ANALISIS MODEL RESTORATIVE JUSTICE DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK DITINJAU DARI RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN ANAK

(1)

ANALISIS MODELRESTORATIVE JUSTICEDALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK DITINJAU

DARI RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN ANAK

Oleh

RAESTIN SILFANI

Implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam prakteknya cenderung memberikan stigma atas diri anak. Proses stigmatisasi ini berlangsung di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan hingga di tempat pembinaan. Sebagai bentuk kebijakan pemerintah dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak maka pemerintah memberikan kebijakan formulasi Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA) tahun 2010 dengan merumuskan model restorative justice yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak delinkuensi, memberikan alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum. Pemasalahan dalam penelitian ini adalah apakah alasan adanya model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dan bagaimanakah model restorative justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dalam rangka penegakan hukum pidana anak.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Aktivis Lembaga Advokasi Anak (Lada) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.


(2)

Alasan adanya model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai bentuk pembaharuan hukum dalam rangka penegakan hukum pidana anak antara lain: (1) menghindarkan pelanggaran hak asasi anak di setiap tahap proses peradilan, (2) memfokuskan pada kepentingan korban kejahatan, disamping usaha untuk memeperlakukan lebih manusiawi pelaku kejahatan; (3) lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal; (4) memberikan alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum; (5) berprinsip bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem pengadilan anak. Model restorative justicedalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dalam rangka penegakan hukum pidana anak adalah suatu bentuk penyelesaian perkara melalui musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, pembimbing masyarakat, pekerja sosial yang professional, dan relawan sosial berdasarkan prinsip keadilan restorasi, tidak bersifat punitive. Tujuan utamanya adalah pemulihan luka yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatannya dan konsiliasi serta rekonsiliasi dikalangan korban, pelaku dan masyarakat, serta berkehendak untuk merestorasi kesejahteraan masyarakat. Adapun saran yang diberikan penulis yaitu kebijakan perumusan model restorative justice tersebut sebagai pembaharuan hukum pidana di masa mendatang harus benar-benar didasarkan atas bentuk perwujudan suatu keadilan. Aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak dan menggunakan alternatif hukuman seperti keadilan restorativedibanding menggunakanultimum remidium. Konseprestorative justice dalam rangka penegakan hukum pidana anak harus disosialisasikan kembali oleh pemerintah disetiap instansi penegak hukum sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak agar penegakan hukum pidana anak mampu berjalan secara optimal.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak sebagai generasi muda merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan bangsa, dan memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus yang memerlukan perlindungan untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosialnya secara utuh. Anak nakal pelaku tindak pidana yang pada hakikatnya juga adalah sebagai korban, maka perlu perlindungan ketentuan hukum yang tepat baik ketentuan hukum pidana materil maupun hukum pidana formil. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ketentuan jenis sanksi pidana terhadap anak tetap menggunakan ketentuan Pasal 10 KUHP dengan pembatasan yang ditentukan Pasal 45, 46, dan Pasal 47 KUHP.

Sehubungan dengan hal itu, berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ketentuan sanksi pidana dan tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana sudah ditentukan tersendiri yang berbeda dengan ketentuan KUHP sebagai wujud dari perlindungan yang bersifat khusus kepada anak. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai.


(4)

Tujuan dibuatnya ketentuan pidana dan tindakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berbeda dengan ketentuan pidana dalam KUHP, dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak. Selain itu, menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Sehubungan dengan hal di atas, sebagai bentuk sanksi hukum terhadap anak pelaku tindak pidana, merupakan ketentuan baru yang selama ini di dalam KUHP tidak ditentukan khusus terhadap anak. Pidana terhadap anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diatur dalam Pasal 23 ayat (2) yaitu: Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: 1. pidana penjara;

2. pidana kurungan; 3. pidana denda; atau 4. pidana pengawasan.

Ketentuan dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjelaskan bahwa “selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.” Ketentuan mengenai tindakan terhadap anak, Pasal 24 Ayat (1)


(5)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjelaskan bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidian, pembinaan, dan latihan kerja.

Berdasarkan ketentuan sanksi dan tindakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut, eksistensinya sangat menentukan dalam perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mencabut Pasal 45,46, dan 47 KUHP yang mengatur straf modus dan straf sort tentang sistem pemidanaan untuk anak, dengan tujuan semata-mata untuk memberikan perlindungan dari stigma pada jiwa anak dalam menjalani proses perkara pidana. Namun setelah berjalan selama 10 tahun undang-undang tersebut, pada tataran implementasinya dirasakan tidak dapat memenuhi tujuan dilahirkannya undang-undang; dimaksud, karena pendekatan yuridis formal lebih ditonjolkan dan tertutup dilakukannya upaya diskresi dalam mencari solusi perkara anak nakal.

Sehubungan dengan hal itu, sebagai bentuk kebijakan pemerintah dalam mencari solusi perkara anak nakal maka dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA) tahun 2010 merumuskan model peradilan restorativeyang lebih


(6)

menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum. Model peradilan restorativeini, pada tataranius constotuendumperadilan anak Indonesia adalah suatu pemikiran dalam rangka perumusan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA).

