Metodologi Pemikiran Hukum Syi ah Imamiy

1

Metodologi Fiqh al-Thusi

Metodologi Pemikiran Hukum Syi’ah Imamiyah
dan Penerapannya dalam Fiqh
(Kajian Terhadap Kitab al-Mabsuth Fi Fiqh Imamiyah
Karya al-Thusi)
Oleh: Busyro
Abstrak
Mazhab Syi’ah Imamiyah dalam hubungannya dengan hukum
Islam telah melahirkan berbagai kesimpulan hukum yang
seringkali berbeda dengan kesimpulan hukum mazhab-mazhab
dari kalangan Jumhur ulama. Hal ini karena berbedanya metode
yang mereka pergunakan dengan metode Jumhur pada
umumnya. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri adanya tokoh
mujtahid yang kadang-kadang tidak mengikuti metode yang
telah disepakati oleh mazhabnya. Al-Thusi adalah tokoh mujtahid
Syi’ah Imamiyah yang terkenal dan menjadi rujukan dalam
kalangan ulama Syi’ah. Pemikiran-pemikirannya dalam fiqh pada
umumnya mengikuti metode-metode istinbath hukum yang

disepakati oleh ulama Syi’ah. Konsep pemahamannya terhadap
ayat al-Qur`an, perbedaan tentang terminology Sunnah dan
ijma’, qiyas dan qaul al-shahabi yang ditolaknya dan istishab
yang banyak dipakainya membuat kesimpulan hukum yang
dilahirkannya (fiqh) berbeda dengan hukum yang dilahirkan oleh
Jumhur ulama. Keselarasan antara metode ijtihad yang
disepakati dalam mazhabnya dengan fiqh yang dihasilkannya
pada umumnya ditemukan dalam penelitian terhadap karya
monumentalnya, kitab al-Mabsuth Fi Fiqh Imamiyah.
Kata kunci: Al-Thusi, Syi’ah Imamiyah, dan Pemikiran Hukum
A. Pendahuluan
Sudah menjadi kelaziman dalam teori hukum Islam bahwa
suatu produk fiqh berangkat dari metodologi yang disebut ushul
fiqh. Para ulama klasik telah menghasilkan metode istinbath
hukum yang berbeda satu sama lain, akan tetapi dengan tujuan
yang sama yaitu menghasilkan hukum Islam yang dimungkinkan
membawa kepada kemaslahatan. Lebih jauh usaha itu bertujuan
bagaimana suatu produk fiqh dapat diamalkan oleh umat.
Dari


kajian-kajian

terhadap

metode

istinbath

yang

ditawarkan oleh ulama, maka permasalahan dalil hukum yang
dipakai merupakan salah satu perdebatan. Walaupun mereka

2

Metodologi Fiqh al-Thusi

sama-sama

berdalil


dengan

al-Qur`an

dan

Sunnah, tetapi

kualitas pemahaman dan penerimaan bisa saja terjadi. Hal ini
salah satunya disebabkan oleh karena berbedanya pemahaman
terhadap materi (teks) dan periwayatan suatu hadis. Akibatnya
suatu permasalahan hukum dipahami oleh ulama dengan cara
yang berbeda dan dalil yang berbeda. Konsekwensi dari semua
itu adalah terjadinya produk hukum (fiqh) yang berbeda pula.
Salah satu contoh adalah tentang nikah mut’ah yang
disepakati oleh jumhur ulama sebagai nikah yang terlarang,
sementara

kelompok


ulama

Syi’ah

menghalalkannya.

Pengharaman nikah mut’ah oleh Jumhur ulama didasarkan
kepada ayat al-Qur`an dan hadis Nabi SAW serta riwayat dari
sahabat, sedangkan kelompok ulama Syi’ah menghalalkannya
juga berpegang kepada ayat al-Qur`an dan hadis Nabi SAW. Dari
contoh ini dapat dikatakan bahwa walaupun sumber hukum yang
dipakai sama, tetapi hukum yang dihasilkan berbeda.
Berkenaan dengan dasar pemikiran di atas, maka penulis
mencoba untuk melihat bagaimana sebuah metode istinbath
dipakai dalam menghasilkan kesimpulan hukum. Mengingat
banyaknya metode istinbath yang ditawarkan oleh ulama ushul
fiqh, di sini penulis hanya akan membahas metode yang dipakai
oleh ulama Syi’ah Imamiyah, dalam hal ini secara khusus
diarahkan kepada kajian terhadap kitab al-Mabsuth fi Fiqh

Imamiyah karya Syaikh al-Thaifah Abu Ja’far Muhammad bin
Hasan bin Ali al-Thusi. Pembahasan ini hanya akan melihat
beberapa contoh ijtihad sang ulama dan menghubungkannya
dengan metode istinbath di kalangan ulama Syi’ah itu sendiri.
B. Sekilas Tentang al-Thusi

3

Metodologi Fiqh al-Thusi

Nama lengkapnya adalah Syaikh al-Thaifah Abu Ja’far
Muhammad bin Hasan bin Ali al-Thusi yang dilahirkan pada bulan
Ramadhan 385 H di kota Thus Khurasan, salah satu kota besar di
Iran. Julukan yang diberikan kepadanya adalah al-Thaifah, yang
berarti pembesar ulama Syi’ah.
Al-Thusi

menyelesaikan

pendidikan


awalnya

di

kota

kelahirannya, dan pada umur 23 tahun, tepatnya tahun 408 H, ia
pindah ke Baghdad untuk mendalami pengetahuan dari ulama
Syi’ah yang terkenal, yaitu Syaikh al-Mufid. Al-Thusi hanya
sempat berguru kepadanya selama 5 tahun karena pada tahun
413 H Syaikh al-Mufid wafat. Setelah itu pendidikan al-Thusi
dilanjutkan oleh murid kenamaan al-Mufid, yaitu Sayyid Murtadha
Alamulhuda. Aktifitasnya berguru kepada Sayyid Murthada cukup
lama [23 tahun] sampai sang guru juga wafat pada tahun 436 H.
Selama ia menjadi murid Sayyid, ia juga berguru kepada
ulama lainnya, seperti Huesin bin Ubaidillah al-Ghada`iri, Ibn
Junaid al-Iskafi, dan Ahmad bin Musa yang lebih dikenal dengan
gelarAbu Shahl al-Ahwadzi.
Sayyid Murthada melihat kecerdasan luar biasa pada diri alThusi, oleh karenanya iapun mempercayakan kepada al-Thusi

mengisi perkuliahan di Baghdad dengan memberikan tunjangan
12 Dinar sebulan, jumlah yang cukup besar pada saat itu.
Setelah Sayyid meninggal maka kepemimpinan mazhab Syi’ah
berpindah ke tangan al-Thusi. Banyak ulama yang pernah belajar
kepadanya, sehingga tercatat sebanyak 300 orang ulama Syi’ah
pernah menjadi muridnya, dan terdapat juga ratusan ulama
Ahlussunnah yang pernah menimba ilmu kepadanya.
Masa hidup al-Thusi bertepatan dengan kekhalifahan Bani
Abbasiyah. Kepiawaian dan ketenarannya membuat khalifah alQa`im bi Amrillah, bekerjasama dengan dinasti Al-Buwaihi,

