Pandangan pertai kebangkitan bangsa (PKB) terhadap hubungan eksekkutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia
PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SUPARDI
NIM: 106045201541
KONSENTERASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SUPARDI
NIM: 106045201541
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Hj. Isnawati Rais, MA
NIP. 195710271985032001
Iding Rasyidin,S.Ag.,M.S.i
NIP. 197010132005011003
KONSENTERASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
LEMBARAN PERYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 April 2011
Supardi
بسم اه الرمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji sukur kehadiran Allah SWT penulis panjatkan atas segala
rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah di berikan pada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tetap
dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, rasul yang sangat berjasa besar pada
umatnya semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi
yang berjudul
“PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN
BANGSA (PKB) TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA” penulis susun
dalam rangka
Syariah (S.Sy)
memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana
Pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsenterasi Syiasah
Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) fakultas syariah dan hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya
penulis skripsi ini, tanpa adanya bantuan dari motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu dalam kesempatan yang berharga perkenankan penulis untuk
menyampaikan rasa terima kasih yang tulus pada yang terhormat:
i
1. Bapak Prof. Dr. K.H.M. Amin Suma, SH., MH., MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, dan Bapak Afuan Faizin, MA Ketua dan
Sekertaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syar’iah dan Hukum
Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih atas waktu
dan solusinya selama ini.
3. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, MA. Sebagai dosen pembimbing I penulis yang
senantiasa selalu sabar membimbing dan meluangkan waktunya untuk
membantu penulis dalam menyelesaikan sekripsi ini.
4. Bapak Iding Rasyidin, S.Ag., M.Si., sebagai dosen pembimbing II yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan beliau yang sangat berarti bagi
penulis.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memeberikan berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berat bagi
perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas perihal Islamic Legal
Politics (Siyasah Wal Qanun).
6. Segenap pengelolah Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan
referensi buku-bukunya.
7. Sahabat- sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah
Tahun Akademik 2006, Alif, Apri, Ade, Asriyah, Atiqoh, Bangkit, Bowo,
Deni, Dinda, Dian, Eri, Esha, Eca, Mufti, Ridwan, Rifqoh, Yudha, Naziah,
ii
Lina, Lutfi, Imran, terima kasih penulis ucapkan pada sahabat semua baik
yang disebutkan namanya maupun yang tidak disebutkan namanya telah
berbagi ilmu ketika belajar di kampus tercinta dan bersejarah ini.
8. Kakakku Dr. Dania Ralid, SE, MM, Selvi, SH, Iryani, SE, adikku Derma
Yanti dan Nur Komala Sari, terimakasih atas bantuan dan suportnya yang di
berikan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. Ucapakan terima kasih pada abang ipar ku yang di PKB Haikal Ludin beserta
para jajaran pengeurus PKB yang telah membantu penulis
menyelesaikan
tugas akhir kuliah.
10. Sahabat-sahabat dan Abang-abang ku HMI baik yang di Partai,,LBH, LSM.
Atas support dan doanya.
11. Penulis memohon ampun pada Allah SWT lebih khusus untuk kedua orang
tua penulis ayah Prof. Dr. H.Dasuki .SH. MM dan mamah ku tercinta
Dr. Hj. ANISAH. SH terimakasih atas kasih sayangnya dan ketabahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah S1 di kampus bersejarah ini.
Terakhir penulis berdo’a kepada Allah SWT semoga ilmu yang telah kita
dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah
SWT. Amin
Jakarta, 16 April 2011 M
Jumadil Awal 1432 H
Supardi
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah..........................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
9
D. Kerangka Teoritis ........................................................................ 10
E. Kerangka Konsepsional .............................................................. 10
F. Metode Penelitian........................................................................ 11
G. Review Studi Terdahulu .............................................................. 13
H. Sistematika Penulisan ................................................................. 16
BAB II
: PERKEMBANGAN
HUBUNGAN
EKSEKUTIF
DAN
LEGISLATIF DI INDONESIA
A. Perkembangan Eksekutif dan Legislatif ..................................... 18
B. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Orde Lama ............ 21
C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Orde Baru .............. 23
D. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde
Reformasi................................................................................. ... 26
iv
BAB III
: SKETSA TENTANG PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
A. Sejarah Berdirinya PKB .............................................................. 32
B. Visi dan Misi PKB ...................................................................... 38
C. Asas – Asas PKB ........................................................................ 41
BAB IV
: PANDANGAN
PARTAI
KEBANGKITAN
BANGSA
TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
DALAM
REFORMASI
KETATANEGARAAN
DI
INDONESIA
A. Pandangan Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Hubungan
Eksekutif dan Legislatif .............................................................. 43
B. Kewenangan
Lembaga
Eksekutif
dan
Legislatif
Pasca
Amandemen 1945 ....................................................................... 46
C. Peranan PKB terhadap reformasi ketatanegaraan di Indonesia .. 60
D. Analisa
pandangan
PKB
dalam
pelaksanaan
sistem
Presidensial di Indonesia ............................................................. 61
BAB V
: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 68
B. Saran-Saran ................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 72
LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan perkembangan zaman maka untuk konsep kekuasaan saat ini
di Negara-negara berkembang menerapkan konsep pembagian kekuasaan yang
kita kenal dengan doktrin trias politica. Trias politica adalah anggapan bahwa
kekuasaan negara terdiri dalam tiga macam. Pertama, kekuasaan legislatif atau
kekuasaan membuat undang-undang dalam peristilahan baru sering disebut
rulemaking function. Kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan
undang-undang dalam peristilahan baru sering disebut rule application function.
Ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yang mengadili atas pelanggaran
undang-undang dalam peristilahan baru sering disebut rule adjudication function.
Trias politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini
sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa dengan demikian
diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.1
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas, maka lembaga
eksekutif dan legislatif mempunyai hubungan yang sangat erat agar terciptanya
proses checks and balances dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun
dalam implementasinya, hakikat dan makna serta tujuan dan sasaran pelaksanaan
1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1972) h. 54
1
2
pemerintahan masih sering terjadinya gesekan antara lembaga tinggi negara dan
pembagian kekuasaan serta wewenang diri tiap-tiap lembaga tinggi belum dapat
direalisasikan secara utuh. Peran dan Hubungan Antar-Lembaga Sistem politik
Indonesia bercirikan lembaga eksekutif yang kuat yang disokong oleh lembaga
legislatif yang lemah (yang di dalamnya termasuk anggota-anggota yang tidak
dipilih dari kalangan militer dan kelompok-kelompok fungsional). Hal ini
membuat kontrol institusi terhadap lembaga eksekutif berkurang. Hubungan
antara eksekutif dan legislatif juga tak imbang karena budaya politik yang
mendominasi hubungan antara struktur-struktur konstitusional.2
Ini bisa disebut sebagai budaya hierarki atau komando yang menghambat
kontrol demokratis terhadap pemerintah dan yang bisa dihubungkan dengan,
sebagian, absennya definisi peran legislatif dan eksekutif dan batas di antara
mereka dalam UUD 1945.
Untuk mengoreksi situasi ini, peran dan hubungan antara lembaga
eksekutif dan legislatif perlu dipelajari secara kritis. Perdebatan mutakhir berpusat
di sekitar bentuk komposisi lembaga legislatif yang paling memadai. Lembaga
legislatif mendapatkan baik kekuasaan untuk membuat aturan hukum maupun
memperdebatkan kinerja lembaga eksekutif dan institusi-institusi pemerintah lain.
Namun tantanganya adalah menemukan keseimbangan di antara legislatif yang
berdaya dan lembaga eksekutif yang efektif sebab bukanlah peran legislatif untuk
memerintah. Legislatif juga berperan penting untuk mengajak atau mendorong
2
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 39
3
perdebatan ekstra-parlementer yang lebih luas. Untuk melakukannya. harus ada
akses terhadap informasi dan suatu sistem komisi yang aktif. Periodisasi dari
tarik-menarik dari lokus dan fokus kekuasaan dalam sejarah pemerintahan
Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
Periode
Orde
Lama
semangat
perjuangan
masih
mewarnai
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Para pelakunya masih kuat iman
untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsa. Bahkan tidak jarang
diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas menekan kepentingannya sendiri untuk
menghargai kepentingan minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa dan
negara proklamasi.3 Sebagai contoh, penyimpangan pertama dari Bung Karno
terhadap UUD 1945 seperti disinggung di depan ialah diterimanya usulan Sahrir
untuk tidak menggunakan kabinet presidensial dan diganti dengan kabinet
parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan tokoh vokal dan amat disegani.
Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Kamo menerima usulan itu. Selain itu
Bung Karno juga menyadari bahwa KNIP belum mencerminkan kekuatan politik
riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi ditunjuk) tidak mewakili kekuatan
sosial politik nyata saat itu. Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara
waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial
yang mengancam negara proklamasi adalah PKI yang melakukan pemberontakan
dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada
3
Sofyan Effendi, Mencari Sistem Pemerintahan Negara, dalam Makalah Orasi Ilmiah Pada
Dies Natalies Ke-40 Universitas Pancasila pada tanggal 6 April 2008.
4
semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan merupakan merupakan
sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup
beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau
rakyat sampai ke desa-desa.
Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya
aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini
menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar
peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintahan ini.
Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga
birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun 1950 Indonesia
menganut sistem demokrasi parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, saat itu menganut sistem banyak partai yang
memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai
dengan aspirasinya. Pada periode ini diselenggarakan pemilihan umum pertama
yang dikenal sangat demokratis.
Kedudukan DPR saat itu sangat kuat sebaliknya lembaga pemerintah dapat
dikatakan lemah posisinya, aparat pemerintah yang diharapkan netral juga sudah
pandai bermain mata dengan kekuatan- kekuatan politik yang ada. Pada periode
ini di sana-sini militer sudah mulai ikut memainkan peran dalam percaturan
politik. Partisipasi politik militer mulai nampak ketika tentara menolak perjanjian
KMB yang merupakan hasil perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan oleh
politisi sipil melalui jalan diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan
5
dalam konsep duwi fungsi yang menekankan bahwa militer tidak hanya berperan
di bidang keamanan dan pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan
politik.
