Latar Belakang ANALISIS YURIDIS NORMATIF TERHADAP PUTUSAN Nomor : 162/Pid.B/2013/PN.PMS DITINJAU DARI PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERKARA PIDANA ANAK

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dibimbing, dilindungi, dan diarahkan agar negeri ini kelak memiliki generasi penerus yang tangguh dan dapat mengabdikan dirinya pada bangsa dan negara. Sebagaimana pendapat Ridwan Mansyur official web Mahkamah Agung, yang menyatakan: Anak adalah bagian warga Negara yang harus di lindungi karena mereka merupakan generasi bangsa yang dimasa yang akan datang akan melanjutkan pemimpinan bangsa Indonesia. Setiap anak disamping wajib mendapatkan pendidikan formal seperti sekolah, juga wajib mendapatkan pendidikan moral sehingga meraka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi bangsa dan negara. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak Convention on the Rights of the Child yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak. 1 Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita jumpai beberapa kasus yang melibatkan anak dalam masalah hukum sehingga tidak menutup kemungkinan pada akhirnya mereka tersangkut dalam masalah pidana. Sebagai generasi bangsa yang harus dilindungi masa depannya, anak diposisikan secara khusus ketika 1 Ridwan Mansyur. Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak. https:www.mahkamahagung.go.id, diakses tanggal 21 Januari 2015. 2 mereka bermasalah dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara ini. salah satunya adalah dalam aspek sistem pemidanaan terhadap anak. Sebagai bentuk kepedulian Negara terhadap generasi penerus bangsa, sampai saat ini pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang- undang No 5 Tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Kemudian, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia HAM. Selanjutnya, ditetapkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada tahun 2012 telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, sebagai payung hukum dalam hal peradilan bagi anak yang bermasalah dengan hukum. Undang-Undang yang diterbitkan pada tahun 2012 ini tentu tidak serta-merta langsung dapat dijalankan dan diberlakukan, karena berdasarkan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, sebuah UU baru dapat benar-benar diberlakukan setelah jeda 2 tahun setelah di- undangkan. Dengan kata lain, bahwa UU No.112012 tentang Sistem Peradilan anak baru dapat dilaksanakan pada tahun 2014. Dengan demikian, untuk kasus pidana anak tetap akan memakai acuan sebelumnya, salah satunya ialah Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 3 Pasal 4 UU No.31997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan: 1 Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin. 2 Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. Batas usia anak sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 4 UU No.31997 di atas pada akhirnya menuai kritik dari berbagai pihak pemerhati anak di Indonesia. Puncaknya adalah dengan adanya permohonan pengujian UU No.31997 tersebut ke Mahkamah Konstitusi MK yang diajukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI dan menghasilkan Putusan Nomor 1PUU- VIII2010. Inti dari putusan tersebut ialah, bahwa batas usia anak sebagaimana tercantum dalam UU No.31997 tentang Pengadilan Anak adalah inkonstitusional kecuali dimaknai sebagai “12 tahun”. Kutipan lengkap dalam Putusan Nomor 1PUU-VIII2010 adalah sebagai berikut:  Menyatakan frasa,”... 8 delapan tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat 1, dan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668, beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “...8 delapan tahun...” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat conditionally unconstitutional, artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 dua belas tahun...”;  Menyatakan frasa,”... 8 delapan tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat 1, dan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668, beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “...8 delapan tahun...” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat conditionally unconstitutional, artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 dua belas tahun...”; 4 Dengan demikian, apabila kita mengacu pada Putusan MK Nomor 1PUU- VIII2010 di atas, bahwa pengertian anak sebagaimana tercantum dalam UU No.31997 tentang Pengadilan Anak adalah ketika umur seseorang belum genap 12 tahun. Atau dengan kata lain, apabila seseorang yang masih berumur di bawah 12 tahun yang bermasalah dengan hukum, maka yang bersangkutan dikategorikan sebagai anak dan tidak dapat diajukan ke persidangan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menangani perkara anak yang bermasalah dengan hukum dimana yang bersangkutan masih dalam batas umur sebagaimana telah dijelaskan di atas belum genap 12 tahun adalah dengan mengambil jalan penyelesaian di luar proses peradilan. Sebagaimana dikemukakan Aniek Periani, bahwa: Konsep Restorative Justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Restorative Justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang. Proses Restorative Justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi kebijaksanaan dan diversi, yaitu membuat peraturan dari bentuk peyimpangan penanganan anak nakal di luar jalur yustisial konvensional atau pengalihan dari proses peradilan pidana keluar dari proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah, sebagaimana dikehendaki dalam Commentary Rule 11 Resolusi PBB 4033. 