Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN KAYU BAKAR
MENURUT ASAL PADA INDUSTRI GULA KELAPA
DI KECAMATAN WANGON KABUPATEN BANYUMAS
JAWA TENGAH

AMELIA RESTANING MURDIYANSAH

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN KAYU BAKAR
MENURUT ASAL PADA INDUSTRI GULA KELAPA
DI KECAMATAN WANGON KABUPATEN BANYUMAS
JAWA TENGAH

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor


Oleh
AMELIA RESTANING MURDIYANSAH

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi
Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di
Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Amelia Restaning M
NRP E14080015

ABSTRAK
AMELIA RESTANING MURDIYANSAH. Identifikasi Kebutuhan Kayu
Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa di Kecamatan Wangon
Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Dibimbing oleh HARDJANTO.
Kabupaten Banyumas merupakan sentra industri penghasil gula
kelapa. Salah satu daerah yang menghasilkan produk gula kelapa terbesar
yaitu Kecamatan Wangon. Permintaan gula kelapa sebagai bahan baku dalam
konsumsi rumah tangga dan industri makanan semakin meningkat
mengakibatkan kebutuhan kayu bakar juga meningkat. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi sumber kayu bakar yang digunakan, mengidentifikasi
teknik memperoleh kayu bakar, menghitung kebutuhan kayu bakar yang
digunakan dalam industri gula kelapa, dan menghitung potensi kayu bakar di
Kecamatan Wangon. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung ke

industri gula kelapa. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa bahan bakar utama dalam mengolah
gula kelapa berasal dari hutan rakyat dan tambahannya berasal dari hutan
negara. Berdasarkan asal geografis kayu bakar diperoleh dari dalam desa
dalam kecamatan sebanyak 92%, luar desa dalam kecamatan sebanyak 6% dan
dari luar desa luar kecamatan sebanyak 2%. Industri yang memperoleh kayu
bakar dengan cara memungut dan memangkas sebanyak 64 % dan yang
memperoleh dengan cara membeli sebanyak 36%. Potensi kayu bakar yang
tersedia di Kecamatan Wangon sebanyak 180.195,05 m3. Kebutuhan kayu
bakar untuk industri gula kelapa di Kecamatan Wangon sebanyak 10.888,03
m3/tahun. Penelitian ini menunjukan bahwa potensi kayu bakar mampu
memenuhi kebutuhan kayu bakar selama 16,55 tahun dengan jumlah tegakan
tidak mengalami perubahan.
Kata kunci : industri gula kelapa, kayu bakar, potensi

ABSTRACT
AMELIA RESTANING M. Identification of The Needs of Firewood of
Coconut Palm Sugar Industry Based on The Origin in Wangon Sub-District,
Banyumas District, Central Java Province. Supervised by HARDJANTO.
Banyumas District is a central industry of coconut palm sugar. One

region that produces the most coconut palm sugar product is Wangon SubDistrict. The demand of coconut palm sugar as raw materials on the household
consumption and food industry is increasing which also effects the needs of
firewood. This research aims to identify the source of firewood that is used, to
identify the technique to obtain firewood, to calculate the needs of firewoods
that is used in the coconut palm sugar industry, and to calculate the firewood
potential at Wangon Sub-District. This research was done by direct
observation to the coconut palm sugar producers and the collected data was
analyzed by descriptive method. The result of this research shows that the
main fuel on the processing of coconut palm sugar was obtained from the
society forest and the addition was obtained from the states forest. Based on
the geographic origin, firewoods which were obtained from inside the village
and inside the sub-district is as much as 92%, firewood obtained from outside
the village and inside the sub-district is as much as 6% and firewood obtained
from outside the village and outside the sub-district is as much as 2%.
Producers which obtained firewoods by collecting and trimming is as much as
64%, while firewoods obtained by buying is as much as 36%. Firewood
potential which is available at Wangon Sub-District is 180.195,05 m3. The
needs of firewood for coconut palm sugar industry at Wangon Sub-District is
10.888,03 m3/year. This research shows that the firewood potential can fulfill
the needs of firewood for 16.55 years with unchanged number of stands.

Keywords : coconut palm sugar industry, firewood, potential.

i

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi: Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri
Gula Kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas
Jawa Tengah
Nama

: Amelia Restaning M

NRP

: E14080015

Menyetujui:
Dosen Pembimbing


Prof Dr Ir Hardjanto, MS
NIP. 19550606 198103 1 008

Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan,

Dr Ir Didik Suhardjito, MS
NIP 19630401 199403 1 001

Tanggal Lulus:

ii

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Identifikasi Kebutuhan Kayu Bakar Menurut Asal pada Industri Gula Kelapa
di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas Jawa Tengah yang dilaksanakan
pada bulan Juni-Agustus 2012.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Hardjanto,
MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan
motivasi bagi penulis selama penulisan skripsi. Terima kasih juga kepada
pemerintah daerah Kabupaten Banyumas yang telah membantu selama
penelitian. Selain itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu,
Bapak, dan Kakak atas dukungan, kasih sayang, dan doanya serta semua pihak
yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang membantu secara langsung
maupun tidak langsung dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013

Amelia Restaning M

iii

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

iii


DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
I PENDAHULUAN

v
vii
8

1.1

Latar Belakang

8

1.2

Perumusan Masalah

9


1.3

Tujuan

II TINJAUAN PUSTAKA

10
12

2.1

Kayu Bakar

12

2.2

Gula Kelapa


15

2.3

Penelitian Terdahulu

17

III METODE PENELITIAN

20

3.1

Waktu Penelitian

20

3.2


Bahan dan Alat

20

3.3

Kerangka Pemikiran

20

3.4

Metode Pengambilan Contoh

22

3.5

Metode Pengolahan Data

22

IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

24

4.1

Letak dan Posisi Geografis

24

4.2

Penggunaan Lahan di Kecamatan Wangon

25

4.3

Topografi dan Iklim

25

4.4

Kependudukan

26

4.5

Sarana dan Prasarana

26

V HASIL DAN PEMBAHASAN

28

5.1

Karakteristik Pengolah Gula Kelapa

28

5.2

Sumber Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa

31

5.3

Pola Memperoleh Kayu Bakar

33

5.4

Kebutuhan Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa

37

5.5

Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Wangon

42

5.6

Keterkaitan Antara Kebutuhan Kayu Bakar dengan Ketersedia Kayu
Bakar

43

VI KESIMPULAN DAN SARAN

44

6.1 Kesimpulan

44

iv

6.2 Saran

44

DAFTAR PUSTAKA

45

DAFTAR PUSTAKA

45

LAMPIRAN

48

v

DAFTAR TABEL
1

Penggunaan lahan di Kecamatan Wangon

25

2

Keadaan penduduk Kecamatan Wangon menurut umur dan jenis

26

kelamin pada akhir tahun 2010

26

3

Panjang jalan menurut jenis permukaan per desa tahun 2009

27

4

Sarana dan prasarana pendidikan

27

5

Karakteristik pengrajin gula kelapa berdasarkan usia dan masa kerja

28

6

Alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa

29

7

Pendapatan pengrajin gula kelapa

30

8

Kepemilikan lahan pengrajin gula kelapa

30

9

Sumber kayu bakar berdasarkan asal geogragfis

32

10

Teknik dan intensitas memperoleh kayu bakar

33

11

Teknik pengangkutan kayu bakar berdasarkan moda angkutan
yang digunakan

36

12

Tempat penyimpanan kayu bakar

36

13

Periode produksi gula kelapa berdasarkan waktu pemasakan nira

38

14

Kebutuhan kayu bakar untuk memasak nira

40

15

Total kebutuhan kayu bakar pada industri gula kelapa di
Kecamatan Wangon

42

vi

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka pemikiran penelitian

21

2

Peta Kecamatan Wangon

24

3

Tempat penyimpanan kayu bakar

37

4

Jenis-jenis tungku pengolahan gula kelapa

39

5

Tumbukan kayu bundar rimba sortimen KBK yang mempunyai ukuran
diameter lebih kurang dari 30 cm.