4

Metodologi Fiqh al-Thusi

menyerahkan

tampuk

pengajaran


teologi

kepadanya

yang

dilaksanakan dipusat kekhalifahan. Hal ini menunjukkan bahwa
al-Thusi memang ulama besar dan tersohor pada masanya
sehingga tidak ada ulama lain yang ditunjuk oleh khalifah
menduduki posisi terhormat itu. Padahal untuk diingat, kelompok
Syi’ah

adalah

kelompok

yang

sering


merongrong

wibawa

kekhalifahan Abbasiyah.
Akan tetapi kondisi ini tidak bertahan lama, karena setelah
Bani Saljuk memerintah Baghdad, kebencian terhadap Syi’ah
kembali tumbuh. Pembunuhan dan perbuatan tidak adil lainnya
sering

menimpa

ulama

Syi’ah,

tidak

terkecuali


al-Thusi.

Rumahnya dan perpustakaannya yang penuh dengan ilmu dan
naskah-naskah penting dibakar oleh sekelompok orang anti
Syi’ah. Sejak peristiwa itu al-Thusi pindah ke Najaf Asyraf, sebuah
kota yang hanya didiami oleh kelompok Syi’ah. Di tempat inilah
al-Thusi mendirikan Hauzah ilmiah (sebuah perguruan) yang
telah melahirkan banyak ulama Syi’ah.
Selama masa hidupnya, al-Thusi cukup kreatif sehingga
melahirkan banyak karya tulis, baik dalam bidang teologi, fiqh,
dan lain-lain sebagainya. Di antara karyanya adalah kitab alNihayah, al-Mabsuth fi Fiqh Imamiyah, al-Khilaf, al-Mufshih fi alImamah, La Yasa` al-Mukallaf al-Ikhlal bih, ‘Uddah al-Ushul, alRijal, al-Fihris, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Kalam, I’jaz fi Fara`idh alRisalah, dan lain-lain [sebanyak 38 kitab].
C. Dalil-dalil Istinbath Syi’ah Imamiyah
Sebagaimana

Ulama

Jumhur,

Ulama


Syi’ah

juga

menjadikan al-Qur`an, Sunnah, dan Ijmak sebagai sumber dan
dalil

hukum
1

dan

menolak

keberadaan

qiyas. 1

Kualitas

Qiyas dalam pandangan Syi’ah Imamiyah tidak bernilai hujjah dan
orang yang mengikuti metode qiyas berarti mengikuti teori Iblis, karena Iblis

5

Metodologi Fiqh al-Thusi

pemahaman dan perbedaan dalam menginterpretasikan sumbersumber tersebut sering membuat perbedaan hukum tidak hanya
dengan kalangan ulama Syi’ah, tetapi juga antara ulama yang
tergabung dalam Jumhur.
1. Al-Qur`an
Dalam pemahaman ulama Syi’ah Imamiyah, al-Qur`an
mempunyai

makna

bathin

yang

berbeda

dengan

makna

zhahirnya. Manusia biasa hanya mampu memahami al-Qur`an
dari sisi zhahir saja, sedangkan makna bathin hanya mampu
dipahami oleh para imam Syi’ah yang tidak bisa dijangkau oleh
manusia biasa.2 Dengan statemen ini maka setinggi apapun
tingkat kemampuan seorang mujtahid, tetapi mereka bukan
termasuk imam-imam Syi’ah, maka dalam pandangan mereka
tidak akan mampu memahami makna bathin al-Qur`an. Padahal
untuk menetapkan suatu hukum terkadang tidak cukup hanya
dengan melihat zhahir ayat saja.
Dari

hal

di

atas,

ulama

Syi’ah

Imamiyah

membagi

pemahaman al-Qur`an kepada empat tingkatan:
a. Fahmul ibarah, yaitu pemahaman orang biasa
b. Fahmul isyarah, yaitu pemahaman oleh ulama yang
mendalami ilmu
c. Fahmul latha`if al-ibarah, yaitu pemahaman yang dilakukan
oleh para wali
d. Fahmul Haqa`iq, yaitu pemahaman yang dikehendaki oleh
Allh dan hanya mampu dilakukan oleh para imam.3
yang pertama kali mempergunakan qiyas tatkala ia tidak mau sujud kepada
Adam. Hal ini karena Iblis mengqiyaskan penciptaan dirinya dari api yang lebih
mulia dibandingkan dengan penciptaan Adam dari tanah yang dipandang
lebih rendah. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah,
(Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, [t.th]), juz 2, h. 538
2
Musthafa Muhammad ibn Musthafa, Ushul wa al-Tarikh al-Firaq alIslamiyah, ([TTP, 2003), h. 223
3
Asymuni A. Rachman, Ushul Fiqh Imamiyah, (Yogyakarta: Bina Usaha,
1985), Cet.1, h. 16

6

Metodologi Fiqh al-Thusi

2. As-Sunnah
Secara terminologi Sunni, Sunnah adalah apa-apa yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk
ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi. 4 Di
kalangan Syi’ah, Sunnah adalah5 ‫ قول المعصوم او فعله او تقريره‬.
Dengan demikian bagi mereka Sunnah bukan saja berasal dari
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW saja, akan tetapi
juga berasal dari keturunan Nabi melalui Fathimah dan Ali bin Abi
Thalib, atau yang dikenal dengan ahl al-bait. Dengan demikian
kelompok

ulama

Syi’ah

lebih

memperluas

kemungkinan

ma’shum yang dimiliki secara khusus oleh Nabi [menurut ulama
ahlsussunnah) kepada selain Nabi Muhammad SAW. Dalam
pemahaman ulama Syi’ah mereka mendapat tugas tersendiri
dari Allah SWT melalui lisan Nabi untuk menyampaikan hukum
yang berlaku. Mereka menetapkan hukum berdasarkan ilham
yang mereka terima dari Allah sebagaimana Nabi menerima
pesan Allah melalui wahyu, atau apa yang mereka terima dari
imam

yang

ma’shum

sebelumnya.