Berkaitan dengan hal itu, penegakan hukum terhadap anak di Indonesia sampai pada tahun 2010 masih banyak mengalami problematika. Hal ini terlihat dari beberapa fakta kasus anak yang terjadi sebagaimana diberitakan oleh Harian Kompas 6 Februari 2010 mengenai kasus Raju, yakni anak berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Sumut itu sebenarnya sudah prosudural, sesuai dengan ketentuan hukum peradilan anak yang berlaku namun tetap timbul berbagai protes dari para pemerhati anak Indonesia (Harian Kompas, 6 Februari 2010).

Bertolak dari kasus di atas, telah menimbulkan berbagai tanggapan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang bermunculan dari para pemerhati anak di negeri ini. Aparat penegak hukum sudah melakukan tugasnya dengan baik, tetapi justru menimbulkan masalah lain. Ketua Komnas Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus Raju dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-Undang Pengadilan Anak. Berbagai kelemahan formulasi corak atau model sistem Pengadilan Anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang


(7)

Pengadilan Anak kembali dipertaruhkan, padahal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini dianggap formulator sebagai model peradilan anak yang lebih baik dari KUHP yang berkaiatan dengan masalah pengaturan tentang tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya, sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyangkut masalah proses hukum terutama Pasal 50 s/d 68 selain Pasal 64 KUHAP.

Sehubungan dengan hal itu, ketidakpuasan sistem pengadilan anak di Indonesia yang ada pada ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut, tentu saja tidak luput dari mempermasalahkan penegakan hukum pidana terhadap anak melalui jalur penal yang diwujudkan dalam sistem peradilan pidana anak (juvenile justice system). Diterapkannya proses peradilan formal secara mutlak setiap kasus anak nakal dengan dijatuhi pidana penjara pembinaannya harus dilakukan di lembaga pemasyarakatan khusus anak, jaminan terhindarnya dari stigmatisasi dan mempengaruhi criminal track-record anak dengan kondisi pelayanan Lembaga Pemasyarakatan Anak saat ini masih menjadi permasalahan.

Berkaitan dengan hal di atas, sebagai sutau gambaran yakni pada Lembaga Pemasyarakatan (LP) Khusus anak ternyata ditemukan tidak semua anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan dan bina di LP Anak, berarti anak-anak lainnya berada dalam LP bukan khusus untuk anak termasuk pembinaannya. Dalam penelitiannya Paulus juga telah mewawancarai terhadap anak-anak tersebut, sebagian besar menyatakan bahwa pengalaman mereka mengindikasikan


(8)

bahwa perlakuan para aparat penegak hukum terhadap mereka selama dalam proses pemidanaan (sejak dari Kepolisian, Kejaksaan hingga Pengadilan) cenderung kurang dihargai pribadinya sebagai anak.

Berdasarkan hal tersebut, dari berbagai instansi subsistem peradilan pidana anak menunjukkan bahwa persyaratan profesionalitas aparat penegak hukum di bidang anak tidak terpenuhi, persyaratan sebagai penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak hanya berdasarkan formalitas saja, artinya bahwa penunjukan penyidik anak, penunutut umum anak dan hakim anak hanya berdasarkan atas Surat Penunjukkan dari atasan mereka masing-masing dan tidak dilihat akan komitmen dan pemahamannya terhadap permasalahan anak-anak seperti disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Berdasarkan uraian di atas, implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam prakteknya cenderung memberikan stigma atas diri anak. Proses stigmatisasi ini berlangsung di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan hingga di tempat pembinaan. Keadaan ini tentunya akan sangat merugikan perkembangan jiwa anak pelaku di masa datang. Dari kajian kriminologi mengisyaratkan bahwa stigmatisasi atas diri anak pelaku delinkuen disamping akan membekas bagi jiwa anak, juga sangat potensial seabagai faktor kriminogen melalui proses yang disebut “self-fulfiling prophecy” anak cenderung mengindentifikasikan dirinya sesuai dengan kepribadian buruknya dan akan mengulangi lagi perbuatan kenakalannya di masa mendatang (secondary deviance).


(9)

Ketentuan ius constitutum mengenai Pengadilan Anak saat ini tidak efektif sebaimana yang digariskan pada konsiderans dan penjelasan Undang-Undang itu sendiri, disebabkan pada undang-undang itu tidak memberikan ruang dan jalan keluar untuk melakukan diskresi dan diversi kepada hakim setelah melihat penilaian BAPAS. Padahal diskresi dan diversi merupakan penahan bagi anak-anak pelaku delinkuen tertentu, untuk terhindar dari proses konvensional system peradilan pidana anak yang lazimnya memiliki dampak negatif terhadap terjadinya stigmatisasi anak. Sebaliknya pada tataran ius operatum ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, penegakan hukumnya belum mampu dilakukan oleh aparat penegak hukum yang profesional membidangi anak sebagaimana dikehendaki undang-undang itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul “Analisis Model Restorative Justice dalam Rangka Penegakan Hukum Pidana Terhadap Anak Ditinjau dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah alasan adanya model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai bentuk pembaharuan hukum dalam rangka penegakan hukum pidana anak?


(10)

b. Bagaimanakah model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dalam rangka penegakan hukum pidana anak?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana meteriil dan hukum pidana formil dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya hanya terbatas pada alasan adanya model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai bentuk pembaharuan hukum dalam rangka penegakan hukum pidana anak dan model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dalam rangka penegakan hukum pidana anak. Ruang lingkup tempat penelitian skripsi ini adalah pada wilayah hukum Provinsi Lampung khususnya pada Lembaga Pengadilan Negeri Kelas 1 A Tanjung Karang, Lembaga Advokasi Anak Bandar Lampung, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui alasan adanya modelRestorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai bentuk pembaharuan hukum dalam rangka penegakan hukum pidana anak.

b. Untuk mengetahui model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dalam rangka penegakan hukum pidana anak.