49

vii

DAFTAR LAMPIRAN
1

Teknik pengukuran kayu bakar

49

2

Kakarteristik pengrajin gula kelapa

51

3

Karakteristik industri gula kelapa

58

4

Pola penggunaan kayu bakar

59

5

Kebutuhan kayu bakar

65

6

Potensi kayu bakar

68

8

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan dapat menyediakan barang dan jasa untuk keperluan manusia.
Hasil hutan yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat meliputi kayu untuk
bangunan tempat tinggal, kayu bakar, arang kayu, bahan-bahan anyaman dan
kayu-kayu spesial. Kayu bakar termasuk energi konvensional yang sifatnya
dapat diperbaharui melalui cara pemudaan dan teknik budidaya. Berbeda
dengan energi minyak bumi dan fosil, keduanya dapat habis tereksploitasi.
Karakteristik energi kayu yang baik ini dapat menjamin kesinambungan
produksi dan konsumsi energi asal kayu disamping manfaat lainnya yang
terkait fungsi tanaman atau hutan (Nurhayati et al. 2002).
Kayu bakar sebagai sumber energi terbarukan memiliki peran yang
penting bagi

masyarakat

pedesaan

di

Indonesia

dalam

menunjang

kesinambungan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kayu bakar
masih banyak digunakan sebagai sumber energi khususnya di rumah tangga
dan industri rumah di pedesaan. Kayu bakar digunakan untuk memasak
makanan, air dan pemanasan. Kayu bakar bagi masyarakat di pedesaan belum
akan tergantikan secara total oleh jenis energi seperti minyak tanah dan gas
karena kemampuan daya belinya yang rendah dan sulitnya memperoleh
pekerjaan alternatif di luar usaha tani (Dwiprabowo 2010).
Kayu bakar merupakan energi yang lebih mudah diperoleh dan
tersedia di pedesaan. Kayu bakar dapat diperoleh di kawasan hutan negara,
hutan rakyat, pekarangan rumah, kebun talun, dan limbah pertanian (Hendra
2007 dalam Tampubolon 2008). Namun menurut Dwiprabowo (2010)
terdapat tiga sumber kayu bakar atau limbah biomassa untuk energi rumah
tangga yakni Perum Perhutani, perkebunan dan kebun atau hutan rakyat, serta
industri penggergajian.
Persediaan kayu bakar setiap daerah berbeda-beda. Menurut Dewi
(1994) sumber konsumsi kayu bakar rumah tangga dan industri rumah tangga
terpenuhi dari lahan milik dan hutan. Menurut Santosa (2001) kayu bakar di
Kabupaten Kulonprogo digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri
pedesaan, konsumsi rumah tangga dan keperluan kayu bakar keluar wilayah

9

tersebut. Potensi kayu bakar yang tersedia mampu mencukupi kebutuhan
penggunaan kayu bakar. Namun menurut Budiyanto (2009) potensi kayu
bakar di lahan milik tidak mencukupi kebutuhan total kayu per kapita per
tahun. Hal ini mengakibatkan masyarakat memenuhi kebutuhan kayu bakar
dari hutan.
Kayu bakar sudah sejak lama digunakan sebagai bahan bakar industri.
Menurut Mursaid et al. (1956) dalam Hamzah (1980) konsumen-konsumen
yang menggunakan kayu bakar antara lain rumah tangga, karet rakyat,
perusahaan-perusahaan makanan, perusahaan pembakaran (kapur, bata,
genteng, keramik), perusahaan batik, penggarangan tembakau dan pabrikpabrik gula.
Kabupaten Banyumas merupakan salah satu kabupaten yang memiliki
banyak industri rumah tangga. Industri tersebut antara lain, industri gula
kelapa, industri tempe, industri tahu, industri bioetanol, industri genteng,
industri getuk goreng, industri minyak atsiri, industri batu bata, kerajinan
bambu, kerajinan gerabah, dan kerajinan keramik. Kabupaten Banyumas
merupakan sentra industri penghasil gula kelapa. Salah satu daerah yang
menghasilkan produk gula terbesar yaitu Kecamatan Wangon. Produk gula
kelapa yang dihasilkan memiliki pasar yang sangat luas. Permintaan gula
kelapa sebagai bahan baku dalam konsumsi rumah tangga dan industri
makanan yang semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan kayu bakar juga
meningkat. Keberadaan kayu bakar sangat penting diperhatikan untuk
menjaga produksi gula. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang
identifikasi kebutuhan kayu bakar menurut asal.
1.2 Perumusan Masalah
Kabupaten Banyumas merupakan salah satu daerah penghasil gula
kelapa (gula jawa atau gula merah) yang sangat potensial di Jawa Tengah.
Menurut data dari Deperindag (2011) terdapat kurang lebih 26.051 unit usaha
gula kelapa dengan volume produksi mencapai 59.360.616 ton per tahun yang
tersebar di 24 kecamatan dan terdapat lima kecamatan yang perkembangan
usaha industri gula kelapanya sangat produktif dengan produksi terbesar yaitu

10

Kecamatan Cilongok, Kecamatan Ajibarang, Kecamatan Wangon, Kecamatan
Somagede, dan Kecamatan Lumbir.
Pasar utama industri gula kelapa asal Banyumas adalah industri
makanan dan konsumsi rumah tangga. Selain itu, pemasaran gula kelapa juga
merambah ke pasar luar negeri. Kebutuhan gula kelapa akan terus meningkat
sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kecamatan

Wangon

merupakan

salah

satu

kecamatan

yang

menghasilkan gula terbesar. Di Kecamatan Wangon terdapat 1.664 unit
industri gula kelapa dengan volume produksi gula sebanyak 11.149,20 kg/hari.
Jumlah pohon yang disadap sebanyak 30.970 pohon. Produk industri gula
kelapa di Kecamatan Wangon digunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sekitar dan juga dikirim ke beberapa wilayah di Pulau Jawa.
Industri gula kelapa merupakan salah satu industri rumah tangga yang
menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar dalam proses pemasakan.
Keberadaan kayu bakar sangat penting bagi industri gula kelapa. Mereka
memperoleh kayu bakar dengan cara membeli atau mencari di hutan. Semakin
banyak gula yang dimasak maka kayu bakar yang dibutuhkan semakin
banyak, sehingga persediaan kayu bakar dapat berkurang. Oleh karena itu,
mengetahui sumber dan potensi kayu bakar di suatu daerah sangat penting
untuk menghindari kelangkaan kayu bakar.
Penelitian ini meliputi sumber-sumber pemenuhan kayu bakar dan
pendugaan besarnya kebutuhan kayu bakar. Penelitian ini dilakukan di
Kecamatan Wangon dengan pertimbangan ragam industri rumah tangga,
terdapat hutan negara dan kemudahan akses transportasi. Hasil dari kegiatan
ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai tindakan yang perlu
dilakukan untuk mempertahankan kelestarian sumber kayu bakar dan
kelanjutan industri gula.
1.3 Tujuan
1. Mengidentifikasi sumber kayu bakar yang digunakan dalam industri gula
kelapa

