Efisiensi Produksi Usaha Pengolahan Gula Kelapa Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah

(1)

EFISIENSI PRODUKSI USAHA PENGOLAHAN GULA

KELAPA KABUPATEN BANYUMAS

PROVINSI JAWA TENGAH

FITRIA MELINDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Produksi Usaha Pengolahan Gula Kelapa Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada InstitutPertanian Bogor.

Bogor, April 2015

FITRIA MELINDA


(3)

ABSTRAK

FITRIA MELINDA. Efisiensi Produksi Usaha Pengolahan Gula Kelapa Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh RATNA WINANDI dan HARIANTO.

Kecamatan Cilongok merupakan salah satu sentra penghasil gula kelapa terbesar di Kabupaten Banyumas. Usaha pembuatan gula kelapa ini sudah dilakukan secara turun menurun sehingga usaha pembuatan gula kelapa merupakan mata pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Cilongok. Selama ini pengrajin gula kelapa di Kecamatan Cilongok membuat gula kelapa dalam bentuk cetak, akan tetapi usaha ini belum bisa memberikan peningkatan ekonomi keluarga yang layak bagi masyarakat yang mengusahakannya. Oleh karena itu pemerintah setempat bekerjasama dengan universitas menciptakan alternatif gula kelapa dalam bentuk serbuk atau biasa disebut dengan gula semut.

Tujuan penelitian ini secara umum adalah menganalisis biaya, pendapatan, keuntungan dan efisiensi pengunaan faktor produksi pengolahan gula cetak dan gula semt dalam rangka pencapaian tingkat efisiensi ekonomi Adapun secara rinci tujuan dalam penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi usaha pengolahan gula cetak dan gula semut; (2) menganalisis tingkat efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usaha pengolahan gula cetak dan gula semut; (3) menganalisis besarnya biaya, pendapatan dan keuntungan dari usaha pengolahan gula cetak dan gula semut. Model yang digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas untuk menganalisis efisiensi teknis, fungsi biaya dual untuk menganalisis efisiensi alokatif dan analisis biaya dan pendapatan usaha pengolahan gula cetak dan gula semut.

Hasil analisis usaha pengolahan gula cetak dan gula semut menunjukkan pendapatan pengrajin gula semut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pengrajin gula cetak, yaitu berturut-turut Rp 2.35 juta dan Rp 3.42 juta. Hal ini terjadi dikarenakan harga jual gula semut jauh lebih tinggi dibandingkan harga jual gula cetak. Harga jual rata-rata gula cetak hanya sebesar Rp. 7,582.86 per kilogram, sedangkan harga jual rata-rata gula semut bisa mencapai Rp. 12,742.86 per kilogram. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembuatan gula cetak dan gula semut adalah nira kelapa. Umur pohon kelapa yang rata-rata sudah tua di Kecamatan Cilongok membuat kualitas nira yang dihasilkan kurang begitu baik, selain itu tidak adanya perawatan yang dilakukan terhadap pohon kelapa yang sudah ada. Skala usaha pengolaha gula cetak dan gula semut di Kecamatan Cilongok berada pada kondisi “increasing return to scale” yang mengindikasikan

bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.

Kata kunci: Cobb Douglas stochastic frontier, analisis usaha, efisiensi, usaha pengolahan, gula cetak dan gula semut.


(4)

SUMMARY

FITRIA MELINDA. The Production Efficiency of Coconut Palm Sugar Enterprises in Banyumas Distric, Central Java Province. Supervised by RATNA WINANDI and HARIANTO.

Cilongok Subdisrict is the lagerst origin centers of palm sugar production center in Banyumas. The business of making palm sugar has been carried out to the next so that the business of making palm sugar is the main livelihood of the people in the Cilongol district. During palm sugar producers in District Cilongok make palm sugar in printed form, but these efforts have not been able to provide an economic improvement for the people working on it. Therefore, the local government by cooperation with the university created a coconut sugar alternatives in the form of powder or commonly referred to as granular sugar.

The objective of this research is to analyze the general costs, revenues, profits and efficiency of use of factors of production print sugar and sugar processing SEMT in order to achieve the level of economic efficiency. In detail, the objective of this research are (1) to analyze the factors that affect print sugar and granular sugar processing business; (2) to analyze the level of technical efficiency, allocative efficiency and economic efficiency of sugar printing and granural sugar processing business; (3) analyze the costs, revenues and profits from sugar printing and granural sugar processing business and sugar granular. The model used is the stochastic frontier production function is Cobb-Douglas to analyze technical efficiency, cost function dual to analyze the allocative efficiency and cost analysis and revenue processing print sugar and sugar granular.

The results of the sugar processing business printing and granular sugar business showed the craftsmen sugar granural income was much larger when compared to sugar producers print, ie respectively USD 2.35 million and USD 3.42 million. This occurd because the selling price of sugar granular are much higher than the selling price of sugar print. The average selling price of sugar print only Rp 7,582.86 per kilogram, while the average selling price of sugar granular could reach Rp 12,742.86 per kilogram. The main factors that affect the manufacture of sugar and sugar granullar print is coconut sap. Age of the coconut tress are old average in Sub Cilongok make quality juice produced less well, besides the lack maintenance performed on an existing coconut trees. Pengolaha business scale print sugar and granular sugar in District Cilongok arrives at the "increasing returns to scale" which indicates that the proportion of additional factors of production will result largest propotion of additional production.

Key words: Cobb Douglas stochastic frontier, business analysis, efficiency, processing business, print sugar and granular sugar.


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EFISIENSI PRODUKSI USAHA PENGOLAHAN GULA

KELAPA KABUPATEN BANYUMAS


(6)

FITRIA MELINDA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Penguji Luar Komisi Pembimbing : Dr. Sahara, SP, M.Si

Penguji Mayor Ilmu Ekonomi-


(8)

Judul Tesis : Efisiensi Produksi Usaha Pengolahan Gula Kelapa Kabupaten

Banyumas Provinsi Jawa Tengah

Nama : Fitria Melinda

NIM : H353110121

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Ketua

Dr. Ir. Harianto, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Mayor

Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai bulai Mei 2013 ini ialah Efisiensi Produksi Usaha Pengolahan Gula Kelapa Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Ratna Winandi, MS dan Dr. Ir. Harianto, MS selaku pembimbing, serta Dr. Dahara, SP, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap pengrajin gula kelapa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Banyumas, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Banyumas, Bank Indonesia cabang Purwokerto, segenap staf Kecamatan Cilongok dan semua pihak atas dukungan dan peran-sertanya sehingga penelitian tesis ini dapat berjalan dengan baik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan sahabat, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup 6

Keterbatasan Penelitian 6

2. TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Ekonomi Gula Kelapa 7

Teori Produksi 8

Fungsi Produksi Cobb-Douglas 11

Fungsi Produksi Frontier 12

Konsep Efisiensi 14

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Efisiensi 16

Kerangka Pemikiran 19

Hipotesis 20

3. METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Metode Penarikan Contoh 21

Jenis dan Sumber Data 21

Pembatasan Masalah 22

Definisi dan Pengukuran Variabel 22

Metode Pengolahan dan Analisis Data 23

Metode Analisis Data 23

Model Fungsi Produksi 24

Analisis Efisiensi Produksi 25

Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomi 26

4. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KECIL GULA KELAPA

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 27

Keadaan Sosial dan Ekonomi Penduduk Kabupaten Banyumas 29

Tenaga Kerja 30

Kondisi Perekonomian 31

Kondisi Perkebunan 33

Kondisi dan Potensi Industri Kecil 34

Karakteristik Penderes 36


(11)

5. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Analisis Usaha Pengolahan Gula Kelapa di Kecamatan Cilongok 38 Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usaha Gula Kelapa 42

Analisis Skala Usaha 47

Analisis Efisiensi Teknis 48

Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomis 52

6. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 54

Saran 54

DAFTAR PUSTAKA 55

DAFTAR LAMPIRAN 59

RIWAYAT HIDUP 63

DAFTAR TABEL

1. Jumlah Produksi dan Unit Usaha Gula Kelapa di Kabupaten

Banyumas Tahun 2009-2011 2

2. Perkembangan Produksi, Jumlah Penderes dan Jumlah Pohon Kelapa

di Beberapa Kecamatan di Kabupaten Banyumas Tahun 2011 3

3. Harga Gula Cetak dan Gula Semut Tahun 2009-2014 5

4. Mayoritas Penggunaan Tanah di Kecamatan Cilongok Tahun 2012 28 5. Luas dan Produksi Tanaman Tahunan Perkebunan Rakyat

Menurut Jenis Tanaman Tahun 2011 28

6. Penyebaran Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten

Banyumas Tahun 2012 29

7. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Kegiatan Tahun 2012 30 8. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut

Lapangan Usaha, di Kabupaten Banyumas Tahun 2012 31

9. Perkembangan PDRB Kabupaten Banyumas Menurut Sektor

Berdasarkan Harga Konstan (Milyar Rupiah) Tahun 2007-2011 31 10. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kabupaten

Banyumas Tahun 2012 34

11. Karakteristik Responden Penderes Gula Kelapa di Kecamatan

Cilongok Kabupaten Banyumas 2013 36

12. Jenis Peralatan yang digunakan dalam Produksi Gula Kelapa 40 13. Analisis Finansial Usaha Pengolahan Gula Kelapa Cetak

dan Gula Semut di Daerah Penelitian 42

14. Hasil Dugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Gula Kelapa Cetak

dengan Menggunakan Metode OLS 43

15. Hasil Dugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Gula Semut dengan

Menggunakan Metode OLS 44

16. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Gula Cetak


(12)

17. Sebaran Efisiensi Teknis Pengrajin Gula cetak dan Gula Semut

di Daerah Penelitian 49

18. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi

Stochastic Frontier 50

19. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Pengrajin

Gula Kelapa Cetak dan Gula Semut di Daerah Penelitian 53

DAFTAR GAMBAR

1. Fungsi Produksi Neoklasik 10

2. Fungsi Produksi Frontier Stochastic Frontier 13

3. Efisiensi Teknis dan Alokatif pada Orientasi Input 15

4. Model Perbedaan Hasil antara Hasil Lembaga Eksperimen

dan Hasil yang dicapai dalam Usahatani 17

5. Kerangka Analisis Penelitian 20

6. Persentase PDRB menurut 3 Sektor Tahun 2007 32

7. Persentase PDRB menurut 3 Sektor Tahun 2011 34

8. Perkembangan Produksi Gula Merah Indonesia, Tahun 2007-2014 35 9. Perkembangan Produksi Gula Merah Kabupaten Banyumas,

