BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadaan sosial ekonomi Indonesia telah menunjukkan pada kita semua bahwa sebagian besar aktivitas dunia usaha dewasa ini di Indonesia dilakukan
oleh pelaku usaha yang menyandarkan diri pada ketentuan Buku II dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini membuat kita mau tidak mau
harus mengakui bahwa beberapa bagian dari ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas
dunia usaha, yang bersandar pada Buku II dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata yang mengatur tentang kebendaan dan perikatan
ternyata sangat relevan bagi kehidupan dan aktivitas dunia bisnis dewasa ini. Sebagaimana
diketahui bahwa Buku III KUHPerdata mengenai perikatan
menganut apa yang dinamakan sistem terbuka atau open system, yang berarti bahwa hukum perikatan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
pihak yang bersangkutan, untuk mengadakan hubungan hukum tentang apa saja yang diwujudkan dalam perbuatan hukum atau perjanjian, asalkan tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini terkenal sebagai asas kebebasan berkontrak yang terdapat pada Pasal 1338 ayat
1 KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Perjanjian yang sering dilakukan masyarakat setiap hari adalah perjanjian jual beli, karena salah satu cara untuk mendapatkan suatu benda yang
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah dengan cara menjual atau membeli benda tersebut dari orang lain. Dasar sederhana itulah yang
menjadikan perjanjian jual beli sangat sering dilakukan seseorang dalam kehidupannya. Jual beli dalam Pasal 1457 KUHPerdata menjelaskan pengertian
jual beli, bahwa: “Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”
Pihak yang ada pada perjanjian jual beli, adalah penjual dan pembeli. Untuk mengadakan perjanjian ini, biasanya penjual dan pembeli ini berada dalam
suatu tempat. Sehingga penjual dan pembeli bertemu satu sama lain, dan benda yang dijadikan sebagai obyek dari jual beli juga dibawa oleh penjual dan
diperlihatkan kepada pembeli. Di tempat itulah semua proses jual beli dilakukan antara penjual dengan pembeli. Biasanya tempat yang menjadi transaksi jual beli
adalah pasar. Jual beli termasuk dalam perjanjian konsensuil artinya ia sudah dilahirkan
sebagai suatu perjanjian yang sah mengikat atau mempunyai kekuatan hukum pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur
pokok esentialia yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai barang
yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi, “jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah
pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”
1
Dengan demikian alur proses terjadinya jual beli sangat ringkas sekali yaitu dengan adanya kata sepakat antara penjual dan pembeli, jual beli itu sudah
sah dan telah menimbulkan kewajiban bagi kedua belah pihak. Pihak penjual menyerahkan benda yang dijualnya dan pembeli berkwajiban menyerahkan uang
harga pembelian kepada penjual. Sebelum terciptanya kata sepakat untuk melakukan jual beli, penjual dan
pembeli harus mempunyai itikad baik
2
, karena hal ini penting sekali dalam pemenuhan prestasi dari para pihak dalam suatu perjanjian, apabila pada awalnya
dilakukan dengan niat itikad buruk perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang dirugikan. Oleh sebab itu transaksi dalam jual beli yang
dilakukan antara penjual dengan pembeli wajib terang dan jelas. Terang dan jelas artinya bahwa unsur-unsur pokok dalam jual beli yang diadakan dapat diterima
dengan terang dan jelas baik penjual maupun oleh pembeli. Unsur pokoknya adalah, berapa harga pembelian, apa yang menjadi obyek jual beli beserta,
keadaan obyeknya, kapan waktu dibayarnya harga pembelian dari pembeli kepada penjual dan waktu penyerahan benda sebagai obyek jual beli dari penjual ke
1
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 19, Jakarta: P.T Intermasa .2002.,hal. 79
2
Pasal 1338 Ayat 3 KUH Perdata .
pembeli. Seperti jual beli tanah yang mengandung Syarat Spesialitas
3
. Dengan adanya sifat terang dan jelas dari jual beli tersebut menimbulkan kepastian yang
terang dan jelas pula untuk perlindungan hukum bagi penjual dan pembeli. Jual beli ternak dengan sistem “barosok” dalam proses jual beli ternak di
pasar ternak Kota Payakumbuh, adalah salah satu perjanjian jual beli yang obyeknya hewan ternak. Peristilahan barosok disinonimkan dengan bahasa
Indonesia sama artinya dengan “memegang atau meraba” artinya adalah pada perjanjian jual beli sapi ini dilakukan, kata sepakat antara penjual dan pembeli
tidak diucapkan dengan katakalimat tetapi ditandai dengan jari tangan penjual dan pembeli yang tidak terlihat oleh orang lain. Tegasnya telapak tangan kanan
penjual dan telapak tangan kanan pembeli seperti halnya orang bersalaman dan kedua tangan itu ditutup dengan kain sarung sehingga tidak kelihatan dari luar.
Dalam bersalaman itu jari-jari mereka saling meraba dimana pihak penjual menawarkan dan pihak pembeli menawar. Bial telah terjadi kesepakatan harga
ternak yang jadi obyeknya, maka jari-jari itu berhenti meraba. Dalam proses jual beli ternak ini, penjual dan pembeli bertemu di pasar
ternak. Penjual atau pembeli biasanya memakai kain sarung, sebagai media mereka bertransaksi. Transaksi jual beli ternak ini, yang dimulai dari tawar
menawar harga antara penjual dan pembeli sampai terjadinya kesepakatan dari kedua belah pihak serta juga pembayaran harga pembelian ternak tersebut
dilaksanakan dibawah kain sarung tersebut.
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1,Jakarta: Djambatan,1999, hal.405
Dapat dikatakan proses sepakat jual beli ternak tersebut, dilakukan dengan simbol-simbol tertentu dan diam-diam. Dikarenakan kata sepakat dalam proses
transaksi jual beli yang dilaksanakan oleh penjual dengan pembeli hanya diketahui oleh mereka berdua, begitu juga mengenai harga obyek jual beli dan
kapan penyerahannya. Orang diluar penjual dan pembeli hanya bisa menafsirkan, seandainya ternak telah dibawa oleh pembeli maka dapat ditafsirkan antara
penjual dan pembeli telah terjadi jual beli, sedangkan ensensial dari perjanjian jual beli itu, selain penjual dan pembeli tidak mengetahui sedikitpun apa yang menjadi
hasil dari pertemuan antara penjual dengan pembeli itu, kecuali pembeli atau penjual itu memberitahukannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui dan mengungkapkan permasalahan yang timbul untuk diangkat menjadi tesis yang
berjudul :
“WANPRESTASI PADA PERJANJIAN JUAL BELI TERNAK DENGAN SISTEM “BAROSOK” DI PASAR TERNAK KOTA PAYAKUMBUH
PROVINSI SUMATERA BARAT”
1. Perumusan masalah
Dengan melihat judul yang akan diteliti ditambah apa yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka perumusan masalah yang penulis kemukakan
adalah :
1. Bagaimanakah proses perjanjian jual beli ternak dengan sistem barosok di
Pasar Ternak Kota Payakumbuh, apakah sesuai dengan KUH Perdata? 2.
Bagaimanakah upaya penyelesaian apabila salah satu pihak dalam jual beli ternak dengan sistem barosok wanprestasi?
2. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah:
1. Untuk
mengetahui bagaimanakah proses perjanjian jual beli ternak dengan sistem
barosok di Pasar Ternak Kota Payakumbuh, apakah sesuai dengan KUH Perdata.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya penyelesaian sangketa apabila
salah satu pihak dalam jual beli ternak dengan sistem barosok wanprestasi?
B. Manfaat Penelitian