Lebih

jauh

mereka

berpendapat bahwa ahl al-bait itu sendiri adalah sumber hukum.6
3. Ijma’
Dalil selanjutnya yang dipakai oleh Syi’ah Imamiyah adalah
ijma’. Dalam Definisi Jumhur ulama ijma’ adalah kesepakatan
seluruh mujtahid di dunia Islam terhadap suatu kasus setelah
4

Muhammad Musthafa Syalabi, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar alNahdhah al-Arabiyyah, 1986), juz 1, h. 109; Wahbah al-Zuhaili memasukkan
sifat Nabi SAW sebagai Sunnah di samping tiga kategori di atas. Lihat Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Dar al-Fikr, 1986), juz 1, cet. 1,
h. 449
5
Syekh Ridha al-Muzhaffar, Ushul Fiqh, (Najaf, Dar al-Nu’man, 1967),
cet. 2, juz 3, h. 61
6
Ibid. Lihat juga Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1997),
cet. 1, h. 75-76

7

Metodologi Fiqh al-Thusi

wafatnya Nabi Muhammad SAW.7

Sedangkan dalam rumusan

Syi’ah, ijma’ adalah pendapat yang yang menurut riwayatnya
disepakati oleh imam yang ma’shum, dan bukan merupakan dalil
yang berdiri sendiri. Lebih jelasnya ijma’ bagi mereka sama
dengan Sunnah mutawatir8 (tentunya sesuai dengan makna
Sunnah dalam terminologi mereka). Oleh karena itu apa yang
dianggap sebagai ijma’ dalam kelompok Jumhur ulama bagi
kelompok Syi’ah tidak dikategorikan ijma’. Jika yang dipahami
oleh Jumhur bahwa ijma’ adalah hasil ijtihad yang disepakati oleh
seluruh mujtahid, bagi mereka ijma’ adalah Sunnah yang
disepakati oleh imam yang ma’shum. Dalam istilah mereka
sebagai dalil hukum ijma’ diistilahkan dengan

‫الدليل على الحكم‬

9

‫هو دليل على‬

(suatu dalil di atas dalil hukum).

Lebih lanjut dalam pemahaman mereka bahwa ijma’ tidak
harus disepakati oleh banyak imam ma’shum. Sayyid alMurtadha (guru al-Thusi, w. 436 H) mengatakan jika terjadi suatu
kesepakatan terhadap sesuatu dan didalamnya ada imam yang
ma’shum, maka dapat dikategorikan ijma’ yang bernilai hujjah.10
4. Al-Dalil al-Aqliy
Dalil hukum selanjutnya yang dipergunakan oleh ulama
Syi’ah adalah adalah al-dalil al-aqliy. Dalam pemahaman Syi’ah
al-dalil al-aqliy di sini tidak sama dengan qiyas versi Sunni. 11
Dalam kajian-kajian ushul fiqh klasik Syi’ah memang tidak
menempatkan al-dalil al-aqliy sebagai salah satu dalil hukum,
sebagaimana dinyatakan oleh Syekh al-Mufid (guru al-Thusi, w.
413 H). Menurutnya ushul al-ahkam itu hanya tiga, yaitu al-kitab,
7

Wahbah al-Zuhaili, op.cit., h. 490
Ridha al-Muzhaffar, op.cit., h. 105.
9
Ibid
10
Ibid., h. 106
11
Ibid., h. 121
8

8

Metodologi Fiqh al-Thusi

al-Sunnah Nabawiyah, dan perkataan para imam, akan tetapi
lebih lanjut ia mengatakan bahwa al-dalil al-aqliy adalah suatu
metode yang dipakai dalam rangka memahami kehujjahan alQur`an dan petunjuk hadis. Al-Thusi pun tidak mengemukakan
al-dalil al-aqliy dalam pembahasannya secara khusus. Ulama
Syi’ah yang pertama mengemukakan al-dalil al-aqliy ini adalah
Syaikh ibn Idris (w. 598 H). Dalam kitab al-Sara`ir ia mengatakan
bahwa jika tidak terdapat ketentuan dalam al-Qur`an, Sunnah,
dan Ijma’, maka pergunakanlah al-dalil al-aqliy. Akan tetapi ia
juga tidak menjelaskan bagaimana mengoperasionalkannya. 12
Penjelasan tentang al-dalil al-aqliy

agak nampak dalam

generasi ulama Syi’ah selanjutnya, yaitu al-Muhaqqiq al-Haliy (w.
676 H). Dalam kitabnya al-Mu’tabar ia membagi al-dalil al-aqliy
kepada dua bentuk. Pertama, sesuatu yang bisa dipahami dari
teks (khitab), yaitu lahn al-khitab, fahwa al-khitab, dan dalil alkhitab.13

Kedua,

petunjuk

yang

didapatkan

akal

untuk

menentukan baik dan buruk, dalam hal ini yang dimaksud adalah
berpegang kepada al-bara`ah al-ashliyah dan al-istishab.14 Jika
dilihat dari dalil aqal yang dipergunakan agaknya memang benar
bahwa aqal dipergunakan untuk memahami petunjuk al-Qur`an
dan Sunnah dengan berpegang kepada zhahir teks. Karena
mafhum muwafaqah, mafhum mukhalafah, isyarat al-nash,
dilalah al-nash, dan iqtidha’ al-nash merupakan berdalil secara
zhahir dalam versi Syi’ah, maka agaknya rumusan mereka
tentang ini tidak jauh berbeda dengan ulama Sunni.

12

Ibid., h. 122
Fahw al-Khitab dan lahn al-Khitab adalah pembagian dari mafhum
muwafaqah versi ulama Syafi’iyah, dan dalil al-khitab adalah istilah lain untuk
mafhum mukhalafah. Lihat Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mabahits alKitab wa al-Sunnah min ‘Ilm al-Ushul, (Damaskus: Mathba’ah al-Ta’awuniyah,
1974), h. 44-45
14
Ibid., h. 122-123
13

9

Metodologi Fiqh al-Thusi

5. Al-Istishab dan Bara`ah al-Ashliyah
Metode ini adalah mengembalikan sesuatu kepada asalnya.
Dalam istilah ahli ushul adalah menetapkan hukum yang lama
sebelum ada dalil atau petunjuk yang mengubahnya.15 Jika
segenap usaha pencarian dalil telah dilakukan dan tidak ada
hasilnya,

maka

kesimpulan

hukum

yang

diambil

dengan

mengembalikan sesuatu kepada asalnya, yaitu ibahah.
D. Beberapa Rumusan Fiqh Syi’ah Imamiyah
1. Shalat Safar dan Hadhar
Shalat itu ada dua bentuk, yaitu fardhu dan sunnat. Shalat
Fardhu adakalanya karena memang difardhukan secara mutlak
dan adapula yang kefardhuannya disebabkan oleh sesuatu.16
Secara mutlak seorang muslim wajib melaksanakan shalat 5 kali
sehari dan semalam, baik pada waktu safar maupun hadhar
(bermukim).17 Berbeda dengan ulama lainnya, ulama Syi’ah
Imamiyah mengatakan bahwa Islam bukan sebagai syarat wajib
shalat, karena orang kafir menurutnya juga dikhitab untuk itu.
Oleh karena itu Islam hanya sebagai syarat sah shalat.18
Untuk shalat hadhar, jumlahnya 17 rakaat (sama dengan
pendapat Jumhur ulama) dan ketika safar hanya 11 rakaat. Lebih
lanjut al-Thusi merinci sebagai berikut:
1) Shalat Zuhur, Ashar, dan Isya, masing-masing 4 rakaat ketika
bermukim dan 2 rakaat ketika safar
15

