Liberalisme Pemikiran Hukum Islam (Studi Analitis Terhadap Ijtihad Umar Ibn Khattab)
Liberalisme Pemikiran Hukum Islam (Studi Analitis Terhadap Ijtihad
Umar Ibn Khattab)
Oleh: HAERI ( 03120043 )
Syariah
Dibuat: 20081120 , dengan 2 file(s).
Keywords: Liberalisme, Hukum Islam, dan Ijtihad
AlQur’an diyakini oleh seluruh umat Islam sebagai kitab suci yang harus dipegang teguh
kebenarannya. Kebenaran alQur’an juga berlaku sepanjang zaman, karena di dalamnya terdapat
aturanaturan dan petunjuk hidup yang berasal dari Allah (QS. 2:2). Di samping itu, alQur’an
diakui oleh umat Islam sebagai satusatunya kitab suci di dunia yang belum mengalami
perubahan sedikit pun sejak diturunkan karena mendapat jaminan langsung dari Allah (QS.
15:9).
Citacita ideal untuk membumikan kebenaran alQur’an menuntut pemahaman yang tepat dan
benar terhadap maksud teks alQur’an. Hal ini untuk mengetahui bagaimana alQur’an berbicara
tentang sesuatu, sekaligus memahami konteks historis (asbâbul alnuzûl) mengapa ayatayat itu
diturunkan. Dimensi wahyu adalah mutlak adanya sebagai risalah profetik yang harus
diterjemahkan ke dalam bentuk pemahaman bagi tiaptiap kaum (Q.S.14:4).
Beragam pendekatan dan metode dilakukan untuk memahami alQur’an. Ada madzhab dzâhiri
yang melandaskan pemahamannya pada bunyi literal teks. Sebaliknya, yaitu madzhab alra’yu
yang cenderung rasional dan memberikan porsi yang lebih terhadap akal untuk memahami nash
alQur’an.
Menurut pandangan liberalisme Islam, pemahaman terhadap alQur’an tidak boleh bersifat
tekstual (dzahiri), tetapi juga mempertimbangkan aspek maqâshidnya. Pemahaman yang tekstual,
dianggap akan mereduksi semangat alQur’an yang mempunyai visi jauh ke depan. Apalagi
terhadap ayatayat kasuistik yang turun dalam konteks kultur masa lalu.
Gagasan pemahaman kontekstual terhadap alQur’an bisa dilihat dari ijtihad Umar yang tidak
memotong tangan pencuri, tidak memberikan zakat bagi muallaf, dan juga tidak memberikan
harta rampasan perang sesuai dengan tuntutan dzâhir nash. Padahal dalam alQur’an dan praktik
Rasul, ketiga masalah tersebut harus dilakukan sesuai dengan perintah alQur’an.
Namun demikian, Umar berijtihad lain terhadap tiga kasus tersebut dengan tidak mengikuti
makna dzâhir nash (tekstual). Karena bagi Umar, implemintasi ayatayat alQur’an secara
tekstual tanpa mempertimbangkan aspek konteksnya terhadap kasus di atas, akan menyebabkan
alQur’an kehilangan relevansinya. Hal ini tampak sangat jelas bahwa pemahaman Umar
terhadap alQur’an tidak serta merta bersifat tekstual (dzâhir nash), tetapi juga kontekstual,
sebagaimana diancangkan oleh kalangan liberalisme Islam.
Pemahaman kontekstual terhadap alQur’an maupun alSunnah tidak bisa dianggap sebagai
bentuk komitmen yang kurang tulus untuk menerima keduanya sebagai landasan pemahaman
yang utuh. Justeru sebaliknya, sikap tersebut merupakan bentuk kesungguhan untuk
membumikan alQur’an dan alSunnah dalam kehidupan yang terus berkembang.
Untuk konteks pembaharuan pemikiran hukum Islam, pemahaman kontekstual dengan konsep
maqâshid alsyarî’ah, patut dipertimbangkan sebagai pendekatan dalam memahami nashnash al
Qur’an maupun alSunnah. Hal ini untuk merespon dan memberikan jawaban terhadap problem
problem yang muncul secara dinamis dan tidak terakomodir secara jelas di dalam keduanya.
The Qur'an was convinced by muslim as holy book in which must be headed towards its truth.