Periode masa Orde Baru Hubungan dan kedudukan antara eksekutif
(Presiden) dan legislatif (DPR) dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur.
Dimana kedudukan dua lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena
kedua lembaga ini adalah merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR
No.III/MPR/1978).4 Namun dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya
pemerintahan pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan
terhadap semua aspek kehidupan sistem kepemerintahan dalam negara kita,
terhadap kekuasaan legislatif maupun terhadap kekuasaan yudikatif.
Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang
terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu,
tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945
menganut supremasi eksekutif.
Dominasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi konstitusionalnya,
karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan
dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di
bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden
memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain sebagai pemegang kekuasaan
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1972) h. 38
6
pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki kekuasaan untuk membentuk
undang-undang ( pasal 5 ayat 1 ).
Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang sangat besar,
yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian internasional dan
mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan pasal 13). Sama
halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang kemudian
diwujudkan dalam pemberian garis rehabilitas, amnesti dan abolisi ( pasal 14 ).5
Sistem pemerintahan pada masa kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dipilih oleh penulis disebabkan oleh banyaknya bentuk-bentuk
kebijakan yang dirasa oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tidak
lazim dan bertentangan dengan apa yang dinginkan oleh rakyatnya.6 Era
pemerintahan orde reformasi ketika dibawah kepemimpinan Gus Dur berusaha
mencoba menampilkan strategi demokratisasi yang khas yang dikenal sebagai
“demokrasi bawah”, yaitu suatu demokrasi dan upaya demokratisasi Negara yang
memprioritaskan upaya pemberdayaan dan keberdayaan masyarakat. Menurut
Gus Dur upaya menciptakan demokrasi hampir identik dengan upaya
pembangunan civil society. Melalui saluran komunikasi yang dimilikinya, ia
mencoba memberikan satu kerangka kerja bagi petani, buruh, pedagang kecil,
bahkan pegawai pemerintah untuk menyalurkan dan menata diri mereka masingmasing.
5
6
85
Moh. Mahfud MD, Politiki Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 64
Marwan Jafar, Merubah Sistem Politik Gus Dur di PKB, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) h.
7
Kepemimpinan dengan pola transformasional, pola pemikir pemimpin ini
lebih tertuju pada perubahan dari keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, kebutuhankebutuhan dan kemampuan pengikut. Ia mampu menyampaikan visi dan misi
serta mampu membangkitkan motivasi para pengikut untuk menjadi seorang
individu yang seutuhnya dan mampu mengaktualisasikan diri.7 Dari aspek
intelektual, pemimpin transformasional tidak puas dengan pemecahan masalah
yang bersifat parsial, menerima keadaan status quo, atau melakukan seperti apa
yang biasa di lakukan, ia suka mencari cara-cara baru, dalam berfikir lebih
proaktif, gagasannya lebih kreatif, inovatif ; di dalam ideologi lebih radikal dan
reaksioner dibandingkan konservatif ; serta tidak mengalami hambatan berfikir
dalam upaya mencari pemecahan masalah.
Atribut-atribut diatas dapatlah di proyeksikan sebagai kepemimpinan yang
ditetapkan oleh Gus Dur. Mengingat Gus Dur pemikirannya lebih demokratis,
Proaktif dan inovatif. Namun pemimpin yang demikian harus diimbangi dengan
para pembantu yang dimiliki daya persepsi tinggi, sebab apabila tidak maka sang
pemimpin akan berjalan sendiri meninggalkan para pembantunya, sehingga para
pembantunya tersebut akan berjalan ditempat atau menjadi bingung sendiri
mengejar
pemimpinnya.
Yang
dikhawatirkan
adalah
akibat
kelebihan
intelektualitas sang pemimpin, maka ia akan melakukan sesuatu kebijakan yang
tidak dapat dikendalikan (uncontrollable) yang dapat membahayakan rakyat,
bangsa dan negara serta dirinya sendiri.
7
DPP PKB, 13 Agenda Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa, Jakarta,2008 h.23
8
Presiden Gus Dur dengan kelebihan intelektualitasnya dan wisdomnya
berjalan dengan sendiri jauh di depan para pembantunya sehingga mengeluarkan
kebijakan-kebijakan atau pernyataan yang kontroversial di tengah-tengah
masyarakat dan bahkan di sana-sini menimbulkan konflik kelembagaan
sebagaimana yang ditampilkan oleh mekanisme kerja yang tidak serasi antar DPR
dan pemerintah.
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis ingin mengetahui
pandangan salah satu partai yang ada di Indonesia yaitu Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) terhadap hubungan eksekutif dan legiselatif dikarenakan penulis
merasa ada faktor-faktor politik yang tidak menunjang terjadiya hubungan yang
harmonis antara eksekutif dan legiselatif, dan ini menarik untuk diteliti, sehingga
penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul;
“PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) TERHADAP
HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM REFORMASI
KETATANEGARAAN DI INDONESIA”.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis
terfokus pada pandangan Partai Kebangkitan Bangsa terhadap hubungan
lembaga Eksekutif dan Legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
9
2. Perumusan Masalah
Melihat judul skripsi tersebut dan latar belakang permasalahan seperti
terurai di atas, maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang dianggap
penting yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini.
Diantara rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan
legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia?
b. Bagaimana kebijakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam reformasi
ketatanegaraan di Indonesia?
c. Bagaimanakah konsep Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengatasi
berbagai kendala yang menghambat upaya pelaksanaan reformasi
ketatanegaraan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap Secara lebih rinci
tentang pandangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengenai hubungan
lembaga eksekutif dan legislative dalam reformasi ketatanegaraan di
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk:
a.
Mengetahui pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan legislatif
dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia
b.
Mengetahui kebijakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam reformasi
ketatanegaraan di Indonesia
10
c.
Mengetahui konsep Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengatasi
berbagai kendala yang menghambat upaya pelaksanaan reformasi
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran dan
pemahaman tentang Pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan
legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
D. Kerangka Teoritis
Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut
di berbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di
suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik
melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang
untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan kekuasaan Eksekutif
adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang.
E. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Legislatif
Legislatif berfungsi membuat undang-undang (legislate). Menurut teori
kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat ini
mempunyai kemauan (Rousseau menyebutnya dengan Volonte Generale atau
Generale Will). Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga
11
legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan
rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum (public policy).
2. Pengertian Eksekutif
Lembaga penyelenggara kekuasaan negara berikutnya adalah lembaga
eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang. Di negara-negara
demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang
dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya (kabinetnya).
Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri sipil
dan militer.
F. Metode Penelitian
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal
yang terkait dengan metode penelitian dari skripsi ini, yaitu :
1. Jenis Penelitian
Penulisan skripsi ini termasuk salah satu jenis penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif
dalam buku Suharsimi didefinisikan sebagai penggambaran situasi yang
sebenarnya tentang suatu objek, gejala atau keadaan dari hasil temuan di
lapangan serta memahaminya sehingga mendapatkan suatu gambaran atau
informasi yang tepat berkaitan dengan masalah penelitian tersebut.
Dalam pengertian bahwa metode yang digunakan untuk memahami
masalah yang diteliti pada skripsi ini, tidak dengan melakukan pengukuran
12
secara statistik, melainkan dari hasil pemaparan pihak responden yang jelas
dan rinci terhadap masalah yang diteliti sehingga memberikan pemahaman
yang mendalam terhadap masalah yang diteliti tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pihak responden yang
terdiri dari
1) Observasi
Dalam hal ini penulis mengamati setiap kegiatan atau aktivitas yang
berlangsung di DPP PKB Jakarta.
2) Wawancara Terstruktur
Selain melakukan wawancara dengan pihak responden, penulis
menyiapkan daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka, agar wawancara
bisa berjalan fokus dan terarah, serta bertujuan untuk memberikan
pemahaman secara mendalam
3) Untuk Memperoleh data dilakukan dengan menggunakan Studi
Dokumenter. yaitu dengan cara mengkaji yang terdapat dari berbagai
macam literatur kepustakaan berupa buku-buku, majalah-majalah,
website atau literatur lainnya yang berkaitan dengan masalah yang
sedang dibahas untuk dikaji dan dicatat bagian-bagian yang penting
yang nantinya
ada
benang merah
tentang
pandangan
Partai
Kebangkitan Bangsa hubungan eksekutif dan legiselatif dalam
reformasi ketataegaraan di Indonesia.
13
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber seperti arsip,
atau dokumen yang mendukung penelitian ini.
1) Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis
secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data
di lapangan sacara berkesinambungan. Diawali dengan proses
klarifikasi data agar tercapai konsistensi di lapangan dengan langkah
abstrkaksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan
mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat
memungkinkan dianggap mendasar dan universal.
2) Teknik Penulisan
Untuk teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku petunjuk
“pedoman penulis skripsi “ yang di terbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta
G. Review Studi Terdahulu
Penulis menemukan judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa
sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh
penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca skripsinya tersebut ada perbedaan
yang signifikan. Sehingga dalam tulisan skripsi ini nantinya tidak timbul
kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan skripsi yang
pernah di tulis yaitu:
14
1. Judul : “ Perdebatan dan Peraktek Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca
Soeharto”
Penulis : Rico Candra /FISIP/2009
Skripsi ini membahas seputar sistem kepemerintahan pasca Soeharto
yang menggunakan sistem presidensial yang tercampur baur dengan sistem
parlementer. Fenomena yang menunjukkan bahwa sistem presidensial di
Indonesia bercita rasa parlemen adalah pada tata kelola dan pelaksanaan sistem
relasi antar lembaga negara, terutama pada lembaga eksekutif dan legislatif.
Meskipun prsiden dan wakil presiden mendapat dukungan mayoritas dari
rakyat namun itu tidak sejalan dengan dukungan parlemen.