(11)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang model Restorative Justice dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak ditinjau dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak.

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penulisan skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan


(12)

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto,1986: 125).

Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori penegakan hukum, teori formulasi (formula theory), dan teori tujuan pemidanaan.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaa hukum dapat berlangsung secara normal dan damai tetapi dapat terjadi juga pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi suatu kenyataan.

Menurut Satjipto Raharjo (1980: 15) dalam usaha menegakkan hukum terdapat tiga hal utama yang harus diperhatikan dan menjadi asas dasar hukum yaitu: 1. Kepastian Hukum(Rechtssicherheit)

2. Kemanfaatan(Zweckmassigkeit) 3. Keadilan(Gerechtigkeit)

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto (1986: 5), penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun pada kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu popular. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan


(13)

perundangan-undangan atau keputusan-keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru megganggu kedamaian dalam pergaulan hidup.

Menurut Sudarto (1986: 111), bahwa upaya penegakan hukum pidana di Indonesia dilaksanakan secara preventif (non penal) yaitu pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dengan lebih diarahkan kepada proses sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya yang mengatur mengenai kesusilaan dan secara represif (penal) yaitu pemberantasan setelah terjadinya kejahatan) dengan dilakukannya penyidikan oleh penyidik kepolisian yang untuk selanjutnya dapat diproses melalui pengadilan dan diberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif (1984: 157), secara umum dilihat dari segi fungsionalisasi, pengoperasian dan penegakan sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Formulasi, yaitu tahap perumusan atau penetapan pidana oleh pembuat undang-undang (sebagai kebijakan legislatif).

2. Tahap aplikasi, yaitu tahap pemberian pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikal).

3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwenang (sebagai kebijakan eksekutif).

Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek tersebut secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.


(14)

Berdasarkan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian moril yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan, maupun oleh aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sehubungan dengan hal di atas, dalam teori formulasi (formula theory) menjelaskan bahwa penegakan hukum pidana khususnya dalam rangka pembaharuan hukum diartikan sebagai sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara. Modelrestorative justice merupakan suatu bentuk terobosan baru dalam pengadilan anak yang tujuan khususnya adalah untuk penegakan hukum pidana anak. Modelrestorative justice tersebut dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA).

Model pengadilan anak restorative bertolak dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Latar belakang yang menjadi dasar pada model restorative ini adalah mewujudkan keadilan yang


(15)

terpadu, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem pengadilan anak.

Sehubungan dengan hal itu, jika dilihat dari tujuan pemidanaan, sebagai bentuk kebijakan pemerintah dalam mencari solusi perkara anak nakal maka dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA) tahun 2010 merumuskan model restorative yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum. Dalam teori tujuan pemidanaan yang mencakup beberapa teori antara lain:

1. Teori absolut 2. Teori pembalasan 3. Teori relatif 4. Teori gabungan

a. Teori Absolut atau Teori pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan atau tindak pidana yang dilakukan seseorang. Ada pemidanaan karena ada pelanggaran hukum, ini merupakan tuntutan keadilan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak dari adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri, terlepas dari manfaat yang harus dicapai.

Menurut Imanuel Kant memandang pidana sebagai ”Kategorische imperatif” yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena telah melakukan kejahatan,


(16)

sehingga pidana menunjukkan suatu tuntutan. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat pada pendapat Imanuel Kant (Muladi dan Barda Nawawi, 1984:11) dalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai berikut:

“... pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.”

Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah (Djisman Samosir, 1992: 9) juga memberikan pendapat sebagai berikut:

“teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak ada, karena melakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.”

b. Teori Relatif

Menurut teori relatif suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Memidana bukanlah sekedar untuk pembalasan saja tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pembalasan itu sendiri tidak memiliki nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Johan Andeneas (Muladi dan Barda Nawawi, 1984:16) teori ini disebut juga sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Karena teori ini juga memasyarakatkan adanya tujuan dalam pemidanaan maka sering juga disebut sebagai teori tujuan (utilitarian theory).

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuanya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan).


(17)

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan menjadi dua istilah, yakni :

1) Prevensi/pencegahan umum (Generale Preventie)

Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut-nakuti, dalam hal ini berarti pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Muladi dan Barda Nawawi, 1984:18).

Johan Andreas (1998:18) terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu :

1. Pengaruh pencegahan;

2. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

3. Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh terhadap hukum.

2) Prevensi/pencegahan khusus (speciale preventie)

Prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana ditujukan terhadap terpidana, yang menekankan tujuan pidana adalah agar terpidana tidak mengulangi perbuatanya lagi. Fungsinya untuk mendidik dan memperbaiki terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martbatnya. Teori tujuan pidana ini dikenal pula dengan sebutan reformationataurehabilitation theory(Muladi dan Barda Nawawi, 1984:18).


(18)

c. Teori Gabungan

Teori gabungan adalah suatu kombinasi dari teori absolut dan teori relatif. Menuirut teori gabungan, tujuan pemidanaan selai membahas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban, dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil (Djisman Samosir, 1992:13)

Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruhi (Andi Hamzah, 1986:22-23), yakni :

1) Teori gabungan menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi sifatnya berguna bagi masyarakat. Zeverbergen mengatakan, bahwa makna tiap-tiap pidana untuk melindungi tata hukum dan pemerintah.