2 Bagir Manan menjelaskan bahwa : “Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada 2 Mugiman. Implementasi Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. http:fh.unsoed.ac.id, diakses tanggal 27 Maret 2015. 5 ketentuan hukum pidana formal dan materil. Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan. 3 Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu, yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative justice”. Lebih lanjut Bagir Manan dalam tulisannya menguraikan tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain: 4 Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak win-win solutions. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan masalah anak yang bermasalah dengan hukum ABH adalah dengan mediasi penal. DS.Dewi dalam tulisannya menguraikan bahwa: Di Indonesia, yang dimaksud Restorative Justice Keadilan Restoratif adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.... 5 Lebih lanjut mengenai mediasi penal sebagai upaya restorative justice dalam menyelesaikan masalah ABH dijelaskan oleh DS. Dewi bahwa: 6 3 Bagir Manan. 2008. Retorative Justice Suatu Perkenalan, dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir. Jakarta. Perum Percetakan Negara RI. Hal. 4. 4 Ibid, Hal.7. 5 DS.Dewi. Restorative Justice, Diversionary Schemes And Special Children’s Courts In Indonesia. http:www.kemlu.go.id, diakses tanggal 27 Maret 2015. 6 Ibid. 6 Pelaksanaan mediasi penal sebagai instrumen hukum Restorative Justice Keadilan Restoratif adalah diskursus baru dalam sistem hukum Indonesia yang menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif dalam menangani permasalahan ABH, walaupun mediasi sebenarnya bukanlah metode penyelesaian sengketa yang baru dalam sistem hukum Indonesia..... .......Dengan demikian apabila hakim berkeyakinan perkara anak yang diperiksanya telah memenuhi syarat-syarat kriteria Restorative Justice dapat dilakukan mediasi penal dengan cara pendekatan Restoratif Justice di ruang mediasi yang dihadiri pihak-pihak terkait PelakuOrang Tua, KorbanOrang Tua, PK BAPAS, Pembimbing Kemasyarakatan. Jaksa Anak, Hakim Anak, Perwakilan Komunitas Masyarakat RT RW Kepala Desa Guru Tokoh Agama. Dengan demikian, berdasarkan beberapa pemaparan di atas, maka dalam menyelesaikan masalah ABH restorative justice benar-benar harus diupayakan untuk memberikan perlindungan terhadap anak terutama bagi masa depan mereka di tengah masyarakat. Namun dalam kenyataannya, sekalipun ada berbagai macam kaidah hukum yang telah mengatur dan menjelaskan mengenai hal tersebut, masih saja dapat kita jumpai kasus pemidanaan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Salah satunya adalah kasus pemidanaan terhadap Doni Yoga Simangunsong dalam perkara pencurian tahun 2013 yang lalu. Berdasarkan Putusan Hakim Nomor: 162Pid.B2013PN.PMS, terdakwa Doni Yoga Simangunsong masih berusia 11 tahun saat melakukan tindak pidana dalam perkara aquo. Identitas terdakwa sebagaimana tercantum dalam Putusan Hakim Nomor: 162Pid.B2013PN.PMS adalah sebagai berikut: Nama Lengkap : DONI YOGA SIMANGUNSONG Tempat Lahir : Pematang Siantar Umurtanggal lahir : 11 tahun18 Desember 2001 Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Tempat Tinggal : Jl.Kisaran Ujung No.61 Kec,Siantar Marimbun Kota Pematang Siantar 7 Kasus posisi perkara aquo sebagaimana yang termuat dalam Putusan Hakim Nomor: 162Pid.B2013PN.PMS adalah sebagai berikut: Pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2013 sekitar pukul 13.30 Wib di Jl. Medan Area Kel. Proklamasi Kec. Siantar Barat Kota Pematang Siantar, Doni Yoga Simangunsong 11 tahun bersama temannya Rinaldy Sinaga 16 tahun terlibat dalam kasus pencurian 1 satu buah HP Merk Blackberry Gemini warna hitam type 8520, 1 satu unit Labtop Merk Acer type 4620Z4A1G16Mi warna hitam, sepasang sepatu Merk Adidas warna putih, 1 satu potong kaos obolong warna hijau kuning Merk Afro, 1 satu buah celana panjang jeans kuncup warna hitam 1 satu buah tas warna cokelat. Pihak yang menjadi korban dalam perkara aquo adalah sebagai berikut: 1. Rima Novia Panjaitan 2. Retno Wulandari 3. Maringan Panjaitan 4. Hermawati Lubis Terdakwa Doni Yoga Simangunsong dahulunya sempat bekerja dan tinggal di rumah korban. Dan setelah tidak bekerja lagi di sana, terdakwa masih sering berkunjung ke rumah korban di Jl. Medan Area Kel. Proklamasi Kec. Siantar Barat Kota Pematang Siantar. Rumah tersebut adalah milik Maringan Panjaitan, sementara para korban yang lain merupakan anak dari Maringan Panjaitan. Keempat korban tersebut dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Negeri Pematang Siantar. 