Dalam pemilihan umum presiden ( eksekutif ) sistem pemerintahan
yang di anut di indonesia pasca kejatuhan rezim soeharto adalah presidensial.
Salah satu yang mengindikasikan hal tersebut adalah presiden dan wakil
presiden di pilih langsung oleh rakyat, bukan lagi oleh MPR. Konsekuensinya
presiden bukan lagi mandataris oleh MPR lagi, kedudukan presiden dan MPR
sejajar. Inilah inti dari presidensial yang di anut di indonesia pasca jatuhnya
rezim Seharto adalah “Kuasi Presidensial” di sebabkan beberapa kebijakan
yang seharusnya wewenang penuh presiden di ambil alih oleh DPR RI.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis terdapat pada
cangkupan yang diteliti, jika penelitian yang dilakukan oleh rico chandra
membahas semua sistem pemerintahan setelah kepemimpinan soeharto maka
pada penelitian kali ini penulis lebih menekankan pada pembahasan
15
pandangan PKB terhdapa hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi
ketatanegaraan di Indonesia
2. Judul :” Reformasi Kewenangan Presiden Pasca Amandemen Suatu kajian
Yuridis-Normatif dan Hukum Ketatanegaraan islam “
Penulis : Siti Atiqoh/FSH/2010
Skeripsi membahas tentang seputar eksekutif pasca amandemen,
menjelaskan kewenangan presiden atau kepala Negara menurut ketatanegaraan
islam, presiden atau lembaga eksekutif menurut ketatanegaraanislam adalah
tugas melaksanakan Undang-Undang (al-Sulthah al-tanfidziyah). Dalam hal ini
negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri,
maupun yang menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan
internasional).
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada
pembahasan jika pada penelitian yang dilakukan oleh siti atiqoh reformasi
kewenangan presiden sedangkan penelitian yang dilakukan penulis lebih
menekankan pada pembahasan pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif
dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
3. Judul :” Studi Kompratif Antara AHL AL-HALL WA AL-AQD dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar
1945”
Penulis : Naziah/FSH/2010
Skripsi membahas tentang seputar AHLAL-HALL WA AL-AQD dan
MPR Pasca Amandemen, menjelaskan kedudukan dan kewenangan MPR
16
pasca amandemen UUD1945, kedudukan dan wewenang ahl al-hall wa al-aqd
sama dengan MPR sebelum UUD 1945 diamandemen namun, setelah UUD
1945 mengalami perubahan kedudukan dan wewenang MPR tidak lagi sama
seperti ahl al-hall wa al-aqd, setelah amandemen tugas dan wewenang MPR
terbatas dan di berikan lembaga tinggi Negara lainnya.berarti wewenang ahl
al-hall wa al-aqd menyangkup tugas dan wewenang beberapa lembaga tinggi
Negara di Indonesia setelah amandemen UUD 1945.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada
pembahasan jika pada penelitian yang dilakukan oleh Naziah hanya membahas
tentang kedudukan dan kewenangan MPR sedangkan penelitian yang
dilakukan penulis lebih menekankan pada pembahasan pandangan PKB
terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di
Indonesia merupakan judul yang belum pernah ditulis dan dibahas sebelumnya
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai
berikut :
BAB I : Merupakan Pendahuluan, memuat ; latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan kerangka teori manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
17
BAB II :
Perkembangan Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia,
Perkembangan Eksekutif dan Legislatif, Hubungan Eksekutif dan
Legislatif Periode Orde Lama, Hubungan Eksekutif dan Legislatif
Periode Orde Baru, Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa
Orde Reformasi.
BAB III : Sekilas tentang Partai Kebangkitan Bangsa, memuat: Sejarah
berdirinya, Asas – asas, Visi dan misi partai.
BAB IV : Pandangan partai kebangkitan bangsa terhadap hubungan Esekutif dan
Legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia, Pandangan
Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Hubungan Eksekutif dan
Legislatif, Kewenangan Lembaga Eksekutif dan Legislatif Pasca
Amandemen 1945, Peranan PKB terhadap reformasi ketatanegaraan di
indonesia, Analisa pandangan PKB dalam pelaksanaan sistem
presidensial di indonesia
BAB V : Merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan
skripsi yang berisi kesimpulan dan saran
BAB II
PERKEMBANGAN HUBUNGAN EKSEKUTIF
DAN LEGISLATIF DI INDONESIA
A. Perkembangan Eksekutif dan Legislatif
DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang
untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau
eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang
untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak
legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, terlebih Indonesia
yang memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh
ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekangesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif
yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak
jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih
langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan
partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya.
Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah
konflik kepentingan antar partai yang ada.
Peran dan Hubungan Antar-Lembaga Sistem politik Indonesia bercirikan
lembaga eksekutif yang kuat yang disokong oleh lembaga legislatif yang lemah
18
19
(yang di dalamnya termasuk anggota-anggota yang tidak dipilih dari kalangan
militer dan kelompok-kelompok fungsional). Hal ini membuat kontrol institusi
terhadap lembaga eksekutif berkurang. Hubungan antara eksekutif dan legislatif
juga tak imbang karena budaya politik yang mendominasi hubungan antara
struktur-struktur konstitusional. Ini bisa disebut sebagai budaya hierarki atau
komando yang menghambat kontrol demokratis terhadap pemerintah dan yang
bisa dihubungkan dengan, sebagian, absennya definisi peran legislatif dan
eksekutif dan batas di antara mereka dalam UUD 1945.
Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen UndangUndang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat
baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara Eksekutif
dan Legislatif pada masa itu. Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada
masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR
dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR
yang tentunya sebagian besar dari Fraksi Golongan Karya, selalu „manut‟ dengan
apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah
Orba, yaitu pada masa reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri,
menuruti segala apa yang dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan
legislatif kini semakin kuat. Hal ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan
impeachment terhadap kepemimpinan Gus Dur.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif
dalam hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif yaitu anggota
20
DPR telah mengubah pola atau sistem dengan pemilihan langsung oleh rakyat.
Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau
hubungan antara Presiden dengan anggota DPR itu sendiri. Pengaruh yang
dimaksud disini adalah tentang relasi antara Presiden dan anggota DPR yang
tidak kunjung membaik. Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat
Presiden dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai
hak bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan
penuh dari rakyat. Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden
menjadi kurang bertoleransi dengan kelompok oposisi. Hal ini membuat
keegoisan antara Presiden dan anggota DPR menjadi semakin kuat.
Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan
oleh sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan
bahwa sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila
suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislatif, eksekutif tidak perlu takut
dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan
mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan
anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu „ketakutan‟ eksekutif akan
kekuasaannya.
Hubungan yang tidak sehat antara eksekutif dan legislatif memang selalu
terjadi di setiap pemerintahan. Dulu semasa pemerintahan Orde Baru, ada Sri
Bintang Pamungkas yang selalu bertentangan dengan kebijakan Soeharto, masa
Gus Dur sangat terlihat karena dengan adanya impeachment terhadap Gus Dur,
21
dan pada masa SBY-JK, diantaranya adalah intepelasi DPR terhadap penggantian
panglima TNI oleh Presiden SBY, soal impor beras pada masa SBY, tentang
pemilihan Gubernur BI, tentang Iran, dan sebagainya.
B. Hubungan eksekutif dan legislatif Periode Orde Lama
Semangat perjuangan masih mewamai penyelenggaraan pemerintahan
kita. Para pelakunya masih kuat iman untuk berjuang demi negara dan persatuan
bangsa. Bahkan tidak jarang diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas menekan
kepentingannya sendiri untuk menghargai kepentingan minoritas demi kesatuan
dan persatuan bangsa dan negara proklamasi. Sebagai contoh, penyimpangan
pertama dari Bung Kamo terhadap UUD 1945 seperti disinggung di depan ialah
diterimanya usulan Sjahrir untuk tidak menggunakan kabinet presidensial dan
diganti dengan kabinet parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan tokoh
vokal dan amat disegani. Sebagai sebuah negara baru, Indonesia membutuhkan
perangkat-perangkat yang dibutuhkan dalam menopang sistem negara moderen.
Namun hal itu tidak di miliki bangsa Indonesia karena keterbatasan faktor dalam
negeri yang tidak stabil pada sistem keamanannya. Atas inisiatif beberapa tokoh,
dalam upayah melengkapi kelembagan negara sebagai syarat pengakuan maka
pada tanggal 29 Agustus 1945 maka di bentuk lembaga Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP).1
1
Delier Noer & Akbarsyah. KNIP: Komite Nasional Pusat Parlemen Indonesia 1945-1950,
(Jakarta: Yayasan Risalah, 2005), h. 22
22
Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Kamo menerima usulan
tersebut Selain itu Bung Kamo juga menyadari bahwa KNIP belum
mencerminkan kekuatan politik riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi
ditunjuk) tidak mewakili kekuatan sosial politik nyata saat itu. Semangat
primordial untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya
organisasi politik primordial yang mengancam negara proklamasi adalah PKI
yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan
negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga
pemerintahan
merupakan
merupakan
sarana
politik
yang
baik
untuk
mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini
mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa.
Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya
aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini
menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar
peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintah ini.
Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga
birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD
Semen tara 1950 diperlakukan. Dalam UUD ini dianut sistem demokrasi
parlementer, bahwa Pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita menganut
sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk
mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode ini
23
terselenggara Pemilihan Umum pertama yang dikenal sangat demokratis. Ketika
itu semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai
beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang terjadi kabinet pemerintah dibubarkan
hanya karena pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan partaipartai politik.
Mosi tidak percaya merupakan awal dari runtuhnya kabinet yang
memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai
politik yang anggotanya mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat. Sebaliknya
lembaga pemerintah dapat dikatakan lemah posisinya. Sementara itu aparat
pemerintah yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan
kekuatan- kekuatan politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah
mulai ikut memainkan peran dalam percaturan politik. Partisipasi politik militer
mulai nampak ketika tentara menolak perjanjian KMB yang merupakan hasil
perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan oleh politisi sipil melalui jalan
diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan dalam konsep dwifungsi yang
menekankan bahwa militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan
pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan politik.