2) Teori gabungan yang menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuanya ialah melindungi kesejahteraan masyarakat. Menurut Vos, pidana berfungsi sebagai pencegahan umum.

3) Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat.

Begitu pula Roeslan Saleh (Muladi dan Barda Nawawi, 1984:22) mengemukakan dalam bukunya yang berjudul “Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana”, bahwa pidana hakekatnya terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana, yakni :

a). Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.


(19)

b). Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.

Berdasarkan hal tersebut, teori tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dalam usaha pembaharuan hukum khususnya hukum pidana anak di Indonesia, pidana merupakan salah satu masalah urgen untuk diperbaharui. Oleh sebab itu, dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak jenis pidana dan aturan pemidanaan mengalami perombakan total yang signifikan serta mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Perumusan model peradilan restoratif juga berkehendak untuk merestorasi kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan pelaku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132).

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:


(20)

a. Analisis

Analisis adalah Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32)

b. ModelRestorative Justice

Ketentuan dalam Pasal 1 butir 4 Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak 2010 menjelaskan bahwa Restorative Justice adalah suatu proses restorasi penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (non litigasi). Model Restorative Justice diperjelas lagi dalam Pasal 8 Ayat (1) RUUPA yaitu suatu proses penyelesaian perkara melalui musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, pembimbing masyarakat, pekerja sosial yang professional, dan relawan social berdasarkan prinsip keadilan restorasi.

c. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan Hukum Pidana adalah Penegakan Hukum Pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut (Sudarto, 1986: 60)


(21)

d. Anak

Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang latar belakang model Restorative Justicedalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak ditinjau dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang penegertian anak, pengertian model Restorative


(22)

Justice, tinjauan umum model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak, teori-teori tentang pidana dan pemidanaan, model Restorative Justicedalam sistem peradilan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui alasan dasar perumusan model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai bentuk pembaharuan hukum dalam rangka penegakan hukum pidana anak, dan untuk mengetahui tujuan perumusan model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dalam rangka penegakan hukum pidana anak.

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Andreas, Johan. 1998.Hukum Pidana Indonesia. UI Press. Jakarta. Hamzah, Andi. 1986.Hukum Acara Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Jakarta.

Samosir, Djisman. 1992.Teori-Teori Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Sudarto. 1986. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang.

Raharjo, Satjipto. 1980. Hukum Pidana Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.

________________ 1995. Kejahatan dan Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA) 2010 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anak

Anak dalam pengertian yang umum tidak saja mendapat perhatian dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat juga ditelaah dari sisi pandang sentralis kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologisnya yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Dalam masyarakat, kedudukan anak memiliki makna dari subsistem hukum yang ada dalam lingkungan perundang-undangan dan subsistem sosial kemasyrakatan yang universal.

Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum sebagai subjek hukum. Kedudukan anak dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pengertian anak menurut UUD 1945

Pengertian anak atau kedudukan anak yang ditetapkan menurut UUD 1945 terdapat dalam kebijaksanaan Pasal 34. Pasal ini mempunyai makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang politik, karena yang menjadi esensi dasar kedudukan anak adalah subjek hukum dari sistem hukum nasional yang harus dilindungi,dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak.


(25)

Pengertian ini melahirkan atau menonjolkan hak-hak yang harus diperoleh anak dari masyarakat, bangsa dan negara.

2. Pengertian anak menurut hukum perdata

Pengelompokan anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah :

a. Status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum b. Hak-hak anak dalam hukum perdata

Ketentuan dalam Pasal 330 Ayat (1) KUHPdt mendudukan status anak sebagai berikut “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin...”

3. Pengertian anak menurut hukum pidana

Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pengertian anak adalah :

1. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 Tahun.

2. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 Tahun.


(26)

3. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 Tahun.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengklarifikasikan pengertian anak nakal adalah orang yang dalam perkara telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Anak nakal adalah:

1. Anak yang yang melakukan tindak pidana

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dimasyarakat.

4. Pengertian Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harrkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

B. PengertianRestorative Justice

Berdasarkan ketentuan umum Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak menjelaskan bahwaRestorative Justice adalah suatu proses restorasi penyelesaian


(27)

perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (non litigasi).

Gordon Bazomore dalam tulisannya “Three Paradigma of Juvenile Justice” memperkenalkan tiga corak atau model peradilan anak, yaitu:

1. Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) 2. Model retributive (retributive model)

3. Model restorative (restorative model)

Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) dan model retributive (retributive model) telah mempercayakan campur tangan peradilan anak dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan tentang peradilan anak. Di dalam model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak dilihat sebagai suatu agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samara-samar, pembinaan dilandaskan pada caramedik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak. Atas dasar itu delinkuensi anak dipandang sebagai simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang membutuhkan pelayanan terapeutik untuk mengkoreksi gangguan-gangguan yang ada sebelumnya.

C. Tinjauan Umum Model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mencabut Pasal 45,46, dan 47 KUHP yang mengatur straf modus dan straf sort tentang sistem pemidanaan untuk anak, dengan tujuan semata-mata untuk memberikan perlindungan dari stigma pada jiwa anak dalam menjalani proses perkara pidana.