Muhammad Musthafa Syalabi, op.cit., h. 337; juga Muhammad
Khudhari Beik, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 356
16
Syaikh al-Tha`ifah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Ali al-Thusi
[selanjutnya disebut al-Thusi), al-Mabsuth Fi Fiqh al-Imamiyyah, (Taheran, alMaktabah al-Murtdhayyah Li Ihya` al-Atsar al-Ja’fariyyah, [t.th]), juz 1, h. 70
17
Ibid., h. 71
18
Ibid. Misalnya rangkuman pendapat ulama Sunni yang dikemukakan
oleh Wahbah al-Zuhaili yang mengatakan bahwa Islam adalah salah satu
syarat wajib shalat. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), cet.3, juz 1, h. 563

10

Metodologi Fiqh al-Thusi

2) Shalat Magrib dan Subuh sama ketika bermukim dan safar.
Dalam hal ini pendapatnya juga sama dengan Jumhur ulama.
Ketentuan jumlah rakaat shalat sebagaimana dikemukakan
di atas merupakan sesuatu yang dipandang wajib oleh Syi’ah
Imamiyah.19 Di dalam kitab al-Mabsuth fi Fiqh Imamiyah memang
tidak ditemukan ketegasan tersebut, akan tetapi dalam literatur
Syi’ah lainnya ditemukan ketegasan itu. Di antaranya kitab Fiqh
al-Imam Ja’far al-Shadiq ‘Aradh wa Istidlal karya Muhammad
Jawad Mughniyyah, ditegaskan bahwa orang yang shalat tamam
(sempurna) ketika safar sama dengan orang yang shalat qasar
ketika bermukim. Dengan demikian ketentuan qashar shalat
diperjalanan merupakan azimah (hukum asal).20
Lebih

lanjut

ulama

Syi’ah

menguatkan

pendapatnya

dengan mempergunakan dalil ayat al-Qur`an Surat al-Nisa` ayat
101, yang berbunyi:

         
        
     
Walaupun ayat ini secara zhahir dipahami oleh ulama
Jumhur

(kecuali

Hanafiyah)

dengan

kebolehan

(rukhsah)

melakukan qashar, yaitu dari lafaz   , ulama
Syi’ah menjawab argumentasi ini dengan mengemukakan ayat
lain, yaitu Surat al-Baqarah ayat 158:

19

Ulama Syafi’iyah dalam hal ini mengatakan bahwa qashar shalat
bukanlah sebuah kewajiban, akan tetapi keringanan (rukhshah) dari Allah.
Oleh karena itu jika seseorang tidak mau mengambil rukhshah tersebut
dipandang lebih utama. Lihat Ibn Rusyd al-Hafid, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtashid, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, [t.th]), juz 1, h.
120-121
20
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Imam Ja’far Shadiq, terj. Samsuri
dkk, judul asli, Fiqh al-Imam Ja’far al-Shadiq ‘Aradh wa Istidlal, (Jakarta:
Lentera, 2001), cet. 2, h. 223

11

Metodologi Fiqh al-Thusi

           
          
    
Di dalam ayat ini hukum thawaf dalam ibadah haji dan
umrah juga memakai redaksi  , akan tetapi hukum
yang timbul darinya adalah wajibnya melakukan thawaf ketika
haji dan umrah (ulama Jumhur juga mewajibkannya). Kedua ayat
ini disebutkan oleh Allah SWT dengan teks yang sama dan sudah
sama-sama dilaksanakan oleh Nabi-Nya.21 Oleh karena itu sudah
sepantasnya menghasilkan hukum yang sama pula.
Adapun

tentang

shalat

sunnat

al-Thusi

menyebutkan

bahwa shalat sunat rawatib ketika safar siang hari tidak ada lagi
(gugur), yang ada hanya shalat sunat 4 rakaat sesudah Maghrib,
baik ketika bermukim maupun safar. Sedangkan shalat sunat 2
rakaat sesudah Isya ditambah 1 rakaat witir juga tidak dilakukan
lagi dalam safar (digugurkan). Dalam kitab al-Mabsuth fi Fiqh alImamiyyah dinyatakan:

‫وتسقط نوافل النهار فى السفر والنوافل المغرب اربببع‬
‫ركعببات فببى السببفر والحضببر بتشببهدين وتسببليمين‬
‫وركعات من جلوس بعد العشاء الخارة فى الحضر يعببد‬
‫ان بركعة ويسقطان فى السفر‬
22

Sedangkan

untuk

shalat

malam

(qiyam

al-lail)

al-Thusi

menyatakan bahwa ketika bermukim dan safar jumlah rakaatnya
sama, yaitu 11 rakaat.23 Penjelasan lebih lanjut tentang shalat
qashar ini tidak ditemui lagi dalam kitab al-Mabsuth, baik tentang
jarak

perjalanan

didapatkan

dari

dan

sebagainya.

Muhammad

Keterangan

Jawad

lebih

Mughniyyah

jauh
yang

mengemukakan perbedaan ulama Syi’ah dalam menentukan
21
22
23

Ibid., h. 224
Al-Thusi, loc.cit
Ibid

12

Metodologi Fiqh al-Thusi

jarak qashar. Dari pembahasannya ternyata ada dua versi
kecenderungan ulama; pertama perjalanan yang menempuh
jarak satu hari perjalanan. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam
Ridha. Kedua, perjalanan yang menempuh jarak 8 farsakh, yang
merupakan

pendapat

Imam

Ja’far.

Ketiga,

pendapat

yang

menggabungkan keduanya yaitu perjalanan satu hari atau 8
farsakh. Setelah mendiskusikan pendapat-pendapat itu akhirnya
ulama

Syi’ah

sepakat

(ijma’)

bahwa

perjalanan

yang

membolehkan qashar tidak ditentukan oleh waktu, karena waktu
yang dibutuhkan oleh seseorang berbeda satu sama lainnya,
sedangkan yang tidak berbeda adalah jarak. Oleh karena itu
mereka sepakat bahwa kebolehan qashar shalat apabila sudah
menempuh perjalanan 8 farsakh.24 Dengan demikian terdapat
kesamaan ijma’ ulama Syi’ah dengan pendapat Syafi’iyah yang
juga mensyaratkan jarak 8 farsakh.
2. Waktu-waktu Shalat Fardhu
Sebagaimana ulama lainnya al-Thusi juga menjelaskan
waktu-waktu shalat fardhu. Penjelasan tentang ini dapat dirinci
sebagai berikut:
1) Waktu setelah tergelincir matahari adalah waktu zhuhur,
ukurannya adalah kira-kira melaksanakan shalat 4 rakaat dan
setelah itu adalah waktu untuk shalat zhuhur dan Ashar
sekaligus sampai bayang-bayang suatu benda sama panjang
dengan benda tersebut. Dalam kitab al-Mabsuth teksnya
adalah sebagai berikut:

‫فاذا زالت الشمس فقد دخال فريضة الظهر ويختص بببه‬
‫مقدار مايصلى فيببه اربببع ركعببات ثببم ايشببترك الببوقت‬

24

Muhammad Jawad Mughniyyah, op.cit., h. 228

13

Metodologi Fiqh al-Thusi

‫بعده وبينه وبين العصببر الببى ان يصببير ظببل كببل شببيئ‬
‫مثله‬
25

Ketika bayangan suatu benda sudah sama panjang dengan
bendanya, maka masuklah waktu Ashar sampai bayangan suatu
benda dua kali panjang benda tersebut. Dalam istilah al-Thusi
disebut juga dengan waktu ikhtiar. Sama halnya dengan shalat
Zhuhur, waktu Ashar sekaligus juga merupakan waktu Zhuhur.
Akan tetapi ketika matahari hamper terbenam dan yang tersisa
hanya untuk melakukan shalat 4 rakaat saja, maka waktu itu
hanya khusus untuk shalat Ashar. Dalam istilah al-Thusi waktu ini
dinamakan dengan waktu dharurah.26
Dengan demikian dapat dijelaskan kembali bahwa bagi
ulama Syi’ah waktu shalat itu dibagi kepada tiga, yaitu; pertama,
waktu awal (waktu utama), dan pada waktu ini hanya boleh
dilaksanakan shalat tertentu saja, seperti Zhuhur saja atau Ashar
saja.

Kedua,

waktu

ikhtiar,

dan

dalam

waktu

ini

boleh

dilaksanakan dua shalat sekaligus seperti shalat Zhuhur dan
Ashar. Ketiga, waktu dharurah, yang mana pada waktu ini hanya
boleh dilakukan shalat tertentu saja seperti Zhuhur atau Ashar
saja.
Hal ini juga dapat dilihat dari pendapat Imam Ja’far yang
menyatakan bahwa apabila matahari sudah tergelincir maka
masuklah waktu Zhuhur sekedar untuk shalat 4 rakaat. Setelah
itu masuklah waktu Zhuhur dan Ashar bersamaan sampai tersisa
beberapa saat yang hanya cukup untuk shalat 4 rakaat, saat itu
keluarlah waktu Zhuhur dan tinggallah waktu Ashar saja sampai
matahari terbenam.27 Lebih lanjut Imam Ja’far berkata bahwa
setiap shalat punya dua waktu, dan waktu yang pertama adalah
25
26
27

Al-Thusi, op.cit., h. 72
Ibid
Muhammad Jawad Mughniyyah, op.cit., h. 123

14

Metodologi Fiqh al-Thusi

waktu yang utama. Lebih lanjut ulama Syi’ah sepakat (ijma’)
bahwa shalat Zhuhur dan Ashar mempunyai waktu masingmasing dan waktu bersama-sama.28
Al-Thusi menambahkan bahwa sesaat sebelum terbenam
matahari jika masih tersisa waktu untuk mengerjakan 5 rakaat
shalat, maka seukuran 4 rakaat adalah waktu khusus Ashar dan
ukuran 1 rakaat akhir adalah waktu yang diperbolehkan shalat
Zhuhur. Pada waktu ini wajib bagi seseorang untuk melakukan
kedua shalat tersebut [tentunya bagi mereka yang belum shalat].
Akan tetapi jika hanya menyisakan 4 rakaat saja maka yang
diwajibkan hanya shalat Ashar karena tidak ada dalil yang
membolehkan shalat Zhuhur pada waktu itu 29 (bara`ah alashliyyah atau istishab).
2) Waktu setelah terbenamnya matahari adalah waktu utnuk
shalat maghrib dan berakhir sampai hilangnya syafaq (mega)
merah. Waktu Maghrib ini dimulai setelah terbenamnya
matahari seukuran melakukan shalat 3 rakaat. Apabila telah
berlalu hal itu maka masuklah waktu Maghrib dan Isya`
sampai

beberapa

saat

sebelum

tengah

malam

sekedar

melakukan shalat 4 rakaat. Pada saat itu habislah waktu
Maghrib dan sisanya adalah waktu Isya` sampai pertengahan
malam.30

Dengan

berakhirnya

demikian

waktu

utama

waktu
Maghrib

Isya`
sampai

dimulai

sejak

pertengahan

malam, dan waktu yang dibolehkan untuk melakukan kedua
shalat itu sampai terbit fajar. 31 Dengan demikian ketentuan
waktu Maghrib dan Isya` ini sama dengan ketentuan waktu
Zhuhur dan Ashar.
28
29
30
31

Ibid
Al-Thusi, op.cit., h. 73
Ibid., h. 74
Ibid., h. 75

15

Metodologi Fiqh al-Thusi

3) Waktu shalat Subuh yang afdhal (utama) dimulai dari terbit
fajar shadiq sampai muncul terang di langit (tanda matahari
akan terbit), dan berakhir ketika matahari terbit. 32 Agaknya
dalam hal ini pendapat ulama Syi’ah sama dengan pendapat
ulama Jumhur.
Dilihat dari penjelasan di atas ulama Syi’ah membagi
waktu shalat fardhu ini hanya kepada tiga waktu, yaitu setelah
tergelincir matahari sampai terbenam matahari (siang hari),
setelah terbenam matahari sampai terbit fajar (malam hari), dan
setelah terbit fajar sampai terbit matahari (subuh menjelang
siang). Pembagian ini didasarkan kepada beberapa ayat alQur`an, yaitu QS Hud: 114:

        
       
Dalam ayat ini kalimat    (dua tepi siang)
yang pertama adalah waktu untuk shalat Subuh dan yang kedua
adalah waktu untuk shalat Zhuhur dan Ashar, dan kalimat
  (permulaan malam)



adalah waktu untuk shalat

Maghrib dan Isya. Dalil lain Juga terdapat QS Thaha: 130, dan QS
al-Isra`: 78 yang masing-masing berbunyi:

        
        
(130 :

‫ ( طه‬   

       
(78 :

‫ )الساراء‬       

Dalam ayat ini tergelincirnya matahari adalah waktu shalat
Zhuhur dan Ashar, malam yang gelap adalah waktu shalat
Maghrib dan Isya`, dan qur`an al-fajr
32