11

2. Mengidentifikasi teknik memperoleh kayu bakar dalam industri gula
kelapa
3. Menghitung kebutuhan kayu bakar yang digunakan dalam industri gula
kelapa
4. Menghitung potensi kayu bakar di Kecamatan Wangon

12

II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kayu Bakar
Pengertian energi biomassa dapat didefinisikan sebagai energi
terbarukan dalam bentuk energi padat yang berasal dari berbagai tumbuhan
berlignoselulosa baik yang langsung digunakan atau diproses terlebih dahulu.
Energi biomassa dalam hal ini mencakup kayu bakar, limbah pembalakan,
limbah industri perkayuan, limbah perkebunan atau pertanian, briket kayu,
arang, dan briket arang. Dalam sektor kehutanan energi biomassa difokuskan
pada kayu bakar, limbah pembalakan, limbah industri perkayuan, arang dan
briket arang (Tampubolon 2008).
Kayu merupakan sumber energi yang pertama dikenal dan digunakan
manusia secara universal. Selain untuk memasak, kayu juga digunakan untuk
pemanasan di daerah beriklim dingin. Sampai saat ini di banyak negara
berkembang kayu bakar masih merupakan bahan utama energi untuk
memasak bagi penduduk pedesaan. Peranan kayu bakar di Indonesia
diperkirakan menggunakan limbah pertanian sebagai energi untuk memasak
dalam jumlah besar, terutama untuk daerah pedesaan. Selain untuk memasak,
kayu bakar juga digunakan oleh perusahaan pembuatan batu bata, genteng,
industri makanan dan keramik (Coto 1980).
Kayu bakar adalah kayu yang berdiameter 4−15 cm yang menurut
bentuk dan ukurannya tidak dapat dijadikan kayu perkakas (Kepmenhut
127/Kpts-II/2003). Berdasarkan peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan
Nomor: P.14/VI-BIKPHH/2009 tentang metode pengukuran kayu bulat rimba
Indonesia, Kayu Bulat Kecil (KBK) adalah pengelompokan kayu yang terdiri
dari kayu dengan diameter kurang dari 30 cm, kayu dengan diameter 30 cm
atau lebih yang direduksi karena mengalami cacat atau busuk bagian hati
pohon atau gerowong lebih dari 40%, limbah pembalakan, kayu lainnya
berupa kayu bakar, tonggak, cerucuk, tiang jermal, tiang pancang, dan
cabang. Kayu bakar termasuk dalam Kayu Bulat kecil (KBK) dimana dalam
perhitungan volumenya menggunakan metode stepel meter (sm). Peraturan
Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.05/VI-BIKPHH/2008 tentang
Perubahan Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.02/VI-

13

BIKPHH/2008 tentang Angka Konversi Volume Tumpukan Stapel Meter
(sm) ke dalam Volume Satuan Kubik (m³) Kayu Bulat Kecil (KBK).
Berdasarkan Hamzah (1980) pemakaian kayu bakar akan cenderung
meningkat berkaitan dengan:
a. Kenaikan harga bahan bakar minyak
b. Kenaikan jumlah penduduk
c. Kenaikan jumlah orang yang menganggur
d. Kenaikan kebutuhan rakyat yang tinggal di dekat hutan
e. Kenaikan kebutuhan kapur, bata dan genteng sebagai akibat peningkatan
kemakmuran penduduk kota.
Menurut Goverment of Indonesia (GOI) dan Food Agriculture
Organization (1990) terdapat beberapa sumber untuk bahan bakar kayu bakar,
yaitu :
a. Hutan Produksi
Kira-kira 35 juta m3 kayu dalam bentuk log berasal dari hutan produksi di
Indonesia setiap tahun dan diperkirakan 65-70% equivalent dari volume
tersebut meninggalkan hutan sebagai residu.
b. Hutan Konversi
Pada konsensus klasifikasi TGHK terdapat 30 juta ha hutan dikonversi ke
pemanfaatan pertanian dan pemukiman penduduk. Akan tetapi, ketika
area-area tersebut dibersihkan untuk pemukiman, volume kayu yang
terdapat di area tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung. Kebanyakan
kayu-kayu tersebut akan digunakan untuk industri perkayuan, sisanya akan
digunakan untuk energi atau hilang karena proses pembusukan.
c. Pekarangan rumah
Merupakan bagian dari strategi untuk mengembangkan suplai bahan baku
dan untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam. GOI telah
meluncurkan program-program untuk memperkenalkan produksi-produksi
kayu dari pekarangan rumah khususnya di Jawa (sengonisasi atau program
penanaman Albizia falcataria) dan di Sumatra (Pinus Rakyat di luar Jawa
atau penanaman pinus di luar Jawa). Program-program tersebut

14

merupakan program pemerintah yang sangat berhasil pada Pelita IV dan
akan dilanjutkan tegas di Pelita V.
d. Agroforestry
Pada penebangan habis hutan dan dalam pembangunan perkebunan, petani
mengkombinasikan praktek pertanian dan kehutanan untuk mengawetkan
tanah, mengembangkan tanaman-tanaman pertanian dan peternakan serta
mengembangkan

suatu

keseimbangan

sumber kayu

bakar untuk

penggunaan rumah tangga.
Tipe-tipe sistem agroforestry adalah tumpangsari (penanaman tanaman
pertanian semusim dalam rangka penghutanan kembali areal-areal bekas
tebangan), tegal pekarangan (tipe agroforestry yang mengkombinasikan
kehutanan dan pertanian pada kebun-kebun milik), hutan rakyat (pada
umumnya didapatkan di Jawa, dimana lahan milik ditanami dengan
Albizia falcataria, Maesopsis eminii dan lain-lain untuk suplai industri
perkayuan atau kayu bakar), hutan energi (hutan campuran dari jenis-jenis
kayu bakar seperti Caliandra callothyrsus)
e. Lahan Pertanian Rakyat
Walaupun bukan dari hutan tanaman, pekarangan rumah dan lahan-lahan
pertanian, umumnya ditanami kayu untuk kebutuhan kayu bakar. Pada
tahun 1989 terdapat 10,6 juta ha penanaman yang disediakan untuk
tanaman pertanian, dimana terdapat sumber kayu potensial (karet, coklat,
kelapa sawit, kopi, jambu mete, dan lain-lain). Tanah-tanah pertanian
tersebut dan kebun pekarangan memproduksi antara 86 juta−91 juta m3
kayu per tahun, dimana kira-kira 64 juta m3 berasal dari kebun pekarangan
saja.
Menurut Sylviani dan Asmanah (2001) jenis-jenis pohon yang
digunakan sebagai kayu bakar dapat digolongkan ke dalam tiga ketegori yaitu:
1) Jenis pohon kayu pertukangan
2) Jenis pohon buah-buahan atau perkebunan
3) Jenis pohon kayu bakar atau energi
Masyarakat pada umumnya tidak secara khusus menanam pohon untuk
keperluan memenuhi kebutuhan kayu bakar akan tetapi mengambil manfaat