Tahun 2007-2014 38

LAMPIRAN

1. Kuisioner Pengrajin Gula Kelapa 60

2. Data Produksi, Harga gula, Total Biaya, Penerimaan dan

Pendapatan Usaha Pengolahan Gula Cetak di Kecamatan Cilongok

Kabupaten Banyumas 66

3. Data Produksi, Harga gula, Total Biaya, Penerimaan dan

Pendapatan Usaha Pengolahan Gula Semut di Kecamatan Cilongok

Kabupaten Banyumas 68

4. Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Produksi Usaha Gula Kelapa

Cetak di Kabupaten Banyumas 69

5. Hasil Uji Normalitas Model Produksi Usaha Gula Kelapa Cetak di

Kabupaten Banyumas 70

6. Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Produksi Usaha Gula Semut di

Kabupaten Banyumas 71

7. Hasil Uji Normalitas Model Produksi Usaha Gula Semut di

Kabupaten Banyumas 72

8. Hasil Pendugaan Model Produksi Gula Kelapa Cetak Metode OLS

di Kabupaten Banyumas 73

9. Hasil Pendugaan Model Produksi Gula Semut Metode OLS di

Kabupaten Banyumas 74

10. Hasil Pendugaan Model Produksi Gula Kelapa Cetak dengan

Uji Asumsi Constant Return to Scale (CRTS) 75

11. Hasil Pendugaan Model Produksi Gula Semut dengan


(13)

12. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Gula Cetak

Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochastic Frontier (MLE)

dengan Menggunakan Frontier 4.1 77

13. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Gula Semut

Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochastic Frontier (MLE)


(14)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara pertanian, artinya sektor pertanian masih memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian. Sementara itu, pertambahan jumlah penduduk Indonesia, kenaikan pendapatan dan perubahan preferensi masyarakat telah menyebabkan permintaan terhadap produk dan jasa pertanian terus meningkat. Oleh karena itu sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat strategis saat ini dan masa yang akan datang, khususnya dari segi ekonomis.

Salah satu sub-sektor pertanian yang cukup penting keberadaannya dalam pembangunan nasional adalah sub-sektor perkebunan. Komoditi perkebunan yang banyak dilestarikan dan ditingkatkan oleh industri salah satunya industri gula merah yang bahan bakunya berasal dari tanaman kelapa. Komoditas kelapa merupakan pohon kehidupan dengan berbagai macam manfaat. Kelapa adalah tanaman yang dari semua bagiannya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Tanaman kelapa memiliki prospek yang tinggi dengan tingkat produktivitas sebesar 3.2 juta pertahunnya. Hal ini didukung dengan besarnya potensi perkebunan kelapa Indonesia mencapai mencapai 3,707 juta ha jika dibandingkan dengan Philipina seluas 3,077 ribu ha, India seluas 1,908 ribu ha, Srilangka seluas 442 ribu ha, dan Thailand seluas 372 ribu ha (Mustaufik, 2010).

Ditinjau dari segi pembuatan dan bentuk hasilnya maka usaha pengolahan gula kelapa termasuk dalam food-processor, yaitu mengolah hasil pertanian menjadi bahan baku industri. Program pengembangan industri gula yang berbasis pada tanaman kelapa (palmae) sangat tepat dan strategis untuk dikembangkan di sentra-sentra tanaman kelapa di seluruh wilayah Indonesia. Produk utama dari gula kelapa dipasarkan sebagai gula konsumsi untuk pasar nasional dan pasar ekspor. Gula kelapa yang dipasarkan ada yang dengan cara langsung kepada konsumen ataupun dengan melalui pedagang pengumpul kecil maupun besar. Pemasaran langsung kepada konsumen sebagai bahan pemanis bagi ibu rumah tangga maupun sebagai bahan pelengkap dalam industri makanan atau minuman, antara lain gula kacang (ampyang), enting-enting, kue satu, nopia, wajik, kecap dan lain sebagainya.

Menurut Paudi (2012), gula kelapa (brown sugar) biasa dikenal dengan nama gula merah atau gula jawa, selain diolah dalam bentuk cetakan padat juga dapat di haluskan atau biasa disebut dengan gula krista (gula semut). Gula semut berbentuk kristal-kristal kecil dan mudah larut dalam air panas sehingga memudahkan untuk dikonsumsi. Perkembangan preferensi masyarakat yang mulai untuk mengkonsumsi gula kelapa didasarkan pada penelitian The Philippine Food and Nutrition Research Institute mengenai indeks glikemik (GI) pada gula merah kelapa (coconut palm sugar), menemukan bahwa gula kelapa memiliki nilai GI sebesar 35, hal ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai GI pada gula tebu sebesar 85-93, gula aren sebesar 70 dan madu sebesar 55. Nilai GI yang termasuk dalam kategori rendah adalah <55. Secara sederhana, nilai GI dapat


(15)

dikatakan sebagai tingkatan atau rangking pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa dalam darah yang dihasilkan. Rendahnya nilai GI yang terdapat dalam gula kelapa dapat membantu untuk menstabilkan kadar gula dalam darah sehingga dapat mencegah penyakit diabetes, obesitas dan autis.

Salah satu daerah penghasil gula kelapa di Indonesia berada di Provinsi Jawa Tengah, yang berada di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas (Disperindagkop) tercatat pada tahun 2012 luas areal kelapa di Kabupaten Banyumas mencapai 18,975 ha dengan jumlah tanaman kelapa sebanyak 1,746,871 pohon. Jumlah tanaman kelapa deres di Kabupaten Banyumas adalah 652,930 pohon dengan luas areal kebun kelapa deres 5,157 ha. Usaha produksi gula kelapa di Kabupaten Banyumas melibatkan 26,127 orang penderes dan 30,456 unit pengolahan yang terdiri dari 110,000 orang tenaga kerja yang tergabung dalam 298 kelompok usaha yang tumbuh dan tersebar di 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyumas (Disperindagkop, 2012). Hasil penelitian Mustaufik 2010 menyatakan bahwa Kabupaten Banyumas merupakan salah satu daerah penghasil gula kelapa (gula jawa) yang sangat potensial di Jawa Tengah bahkan di Indonesia, selain Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara, tahun 2011 terdapat kurang lebih 30,456 unit usaha gula kelapa dengan volume produksi rata-rata tiap tahunnya sebesar 12,684 kg/ha yang tersebar dalam 27 kecamatan. Dari 27 kecamatan tersebut, ada 4 kecamatan yang perkembangan usaha home industri gula kelapanya sangat produktif yaitu Kecamatan Cilongok, Ajibarang, Pekuncen dan Wangon. Adapun perkembangan produksi dan unit usaha gula kelapa di Kabupaten Banyumas dapat dilihat pada Tabel 1.

Jumlah Produksi dan Unit Usaha Gula Kelapa di Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2012.

Tahun Luas Areal Kelapa Deres (ha)

Total Produksi (ton/th)

Unit Usaha

2009 5,156.43 49,167 29,000

2010 5,143.46 57,400 30,206

2011 5,141.27 59,360 30,456

2012 5,157.00 58,754 30,207

Sumber: Disperindagkop Kabupaten Banyumas (2013).

Tabel 1 dapat dilihat bahwa perkembangan luas areal kelapa deres, total produksi dan jumlah unit usaha dari 2009-2012 mengalami fluktuasi. Luas areal kelapa deres dilihat dari tahun 2011-2012 mengalami peningkatan, hal ini dikarenakan semakin meningkatkan kebutuhan akan bahan baku pembuatan gula kelapa sehingga penduduk di Kabupaten Banyumas mulai memperluas areal penaman kelapa deres. Total produksi pada tahun 2011-2012 mengalami sedikit penurunan yaitu sebesar 606 ton/th dikarenakan cuaca yang kurang baik Jika cuaca pada malam hari panas dan di pagi hari dingin, maka nira yang dihasilkan akan mengalami kerusakan sehingga tidak dapat dibentuk menjadi gula kelapa. Faktor lain yang menyebabkan penurunan produksi gula kelapa dikarenakan sebagian besar tanaman kelapa deres di Kabupaten Banyumas sudah berumur tua antara 20-35 tahun, kerapatan tanaman yang tinggi dan banyaknya ragam tanaman sela juga


(16)

merupakan salah satu penyebab penurunan produksi sehingga menimbulkan persaingan berat pada tanaman kelapa. Kondisi-kondisi tersebutlah yang mempengaruhi penurunan kualitas produksi nira kelapa sebagai bahan baku sehingga berdampak terhadap penurunan produksi gula kelapa yang dihasilkan. Unit usaha juga mengalami penurunan dikarenakan penduduk yang berusia muda mulai mencari pekerjaan diluar desa.

Penurunan luas areal kelapa deres, total produksi dan unit usaha tidak berarti bahwa gula kelapa di Kabupaten Banyumas kurang memiliki peluang dan potensi pasar untuk dikembangkan. Laporan perkembangan Klaster Gula Kelapa Bank Indonesia Purwokerto yang diterbitkan pada tahun 2013 menyatakan bahwa gula kelapa memiliki omzet sebesar Rp 400 milyar/tahun. Pemasaran produk gula kelapa Kabupaten Banyumas 90 pesen dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan 10 persen sisanya untuk diekspor ke beberapa Negara seperti Singapura, Malaysia, Jerman dan Timur Tengah.

Kabupaten Banyumas mempunyai 27 kecamatan yang menghasilkan gula kelapa, akan tetapi hanya empat kecamatan yang produktif menghasilkan gula kelapa yaitu kecamatan Cilongok, Ajibarang, Pekuncen dan Wangon untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Perkembangan Produksi, Jumlah Penderes dan Jumlah Pohon Kelapa di empat Kecamatan produktif penghasil gula di Kabupaten Banyumas. Kecamatan Kelurahan/Desa Jumlah Penderes

(Orang)

Jumlah Pohon

Produksi (Kg)

Cilongok 20 6,254 129,241 45,234

Ajibarang 15 2,097 40,677 14,237

Pekuncen 16 1,869 40,420 14,147

Wangon 12 1,504 30,970 10,840

Sumber: Disperindagkop Kabupaten Banyumas, 2012.

