Keragaan In Vitro dan In Vivo Hibrida Somatik antara Solanum melongena cv. Dourga dengan Solanum torvum Sw.

KERAGAAN IN VITRO DAN IN VIVO HIBRIDA SOMATIK ANTARA
Solanum melongena cv. DOURGA DENGAN Solanum torvum Sw.

AGUS JOKO SANTOSO

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keragaan In Vitro dan
In Vivo Hibrida Somatik antara Solanum melongena cv. Dourga dengan Solanum
torvum Sw. adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Agus Joko Santoso
NIM A24080025

4

5

ABSTRAK
AGUS JOKO SANTOSO. Keragaan In Vitro dan In Vivo Hibrida Somatik antara
Solanum melongena cv. Dourga dengan Solanum torvum Sw. Dibimbing oleh
AGUS PURWITO dan ALI HUSNI.
Terung adalah tanaman yang mudah terserang oleh beberapa penyakit.
Salah satu usaha perbaikan yang dilakukan adalah merakit kultivar terung dengan
kerabat liarnya yang memiliki sifat ketahanan melalui fusi protopas. Penelitian ini
dilakukan untuk mempelajari keragaan in vitro dan in vivo hibrida somatik antara
Solanum melongena cv. Dourga dengan Solanum torvum Sw. Penelitian ini
merupakan penelitian faktor tunggal dengan tujuh taraf klon, yaitu Solanum
melongena cv. Dourga, Solanum torvum Sw., dan 5 klon hibrida somatik (SMST1,

SMST2, SMST3, SMST4, and SMST5) yang disusun menggunakan Rancangan
Acak Lengkap. Peubah yang diamati antara lain tinggi tanaman, jumlah daun,
panjang daun, panjang tangkai daun, jumlah akar, panjang akar, jumlah buku,
warna batang, warna tangkai daun, jumlah duri pada permukaan daun, dan bentuk
lobus daun. Pada kondisi in vitro, pertumbuhan Solanum torvum Sw. berbeda
sangat nyata dengan kelima klon hibrida somatik. Klon SMST1, SMST2, dan
SMST4 menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dari klon SMST3 dan
SMST5. Pada kondisi in vivo, klon-klon yang diuji memiliki kekerabatan yang
lebih dekat dengan Solanum torvum Sw.
Kata kunci: Keragaan fenotipik, Terung pipit, Takokak, Terung putih.

ABSTRACT
AGUS JOKO SANTOSO. In Vitro and In Vivo Variability of Somatic Hybrid
between Solanum melongena cv. Dourga with Solanum torvum Sw. Supervised by
AGUS PURWITO and ALI HUSNI.
Eggplant is the plant which susceptible to several diseases. One attempt to
improve these caracters is combining the eggplant cultivar with its wild relatives
through protoplast fusion. The research was conducted to study the variability in
vitro and in vivo of somatic hybrids between Solanum melongena cv. Dourga with
Solanum torvum Sw. This study used seven clones, Solanum melongena cv.

Dourga, Solanum torvum Sw., and 5 clones of somatic hybrids (SMST1, SMST2,
SMST3, SMST4, and SMST5) was arranged with completely randomized design
single factor. The variables measured were plant height, number of leaves, leaf
length, petiole length, number of roots, root length, number of stem segment, stem
color, petiole color, the number of spines on the leaf surface, and leaf blade
lobing. In in vitro conditions, the growth of Solanum torvum Sw. significantly
different with the five somatic hybrid clones, with higher vigor. Clones SMST1,
SMST2, and SMST4 showed better growth than clone SMST3 and SMST5. In in
vivo condition, the clones tested had a similarity with Solanum torvum Sw.
Keywords: Phenotypic variability, Protoplast fusion, Turkey berry, White eggplant.

6

KERAGAAN IN VITRO DAN IN VIVO HIBRIDA SOMATIK ANTARA
Solanum melongena cv. DOURGA DENGAN Solanum torvum Sw.