15

dari lingkungan yang ada disekitarnya. Masyarakat desa yang dekat dengan
hutan cenderung mengambil rencekan dalam hutan dan masyarakat desa yang
jauh dari hutan memanfaatkan tanaman yang ada di kebun sendiri.
Silvikultur jenis potensial kayu bakar atau arang antara lain:
a. Acacia auriculiformis (Akor)
b. Acacia decurens Mim. (Akasia dekuren)
c. Altingia exelsa Noronhae. (Rasamala)
d. Calliandra callothyrus Meissn. (Kaliandra)
e. Cassia siamea Lamk. (Johar)
f. Dalbergia latifolia Roxb. (Sonokeling)
g. Eucalyptus deglupta Blume. (Leda)
h. Gliricidae maculata (Gamal)
i. Gmelia arborea Linn. (Jati putih)
j. Leucaena leucocephala syn Leucaena glauca (Lamtoro gung)
k. Paraserianthes falcataria L. Nielsen (Sengon)
l. Rhizophora spp. (Bakau)
m. Sesbania grandiflora (Turi)
Konsumsi energi untuk bahan bakar bagi keperluan rumah tangga di
pedesaan sebagian besar masih dipenuhi dari energi kayu. Penggunaan kayu
di pedesaan rata-rata mencapai 96,15% dari total yang digunakan untuk
memasak. Cara memperoleh energi ini sebagian penduduk memperoleh
dengan memungut sendiri baik berasal dari pekarangan atau halaman rumah,
kebun, tegalan, wilayah perkebunan dan hutan. Bagian-bagian pohon yang
diambil sebagian besar adalah berbentuk cabang dan ranting yang dilakukan
dengan cara memangkas dan merencek (Mashar 1980).
2.2 Gula Kelapa
Pohon kelapa termasuk jenis Palma yang berumah satu (monocious).
Tumbuhnya lurus ke atas dan tidak bercabang. Pada umumnya tinggi batang
mencapai 30−35 meter dan diameter batang rata-rata 25 cm. Umur pohon
kelapa dapat mencapai 110 tahun bahkan diperkirakan dapat mencapai 140
sampai 160 tahun. Tanaman kelapa mempunyai manfaat yang sangat besar
dalam kehidupan manusia. Bukan saja buahnya yang berguna bagi manusia,

16

tetapi seluruh bagian tanaman mulai dari akar, batang sampai ke pucuk dapat
dimanfaatkan. Tanaman kelapa juga memberikan sumbangan besar bagi
perekonomian rakyat dan negara. Kelapa suatu penghasil bahan makanan
yang sangat penting dalam kehidupan rakyat Indonesia. Rata-rata 80% dari
hasil buah kelapa di seluruh nusantara dipakai sebagai bumbu dapur dan
hanya 20% yang dibuat minyak. Bagian-bagian kelapa yang bermanfaat yaitu
bagian buah, akar, batang, daun, tapas, bunga kelapa, dan buah kelapa
(Soedijanto dan Sianipar 1985).
Gula kelapa merupakan salah satu bahan makanan yang dibuat dari
nira kelapa yang banyak diusahakan oleh masyarakat pedesaan (Azni 2001).
Nira ini diambil dengan menyadap mayang (bunga) kelapa. Hasil nira per
pohon per hari rata-rata 1,75 liter. Banyak sedikitnya nira yang dihasilkan
dipengaruhi oleh keadaan iklim dan umur pohon kelapa. Nira yang dihasilkan
oleh pohon kelapa muda lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh pohon
kelapa yang sudah tua. Nira hasil sadapan dari bunga kelapa dapat digunakan
untuk membuat gula dan tuak (Soedijanto dan Sianipar 1985).
Menurut Winarti et al. (1998) proses pembuatan gula kelapa pada
prinsipnya adalah nira disadap dua kali sehari menggunakan wadah tabung
bambu dan ditambahkan bahan pengawet nira yaitu rendaman kulit nangka
dan kapur sirih. Nira hasil sadapan setelah disaring selanjutnya dimasak
selama 5-6 jam sambil diaduk-aduk. Cara mencegah buih nira meluap keluar
wajan ditambahkan parutan kelapa atau satu sendok makan minyak kelapa
untuk 25 liter nira. Ketika nira sudah mengental nira diaduk dan api kayu
bakar diturunkan sambil diaduk. Pengujian kekentalan dilakukan dengan cara
meneteskan pekatan nira ke dalam air dingin, bila tetesan tersebut memadat
berarti pemasakan sudah cukup dan siap untuk dicetak.
Industri gula kelapa dalam proses pemasakannya bisa menggunakan
bahan bakar dari kayu bakar, sekam padi, kayu pagar, daun-daun kering dan
minyak tanah. Sedikit sekali pembuat gula kelapa yang menggunakan bahan
bakar minyak tanah. Pada umumnya mereka menggunakan kayu bakar.
Menurut Supomo (2007) dalam penelitiannya mengenai pengrajin
gula kelapa di Kabupaten Purbalingga, data di lapangan menunjukkan bahwa

17

apabila menggunakan 100% kayu bakar maka satu pikul dapat memasak 25
kg gula kelapa. Selain kayu bakar, biasanya digunakan sekam padi sebagai
bahan bakar tambahan. Sekam padi biasanya digunakan dalam kemasan
kantong/karung. Untuk satu karung sekam padi biasanya dapat memasak
sekitar 20 kg gula kelapa. Apabila menggunakan sekam padi harus digunakan
bersama dengan kayu bakar, karena sekam padi hampir tidak bisa
menghasilkan panas yang diinginkan apabila tidak dikombinasikan dengan
kayu bakar.
Menurut Rachmat (1989) sesuai dengan studi kasus yang dijumpai
pada desa-desa yang menghasilkan gula kelapa di Jawa Barat dan Jawa Timur,
pengusahaan kelapa menjadi gula dilakukan dengan dua cara yaitu:
a. Sistem bagi hasil merupakan sistem pengusahaan kelapa dimana pengrajin
gula kelapa sebagai penyadap melakukan penyadapan pohon milik orang
lain, sedangkan hasilnya dimiliki secara bergilir seminggu atau tiga hari
antara pemilik pohon dan penyadapnya. Apabila sistem bagi hasil sistem
gilir mingguan maka pada minggu pertama hasil sadapan dimiliki
penyadap dan minggu kedua untuk pemilik pohon dan seterusnya.
b. Sistem sewa pohon merupakan sistem sewa dimana pohon kelapa yang
akan disadap disewa oleh pengrajin gula kelapa. Sistem sewa ini ada dua
jenis yaitu sistem sewa tahunan dan sistem sewa natura per hari. Sewa
tahunan merupakan kegiatan penyewaan pohon kelapa dimana penyadap
membayar pohon dengan nominal nilai sewa tertentu yang dibayar
tahunan. Sistem sewa natura per hari yaitu pemilik pohon kelapa
menerima satu ons gula kelapa per pohon per hari.
2.3 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah beberapa penelitian mengenai industri gula kelapa:
1. Pengolahan gula kelapa ditingkat petani masih sederhana. Pemasakan
dilakukan menggunakan tungku tanah liat pada satu lubang (satu wajan)
dengan bahan bakar kayu, sabut dan batok kelapa. Penggunaan bahan
bakar kayu dalam proses pengolahan gula kelapa juga dipengaruhi oleh
konstruksi tungku yang digunakan. Konstruksi tungku yang baik akan
meningkatkan efisiensi waktu maupun bahan bakar. Tungku introduksi

