The Physical Quality of Meat and Muscle Microstructure of Javan Porcupine (Hystrix javanica) are Given on Addition of Concentrate into Feed

KUALITAS FISIK DAGING DAN MIKROSTRUKTUR OTOT
LANDAK JAWA (Hystrix javanica) YANG DIBERI
PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA PAKAN

SKRIPSI
ISMI WILDA KARIMA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN
Ismi Wilda Karima. D14080321. Kualitas Fisik Daging dan Mikrostruktur Otot
Landak Jawa (Hystrix javanica) yang Diberi Penambahan Konsentrat pada
Pakan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Wartika Rosa Farida
Landak Jawa (Hystrix javanica) merupakan salah satu satwa endemik di
Pulau Jawa dan termasuk satwa yang terancam punah karena sering diburu oleh

masyarakat lokal untuk tujuan komersil. Di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, landak banyak diburu untuk dikonsumsi daging, hati, dan
empedunya untuk mencegah osteoporosis, mengobati penyakit asma dan dapat
meningkatkan vitalitas tubuh, duri landak juga dapat digunakan untuk cinderamata
atau obat sakit gigi. Tingginya nilai dan manfaat bagi masyarakat inilah yang
menyebabkan populasi landak Jawa semakin menurun.
Status landak di Indonesia adalah dilindungi sebagaimana yang tercantum
pada undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Salah satu upaya penyelamatan untuk
mendukung konservasi dan menjadikan landak jawa sebagai hewan budidaya yaitu
melalui usaha penangkaran (konservasi ek-situ). Lingkungan yang kondusif dan
pemberian pakan yang cukup merupakan faktor terpenting dalam budidaya landak
jawa sebagai satwa harapan penghasil daging. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui sifat fisik daging dan mikrostruktur otot landak jawa
yang diberi penambahan konsentrat pada pakan.
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksploratif. Materi penelitian
yang digunakan adalah delapan ekor landak jawa yang dikelompokkan secara acak
dengan diberi perlakuan pakan yang berbeda yaitu pakan kontrol (P0) dan pakan
kontrol yang ditambahkan konsentrat (P1). Masing-masing perlakuan pakan terdiri

atas 1 ekor jantan dan 3 betina. Landak jawa yang telah dipelihara selama 90 hari,
lalu dipotong untuk diamati sifat fisik dagingnya. Sampel daging yang diambil untuk
pengamatan sifat fisik daging adalah daging di bagian paha belakang (leg),
sedangkan sampel yang diambil untuk pengamatan mikrostruktur otot adalah daging
di bagian loin (Longissimus dorsi). Peubah yang diamati antara lain warna daging,
warna lemak, nilai pH, susut masak, keempukan, daya mengikat air, diameter serabut
otot, diameter fasikulus, dan ketebalan jaringan ikat.
Hasil penelitian menunjukkan daging landak jawa memiliki warna daging
yang agak merah muda dengan warna lemak berwarna putih. Nilai pH daging adalah
5,6 dan berada di kisaran normal daging segar yaitu 5,4-5,8. Susut masak daging
tergolong tinggi persentasenya dibandingkan ternak dan satwa liar lainnya yaitu
berada di kisaran 53-54%. Tingkat keempukan daging termasuk ke dalam kategori
sangat empuk karena berada pada kisaran 1-2 kg/cm2. Daya mengikat air tergolong
rendah yaitu dengan kisaran rataan sekitar 30,22-34,18 % mgH 2 O. Hasil pengamatan
mikrostruktur otot menunjukkan bahwa diameter serabut otot landak Jawa berada di

kisaran 22,7-24,45 µm, diameter fasikulus sebesar 0,67-1,07 µm, dan ketebalan
jaringan ikat berkisar antara 0,13-0,17 µm.
Kata-kata kunci : Landak jawa, kualitas fisik daging, mikrostruktur otot, konsentrat


ii

ABSTRACT
The Physical Quality of Meat and Muscle Microstructure of Javan Porcupine
(Hystrix javanica) are Given on Addition of Concentrate into Feed
Karima, I. W., H. Nuraini and W. R. Farida
Javan porcupine (Hystrix javanica) is an endemic animal in Java Island and
endangered species due to hunting by local communities for commercial purpose. To
support conservation of the species is domestication through ex-situ breeding. The
objective of this study was to examine the influences of pelleted concentrate (koi fish
feed) to the animal rations on the physical quality of meat and muscle microstructure
of javan porcupine. To observe physical meat quality, the meat sample was taken
from leg and to measure muscle microstructure the meat sample was taken from loin.
Physical quality of meat includes meat color, fat color, pH value, tenderness, cooking
loss, and water holding capacity. Muscle microstructure includes muscle fibre
diameter, fasciculi diameter, and thickness of connective tissue. Data of treatment
effect was analyzed descriptively. The results showed that meat colour of Javan
porcupine was pinkish color, fat colour was white, pH values were in the normal
range (5.6), range of cooking loss were relatively high (53-54%), level of tenderness
were very soft (1-2 kg/cm2), and water holding capacity were relatively low (30.2234.18 % mgH 2 O). The results of muscle miscrostructure suggest that muscle fiber

diameter was in the range 22.7-24.45 µm, fasciculi diameter was in the range 0.671.07 µm and thickness of connective tissue ranged from 0.13-0.17 µm.
Keywords: Javan porcupine, meat physical quality, muscle microstructure,
concentrate

KUALITAS FISIK DAGING DAN MIKROSTRUKTUR OTOT
LANDAK JAWA (Hystrix javanica) YANG DIBERI
PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA PAKAN

ISMI WILDA KARIMA
D14080321

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012


Judul

: Kualitas Fisik Daging dan Mikrostruktur Otot Landak Jawa (Hystrix
javanica) yang Diberi Penambahan Konsentrat pada Pakan

Nama

: Ismi Wilda Karima

NIM

: D14080321

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

Pembimbing Anggota,


(Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si)
NIP. 19640202 198903 2 001

(Dr. Ir. Wartika Rosa Farida)
NIP. 19590131 198403 2 001

Mengetahui :
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)
NIP: 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 7 Agustus 2012