C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde Baru
Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru berdasarkan
pada lahirnya surat perintah sebelas Maret adalah masa penggantian. Banyak
kalangan yang berpendapat bahwa kelahiran Orde Baru adalah bentuk koreksi
24
dari segala penyelewengan konstitusional yang terjadi pada masa rezim Soekarno.
Begitulah pandangan awal yang datang dari Natsir di awal-awal kelahiran Orde
Baru. Namun Natsir melihat terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden
Soeharto sebagai mana yang dilakukan pendahulunya. Sistem pemerintahan yang
di jalankan menurut Natsir berupa pemusatan kekuasaan secara mutlak pada satu
tangan yaitu kepala negara.2
Hubungan dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR)
dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur. Dimana kedudukan dua
lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena kedua lembaga ini adalah
merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR No.III/MPR/1978). Namun dalam
praktik ketatanegaraan dan proses jalannya pemerintahan pada masa rezim Orde
Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan terhadap semua aspek kehidupan
berkepemerintahan dalam negara kita, terhadap kekuasaan legislatif maupun
terhadap kekuasaan judikatif.
Pada masa Orde Baru kekuasaan dikelola secara sentralistis, yakni
berpusat dan dikuasai oleh satu institusi atau bahkan oleh satu orang penguasa.3
Berdasarkan realitas politik, tentu dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan
yang dianut Indonesia pada era Orde Baru adalah sistem presidensial murni.
Penyebutan dalam istilah ini barangkali dapat menjadi perdebatan, namun
2
Thohir Luth, M. Natsir Dakwa dan pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.
112
3
TA. Legowo, Negara, Politik dan Keadilan. Dalam Al Andang, dkk (editor) Keadilan Sosial
Upaya Kesejahteraan Bersama (Jakarta: Kompas, 2004), h.39
25
terminologi tersebut merujuk pola-pola pemerintahan yang menjadi sosok
presiden yang amat berkuasa, dan melebihi lembaga-lembaga negara yang ada.
Semua instrument negara, sumber-sumber kekuasaan Negara dan mekanisme
pengambilan kebijakan berada di bawah tangan presiden.
Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang
terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu,
tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945
menganut
supremasi
eksekutif. Dominasi/supremasi
kekuasaan
eksekutif
mendapat legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD
1945 pada bagian Sistem Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri
dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di
bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden
memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki kekuasaan membentuk undangundang (pasal 5 ayat 1). Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik
yang sangat besar, yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian
internasional dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan
pasal 13). Sama halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang
kemudian diwujudkan dalam pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi
(pasal 14).
Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat ruang geraknya ketika
penguasa melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7. Penafsiran ini
26
menimbulkan implikasi yang sangat luas karena menyebabkan Presiden dapat
dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya kekuasaan
Presiden pada masa orde baru. Presiden juga memiliki kewenangan untuk
menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969
UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan
logika demokrasi.
Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang
lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang
dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap
pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap
pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif)
menjadi tidak efektif.
D. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde Reformasi
Orde Reformasi ditandai dengan kejatuhan Soeharto dari singgasana
kekuasaan presiden yang berkuasa hampir 32 tahun lebih yang merupakan model
kekuasaan absolut, korup, menindas dan menekan. Kekuasaan yang bersifat
absolut pada kekuasaan rezim Orde Baru tercerai berainya menjadi semacam
kebebasan yang cenderung kebablasan. Pada masa Reformasi inilah demokrasi
kian terbuka, kebebasan pers dijamin, demonstrasi dijamin oleh negara, dan orang
bebas berekpresi dalam bentuk mendirikan partai politik, dan organisasi
27
kemasyarakatan, bagian terakhir yang kedua sulit di bayangkan bakal terealisasi
pada era Soeharto.4
Penulis memilih era kepemimpinan pemerintahan KH. Abdurrahman
karena disebabkan banyak bentuk-bentuk suatu kebijakan yang dirasa oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tidak lazim dan bertentangan dengan
apa yang dinginkan oleh rakyatnya. Dan ini adalah suatu fenomena yang sangat
menarik sehingga membuat penulis tertarik juga untuk memasukkannya dalam
tulisan ini.
Era pemerintahan orde reformasi yang ketika dibawah kepemimpinan Gus
Dur berusaha mencoba menampilkan strategi demokratisasi yang khas yang
dikenal sebagai “demokrasi bawah”, yaitu suatu demokrasi dan upaya
demokratisasi
Negara
yang
memprioritaskan
upaya
pemberdayaan
dan
keberdayaan masyarakat. Menurut Gus Dur upaya menciptakan demokrasi
hamper identik dengan upaya pembangunan civil society, melalui saluran
komunikasi yang dimilikinya, ia mencoba memberikan satu kerangka kerja bagi
petani, buruh, pedagang kecil, bahkan pegawai pemerintah untuk menyalurkan
dan menata diri mereka masing-masing. Kepemimpinan Gus Dur juga terkandung
charisma hal ini karena eksistensinya dirinya, juga karena Gus Dur termasuk
keluarga dari ulama yang sangat terkenal, baik dari orang tuanya maupun dari
4
Kari Mannheim. Freedom, Power and Democratic Planning. (London: Routledge & Keegan
Paul Ltd, 1951), h. 51
28
mertuanya. Namun karena pemikirannya yang democrat, didalam praktek
kepemimpinannya lebih cenderung ke arah transformasional.
Kepemimpinan dengan pola transformasional, pola pemikir pemimpin ini
lebih tertuju pada perubahan (shift) darikeyakinan – keyakinan, nilai-nilai,
kebutuhan –kebutuhan dan kemampuan pengikut. Ia mampu menyampaikan visi
dan misi serta mampu membangkitkan motivasi para pengikut untuk menjadi
seorang individu yang seutuhnya dan mampu mengaktualisasikan diri. Dari aspek
intelektual, pemimpin transformasional tidakpuas dengan pemecahan masalah
yang bersifat parsial, meneriam keadaan status quo, atau melakukan seperti apa
yang biasa di lakukan, ia sukamencari cara-carabaru, dalam berfikir lebih
proaktif, gagasannya lebih kreatif, inovatif ; didalam ideology labih radikal dan
reaksioner dibandingkan konservatif ; serta tidakmengalami hambatan berfikir
dalam upaya mencari pemecahan masalah. Atribut-atribut diatas dapatlah di
proyeksikan sebagai kepemimpinan yang ditetapkan oleh Gus Dur. Mengingat
Gus Dur pemikirannya lebih democrat. Proactive dan inovatif. Namun pemimpin
yang demikian harus diimbangi dengan para pembantu yang dimiliki daya
persepsi tinggi, sebab apabila tidak maka sang pemimpin akan berjalan sendiri
meninggalkan para pembantunya, sehingga para pembantunya tersebut akan
berjalan ditempat atau menjadi bingung sendiri mengejar pemimpinnya. Yang
dikhawatirkan adalah akibat kelebihan intelektualitas sang pemimpin, maka ia
akan
melakukan
sesuatu
kebijakan
yang
“uncontrollable”
membahayakan rakyat, bangsa dan Negara serta dirinya sendiri.
yang
dapat
29
Terjadi apa yang menjadi kekhawatiran ini terjadi dengan sesungguhnya,
dimana pada kenyataannya dilapangan, Presiden Gus Dur dengan kelebihan
intelektualitasnya dan wisdomnya berjalan dengan sendiri jauh di depan para
pembantunya sehingga menelorkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan yang
controversial di tengah-tengah masyarakat dan bahkan di sana-sini menimbulkan
konflik kelembagaan sebagaimana yang ditampilkan oleh mekanisme kerja yang
tidak serasi antar DPR dan pemerintah, demikian juga dalam perkara Bank
kesemuanya ini menyebabkan pemerintahan dan kelembagaan negara tidak
berjalan dengan efektif dan bahkan cenderung menghasilkan keruntuhan hidup
berbangsa dan bernegara Kesatuan Republik Indonesia.
Menjelang satu dekade konsolidasi demokrasi di Indonesia, hubungan
politik kedua lembaga ini semakin menampakkan performa yang sebenarnya.
Legislatif yang diwakili oleh orang-orang partai lebih banyak memainkan
kepentingan partai politik ketimbang rakyat yang diwakilinya. Sementara
presiden (eksekutif) yang juga representasi partai politik, meskipun dipilih
langsung oleh rakyat sedikit banyak juga memiliki ikatan historis dengan partai
politik yang ada di parlemen, juga memikirkan kepentingan partai politiknya.
Akibatnya yang menonjol dari hubungan eksekutif dan legislatif tersebut adalah
konflik kepentingan (conflict of interest) antarpartai politik yang ada. Kasus
keluarnya surat yang ditulis sekretaris wakil presiden yang mencuat ke
permukaan beberapa minggu terakhir ini adalah manifestasi konflik yang
tersembunyi di antara keduanya.