(28)

Namun setelah berjalan selama 10 tahun undang-undang tersebut, pada tataran implementasinya dirasakan tidak dapat memenuhi tujuan dilahirkannya undang-undang; dimaksud, karena pendekatan yuridis formal lebih ditonjolkan dan tertutup dilakukannya upaya diskresi dalam mencari solusi perkara anak nakal.

Sehubungan dengan hal itu, sebagai bentuk kebijakan pemerintah dalam mencari solusi perkara anak nakal maka dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA) tahun 2010 merumuskan model peradilan restorativeyang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum. Model peradilan restorativeini, pada tataranius constotuendumperadilan anak Indonesia adalah suatu pemikiran dalam rangka perumusan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA).

Model peradilan restorative yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternatif diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum. Model restorative ini, pada tataran ius constotuendumperadilan anak Indonesia adalah suatu pembaharuan dalam rangka perumusan undang-undang peradilan anak.

Model peradilan anak restorative berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar pada model peradilan restorative ini bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan


(29)

dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.

Ciri pembeda model restorative dengan kedua model lainnya terletak pada sisi pandang terhadap perilaku delinkuensi anak. Menurut model restorative, perilaku delinkuensi anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restorative terhadap delinkuensi terarah pada perbaikan kerugian itu dan penyembuhan luka masyarakat. Model restorative tidak bersifat punitive, tujuan utamanya adalah perbaikan luka yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diakibatkan oleh perbuatannya dan konsiliasi serta rekonsiliasi dikalangan korban, pelaku dan masyarakat. Model peradilan restoratif juga berkehendak untuk merestorasi kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan pelaku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses.

Konsep restorative justice telah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justicesebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.


(30)

Model restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.

D. Teori-Teori Tentang Pidana Dan Pemidanaan

Teori hukum pidana menjelaskan bahwa seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.

Kesengajaan itu secara alternatif, dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana. Adapun teori-teori yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain:

1. Teori Kehendak (willstheorie)

Teori kehandak yang diajarkan oleh Von Hippel (Chairul Huda, 2009: 47) dengan karanganya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” menerangkan


(31)

bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat dikatakan bahwa ia menghendaki akibatnaya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.

2. Teori Pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie)

Teori Pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre” menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.

Menurt teori kehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut teori pengetahuan/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie) bahwa aakibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat hanya dapat ditujukan kepada perbuatan saja.

Sehubungan dengan hal tersbut, menurut Noodle Frank (Chairul Huda, 2009: 55) memberikan pendapat mengenai teori kehendak (willstheorie) sebagai berikut:

“...dalam kehidupan sehari-hari seseorang yang hendak membunuh orang lain, lalu menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah


(32)

sasaran, maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul karena meleset pelurunya, yang oleh karena itu si pembuat bukannya menghendaki akibatnya melainkan hanya dapat membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul. Akibat mati seperti itu tidak tergantung pada kehendak manusia, dan tepatlah alam pikiran dari voorstellingstheorie.De voorstellingstheoriedari Frank menjadi teori yang banyak penganutnya, dan untuk teori ini diikuti jalan piikiran bahwa voorstellingstheorie lebih memuaskan karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu, lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alsan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan”.

Teori tentang hukuman atau pemidaaan menjelaskan bahwa hukuman sebaiknya didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masarakat, yang diterapkan dengan menggabungkan salah satu unsur tanpa memberatkan unsur lain sehingga tujuan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan hukum dapat tercapai (Kartosapoetra, 1988: 55).

Sehubungan dengan hal tersebut, pada dasarnya masalah pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang dimasyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan. Pada masa sekarang ini telah umum diterima pendapat bahwa yang menjatuhkan pidana adalah negara atau pemerintah dengan perantaraan alat-alat hukum pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana selalu dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut : Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan


(33)

hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain, pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu (Kartosapoetra, 1988: 62).

Menurut Chairul Huda (2009: 57) dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Di dalam pemidanaan terdapat beberapa teori antara lain teori teori absolut, teori pembalasan, teori relatif, dan teori gabungan.

Berkaitan dengan hal tersebut, teori tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dikemukakan oleh Tolib Setiady (2010: 61), maka dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia, pidana merupakan salah satu masalah urgen untuk diperbaharui. Oleh sebab itu, dalam Konsep KUHP Tahun 2010, jenis pidana dan aturan pemidanaan mengalami perombakan total yang signifikan serta mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia. Beberapa perkembangan mengenai pidana dan pemidanaan dalam Konsep KUHP Tahun 2010 itu di antaranya sebagai berikut:


(34)

a. Teori Tujuan Pemidanaan

Konsep KUHP Tahun 2010 menjelaskan bahwa tujuan pemidanaan dalam Pasal 54 yaitu untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

b. Teori Pedoman Pemidanaan

Konsep KUHP Tahun 2010 menjelaskan bahwa pedoman pemidanaan dalam Pasal 55 yang dapat dijadikan acuan bagi hakim dalam memberikan pidana. Pedoman pemidanaan itu adalah hakim harus memperhatikan kesalahan pelaku tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pelaku tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana, pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan, pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Menurut Tolib Setiady (2010: 70), teori tujuan dan pedoman pemidanaan ini merupakan implementasi ide dan teori individualisasi pidana yang belum dikenal (belum dicantumkan) dalam KUHP sekarang. Dirumuskannya


(35)

pedoman pemidanaan dalam Konsep KUHP Tahun 2010 bertolak dari pokok pemikiran bahwa:

1) Pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive system). Dirumuskannya pidana aturan pemidanaan dalam undang-undang pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, oleh karena itu perlu dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan. 2) Secara fungsional dan operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian

proses dan kebijaksanaan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalaui tahap “formulasi” oleh pembuat undang-undang, tahap “aplikasi” oleh aparat yang berwenang dan tahap “eksekusi” atau aparat pelaksana pidana. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.