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kecamatan yang paling produktif menghasilkan gula kelapa adalah kecamatan Cilongok. Kecamatan Cilongok memiliki pohon kelapa untuk disadap sebanyak 129,241 pohon yang setiap hari disadap niranya. Penyadapan dilakukan 2 kali/hari yaitu pagi dan sore, serta dilakukan sepanjang tahun. Normalnya kemampuan memanjat pohon kelapa adalah 25 pohon/orang/hari pada pagi dan sore hari. Umumnya hasil sadapan sore hanya dididihkan saja agar nira tidak rusak, kemudian esok paginya dimasak bersama-sama dengan hasil sadapan pagi itu sampai menjadi gula kelapa.

Pembangunan sektor industri gula kelapa di Kabupaten Banyumas, khususnya di Kecamatan Cilongok tetap mengusahakan adanya keseimbangan dan keserasian antara industri besar, menengah dan kecil baik yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi dan barang jadi guna kebutuhan sendiri maupun untuk keperluan pemasaran umum dan ekspor. Sehubungan dengan hal diatas maka di Kecamatan Cilongok telah banyak industri-industri yang bergerak diberbagai usaha pengolahan gula kelapa yang umumnya merupakan industri kecil rumah tangga. Usaha pengolahan gula kelapa ini diusahakan oleh masyarakat setempat dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana dan usaha ini berkembang hingga sekarang, disamping itu penggunaan gula kelapa sebagai


(17)

bahan baku industri pangan sehari-hari banyak dipakai oleh lapisan masyarakat baik dikota maupun didesa. Hal ini tentunya akan memberikan peluang untuk mengembangkan industri pengolahan gula kelapa di Kecamatan Cilongok secara lebih luas.

Perumusan Masalah

Kabupaten Banyumas memiliki potensi gula kelapa yang cukup besar untuk dikembangkan. Pengolahan gula kelapa merupakan usaha yang sudah lama diusahakan oleh masyarakat, khususnya pada Kecamatan Cilongok yang merupakan sentra penghasil gula kelapa terbesar di Kabupaten Banyumas, akan tetapi pemanfaatan tanaman kelapa belum dibudidayakan secara intensif oleh masyarakat di Kecamatan Cilongok. Penanaman kelapa dilakukan secara sembarang seperti dipekarangan rumah maupun tanaman kelapa yang sudah ditanaman oleh keluarga yang terdahulu sehingga untuk pemeliharaannya belum dilakukan secara optimal sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas nira yang dihasilkan oleh tanaman kelapa tersebut. Hal ini tentunya merupakan permasalahan, karena pada akhirnya akan menimbulkan kekurangan bahan baku untuk pembuatan gula kelapa. Peremajaan tanaman kelapa ini tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit. Modal usaha juga mempunyai peranan penting dalam memnentukan maju mundurnya suatu usaha. Kebanyakan industri kecil tidak mampu berkembang atau bersaing karena sering terbentur masalah modal, sehingga sering mengalami defisit produksi.

Permasalahan tersebut tentunya akan berdampak kepada keberadaan pengrajin gula kelapa tersebut dilihat dari kuantitas produksi yang dihasilkan mengalami penurunan. Padahal permintaan akan gula kelapa saat ini mulai meningkat seiiring dengan bergesernya preferensi masyarakat untuk mendapatkan pola hidup yang lebih sehat. Usaha pembuatan gula kelapa merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat di Kabupaten Banyumas yang mempunyai prospek yang baik dengan ditopang oleh keberadaan bahan baku yang memadai dan diferensiasi produk gula kelapa yang dihasilkan. Seperti yang kita ketahui bahwa usaha gula kelapa, khususnya di Kecamatan Cilongok belum bisa memberikan peningkatan ekonomi keluarga yang layak bagi masyarakat yang mengusahakannya. Cerita lama bahwa pengrajin gula kelapa tidak dapat merasakan manisnya harga gula kelapa seperti manisnya gula yang diproduksinya. Melihat kondisi tersebut maka diperlukan upaya untuk meningkatkan pendapatan pengrajin gula kelapa (Arengga). Mustaufik (2010) menyatakan bahwa salah satu upaya peningkatan yang dapat dilakukan adalah dengan pembuatan gula semut (granular sugar).

Gula semut atau gula kristal merupakan salah satu bentuk produk lanjutan dari nira kelapa yang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif meningkatkan pendapatan pengrajin gula kelapa. Tujuan dari pembuatan gula semut ini adalah untuk mendapatkan penerimaan yang lebih baik, memenuhi permintaan pasar dan dapat mempertahankan sekaligus meningkatkan kelangsungan usahanya dalam jangka panjang. Pembuatan gula semut tidak memerlukan alat khusus sehingga pengrajin gula kelapa dapat menjalankan usaha ini tanpa mengalami kesulitan


(18)

modal ataupun keahlian khusus. Bahan baku pembuatan gula kelapa dan gula semut sama yaitu nira kelapa yang membedakan hanyalah produk akhirnya. Usaha gula semut dapat dijadikan salah satu alternatif meningkatkan pendapatan karena memiliki harga yang lebih mahal. Adapun perkembangan harga gula cetak dan gula semut dapat dilihat pada Tabel 3.

Harga Gula Cetak dan Gula Semut Tahun 2009-2014.

Sumber: Badan Pusat Statistik Jakarta (2015).

Tabel 3 dapat dilihat dari segi harga gula semut memiliki harga yang lebih tinggi jika dibandingkan gula kelapa cetak, pada tahun 2010 perbedaan harga gula semut dapat dilihat hampir dua kali lipat dari gula cetak dan harga gula semut terus meningkat hingga tahun 2014 mencapai Rp 16,000 per kg. Namun pengrajin gula kelapa masih belum banyak yang belum tertarik untuk memproduksi gula semut. Hasil penelitian Widjoko et. al (2009) produksi gula semut baru mencapai 120,000 kg dari total produksi gula kelapa sebesar 12,337,920 kg atau hanya sebesar 0,97 persen pengrajin gula yang menghasilkan gula semut.

Perkembangan gula usaha semut masih lambat, jumlah pengrajin gula yang beralih untuk menghasilkan gula semut masih sedikit. Berdasarkan Widjoko et. al

(2009), pengrajin gula kelapa masih ragu melakukan usaha gula semut dikarenakan usaha ini relatif baru bagi para pengrajin. Selain itu pengrajin gula kelapa kurang mengetahui secara pasti apakah memang benar menguntungkan secara finansial dan berapa besar nilai tambah yang diperoleh dari usaha gula semut. Faktor yang juga menghambat perkembangan usaha gula semut di Kabupaten Banyumas yaitu mengenai informasi pasar gula semut yang terbatas, sehingga pengrajin gula kelapa lebih memilih melakukan produksi gula kelapa cetak dibandingkan untuk beralih ke usaha gula semut. Berdasarkan permasalahan diatas adapun yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Berapa besarnya biaya, pendapatan, dan keuntungan yang diperoleh dari usaha pengolahan gula cetak dan gula semut dan faktor apasaja yang mempengaruhi besarnya biaya, pendapatan dan keuntungan usaha pengolahan gula cetak dan gula semut?

2. Bagaimana efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi usaha pengolahan gula cetak dan gula semut di Kecamatan Cilongok?

Tahun Gula Cetak (Rp/kg) Gula Kristal (Rp/kg)

2009 6,000 9,000

2010 7,000 12,000

2011 7,900 15,000

2012 8,100 15,400

2013 8,000 15,600


(19)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah menganalisis produksi, efisiensi dan pola pemasaran yang dilakukan pengrajin gula kelapa dalam rangka membantu meningkatkan pendapatan pengrajin gula kelapa serta untuk pengembangan gula semut di wilayah Kabupaten Banyumas. Adapun secara rinci tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis besarnya biaya, pendapatan dan keuntungan dari usaha pengolahan gula cetak dan gula semut.

2. Menganalisis tingkat efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi pengolahan gula kelapa (gula cetak dan gula semut) terhadap terhadap tingkat efisiensi gula kelapa (gula cetak dan gula semut) di Kabupaten Banyumas.

Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian diharapkan bermanfaat untuk pengembangan usaha pengolahan gula cetak dan gula semut di Kabupaten Banyumas, khususnya di Kecamatan Cilongok yang merupakan salah satu sentra penghasil gula cetak dan gula semut. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat kebijakan bagi pemerintah Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis pada usaha pengolahan gula cetak dan gula semut serta menganalisis tingkat biaya, pendapatan dan penerimaan yang diperoleh pengrajin gula cetak dan gula semut. Peneliti juga ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengrajin gula kelapa untuk memutuskan produksi gula cetak atau gula semut. Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil responden pengrajin gula cetak dan gula semut di empat desa di Kecamatan Cilongok. Penelitian menggunakan data produksi setiap hari yang kemudian diakumulasikan untuk produksi satu bulan.

.

Keterbatasan Penelitian

1. Usaha pengolahan gula kelapa yang dilakukan oleh pengarajin di Kecamatan Cilongok adalah usaha pengolahan skala industri rumah tangga.

2. Usaha pengolahan gula kelapa yang dilakukan oleh pengrajin gula di Kecamatan Cilongok dilakukan oleh beberapa orang dengan melakukan usaha sendiri dari mulai penyediaan sarana produksi sampai dengan memasarkan hasil produksi tersebut.


(20)

3. Responden pengrajin gula cetak dan gula semut yang diambil tidak dibedakan apakah mereka tergabung dalam kelompok usaha atau secara mandiri.

4. Pemilihan responden berdasarkan atas arekomendasi dari petugas penyuluh lapangan yang berasal dari petugas Balai Desa setempat.

5. Variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam fungsi produksi harus berpengaruh positif terhadap produksi gula cetak dan gula semut (bertanda positif). Jika bertanda negatif, maka variabel tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam model. Variabel yang bertanda negatif diartikan sebagai penurunan terhadap fungsi produksi sehingga tidak dapat dimasukkan kedalam fungsi biaya dual.

6. Variabel yang digunakan dalam produksi adalah jumlah pohon yang dideres yang digunakan untuk menghasilkan gula, tenaga kerja (HOK) dan penggunaan bahan bakar. Peneliti menggunakan jumlah pohon yang dideres dikarenakan tidak ada pengukuran dalam setiap hasil nira yang didapatkan oleh pengrajin gula kelapa di Kecamatan Cilongok.