30
Dalam sistem pemerintahan presidensial keberadaan lembaga eksekutif
adalah sejajar dengan legislatif. Artinya, wewenang, tugas, dan kewajiban
eksekutif baru akan dapat berjalan, jika yang diberi kekuatan hukum oleh
lembaga legislatif. Dan dalam menjalankan wewenang, tugas dan kewajibannya
tersebut selalu mendapatkan pengawasan oleh DPR sehingga sesuai dengan
keinginan rakyat. Selain itu, implementasi wewenang, tugas, dan kewajiban
pemerintah juga memerlukan pembiayaan yang disusun sesuai ketentuan yang
berlaku yang harus melibatkan lembaga legislatif. Inilah makna mekanisme check
and balances dala
TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SUPARDI
NIM: 106045201541
KONSENTERASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SUPARDI
NIM: 106045201541
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Hj. Isnawati Rais, MA
NIP. 195710271985032001
Iding Rasyidin,S.Ag.,M.S.i
NIP. 197010132005011003
KONSENTERASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
LEMBARAN PERYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 April 2011
Supardi
بسم اه الرمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji sukur kehadiran Allah SWT penulis panjatkan atas segala
rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah di berikan pada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tetap
dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, rasul yang sangat berjasa besar pada
umatnya semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi
yang berjudul
“PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN
BANGSA (PKB) TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
DALAM REFORMASI KETATANEGARAAN DI INDONESIA” penulis susun
dalam rangka
Syariah (S.Sy)
memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana
Pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsenterasi Syiasah
Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) fakultas syariah dan hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya
penulis skripsi ini, tanpa adanya bantuan dari motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu dalam kesempatan yang berharga perkenankan penulis untuk
menyampaikan rasa terima kasih yang tulus pada yang terhormat:
i
1. Bapak Prof. Dr. K.H.M. Amin Suma, SH., MH., MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, dan Bapak Afuan Faizin, MA Ketua dan
Sekertaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syar’iah dan Hukum
Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih atas waktu
dan solusinya selama ini.
3. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, MA. Sebagai dosen pembimbing I penulis yang
senantiasa selalu sabar membimbing dan meluangkan waktunya untuk
membantu penulis dalam menyelesaikan sekripsi ini.
4. Bapak Iding Rasyidin, S.Ag., M.Si., sebagai dosen pembimbing II yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan beliau yang sangat berarti bagi
penulis.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memeberikan berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berat bagi
perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas perihal Islamic Legal
Politics (Siyasah Wal Qanun).
6. Segenap pengelolah Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan
referensi buku-bukunya.
7. Sahabat- sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah
Tahun Akademik 2006, Alif, Apri, Ade, Asriyah, Atiqoh, Bangkit, Bowo,
Deni, Dinda, Dian, Eri, Esha, Eca, Mufti, Ridwan, Rifqoh, Yudha, Naziah,
ii
Lina, Lutfi, Imran, terima kasih penulis ucapkan pada sahabat semua baik
yang disebutkan namanya maupun yang tidak disebutkan namanya telah
berbagi ilmu ketika belajar di kampus tercinta dan bersejarah ini.
8. Kakakku Dr. Dania Ralid, SE, MM, Selvi, SH, Iryani, SE, adikku Derma
Yanti dan Nur Komala Sari, terimakasih atas bantuan dan suportnya yang di
berikan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. Ucapakan terima kasih pada abang ipar ku yang di PKB Haikal Ludin beserta
para jajaran pengeurus PKB yang telah membantu penulis
menyelesaikan
tugas akhir kuliah.
10. Sahabat-sahabat dan Abang-abang ku HMI baik yang di Partai,,LBH, LSM.
Atas support dan doanya.
11. Penulis memohon ampun pada Allah SWT lebih khusus untuk kedua orang
tua penulis ayah Prof. Dr. H.Dasuki .SH. MM dan mamah ku tercinta
Dr. Hj. ANISAH. SH terimakasih atas kasih sayangnya dan ketabahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah S1 di kampus bersejarah ini.
Terakhir penulis berdo’a kepada Allah SWT semoga ilmu yang telah kita
dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah
SWT. Amin
Jakarta, 16 April 2011 M
Jumadil Awal 1432 H
Supardi
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah..........................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
9
D. Kerangka Teoritis ........................................................................ 10
E. Kerangka Konsepsional .............................................................. 10
F. Metode Penelitian........................................................................ 11
G. Review Studi Terdahulu .............................................................. 13
H. Sistematika Penulisan ................................................................. 16
BAB II
: PERKEMBANGAN
HUBUNGAN
EKSEKUTIF
DAN
LEGISLATIF DI INDONESIA
A. Perkembangan Eksekutif dan Legislatif ..................................... 18
B. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Orde Lama ............ 21
C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Orde Baru .............. 23
D. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde
Reformasi................................................................................. ... 26
iv
BAB III
: SKETSA TENTANG PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
A. Sejarah Berdirinya PKB .............................................................. 32
B. Visi dan Misi PKB ...................................................................... 38
C. Asas – Asas PKB ........................................................................ 41
BAB IV
: PANDANGAN
PARTAI
KEBANGKITAN
BANGSA
TERHADAP HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
DALAM
REFORMASI
KETATANEGARAAN
DI
INDONESIA
A. Pandangan Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Hubungan
Eksekutif dan Legislatif .............................................................. 43
B. Kewenangan
Lembaga
Eksekutif
dan
Legislatif
Pasca
Amandemen 1945 ....................................................................... 46
C. Peranan PKB terhadap reformasi ketatanegaraan di Indonesia .. 60
D. Analisa
pandangan
PKB
dalam
pelaksanaan
sistem
Presidensial di Indonesia ............................................................. 61
BAB V
: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 68
B. Saran-Saran ................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 72
LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan perkembangan zaman maka untuk konsep kekuasaan saat ini
di Negara-negara berkembang menerapkan konsep pembagian kekuasaan yang
kita kenal dengan doktrin trias politica. Trias politica adalah anggapan bahwa
kekuasaan negara terdiri dalam tiga macam. Pertama, kekuasaan legislatif atau
kekuasaan membuat undang-undang dalam peristilahan baru sering disebut
rulemaking function. Kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan
undang-undang dalam peristilahan baru sering disebut rule application function.
Ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yang mengadili atas pelanggaran
undang-undang dalam peristilahan baru sering disebut rule adjudication function.
Trias politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini
sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa dengan demikian
diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.1
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas, maka lembaga
eksekutif dan legislatif mempunyai hubungan yang sangat erat agar terciptanya
proses checks and balances dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun
dalam implementasinya, hakikat dan makna serta tujuan dan sasaran pelaksanaan
1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1972) h. 54
1
2
pemerintahan masih sering terjadinya gesekan antara lembaga tinggi negara dan
pembagian kekuasaan serta wewenang diri tiap-tiap lembaga tinggi belum dapat
direalisasikan secara utuh. Peran dan Hubungan Antar-Lembaga Sistem politik
Indonesia bercirikan lembaga eksekutif yang kuat yang disokong oleh lembaga
legislatif yang lemah (yang di dalamnya termasuk anggota-anggota yang tidak
dipilih dari kalangan militer dan kelompok-kelompok fungsional). Hal ini
membuat kontrol institusi terhadap lembaga eksekutif berkurang. Hubungan
antara eksekutif dan legislatif juga tak imbang karena budaya politik yang
mendominasi hubungan antara struktur-struktur konstitusional.2
Ini bisa disebut sebagai budaya hierarki atau komando yang menghambat
kontrol demokratis terhadap pemerintah dan yang bisa dihubungkan dengan,
sebagian, absennya definisi peran legislatif dan eksekutif dan batas di antara
mereka dalam UUD 1945.
Untuk mengoreksi situasi ini, peran dan hubungan antara lembaga
eksekutif dan legislatif perlu dipelajari secara kritis. Perdebatan mutakhir berpusat
di sekitar bentuk komposisi lembaga legislatif yang paling memadai. Lembaga
legislatif mendapatkan baik kekuasaan untuk membuat aturan hukum maupun
memperdebatkan kinerja lembaga eksekutif dan institusi-institusi pemerintah lain.
Namun tantanganya adalah menemukan keseimbangan di antara legislatif yang
berdaya dan lembaga eksekutif yang efektif sebab bukanlah peran legislatif untuk
memerintah. Legislatif juga berperan penting untuk mengajak atau mendorong
2
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 39
3
perdebatan ekstra-parlementer yang lebih luas. Untuk melakukannya. harus ada
akses terhadap informasi dan suatu sistem komisi yang aktif. Periodisasi dari
tarik-menarik dari lokus dan fokus kekuasaan dalam sejarah pemerintahan
Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
Periode
Orde
Lama
semangat
perjuangan
masih
mewarnai
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Para pelakunya masih kuat iman
untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsa. Bahkan tidak jarang
diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas menekan kepentingannya sendiri untuk
menghargai kepentingan minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa dan
negara proklamasi.3 Sebagai contoh, penyimpangan pertama dari Bung Karno
terhadap UUD 1945 seperti disinggung di depan ialah diterimanya usulan Sahrir
untuk tidak menggunakan kabinet presidensial dan diganti dengan kabinet
parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan tokoh vokal dan amat disegani.
Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Kamo menerima usulan itu. Selain itu
Bung Karno juga menyadari bahwa KNIP belum mencerminkan kekuatan politik
riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi ditunjuk) tidak mewakili kekuatan
sosial politik nyata saat itu. Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara
waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial
yang mengancam negara proklamasi adalah PKI yang melakukan pemberontakan
dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada
3
Sofyan Effendi, Mencari Sistem Pemerintahan Negara, dalam Makalah Orasi Ilmiah Pada
Dies Natalies Ke-40 Universitas Pancasila pada tanggal 6 April 2008.
4
semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan merupakan merupakan
sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup
beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau
rakyat sampai ke desa-desa.
Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya
aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini
menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar
peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintahan ini.
Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga
birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun 1950 Indonesia
menganut sistem demokrasi parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, saat itu menganut sistem banyak partai yang
memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai
dengan aspirasinya. Pada periode ini diselenggarakan pemilihan umum pertama
yang dikenal sangat demokratis.
Kedudukan DPR saat itu sangat kuat sebaliknya lembaga pemerintah dapat
dikatakan lemah posisinya, aparat pemerintah yang diharapkan netral juga sudah
pandai bermain mata dengan kekuatan- kekuatan politik yang ada. Pada periode
ini di sana-sini militer sudah mulai ikut memainkan peran dalam percaturan
politik. Partisipasi politik militer mulai nampak ketika tentara menolak perjanjian
KMB yang merupakan hasil perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan oleh
politisi sipil melalui jalan diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan
5
dalam konsep duwi fungsi yang menekankan bahwa militer tidak hanya berperan
di bidang keamanan dan pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan
politik.