3) Sistem pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana tidak berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aparat-aparat lainnya tanpa pedoman atau kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendali/kontrol” dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah

E. ModelRestorative Justicedalam Sistem Peradilan Pidana

Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.


(36)

Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal justice system adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.

Menurut Musawir (2003: 14), sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Tujuannya sebagai berikut:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatannya.

Sistem peradilan pidana tersebut merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya ada aparatur hukum, advokat, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan (Barda Nawawi Arif, 2002: 75).


(37)

Berkaitan dengan sistem peradilan pidana di atas maka penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dengan memperkenalkan model restorative Justice dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (criminal law reform), khususnya pembaharuan hukum pidana anak. Pembaharuan hukum pidana (criminal law reform), pada hakikatnya di samping menggantikan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, juga merupakan bagian integral dari ide dan tujuan yang lebih besar, yaitu kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan sistem hukum nasional yang modern yang mengandung pula elemen nuansa negara yang berdaulat dan demokratis, baik yang berkaitan dengan struktur, substansi maupun kultur hukumnya (Chairul Huda, 2009: 97).

Model peradilan restorative yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum. Model peradilan restorative ini, pada tataran ius constotuendum peradilan anak Indonesia adalah suatu perkembangan dalam rangka perumusan undang-undang peradilan anak.

Adapun pengaturan masalah pidana dan tindakan dengan modelrestorative justice dalam sistem peradilan pidana antara lain :

1. Tujuan Pemidanaan (The Aim of Punishment).

Tujuan pemidanaan bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan purposive system atau teleological system dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak 2010 merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu perlindungan hak anak (general prevention) dan perlindungan/pembinaan individu anak(special prevention).


(38)

2. Syarat Pemidanaan.

Jika tujuan pemidanaan bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok, maka syarat pemidanaan menurut Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak 2010 juga bertolak dari keseimbangan mono-dualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Oleh karena itu, syarat pemidanaan didasarkan pada dua pilar atau asas yang sangat fundamental, yaitu asas legalitas (yang merupakan asas kemasyaraktan) dan asas kesalahan atau culpabilitas (yang merupakan asas kemanusiaan atau individual).

3. Pengembangan sanksi-sanksi alternative (alternative sanctions) terhadap pidana kemerdekaan (imprisonment) jangka pendek di bawah satu tahun (short prison sentence), berupa pidana pengawasan, pidana kerja sosial dan pidana denda, untuk menghindari daya destruktif dari pidana pernjara.

4. Dalam rangka perkembangan HAM yang berkaitan dengan anak, maka secara eksplisit diadakan pengaturan tentang juvenile justice berupa Pidana dan Tindakan Bagi Anak. Dalam hal ini juga ditegaskan batas minimum umum pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal respomsibility), yaitu 12 tahun.

5. Di samping pengembangan di bidang jenis pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (strafmodus), juga dikembangkan sistem tindakan (maatregelstelsel), yang meliputi baik yang berkaitan tindakan bersifat mandiri sehubungan kekurangmampuan bertanggungjawab maupun tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok dengan pertimbangan kemanfaatan. Sistem ini dikenal sebagai system dua jalur(double-track system)(Chairul Huda, 2009: 102).

Model Restorative Justice sebagai bentuk diskresi yang dikenal dalam proses hukum, merupakan salah satu prinsip pengecualian yang perlu dipikirkan sebagai konsep proses peradilan anak pada tataran ius constituendum. Model restorative justice adalah salah satu model peradilan anak, dalam rangka melindungi anak agar terhindar dari trauma psikis dan pandangan sebagai mantan residivis.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Jakarta.

Huda, Chairul. 2009.Restorative Justice Sebagai Pembaharuan Hukum. UI Press. Jakarta.

Kartosapoetra. 1988.Teori Hukum dan Kriminal. Rineka Cipta. Jakarta.

Musawir. 2003.Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Jakarta. Setiady, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta.

Bandung

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA) 2010 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya (Soerjono Soekanto, 1986: 43).

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah model restorative justice dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak ditinjau dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak. Selain itu juga pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan hukum serta hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan melalui penelitian lapangan yang dilakukan untuk mempelajari hukum


(41)

dalam kenyataan baik berupa penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan model restorative justice dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak ditinjau dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat di lihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1986: 11).

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu: 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap aparat penegak hukum yang terkait dengan model restorative justice dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak ditinjau dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak.

2. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :


(42)

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 4. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 5. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 6. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 172) yang dimaksud dengan populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama.


(43)

Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan modelrestorative justicedalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak ditinjau dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak. Penentuan populasi dalam penelitian ini adalah: Hakim, Jaksa, serta Akademisi.