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1990 di Bogor, Jawa Barat.
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Husni Thamrin

dan Ibu Nani Rohati, S.Pd.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 di Sekolah Dasar
Negeri Bubulak I Kota Bogor dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan
dilanjutkan pada tahun 2002 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 14 Kota Bogor
dan diselesaikan pada tahun 2005. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di
Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Kota Bogor pada tahun 2005 dan diselesaikan
pada tahun 2008.
Penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor pada
tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) dan diterima di jurusan Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Penulis aktif dalam
organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(HIMAPROTER) pada periode 2009-2010 sebagai anggota Klub Unggas Divisi
Keprofesian, dan menjadi ketua Klub Unggas Divisi Keprofesian pada periode 20102011. Pada tahun 2012, penulis juga pernah menjadi asisten Mata Kuliah
Pengelolaan Kesehataan Ternak Tropis (PKTT), Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.
Selain itu, penulis juga aktif di luar kampus sebagai pengajar Matematika dan Bahasa
Inggris di tempat bimbingan belajar Diaz Kid’s Math and English Centre. Penulis
juga pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Embrio Ternak, Cipelang, Bogor
pada tahun 2011. Penulis juga berkesempatan menjadi penerima beasiswa Bantuan
Belajar Mahasiswa (BBM) pada tahun 2009-2012.


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kualitas Fisik Daging dan Mikrostruktur Otot
Landak Jawa (Hystrix javanica) yang Diberi Penambahan Konsentrat pada Pakan”.
Daging landak jawa sudah lama dipercaya oleh masyarakat di Jawa Tengah
dan Jawa Timur dapat mengobati berbagai penyakit. Tingginya nilai dan manfaat
landak Jawa bagi masyarakat inilah yang menyebabkan populasinya menurun akibat
perburuan manusia. Upaya penangkaran dengan pemberian pakan yang berkualitas
diharapkan mampu menjadikan landak jawa sebagai salah satu satwa harapan
penghasil daging. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas
fisik daging dan mikrostruktur otot landak jawa yang dihasilkan setelah diberi
penambahan konsentrat pada pakan selama di penangkaran.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
dan dapat memberikan informasi kepada para pembaca.
Bogor, September 2012


Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN..................................................................................................

i

ABSTRACT....................................................................................................

iii

LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................

iv

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................

v


RIWAYAT HIDUP.........................................................................................

vi

KATA PENGANTAR.....................................................................................

vii

DAFTAR ISI...................................................................................................

viii

DAFTAR TABEL...........................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................

xi


DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................

xii

PENDAHULUAN............................................................................................

1

Latar Belakang......................................................................................
Tujuan....................................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................

3

Landak Jawa (Hystrix javanica)............................................................ 3
Kualitas Fisik Daging............................................................................
5
Histologi Daging................................................................................... 12
Konsentrat............................................................................................. 14
MATERI DAN METODE................................................................................ 16
Lokasi dan Waktu..................................................................................
Materi....................................................................................................
Prosedur.................................................................................................
Persiapan Kandang...................................................................
Pemeliharaan..............................................................................
Pakan..........................................................................................
Penyembelihan dan Penyimpanan Daging Landak...................
Pengamatan Kualitas Fisik Daging Landak...............................
Pembuatan dan Pengamatan Preparat Mikrostruktur Otot........
Pengamatan Mikroskopik..........................................................
Rancangan Percobaan............................................................................
Peubah yang Diamati.................................................................
Analisis Data..............................................................................

16
16
17
17
18
18
19
20
22
24
25
25
25

HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................

26

Kondisi Umum Penangkaran................................................................
Karakteristik Fisik Daging Landak Jawa .............................................
Mikrostruktur Otot Landak Jawa..........................................................
Hubungan Mikrostruktur Otot dengan Keempukan Daging..................

26
26
35
40

KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................

42

Kesimpulan............................................................................................ 42
Saran...................................................................................................... 42
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................

43

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................

44

LAMPIRAN.....................................................................................................

50

ix

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman
Jumlah Pemberian Pakan pada Landak Jawa Selama
Penelitian.........................................................................................

19

2.

Kandungan Nutrien Pakan Penelitian (% BK)................................

19

3.

Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Penelitian...........................

26

4.

Sifat Fisik Daging Landak Jawa......................................................

27

5.

Sifat Fisik Daging Ternak dan Satwa Liar Lainnya........................

27

6.

Mikrostruktur Otot Landak Jawa Jantan dan Betina.......................

35

1.

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1.

Landak Jawa (Hystrix javanica)........................................................

3

2.

Struktur Anatomi Otot.......................................................................

13

3.

Kandang Individu..............................................................................

17

4.

Pakan Landak Jawa Selama Penelitian..............................................

18

5.

Sampel Daging Landak Jawa yang Digunakan untuk Pengamatan
Sifat Fisik Daging..............................................................................

20

6.

Tahapan Proses Pewarnaan Masson Trichrome................................

24

7.

Foto Mikroskopis Serabut Otot Perbesaran 200x..............................

36

8.

Foto Mikroskopis Diameter Fasikulus Perbesaran 40x ....................

38

9.

Foto Mikroskopis Ketebalan Jaringan Ikat Perbesaran 40x..............

39

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Data Pengukuran Nilai pH Daging Landak Jawa Betina P0.............

51

2. Data Pengukuran Susut Masak Daging Landak Jawa P0..................

51

3. Data Pengukuran Keempukan Daging Landak Jawa Betina P0........

51

4. Data Pengukuran Daya Mengikat Air Landak Jawa Betina P0.........

51

5. Data Pengukuran Nilai pH Daging Landak Jawa Betina P1.............

51

6. Data Pengukuran Susut Masak Daging Landak Jawa Betina P1.......

51

7. Data Pengukuran Keempukan Daging Landak Jawa Betina P1........

52

8. Data Pengukuran Daya Mengikat Air Daging Landak Jawa P1........

52

9. Data Pengukuran Diameter Serabut Otot Landak Jawa Betina P0....

52

10.

Data Pengukuran Diameter Serabut Otot Landak Jawa Betina P1....

52

11.