Periode masa Orde Baru Hubungan dan kedudukan antara eksekutif
(Presiden) dan legislatif (DPR) dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur.
Dimana kedudukan dua lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena
kedua lembaga ini adalah merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR
No.III/MPR/1978).4 Namun dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya
pemerintahan pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan
terhadap semua aspek kehidupan sistem kepemerintahan dalam negara kita,
terhadap kekuasaan legislatif maupun terhadap kekuasaan yudikatif.
Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang
terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu,
tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945
menganut supremasi eksekutif.
Dominasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi konstitusionalnya,
karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan
dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di
bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden
memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain sebagai pemegang kekuasaan
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1972) h. 38
6
pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki kekuasaan untuk membentuk
undang-undang ( pasal 5 ayat 1 ).
Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang sangat besar,
yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian internasional dan
mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan pasal 13). Sama
halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang kemudian
diwujudkan dalam pemberian garis rehabilitas, amnesti dan abolisi ( pasal 14 ).5
Sistem pemerintahan pada masa kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dipilih oleh penulis disebabkan oleh banyaknya bentuk-bentuk
kebijakan yang dirasa oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tidak
lazim dan bertentangan dengan apa yang dinginkan oleh rakyatnya.6 Era
pemerintahan orde reformasi ketika dibawah kepemimpinan Gus Dur berusaha
mencoba menampilkan strategi demokratisasi yang khas yang dikenal sebagai
“demokrasi bawah”, yaitu suatu demokrasi dan upaya demokratisasi Negara yang
memprioritaskan upaya pemberdayaan dan keberdayaan masyarakat. Menurut
Gus Dur upaya menciptakan demokrasi hampir identik dengan upaya
pembangunan civil society. Melalui saluran komunikasi yang dimilikinya, ia
mencoba memberikan satu kerangka kerja bagi petani, buruh, pedagang kecil,
bahkan pegawai pemerintah untuk menyalurkan dan menata diri mereka masingmasing.
5
6
85
Moh. Mahfud MD, Politiki Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 64
Marwan Jafar, Merubah Sistem Politik Gus Dur di PKB, (Jakarta: Rajawali Press, 2008) h.
7
Kepemimpinan dengan pola transformasional, pola pemikir pemimpin ini
lebih tertuju pada perubahan dari keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, kebutuhankebutuhan dan kemampuan pengikut. Ia mampu menyampaikan visi dan misi
serta mampu membangkitkan motivasi para pengikut untuk menjadi seorang
individu yang seutuhnya dan mampu mengaktualisasikan diri.7 Dari aspek
intelektual, pemimpin transformasional tidak puas dengan pemecahan masalah
yang bersifat parsial, menerima keadaan status quo, atau melakukan seperti apa
yang biasa di lakukan, ia suka mencari cara-cara baru, dalam berfikir lebih
proaktif, gagasannya lebih kreatif, inovatif ; di dalam ideologi lebih radikal dan
reaksioner dibandingkan konservatif ; serta tidak mengalami hambatan berfikir
dalam upaya mencari pemecahan masalah.
Atribut-atribut diatas dapatlah di proyeksikan sebagai kepemimpinan yang
ditetapkan oleh Gus Dur. Mengingat Gus Dur pemikirannya lebih demokratis,
Proaktif dan inovatif. Namun pemimpin yang demikian harus diimbangi dengan
para pembantu yang dimiliki daya persepsi tinggi, sebab apabila tidak maka sang
pemimpin akan berjalan sendiri meninggalkan para pembantunya, sehingga para
pembantunya tersebut akan berjalan ditempat atau menjadi bingung sendiri
mengejar
pemimpinnya.
Yang
dikhawatirkan
adalah
akibat
kelebihan
intelektualitas sang pemimpin, maka ia akan melakukan sesuatu kebijakan yang
tidak dapat dikendalikan (uncontrollable) yang dapat membahayakan rakyat,
bangsa dan negara serta dirinya sendiri.
7
DPP PKB, 13 Agenda Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa, Jakarta,2008 h.23
8
Presiden Gus Dur dengan kelebihan intelektualitasnya dan wisdomnya
berjalan dengan sendiri jauh di depan para pembantunya sehingga mengeluarkan
kebijakan-kebijakan atau pernyataan yang kontroversial di tengah-tengah
masyarakat dan bahkan di sana-sini menimbulkan konflik kelembagaan
sebagaimana yang ditampilkan oleh mekanisme kerja yang tidak serasi antar DPR
dan pemerintah.
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis ingin mengetahui
pandangan salah satu partai yang ada di Indonesia yaitu Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) terhadap hubungan eksekutif dan legiselatif dikarenakan penulis
merasa ada faktor-faktor politik yang tidak menunjang terjadiya hubungan yang
harmonis antara eksekutif dan legiselatif, dan ini menarik untuk diteliti, sehingga
penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul;
“PANDANGAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) TERHADAP
HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DALAM REFORMASI
KETATANEGARAAN DI INDONESIA”.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis
terfokus pada pandangan Partai Kebangkitan Bangsa terhadap hubungan
lembaga Eksekutif dan Legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
9
2. Perumusan Masalah
Melihat judul skripsi tersebut dan latar belakang permasalahan seperti
terurai di atas, maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang dianggap
penting yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini.
Diantara rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan
legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia?
b. Bagaimana kebijakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam reformasi
ketatanegaraan di Indonesia?
c. Bagaimanakah konsep Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengatasi
berbagai kendala yang menghambat upaya pelaksanaan reformasi
ketatanegaraan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap Secara lebih rinci
tentang pandangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengenai hubungan
lembaga eksekutif dan legislative dalam reformasi ketatanegaraan di
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk:
a.
Mengetahui pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan legislatif
dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia
b.
Mengetahui kebijakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam reformasi
ketatanegaraan di Indonesia
10
c.
Mengetahui konsep Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengatasi
berbagai kendala yang menghambat upaya pelaksanaan reformasi
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran dan
pemahaman tentang Pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif dan
legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
D. Kerangka Teoritis
Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut
di berbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di
suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik
melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang
untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan kekuasaan Eksekutif
adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang.
E. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Legislatif
Legislatif berfungsi membuat undang-undang (legislate). Menurut teori
kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat ini
mempunyai kemauan (Rousseau menyebutnya dengan Volonte Generale atau
Generale Will). Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga
11
legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan
rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum (public policy).
2. Pengertian Eksekutif
Lembaga penyelenggara kekuasaan negara berikutnya adalah lembaga
eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang. Di negara-negara
demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang
dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya (kabinetnya).
Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri sipil
dan militer.
F. Metode Penelitian
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal
yang terkait dengan metode penelitian dari skripsi ini, yaitu :
1. Jenis Penelitian
Penulisan skripsi ini termasuk salah satu jenis penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif
dalam buku Suharsimi didefinisikan sebagai penggambaran situasi yang
sebenarnya tentang suatu objek, gejala atau keadaan dari hasil temuan di
lapangan serta memahaminya sehingga mendapatkan suatu gambaran atau
informasi yang tepat berkaitan dengan masalah penelitian tersebut.
Dalam pengertian bahwa metode yang digunakan untuk memahami
masalah yang diteliti pada skripsi ini, tidak dengan melakukan pengukuran
12
secara statistik, melainkan dari hasil pemaparan pihak responden yang jelas
dan rinci terhadap masalah yang diteliti sehingga memberikan pemahaman
yang mendalam terhadap masalah yang diteliti tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pihak responden yang
terdiri dari
1) Observasi
Dalam hal ini penulis mengamati setiap kegiatan atau aktivitas yang
berlangsung di DPP PKB Jakarta.
2) Wawancara Terstruktur
Selain melakukan wawancara dengan pihak responden, penulis
menyiapkan daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka, agar wawancara
bisa berjalan fokus dan terarah, serta bertujuan untuk memberikan
pemahaman secara mendalam
3) Untuk Memperoleh data dilakukan dengan menggunakan Studi
Dokumenter. yaitu dengan cara mengkaji yang terdapat dari berbagai
macam literatur kepustakaan berupa buku-buku, majalah-majalah,
website atau literatur lainnya yang berkaitan dengan masalah yang
sedang dibahas untuk dikaji dan dicatat bagian-bagian yang penting
yang nantinya
ada
benang merah
tentang
pandangan
Partai
Kebangkitan Bangsa hubungan eksekutif dan legiselatif dalam
reformasi ketataegaraan di Indonesia.
13
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber seperti arsip,
atau dokumen yang mendukung penelitian ini.
1) Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis
secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data
di lapangan sacara berkesinambungan. Diawali dengan proses
klarifikasi data agar tercapai konsistensi di lapangan dengan langkah
abstrkaksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan
mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat
memungkinkan dianggap mendasar dan universal.
2) Teknik Penulisan
Untuk teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku petunjuk
“pedoman penulis skripsi “ yang di terbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta
G. Review Studi Terdahulu
Penulis menemukan judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa
sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh
penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca skripsinya tersebut ada perbedaan
yang signifikan. Sehingga dalam tulisan skripsi ini nantinya tidak timbul
kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan skripsi yang
pernah di tulis yaitu:
14
1. Judul : “ Perdebatan dan Peraktek Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca
Soeharto”
Penulis : Rico Candra /FISIP/2009
Skripsi ini membahas seputar sistem kepemerintahan pasca Soeharto
yang menggunakan sistem presidensial yang tercampur baur dengan sistem
parlementer. Fenomena yang menunjukkan bahwa sistem presidensial di
Indonesia bercita rasa parlemen adalah pada tata kelola dan pelaksanaan sistem
relasi antar lembaga negara, terutama pada lembaga eksekutif dan legislatif.
Meskipun prsiden dan wakil presiden mendapat dukungan mayoritas dari
rakyat namun itu tidak sejalan dengan dukungan parlemen.
Dalam pemilihan umum presiden ( eksekutif ) sistem pemerintahan
yang di anut di indonesia pasca kejatuhan rezim soeharto adalah presidensial.
