Hak Kekayaan Intelektual dalam Hukum Nasional dan Internasional

6 Desain Tata Letak Sirkit Terpadu UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkit Terpadu; dan 7 Perlindungan Varietas Tanaman UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Meskipun rezim HKI diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, namun secara garis besar HKI dibagi dalam 2 dua bagian, yaitu: 61 1 Hak Cipta copyright; 2 Hak kekayaan industri industrial property rights, yang mencakup: a Paten Patent; b Desain Industri Industrial Design; c Merek Trade Mark; d Penanggulangan Praktik Persaingan Curang Repression of Unfair Competition; e Desain Tata Letak Sirkit Terpadu Layout Design of Integrated Circuit; dan f Rahasia Dagang Trade Secret.

3. Hak Kekayaan Intelektual dalam Hukum Nasional dan Internasional

Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produk legislasi Indonesia. setelah 16 enam belas tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1961 barulah Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan HKI dalam hukum positif pertama kalinya 61 Tanpa Nama, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Op. Cit., hlm. 1. dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada tahun 1961, disusul dengan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1982, dan Undang- Undang Paten pada tahun 1989. 62 Berdasarkan uraian di atas, undang-undang HKI pertama kali lahir di Indonesia pada tahun 1961. Berikut ini akan diuraikan perkembangan peraturan perundang-undangan tentang HKI di Indonesia hingga saat ini: c. Undang merek pertama di Indonesia lahir pada tahun 1961 dengan diundangkannya Undang-Undang Merek Dagang dan Merek Perniagaan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961 yang dikenal juga dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. 63 Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di Indonesia dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992. Undang-undang tentang merek mengalami beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek; d. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tantang Hak Cipta sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 dan UU No. 12 Tahun 1997. Kemudian diperbaharui kembali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; e. Undang-Undang paten Indonesia pertama baru ada pada tahun 1989 sejak diundangkan dan 62 Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 4. 63 Loc. Cit. diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 dan yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten; f. Undang-undang lain di bidang HKI adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Berkembangnya perdagangan internasional secara bebas sangat berpengaruh pada penggunaan atau pemanfaatan HKI. Beberapa peraturan perundangan di Indonesia terkait dengan HKI di atas tentu mendapatkan pengaruh dari konvensi-konvensi internasional terkait dengan HKI. Konvensi internasional yang terkait dengan HKI antara lain sebagai berikut: a. Konvensi Paris Paris Convention for the Protection on Industrial Property Konvensi Paris diselenggarakan pada tahun 1878 yang merupakan kelanjutan dari Konvensi Wina yang diselenggarakan tahun 1873. Konvensi Paris dihadiri sekitar 500 peserta, termasuk wakil dari 11 sebelas negara, 48 kamar dagang dan industri, serta masyarakat industri dan teknik yang berdiam di Paris. Konvensi Paris telah beberapa kali diubah. Perubahan terakhir adalah pada 1967 di Stockholm pada tahun 1979. 64 Pada intinya terdapat tiga kelompok ketentuan pokok dalam Konvensi Paris: 65 1 National Treatment Ketentuan national treatment menuntut adanya pemberlakuan yang sama dalam kaitan dengan perlindungan kekayaan intelektual antara yang diberikan kepada warga negara sendiri dengan warga negara lain. 2 Hak Prioritas Hak prioritas diberikan oleh negara terhadap paten, utiluty models, merek, dan desain industri. Artinya, berdasarkan permohonan yang dilakukan di negara anggota, pemohon dalam jangka waktu tertentu, dapat mengajukan permohonan perlindungan yang sama di negara anggota lainnya. 