Ibid., h. 76

adalah waktu shalat

16

Metodologi Fiqh al-Thusi

Subuh. Dengan demikian dalil shalat tiga waktu ini berdasarkan
nash al-Qur`an.
3. Nikah Mut’ah
Nikah

mut’ah

adalah

perjanjian

nikah

(aqad)

yang

ditentukan waktunya dengan membayar mahar tertentu. Dalam
hal ini al-Thusi mengatakan bahwa ada 2 syarat nikah mut’ah,
yaitu harus jelas batasan waktunya dan harus disebutkan
maharnya ketika aqad. Jika dua syarat itu tidak diikuti maka
nikahnya tidak sah. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa kedua
syarat itu sekaligus membedakan nikah mut’ah dengan nikah
dawam. Pembahasan lebih lengkap tentang nikah mut’ah ini
tidak terdapat dalam kitab al-Mabsuth, akan tetapi dijabarkan
lebih luas dalam kitab al-Nihayah33 yang juga merupakan karya
al-Thusi.
Karena sulitnya menemukan kitab al-Nihayah, penulis
mencoba mendekati pembahasan ini melalui kitab Syi’ah yang
lain yaitu al-I’tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah Dirasah Munasthah
fi Masa`il Fiqhiyyah Muhimmah, karya Ja’far al-Subhani, yang
dalam pembahasannya banyak mengutip tulisan-tulisan al-Thusi.
Sebagaimana diketahui para ulama pada awalnya sepakat
atas kehalalan nikah mut’ah berdasarkan hadis Rasulullah SAW,
tetapi perbedaan itu muncul terkait dengan kesinambungan
halalnya mut’ah. Dalam hal ini Syi’ah Imamiyah berpegang
kepada

tetapnya

kehalalan

nikah

mut’ah

dan

menolak

pembatalannya. Kehalalan nikah mut’ah menurut ulama Syi’ah
berdasarkan

33

al-Qur`an

dan

Sunnah

dan

pembatalannya

Ibid., juz 4, h. 246. Lihat juga Sayyid Ruhullah al-Khomeini [selanjutnya
disebut Khomeini], Tahrir al-Wasilah, (Qum, Muassasah al-Nasyar al-Islami,
[t.th]), juz 2, h. 258; juga Sayyid Muhammad Shadr, Shirath al-Qawim, (Beirut:
Dar al-Adhwa`, 1998), cet. 1, h. 200

17

Metodologi Fiqh al-Thusi

dilakukan oleh Umar bin Khatab tanpa

dalil

yang dapat

dipertanggungjawabkan.34
Sama dengan pernikahan dawam, nikah mut’ah juga tidak
dibolehkan terhadap wanita-wanita yang haram dinikahi, dan
ketika batas waktu yang ditentukan maka secara otomatis nikah
itu berakhir dengan sendirinya tanpa melalui proses thalaq.
Konsekwensi, seorang wanita yang berakhir masa mut’ahnya
wajib beriddah thalaq jika ia masih haid, dan jika sudah terputus
haidnya (monopouse) iddahnya selama 45 hari. 35 Di sisi lain
apabila dalam perkawinan ini melahirkan anak maka anak
tersebut

dinasabkan

kepada

ayahnya

dan

juga

mewarisi

sebagaimana ditentukan oleh Allah SWT dalam al-Qur`an.
Dengan demikian dilihat dari sisi ini tidak terdapat perbedaan
antara nikah mut’ah dan dawam. Perbedaannya terlihat dari sisi
suami istri itu sendiri yang tidak saling mewarisi.
Nikah mut’ah disyariatkan oleh Allah dalam surat al-Nisa`
ayat 23-24:

     
      
     
       
        
      
            
         
34

Ja’far al-Subhani, al-I’tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah Dirasah
Munasthah fi Masa`il Fiqhiyyah Muhimmah, (Qum, Muassasah al-Imam alShadiq, 1414 H), cet. 1, h. 115
35
Ibid., h. 116. Bandingkan dengan Khomeini, yang mana ia mengatakan
bahwa iddah wanita tersebut dua kali haidh kalau masih mendapatkan haidh.
Khomeini, op.cit., h. 260; lihat juga Sayyid Muhammad Shadr, loc.cit

18

Metodologi Fiqh al-Thusi

         
       
        
          

Dalam ayat ini setelah menyatakan wanita-wanita yang
haram dinikahi ayat selanjutnya menyebutkan:

        
       
 
Ulama Syi’ah sepakat bahwa kalimat   ,
mengacu kepada kebolehan nikah mut’ah, dan konteks ayat ini
juga juga mengindikasikan ke arah itu.36 Lebih lanjut Ja’far alSubhani mengatakan bahwa nikah mut’ah sudah ada semenjak
awal Islam dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madinah,
sedangkan ayat al-Qur`an turun untuk melegitimasi eksistensi
nikah mut’ah tersebut.37 Untuk memperkuat argumen ini ulama
Syi’ah menghubungkannya dengan situasi yang ada di Madinah
saat itu, di mana makna ayat mesti dipahami dari segi
penggunannya

secara

pemakaian kata istimta’

konvensional

pada

masanya,

yaitu

yang dipakai untuk hubungan yang

dilakukan oleh pria dan wanita Madinah waktu itu dengan waktu
yang terbatas melalui pertukaran dengan sejumlah uang.38
Ditambahkan bahwa sebagaimana dikenal dalam ilmu tafsir dan

36

Ibid, h. 116
Ibid
38
Sachiko Murata, Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan
Syiah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), cet. 1. H. 90
37

19

Metodologi Fiqh al-Thusi

fiqh Islam, al-Qur`an selalu mengikuti penggunaan konvensional
dari masyarakat dalam semua rumusan hukum.39
Ja’far al-Subhani mengatakan pada umumnya ahli hadis
menyebutkan perihal turunnya ayat ini berkenaan dengan nikah
mut’ah dan mereka meriwayatkan hadis-hadis itu dari Ibn Abbas,
Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin Abdullah alAnshari, Habib bin Abi Tsabit, Sa’id bin Jabir, dan lain-lain yang
tidak mungkin riwayat mereka mengada-ada. Sementara para
mufassir dan ahli hadis lain juga menyebutkan seperti itu, seperti
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, Abu Ja’far al-Thabari
dalam Tafsir al-Thabari, Abu Bakar al-Jashas al-Hanafi dalam
Ahkam al-Qur`an, Abu Bakar al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra,
Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf, Abu Bakar
bin Sa’dun al-Qurthubi dalam Jami’ Ahkam al-Qur`an, dan Fakhr
al-Din al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib.40
Selanjutnya ulama Syi’ah mengatakan bahwa tujuan nikah
secara mutlak adalah untuk memelihara diri, dan ini akan
terwujud baik dengan melakukan nikah dawam dan mut’ah.
Dengan nikah mut’ah akan terpelihara kehormatan sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat al-Mukminun ayat 5-8 sebagai
berikut:

    
‫الية‬

Al-Subhani

   

      
menginformasikan,

sebagaimana

dikutipnya

dalam dari sumber-sumber Syi’ah seperti Li Syarf al-Din hal. 6364, Kitab al-Ghadir

juz 6 hal. 225, dan Ashl al-Syi’ah wa

Ushuluha hal. 171, bahwa nikah mut’ah ini pernah beberapa kali
dinasakhkan. Pertama, dibolehkan dan dilarang pada waktu
39
40

Ibid
Ja’far al-Subhani, op.cit., h. 118-119

20

Metodologi Fiqh al-Thusi

perang Khaibar; kedua, dihalalkan pada umrah qadha`; ketiga,
dibolehkan kembali dan dilarang pada saat fath Makkah; dan
keempat, dibolehkan pada perang Authas dan dilarang lagi
setelah itu. Semua bentuk larangan nikah mut’ah ini menurut
Syi’ah berdasarkan hadis-hadis ahad, sementara al-Qur`an tidak
bisa

dibatalkan

dengan

hadis

ahad.