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya sampel. Adapun sampel dari penelitian ini adalah Aktivis Lembaga Advokasi Anak (Lada), Hakim dari Pengadilan Negeri, Jaksa dari Kejaksaan Negeri, serta Akademisi dari Universitas Lampung. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1987: 172) memberikan pengertian mengenai sampel yaitu sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Sehubungan dengan itu, Burhan Ashshofa (1996: 91) memberikan pengertian mengenai prosedur sampling dalam penelitian adalah Purposive Sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 4 (empat) orang, yaitu: 1. Aktivis Lembaga Advokasi Anak (Lada) = 1 orang 2. Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang 3. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 1 orang 4. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +


(44)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, perundang-undangan, buku-buku, media massa dan bahas tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.


(45)

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah mengolahan data selesai maka dilakukan analisis data. Data yang diperoleh secara analisis kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai model Restorative Justicedalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak ditinjau dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya. Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989.Metode Penelitian Survey. Jakarta Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.


(47)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Alasan adanya model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai bentuk pembaharuan hukum dalam rangka penegakan hukum pidana anak antara lain:

a. Dalam proses peradilan cenderung terjadi pelanggaran hak asasi manusia bahkan banyak bukti menunjukkan ada praktek kekerasan dan penyiksaan terhadap anak yang masuk dalam mesin peradilan;

b. Perspektif anak belum mewarnai proses peradilan; Penjara yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak mencapai proses pendewasaan yang diharapkan; c. Selama proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum kehilangan

hak-hak dasarnya seperti komunikasi dengan orang tua, hak memperoleh pendidikan, dan hak kesehatan;

d. Ada stigma yang melekat pada anak setelah selesai proses peradilan sehingga akan menyulitkan dalam perkembangan psikis dan sosial ke depannya.

e. Model restorative justice memfokuskan pada kepentingan korban kejahatan, disamping usaha untuk memeperlakukan lebih manusiawi pelaku kejahatan.

f. Model restorative justice lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternative diversi sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum.

g. Model restorative justice ini, pada tataran ius constotuendum pengadilan anak Indonesia adalah suatu pemikiran dalam rangka perumusan Undang-Undang Pengadilan Anak.


(48)

h. Model restorative justice bertolak dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensianak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat.

i. Model restorative justice berprinsip bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan pidana anak. 2. Model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan

Anak dalam rangka penegakan hukum pidana anak merupakan suatu proses penyelesaian perkara melalui musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, pembimbing masyarakat, pekerja sosial yang professional, dan relawan sosial berdasarkan prinsip keadilan restorasi. Model restorative justicemerupakan suatu proses restorasi penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (non litigasi), model restorative justice tidak bersifat punitive (tidak bersifat pembalasan dengan sanksi pidana), tujuan utama model restorative justice adalah perbaikan luka yang diderita oleh korban. Dalam model restorative justice pengakuan pelaku terhadap luka yang diakibatkan oleh perbuatannya dan konsiliasi serta rekonsiliasi dikalangan korban, pelaku dan masyarakat. Model restorative justice tersebut berkehendak untuk merestorasi kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan pelaku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses peradilan pidana anak.


(49)

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan analisis model restorative justice dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap anak ditinjau dari rancangan undang-undang pengadilan anak sebagai berikut:

1. Kebijakan perumusan modelrestorative justice tersebut sebagai pembaharuan hukum pidana di masa mendatang harus benar-benar didasarkan atas bentuk perwujudan suatu keadilan, karena beberapa fakta perkara pidana yang terjadi sekarang ini adalah menyimpangnya teori keadilan hukum dalam proses peradilan pidana anak. Aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak dan menggunakan alternatif hukuman seperti keadilan restorative dibanding menggunakan ultimum remidium.

2. Dalam menegakkan hukum setiap penegak hukum juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat nilai-nilai kemanusiaan serta harus memperhatikan substansi peraturan perundang-undangan dan instrument hukum lainnya tentang anak agar penegakan hukum pidana anak berjalan secara optimal sehingga tidak terjadi kriminalisasi terhadap anak. Konsep restorative justice dalam rangka penegakan hukum pidana anak harus disosialisasikan kembali oleh pemerintah disetiap instansi penegak hukum sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak agar penegakan hukum pidana anak mampu berjalan secara optimal.


(50)

(51)

PENGADILAN ANAK (Skripsi)

oleh Raestin Silfani

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(52)

PENGADILAN ANAK

Oleh Raestin Silfani

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(53)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan ... 19

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak ... 22

B. PengertianRestorative Justice... 24

C. Tinjauan Umum ModelRestorative Justicedalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak ... 25

D. Teori-Teori Tentang Pidana Dan Pemidanaan... 28

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah ... 38

B. Sumber dan Jenis Data ... 39

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 40

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 42

E. Analisis Data ... 43 DAFTAR PUSTAKA


(54)

B. Alasan Adanya Model Restorative Justice dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai Bentuk Pembaharuan Hukum dalam Rangka Penegakan Hukum Pidana Anak ... 47 C. ModelRestorative Justicedalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan

Anak dalam Rangka Penegakan Hukum Pidana Anak ... 60 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 68 B. Saran ... 70


(55)

UNDANG-UNDANG PENGADILAN ANAK

Nama Mahasiswa :Raestin Silfani

No. Pokok Mahasiswa : 0852011170

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Maroni, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP 19600310 198703 1 002 NIP 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.


(56)

1. Tim Penguji

Ketua :Maroni, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Firganefi, S.H., M.H.

...