Qur'an is also to apply to along time, because there are some orders and guides of life from Allah
( QS. 2:2). Despitefully, Qur'an was confessed by muslim as the only one of holy book in world
in which not change a few or a part of it, because it is veritable ( QS. 15:9)
Ideal ideas to applies the truth of the Qur'an is to require the correct understanding the text
message of Qur'an. This matter is to know how Qur'an explain about something, at the same time
to understand historical context (asbâbul alnuzûl), why that verses is revealed. Dimension divine
is absolute existence of prophetical treatise which must be translated into various understanding
for every community ( Q.S.14:4).
Various approachs and methods is used to understand Qur'an. There is dzâhiri school
understands text is based on the sound of text. On the contrary, alra'yu school tends to be
rational and give more portion to mind to understand Qur'an.
According to Islam liberalism view, to understand Qur'an may not in the textual paradigm
(dzahiri), but consider the aspect of its purpose. The textual Understanding is assumed will
reduce the spirit of Qur'an that have the vision forwards. Moreover the verses is revealed because
of certain context.
The Idea of contextual understanding to Qur'an can see Umar’s legal reasoning (ijtihad) not cut
thief hand, and does not give religious obligatory or tithe (zakat) to muallaf, and dose not give
booty (ghanimah) according to the text (dzâhir nash). Whereas in the Qur'an and practice of
prophet (Rasul), that three orders is applied according to guide of Qur'an.
However, Umar gave other opinion to three cases without following literal meaning of the text
(dzâhir nash). For Umar, implementation of Qur'an textually, without considering its context to
all cases above, it will loss its relevance. It is very obvious that Umar’s understanding to Qur'an
is not textual or literal paradigm (dzâhir nash), but also contextual, such as Islam liberalism
paradigm.
The contextual understanding to Qur'an and Sunnah can not be assumed as uninsincere attitude
to accept Qur’an and Sunnah as basic of understanding. But, on the contrary, that attitude
represents seriousness to implementate Qur'an and Sunnah in the life.
In the context of reformation of Islam law thought, the contextual understanding with the
concept of maqâshid alsyarî'ah, must be considered as one of approach in understand Qur'an and
Sunnah. This matter to respond and give answer to the problems that change dynamicly and not
be accomodated obviously.
Umar Ibn Khattab)
Oleh: HAERI ( 03120043 )
Syariah
Dibuat: 20081120 , dengan 2 file(s).
Keywords: Liberalisme, Hukum Islam, dan Ijtihad
AlQur’an diyakini oleh seluruh umat Islam sebagai kitab suci yang harus dipegang teguh
kebenarannya. Kebenaran alQur’an juga berlaku sepanjang zaman, karena di dalamnya terdapat
aturanaturan dan petunjuk hidup yang berasal dari Allah (QS. 2:2). Di samping itu, alQur’an
diakui oleh umat Islam sebagai satusatunya kitab suci di dunia yang belum mengalami
perubahan sedikit pun sejak diturunkan karena mendapat jaminan langsung dari Allah (QS.
15:9).
Citacita ideal untuk membumikan kebenaran alQur’an menuntut pemahaman yang tepat dan
benar terhadap maksud teks alQur’an. Hal ini untuk mengetahui bagaimana alQur’an berbicara
tentang sesuatu, sekaligus memahami konteks historis (asbâbul alnuzûl) mengapa ayatayat itu
diturunkan. Dimensi wahyu adalah mutlak adanya sebagai risalah profetik yang harus
diterjemahkan ke dalam bentuk pemahaman bagi tiaptiap kaum (Q.S.14:4).
Beragam pendekatan dan metode dilakukan untuk memahami alQur’an. Ada madzhab dzâhiri
yang melandaskan pemahamannya pada bunyi literal teks. Sebaliknya, yaitu madzhab alra’yu
yang cenderung rasional dan memberikan porsi yang lebih terhadap akal untuk memahami nash
alQur’an.
Menurut pandangan liberalisme Islam, pemahaman terhadap alQur’an tidak boleh bersifat
tekstual (dzahiri), tetapi juga mempertimbangkan aspek maqâshidnya. Pemahaman yang tekstual,
dianggap akan mereduksi semangat alQur’an yang mempunyai visi jauh ke depan. Apalagi
terhadap ayatayat kasuistik yang turun dalam konteks kultur masa lalu.