7. Penelitian ini dilakukan untuk proses produksi yang berlangsung selama 1 (satu) bulan periode produksi dengan waktu pengambilan data pada tahun 2013.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Ekonomi Gula Kelapa

Kelapa merupakan tanaman serbaguna atau tanaman yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Hampir seluruh bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan (tree of life). Dari tanaman kelapa dapat diperoleh bahan makanan, minuman, bahan industri, bahan bangunan, peralatan rumah tangga, dll. Buah kelapa dapat diambil daging buahnya untuk membuat minyak, santannya dapat digunakan untuk memasak dan airnya bisa diminum. Batang kelapa, yang disebut glugu dapat dipakai sebagai bahan bangunan. Daun kelapa yang telah dikeringkan dapat dipakai sebagai atap rumah dan daunnya yang masih muda (janur) dapat dipakai sebagai bahan anyaman dalam pembuatan ketupat atau berbagai bentuk hiasan. Tangkai anak daun yang sudah dikeringkan, yang disebut lidi, dapat digunakan sebagai tusuk sate dan bila dihimpun menjadi satu dapat dijadikan sapu. Bunga kelapa dapat disadap air legennya (nira) sebagai bahan baku pembuatan gula kelapa. Sabutnya banyak diperdagangkan sebagai bahan bakar, pengisi jok kursi, anyaman tali, keset, serta media tanam bagi anggrek. Bagian tempurung atau batok juga dipakai sebagai bahan bakar dan bahan baku berbagai bentuk kerajinan tangan (Soebroto, 1983).

Berdasarkan penelitian Jatmika (1998), di Pulau Jawa terdapat 2 (dua) daerah yang merupakan sentra penghasil gula kelapa yaitu Banyumas dan Banyuwangi. Gula merah atau sering disebut juga gula jawa adalah hasil olahan dari nira kelapa (Cocos nucifera). Selain itu juga bisa gula semut atau gula kelapa kristal, berbentuk kristal kecil-kecil mudah larut dalam air panas. Kualitas nira di Kabupaten Banyumas lebih unggul jika dibandingkan dengan daerah penghasil gula kelapa di Provinsi Jawa. Hal ini dikarenakan kelapa yang berada di Kabupaten


(21)

Banyumas dapat menghasilkan gula dengan kadar tingkat kemanisan mencapai 72 persen. Salah satu faktor yang menyebabkan tingkat kemanisannya lebih tinggi adalah tanaman kelapa di Banyumas ditanam tidak di daerah dekat pantai, sehingga tidak banyak mengandung garam yang membuat kadar gulanya menjadi rendah.

Menurut Istiana dan Yuharningsih (1997) dalam industri pembuatan gula kelapa, terdapat tiga unsur pokok, yaitu (1) bahan baku yaitu nira kelapa, (2) tenaga kerja dan alat seperti tungku pemanas, penyaring, alat cetak, bahan pembantu yaitu natrium bisulfit, dan (3) bahan bakan. Industri pengolahan gula kelapa merupakan industri rakyat. Kabupaten Banyumas merupakan salah satu sentra industri gula kelapa dengan jumlah unit usaha cukup banyak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Disperindagkop Kabupaten Banyumas, pada tahun 2007 jumlah unit usaha di Kabupaten Banyumas cukup besar yaitu 28,265 unit yang terbesar di 23 kecamatan. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi gula kelapa per unit usaha nimimal 2 orang berarti usaha ini dapat menyerap tenaga kerja 56,530 orang. Wilayah Kecamatan Cilongok merupakan salah satu 23 Kecamatan di Kabupaten Banyumas yang merupakan penghasil gula kelapa terbesar. Data yang diperoleh dari Disperindagkop, pada tahun 2007 jumlah unit usaha sebanyak 4,649 unit usaha dengan produksi 6,877 ton dan semakin berkembang pada tahun 2012 menjadi 6,512 unit industri rumah tangga (IRT) gula kelapa. Apabila dalam 1 unit usaha dibutuhkan 2 orang tenaga kerja, maka akan terserap tenaga kerja sebanyak 9,289 pada tahun 2007 dan 13,024 tenaga kerja pada tahun 2012. Pengrajin gula kelapa di Kecamatan Cilongok ada yang memiliki pohon kelapa sendiri dan ada pula yang menyadapkan dari milik orang lain, untuk pembagian hasilnya disebut dengan

“maro” yaitu system bagi hasil dimana setiap 5 hari pertama hasil yang diperoleh

diperuntukkan bagi pemilik pohon dan 5 hari berikutnya diperuntukkan bagi penderes (orang yang mengambil nira kelapa). Produksi gula kelapa yang dihasilkan pengrajin di Cilongok digunakan untuk konsumsi sendiri, dipasarkan pada pasar lokal dan sebgaian ada yang dipasarkan untuk ekspor.

Beberapa cara yang digunakan pengrajin gula dalam pengolahan nira sehingga menghasilkan gula kelapa berdasarkan Istiana (1997), antara lain : 1. Pemilik pohon kelapa juga sebagai penyadap dan pengolah sehingga biaya dan

hasil yang diperoleh untuk pemilik itu sendiri. Biasanya hal ini dilakukan oleh pengrajin gula kelapa yang berlahan sempit atau yang mempunyai tanaman kelapa kurang dari 10 pohon.

2. Sistem bagi hasil, yaitu penyadapan yang dilakukan pada pohon kelapa bukan miliknya dan hasilnya di peroleh secara bergilir. Pergiliran hasil dilakukan pada empat atau lima harian, yaitu empat hari hasil sadapan nira kelapa dimiliki oleh pemilik pohon dan empat hari berikutnya barulah dimiliki oleh orang yang menyadap pohon kelapa.

3. Sistem bagi hasil gula merah, sistemnya hampir sama pada cara kedua tetapi yang dibagi adalah hasil yang sudah diolah menjadi gula merah.

Teori Produksi

Produksi merupakan kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Untuk memproduksi barang dan jasa tersebut digunakan sumberdaya yang disebut sebagai faktor produksi (Lipsey et al, 1995). Hubungan penggunaan faktor-faktor produksi


(22)

atau input dan produk atau output yang dihasilkan disebut fungsi produksi. Debertin (1986) menyatakan fungsi produksi merupakan hubungan teknis yang men-transformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas. Beattie dan Taylor (1985) menyatakan bahwa fungsi produksi memberikan output yang maksimum yang diperoleh dari sejumlah input tertentu. Fungsi produksi dapat dinyatakan dengan grafik, tabel dan matematik. Secara matematik, model umum fungsi produksi sebagai berikut:

Y = f (xi) ... (2.1) dimana Y adalah output, xi adalah input ke-i yang digunakan, i = 1,2,3,...n. Untuk

menyederhanakan notasi, diasumsikan output dihasilkan hanya dengan satu input, sebagai berikut:

Y = f (x) ... (2.2) Y bisa disebut juga Total Physical Product (TPP). Dari persamaan (2.2) diperoleh

Average Physical Product (APP) sebagai berikut:

APP = = � ... (2.3) Dari persamaan (2.2) juga dapat diperoleh Marginal Physical Product (MPP), sebagai berikut:

MPP = � � � =

� � =

� �

� = f’(x) ... (2.4) Seberapa besar perubahan output akibat perubahan input juga dapat dilihat dari elastisitas produksi. Menurut Debertin (1986) elastisitas produksi menunjukkan rasio antara persentase perubahan jumlah output dengan persentase perubahan jumlah input. Elastisitas produksi dapat diperoleh dengan formulasinya sebagai berikut:

Ep = ∆ ⁄

∆ ⁄ ... (2.5) Persamaan (2.5) dapat disederhanakan menjadi sebagai berikut:

Ep = ∆

∆ � ... (2.6) Dimana:

∆ = MPP dan = ... (2.7) Maka, dari persamaan (2.7) dapat diperoleh juga formulasi elasitistas produksi sebagai berikut:

EPP = �

Hubungan antara tingkat produksi (output) dengan input yang digunakan ditunjukkan dalam fungsi produksi neoklasik dengan tiga tahap daerah produksi (gambar 1). Tiga tahapan produksi sebagai berikut:

1. Tahap I, dimaana MPP > APP; pada daerah I penambahan input sebesar 1 persen akan menyebabkan penambahan output lebih besar dari 1 persen, sehingga merupakan tahap yang irrasional I (increasing return to scale), dimana Ep > 1.

2. Tahap II, dimana MPP = APP. Pada tahap II, penambahan input sebesar 1 persen akan menyebabkan penambahan output paling tinggi sama dengan 1 persen dan paling rendah 0 persen (0 < Ep <1), merupakan daerah rasional (decreasing return to scale).


(23)

3. Tahap III, dimana MPP < APP; produk total (TPP) dan produk rata-rata (APP) sama-sama menurun, sedangkan Marginal Produk (MPP) nilainya negatif. Daerah III, penambahan penggunaan input akan menyebabkan penurunan produksi total (TPP), Ep < 1, merupakan daerah irrasional II.

Pengrajin gula kelapa secara rasional akan berproduksi yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan dengan mengalokasikan input secara optimal (Tahap II). Secara spesifik, fungsi produksi terdiri dari fungsi linier, kuadratik, polynomial, akar pangkat dua atau Cobb-Douglas.

Sumber : Debertin, 1986.

Gambar 1. Fungsi Produksi Neoklasik

APP

MPP dy/dx

Y

X TPP

X Ep = 0


(24)

Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas/ independent variable) dan variabel tidak bebas/ dependent variable). Secara umum persamaan matematik dari fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut:

Y=β0X1β1.X2β2.X3….Xnβneu ... (2.8) Fungsi produksi Cobb-Douglas ditransformasikan kedalam bentuk linear logaritma untuk bisa menaksir parameter-parameternya sehingga fungsi produksi tersebut menjadi:

Ln Y = ln β0+β1 ln X1+β2 ln X2+β3 ln X3+ … +βn ln Xn+u ln e ... (2.9) dimana:

Y = jumlah produksi

β0 = intersep

β1, β2, β3, …., βn = parameter variabel penduga X1, X2,…, Xn = faktor-faktor produksi

e = bilangan natural (e= 2.72)

u = galat

Fungsi produksi Cobb-Douglas penggunaannya lebih sederhana, mudah untuk melihat hubungan input dan output, bersifat homogen sehingga dapat menurunkan fungsi biaya dari fungsi produksi, dan jarang menimbulkan masalah multikolinier. Kelemahan fungsi produksi Cobb-Douglas antara lain: (1) elastisitas produksinya konstan, dan (2) tidak ada produksi (Y) maksimum, artinya sepanjang kombinasi input (X) dinaikkan maka produksi (Y) akan terus naik sepanjang

expansion path-nya (Debertin, 1986). Oleh sebab itu fungsi produksi Cobb-Douglas tidak bisa menggambarkan fungsi produksi neoklasik atau fungsi produksi Cobb-Douglas hanya mampu menjelaskan daerah produksi I, II dan tidak bisa menjelaskan daerah III (Beattie dan Taylor, 1985).