Imran

bin

Hashin

mengatakan:

‫"ان الل ه انبزل المتع ة ومبا نسبخها باي ة اخابرى وامرنبا‬
‫م بالمتعة ومانهانببا عنهببا ثببم قببال رجببل‬.‫رساول الله ص‬
‫ يريد به عمر بن الخطاب ان الخليفة الثببانى لببم‬."‫برأيه‬
‫يدع النسخ وانما اساند التحريف الى نفسه ولوكان هناك‬
‫ناساخ من الله عزوجببل او مببن رساببوله لساببند التحريببم‬
:‫اليهمببا وقببد اساببتفاض قببول عمببر وهببو علببى المنبببر‬
‫م وانببا انهببى‬.‫"متعتان كانتا علببى عهببد رساببول اللببه ص‬
41
‫ متعة الحج ومتعة النساء‬,"‫عنهما واعاقب عليها‬
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam nikah
mut’ah ulama Syi’ah mendasarkan pendapatnya kepada zhahir
ayat dan tidak menerima nasakh ayat dengan hadis ahad dan
dengan qaul al-shahabi, karena sesuatu yang qath’i tidak bisa
dipertentangkan dengan sesuatu yang zhanni.
4. Kewarisan Muslim Terhadap Kafir
Al-Thusi

mengatakan

bahwa

ada

tiga

penyebab

terhalangnya kewarisan, yaitu kafir, budak, dan pembunuh.
Orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim sebagaimana hadis
Nabi SAW:

‫ليرث الكافر المسلم‬
Hadis ini disepakati oleh seluruh ulama, akan tetapi untuk
kondisi sebaliknya (kewarisan muslim terhadap kafir) al-Thusi
mengatakan:
41

Ibid., h. 124-125

21

Metodologi Fiqh al-Thusi

‫والمسلم يرث الكافر عندنا ساواء كان حربيببا او ذميببا او‬
‫كافر اصل او مرتدا عن الساببلم وساببواء ماكسبببه حببال‬
‫السالم او حال الرتداد‬
Akan tetapi ketika seseorang kafir masuk Islam sebelum
harta warisan dibagi maka ia mendapatkan haknya sebagai ahli
waris.42 Penjelasan lebih lanjut tentang ini tidak ditemukan lagi
dalam kitab al-Mabsuth, akan tetapi dalam dilihat dalam tulisantulisan Ja’far al-Subhani yang dikutipnya dari karya al-Thusi, alKhilaf

dan Kitab al-Fara`idh, yang menyatakan bahwa untuk

ketentuan

tersebut

sudah

disepakati

oleh

sebagian

besar

sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, dan
Muawiyah bin Abi Sufyan. Sementara dari kalangan tabi’in
seperti Masruq, Sa’id bin Musayyab, Abdullah bin Ma’qal,
Muhammad bin Hanafiyah, Muhammad al-Baqir, dan Ishaq bin
Rahawaih.43
Dilihat dari sisi ayat al-Qur`an indikasi ke arah kesimpulan
tersebut didapatkan dari keumuman ayat, yaitu:

         

 ‫ الية‬    
     
       
      
‫الية‬

Menurut Ja’far ayat-ayat ini bersifat umum yang mencakup
kewarisan antar kafir dan ahli waris yang muslim dan sebaliknya.
Akan tetapi keumuman ayat ini sudah ditakhsis oleh beberapa
riwayat dari ahl al-bait seperti dari Abi Wallad yang mengatakan:

42
43

Al-Thusi, op.cit., juz 4, h. 79
Ja’far al-Subhani, op.cit., h. 261-262

Metodologi Fiqh al-Thusi

22

,‫ سامعت اباعبد الله يقول المسلم يرث امرأته الذميببة‬‫وهى ليرثه‬
‫ الحديث‬,‫ السالم يزيد ولينقص‬Menurut Muadz bin Jabal hadis ini berkenaan dengan
jawaban Rasulullah SAW berkenaan kewarisan yang terjadi
antara seorang muslim dengan saudaranya yang beragama
Yahudi. Walaupun ada penolakan dari kelompok ulama lain
terhadap pendapat ini, seperti hadis riwayat Umar bin Khatab
dan riwayat Usamah bin Zaid bahwa Nabi SAW melarang
hubungan kewarisan antara orang yang berbeda agama, akan
tetapi ulama Syi’ah berargumen bahwa hadis-hadis itu ahad dan
tidak bisa mentakhsiskan ketentuan umum yang terdapat dalam
al-Qur`an, apalagi riwayat Umar bin Khatab yang dipandang
mauquf yang tidak jelas sandarannya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu kekuatannya sama saja dengan mauquf-mauquf
sahabat yang lain yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.44
5. Al-luqathah (Benda Temuan)
Luqathah secara umum adalah harta yang tercecer oleh
pemiliknya dan tidak ada yang bertanggungjawab, baik berupa
binatang ternak atau benda-benda lainnya.45 Dasar hukum dari
luqathah berasal dari Sunnah Rasulullah SAW yang berbunyi
sebagai berikut:

‫روى عن زيد بن خاالد الجهنى انببه قببال جبباء رجببل الببى‬
‫م فسببأل عببن اللقطببة فقببال إعببرف‬.‫رساببول اللببه ص‬
‫عفاصها ووكائها ثم عرفهببا ساببنة فببان جبباء صبباحبها وال‬
‫فاساتمتع بها فسأل عن ضالة الغنم فقال خاذها انما هى‬
‫لك او لخايك او للذئب فسببأل عببن ضببالة البعيببر فقببال‬
‫مالك ولها وغضب حتى احمرت وجنتبباه او وجهببه فقببال‬
44
45

Ibid., h. 263-264
Khomeini, op.cit., h. 197

23

Metodologi Fiqh al-Thusi

‫مالك ولها معها حذائها وساقائها ترد الماء وتأكل الشببجر‬
46

Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Juhani, ia mengatakan
bahwa telah dating seorang laki-laki menemui Nabi SAW dan
menanyakan tentang luqathah, lalu Rasul SAW menjawab,
“umumkanlah jenis kantong benda itu dan tempat benda itu
selama satu tahun, jika pemiliknya datang (serahkanlah) dan jika
tidak maka bersenang-senanglah dengannya”. Lalu ia bertanya
lagi tentang ternak yang tersesat. Rasul SAW menjawab,
“ambillah untukmu karena ia sudah menjadi milikmu atau milik
saudaramu atau milik serigala”. Laki-laki itu bertanya lagi
tentang keledai yang tersesat. Rasul SAW mengatakan, “ada apa
antara engkau dan keledai ini”. Laki-laki itu agak malu sehingga
merah mukanya. Rasul melanjutkan, “ada apa antara engkau
dengan keledai itu, pasangkan saja sepatunya dan beri ia minum
dan makan”.

a.