18

atau tungku dua lubang yang digunakan dalam proses pengolahan nira
yang dapat menghemat bahan bakar kayu yang digunakan. Tungku
introduksi akan menghemat bahan bakar sampai 20% dibandingkan
dengan tungku tradisional dengan satu lubang. Penggunaan tungku dengan
dua lubang atau tungku introduksi akan meningkatkan volume nira yang
bisa dimasak dan bisa digunakan untuk keperluan lain. Penggunaan tungku
yang kurang baik akan menyebabkan pemborosan bahan bakar dan
membutuhkan waktu lama sehingga nilai ekonomis gula berkurang
(Winarti et al. 1998).
2. Survei konsumsi kayu bakar pada pemakai kayu bakar di rumah tangga
untuk mengatasi permasalahan kekurangan kayu bakar. Survei ini
dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan kayu bakar bagi pengrajin
gula merah di tiga lokasi yaitu Jasinga Jawa Barat, Gombong Jawa tengah,
dan Karangasem Bali. Hasil survei menunjukan bahwa ketiga lokasi
tersebut merupakan daerah rawan terhadap kekurangan kayu bakar.
Berdasarkan luas hutan rakyat yang tersedia di setiap lokasi maka
kekurangan kayu bakar yang paling rawan adalah pengrajin gula merah di
Gombong.

Mengatasi

defisit

kayu

bakar

dilakukan

dengan

mengintensifikasikan penanaman pohon jenis kayu bakar yang memiliki
produksi energinya tinggi dan daur empat tahunan seperti kaliandra,
lamtoro, dan sengon. Dengan cara ini kayu bakar akan tersedia secara
berkesinambungan. Pengrajin gula kelapa di Gombong disarankan agar
mengalihkan penggunaan kayu bakar untuk memasak bahan baku niranya
ke minyak tanah atau briket batu bara dengan mereduksi penghasilan
sekitar 30% (Nurhayati et al. 2002).
3. Produksi kayu bakar di Kabupaten Kulonprogo mampu mencukupi
kebutuhan kayu bakar untuk industri pedesaan. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap produksi kayu bakar adalah luas lahan, frekuensi
rencekan per tahun, jenis kayu fast growing dan slow growing yang sudah
menghasilkan, dan asal kayu bakar. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kebutuhan kayu bakar untuk industri pedesan adalah harga kayu

19

bakar, harga minyak tanah, kapasitas industri pedesaan, industri pedesaan
berskala kecil, dan letak industri (Santosa 2001).

20

III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu Penelitian
Penelitian mengenai identifikasi kebutuhan kayu bakar menurut asal
pada industri gula kelapa di Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas
Propinsi Jawa Tengah dilaksanakan pada bulan Juni−Agustus 2012. Desa
yang menjadi objek penelitian adalah Desa Rawaheng, Desa Randegan, Desa
Pengadegan, Desa Wangon, Desa Jurangbahas, Desa Banteran, Desa Jambu,
Cikakak, dan Desa Wlahar.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu bakar dan
hutan rakyat. Kayu bakar yang diamati merupakan kayu bakar yang
dikonsumsi oleh pengrajin gula kelapa. Pengamatan hutan rakyat bertujuan
untuk menghitung potensi kayu bakar. Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kuisioner, komputer, kalkulator, kamera, meteran gulung, dan
meteran jahit. Kuisioner digunakan untuk memperoleh data dari pengrajin
gula kelapa. Meteran jahit digunakan untuk mengukur diameter pohon dan
meteran gulung digunakan untuk mengukur jarak antar pohon.
3.3 Kerangka Pemikiran
Industri gula kelapa merupakan industri yang mengolah nira menjadi
gula kelapa. Proses mengolah ini membutuhkan kayu bakar sebagai bahan
bakar. Ketersedian kayu bakar merupakan hal yang penting untuk mendukung
keberlanjutan proses produksi. Oleh karena itu, perlu diketahui sumber kayu
bakar yang digunakan, sehingga dapat mengetahui potensi yang tersedia.
Selain itu, dilakukan pengukuran terhadap kebutuhan kayu bakar, sehingga
dapat mengetahui hubungan antara ketersediaan kayu bakar dan kebutuhan
kayu bakar bagi industri pengrajin gula kelapa. Diagram kerangka pemikiran
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

21

Industri gula
kelapa

Identifikas asal
komposisi kayu bakar

Asal hutan
berdasarkan status
hukum

Hutan negara
&
perkebunan

Hutan rakyat

Volume
penggunaan kayu
bakar (m3)

Asal
geografis

Dalam desa
dalam
kecamatan

Luar desa
dalam
kecamatan

Luar desa
luar
kecamatan

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Harga pembelian
kayu bakar (m3)

22

3.4 Metode Pengambilan Contoh
a. Data
1) Pengamatan dan wawancara kepada pengrajin gula kelapa dilakukan
secara langsung di lapangan untuk memperoleh data dan informasi
mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan responden yang berkaitan
dengan penggunaan kayu bakar.
2) Data-data pendukung yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari literatur dan pemerintah daerah setempat.
b. Metode Pemilihan Responden
Metode pemilihan responden dilakukan dengan cara random sampling
yaitu teknik sampling yang digunakan oleh peneliti apabila populasi
diasumsikan homogen (mengandung satu ciri) sehingga sampel dapat diambil
secara acak (Idrus 2009). Jumlah sampel yang diambil berdasarkan metode
slovin (Simamora 2004 dalam Fesanti 2011), dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
n

= ukuran sampel

N

= jumlah popolasi

e

= batas toleransi kesalahan (10%)
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus slovin dengan

jumlah industri pengrajin gula kelapa sebanyak 1465 unit pengrajin dan batas
toleransi kesalahan 10% maka diperoleh sampel 93 responden, namun dalam
penelitian ini dibulatkan menjadi 100 responden.
3.5 Metode Pengolahan Data
a. Analisis data
Analisis

ini

dilakukan

secara

deskriptif

untuk

mengetahui

karakteristik responden, sumber pemenuhan kayu bakar, pola konsumsi kayu
bakar.
b. Volume kayu bakar yang digunakan
Pengukuran jumlah konsumsi kayu bakar dilakukan dengan cara
pengamatan dan pengukuran langsung. Menghitung kebutuhan kayu bakar

23

dalam satu kali produksi pada industri pengrajin gula kelapa dengan
menggunakan metode stepel meter (Lampiran 1).
c. Perhitungan potensi kayu bakar di hutan rakyat
Hutan rakyat yang dijadikan sampel pengukuran potensi kayu bakar
yaitu 9 desa. Desa-desa tersebut antara lain Jurangbahas, Cikakak, Jambu,
Banteran, Wlahar, Wangon, Randegan, Pengadegan, dan Rawaheng. Potensi
kayu bakar di hutan rakyat dihitung dengan cara:
a) Menentukan sampel hutan rakyat pada masing-masing desa seluas 1 ha.
b) Menentukan jenis dan menghitung diameter pada masing-masing lokasi.
c) Menghitung volume tegakan dengan menggunakan tabel tegakan.
d) Menghitung potensi kayu bakar tiap-tiap jenis.
Potensi kayu bakar tiap jenis (m3/ ha)