Data Pengukuran Diameter Serabut Otot Landak Jawa Jantan P1....

52

12.

Data Pengukuran Diameter Fasikulus Landak Jawa Betina P0.........

52

13.

Data Pengukuran Diameter Fasikulus Landak Jawa Betina P1.........

53

14.

Data Pengukuran Diameter Fasikulus Landak Jawa Jantan P1.........

53

15.

Data Pengukuran Ketebalan Jaringan Ikat Landak Jawa Betina
P0......................................................................................................

53

Data Pengukuran Ketebalan Jaringan Ikat Landak Jawa Betina
P1.......................................................................................................

53

Data Pengukuran Ketebalan Jaringan Ikat Landak Jawa Jantan
P1.......................................................................................................

53

18.

Proses Pemotongan Landak Jawa......................................................

54

19.

Pengamatan Sifat Fisik Daging.........................................................

55

20.

Alat, Bahan, dan Proses Pembuatan Preparat Jaringan Otot............

56

16.
17.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan daging nasional meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk dan pemenuhan gizi pada masyarakat. Berdasarkan data statistik tahun
2011, rata-rata konsumsi daging penduduk Indonesia sebanyak 2,75 kg/kapita/tahun,
dan diperkirakan akan terus meningkat (Badan Pusat Statistik, 2012). Selain daging
sapi ternak, muncul trend di masyarakat Indonesia untuk mengkonsumsi pangan asal
hewan selain ternak seperti reptil dan satwa liar yang dipercaya mengandung khasiat
obat. Salah satu satwa liar yang umum dikonsumsi adalah landak.
Daging landak sudah terkenal dan telah lama dikonsumsi oleh masyarakat di
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai sumber protein hewani. Selain itu,
masyarakat mempercayai bahwa dengan mengkonsumsi daging landak dapat
mencegah osteoporosis dan meningkatkan vitalitas tubuh, hati dan empedunya dapat
menyembuhkan penyakit asma, serta gerusan duri dapat digunakan sebagai obat sakit
gigi dan bisul (Farida, 2007; Wardi et al., 2011).
Landak merupakan mamalia yang sebagian tubuhnya berduri dan termasuk
ke dalam ordo Rodentia. Di alam liar, landak beraktivitas di malam hari (nocturnal)
dan hidup berkelompok. Umumnya seekor landak dapat melahirkan satu hingga tiga
ekor anak, tergantung pada spesiesnya. Landak hampir tersebar di seluruh belahan
dunia seperti di Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Latin, Eropa Selatan,
Afrika, dan Asia Selatan hingga Asia Tenggara (Musser, 2012). Di Indonesia,
penyebaran landak meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Umumnya,
landak raya (H.brachyura) tersebar di pulau Sumatera dan Kalimantan sedangkan
landak jawa (H. javanica) tersebar di pulau Jawa. Di Kalimantan pun terdapat landak
butun (H. crassispinis) dan angkis ekor panjang (Trichys fasciculata) yang
merupakan satwa asli Kalimantan (Payne et al., 2000).
Landak jawa memiliki panjang tubuh yang besar sekitar 37-47 cm dan bobot
badan 10-15 kg. Sebagian besar tubuh bagian atas ditutupi bulu panjang yang keras
berwarna hitam keputihan dan tajam, rambut pendek berwarna coklat kehitaman di
bagian leher serta tubuh bagian bawah. Matanya kecil berwarna kehitaman dan
telinga berbentuk seperti kepingan uang logam (Sukiya, 2005).

Status landak adalah dilindungi sebagaimana yang tercantum pada undangundang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, akan tetapi perburuan ilegal terus meningkat seiring
melonjaknya permintaan konsumen terhadap daging landak dan cinderamata yang
berasal dari duri landak. Tingginya nilai dan manfaat landak bagi masyarakat serta
meningkatnya pembukaan hutan menjadi lahan pemukiman menyebabkan semakin
menyusutnya habitat landak sehingga populasi menurun dan lambat laun satwa ini
akan punah.
Upaya penangkaran diperlukan untuk melestarikan landak dari kepunahan
dan pengembangan satwa endemik landak sebagai ternak budidaya. Lingkungan
yang kondusif dan pemberian pakan yang cukup merupakan faktor utama dalam
budidaya untuk menjadikan landak sebagai satwa harapan penghasil daging yang
dapat memenuhi kebutuhan protein hewani di masyarakat. Oleh karena itu, penelitian
ini diperlukan untuk mengamati produktivitas landak jawa yang hidup di dalam
penangkaran dengan pemberian pakan yang berbeda.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fisik daging dan
mikrostruktur otot landak jawa yang diberi penambahan konsentrat pada pakan.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Landak Jawa (Hystrix javanica)
Klasifikasi Ilmiah
Menurut International Union for The Conservation of Nature tahun 2009
(Lunde dan Aplin, 2008), klasifikasi ilmiah dari landak jawa adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Rodentia

Famili

: Hystricidae

Genus

: Hystrix

Spesies

: Hystrix javanica F. Cuvier, 1823

Gambar 1. Landak Jawa (Hystrix javanica)
(Sumber : Karima, 2012)

Habitat
Landak merupakan hewan mamalia yang aktif di malam hari (nocturnal).
Landak memiliki pendengaran yang baik, namun penglihatan yang buruk. Sebagian
besar spesies landak adalah herbivora yang memakan biji-bijian, buah, kacang, daun,
dan tanaman seperti tebu, nanas, melon, kakao, jagung, kacang tanah, kentang,
singkong, wortel dan labu (African Wildlife Foundation, 2012).