Gagasan pemahaman kontekstual terhadap alQur’an bisa dilihat dari ijtihad Umar yang tidak
memotong tangan pencuri, tidak memberikan zakat bagi muallaf, dan juga tidak memberikan
harta rampasan perang sesuai dengan tuntutan dzâhir nash. Padahal dalam alQur’an dan praktik
Rasul, ketiga masalah tersebut harus dilakukan sesuai dengan perintah alQur’an.
Namun demikian, Umar berijtihad lain terhadap tiga kasus tersebut dengan tidak mengikuti
makna dzâhir nash (tekstual). Karena bagi Umar, implemintasi ayatayat alQur’an secara
tekstual tanpa mempertimbangkan aspek konteksnya terhadap kasus di atas, akan menyebabkan
alQur’an kehilangan relevansinya. Hal ini tampak sangat jelas bahwa pemahaman Umar
terhadap alQur’an tidak serta merta bersifat tekstual (dzâhir nash), tetapi juga kontekstual,
sebagaimana diancangkan oleh kalangan liberalisme Islam.
Pemahaman kontekstual terhadap alQur’an maupun alSunnah tidak bisa dianggap sebagai
bentuk komitmen yang kurang tulus untuk menerima keduanya sebagai landasan pemahaman
yang utuh. Justeru sebaliknya, sikap tersebut merupakan bentuk kesungguhan untuk
membumikan alQur’an dan alSunnah dalam kehidupan yang terus berkembang.
Untuk konteks pembaharuan pemikiran hukum Islam, pemahaman kontekstual dengan konsep
maqâshid alsyarî’ah, patut dipertimbangkan sebagai pendekatan dalam memahami nashnash al
Qur’an maupun alSunnah. Hal ini untuk merespon dan memberikan jawaban terhadap problem
problem yang muncul secara dinamis dan tidak terakomodir secara jelas di dalam keduanya.
The Qur'an was convinced by muslim as holy book in which must be headed towards its truth.
Qur'an is also to apply to along time, because there are some orders and guides of life from Allah
( QS. 2:2). Despitefully, Qur'an was confessed by muslim as the only one of holy book in world
in which not change a few or a part of it, because it is veritable ( QS. 15:9)
Ideal ideas to applies the truth of the Qur'an is to require the correct understanding the text
message of Qur'an. This matter is to know how Qur'an explain about something, at the same time
to understand historical context (asbâbul alnuzûl), why that verses is revealed. Dimension divine
is absolute existence of prophetical treatise which must be translated into various understanding
for every community ( Q.S.14:4).
Various approachs and methods is used to understand Qur'an. There is dzâhiri school
understands text is based on the sound of text. On the contrary, alra'yu school tends to be
rational and give more portion to mind to understand Qur'an.
According to Islam liberalism view, to understand Qur'an may not in the textual paradigm
(dzahiri), but consider the aspect of its purpose. The textual Understanding is assumed will
reduce the spirit of Qur'an that have the vision forwards. Moreover the verses is revealed because
of certain context.
The Idea of contextual understanding to Qur'an can see Umar’s legal reasoning (ijtihad) not cut
thief hand, and does not give religious obligatory or tithe (zakat) to muallaf, and dose not give
booty (ghanimah) according to the text (dzâhir nash). Whereas in the Qur'an and practice of
prophet (Rasul), that three orders is applied according to guide of Qur'an.
However, Umar gave other opinion to three cases without following literal meaning of the text
(dzâhir nash). For Umar, implementation of Qur'an textually, without considering its context to
all cases above, it will loss its relevance. It is very obvious that Umar’s understanding to Qur'an
is not textual or literal paradigm (dzâhir nash), but also contextual, such as Islam liberalism
paradigm.
The contextual understanding to Qur'an and Sunnah can not be assumed as uninsincere attitude
to accept Qur’an and Sunnah as basic of understanding. But, on the contrary, that attitude
represents seriousness to implementate Qur'an and Sunnah in the life.
In the context of reformation of Islam law thought, the contextual understanding with the
concept of maqâshid alsyarî'ah, must be considered as one of approach in understand Qur'an and
Sunnah. This matter to respond and give answer to the problems that change dynamicly and not
be accomodated obviously.