AGUS JOKO SANTOSO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

7

8
Judul Skripsi : Keragaan In Vitro dan In Vivo Hibrida Somatik antara Solanum
melongena cv. Dourga dengan Solanum torvum Sw.
Nama
: Agus Joko Santoso
NIM
: A24080025


Disetujui oleh

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr.
Pembimbing I

Dr. Drs. Ali Husni, M.Si.
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

9

PRAKATA
Segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini

dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Muhammad Saw.
Penelitian yang berjudul Keragaan In Vitro dan In Vivo Hibrida Somatik
antara Solanum melongena cv. Dourga dengan Solanum torvum Sw. ini didorong
oleh keinginan untuk mendapatkan informasi keragaman genetik tanaman terung
hasil fusi protoplas dengan melihat keragaman pertumbuhan dan morfologi dari
hibrida somatik pada tahap in vitro dan in vivo.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Agus purwito, MSc.Agr.
dan Dr. Drs. Ali Husni, M.Si. selaku pembimbing yang telah memberikan saran,
arahan, dan masukan mulai perencanaan, pelaksanaan, dan penyusunan skripsi ini.
Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Teh Juju dan seluruh staf
Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura
IPB, Pak Milin dan seluruh pegawai lapang kebun percobaan Cikabayan, Pak
Joko dan seluruh Staf BB Biogen yang telah membantu persiapan dan
pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala dukungan moril dan materiil. Terima
kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada Sime Darby yang telah memberikan
dana penelitian melalui program beasiswa Minamas.
Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, April 2013


Agus Joko Santoso

10

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Terung
Terung Pipit
Fusi Protoplas
Kultur Jaringan

METODE
Waktu dan Tempat
Bahan Percobaan
Metode Percobaan
Pelaksanaan Percobaan
Pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Tanaman
Keragaan Fenotipik Tanaman In Vitro
Tinggi Tanaman
Jumlah Daun
Jumlah Akar
Panjang Akar
Jumlah Buku
Morfologi Batang dan Daun
Keragaan Fenotipik Tanaman In Vivo
Tinggi Tanaman
Jumlah Daun
Panjang Daun
Panjang Tangkai Daun

Jumlah Duri pada Permukaan Atas Daun
Morfologi Batang
Morfologi Daun
Morfologi Bunga
Analisis Gerombol
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii
vii
1
1
2
2
2

2
2
2
4
4
5
6
6
7
7
8
8
9
9
11
12
13
13
14
15

16
16
16
17
18
18
18
19
21
22
23
24
24
25
25
29
31

11

DAFTAR TABEL
11.

Rekapitulasi uji F dari peubah vegetatif yang diamati pada
keragaan in vitro klon yang diuji umur 1-5 MST
22. Rata-rata tinggi tanaman pada keragaan in vitro klon yang diuji
umur 2-5 MST
3. Rata-rata jumlah daun pada keragaan in vitro klon yang diuji
umur 1-5 MST
4. Rata-rata jumlah akar pada keragaan in vitro klon yang diuji
umur 2-5 MST
5. Rata-rata panjang akar pada keragaan in vitro klon yang diuji
umur 2-5 MST
6. Rata-rata jumlah buku klon yang diuji pada kondisi in vitro 5
MST
37. Rekapitulasi uji F dari peubah vegetatif yang diamati pada
keragaan in vivo klon yang diuji
48. Rata-rata tinggi tanaman klon yang diuji pada kondisi in vivo
umur 1-5 MST
59. Rata-rata jumlah daun klon yang diuji pada kondisi in vivo umur
1-5 MST
610. Rata-rata panjang daun, panjang tangkai daun, dan jumlah duri
permukaan daun klon yang diuji pada kondisi in vivo 5 MST
711. Matrik perbedaan morfologi tanaman terung pada percobaan in
vivo
812. Pengelompokan tanaman dengan kekerabatan lebih dari 80%

12
12
13
14
15
15
17
17
18
19
20
24

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Buah Solanum melongena cv. Dourga
Terung pipit (Solanum torvum Sw.)
Kondisi umum klon yang diuji pada percobaan in vitro umur 5 MST
Kondisi klon yang diuji pada minggu kedua aklimatisasi
Klon yang diuji pada percobaan in vivo umur 5 MST
Klon yang diuji pada percobaan in vitro umur 5 MST
Warna batang klon yang diuji pada kondisi in vivo umur 5 MST
Duri pada permukaan atas daun
Bentuk daun klon yang diuji pada kondisi in vivo umur 5 MST
Bentuk bunga klon yang diuji pada kondisi in vivo
Dendogram klon berdasarkan karakter kualitatif dan kuantitatif