Landak umumnya dapat ditemukan di semua tipe hutan, perkebunan, area
berbatuan, semak-semak, padang rumput, padang pasir, bahkan sampai di ketinggian
3500 m dpl. Landak aktif mencari makan setelah matahari terbenam dan tidur di
dalam gua-gua, celah batu, atau di vegetasi yang padat. Terkadang landak dapat
ditemukan di luar sarang ketika sedang berjemur di bawah sinar matahari (Nowak,
1999).
Landak merupakan satwa terestrial (hidup di atas tanah) dengan membuat
lubang sarang hingga kedalaman sekitar 5 meter. Lubang tersebut bercabang-cabang
di dalam tanah dengan beberapa lubang kecil untuk pintu keluar. Habitatnya yang
berdekatan dengan pemukiman dan ladang, landak seringkali dianggap sebagai hama
perusak tanaman (Olson dan Lewis, 1999).
Penyebaran
Penyebaran landak meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Landak
raya tersebar di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan landak jawa tersebar hanya di
pulau Jawa. Landak jawa merupakan hewan endemik di pulau Jawa yang berukuran
besar (Farida dan Ridwan, 2011). Penyebaran landak jawa yaitu dari Jawa bagian
barat hingga timur, Madura, dan Bali (Lunde dan Aplin, 2008). Populasi landak
cenderung stabil meskipun permintaan akan duri landak menjadi dekorasi interior
dan souvenir semakin meningkat seperti yang dinyatakan oleh IUCN (2009).
Morfologi
Landak merupakan mamalia yang tubuh bagian atasnya ditutupi oleh duri
kecuali moncong dan telinga. Bagian atas tubuhnya berduri panjang, keras, tajam dan
berbentuk silinder dengan motif garis hitam dan putih kekuningan. Duri-duri tersebut
berfungsi untuk melindungi dirinya dari predator. Duri tersebut akan berdiri dan
dilepaskan apabila landak merasa terancam. Duri landak yang telah hilang, akan
ditumbuhi dengan duri yang baru (Clarkson, 2009). Panjang durinya sekitar 20-25
cm. Landak memiliki panjang tubuh sekitar 60-90 cm dan berat 5-15 kg. Kakinya
pendek dan memiliki cakar yang melengkung panjang. Jumlah jari pada kaki depan
adalah empat sedangkan pada kaki belakang adalah lima buah (Olson dan Lewis,
1999).

4

Reproduksi
Menurut Van Aarde (1985), panjang siklus estrus pada landak sekitar 30
hingga 37 hari. Landak yang hidup di dalam penangkaran akan berkembang biak
sepanjang tahun. Selama satu tahun, landak mengalami dua kali musim kawin. Estrus
pertama pada landak betina terjadi pada umur delapan bulan dengan kisaran bobot
badan 11-12,3 kg. Periode kebuntingan pada landak sekitar 93-94 hari dengan jumlah
anak per kelahiran sekitar satu hingga tiga ekor. Bobot lahir anak landak bervariasi
yaitu antara 300-440 g.
Bentuk kelenjar susu pada landak adalah segitiga dan terletak di posisi dada
posterior lateralis di belakang kaki depan. Kelenjar susu mulai berkembang pada
hari ke-30 hingga hari ke-60 setelah pembuahan. Posisi induk ketika menyusui
anaknya adalah dengan cara berjongkok. Lamanya periode menyusui pada landak
adalah sekitar 37-163 hari. Setelah 20 minggu umur landak muda akan disapih oleh
induknya (Van Aarde, 1985).
Tingkah Laku
Landak memiliki bulu yang keras yang disebut dengan duri. Duri landak ini
memiliki fungsi sebagai alat pertahanan dari pemangsa. Duri landak akan berdiri
apabila landak diserang atau merasa terancam. Landak akan berjalan mundur dan
melepaskan durinya sehingga duri-duri tersebut menikam tubuh predator (Yong,
2008). Saat landak merasa terancam, landak akan menyentakkan ekornya sehingga
timbul bunyi gemerincing yang berasal dari durinya yang bergetar, kemudian landak
membalikkan badannya dan bergerak mundur, dan menaikkan duri-duri di seluruh
tubuhnya sebagai senjata (Sastrapradja et al., 1982).
Kualitas Fisik Daging
Kualitas daging ditentukan oleh penerimaan konsumen terhadap sifat-sifat
daging yang meliputi ciri-ciri visual dan sensorik, termasuk daging yang diperoleh
harus aman untuk dikonsumsi dan berasal dari ternak yang sehat, serta status
kesejahteraan ternak selama sistem produksi yang baik (Becker, 2000). Kualitas
fisik daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang
dapat mempengaruhi kualitas daging sebelum pemotongan antara lain genetik,
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif
5

(hormon, antibiotik, dan mineral), dan stres. Faktor setelah pemotongan yang
mempengaruhi kualitas daging antara lain metode pelayuan, stimulasi listrik, metode
pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk
daging,

hormon,

antibiotik,

lemak

intramuskuler

atau

marbling,

metode

penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging
(Soeparno, 2005).
Sifat-sifat fisik daging merupakan salah satu sifat yang dapat menentukan
kualitas daging. Sifat-sifat fisik daging yang umum diamati untuk mengetahui
kualitas daging antara lain nilai pH daging, keempukan, susut masak (cooking loss),
daya mengikat air, warna dan tekstur daging. Selain itu, penilaian konsumen
terhadap kualitas daging juga ditentukan dari flavor, aroma yang termasuk bau dan
citarasa serta juiciness yang berasal dari lemak intramuskuler (marbling) (Glitsch,
2000; Soeparno, 2005).
Warna Daging
Warna merupakan salah satu parameter yang digunakan konsumen dalam
memilih suatu produk makanan. Warna berperan penting dalam penerimaan
konsumen terhadap makanan, selain itu warna juga dapat memberikan petunjuk
mengenai perubahan kimia dalam makanan (Deman, 1997).
Warna merah pada daging mentah dipengaruhi oleh kandungan protein
mioglobin. Protein mioglobin dalam darah berfungsi untuk mengangkut oksigen ke
dalam sel otot untuk proses metabolisme. Warna daging ditentukan oleh konsentrasi
pigmen mioglobin dalam serabut otot. Pigmen yang mengandung globulin
merupakan protein gugus heme yang terdiri atas cincin porfirin dan atom besi. Panas
yang ditimbulkan dari pengaruh pemasakan akan menyebabkan terkoagulasinya
protein (globulin) sehingga heme yang terdapat pada molekul terbuka sehingga
terjadi oksidasi antara zat besi dengan cincin heme (Gomez dan Gomez, 1995).
Menurut Keeton (2003), proses perubahan warna daging saat pemasakan
disebabkan oleh proses oksidasi atom besi yang terkandung dalam mioglobin.
Sebelum proses pemasakan daging, mioglobin terkena oksigen, tingkat oksidasi atom
besi menjadi 2+ (Fe 2+) dan terikat oleh oksigen (O 2 ) sehingga daging akan berwarna
merah cerah (oksimyoglobin). Ketika proses pemasakan daging, Fe2+ akan
6