8 Doni Yoga Simangunsong 11 tahun ditahan sejak tanggal 01 April 2013 sd tanggal 20 April 2013 selama proses penyidikan. Dalam Putusan Hakim Nomor: 162Pid.B2013PN.PMS disebutkan: Terdakwa-terdakwa ditahan di Rumah Tahanan Negara berdasarkan Surat Perintah Penetapan Penahanan oleh : 1. Penyidik sejak tanggal 01 April 2013 sd tanggal 20 April 2013; 2. Perpanjangan Penuntut Umum sejak tanggal 21 April 2013 sd tanggal 30 April 2013 ; 3. Penuntut Umum sejak tanggal 30 April 2013 sd tanggal 09 Mai 2013; Di dalam Putusan Hakim Nomor: 162Pid.B2013PN.PMS, JPU menuntut terdakwa Doni Yoga Simangunsong 11 tahun dengan pasal 363 ayat 1 ke-4e KUHP yo Pasal 4 UURI No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sebagai berikut: 1. Menyatakan terdakwa 1.Rinaldy Sinaga dan terdakwa II Doni Yoga Simangunsong telah terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hu kum bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih “sebagaimana dimaksud dalam dakwaan pasal 363 ayat 1 ke-4e KUHP jo Pasal 4 UURI No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa1.Rinaldy Sinaga dan terdakwa II Doni Yoga Simangunsong dengan pidana penjara masing-masing selama 3 tiga bulan dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani para terdakwa; Dalam amar putusannya, tanggal 5 Juni 2013 Hakim Roziyanti yang memimpin persidangan perkara aquo memutus terdakwa Doni Yoga Simangunsong dengan penjara 2 dua bulan 6 enam hari. Kutipan lengkap dalam Putusan Hakim Nomor: 162Pid.B2013PN.PMS adalah sebagai berikut: MENGADILI : 1. Menyatakan terdakwa 1. RINALDY SINAGA dan terdakwa II.DONI YOGA SIMANGUNSONG terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian Dengan Pemberatan yang dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih” ; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa 1. RINALDY SINAGA dan terdakwa II.DONI YOGA SIMANGUNSONG oleh karena itu 9 dengan pidana penjara masing-masing selama 2 dua bulan dan 6 enam hari dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 3. Memerintahkan supaya terdakwa-terdakwa segera dikeluarkan dari rumah tahanan ; 4. Menetapkan barang bukti berupa :  Sepasang sepatu Merk Adidas warna putih  1 satu potong kaos oblong warna hijau kuning Merk Afro. Digunakan dalam perkara lain ; 5. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa-terdakwa sebesar Rp.1.000.- seribu rupiah; Permasalahan hukum dalam perkara aquo adalah, bahwa terdakwa Doni Yoga Simangunsong adalah anak yang masih berusia 11 tahun. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 1PUU- VIII2010, pengertian anak sebagaimana tercantum dalam UU No.31997 tentang Pengadilan Anak adalah ketika umur seseorang belum genap 12 tahun, atau masih di bawah 12 tahun. Penahanan, proses peradilan, dan pemidanaan yang dijalani oleh Doni Yoga Simangunsong yang masih berusia 11 tahun nampak tidak sesuai dengan prinsip- prinsip perlindungan bagi anak sebagaimana telah diamanatkan oleh perundangan yang berlaku di Indonesia. Bahkan dalam putusan pidananya, hakim sama sekali tidak menyebutkan adanya upaya pemulihan bagi terdakwa sebagaimana yang dimaksud dalam prinsip restorative justice dalam menangani kasus anak yang bermasalah dengan hukum. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Penangkapan penahanan 10 atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir” 7 Marian Liebmann dalam Manshurzikri memberikan rumusan mengenai prinsip dasar restorative justice sebagai berikut: 8 1. Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban. 2. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. 3. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman. 4. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan. 5. Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari kejahatan di masa depan. 6. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak, baik korban maupun pelaku. Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak, konferensi korban-pelaku yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tkoh pemuka dalam masyarakat, dan victim awareness work suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya. Dalam Putusan Hakim Nomor : 162Pid.B2013PN.PMS, Hakim Roziyanti yang memimpin persidangan tidak nampak melakukan upaya pemulihan bagi terdakwa Doni Yoga Simangunsong yang masih berusia 11 tahun, termasuk di dalamnya adalah upaya dalam merekonsiliasi pihak korban dan pelaku sekalipun terdakwa Doni Yoga Simangunsong telah mengaku bersalah dan menyatakan menyesali perbuatannya. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan analisis atas Putusan Hakim Nomor : 162Pid.B2013PN.PMS ditinjau dari perspektif prinsip restorative justice dalam perkara pidana anak, dalam sebuah penulisan 7 Faturorahman. 2012. Pendekatan Restorative Justice Sebagai Alternatif Penanganan Masalah Kenakalan anak. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal.38. 8 Manshurzikri. Restorative Justice Sebagai Mekanisme Penyelesaian Perkara Yang Mengedepankan Kepentingan Perempuan Sebagai Korban Kekerasan Seksual. https:manshurzikri.wordpress.com , diakses tanggal 27 Maret 2015. 11 hukum dengan judul: “Analisis Yuridis Normatif Terhadap Putusan Nomor : 162Pid.B2013PN.PMS Ditinjau Dari Prinsip Restorative Justice Dalam Perkara Pidana Anak ”.

B. Rumusan Masalah