2. Pj. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S.

NIP 19621109 198703 1 003


(57)

Raestin Silfani dilahirkan di Teluk Betung 23 September 1990, yang merupakan anak ke pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Rahendra dan Ibu Eliani, Amd. Keb.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak Aisyiyah Teluk Betung Bandar Lampung pada tahun 1996, Sekolah Dasar Negeri 2 Talang Teluk Betung Bandar Lampung pada tahun 2002, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Bandar Lampung pada tahun 2008. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 30 Juni samapi 9 Agustus 2011 yang dilaksanakan di Kabupaten Lampung Barat.


(58)

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Ayah dan Ibu yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilanku

Adik-adikku Kahfi, Mirza, Andra yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih saying

Datukku Hi. Zulkifli Djafar, S.H., Nenekku Hj. Rohani, Datuk Hamami (Alm), Atuku Masnah, Opaku Hi. Yusufisa, Omaku Hj. Masyani, beserta seluruh keluarga

besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan.

Special Thanks To SomeoneAngga Reza Peranajaya atasdo’a, dukungan,dan perhatiannya.

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka Almamaterku tercinta.


(59)

Kunci sukses adalah kegigihan untuk memperbaiki diri, dan kesungguhan untuk mempersembahkan yang terbaik dari hidup ini.

“ Keberhasilan tak akan ada tanpa adanya usaha dan do’a ”

Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat, maka tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras; dan keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan

bertemu dengan kesiapan. (Thomas Alfa Edison)


(60)

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS MODEL RESTORATIVE JUSTICE DALAM

RANGKA PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK

DITINJAU DARI RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN ANAK.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(61)

skripsi dapat berjalan dengan baik.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 5. Ibu Firganefi, S.H., M.H. dan Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H.

sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Ibu Marindowati, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama penulis

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Ibu Eka Septiana Sari, S.H selaku responden dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Ibu Ida Rahmawati, S.H., M.H. selaku responden dari Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, Bapak Lukman, S.H. selaku responden dari LSM LADA Bandar Lampung, serta Ibu Erna Dewi, S.H., M.H., yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.


(62)

dan menanti keberhasilanku.

11. Datukku Hi. Zulkifli Djafar, S.H., Nenekku Hj. Rohani, Datuk Hamami (Alm), Atuku Masnah, Opaku Hi. Yusufisa, Omaku Hj. Masyani, beserta

seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini

telah diberikan.

12. Sahabat-sahabatku: Cicy Mariinciie, Iman, Faram, Baimb, Yenni, Dedi, Mami Tika, nanda subing, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

13. Special Thanks To SomeoneAngga Reza Peranajaya atas do’a, dukungan,

dan perhatiannya.

14. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 8 Februari 2012 Penulis


(1)

RIWAYAT HIDUP

Raestin Silfani dilahirkan di Teluk Betung 23 September 1990, yang merupakan anak ke pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Rahendra dan Ibu Eliani, Amd. Keb.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak Aisyiyah Teluk Betung Bandar Lampung pada tahun 1996, Sekolah Dasar Negeri 2 Talang Teluk Betung Bandar Lampung pada tahun 2002, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Bandar Lampung pada tahun 2008. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 30 Juni samapi 9 Agustus 2011 yang dilaksanakan di Kabupaten Lampung Barat.


(2)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Ayah dan Ibu yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilanku

Adik-adikku Kahfi, Mirza, Andra yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih saying

Datukku Hi. Zulkifli Djafar, S.H., Nenekku Hj. Rohani, Datuk Hamami (Alm), Atuku Masnah, Opaku Hi. Yusufisa, Omaku Hj. Masyani, beserta seluruh keluarga

besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan.

Special Thanks To SomeoneAngga Reza Peranajaya atasdo’a, dukungan,dan perhatiannya.

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka Almamaterku tercinta.


(3)

MOTTO

Kunci sukses adalah kegigihan untuk memperbaiki diri, dan kesungguhan untuk mempersembahkan yang terbaik dari hidup ini.

“ Keberhasilan tak akan ada tanpa adanya usaha dan do’a ”

Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat, maka tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras; dan keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan

bertemu dengan kesiapan. (Thomas Alfa Edison)


(4)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS MODEL RESTORATIVE JUSTICE DALAM

RANGKA PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK

DITINJAU DARI RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN ANAK.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(5)

3. Bapak Maroni, S.H., M.H. selaku Pembimbing Pertama yang telah memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 5. Ibu Firganefi, S.H., M.H. dan Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H.

sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Ibu Marindowati, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama penulis

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Ibu Eka Septiana Sari, S.H selaku responden dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Ibu Ida Rahmawati, S.H., M.H. selaku responden dari Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, Bapak Lukman, S.H. selaku responden dari LSM LADA Bandar Lampung, serta Ibu Erna Dewi, S.H., M.H., yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.


(6)

10. Ayahku Rahendra dan Ibuku Eliani tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

11. Datukku Hi. Zulkifli Djafar, S.H., Nenekku Hj. Rohani, Datuk Hamami (Alm), Atuku Masnah, Opaku Hi. Yusufisa, Omaku Hj. Masyani, beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan.

12. Sahabat-sahabatku: Cicy Mariinciie, Iman, Faram, Baimb, Yenni, Dedi, Mami Tika, nanda subing, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

13. Special Thanks To SomeoneAngga Reza Peranajaya atas do’a, dukungan, dan perhatiannya.

14. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 8 Februari 2012 Penulis