Fungsi produksi Cobb-Douglas dianalisis menggunakan analisis regresi dengan Ordinary Least Square (OLS). Asumsi-asumsi yang digunakan dalam metode OLS (Gujarati, 1988), antara lain:

1. E (ui│Xi) = 0, artinya rata-rata hitung dari simpangan (deviasi) yang berhubungan dengan setiap Xi sama dengan nol.

2. Cov (ui, uj) = 0, i ≠ j, artinya tidak ada autokolerasi atau tidak ada korelasi antara kesalahan pengganggu ui dan uj.

3. Var (ui│Xi) = σ2, artinya setiap error mempunyai varian yang sama atau penyebaran yang sama (homoskedastisitas).

4. Cov (ui, Xi) = 0, artinya tidak ada korelasi kesalahan pengganggu dengan setiap variabel yang menjelaskan (Xi).

5. N (0; σ2), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata-rata nol dan varian σ2.

6. Tidak ada multikolinearitas, artinya tidak ada hubungan linear yang nyata antara variabel-variabel yang menjelaskan.


(25)

Fungsi Produksi Frontier

Frontier digunakan untuk menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan (Coelli et al., 2005). Fungsi produksi frontier

menggambarkan output maksimal yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi diturunkan dengan menghubungkan titik-titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input. Maka, fungsi tersebut mewakili kombinasi input-output secara teknis paling efisien. Sedangkan, fungsi produksi yang lain adalah fungsi produksi rata-rata. Fungsi produksi rata-rata hanya menunjukkan bahwa usaha pengolahan gula kelapa berproduksi pada tingkat produksi tertentu dimana belum tentu yang efisien.

Pengukuran fungsi produksi frontier secara umum dibedakan atas 4 cara yaitu: (1) determininistic non-parametric frontier, (2) deterministic parametric frontier, (3) deterministic statistical frontier, dan (4) stochastic statistical frontier (stochastic frontier). Model deterministik produksi frontier adalah sebagai berikut:

Yi = f(Xi;β).exp(Ɛi) ... (2.10) Model stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministic untuk mengukur efek-efek yang tak terduga (stochastic effects) di dalam batas produksi. Model fungsi produksi stochastic frontier tersebut mengambil fungsi Cobb Douglas yang dilinierkan yaitu sebagai berikut (Aigner et al., 1977):

LnYi = β0 + ΣβjlnXji + (vi-ui ) ... (2.11) dimana stochastic frontier disebut juga composed error model karena error term (Ɛi = vi – ui ), i = 1, 2, .. n. Variabel acak vi berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor-faktor yang tidak pasti seperti cuaca, frekuensi pengambilan nira, frekuensi pelatihan dan sebagainya di dalam nilai variabel output, bersama-sama dengan efek gabungan dari variabel input yang tidak terdefinisi di dalam fungsi produksi. Variabel acak vi merupakan variabel random shock yang secara identik terdistribusi normal dengan rataan ( i) bernilai 0 dan variansnya konstan atau N(0, σv2), simetris serta bebas dari ui. Variabel acak ui merupakan variabel non negatif dan diasumsikan terdistribusi secara bebas. Variabel ui disebut one-side disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi. Yi= produksi, Xji= input yang digunakan, β0= intersep, βj= parameter variabel penduga.

Model struktur produksi stokastik frontier pada gambar 2, dimana

komponen yang pasti dari model batas adalah f (Xi; β) dengan asumsi memiliki

karakteristik diminishing return to scale (skala pengembalian yang menurun). Misal pengrajin gula kelapa i menggunakan input sebesar Xi dan memperoleh output sebesar yi melampaui nilai pada bagian yang pasti dari fungsi produksi yaitu f (Xi; β). Hal ini disebabkan aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang cuaca yang baik (menguntungkan), dimana variabel vi positif. Sedangkan pengrajin j menggunakan input sebesar Xj dan memperoleh hasil sebesar yj, tetapi batas dari pengrajin gula kelapa j berada dibawah bagian yang pasti dari fungsi produksi,


(26)

karena aktivitas produksi pengrajin gula kelapa tersebut dipengaruhi oleh kondisi yang cuaca tidak baik (tidak menguntungkan) dengan nilai vj bernilai negatif (Battese, 1991).

Sumber: Collie, Rao dan Battese (1998)

Gambar 2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Penelitian Wahida (2005) mengenai estimasi tingkat efisiensi teknis usahatani padi dan palawija di perairan sungai brantas dengan aplikasi pendekatan produksi menyimpulakan bahwa rata-rata hanya dapat mengidentifikasi teknis cenderung bernilai tinggi, karena dipengaruhi dari pendugaan fungsi produksi rata-rata tidak dapat memisahkan perubahan teknologi murni dengan shock (Wahida, 2005). Sedangkan penelitian yang dilakukan Daryanto (2000) menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis petani padi di Jawa Barat. Sistem irigasi yang dibandingkan terdiri dari sistem irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan desa. Fungsi produksi dugaan yang digunakan adalah fungsi produksi translog stochastic frontier, dengan model efek inefisiensi teknis nonnetral. Variabel-variabel penjelas yang disertakan di dalam model efek inefisiensi teknis terdiri dari: (1) logaritma luas lahan, (2) rasio tenaga kerja yang disewa terhadap total tenaga kerja, dan (3) partisipasi petani di dalam program intensifikasi. Demikian juga Adhiana (2005) menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis usahatani lidah buaya dan Sinaga (2011) menggunakan analisis stochastic frontier untuk menganalisis usahatani teknis kentang dan tomat. Singh (2007) juga menggunakan pendekatan stochastic frontier untuk menganalisis efisiensi teknis gandum.

Keunggulan pendekatan frontier stokastik adalah dimasukkannya gangguan acak (disturbance term), kesalahan pengukuran dan kejutan eksogen yang berada di luar kontrol pengrajin. Sementara itu, beberapa keterbatasan dari pendekatan ini adalah : (1) teknologi yang dianalisis harus diformulasikan oleh struktur yang cukup rumit, (2) distribusi dari simpangan satu sisi harus dispesifikasi sebelum mengestimasi model, (3) struktur tambahan harus dikenakan terhadap distribusi inefisiensi teknis, dan (4) sulit diterapkan untuk usahatani yang memiliki lebih dari satu output. Metode pendugaan frontier production dengan Maximum Likelihood


(27)

Estimation (MLE). Maximum Likelihood Estimation (MLE) pada model stochastic frontier dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input produksi. Tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi,

intersep (β0) dan varians dari kedua komponen kesalahan vi dan ui.

Konsep Efisiensi

Efisiensi merupakan sebagai perbandingan antara nilai output terhadap input. Suatu metode produksi dapat dikatakan lebih efisien dari metode lainnya jika metode tersebut menghasilkan output yang lebih besar pada tingkat korbanan yang sama. Suatu metode produksi yang menggunakan korbanan yang paling kecil, juga dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya, jika menghasilkan nilai output yang sama besarnya. Tujuan pengrajin gula kelapa mengolah hasil sadapan niranya adalah untuk meningkatkan produksi dan keuntungan. Asumsi dasar dari efisiensi adalah untuk mencapai keuntungan maksimum dengan biaya minimum. Kedua tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi pengrajin gula kelapa dalam pengambilan keputusan untuk usaha gulanya. Dalam pengambilan keputusan usaha, seorang pengrajin yang rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibat oleh tambahan input itu. Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu proses produksi.

Menurut Yotopolus (1976) konsep efisiensi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) efisiensi teknis (technical efficiency), (2) efisiensi harga (price efficiency) dan (3) efisiensi ekonomis (economicefficiency). Efisiensi teknis mengukur tingkat produksi yang dicapai pada tingkat penggunaan masukan (input) tertentu. Seorang pengrajin gula kelapa dikatakan efisien secara teknis dari petani lainnya jika petani tersebut dapat menghasilkan output lebih besar pada tingkat penggunaan teknologi produksi yang sama. Pengrajin gula kelapa yang menggunakan input lebih kecil pada tingkat teknologi yang sama, juga dikatakan lebih efisien dari pengrajin gula lain, jika menghasilkan output yang sama besarnya.

Efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan pengrajin gula kelapa untuk menggunakan input dengan dosis/syarat yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki sehingga produksi dan pendapatan yang diperoleh maksimal. Tingkat produksi dan pendapatan usaha pengolahan gula kelapa sangat ditentukan oleh efisiensi pengrajin dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya kedalam berbagai alternatif aktivasi produksi. Efisiensi ekonomi adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif.

Menurut Debertin (1986), efisiensi ekonomi dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum (profit maximization) dan kriteria biaya minimum (cost minimization). Menurut Doll dan Orazem (1984), efisiensi ekonomi akan tercapai bila memenuhi syarat: (1) syarat yang menunjukkan hubungan fisik antara input dan output, bahwa proses produksi berada pada tahap II dimana terjadi efisiensi teknis, yaitu MPP menurun, dan (2) syarat kecukupan yang berhubungan dengan tujuan bahwa seorang produsen diasumsikan untuk memaksimumkan keuntungannya. Beattie dan Taylor (1985) bahwa keuntungan maksimum akan VMPy = Pxi yang menunjukkan efisiensi ekonomi. Dengan kata lain, menurut


(28)

Bravo-Ureta dan Pinheiro (1997), produk marginal untuk tiap pasangan input sama dengan rasio harganya atau MPPxi = �.

Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi yaitu pendekatan dari sisi penggunaan input dan pendekatan dari sisi output yang dihasilkan (Farrel, 1957). Pendekatan dari sisi input membutuhkan informasi harga input dan sebuah kurva isoquant yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output yang maksimal. Pendekatan dari sisi output yang dihasilkan adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat seberapa besar jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa mengubah jumlah input yang digunakan.

Sumber: Farrel (1957) dalam Coelli et al. (1998).