3
4
10
10
11
16
19
21
22
23
24

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

Kriteria skoring analisis gerombol
Skoring analisis gerombol

29
30

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terung (Solanum melongena L.) adalah salah satu tanaman komersial
penting yang dimanfaatkan buahnya untuk dikonsumsi sebagai sayuran. Terung
termasuk tanaman herba tegak dan berkayu dengan tinggi antara 0.3 sampai 1.5
meter. Tanaman ini berasal dari India dan saat ini telah tersebar di daerah tropis
lainnya (Wijayakusuma, 2004).
Terung merupakan sayuran buah penting dengan produksi dunia mencapai
lebih dari 31 juta ton. Produsen terbesar terung adalah Cina (17 juta ton), India (8
juta ton), Mesir (1 juta ton), Turki (0.9 juta ton), serta Jepang dan Italia (masingmasing 0.4 juta ton) (Daunay dan Janick, 2007). Produksi terung di Indonesia pun
terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2005 produksi terung di Indonesia
mencapai jumlah 333 328 ton dan pada tahun 2011 produksi terung nasional
meningkat sebesar 55.85% menjadi 519 481 ton (BPS, 2012). Meningkatnya
produksi ini menandakan bahwa terung merupakan sayuran yang cukup digemari
oleh masyarakat sehingga pengembangan komoditas terung perlu terus dilakukan.
Terung sangat mudah terserang penyakit. Salah satu penyakit yang menjadi
permasalahan serius pada tanaman terung di daerah tropis adalah penyakit layu
bakteri yang disebabkan oleh Rastolnia solanacearum (Kallo, 1986). Penyakit ini
dapat menular melalui tanah yang terkontaminasi, peralatan, air, serangga, atau
melalui benih terinfeksi dan persemaian. Beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk mengatasi penyakit ini antara lain dengan menggunakan kultivar tahan,
benih bersertifikat, fumigasi, mikroba antagonis sebagai agen biokontrol,
perbaikan sistem budidaya tanaman, perbaikan tanah, pengendalian yang
terintegrasi, serta mutan virulen R. Solanacearum (Tahat dan Sijam, 2010).
Adapun cara yang paling efektif dan efisien untuk menanggulangi penyakit
tersebut adalah dengan menggunakan varietas tahan (Husni et al., 2004). Akan
tetapi, sumber ketahanan umumnya terdapat pada spesies liar seperti Solanum
torvum Sw. (Kallo, 1986; Budi, 2002; Husni et al., 2004), Solanum Xantocarpum,
Solanum taxanum (Kallo, 1986), dan Solanum aethiopicum (Saputra, 2002),
sehingga pemindahan sifat sulit dilakukan dengan persilangan konvensional
karena inkompatibilitas yang tinggi (Collonier et al., 2001). Persilangan seksual
antara terung budidaya dengan Solanum torvum menghasilkan hibrida bersifat
steril dengan viabilitas polen sangat rendah karena terjadi abnormalitas di setiap
tahap meiosis (McCommon dan Honma, 1983). Oleh karena itu, salah satu teknik
yang dapat dilakukan untuk memindahkan sumber ketahanan ini adalah dengan
teknik fusi protoplas (Husni et al., 2004).
Beberapa penelitian tentang fusi protoplas Solanum melongena dengan
kerabat liarnya untuk menghasilkan hibrida yang resistan terhadap penyakit layu
bakteri telah dilakukan. Hasil penelitian Saputra (2002) membuktikan bahwa fusi
protoplas Solanum melongena L. dengan Solanum aethiopicum menghasilkan
hibrida somatik yang lebih tahan dari kedua tetuanya. Budi (2002) telah
melakukan pengujian terhadap 21 nomor tanaman hasil fusi protoplas S.
melongena cv. Dourga dengan S. torvum CN2 pada dua tahap percobaan dan
menemukan tiga nomor tanaman yang konsisten ketahanannya terhadap R.

2
Solanacearum. Mariska dan Husni (2006) telah melakukan fusi protoplas terung
dengan takokak namun menghasilkan hibrida hasil fusi yang tidak dapat
menghasilkan buah. Meskipun telah ditemukan hibrida somatik hasil fusi
protoplas S. melongena L. dengan S. torvum Sw. yang tahan terhadap penyakit
layu bakteri, penelitian lanjutan untuk mengetahui keragaan yang dibawa oleh
hibrida somatik perlu dilakukan.

Perumusan Masalah
1.
2.