kehilangan elektron dan tingkat oksidasi atom besi menjadi +3 (Fe3+). Hal ini akan
membuat daging tampak berwarna cokelat (metmyoglobin).
Menurut Soeparno (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi warna daging
antara lain pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan
tipe otot), pH, dan oksigen. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi konsentrasi
dan status kimia mioglobin, kondisi kimia serta fisik dari komponen lain dalam
daging yang berperan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie, 2003).
Menurut Soeparno (2005), perbedaan warna daging antar spesies disebabkan
oleh adanya perbedaan konsentrasi mioglobin. Secara umum, seiring bertambahnya
umur suatu ternak maka konsentrasi mioglobin pun akan meningkat tetapi
peningkatan ini tidak konstan. Hal ini disebabkan oleh perubahan deposisi mioglobin
dari serabut otot merah selama pertambahan umur ternak. Warris (2000) menyatakan
bahwa konsentrasi mioglobin yang tinggi dapat ditemukan pada otot-otot yang
digunakan secara aktif, lalu pada ternak yang dipelihara secara bebas, dan pada
ternak yang sudah tua.
Warna daging juga dapat dipengaruhi oleh daya mengikat air, seperti yang
dinyatakan Prasetyo et al. (2009) dalam penelitiannya bahwa daya mengikat air yang
tinggi dapat menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan cahaya yang
diserap lebih banyak daripada dipantulkan oleh permukaan daging sehingga warna
daging menjadi lebih gelap.
Nilai pH Daging
Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan dalam kualitas daging, karena
berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan
daging (Lukman et al., 2007). Menurut Soeparno (2005), perubahan nilai pH sangat
penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Faktor yang
mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi
dua kelompok yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah
spesies, tipe otot, dan glikogen otot. Winarso (2003) menyatakan dalam
penelitiannya, umur dan tipe otot yang berbeda pada ayam kampung mempengaruhi
nilai pH. Nilai pH daging ayam kampung berumur 6 bulan lebih tinggi daripada
ayam kampung yang berumur 3 bulan sedangkan nilai pH otot dada (Pectoralis
superfisialis) dan paha (Biceps femoris) masing-masing adalah 5,75 dan 6,20.
7

Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi nilai pH daging antara lain temperatur
lingkungan, perlakuan aditif sebelum pemotongan dan stres setelah pemotongan
(Soeparno, 2005). Menurut Rianto et al. (2010) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa aktivitas yang sama ketika pemeliharaan dan sebelum pemotongan
menyebabkan nilai pH yang tidak berbeda diantara otot Longissimus dorsi dan
Biceps femoris karena aktivitas yang sama sebelum dipotong akan membentuk asam
laktat yang relatif sama pula sehingga pH yang terbentuk berada di kisaran yang
sama yaitu 5,57-5,59.
Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak.
Perubahan pH tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan.
Glikogen adalah substrat metabolik dalam proses glikolisis postmortem yang
menghasilkan asam laktat sehingga dapat menurunkan nilai pH daging. Saat ternak
dipotong terjadi perubahan proses glikolisis aerob menjadi anaerob. Glikolisis
anaerob sangat tergantung pada ketersediaan glikogen dalam otot. Proses yang terjadi
adalah perombakan glikogen menjadi asam laktat secara terus menerus hingga
cadangan glikogen habis dan pH daging menjadi rendah sehingga dapat
menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik. Nilai pH yang tercapai setelah
glikogen otot menjadi habis dan enzim glikolitik tidak aktif pada pH rendah disebut
pH ultimat daging. Nilai pH ultimat daging postmortem yaitu antara 5,4-5,5 karena
umumnya glikogen tidak dapat ditemukan pada pH tersebut (Soeparno, 2005).
Susut Masak Daging
Susut masak merupakan persentase dari selisih antara bobot daging sebelum
dan sesudah dimasak. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama
pemasakan. Nilai susut masak daging sapi menurut Soeparno (2005) yaitu 15%-40%.
Daging yang memiliki kualitas yang relatif baik adalah daging yang susut masaknya
rendah karena resiko hilangnya nutrisi selama pemasakan lebih sedikit. Susut masak
berkaitan dengan nilai nutrisi pada daging dengan banyaknya air yang terdapat di
dalam dan di antara serabut otot atau daya mengikat air. Daya mengikat air yang
rendah akan menyebabkan nilai susut masak yang tinggi. Hal yang mempengaruhi
daya mengikat air adalah nilai pH. Nilai pH yang tinggi atau lebih rendah dari titik
isoelektrik daging (5,0-5,1) maka nilai susut masak daging menjadi rendah.
8

Perbedaan umur, bangsa ternak, konsumsi pakan, dan bobot potong terutama
bila terdapat perbedaan disposisi lemak intramuskuler dapat menyebabkan perbedaan
susut masak (Soeparno, 2005). Menurut Winarso (2003), ternak dewasa memiliki
susut masak yang lebih kecil dibandingkan ternak muda. Hal ini disebabkan
kandungan lemak pada ternak dewasa yang lebih banyak daripada ternak muda
sehingga dapat menahan keluarnya cairan daging selama perebusan. Selain itu,
Rianto et al. (2010) menyatakan bahwa bobot potong yang tinggi menunjukkan
peningkatan deposisi lemak intramuskuler (marbling) pada otot terutama pada otot L.
dorsi.
Kenaikan temperatur dan lama perebusan dapat mempengaruhi susut masak
pada daging. Peningkatan susut masak selama perebusan dapat disebabkan oleh
perubahan struktur jaringan dan protein daging terutama protein miofibril dan
sarkoplasma sedangkan lama perebusan akan memendekkan panjang serabut otot dan
pengerutan protein miofibril sehingga banyak cairan daging yang keluar (Winarso,
2003). Umumnya, makin tinggi temperatur pemasakan dan makin lama waktu
pemasakan maka makin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai
tingkat yang konstan. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai
kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar
karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Soeparno, 2005).
Keempukan Daging
Keempukan daging merupakan penentu terpenting pada kualitas daging
terutama pada penerimaan konsumen untuk membeli dan mengonsumsi daging.
Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga
aspek. Aspek pertama, awal kemudahan gigi dalam menetrasi ke dalam daging.
Kedua, kemudahan daging dipecah menjadi beberapa bagian kecil. Ketiga, jumlah
residu yang tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).
Keempukan daging banyak ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu
struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan
silangnya, daya ikat air oleh protein serta juiciness daging. Faktor yang
mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti
genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis
kelamin, stres, sedangkan faktor postmortem yang mempengaruhi keempukan
9

diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan, faktor
lama dan waktu penyimpanan, metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan
penambahan bahan pengempuk (Soeparno, 2005). Winarso (2003) menyatakan
bahwa umur, tipe otot, dan kombinasi waktu serta temperatur pemasakan yang
berbeda dapat menurunkan keempukan daging ayam kampung.
Jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih
banyak bergerak aktif selama ternak hidup misalnya otot paha, teksturnya akan
terlihat lebih kasar sedangkan otot yang pasif memiliki tekstur yang lebih halus
(Natasasmita, 1994). Rianto et al. (2010) menyatakan bahwa L. dorsi merupakan otot
pasif sedangkan otot B. femoris merupakan otot aktif. Otot B. femoris yang sering
digunakan untuk beraktivitas berpengaruh terhadap keempukan daging karena otot
yang sering digunakan untuk bergerak akan memiliki diameter jaringan ikat yang
jauh lebih besar daripada otot pasif sehingga keempukan yang dihasilkan rendah.
Jaringan ikat berpengaruh terhadap keempukan daging. Hal ini berhubungan
dengan berkembangnya ikatan silang yang tahan dengan panas dan kandungan
kolagen, serta pengaruh pemanjangan sarkomer saat penggantungan setelah
pemotongan (Harper, 1999; Lepetit et al., 2000). Keempukan daging ditentukan oleh
jumlah dan

jaringan ikat yang terlarut selama proses pemasakan, pemanjangan

sarkomer selama proses rigormotis, proses terjadinya proteolisis pada miofibrilar
setelah pemotongan, dan hubungan antara miofibrilar dengan protein. Proses
proteolisis yang terjadi karena kandungan protease yang terus meningkat setelah
pemotongan dan aktivitas protease selama proses pelayuan (Koohmaraie dan
Geesink, 2006).
Tingkat kekasaran tekstur juga meningkat seiring pertambahan umur. Otot
dengan serabut otot-otot yang kecil tidak menunjukkan peningkatan kekasaran
tekstur secara nyata dengan meningkatnya umur. Selain itu, jenis kelamin dan
bangasa ternak dapat mempengaruhi tekstur otot. Umumnya, otot ternak jantan
mempunyai tekstur yang lebih kasar daripada otot ternak betina (Soeparno, 2005).
Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pengaturan pakan sebelum ternak
dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah
pemotongan, dan ternak-ternak yang digemukkan dalam kandang akan menghasilkan
daging yang lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan. Soeparno (2005)
10

menyatakan bahwa perbedaan keempukan daging yang dihasilkan dari konsumsi
konsentrat dengan energi rendah dan konsumsi konsentrat dengan energi tinggi juga
berhubungan dengan jumlah glikogen dan kadar asam laktat, tergantung pada cepat
atau lambatnya proses glikolisis postmortem. Menurut Warner et al. (2010),
keempukan daging beragam tergantung laju glikolisis dan rigormotis yang terjadi
setelah pemotongan, serta pH akhir daging. Jika pH akhir daging lebih dari 6,1 maka
daging menjadi alot karena protein banyak mengikat air, dan juga dipengaruhi oleh
pemendekkan sarkomer.
Daya Mengikat Air
Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity
adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama
ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Tingkat daya mengikat air ini
ditentukan oleh spesies, genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan, dan
waktu (Honikel, 1998). Penurunan pH postmortem dapat mempengaruhi nilai daya
mengikat air, semakin tinggi pH akhir maka semakin sedikit penurunan daya
mengikat air. Daya mengikat air yang menurun berasal dari pH tinggi yaitu 7-10
hingga pH titik isoelektrik protein daging antara 5,0-5,1 (Lawrie, 2003).
Kualitas daging berhubungan dengan umur dan lemak intermuskular yang
juga berpengaruh terhadap daya mengikat air daging. Otot dengan kandungan lemak
intramuskuler tinggi cenderung memiliki daya mengikat air yang tinggi. Hubungan
antara lemak intramuskuler dengan daya mengikat air adalah kompleks. Lemak
intramuskuler akan melonggarkan mikrostruktur daging sehingga protein daging
dapat lebih kuat mengikat air (Soeparno, 2005). Selain itu, semakin tua umur ternak
yang dipotong, maka persentase lemak intramuskuler akan semakin tinggi. Daging
dengan lemak intramuskuler tinggi akan mempunyai daya mengikat air yang tinggi
(Zein, 1991).
Tipe otot yang berbeda dapat mempengaruhi daya mengikat air. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan aktivitas dan kandungan protein pada
otot. Daya mengikat air pada otot dada lebih rendah dibandingkan pada otot paha (B.
femoris). Otot yang sering digunakan untuk aktivitas seperti otot B. femoris
berhubungan langsung dengan pemendekan serabut otot. Pemendekan serabut otot
11