Gambar 3. Efisiensi Teknis dan Alokatif pada Orientasi Input

Gambar 3 menunjukkan efisiensi dari sisi penggunaan input, misal petani diasumsikan memproduksi output (Y) dengan menggunakan dua jenis input (X1 dan X2) dan S adalah kurva isoquant frontier untuk menghasilkan output maksimal. Kurva isoquant frontier SS’ menunjukkan kombinasi input per output (X1/Y dan X2/Y ) yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output Y0 = 1. Titik P dan Q menggambarkan dua kondisi suatu perusahaan dalam berproduksi menggunakan kombinasi input dengan proporsi input X1/Y dan X2/Y yang sama. Keduanya berada pada garis yang sama dari titik O untuk memproduksi satu unit Y0. Titik P berada di atas kurva isoquant, sedangkan titik Q menunjukkan perusahaan beroperasi pada kondisi secara teknis efisien (karena beroperasi pada kurva

isoquant frontier). Titik Q mengimplikasikan bahwa perusahaan memproduksi sejumlah output yang sama dengan perusahaan di titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Jadi, rasio OP/OQ menunjukkan efisiensi teknis (TE) perusahaan P, yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada P dapat diturunkan, rasio input per output (X1/Y : X2/Y konstan, sedangkan output tetap.

Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan. Garis

isocost (AA’) digambarkan menyinggung isoquant SS’ di titik Q’ dan memotong

0

A

A’

Q’

P

Q

R

X1/Y X2/Y


(29)

garis OP di titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang meminimumkan biaya produksi pada tingkat output tertentu karena slope isoquant sama dengan slope garis isocost. Titik Q secara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan di titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi dari pada di titik Q’. Jarak OR-OQ menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di titik Q’ (secara alokatif dan teknis efisien), sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di titik P adalah rasio

OR/OQ. Total efisiensi ekonomi (EE) adalah didefinisikan sebagai rasio OR/OP. Sehingga ukuran efisiensi teknis (Tehnical Efficiency atau TE) dan efisiensi alokatif (Allocative Efficiency atau AE) berdasarkan Gambar 3 sebagai berikut:

Efisiensi Teknis (TE) = ... (2.12)

Efisiensi Harga (AE) = ... (2.13) Maka:

Efisiensi Ekonomi (EE) = TE x AE = ... (2.14) Bentuk umum ukuran efisiensi teknis yang dicapai oleh observasi ke-i pada waktu ke-t didefinisikan sebagai berikut (Coelli, 1996):

TEi = �( ∗|�, )

�( ∗|� = 0, ) ... (2.15)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Efisiensi

Efisiensi produksi berkaitan dengan penggunaan input yang optimal. Penggunaan input yang optimal, maka akan meningkatkan produktivitas. Kesenjangan produktivitas antara produktivitas yang seharusnya dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani sering terjadi. Kesenjangan produktivitas tersebut dikarenakan adanya faktor yang sulit untuk diatasi petani seperti teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungan misalnya iklim. Gambar 4 menunjukkan perbedaan hasil yang disebabkan oleh 2 faktor tersebut menyebabkan kesenjangan produktivitas antara hasil eksperimen dengan potensial suatu usahatani. Selain itu, kesenjangan produktivitas biasanya juga terjadi antara produktivitas potensial usahatani dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani. Faktor yang menyebabkan kesenjangan produktivitas adalah (1) kendala biologis misalnya perbedaan varietas, masalah tanah, serangan hama, perbedaan kesuburan dan sebagainya, dan (2) kendala sosial ekonomi misalnya perbedaan besarnya biaya dan penerimaan usahatani, keterbatasan modal usahatani, harga produksi, kebiasaan dan sikap, kurangnya pengetahuan, tingkat pendidikan, adanya faktor ketidakpastian, resiko berusahatani dan sebagainya (Soekartawi dkk, 2011).


(30)

Sumber: Gomez, 1977 dalam Soekartawi dkk, 2011

Gambar 4. Model Perbedaan Hasil antara Hasil Lembaga Eksperimen dan Hasil yang dicapai dalam Usahatani

Penelitian mengenai gula kelapa memang telah banyak dilakukan sejak dahulu, hanya saja yang banyak dilakukan mengenai faktor yang mempengaruhi dalam peningkatan ataupun penurunan pendapat yang diterima oleh petani gula kelapa, penyimpangan terhadap mutu gula kelapa, kendala dalam agrondustri gula kelapa, sedangkan penelitian tentang terkait dengan daya dukung faktor internal dan eksternal dalam pengembangan usaha gula kelapa dan strategi pengembangannya masih sedikit dilakukan. Oleh karena itu dalam bagian penelitian-penelitian terdahulu ini menampilkan hasil-hasil yang memiliki kemiripan produk dan alat analisis.

Mustaufik (2010) dalam tulisannya mengenai Pengembangan Agroindustri Gula Kelapa Kristal Sebagai Sumber Gula Alternatif Untuk Mengurangi Ketergantungan Dunia Terhadap Gula Tebu di Kabupaten Banyumas menyatakan bahwa diperlukan perhatian dan pembinaan dalam bentuk teknoligi/IPTEK, manajemen dari perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan bantuan permodalan dari BUMN/Bank dan investor sehingga upaya pengembangan usaha gula kelapa diharapkan dapat mewujudkan pengembangan agroindustri gula kelapa yang prospektif serta memberikan dampak dan keuntungan, antara lain: (1) meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi gula semut, (2) terpenuhinya permintaan pasar gula semut baik untuk domestik maupun mancanegara,(3) berkembangnya produk gula alami alternatif sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap gula pasir (tebu), (4) meningkatkan pendapatan dan kesejahteran pengrajin gula kelapa, (5) berkembangnya peluang usaha baru (wirausaha baru) bagi masyarakat di sektor industri gula, dan memperluas kesempatan kerja baik wanita maupun pria, (6) meningkatkan masuknya investor ke daerah, (7) pemanfaatan sumber daya lokal (tanama kelapa) sehingga juga akan meningkatkan PAD dan daya saing dan otonomi daerah.


(31)

Dalam penelitian Utami (2008) tentang pengembangan usaha gula merah tebu di Kabupaten Rembang, menyatakan bahwa usaha gula merah tebu layak untuk dikembangkan dengan kedua kondisi, yaitu kondisi yang dilakukan saat ini (tanpa pengembangan) dan kondisi penerapan pengembangan. Nilai kriteria kelayakan untuk masing-masing industri sebagai berikut NPV sebesar Rp 257.968.831,00 dan Rp 854.471.865,00; IRR sebesar 40,60 %. dan 51,12 %; Net B/C sebesar 1,97 dan 3,34; BEP sebesar Rp. 195.968.791,00 atau 59.384 Kg/tahun dan Rp 158.721.400,00 atau 45.349 Kg/tahun; PBP sebesar 2,96 dan 1,89 tahun. Namun jika ditinjau dari indikator NPV, kondisi pengembangan usaha dengan menerapkan alternatif yang ada memiliki nilai NPV jauh lebih besar dibandingkan nilai NPV kondisi usaha tanpa pengembangan. Sehingga pilihan terbaik untuk mengembangkan usaha gula merah tebu adalah penerapan alternatif pengembangan yang ada, yang didukung pula oleh kriteria investasi lainnya.

Hasil Penelitian Wiji (2007) mengenai Analisis Pengembangan Sentra Jeruk Siam Pontianak Di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan usahatani Jeruk Siam Pontianak berdasarkankelayakan finansial dan ekonomi menguntungkan sehingga layak untuk dikembangkan, mempunyai dayasaing (kompetitif dan komparatif) yang cukup tinggi sehingga mampu bersaing di pasar international, dan mampu membiayai faktor domesiknya, dan dapat meningkatkan pendapatan pemerintah serta sistem pemasaran jeruk Siam Pontianak cukup efisien. Hal ini dibuktikan dengan hasil berbagai perubahan secara parsial yaitu adanya peningkatan harga input tradable maupun faktor domestik, maka dayasaing jeruk Siam Pontianak semakin menurun. Namun intervensi berupa pengembangan jaminan mutu produk, peningkatan efisiensi pemasaran dan promosi, usaha perbaikan infrastruktur fisik dan kelembagaan pasar masih perlu dilakukan untuk mengurangi fluktuasi harga yang terjadi. Implikasi secara makro, memproduksi sendiri buah unggulan tersebut lebih efisien dibandingkan dengan mengimpornya. Analisis dayasaing terhadap pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak terhadap struktur biaya produksi, biaya yang diinvestasikan oleh petani jeruk siam lebih besar daripada nilai tambah yang dapat diterimanya. Akibatnya pendapatan petani jeruk Siam Pontianak menjadi berkurang.

Gumbira-Said et al. (2003). Pengembangan industri pengolahan sabut kelapa layak dilaksanakan berdasarkan hasil kriteria investasi dimana di peroleh NPV bernilai positif, IRR diatas suku bunga komersial (22 %) dan Net B/C di atas satu. Analisisis nilai tambah pada skala optimal menunjukkan pengolahan mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 135.65 per butir kelapa dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan mencapai 75.35 persen, bagian tenaga kerja mencapai 62.01 persen dan bagian manajemen mencapai 62.01 persen dan agar distribusi kebutuhan investasi dan modal tersebar luas, skala optimal sebaiknya dilakukan selama 6 tahun investasi. Analisa daya dukung faktor internal dan eksternal dengan menggunakan analisis matrix IFE dan EFE yang dipetakan pada diagram SWOT, menunjukkan skor parameter peluang lebih besar dari parameter ancaman dan pengembangan agroindusti pengolahan sabut kelapa berada pada skenario optimis dan implementasi penuh merupakan alternatif terbaik.

Penelitian yang dilakukan oleh Darmawansyah (2003) mengenai maksimisasi sektor ekonomi unggulan untuk menunjang peningkatan penerimaan daerah (studi kasus di Kabupaten Takalar) dengan menggunakan metode linier programming untuk mencari solusi optimal dalam alokasi pemanfaatan lahan dan


(32)

sumber daya yang sifatnya terbatas yang pada akhirnya akan mengoptimalkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dan PAD, menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor unggulan yang mampu memberikan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 22.15 persen terhadap PAD dan PDRB. Di mana kondisi ini dapat dicapai jika penggunaan lahan di optimalkan untuk komoditas yang memiliki tingkat produktivitas serta nilai ekonomis tinggi dan memiliki potensi untuk dikembangkan di Takalar adalah padi, jagung, kacang ijo, kelapa, jambu mete, udang, bandeng dan sapi.

