif (jaringan
tertutup)

 Bandar hajat makin
eksis

2000
Kom ersialisasi t ahap I

2010
Kom ersialisasi t ahap II

Gambar 3. Proses Transformasi Pola Pertukaran Sosial Gantangan (pemberian 
komersialiasi) yang seiring dengan perubahan situasi ekonomi secara luas
(nasional)
komersialisasi itu adalah dengan pengesahan
norma hutang-piutang dalam berhajatan secara
terstuktur
dan
kolektif,
sehingga
memungkinkan rumah tangga yang terlibat
untuk mendapatkan keuntungan materi dan
non-materi ketika ia melaksanakan pesta
hajatan dengan sistem gantangan.

Konsep komersialisasi sosial disini bermakna
“menjadikan hubungan-hubungan sosial itu
seperti pasar (hubungan kontraktual), dimana
terdapat mekanisme pembentukan harga dan
berorientasi pada keuntungan” (Badudu-Zain,
1996:707-708, Peny, 1990:134-139). Dalam
konteks pesta hajatan dan modal sosial
Gantangan di pedesaan Subang ini,
komersialisasi sosial berarti bahwa pesta
hajatan di pedesaan Subang ini telah menjadi
komoditas bagi rumah tangga untuk mencari
untung, baik dalam bentuk materi (uang, beras,
dan sembako lainnya) maupun non-materi
(status, gengsi, kehormatan). Mekanisme

Selain
komersialisasi
dalam
komodifikasi hajat (tahap 1),
komersialisasi sosial selanjutnya
masuknya Bandar hajatan (tahap 2)

541

bentuk
bentuk
adalah
dalam

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan – LIPI 2013

jaringan pertukaran4 ini, yakni orang-orang
yang memiliki modal atau memiliki koneksi
dengan pemodal yang menjadikan hajatan
seseorang sebagai pasar untuk mencari untung.
Caranya adalah dengan menawarkan pinjaman
(panjer) modal kepada calon bapak hajat, baik
modal dalam bentuk uang, beras, daging,
hiburan, atau apapun. Dari hubungan panjer
itulah kemudian Bandar tersebut akan
mengikat hasil hajatan, khususnya beras dan
uang, untuk nanti dibeli olehnya (tidak boleh
dijual kepada orang lain). Sebagian hasil
hajatan akan digunakan sebagai pembayaran
pinjaman dan lainnya untuk dujual dengan
harga dibawah harga pasar (sesuai kesepakatan
saat meminta panjer). Perilaku seperti inilah
yang disebut Kunio sebagai perilaku
“menunggangi” (rent seeking) atau kemurahan
hati monopolistik (monopolistic favours)
(Breman & Wiradi, 2004:192). Selain Bandar
hajatan,
hadirnya
kelompok-kelompok
gantangan (tipe golongan) yang diketuai oleh
elit kaya di desa ini telah melahirkan struktur
jaringan pertukaran yang baru dan memberi
peluang pertukaran yang semakin besar
(volume dan jaringannya) bagi lapisan atas
hingga pada akhirnya makin memperkuat
pengaruh dan kekuasaan mereka ditengah
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
desa.

dari desa-desa yang makmur, subur dan
berkembang pertanian padinya. Transformasi
nyambungan menjadi gintingan dan golongan
merupakan akibat dari komersialisasi ekonomi
yang makin masif. Proses komersialisasi sosial
di pedesaan yang tercermin dalam pola
pertukaran sosial gantangan ini merefleksikan
perubahan nilai-nilai masyarakat pedesaan
yang kolektif-idealistik menjadi individualmaterialistik. Perubahan ini menyentuh hampir
seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali
pada komunitas miskin di pedesaan Subang,
baik di pesisir, dataran rendah maupun
perbukitan/pegunungan. Proses perubahan
tersebut dapat digambarkan melalui tipe-tipe
resiprositas yang berkembang, yaitu mulai
melunturnya pemberian murni sebagai ciri
gotong royong dan semakin meningkatnya
resiprositas sebanding dalam pesta hajatan dan
pertukaran gantangan. Komodifikasi hajatan
dan masuknya bandar hajatan semakin
mempertegas bahwa pesta hajatan dan
gantangan di pedesaan Subang ini telah
berubah fungsi dari sekedar syukuran dan
raramean menjadi pasar (market) dalam
sistem ekonomi lokal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Kementrian Negara Riset & Teknologi
(KNRT) RI yang telah memberikan beasiswa
pascasarjana dan juga pembiayaan terhadap
riset ini. Terima kasih juga disampaikan
kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,
M.Sc.Agr (Sosiologi Pedesaan IPB) dan
Hokky Situngkir yang telah memberikan saran
dan masukan untuk penelitian ini.