Salah satu yang mengindikasikan hal tersebut adalah presiden dan wakil
presiden di pilih langsung oleh rakyat, bukan lagi oleh MPR. Konsekuensinya
presiden bukan lagi mandataris oleh MPR lagi, kedudukan presiden dan MPR
sejajar. Inilah inti dari presidensial yang di anut di indonesia pasca jatuhnya
rezim Seharto adalah “Kuasi Presidensial” di sebabkan beberapa kebijakan
yang seharusnya wewenang penuh presiden di ambil alih oleh DPR RI.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis terdapat pada
cangkupan yang diteliti, jika penelitian yang dilakukan oleh rico chandra
membahas semua sistem pemerintahan setelah kepemimpinan soeharto maka
pada penelitian kali ini penulis lebih menekankan pada pembahasan
15
pandangan PKB terhdapa hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi
ketatanegaraan di Indonesia
2. Judul :” Reformasi Kewenangan Presiden Pasca Amandemen Suatu kajian
Yuridis-Normatif dan Hukum Ketatanegaraan islam “
Penulis : Siti Atiqoh/FSH/2010
Skeripsi membahas tentang seputar eksekutif pasca amandemen,
menjelaskan kewenangan presiden atau kepala Negara menurut ketatanegaraan
islam, presiden atau lembaga eksekutif menurut ketatanegaraanislam adalah
tugas melaksanakan Undang-Undang (al-Sulthah al-tanfidziyah). Dalam hal ini
negara melakukan kebijaksanaan baik yang berhubungan dengan dalam negeri,
maupun yang menyangkut dengan hubungan sesama negara (hubungan
internasional).
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada
pembahasan jika pada penelitian yang dilakukan oleh siti atiqoh reformasi
kewenangan presiden sedangkan penelitian yang dilakukan penulis lebih
menekankan pada pembahasan pandangan PKB terhadap hubungan eksekutif
dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia.
3. Judul :” Studi Kompratif Antara AHL AL-HALL WA AL-AQD dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar
1945”
Penulis : Naziah/FSH/2010
Skripsi membahas tentang seputar AHLAL-HALL WA AL-AQD dan
MPR Pasca Amandemen, menjelaskan kedudukan dan kewenangan MPR
16
pasca amandemen UUD1945, kedudukan dan wewenang ahl al-hall wa al-aqd
sama dengan MPR sebelum UUD 1945 diamandemen namun, setelah UUD
1945 mengalami perubahan kedudukan dan wewenang MPR tidak lagi sama
seperti ahl al-hall wa al-aqd, setelah amandemen tugas dan wewenang MPR
terbatas dan di berikan lembaga tinggi Negara lainnya.berarti wewenang ahl
al-hall wa al-aqd menyangkup tugas dan wewenang beberapa lembaga tinggi
Negara di Indonesia setelah amandemen UUD 1945.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada
pembahasan jika pada penelitian yang dilakukan oleh Naziah hanya membahas
tentang kedudukan dan kewenangan MPR sedangkan penelitian yang
dilakukan penulis lebih menekankan pada pembahasan pandangan PKB
terhadap hubungan eksekutif dan legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di
Indonesia merupakan judul yang belum pernah ditulis dan dibahas sebelumnya
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai
berikut :
BAB I : Merupakan Pendahuluan, memuat ; latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan kerangka teori manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
17
BAB II :
Perkembangan Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia,
Perkembangan Eksekutif dan Legislatif, Hubungan Eksekutif dan
Legislatif Periode Orde Lama, Hubungan Eksekutif dan Legislatif
Periode Orde Baru, Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa
Orde Reformasi.
BAB III : Sekilas tentang Partai Kebangkitan Bangsa, memuat: Sejarah
berdirinya, Asas – asas, Visi dan misi partai.
BAB IV : Pandangan partai kebangkitan bangsa terhadap hubungan Esekutif dan
Legislatif dalam reformasi ketatanegaraan di Indonesia, Pandangan
Partai Kebangkitan Bangsa Terhadap Hubungan Eksekutif dan
Legislatif, Kewenangan Lembaga Eksekutif dan Legislatif Pasca
Amandemen 1945, Peranan PKB terhadap reformasi ketatanegaraan di
indonesia, Analisa pandangan PKB dalam pelaksanaan sistem
presidensial di indonesia
BAB V : Merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan
skripsi yang berisi kesimpulan dan saran
BAB II
PERKEMBANGAN HUBUNGAN EKSEKUTIF
DAN LEGISLATIF DI INDONESIA
A. Perkembangan Eksekutif dan Legislatif
DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang
untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau
eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang
untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak
legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, terlebih Indonesia
yang memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh
ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekangesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif
yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak
jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih
langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan
partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya.
Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah
konflik kepentingan antar partai yang ada.
Peran dan Hubungan Antar-Lembaga Sistem politik Indonesia bercirikan
lembaga eksekutif yang kuat yang disokong oleh lembaga legislatif yang lemah
18
19
(yang di dalamnya termasuk anggota-anggota yang tidak dipilih dari kalangan
militer dan kelompok-kelompok fungsional). Hal ini membuat kontrol institusi
terhadap lembaga eksekutif berkurang. Hubungan antara eksekutif dan legislatif
juga tak imbang karena budaya politik yang mendominasi hubungan antara
struktur-struktur konstitusional. Ini bisa disebut sebagai budaya hierarki atau
komando yang menghambat kontrol demokratis terhadap pemerintah dan yang
bisa dihubungkan dengan, sebagian, absennya definisi peran legislatif dan
eksekutif dan batas di antara mereka dalam UUD 1945.
Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen UndangUndang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat
baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara Eksekutif
dan Legislatif pada masa itu. Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada
masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR
dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR
yang tentunya sebagian besar dari Fraksi Golongan Karya, selalu „manut‟ dengan
apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah
Orba, yaitu pada masa reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri,
menuruti segala apa yang dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan
legislatif kini semakin kuat. Hal ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan
impeachment terhadap kepemimpinan Gus Dur.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif
dalam hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif yaitu anggota
20
DPR telah mengubah pola atau sistem dengan pemilihan langsung oleh rakyat.
Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau
hubungan antara Presiden dengan anggota DPR itu sendiri. Pengaruh yang
dimaksud disini adalah tentang relasi antara Presiden dan anggota DPR yang
tidak kunjung membaik. Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat
Presiden dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai
hak bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan
penuh dari rakyat. Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden
menjadi kurang bertoleransi dengan kelompok oposisi. Hal ini membuat
keegoisan antara Presiden dan anggota DPR menjadi semakin kuat.
Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan
oleh sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan
bahwa sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila
suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislatif, eksekutif tidak perlu takut
dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan
mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan
anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu „ketakutan‟ eksekutif akan
kekuasaannya.
Hubungan yang tidak sehat antara eksekutif dan legislatif memang selalu
terjadi di setiap pemerintahan. Dulu semasa pemerintahan Orde Baru, ada Sri
Bintang Pamungkas yang selalu bertentangan dengan kebijakan Soeharto, masa
Gus Dur sangat terlihat karena dengan adanya impeachment terhadap Gus Dur,
21
dan pada masa SBY-JK, diantaranya adalah intepelasi DPR terhadap penggantian
panglima TNI oleh Presiden SBY, soal impor beras pada masa SBY, tentang
pemilihan Gubernur BI, tentang Iran, dan sebagainya.
B. Hubungan eksekutif dan legislatif Periode Orde Lama
Semangat perjuangan masih mewamai penyelenggaraan pemerintahan
kita. Para pelakunya masih kuat iman untuk berjuang demi negara dan persatuan
bangsa. Bahkan tidak jarang diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas menekan
kepentingannya sendiri untuk menghargai kepentingan minoritas demi kesatuan
dan persatuan bangsa dan negara proklamasi. Sebagai contoh, penyimpangan
pertama dari Bung Kamo terhadap UUD 1945 seperti disinggung di depan ialah
diterimanya usulan Sjahrir untuk tidak menggunakan kabinet presidensial dan
diganti dengan kabinet parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan tokoh
vokal dan amat disegani. Sebagai sebuah negara baru, Indonesia membutuhkan
perangkat-perangkat yang dibutuhkan dalam menopang sistem negara moderen.
Namun hal itu tidak di miliki bangsa Indonesia karena keterbatasan faktor dalam
negeri yang tidak stabil pada sistem keamanannya. Atas inisiatif beberapa tokoh,
dalam upayah melengkapi kelembagan negara sebagai syarat pengakuan maka
pada tanggal 29 Agustus 1945 maka di bentuk lembaga Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP).1
1
Delier Noer & Akbarsyah. KNIP: Komite Nasional Pusat Parlemen Indonesia 1945-1950,
(Jakarta: Yayasan Risalah, 2005), h. 22
22
Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Kamo menerima usulan
tersebut Selain itu Bung Kamo juga menyadari bahwa KNIP belum
mencerminkan kekuatan politik riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi
ditunjuk) tidak mewakili kekuatan sosial politik nyata saat itu. Semangat
primordial untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya
organisasi politik primordial yang mengancam negara proklamasi adalah PKI
yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan
negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga
pemerintahan
merupakan
merupakan
sarana
politik
yang
baik
untuk
mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini
mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa.
Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya
aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini
menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar
peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintah ini.
Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga
birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD
Semen tara 1950 diperlakukan. Dalam UUD ini dianut sistem demokrasi
parlementer, bahwa Pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita menganut
sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk
mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode ini
23
terselenggara Pemilihan Umum pertama yang dikenal sangat demokratis. Ketika
itu semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai
beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang terjadi kabinet pemerintah dibubarkan
hanya karena pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan partaipartai politik.