ini akan menyebabkan daya mengikat air turun sehingga nilai pH menjadi rendah
(Winarso, 2003).
Histologi Daging
Histologi merupakan metode yang banyak digunakan untuk mengamati
jaringan biologi secara mikroskopis, terutama digunakan untuk mengetahui tekstur
daging pada produk pangan. Teknik ini umumnya melalui tahapan pemotongan
jaringan yang sangat tipis dan pewarnaan dengan pewarna tertentu untuk melihat
kekontrasan warna dan mempermudah pengamatan jaringan pada mikroskop (Damez
dan Clerjon, 2008). Teknik ini telah digunakan untuk mengetahui pengaruh proses
setelah pemotongan terhadap serabut otot dalam daging. Salah satunya penelitian
Ichinoseki et al. (2006) mengenai pengaruh tekanan tinggi terhadap fibril kolagen
dalam jaringan ikat intermuskuler pada sapi, dan penelitian Rusman et al. (2007),
mengenai pengaruh tekanan tinggi dan panas terhadap otot sapi sedangkan Laville et
al. (2005) menganalisis karakteristik daging PSE dengan melihat jarak serabut otot
melalui pewarnaan hematoxylin-eosin-safran.
Daging dalam arti luas adalah komponen beberapa organ termasuk hati,
ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dikonsumsi di samping urat daging. Daging
juga merupakan komponen utama karkas. Komponen utama daging terdiri atas otot,
lemak, dan sejumlah jaringan ikat (kolagen, retikulin, dan elastin), pembuluh darah,
serta saraf (Lawrie, 2003).
Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Otot adalah jaringan
yang mempunyai struktur dan mempunyai fungsi utama sebagai penggerak. Ciri
suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya sehingga jumlah
jaringan ikat berbeda diantara otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan
daging (Soeparno, 2005). Menurut Warris (2000) semua otot memiliki struktur dasar
yang sama dan terdiri atas sel otot (serat) yang diikat bersama oleh jaringan ikat
menjadi beberapa kelompok.
Struktur Fibrus Otot
Otot tersusun dari banyak ikatan serabut otot yang lazim disebut fasikuli.
Fasikuli terdiri atas serabut-serabut otot, sedangkan serabut otot tersusun dari banyak
fibril yang disebut miofibril. Miofibril tersusun dari banyak filamen yang disebut
12

miofilamen. Berdasarkan ukuran otot dari yang terbesar hingga yang terkecil, otot
tersusun dari fasikuli, serabut otot, miofibril dan miofilamen. Komponen utama
jaringan ikat terdiri atas endomisium, perimisium, dan epimisium (Harper, 1999).
Ukuran suatu ikatan serabut otot (fasikuli) ditentukan oleh jumlah serabut dan jumlah
perimisium yang mengelilingi dan menyelimuti setiap ikatan serabut otot (Soeparno,
2005). Warris (2000) menyatakan jaringan ikat tersusun dari epimisium yang
terdapat di sekeliling otot dan terletak diantara fasikuli dan endomisium terdapat
diantara serabut otot. Umumnya, diameter serabut otot yaitu berkisar antara 60100µm. Namun, untuk ternak yang lebih muda ukuran diameternya dapat lebih kecil
dari diameter serabut otot pada umumnya.
Serabut otot tersusun sebagai berkas yang dibungkus oleh jaringan ikat
fibrosa. Jaringan pengikat di antara masing-masing serabut otot disebut endomisium.
Bungkus berkas serabut otot disebut perimisium dan jaringan pengikat yang
membungkus otot itu secara keseluruhan disebut epimisium. Perbandingan antara
jaringan pengikat terhadap jaringan otot dan jumlah lemak atau marbling
menentukan kekenyalan dan kekerasan relatif sepotong daging (Frandson, 1992).

Gambar 2. Struktur Anatomi Otot
Sumber : people.eku.edu

Secara histologi, serabut-serabut otot terdiri atas nukleus, mitokondria,
miofibril, sarkolema, dan sarkoplasma. Nukleus berbentuk oval dan ukurannya
13

bervariasi di bawah sarkolema. Mitokondria mengandung enzim untuk metabolisme
aerobik. Retikulum sarkoplasma berfungsi sebagai ruang penyimpanan ion kalsium.
Sarkoplasma mengandung lysosom yang berfungsi untuk menyimpan berbagai
enzim proteolitik, dan butiran-butiran glikogen (Warris, 2000).
Komponen utama dari jaringan ikat adalah kolagen dan protein elastin. Serat
kolagen tidak bercabang, kuat, dan tidak elastis sedangkan elastin memiliki bentuk
yang bercabang dan elastis. Kolagen dapat membentuk struktur otot yang kuat yang
merupakan komponen utama dalam pembentukan kulit (Warris, 2000). Kolagen
merupakan protein yang paling luas terdapat di dalam tubuh hewan meliputi 20%25% dari total tubuh protein tubuh mamalia. Kolagen merupakan protein struktural
pokok pada jaringan ikat dan memiliki pengaruh yang besar terhadap kealotan
daging. Kadar kolagen daging dapat berbeda diantara jenis kelamin, umur dan
diantara daging pada karkas yang sama. Perbedaan kandungan kolagen ini sangat
menentukan nilai ekonomis bagian-bagian karkas dan daging. Ikatan silang kovalen
meningkat selama pertumbuhan dan perkembangan ternak. Ternak yang lebih tua
akan menghasilkan daging yang cenderung lebih alot daripada daging yang ternak
muda pada bagian karkas yang sama (Soeparno, 2005).
Tingkat keempukan daging dapat dihubungkan dengan kategori protein otot
yaitu protein jaringan ikat (kolagen, elastin, retikulin, dan mukopolisakarida
matriks), miofibril (terutama miosin, aktin, dan tropomiosin), dan sarkoplasma.
Kontribusi masing-masing kategori protein tergantung pada tingkat kontraksi
miofibril, tipe otot, serta lama dan temperatur pemasakan. Kealotan atau keempukan
serabut otot pada kisaran pH 5,4-6,0 lebih banyak ditentukan oleh status kontraksi
serabut otot dibandingkan oleh status fisik serabut otot (Soeparno, 2005).
Konsentrat
Konsentrat merupakan suatu bahan pakan yang digunakan secara bersamasama dengan bahan pakan lain untuk meningkatkan nilai gizi agar menjadi pakan
yang bernutrisi lengkap (Tillman et al., 1998). Konsentrat merupakan pakan yang
mengandung protein kasar yang tinggi dengan serat kasar yang rendah yaitu di
bawah 18% dan mudah untuk dicerna oleh ternak. Fungsi penambahan konsentrat
adalah untuk meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang
14