= volume tegakan (m3/ ha)

x

perkiraan produksi kayu bakar
Potensi kayu bakar per desa (m3)

= rata-rata potensi kayu bakar (m3/
ha) x luas hutan rakyat tiap
desa (ha)
3

Potensi kayu bakar Kec. Wangon (m ) = rata-rata potensi kayu bakar
(m3/ha) x luas hutan rakyat
Kecamatan Wangon (ha)
Menurut Soetomo dan Soemarna (1983) dalam Rostiwati et al (2006)
perkiraan produksi kayu bakar dari areal hutan di Jawa terdiri dari kayu jati
dan kayu lain (non jati). Nisbah kayu jati antara produksi kayu pertukangan
dan kayu bakar di Jawa memperlihatkan kestabilan yaitu 100:30. Hal ini
menunjukan terdapat 30 bagian kayu bakar dari potensi satu pohon (130).
Kayu lain (non jati) rasio antara kayu pertukangan dan kayu bakar yaitu
100:65 sehingga suatu pohon terdapat 65 bagian kayu bakar dari potensi
pohon keseluruhan (165).

24

IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak dan Posisi Geografis
Penelitian dilakukan di sembilan desa di Kecamatan Wangon. Desadesa tersebut yaitu Wlahar, Cikakak, Jambu, Banteran, Wangon, Jurangbahas,
Randegan, Rawaheng, dan Pengadegan. Secara administratif, Kecamatan
Wangon termasuk wilayah Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan letak geografis Kecamatan Wangon terletak pada koordinat
108o59’49,01” BT−109o5’49,9” BT dan 7o59’26’29,26” LS−7o34’35,75” LS
dengan luas Kecamatan Wangon yaitu 60,71 km2.
Batas-batas Kecamatan Wangon antara lain:
a. Sebelah Utara : Kecamatan Ajibarang
b. Sebelah Selatan: Kabupaten Cilacap
c. Sebelat Timur : Kecamatan Jatilawang dan Kecamatan Purwojati
d. Sebelah Barat : Kecamatan Lumbir

Gambar 2. Peta Kecamatan Wangon
Hutan negara di Kecamatan Wangon dikelola oleh Perum Perhutani
Unit I Jawa Tengah. Hutan negara yang dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan

25

Hutan (KPH) Banyumas Timur terdapat di Desa Pengadegan. Hutan negara
yang terdapat di Desa Randegan dan Desa Rawaheng termasuk dalam
pengelolaan KPH Banyumas Barat.
4.2 Penggunaan Lahan di Kecamatan Wangon
Penggunaan lahan di Kecamatan Wangon terbagi menjadi pekarangan
atau bangunan, tanah kebun, perkebunan negara, hutan negara, dan lain-lain.
Penggunaan lahan terbesar pada tanah kebun milik masyarakat. Lahan ini
ditanami berbagai jenis kayu rakyat dan tanaman pangan.
Tabel 1 Penggunaan lahan di Kecamatan Wangon
Desa
Randegan
Rawaheng
Pengadegan
Klapagading
Klapagading
Kulon
Wangon
Banteran
Jambu
Jurangbahas
Cikakak
Wlahar
Windunegara
Jumlah

Pekarangan/
bangunan
(ha)
81,9
65,0
79,0
136,0
118,0

Tanah
kebun
(ha)
550
434
405
54
45

Perkebunan
negara (ha)
21
7
26
-

Hutan
negara
(ha)
134
6
69
-

75,0
85,0
77,0
44,0
56,0
52,0
55,0
924,7

136
67
222
130
208
93
123
2467

31
21
20
21
11
50
208

166
52
427

Lain-lain
(ha)

Jumlah
(ha)

89,00
135,00
128,00
26,71
9,59

875,9
647,0
707,0
216,7
173,4

105,00
50,00
188,00
109,00
116,00
23,00
22,00
1001,30

347,0
202,0
508,0
303,0
567,0
179,0
302,0
5028,0

Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011)
Lain-lain : Fasilitas umum (lapangan, tempat ibadah, tempat pemakaman
umum)
Klasifikasi penggunaan lahan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
vegetasi berada pada tanah kebun, perkebunan negara, dan hutan negara.
Tanah kebun merupakan lahan yang paling luas ditanami pohon maupun
palawija. Tanah kebun tersebut termasuk bentuk hutan rakyat di Kecamatan
Wangon.
4.3 Topografi dan Iklim
Topografi wilayah Kecamatan Wangon termasuk kategori datar
hingga berbukit dengan kemiringan 0o−2o. Ketinggian wilayah termasuk pada
kisaran 25−100 m dpl. Curah hujan di Kabupaten Banyumas cukup tinggi
yaitu 2.579 mm per tahun, dengan suhu rata-rata 26,3 oC, suhu minimum

26

sekitar 24,4

o

C dan suhu maksimum 30,9

o

C (Pemerintah Kabupaten

Banyumas 2009)
4.4 Kependudukan
Jumlah penduduk di Kecamatan Wangon pada akhir tahun 2010
adalah 73.348 jiwa yang terdiri dari 36.698 orang laki-laki dan 36.650 orang
perempuan dengan pertumbuhan penduduk kecamatan 0,3. Sebagian besar
penduduk Kecamatan Wangon berada pada kisaran usia produktif (usia 14−64
tahun). Data penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Keadaan penduduk Kecamatan Wangon menurut umur dan jenis
kelamin pada akhir tahun 2010
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Kelompok Umur
0−4
5−9
10−14
15−19
20−24
25−29
30−34
35−39
40−44
45−49
50−54
55−59
60−64
65−69
70−74
75+
Jumlah

Laki-laki (jiwa)
3.524
3.370
3.619
2.790
2.036
2.528
2.629
2.912
2.884
2.640
2.182
1.775
1.235
1.038
724
812
36.698

Perempuan (jiwa)
3.153
3.184
3.370
2.663
2.175
2.774
2.874
3.083
3.014
2.631
2.113
1.623
1.253
1.063
809
868
36.650

Jumlah (jiwa)
6.677
6.554
6.989
5.453
4.211
5.302
5.503
5.995
5.898
5.271
4.295
3.398
2.488
2.101
1.533
1.680
73.348

Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011)
4.5 Sarana dan Prasarana
a) Perhubungan
Kecamatan Wangon memiliki sarana jalan berupa jalan aspal desa dan
bukan aspal. Sarana angkutan berupa angkutan umum (mini bus dan bus) dan
sepeda motor. Angkutan umum menjadi transportasi yang menghubungkan
antar kecamatan dan antar kabupaten. Sepeda motor merupakan angkutan
pribadi. Selain itu, terdapat angkutan tidak bermotor yaitu sepeda dan becak.
Terdapat sebuah terminal bus sebagai tempat pemberhentian sementara
angkutan dalam kota, angkutan antar kota, dan angkutan antar provinsi.