KESIMPULAN
Pola pertukaran dalam modal sosial gantangan
di tiga desa miskin di Kabupaten Subang
menunjukkan kemiripan satu sama lain, yaitu
hadirnya tiga tipe pertukaran yang disebut
nyambungan, gintingan dan golongan di
masing-masing wilayah (kecuali di Subang
Selatan belum ada pola Golongan). Meskipun
memiliki kemiripan pola, namun secara
historis Subang Utara merupakan titik mula
berkembangnya pertukaran sosial gantangan
hingga kemudian diikuti oleh masyarakat di
Subang bagian Tengah dan Selatan.
Gantangan ini bukan asli tumbuh dari
komunitas desa miskin, melainkan diadopsi

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Subang Dalam Angka. Subang
: Badan Pusat Statistik
Bell, Duran. 1991. Modes of Exchange : Gift
and Commodity. The Journal of
Socio-Economics, vol 20, number
2, pages 155-167
Breman, Jan & Gunawan Wiradi. 2004. Masa
Cerah dan Masa Suram di
Pedesaan Jawa : Studi Kasus
Dinamika Sosio-Ekonomi di Dua
Desa Menjelang Akhir Abad Ke20. Jakarta : LP3ES & KITLV

4

“jaringan pertukaran” merupakan struktur
sosial khusus yang dibentuk oleh dua aktor
atau lebih yang menghubungkan hubungan
pertukaran diantara para aktor (Cook, 1977,
62-82)
542

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan – LIPI 2013

Smelser, J. 1990. Sosiologi Ekonomi. Penerbit
Wira Sari
Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Masalah
Pangan dan Revitalisasi Ilmu
Sosial : Sebuah Usul Untuk
Mengembangkan
Sosiologi
Konvergen. Dalam Revitalisasi
Pertanian dan Dialog Peradaban
Hal 464-479. Jakarta : Penerbit
Kompas
Tjondronegoro, S.M.P. 2008. Ranah Kajian
Sosiologi Pedesaan : 80 tahun
Prof.
Dr.
Sediono
M.P.
Tjondronegoro. Bogor : KPM
IPB
Wolf, Eric R. 1966. Petani : Suatu Tinjauan
Antropologis. Jakarta : CV.
Rajawali & Yayasan Ilmu-Ilmu
Sosial
Zain, Prof. Sutan Mohammad & Prof. Dr. J.S.
Badudu. 1996. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta :
Pustaka
Sinar
Harapan.

Cook, Karen. S. 1977. Exchange and Power in
Networks of Interorganizational
Relations. Washington : The
Sociological Quarterly 18, 62-82
Damsar, Prof. Dr. 2009. Pengantar Sosiologi
Ekonomi. Jakarta : Kencana
Diekmann, Andreas. 2004. The Power of
Reciprocity
:
Fairness,
Reciprocity, and Stakes in
Variants of The Dictator Game.
Journal of Conflict Resolution,
vol 48 no 4, 487-505
Homans, George, C. 1958. Social Behaviour
as Exchange. American Journal
of Sociology
Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial
Kontemporer.
Yogyakarta
:
Penerbit Jendela
Koentjaraningrat.
1982.
Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta : Gramedia
Mauss, Marcel. 1967. The Gift : Forms and
Functions of Exchange in Archaic
Societies. Norton Library
Peny, D.H. 1990. Kemiskinan : Peranan
Sistem Pasar. Jakarta : UI Press
Pincus, Jonathan. 1994. Ekonomi Pedesaan
Asia : Sebuah Tinjauan Ulang.
PRISMA
Majalah
Kajian
Ekonomi dan Sosial, No 3, Maret,
Jakarta ; LP3ES
Popkin, Samuel. L. 1986. Petani Rasional.
Jakarta : Lembaga Penerbit
Yayasan Padamu Negeri
Portes, Alejandro. 2010. Economic Sociology
: A Systematic Inquiry. Princeton
University Press
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010.
Teori Sosiologi Modern. Edisi
Keenam. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
Scott, James. C. 1981. Moral Ekonomi Petani :
Pergolakan dan Subsistensi di
Asia Tenggara. Jakarta : Lembaga
Penelitian,
Pendidikan
dan
Penerangan Ekonomi dan sosial
(LP3ES)
Scott, W Richard & Craig Calhoun. 2004.
Peter Michael Blau 1918-2002 :
A Biographical Memoir, vol 85.
Washington D.C : National
Academies Press

543

Seminar Nasional & Workshop : Peningkatan Inovasi Dalam Menanggulangi Kemiskinan – LIPI 2013

544