Kerangka Pemikiran

Dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan bagi pengrajin gula kelapa, maka penelitian ini bertujuan melihat bagaimana kondisi industri gula kelapa yang ada tetap mampu menghasilkan keuntungan (profit) yang ada bagi pelakunya. Melihat kondisi pergulaan yang semakin defisit, gula kristal ini dapat menjadi salah satu alternatif pemanis buatan alami yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat sehingga peluang pasar dan posisi tawar gula kelapa menjadi lebih baik melalui segmentasi pasar. Segmentasi pasar adalah suatu proses membagi pasar ke dalam segmen-segmen pelanggan potensial dengan kesamaan karakteristik yang menunjukkan adanya kesamaan perilaku pembeli. Segmentasi pasar memungkinkan perusahaan memandang pasar dari sudut yang unik dan cara yang berbeda, mampu lebih fokus sesuai keunggulan kompetitif dan dapat berdaya saing. Pasar gula semut diidentifikasi sebagai gula yang dikonsumsi kaum menengah ke atas, cenderung di jual di pasar-pasar modern dan umumnya mempunyai konsumen yang loyal dan setia serta diproduksi dengan tujuan tertentu.

Kondisi yang terjadi saat ini adalah bahwa pemerintah daerah Kabupaten Banyumas mulai ikut serta dalam pengembangan gula semut baik dari kebijakan teknis dan sosial ekonomi. Sebagai buktinya pertumbuhan gula semut masih belum optimal dan belum mampu mengeluarkan pengrajin gula kelapa dari kemiskinan. Kondisi di lapangan menunjukkan perkembangan gula semut masih berjalan lambat, masih banyak sentra-sentra gula kelapa di Kabupaten Banyumas yang belum memproduksi gula semut sehingga hal ini memerlukan kajian untuk melihat efisiensi produksi, serta pemasaran gula semut, termasuk hubungan antar pelaku yang terlibat didalamnya.

Dalam penelitian pengembangan gula kelapa ini, analisis data diawali dengan menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan tingkat efisiensi usaha gula kelapa dan efisiensi saluran pemasaran gula kelapa yang hasil akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pengrajin gula kelapa di Kabupaten Banyumas. Kerangka analisis penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.


(33)

Gambar 5. Kerangka Analisis Penelitian

Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teori dan kerangka konseptual, maka hipotesis adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor produksi gula kelapa diduga mempunyai pengaruh yang positif yaitu banyaknya pohon kelapa yang dideres, curahan waktu tenaga kerja, bahan bakar.

2. Usaha gula kelapa di Kabupaten Banyumas belum efisien secara teknis maupun alokatif.

3. Gula semut diduga memberikan keuntungan ekonomi lebih besar daripada gula cetak.

Analisis Kelayakan usaha

Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Produksi

Kesimpulan

Rendahnya Pendapatan yang di Terima Pengrajin Gula Kelapa

Upaya Peningkatan Pendapatan Pengrajin Gula Kelapa

Pasar Gula Kelapa Cetak

Produksi Gula Cetak

Peluang Pasar Gula Semut

Produksi Gula Semut

Implikasi Hasil Penelitian


(34)

3

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) oleh peneliti yaitu di Kabupaten Banyumas atas dasar pertimbangan daerah tersebut merupakan salah satu sentra penghasil gula kelapa cetak dan gula semut di Indonesia. Pengrajin gula kelapa juga sudah memiliki sertifikat pengakuan organik Control Union Certification (CUC) yang meliputi standar organik dari USDA (Amerika Serikat), NOP (Eropa) dan JAS (Jepang). Lokasi pengambilan sampel berada pada Kecamatan Cilongok meliputi 5 desa, yaitu Desa Pageraji, Desa Cilongok, Desa Kasegeran, Desa Soekawera, Desa Panusupan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai dengan bulan Mei 2013.

Metode Penarikan Contoh

Responden pada penelitian ini adalah pengrajin gula kelapa yang menghasilkan gula cetak dan gula semut. Penarikan contoh diambil sebanyak 70 pengrajin gula cetak dan 35 pengrajin gula semut yang dilakukan secara acak (random sampling) (Wirartha, 2006). Penarikan contoh diambil secara proposional yang tersebar di lima desa pada Kecamatan Cilongok. Penentuan sampel yang diambil berdasarkan rekomendasi dari petugas penyuluh dari Balai Desa setempat. Hal ini dikarenakan beberapa lokasi tempat tinggal dari responden memiliki medan yang sulit ditempuh, beberapa responden tidak cukup pandai berbahasa Indonesia dan tidak semua pengrajin gula kelapa yang berproduksi setiap hari.

Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan untuk kajian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data cross-section. Data yang berbentuk cross-section diperoleh dari wawancara yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner pada pengrajin gula kelapa. Data cross-section ini merupakan data yang dibutuhkan dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, pendapatan, serta pemasaran yang dilakukan pengrajin gula kelapa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Data sekunder diperoleh dari laporan yang dikeluarkan oleh instansi-instansi yang berkaitan langsung dengan gula kelapa dan program pengembangan industri gula kelapa di Kabupaten Banyumas yaitu Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Bank Indonesia cabang Purwokerto, Kantor Badan Pusat Statistik daerah Banyumas, Kantor Kecamatan, dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara yaitu mengadakan tanya jawab dengan pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan penelitian dengan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya oleh


(35)

peneliti. Observasi yaitu melihat dan terlibat langsung pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan pengrajin gula kelapa di Kecamatan Cilongok. Studi pustaka yaitu mempelajari hasil-hasil literature, internet serta sumber lain yang relevan dengan penelitian.

Pembatasan Masalah

Data yang diambil adalah data penggunaan faktor-faktor produksi, harga input dan output pada saat penelitian. Periode data adalah selama satu bulan karena produksi berlangsung setiap hari dan terjadi fluktuasi jumlah produksi setiap harinya.

Definisi dan Pengukuran Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Gula kelapa cetak adalah gula kelapa pada saat akhir prosesnya dilakukan pencetakan dengan menggunakan cetakan yang telah ada, dinyatakan dalam satuan unit usaha.

2. Gula Semut adalah gula kelapa pada saat akhir prosesnya dibuat kristal atau serbuk dengan menggunakan alat yang telah ada, dinyatakan dalam satuan unit usaha.

3. Nira digunakan untuk membuat gula kelapa dalam sekali produksi, dinyatakan dalam satuan pohon. Pengukuran nira ini menggunakan pendekatan banyaknya pohon yang dideres oleh pengrajin gula kelapa setiap harinya.

4. Bahan Bakar dalam proses pembuatan gula kelapa adalah dengan menggunakan kayu bakar dan bubuk gergajian. Untuk kayu bakar dinyatakan dalam satuan meter kubik dan untuk bubuk gergajian dinyatakan dalam satuan kilogram.

5. Kapur (gamping) digunakan sebagai campuran pada saat pengambilan nira kelapa, satuan yang digunakan adalah kilogram.

6. Kulit Manggis digunakan sebagai campuran pada saat pengambilan nira kelapa, satuan yang digunakan adalah kilogram.

7. Tenaga kerja digunakan dalam pembuatan gula kelapa, dinyatakan dalam satuan Hari Orang Kerja (HOK).

8. Biaya Produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam proses pembuatan gula kelapa. Biaya produksi ini terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung volume produksi. Biaya tetap dikeluarkan untuk membayar penyusutan alat-alat produksi dalam satuan rupiah per bulan (Rp/bulan). Biaya tetap meliputi biaya penyusutan peralatan, antara lain: wajan, cetakan gula, pengaduk, pongkor, dan lain-lain. Biaya variabel adalah biaya yang nilainya berubah secara proposional tergantung pada besar kecilnya volume produksi. Biaya variabel dikeluarkan unutk membayar modal kerja atau input yang habis dalam satu periode produksi, meliputi biaya nira, biaya bahan bakar, biaya kulit manggis, biaya kapur, dan biaya tenaga kerja.

9. Jumlah produksi adalah banyaknya gula kelapa (cetak dan semut) yang dihasilkan oleh pengrajin dalam satu periode produksi, dinyatakan dalam satuan kilogram.


(36)

10. Harga produk adalah harga gula kelapa (cetak dan semut) yang dijual oleh pengrajin, baik ke pengepul atau ke pedagang besar dan dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.

11. Penerimaan usaha adalah penjualan gula kelapa cetak dan gula semut selama satu bulan, hasil kali antara volume penjualan dan harga jual per-unit, dinyatakan dalam satuan rupiah.

12. Pendapatan usaha adalah pendapatan bersih selama satu bulan dari usaha pengolahan gula kelapa (cetak dan semut), dinyatakan dalam satuan rupiah.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum usaha pengolahan gula kelapa cetak dan gula semut yang dilakukan oleh pengrajin gula kelapa di Kabupaten Banyumas, khususnya di Kecamatan Cilongok yang merupakan sentra penghasil gula kelapa terbesar di Kabupaten Banyumas. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui jumlah pendapatan yang diterima oleh pengrajin gula kelapa, jumlah biaya produksi yang harus dikeluarkan dan tingkat efisiensi usaha pengolahan gula kelapa cetak dan gula semut dengan menggunakan analisis finansial dan efisiensi usaha pengolahan gula cetak dan gula semut.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak

Microsoft Excel 2010, SAS 9.1, dan Frontier 4.1. Data yang telah diolah selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan diuraikan secara deskriftif.

Metode Analisis Data a. Analisis Pendapatan

Dalam melakukan analisis pendapatan usaha pengolahan gula kelapa cetak dan gula semut, perlu dilakukan pencatatan seluruh penerimaan dan biaya total produksi gula kelapa cetak dan gula semut dalam jangka waktu tertentu. Biaya total adalah nilai semua input yang dikeluarkan untuk proses produksi. Soekartawi (2002), menjelaskan bahwa pendapatan usaha pengolahan gula kelapa dibedakan menjadi pendapatan atas biaya tunai dan biaya total. Pendapatan atas biaya tunai adalah pendapatan atas biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani. Sedangkan pendapatan atas biaya total adalah pendapatan dimana semua input milik keluarga juga diperhitungkan sebagai biaya. Secara matematis perhitungan penerimaan total, biaya dan pendapatan dirumuskan sebagai berikut:

TR = Py x Y

TC = TFC + TVC

π tunai = TRtotal – TCtunai


(37)

dimana :

TRtotal : Total penerimaan tunai usaha pengolahan gula kelapa (Rupiah) TCtunai : Total biaya tunai usaha pengolahan gula kelapa (Rupiah)

π : Pendapatan (Rupiah)

Bd : Biaya diperhitungkan (Rupiah) Py : Harga output (Rupiah)

Y : Jumlah output (Rupiah) TVC : Total biaya vaiabel (Rupiah) TFC : Total biaya tetap (Rupiah)

Penerimaan usaha pengolahan gula kelapa terbagi atas penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai adalah nilai uang yang diperoleh dari penjualan produk yang dihasilkan oleh pengrajin gula kelapa, yaitu jumlah gula kelapa cetak atau gula semut yang dijual dikalikan dengan harga jual produk gula kelapa cetak atau gula semut. Penerimaan total adalah keseluruhan nilai produksi usaha pengolahan gula kelapa baik dijual, dikonsumsi keluarga dan dijadikan persediaan. Selain itu, biaya usaha pengolahan gula kelapa juga dibagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai merupakan jumlah uang yang dibayarkan untuk membeli barang dan jasa bagi kebutuhan usaha pengolahan gula kelapa, sedangkan biaya total merupakan seluruh nilai yang dikeluarkan bagi usaha pengolahan gula kelapa, baik tunai maupun tidak tunai.