27

Panjang jalan menurut jenis permukaan yang terdapat di Kecamatan Wangon
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Panjang jalan menurut jenis permukaan per desa tahun 2009
No

Desa

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Randegan
Rawaheng
Pengadegan
Klapagading
Klapagading Kulon
Wangon
Banteran
Jambu
Jurangbahas
Cikakak
Wlahar
Windunegara
Jumlah

Kelas II
1,00
2,80
3,50
2,50
4,20
16,00

Panjang jalan (km)
Jalan aspal
Kelas III
desa
2,20
7,00
4,00
2,00
8,30
2,00
6,00
1,70
6,50
4,00
3,50
1,00
2,50
2,50
3,00
3,70
15,70
44,20

Bukan
aspal
6,50
1,30
5,00
3,10
3,00
6,50
8,00
16,00
3,00
1,00
12,95
66,35

Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011)
Jalan kelas II dan kelas III merupakan jalan raya propinsi yang dilalui
oleh transpotasi umum. Jalan aspal desa dan bukan aspal digunakan untuk
mempermudah transportasi masyarakat. Jalan ini lebih sering dilalui sepeda
motor. Angkutan umum tidak melewati jalan ini.
b) Pendidikan
Fasilitas pendidikan di Kecamatan Wangon mendukung pembangunan
pendidikan masyarakat. Sarana dan prasarana pendidikan wajib belajar
sembilan tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah Menengah
Kejuruan sudah tersedia. Sarana dan prasarana pendidikan disajikan pada
Tabel 4.
Tabel 4 Sarana dan prasarana pendidikan
No
1
2
3
4
5

Sarana dan prasarana
TK
SD
SLTP
SLTA
SMK

Sekolah (unit)
25
45
6
1
2

Sumber : Bappeda Kabupaten Banyumas (2011)

Murid (siswa)
955
7.774
3.274
788
1.498

Guru (orang)
88
386
198
71
99

28

V HASIL DAN PEMBAHASAN
Industri gula kelapa yang diamati dalam penelitian ini merupakan
industri rumah tangga. Petani penyadap nira kelapa merangkap sebagai
pengrajin pembuat gula kelapa. Industri gula kelapa merupakan salah satu
industri yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Pohon kelapa
yang disadap merupakan pohon milik atau pohon bagi hasil. Kegiatan
penyadapan nira dilakukan oleh laki-laki baik kepala keluarga maupun
anggota keluarga yang bisa memanjat. Kegiatan pengolahan gula kelapa
dilakukan oleh perempuan dan dibantu oleh anggota keluarga lainnya. Setelah
melakukan kegiatan penyadapan, mereka memperoleh kayu bakar dengan
cara memungut, memangkas atau membeli. Sumber kayu bakar yang
digunakan berasal dari hutan rakyat di sekitar tempat tinggal mereka.
5.1 Karakteristik Pengolah Gula Kelapa
Penelitian dilakukan pada petani penyadap nira di Kecamatan
Wangon. Pengrajin gula kelapa memiliki berbagai karakteristik dari segi usia,
pendidikan, alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa, pendapatan, dan
kepemilikan lahan. Karakteristik responden secara lengkap disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Karakteristik pengrajin gula kelapa berdasarkan usia dan masa
kerja
Usia (tahun)
39-41
42-44
45-47
48-50
51-53
54-56
57-59
60-62
63-65
66-68
≥ 69
Total(orang)

Masa kerja (tahun)
Total
8-10 11-13 14-16 17-19 20-22 23-25 26-28 29-31 32-34 ≥ 35 (orang)
1
3
1
2
7
3
1
3
7
1
1
3
2
6
1
14
1
1
7
7
4
2
22
1
1
1
2
2
1
8
3
6
1
3
4
2
1
20
1
1
2
1
2
2
6
2
13
1
1
2
4
1
1
2
1
1
3
1
3
11
21
6
23
19
8
5
100

Berdasarkan Tabel 5 responden pengrajin gula kelapa rata-rata berusia
produktif (15-65 tahun) dan hanya terdapat 3 pengrajin gula kelapa yang
termasuk dalam usia tidak produktif ( lebih dari 66 tahun). Pengrajin yang
berusia tidak produktif tetap melakukan pekerjaan tersebut karena tuntutan

29

ekonomi. Pengrajin gula kelapa yang berusia produktif sebagian besar berusia
antara 48-50 tahun. Hal ini menunjukan bahwa generasi muda semakin jarang
yang tertarik menjadi pengrajin gula kelapa. Mereka bekerja sebagai
pengrajin gula kelapa dengan masa kerja yang berbeda-beda. Menurut Tabel
5 terdapat 23 responden yang sudah memasak gula kelapa selama 26-28
tahun. Hal ini menunjukan bahwa mereka bekerja sebagai pengrajin gula
kelapa relatif lama.
Semua responden berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Kondisi ini
sesuai dengan hasil penelitian Supomo (2007) bahwa pengrajin gula kelapa
ternyata hanya diminati oleh kelompok masyarakat yang berpendidikan SD
dan SMP saja. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan kualitas sumber
daya pengrajin gula kelapa umumnya rendah. Rendahnya kualitas sumber
daya masyarakat pedesaan mengakibatkan mereka bekerja dalam bidang
pertanian, misalnya dengan memanfaatkan hasil pertanian seperti memasak
nira kelapa. Pengrajin gula kelapa merupakan pekerjaan utama bagi 99
responden dan pekerjaan sampingan bagi 1 responden. Hal ini berarti bekerja
sebagai pengrajin gula kelapa merupakan salah satu sumber pendapatan
utama bagi masyarakat pedesaan. Tabel 6 menyajikan beberapa alasan
bekerja sebagai pengrajin gula kelapa.
Tabel 6 Alasan bekerja sebagai pengrajin gula kelapa
No
1
2
3
4

Alasan bekerja sebagai pengrajin gula
kelapa
Tingkat pendidikan rendah
Budaya turun-temurun
Pengaruh lingkungan
Modal yang kecil
Total

Jumlah responden
(orang)
5
75
9
11
100

Persentase (%)
5
75
9
11
100

Para pengrajin gula kelapa bekerja sebagai pengrajin gula kelapa di
sebabkan oleh beberapa hal antara lain tingkat pendidikan rendah, budaya
turun-temurun, pengaruh lingkungan, dan kurang modal. Menurut Tabel 6,
terdapat 75 pengrajin gula kelapa yang mengolah gula kelapa karena warisan
turun-temurun dari orang tua mereka dengan persentase sebesar 75%. Hal
ini terjadi karena sewaktu kecil mereka melihat, membantu, dan mempelajari
ketika orang tua mereka memasak nira sehingga mereka memiliki
keterampilan untuk memasak nira menjadi gula kelapa. Kondisi ini sesuai