3 Ketentuan-Ketentuan Umum Keharusan bagi negara anggota untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Paris terdapat dalam TRIPs Agreementi. TRIPs Agreement mengharuskan negara anggota untuk mematuhi Article 1 – Article 12 serta Article 19 Konvensi Paris yang mengatur mengenai paten, utility models, merek, desain industri, persaingan yang curang, instansi HKI, dan persetujuan-persetujuan khusus. b. Konvensi Berne Bern Convention 64 Sudaryat, Sudjana, dan Rika Ratna Permata, Hak Kekayaan Intelektual : Memahami Prinsip Dasar, Cakupan, dan Undang-Undang yang Berlaku,, Cetakan Ke-1, Oase Media, 2010, hlm. 27. 65 Ibid., hlm. 28-29. Lihat juga Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 30-32. Konvensi Berne diselenggarakan pada tahun 1971 yang mengatur mengenai Hak Cipta. Beberapa ketentuan pokok yang diatur dalam Konvensi Berne adalah pembentukan union, perlindungan karya cipta, kriteria pemberian perlindungan, kriteria perlindungan untuk karya sinematografi, arsitektur, dan karya artistik tertentu, hak-hak yang diberikan, pembatasan perlindungan atas karya tertentu dan warga negara bukan anggota union, serta jangka waktu perlindungan. c. Konvensi Roma Rome Convention Konvensi Roma dirujuk TRIPs Agreement article 14 6 dalam hubungan dengan pelaku performers, produser fonogram producers of phonograms, dan lembaga penyiaran broadcasting organization. Dalam TRIPs Agreement, Konvensi Roma bukanlah konvensi yang wajib diikuti oleh negara-negara yang meratifikasi Persetujuan WTO, termasuk annex I C TRIPs. Konvensi Roma disepakati pada tahun 1961. d. GATT 1994 General Agreement Tariff and TradePersetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan Berkaitan dengan penyelesaian sengketa, TRIPs Agreement merujuk pada Article XXII dan XXIII GATT 1994 yang kemudian dijabarkan dalam dokumen Understanding Rules and Procedurs Governing the Settlement of Dispute atau dikenal sebagai Dispute Settlement Understanding. Article XXII berisi aturan tentang perlunya diambil langkah konsultasi sehubungan dengan pelaksanaan TRIPs Agreement, hal yang merupakan prinsip umum yang sudah dikenal luas dalam rangka penyelesaian sengketa. Konsultasi merupakan titik awal sebelum melanjutkan ke langkah berikutnya yang dipilih para pihak. Sementara, Article XXIII mengantisipasi langkah lanjutan atas tidak dilaksanakannya atau dilanggarnya tujuan TRIPs Agreement sebagai akibat berbagai hal, misalnya kegagalan salah satu negara anggota dalam melaksanakan kewajibannya berdasarkan TRIPs Agreement. e. Persetujuan TRIPs The Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights TRIPs Agreementi merupakan Annex IC dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia World Trade Organization, yang pada hakikatnya mengandung 4 empat kelompok pengaturan, yaitu: 1 Pengaturan yang mengaitkan peraturan HKI dengan konsep perdagangan internasional; 2 Pengaturan yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mematuhi Konvensi Paris dan Konvensi Berne; 3 Pengaturan yang menetapkan aturan atau ketentuan sendiri; dan 4 Pengaturan yang berkaitan dengan penegakan hukum HKI. f. Convention Establishing World Intellectual Property Organization WIPO Konvensi ini mengklasifikasikan HKI ke dalam Paten Patent, Model dan Rancang Bangun Utility Models, Desain Industri Industrial Design, Merek Dagang Trade Mark, Nama Dagang Trade Name dan Sumber Tanda atau Sebutan Asal Indication of Source or Appelation of Origin. g. Konvensi Strasbourg Pada perkembangannya sejumlah negara merasa perlu untuk menetapkan suatu sistem klasifikasi yang diterima secara internasional untuk paten, utility models, dan Sertifikat Penemuan untuk memudahkan pelaksanaan penelitian terhadap invensi yang baru. Pada tahun 1954 Dewan Eropa mengadakan konvensi mengenai klasifikasi tersebut. Klasifikasi itu telah berjalan dengan baik, tetapi Dewan Eropa tidak mempunyai sarana yang cukup untuk menjaga klasifikasi agar tetap mutakhir. Oleh karena itu, dianggap lebih baik apabila klasifikasi itu dikelola oleh WIPO. 66 B. Pengertian dan Pengaturan tentang Paten Pada Umumnya 1. Sejarah Paten dan Justifikasi Pemberian Paten Istilah Paten yang dipakai sekarang dalam peraturan hukum di Indonesia adalah untuk menggantikan istilah octrooi yang berasal dari bahasa Belanda. Istilah oktroi ini berasal dari bahasa Latin dari kata auctorauctorizare. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya dalam hukum kita, istilah Paten yang lebih memasyarakat. Istilah Paten tersebut diserap dari bahasa Inggris, yaitu Patent. Di Perancis dan Belgia untuk menunjukkan pengertian yang sama dengan Paten 66 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya bakti, Bandung, 2001, hlm. 32-33. dipakai istilah “brevet de inventior”. Istilah Paten bermula dari bahasa latin dari kata auctor yang berarti dibuka. Maksudnya adalah bahwa suatu penemuan yang mendapatkan Paten menjadi terbuka untuk diketahui oleh umum. 67 Paten atau oktroi ini sebetulnya telah ada sejak abad ke-14 dan ke-15, yakni di Italia dan Inggris. Sifat pemberian hak paten pada waktu itu bukan ditujukan atas temuan atau invensi uitvinding, tetapi diutamakan untuk menarik para ahli dari luar negeri. Maksudnya agar para ahli dari luar negeri menetap di negara-negara yang mengundangnya, sehingga dapat mengembangkan keahliannya masing-masing di negara pengundang untuk memajukan penduduk negara yang bersangkutan. Jadi, paten atau oktroi itu berupa izin menetap. Namun, memang kehadiran sang penemu inventor di negeri yang baru itu didasarkan pada keahlian di bidang tertentu. 68 Berdasarkan latar belakang tersebut, pada prinsipnya ada kesamaan terhadap penggunaan istilah paten pada saat ini. Perbedaannya terletak pada pemberian royalti atas penggunaan invensi. Pemberian royalti atas penggunaan paten saat ini berupa sejumlah uang yang dibayarkan kepada inventor, sedangkan royalti atas penggunaan paten pada saat itu berupa izin menetap di suatu negara. Selain izin menetap, inventor juga mendapatkan perlakuan khusus karena dianggap telah memberikan kontribusi positif untuk negara tersebut. 67 Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual HKI dan Lisensi, Op. Cit., hlm. 60. 68 Sudaryat, Sudjana, dan Rika Ratna Permata, Op. Cit., hlm. 91. Pada abad ke-16, baru diadakan peraturan pemberian hak-hak paten atau oktroi terhadap temuan. Peraturan tersebut diterapkan oleh Venesia, Inggris, Belanda, Jerman, dan Australia. Seiring dengan berlalunya waktu dan kemajuan bidang teknologi, terutama pada abad ke-20, paten bukan lagi sebagai hadiah, melainkan pemberian hak atas temuan. 69 Perkembangan semacam ini pada akhirnya terjadi juga di berbagai negara, termasuk negara-negara di kawasan Asia. Perkembangan pemberlakuan peraturan perundangan mengenai paten di Inggris memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pembentukan peraturan perundangan di banyak negara karena perkembangan paten di Inggris sangat baik. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Inggris sebagai negara penjajah yang tentu juga menerapkan peraturan negaranya terhadap negara yang menjadi wilayah kolonialnya. Pada saat ini, Indonesia juga telah memiliki peraturan perundangan yang mengatur mengenai paten, yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten UU No. 14 Tahun 2001 yang disahkan pada tanggal 1 Agustus 2001. UU No. 14 Tahun 2001 merupakan perubahan dari UU No. 6 Tahun 1989 yang diperbarui dengan UU No. 13 Tahun 1997. Sebelum undang-undang ini berlaku, paten diatur berdasarkan Octroiwet 1920 yang merupakan peninggalan kolonial Belanda. Peraturan ini berlaku hingga dikeluarkannya Pengumuman Menteri Kehakiman tertanggal 12 Agustus 1953 Nomor J. S. 5414 tentang Pendaftar Sementara Oktroi 69 Ibid., hlm. 91-92. dan Pengumuman Menteri Kehakiman tertanggal 29 Oktober 1953 Nomor J. G. 1217 tentang Permohonan Sementara Oktroi dari Luar Negeri. Pemberian paten dimaksudkan agar setiap penemuan dibuka untuk kepentingan umum, guna kemanfaatan bagi masyarakat dan perkembangan teknologi. Dengan terbukanya suatu penemuan yang baru, maka memberi informasi yang diperlukan bagi pengembangan teknologi selanjutnya berdasarkan penemuan tersebut dan untuk memberi petunjuk kepada mereka yang berminat dalam mengeksploitasi penemuan itu, juga bila ada orang yang ingin melakukan penelitian Paten sendiri karena penelitian ini merupakan pengalaman yang menantang dan menyenangkan.

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Paten