Dhallah. Istilah

tersesat,

‫ضالة‬

sementara

diistilahkan dengan

biasa terpakai untuk hewan yang

untuk

‫اللقطة‬.

benda-benda

lainnya

biasa

Khalid bin Ahmad mengatakan

jika yang hilang itu seorang manusia (anak kecil) dan
ditemukan oleh seseorang, maka istilah yang dipakai untuk itu
adalah

‫اللقيط‬.

Apabila suatu luqathah ditemukan di tempat

sunyi atau di tengah padang maka janganlah dilepas begitu
saja, baik hewan maupun benda-benda lainnya. Apabila yang
ditemukan itu hewan-hewan yang kuat (suka meronta dan
membahayakan), seperti anak singa, unta dewasa, sapi,
keledai, yang mana seseorang tidak sanggup menangkapnya,
maka seseorang tidak boleh menangkapnya. Begitu juga
dengan hewan-hewan yang pada dasarnya lambat kalau
berjalan atau burung yang baru belajar terbang. Kelompok
ulama Syi’ah lainnya berpendapat bahwa dalam kondisi ini
seseorang

harus

mengambilnya

(menangkapnya),

namun

pendapat ini dibantah oleh al-Thusi karena ada hadis Nabi SAW
46

Al-Thusi, op.cit., juz 3, h. 318

24

Metodologi Fiqh al-Thusi

sebagaimana telah disebutkan di atas “ ‫ولها‬
dengan hadis lainnya yang berbunyi

‫ضالة‬

Oleh karena itu hukum

‫ضالة‬

‫ “ مالك‬ditambah
.‫ليأوى الضالة ال‬

ini hanya menempati

tingkat ja`iz (mubah), bukan wajib karena dilihat dari redaksi
hadis secara keseluruhan sepertinya ada peluang untuk
memelihara dan memberinya makan dan minum walaupun
tidak boleh dimiliki.

47

Dalil lain yang dikemukakan oleh al-Thusi adalah hadis riwayat
Hashin

bin

Mutharraf

dari

ayahnya

bahwa

Rasul

SAW

bersabda:

‫أنا لأحملكم فقلنا يارساول اللببه إنانجببد البببل الهببوامى‬
48
‫فقال لتفعلوا ضالة المؤمن حرف النار‬
“Saya tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatan kalian”.
Lalu kami bertanya, “ya Rasulullah, yang kami temukan itu unta
yang bagus”. Rasul SAW menjawab, “janganlah kamu
melakukannya, karena ‫ ضالة المؤمن‬itu akan mengiringmu ke
neraka”.
Lebih lanjut al-Thusi menyatakan jika seseorang tetap
mengambilnya

maka

ia

harus

bertanggungjawab

penuh

terhadapnya karena ia dianggap mengambil sesuatu yang bukan
haknya, sama halnya dengan mencuri sesuatu dari orang lain
kemudian disimpan di rumahnya. Tanggungjawabnya akan hilang
jika ia mengembalikan

‫ض الة‬

itu kepada pemiliknya.49 Akan

tetapi kalau seseorang mengambil dengan niat memeliharanya
(menyelamatkannya), maka ia harus menunggu pemilik hewan
itu untuk mengambilnya, sebaliknya kalau niatnya bukan untuk
memelihara (menyelamatkan), yang harus dilakukan adalah
mengandangkannya paling lama tiga hari untuk kemudian dijual
47

Ibid
Ibid. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Khomeini. Lihat
Khomeini, op.cit., h. 198
49
Al-Thusi, loc.cit
48

25

Metodologi Fiqh al-Thusi

dan harga hewan itu diserahkan kepada si pemilik jika sewaktuwaktu datang bertanya.
Berbeda dengan itu, kalau yang ditemukan itu hewanhewan yang pada dasarnya lemah seperti kambing, anak sapi,
anak unta, dan sebagainya maka ia wajib mengambilnya karena
sabda Nabi SAW:

‫خاذها انما هى لك او لخايك او للذئب‬
Bagi si penemu hewan itu ada tiga pilihan hak, yaitu
memanfaatkan harganya, memperlakukan hewan itu dengan
baik sebagai ibadah, atau menyerahkannya kepada hakim untuk
dijual. Kalau pemiliknya tidak datang maka harga hewan
diserahkan kepada orang yang menemukannya, tetapi si penemu
tetap harus mengembalikan harganya tersebut jika sewaktuwaktu pemiliknya datang menagih.50

b.

Luqathah,

dalam pandangan al-Thusi ada

tiga

jenis;

pertama, benda yang tahan lama seperti pakaian dan uang;
kedua, benda yang tidak tahan lama seperti makanan; dan
ketiga, benda yang tahan lama tetapi dibutuhkan oleh si
penemu. Untuk jenis pertama kewajiban seseorang adalah
mengumumkannya selama satu tahun sampai pemiliknya
datang. Untuk jenis kedua bagi yang menemukannya boleh
untuk memakannya walaupun tetap ada kewajiban mengganti
jika pemiliknya menuntut, atau boleh diserahkan kepada
hakim untuk dijualkan dan harganya diserahkan kepada si
penemu. Untuk jenis ketiga, sebagian boleh diserahkan kepada
hakim untuk dijualkan dan sebagian lagi diserahkan oleh
hakim untuk menutupi kebutuhannya. Akan tetapi ia harus

50

Ibid., h. 320. Hal yang sama juga disampaikan oleh Khomeini, lihat
Khomeini, loc.cit

26

Metodologi Fiqh al-Thusi

menyimpan

harga

hasil

penjualan

untuk

selanjutnya

diserahkan kepada sipemiliknya (jika datang).51
Lebih

lanjut

al-Thusi

mengatakan

bahwa

ketentuan-

ketentuan di atas adalah peristiwa yang terjadi di luar tanah
haram

(Makkah

dan

Madinah).

Adapun

Jika

luqathah

itu

ditemukan di tanah haram, yang pertama dilakukan oleh si
penemu adalah mengumumkannya selama satu tahun. Pilihan
tindakan

yang

harus

dilakukan

hanya

dua

saja,

yaitu

memeliharanya dan menyedekahkannya dengan jaminan dari si
penemu.

Artinya

tidak

ada

haknya

sama

sekali

untuk

memanfaatkannya sesuai dengan hadis d