30

dengan hasil penelitian Prasojo (2001) bahwa pengrajin gula kelapa memiliki
pengetahuan berwirausaha mulai dari keterampilan berproduksi, pengolahan,
kualitas produksi, permodalan, pembentukan kelompok, pemasaran masih
serba seadanya belum terkesan sebagai usaha dan lebih terkesan sebagai
tradisi. Hal ini karena mereka memandang sebagai pekerjaan turun-temurun
dari orang tua.
Selain karena budaya turun-temurun, pekerjaan sebagai pengrajin gula
kelapa merupakan pendapatan utama. Pendapatan yang diterima masingmasing responden berbeda-beda. Tabel 7 menunjukkan bahwa pengrajin gula
kelapa yang memperoleh pendapatan kurang dari Rp 800.000,00 sebanyak
35% sedangkan yang memperoleh pendapatan di atas Upah Minimum
Regional (UMR) sebanyak 65%. Pendapatan ini diperoleh dengan harga ratarata yang berlaku pada Agustus 2012 sebesar Rp 10.000,00/kg. Besar
kecilnya pendapatan dipengaruhi oleh tingkat produksi dan intensitas
memasak nira. Tingkat produksi dan intensitas memasak nira dipengaruhi
oleh jumlah pohon yang disadap dan sistem bagi hasil antara penyadap dan
pemilik pohon.
Tabel 7 Pendapatan pengrajin gula kelapa
No
1
2
3

Pendapatan (Rp/bulan)
≤ 800.000
800.000−1.600.000
≥1.600.000
Total

Sebagian besar

Jumlah responden (orang)
35
49
16
100

Persentase (%)
35
49
16
100

pengrajin gula kelapa menyadap nira dari pohon

milik orang lain. Tabel 8 menunjukan kepemilikan lahan hutan rakyat
pengrajin gula kelapa. Sebanyak 75% responden tidak memiliki lahan dan
sisanya sebanyak 25% responden memiliki lahan dimana 6% memiliki luas
lahan ≤ 0,1 ha, 12% dengan luas 0,1-0,25 ha, dan 7% dengan luas ≥ 0,25 ha.
Tabel 8 Kepemilikan lahan pengrajin gula kelapa.
No
1
2
3
4

Luas lahan (ha)
≤ 0,1
0,1−0,25
≥ 0,25
Tidak mempunyai lahan
Total

Jumlah responden (orang)
6
12
7
75
100

Persentase (%)
6
12
7
75
100

31

Lahan tersebut ditanami berbagai jenis kayu antara lain jati, sengon,
mahoni, karet, dan tanaman buah-buahan. Kayu tersebut dipanen sesuai
dengan kebutuhan mereka. Bagi pengrajin gula kelapa yang memiliki lahan,
lahan

tersebut

dimanfaatkan

sebagai

sumber

kayu

bakar.

Mereka

memanfaatkan kayu bakar dari memungut dan memangkas atau dipanen
terlebih dahulu. Namun, bagi pengrajin gula kelapa yang tidak memiliki lahan
mereka mencari kayu bakar di lahan-lahan milik masyarakat sekitar tempat
tinggal mereka. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (1994) bahwa
rumah tangga yang memiliki lahan milik maka kebutuhan kayu bakar
diperoleh dari lahan miliknya jika lahan miliknya ditanami dengan pohon
penghasil kayu bakar, sedangkan bagi rumah tangga yang tidak mempunyai
lahan milik atau lahan milik yang sempit dan tidak ditanami dengan pohon
penghasil kayu bakar pada umumnya mengambil dari hutan rakyat disekitar
tempat tinggal mereka atau membeli.
5.2 Sumber Kayu Bakar dalam Pengolahan Gula Kelapa
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber kayu bakar yang
digunakan oleh industri rumah tangga pengrajin gula kelapa berasal dari
hutan negara (KPH Banyumas Barat dan KPH Banyumas Timur) dan hutan
rakyat yang terletak di Kecamatan Wangon. Semua responden menggunakan
kayu bakar dari hutan rakyat sebagai bahan bakar utama dan terdapat empat
responden yang memperoleh kayu bakar tambahan dari hutan negara.
Bahan bakar utama dalam mengolah gula kelapa sebagian besar
berasal dari hutan rakyat yang diperoleh dengan cara membeli dari tengkulak
atau industri penggergajian dan mencari kayu bakar di hutan rakyat. Para
tengkulak memperoleh kayu bakar pada saat ada tebangan di sekitar tempat
tinggal mereka atau dari hutan rakyat di tempat lain.
Berdasarkan hasil wawancara, kayu bakar yang dijual oleh tengkulak
merupakan kayu bakar dengan jenis kayu campuran. Pengrajin gula kelapa
membeli kayu bakar dari tengkulak dengan harga yang bervariasi, artinya
bahwa harga pada masing-masing tengkulak berbeda. Rata-rata harga kayu
bakar yang biasanya ditawarkan kepada para pengrajin adalah sebesar Rp
19.750/pikul (± 0.2 m3/pikul). Namun, kadang-kadang terjadi fluktuasi harga

32

kayu bakar. Pada saat harga naik, kayu bakar dapat mencapai hingga Rp
30.000/pikul. Pengrajin gula kelapa tetap membeli kayu bakar sesuai dengan
kebutuhan pengolahan. Namun, permintaan terhadap kayu akan menjadi lebih
banyak jika harga kayu bakar turun. Hal ini bertujuan untuk persediaan kayu
bakar pada musim hujan.
Kayu bakar yang diperoleh dari hutan negara hanya sebagian kecil
saja berupa cabang dan ranting pohon yang diperoleh pada saat ada kegiatan
penebangan yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Kayu bakar dari hutan
negara hanya sebagai bahan bakar tambahan saja. Mereka lebih banyak
mengambil kayu bakar dari hutan rakyat. Hal ini berbeda dengan Nurhayati et
al. (2002) dalam studi kasus ketersediaan kayu bakar pada pengrajin gula
kelapa di Gombong, Jawa Tengah, jenis kayu bakar yang digunakan terdiri
dari kayu jati diameter sekitar 5 cm dari peremajaan dari Perum Perhutani dan
jenis lainnya seperti sengon, sungkai, jeruk, pelepah kelapa, dan lain-lain.
Perbedaan ini dapat terjadi karena kelas perusahaan Perum Perhutani di
Kabupaten Banyumas adalah Kelas Perusahaan Pinus (KP Pinus). Pohon
pinus dimanfaatkan getahnya. Kegiatan penebangan pohon pinus dilakukan
pada saat penjarangan dan akhir daur dengan sistem tebang habis (25 tahun),
sehingga ketersediaan kayu bakar dari Perum Perhutani lebih sedikit. Oleh
sebab itu, pengrajin gula kelapa memanfaatkan sumber kayu bakar yang
berasal dari hutan rakyat.
Sumber kayu bakar tidak hanya berasal dari dalam kecamatan, namun
dapat juga berasal dari luar kecamatan. Beberapa sumber kayu bakar
berdasarkan asal geografis yang digunakan industri pengrajin gula kelapa
disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Sumber kayu bakar berdasarkan asal geogragfis
No
1
2
3

Sumber kayu bakar berdasarkan asal
geografis
Dalam desa dalam kecamatan
Luar desa dalam kecamatan
Luar desa luar kecamatan
Total

Jumlah responden
(orang)
92
6
2
100

Presentase (%)
92
6
2
100

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kayu bakar yang digunakan
industri pengrajin gula kelapa berasal dari dalam desa dalam kecamatan, luar
desa dalam kecamatan, dan luar desa luar kecamatan. Sebagian besar

33

pengrajin gula kelapa menggunakan kayu bakar yang berasal dari dalam desa
dalam kecamatan sebanyak 92 pengrajin gula. Pengrajin gula kelapa yang
memperoleh sumber kayu bakar dari luar desa luar kec