Pada penelitian ini, masalah yang dapat dirumuskan antara lain:
Apakah pertumbuhan klon hibrida somatik memiliki perbedaan dengan
pertumbuhan kedua tetuanya?
Apakah terdapat gabungan sifat-sifat fenotipik yang diturunkan oleh tetua
Solanum melongena cv. Dourga dan Solanum torvum Sw. pada klon-klon
hibrida somatik?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakter fenotipik individu hibrida
somatik antara Solanum melongena cv. Dourga dengan Solanum torvum Sw.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan tambahan informasi baru mengenai keragaan in
vitro dan in vivo hibrida somatik antara Solanum melongena cv. Dourga dengan
Solanum torvum Sw. yang akan berguna bagi penelitian dan pengembangan
terung hibrida di masa yang akan datang.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada keragaan in vitro dan in vivo
hibrida somatik tanpa melibatkan faktor produksi. Karakter yang diamati terbatas
pada karakter kuantitatif dan karakter kualitatif tanaman pada fase vegetatif.

TINJAUAN PUSTAKA
Terung
Terung (Solanum melongena L.) adalah salah satu jenis tanaman sayuran
yang diklasifikasikan ke dalam genus Solanum, famili Solanaceae, ordo Solanales,
subkelas Asteridae, kelas Magnoliopsida, divisi Magnoliophyta, superdivisi
Spermatophyta, subkingdom Tracheobionta (USDA, 2012).

3
Terung termasuk tanaman tahunan yang berumur singkat pada daerah tropis,
dan diproduksi sebagai tanaman semusim di daerah subtropis. Terung dapat
tumbuh membentuk semak hingga tumbuh tinggi antara 0.5 sampai 2.5 meter.
Pertumbuhan terung bersifat indeterminate. Tanaman ini dapat menghasilkan
buah dengan jumlah sedikit ataupun banyak, tergantung pada setiap kultivar.
Terung membentuk semak dengan memproduksi tunas-tunas baru dari ketiak
daunnya. Akar tunggang terung sangat kuat dan akar-akarnya menyebar dengan
kedalaman sedang. Batangnya tegak dan bercabang, serta dapat menjadi kayu
dengan cepat. Beberapa jenis terung ada yang berduri. Daun terung berukuran
besar, tumbuh berselang-seling, dan permukaannya ditumbuhi oleh rambutrambut halus berwarna abu-abu yang cukup tebal, khususnya pada tipe-tipe liar.
Daunnya berbentuk bulat telur dengan tepi yang bergelombang. Pangkal daun
berbentuk setengah lingkaran, sedangkan ujungnya meruncing (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1999).
Terung dimanfaatkan buahnya untuk dikonsumsi. Tanaman ini diperkirakan
berasal dari India dan telah tercatat tumbuh di Cina lima abad yang lalu. Terung
tumbuh pada akhir musim semi, musim panas, dan musim gugur di sebagian besar
daerah utara. Tanaman ini merupakan tanaman yang membutuhkan cuaca hangat
dan membutuhkan waktu 100 sampai 140 hari dari persemaian hingga berbuah
(Splittstoesser,1990).
Terung memiliki banyak kultivar. Salah satu kultivar terung introduksi
adalah Solanum melongena cv. Dourga (Gambar 1). Solanum melongena cv.
Dourga memiliki tinggi sekitar 31.60 cm dengan pertumbuhan yang pendek atau
kerdil, gemuk, dan tegak. Ukuran batang besar, berwarna hijau, bentuk atau
penampang batang membujur bulat dengan pertumbuhan cabang simpodial dan
letaknya berselang. Daun berwarna hijau, bentuk elips dengan pinggiran atau tepi
daun rata dan dasar daun berbentuk hati. Permukaan daun berbulu, kasar dan rata,
tulang daun menyirip, berukuran kecil, berbulu, dan berwarna hijau. Jumlah daun
Solanum melongena cv. Dourga sekitar 37.6 helai. Petiol berwarna hijau dan
berbentuk bulat, umur berbunga sekitar 51.80 hari, dan jumlah bunga 31 bunga
per tanaman (Rochmah, 2001).