Untuk mengetahui kelayakan/efisiensi usaha pengolahan gula gula kelapa di Kabupaten Banyumas yang telah dijalankan selama ini dengan menggunakan perhitungan R/C ratio dengan membandingkan nilai output terhadap nilai inputnya atau dengan kata lain membadingkan penerimaan usaha pengolahan gula kelapa dengan pengeluarannya. R/C ratio yang merupakan singkatan dari Return Cost Ratio juga digunakan untuk mengetahui besarnya penerimaan yang dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan pada suatu kegiatan produksi gula kelapa. Jika rasio R/C bernilai lebih dari satu (R/C > 1), maka usaha pengolahan gula kelapa layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya, jika rasio R/C bernilai kurang dari satu (R/C < 1), maka usaha pengolahan gula kelapa tidak layak untuk dilaksanakan.

Analisi R/C rasio dilakukan berdasarkan jenis biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya tunai dan biaya total. Adapun rumus R/C rasio atas biaya tunai adalah sebagai berikut:

R/C atas Biaya Tunai = �

� ... (3.4) Sedangkan rumus R/C rasio atas biaya total adalah sebagai berikut:

R/C atas Biaya Total = �

� ... (3.5)

Model Fungsi Produksi

Variabel produksi adalah faktor-faktor yang digunakan secara langsung dalam proses produksi yang akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Adapun persamaan produksi dalam penelitian ini dibedakan menjadi persamaan produksi gula cetak (3.6) dan persamaan produksi gula semut (3.7). variabel-variabel yang mempengaruhi produksi yaitu jumlah pohon yang dideres, tenaga kerja dan bahan bakar. Dalam memproduksi gula kelapa sebenarnya digunakan kapur (gamping) dan kulit manggis, akan tetapi penelitian ini tidak dimasukkan ke


(1)

Hasil Pendugaan Model Produksi Gula Kelapa Cetak Cobb-Douglas Stochastic Frontier Metode MLE

Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal

data file = g21.dta

Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function

The dependent variable is logged the ols estimates are :

coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.13307672E+01 0.67047772E+00 0.19848046E+01 beta 1 0.63711187E+00 0.10807809E+00 0.58949215E+01 beta 2 0.42023280E+00 0.15155881E+00 0.27727375E+01 beta 3 0.13912908E+00 0.59915702E-01 0.23220804E+01 sigma-squared 0.41876966E-01

log likelihood function = 0.13789399E+02 the final mle estimates are :

coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.16613672E+01 0.56717148E+00 0.29292151E+01 beta 1 0.74880047E+00 0.10070345E+00 0.74356982E+01 beta 2 0.29732064E+00 0.14277324E+00 0.20824675E+01 beta 3 0.14992172E+00 0.52791292E-01 0.28398949E+01 delta 0 -0.28173290E-01 0.99764315E+00 -0.28239847E-01 delta 1 -0.25311173E+00 0.34426984E+00 -0.73521320E+00 delta 2 -0.30588654E+00 0.23095885E+00 -0.13244201E+01 delta 3 -0.77630711E-02 0.70660807E-01 -0.10986389E+00 delta 4 0.25400749E+00 0.34467165E+00 0.73695498E+00 delta 5 -0.64132150E+00 0.64240963E+00 -0.99830618E+00 delta 6 0.98156441E+00 0.11331272E+01 0.86624380E+00 sigma-squared 0.72735035E+00 0.76311197E+00 0.95313712E+00 gamma 0.96973774E+00 0.33713097E-01 0.28764421E+02 log likelihood function = 0.16654726E+02

LR test of the one-sided error = 0.57306542E+01 with number of restrictions = 8

[note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 32


(2)

number of cross-sections = 70 number of time periods = 1 total number of observations = 70 thus there are: 0 obsns not in the panel technical efficiency estimates :

firm year eff.-est. 1 1 0.93092570E+00 2 1 0.84295877E+00 3 1 0.83351103E+00 4 1 0.96563907E+00 5 1 0.96782650E+00 6 1 0.88002203E+00 7 1 0.89580975E+00 8 1 0.94488118E+00 9 1 0.96631338E+00 10 1 0.85740461E+00 11 1 0.92470867E+00 12 1 0.50501374E+00 13 1 0.92943556E+00 14 1 0.91413869E+00 15 1 0.94432041E+00 16 1 0.94144662E+00 17 1 0.93456145E+00 18 1 0.91319585E+00 19 1 0.91898345E+00 20 1 0.92362505E+00 21 1 0.95518287E+00 22 1 0.88105047E+00 23 1 0.90966781E+00 24 1 0.91568092E+00 25 1 0.93729529E+00 26 1 0.91159117E+00 27 1 0.93032278E+00 28 1 0.90782068E+00 29 1 0.90870796E+00 30 1 0.93706128E+00 31 1 0.56527413E+00 32 1 0.90117486E+00 33 1 0.90067376E+00 34 1 0.93157065E+00 35 1 0.90025494E+00 36 1 0.85749363E+00 37 1 0.91745207E+00 38 1 0.90247687E+00


(3)

39 1 0.92224108E+00 40 1 0.90850224E+00 41 1 0.93359561E+00 42 1 0.93607796E+00 43 1 0.89640270E+00 44 1 0.94216060E+00 45 1 0.85785738E+00 46 1 0.92491516E+00 47 1 0.88886637E+00 48 1 0.91004340E+00 49 1 0.86079687E+00 50 1 0.83153623E+00 51 1 0.91505037E+00 52 1 0.92726870E+00 53 1 0.88910506E+00 54 1 0.88476900E+00 55 1 0.92159099E+00 56 1 0.92440488E+00 57 1 0.92399265E+00 58 1 0.88124425E+00 59 1 0.91121204E+00 60 1 0.89113156E+00 61 1 0.91620366E+00 62 1 0.92565330E+00 63 1 0.84412344E+00 64 1 0.77400408E+00 65 1 0.89048134E+00 66 1 0.88272517E+00 67 1 0.90795734E+00 68 1 0.72179857E+00 69 1 0.83386808E+00 70 1 0.90469601E+00 mean efficiency = 0.89271071E+00


(4)

Hasil Pendugaan Model Produksi Gula Semut Cobb-Douglas

Stochastic Frontier Metode MLE Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal

data file = 9.dta

Tech. Eff. Effects Frontier (see B&C 1993) The model is a production function

The dependent variable is logged the ols estimates are :

coefficient standard-error t-ratio beta 0 -0.38045496E+00 0.37676338E+00 -0.10097981E+01 beta 1 0.37578269E+00 0.15867146E+00 0.23683067E+01 beta 2 0.78948318E+00 0.26265654E+00 0.30057625E+01 beta 3 0.49910589E-01 0.10291908E+00 0.48494982E+00 sigma-squared 0.11891596E-01

log likelihood function = 0.30019626E+02 the final mle estimates are :

coefficient standard-error t-ratio beta 0 0.17604666E+00 0.20396376E+00 0.86312715E+00 beta 1 0.29010724E+00 0.14245781E+00 0.20364433E+01 beta 2 0.62323135E+00 0.20442956E+00 0.30486362E+01 beta 3 0.21308949E+00 0.51797025E-01 0.41139330E+01 delta 0 0.30434709E-02 0.99692827E+00 0.30528484E-02 delta 1 0.26570978E-01 0.55974028E-01 0.47470191E+00 delta 2 0.10304947E-01 0.17978782E-01 0.57317272E+00 delta 3 -0.55987574E-01 0.13101568E-01 -0.42733491E+01 delta 4 -0.28211497E-01 0.56194116E-01 -0.50203650E+00 delta 5 -0.32880336E-01 0.32323929E-01 -0.10172135E+01 delta 6 0.74077821E-01 0.46787332E-01 0.15832880E+01 sigma-squared 0.12228260E-01 0.58615858E-03 0.20861693E+02 gamma 0.99999999E+00 0.17212243E+00 0.58098181E+01 log likelihood function = 0.36471297E+02

LR test of the one-sided error = 0.12903343E+02 with number of restrictions = 8

[note that this statistic has a mixed chi-square distribution] number of iterations = 31


(5)

(maximum number of iterations set at : 100) number of cross-sections = 35

number of time periods = 1 total number of observations = 35 thus there are: 0 obsns not in the panel technical efficiency estimates :

firm year eff.-est. 1 1 0.94001816E+00 2 1 0.95864920E+00 3 1 0.76491322E+00 4 1 0.86801301E+00 5 1 0.80039813E+00 6 1 0.81517146E+00 7 1 0.84788842E+00 8 1 0.76361488E+00 9 1 0.83474733E+00 10 1 0.75177836E+00 11 1 0.78500064E+00 12 1 0.96859277E+00 13 1 0.89715887E+00 14 1 0.96345882E+00 15 1 0.91255313E+00 16 1 0.77594391E+00 17 1 0.85277234E+00 18 1 0.88366695E+00 19 1 0.72375614E+00 20 1 0.96413405E+00 21 1 0.98608083E+00 22 1 0.74697505E+00 23 1 0.83474733E+00 24 1 0.81441980E+00 25 1 0.87822589E+00 26 1 0.94525267E+00 27 1 0.73460282E+00 28 1 0.98469129E+00 29 1 0.99978783E+00 30 1 0.77037183E+00 31 1 0.69515870E+00 32 1 0.97989807E+00 33 1 0.73592332E+00 34 1 0.96859277E+00 35 1 0.81178292E+00 mean efficiency = 0.85596403E+00


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 31 Mei 1986, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Nikalau Ahkaf dan Ibu Suaibatul Aldin Islamia. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis), Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada Program Pascasarjana IPB.