Mosi tidak percaya merupakan awal dari runtuhnya kabinet yang
memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai
politik yang anggotanya mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat. Sebaliknya
lembaga pemerintah dapat dikatakan lemah posisinya. Sementara itu aparat
pemerintah yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan
kekuatan- kekuatan politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah
mulai ikut memainkan peran dalam percaturan politik. Partisipasi politik militer
mulai nampak ketika tentara menolak perjanjian KMB yang merupakan hasil
perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan oleh politisi sipil melalui jalan
diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan dalam konsep dwifungsi yang
menekankan bahwa militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan
pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan politik.
C. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde Baru
Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru berdasarkan
pada lahirnya surat perintah sebelas Maret adalah masa penggantian. Banyak
kalangan yang berpendapat bahwa kelahiran Orde Baru adalah bentuk koreksi
24
dari segala penyelewengan konstitusional yang terjadi pada masa rezim Soekarno.
Begitulah pandangan awal yang datang dari Natsir di awal-awal kelahiran Orde
Baru. Namun Natsir melihat terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden
Soeharto sebagai mana yang dilakukan pendahulunya. Sistem pemerintahan yang
di jalankan menurut Natsir berupa pemusatan kekuasaan secara mutlak pada satu
tangan yaitu kepala negara.2
Hubungan dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR)
dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur. Dimana kedudukan dua
lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena kedua lembaga ini adalah
merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR No.III/MPR/1978). Namun dalam
praktik ketatanegaraan dan proses jalannya pemerintahan pada masa rezim Orde
Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan terhadap semua aspek kehidupan
berkepemerintahan dalam negara kita, terhadap kekuasaan legislatif maupun
terhadap kekuasaan judikatif.
Pada masa Orde Baru kekuasaan dikelola secara sentralistis, yakni
berpusat dan dikuasai oleh satu institusi atau bahkan oleh satu orang penguasa.3
Berdasarkan realitas politik, tentu dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan
yang dianut Indonesia pada era Orde Baru adalah sistem presidensial murni.
Penyebutan dalam istilah ini barangkali dapat menjadi perdebatan, namun
2
Thohir Luth, M. Natsir Dakwa dan pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.
112
3
TA. Legowo, Negara, Politik dan Keadilan. Dalam Al Andang, dkk (editor) Keadilan Sosial
Upaya Kesejahteraan Bersama (Jakarta: Kompas, 2004), h.39
25
terminologi tersebut merujuk pola-pola pemerintahan yang menjadi sosok
presiden yang amat berkuasa, dan melebihi lembaga-lembaga negara yang ada.
Semua instrument negara, sumber-sumber kekuasaan Negara dan mekanisme
pengambilan kebijakan berada di bawah tangan presiden.
Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang
terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu,
tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945
menganut
supremasi
eksekutif. Dominasi/supremasi
kekuasaan
eksekutif
mendapat legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD
1945 pada bagian Sistem Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri
dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di
bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden
memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki kekuasaan membentuk undangundang (pasal 5 ayat 1). Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik
yang sangat besar, yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian
internasional dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan
pasal 13). Sama halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang
kemudian diwujudkan dalam pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi
(pasal 14).
Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat ruang geraknya ketika
penguasa melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7. Penafsiran ini
26
menimbulkan implikasi yang sangat luas karena menyebabkan Presiden dapat
dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya kekuasaan
Presiden pada masa orde baru. Presiden juga memiliki kewenangan untuk
menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969
UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan
logika demokrasi.
Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang
lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang
dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap
pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap
pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif)
menjadi tidak efektif.
D. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Periode Masa Orde Reformasi
Orde Reformasi ditandai dengan kejatuhan Soeharto dari singgasana
kekuasaan presiden yang berkuasa hampir 32 tahun lebih yang merupakan model
kekuasaan absolut, korup, menindas dan menekan. Kekuasaan yang bersifat
absolut pada kekuasaan rezim Orde Baru tercerai berainya menjadi semacam
kebebasan yang cenderung kebablasan. Pada masa Reformasi inilah demokrasi
kian terbuka, kebebasan pers dijamin, demonstrasi dijamin oleh negara, dan orang
bebas berekpresi dalam bentuk mendirikan partai politik, dan organisasi
27
kemasyarakatan, bagian terakhir yang kedua sulit di bayangkan bakal terealisasi
pada era Soeharto.4
Penulis memilih era kepemimpinan pemerintahan KH. Abdurrahman
karena disebabkan banyak bentuk-bentuk suatu kebijakan yang dirasa oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tidak lazim dan bertentangan dengan
apa yang dinginkan oleh rakyatnya. Dan ini adalah suatu fenomena yang sangat
menarik sehingga membuat penulis tertarik juga untuk memasukkannya dalam
tulisan ini.
Era pemerintahan orde reformasi yang ketika dibawah kepemimpinan Gus
Dur berusaha mencoba menampilkan strategi demokratisasi yang khas yang
dikenal sebagai “demokrasi bawah”, yaitu suatu demokrasi dan upaya
demokratisasi
Negara
yang
memprioritaskan
upaya
pemberdayaan
dan
keberdayaan masyarakat. Menurut Gus Dur upaya menciptakan demokrasi
hamper identik dengan upaya pembangunan civil society, melalui saluran
komunikasi yang dimilikinya, ia mencoba memberikan satu kerangka kerja bagi
petani, buruh, pedagang kecil, bahkan pegawai pemerintah untuk menyalurkan
dan menata diri mereka masing-masing. Kepemimpinan Gus Dur juga terkandung
charisma hal ini karena eksistensinya dirinya, juga karena Gus Dur termasuk
keluarga dari ulama yang sangat terkenal, baik dari orang tuanya maupun dari
4
Kari Mannheim. Freedom, Power and Democratic Planning. (London: Routledge & Keegan
Paul Ltd, 1951), h. 51
28
mertuanya. Namun karena pemikirannya yang democrat, didalam praktek
kepemimpinannya lebih cenderung ke arah transformasional.
Kepemimpinan dengan pola transformasional, pola pemikir pemimpin ini
lebih tertuju pada perubahan (shift) darikeyakinan – keyakinan, nilai-nilai,
kebutuhan –kebutuhan dan kemampuan pengikut. Ia mampu menyampaikan visi
dan misi serta mampu membangkitkan motivasi para pengikut untuk menjadi
seorang individu yang seutuhnya dan mampu mengaktualisasikan diri. Dari aspek
intelektual, pemimpin transformasional tidakpuas dengan pemecahan masalah
yang bersifat parsial, meneriam keadaan status quo, atau melakukan seperti apa
yang biasa di lakukan, ia sukamencari cara-carabaru, dalam berfikir lebih
proaktif, gagasannya lebih kreatif, inovatif ; didalam ideology labih radikal dan
reaksioner dibandingkan konservatif ; serta tidakmengalami hambatan berfikir
dalam upaya mencari pemecahan masalah. Atribut-atribut diatas dapatlah di
proyeksikan sebagai kepemimpinan yang ditetapkan oleh Gus Dur. Mengingat
Gus Dur pemikirannya lebih democrat. Proactive dan inovatif. Namun pemimpin
yang demikian harus diimbangi dengan para pembantu yang dimiliki daya
persepsi tinggi, sebab apabila tidak maka sang pemimpin akan berjalan sendiri
meninggalkan para pembantunya, sehingga para pembantunya tersebut akan
berjalan ditempat atau menjadi bingung sendiri mengejar pemimpinnya. Yang
dikhawatirkan adalah akibat kelebihan intelektualitas sang pemimpin, maka ia
akan
melakukan
sesuatu
kebijakan
yang
“uncontrollable”
membahayakan rakyat, bangsa dan Negara serta dirinya sendiri.
yang
dapat
29
Terjadi apa yang menjadi kekhawatiran ini terjadi dengan sesungguhnya,
dimana pada kenyataannya dilapangan, Presiden Gus Dur dengan kelebihan
intelektualitasnya dan wisdomnya berjalan dengan sendiri jauh di depan para
pembantunya sehingga menelorkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan yang
controversial di tengah-tengah masyarakat dan bahkan di sana-sini menimbulkan
konflik kelembagaan sebagaimana yang ditampilkan oleh mekanisme kerja yang
tidak serasi antar DPR dan pemerintah, demikian juga dalam perkara Bank
kesemuanya ini menyebabkan pemerintahan dan kelembagaan negara tidak
berjalan dengan efektif dan bahkan cenderung menghasilkan keruntuhan hidup
berbangsa dan bernegara Kesatuan Republik Indonesia.
Menjelang satu dekade konsolidasi demokrasi di Indonesia, hubungan
politik kedua lembaga ini semakin menampakkan performa yang sebenarnya.
Legislatif yang diwakili oleh orang-orang partai lebih banyak memainkan
kepentingan partai politik ketimbang rakyat yang diwakilinya. Sementara
presiden (eksekutif) yang juga representasi partai politik, meskipun dipilih
langsung oleh rakyat sedikit banyak juga memiliki ikatan historis dengan partai
politik yang ada di parlemen, juga memikirkan kepentingan partai politiknya.
Akibatnya yang menonjol dari hubungan eksekutif dan legislatif tersebut adalah
konflik kepentingan (conflict of interest) antarpartai politik yang ada. Kasus
keluarnya surat yang ditulis sekretaris wakil presiden yang mencuat ke
permukaan beberapa minggu terakhir ini adalah manifestasi konflik yang
tersembunyi di antara keduanya.
30
Dalam sistem pemerintahan presidensial keberadaan lembaga eksekutif
adalah sejajar dengan legislatif. Artinya, wewenang, tugas, dan kewajiban
eksekutif baru akan dapat berjalan, jika yang diberi kekuatan hukum oleh
lembaga legislatif. Dan dalam menjalankan wewenang, tugas dan kewajibannya
tersebut selalu mendapatkan pengawasan oleh DPR sehingga sesuai dengan
keinginan rakyat. Selain itu, implementasi wewenang, tugas, dan kewajiban
pemerintah juga memerlukan pembiayaan yang disusun sesuai ketentuan yang
berlaku yang harus melibatkan lembaga legislatif. Inilah makna mekanisme check
and balances dala