nilai gizinya rendah sehingga dapat mencukupi kebutuhan gizi ternak yang sedang
tumbuh (Church, 1991).
Menurut Prihatman (2000), kelebihan konsentrat adalah sifatnya yang mudah
dicerna oleh ternak karena terbuat dari campuran beberapa bahan pakan sumber
energi seperti biji-bijian, pakan sumber protein seperti bungkil dan kacang-kacangan
serta adanya penambahan vitamin dan mineral. Namun ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan konsentrat adalah ketersediaan harga satuan bahan
pakan, standar kualitas konsentrat, metode dan teknik pembuatan. Selain mudah
dicerna, konsentrat juga dapat meningkatkan bobot karkas pada ternak. Hal sesuai
dengan pernyataan Sunarlim dan Setiyanto (2005) dalam penelitiannya bahwa
pemberian konsentrat sebanyak 80% mampu meningkatkan bobot hidup, bobot
potong, dan persentase karkas pada kambing kacang dan domba lokal.

15

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini telah dilakukan di tiga lokasi yaitu lokasi pemeliharaan dan
pemotongan di Penangkaran Mamalia Bidang Zoologi, Pusat Penelitian BiologiLIPI, Cibinong, dan pemotretan otot dengan mikroskop bertempat di Laboratorium
Biosistimatika, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi- LIPI, Cibinong, Kabupaten
Bogor. Pengamatan sifat fisik daging landak dilakukan di Laboratorium Ilmu
Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
dan pengamatan mikrostruktur otot dilakukan di Laboratorium Anatomi dan
Histologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini telah
dilaksanakan pada bulan Juli 2011 hingga Februari 2012.
Materi
Landak
Penelitian ini menggunakan delapan ekor landak jawa (Hystrix javanica)
yang terdiri atas dua ekor landak jantan dan enam ekor landak betina. Kisaran bobot
awal landak jantan adalah 6,20-6,60 kg sedangkan betina 5,90-6,88 kg. Umur landak
yang dipelihara ± 1 tahun. Pada minggu ke-5 terdapat satu ekor betina landak jawa
(P1) yang sakit sehingga dagingnya tidak digunakan untuk pengujian sifat fisik
daging dan mikrostruktur otot.
Kandang
Kandang yang digunakan adalah delapan kandang individu berukuran 2,2 m x
1,9 m x 2,5 m, berdinding kawat loket dan berlantai beton. Setiap kandang diisi
masing-masing satu ekor landak.
Peralatan dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk pemeliharaan antara lain alat kebersihan,
tempat pakan, timbangan gantung, timbangan digital, termohygrometer digital,
kandang untuk penimbangan, pinset, nampan, pisau, selang air, kalkulator, dan alat
tulis. Peralatan yang digunakan dalam pengamatan kualitas fisik daging antara lain
timbangan digital, carper press, planimeter, pH meter, Warner-Blatzer, termometer

bimetal, panci, kompor, kertas saring Whatman no. 41, kamera dan alat tulis serta
bahan yang digunakan dalam nilai pH adalah pH buffer 4 dan 7.
Peralatan yang digunakan dalam pengamatan mikrostruktur otot meliputi
scalpel, pinset, botol kaca, satu set alat bedah, gelas piala, gelas ukur, gelas obyek,
gelas penutup, kotak lembab, mikrotom, mikropipet, inkubator, blok kayu, tissue
holder, pembakar bunsen, tutup pagoda, lemari es, kertas label, kuas, pisau, dan
mikroskop compound yang dilengkapi dengan kamera. Bahan yang digunakan antara
lain larutan paraformaldehid 4% untuk pengawetan, parafin, alkohol (70%, 80%,
90%, 95%), larutan xylol, larutan pewarna hematoksilin, akuades, perekat entellan,
dan parafin.
Prosedur
Persiapan Kandang
Persiapan kandang dimulai dari pembersihan kandang dan desinfeksi
seminggu sebelum pemeliharaan. Setiap kandang diberi satu tempat pakan untuk
pakan perlakuan dan lampu untuk penerangan. Di bagian sisi kedua dinding kandang
ditutup dengan kerai bambu sebagai pelindung dan pengaruh cekaman sinar
matahari. Suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan termohygrometer
digital yang diletakkan di areal penangkaran (Gambar 3).

Gambar 3. Kandang Individu
(Sumber: Karima, 2011)

17

Pemeliharaan
Landak dipelihara selama 90 hari dan dihitung konsumsi pakannya setiap
hari, sedangkan penimbangan bobot badannya setiap 2 minggu sekali. Sebelum
penyembelihan, landak telah dipuasakan selama 24 jam dan ditimbang bobot
badannya. Setelah penyembelihan dan pengulitan, ditimbang bobot karkasnya. Pada
masing-masing kandang diberi identitas nama landak, keterangan jenis kelamin serta
jenis pakan yang diberikan. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi
dan sore. Jumlah pemberian pakan ditimbang dengan menggunakan timbangan
digital sesuai jenis perlakuan.
Pakan
Pakan yang diberikan adalah pakan kontrol (P0) dan pakan kontrol +
konsentrat (P1). Pakan P0 terdiri atas daun jaat hutan (Phaseolus sp.), bengkuang
(Pachyrhizus erosus), talas belitung (Xanthosoma sagittifolium), pisang siam (Musa
sp.), tomat (Solanum lycopersicum), dan jagung manis (Zea mays), sedangkan pakan
P1 yaitu berupa pelet untuk ikan koi (warna merah) (Gambar 4).

(a)

(b)

Gambar 4. Pakan Landak Jawa Selama Penelitian. (a). Pakan Kontrol (P0); (b)
Konsentrat Berupa Pelet Ikan Koi
(Sumber: Karima, 2011)

Setiap minggunya, landak diberikan tulang sapi rebus untuk asupan kalsium
dan juga berfungsi untuk mengasah gigi. Jumlah masing-masing pakan yang
diberikan da