1 cm
Gambar 1 Buah Solanum melongena cv. Dourga

4
Umur panen Solanum melongena cv. Dourga berbanding terbalik dengan
umur berbunga, dan umur berbunga tidak mempengaruhi persentase terbentuknya
buah karena bunga tanaman terung cenderung rontok atau gugur setelah mekar.
Tipe buah tunggal, buah berwarna putih, berbentuk bulat panjang dengan diameter
bagian ujung buah lebih besar dari pangkal buah, permukaan buah licin, dan
daging buah berwarna putih dengan letak biji tersebar di tengah (Rochmah, 2001)

Terung Pipit
Terung pipit (Gambar 2) diklasifikasikan ke dalam genus Solanum, famili
Solanaceae, ordo Solanales, subkelas Asteridae, kelas Magnoliopsida, divisi
Magnoliophyta, superdivisi Spermatophyta, subkingdom Tracheobionta (USDA,
2012).

Gambar 2 Terung pipit (Solanum torvum Sw.)
Terung pipit juga dikenal dengan nama turkeyberry, susumber, gully-bean,
Thai eggplant, atau devil’s fig. Terung pipit merupakan salah satu genus Solanum
yang berduri. Tinggi terung pipit dapat mencapai hampir lima meter, buahnya
banyak dengan ukuran sebesar anggur ketika dewasa, diameter mencapai 2.5 cm,
berjumlah banyak dalam satu tandan yang bercabang. Panjang daun terung pipit
mencapai 25 cm, berbentuk oval dengan ujung yang runcing (Markle et al., 2008).
Francis (2013) menyatakan bahwa terung pipit kebanyakan hanya mampu hidup
sekitar 2 tahun dan setiap tahun tingginya dapat bertambah 0.75 – 1.5 m.
Terung pipit merupakan tanaman yang memiliki khasiat sebagai obat.
Ekstrak tanaman ini telah digunakan secara luas untuk mengobati berbagai
penyakit pada manusia. Bahan kimia yang ada pada tanaman ini telah digunakan
sebagai antihipertensi, antioksidan, obat penenang, pelancar pencernaan, dan lainlain (Agrawal et al., 2010). Terung pipit juga memiliki gen sumber ketahanan
terhadap serangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Rastolnia
solanacearum (Kallo, 1986; Budi, 2002; Husni et al., 2004).

Fusi Protoplas
Fusi protoplas adalah proses bergabungnya dua protoplas yang diawali
dengan adanya ikatan adhesi antara membran pembatas yang membatasi protoplas.
Pada tahap selanjutnya, membran sel akan rusak sehingga sitoplasma kedua sel

5
bergabung. Dua protoplas yang bergabung ini akan membentuk sel baru yang
berisi nukleus dari kedua sel tetua dengan cepat (Shepard et al., 1983). Fusi
protoplas dapat digunakan untuk mengatasi masalah dalam persilangan tanaman
secara seksual, terutama inkompatibilitas dan sterilitas pada turunan F1. Masalah
ini muncul pada persilangan antargenotipe berkerabat jauh (Mariska dan Husni,
2006).
Telah banyak bahan kimia dan kondisi fisik yang diuji coba untuk
membantu terjadinya fusi protoplas, tapi kemajuan besar terjadi ketika
ditemukannya polyethylene glycol (PEG) sebagai pemercepat fusi protoplas.
Polyethylene glycol [HOCH2-(CH2-O-CH2)n-CH2OH] sangat larut dalam air dan
memiliki bobot molekul kurang dari 1 000 sampai 20 000 (shepard et al., 1983).
PEG bekerja dengan bertindak sebagai jembatan perantara yang mampu
menginduksi bergabungnya dua protoplas. Keberhasilan fusi dan regenerasi
sangat ditentukan oleh konsentrasi PEG dan lama inkubasi dalam larutan PEG
(husni et al., 2004)
Mariska dan Husni (2006) telah melakukan fusi protoplas pada tanaman
lada, nilam, dan terung dengan menggunakan PEG 6 000 konsentrasi 30% selama
20-25 menit untuk menyatukan protoplas tanaman budidaya dengan kerabat
liarnya dalam upaya membentuk hibrida somatik. Husni et al. (2004) telah
berhasil melakukan fusi protoplas antara Solanum melongena cv. Dourga dengan
Solanum torvum Sw. menggunakan PEG 30% dan dapat diregenerasi menjadi
tanaman. Pada tahun 2010, Husni juga telah berhasil melakukan fusi protoplas
tanaman jeruk siam simadu dengan mandarin satsuma menggunakan PEG 4% dan
30%. Sel hasil fusi yang berhasil diregenerasikan menjadi tanaman berasal dari
perlakuan PEG 4% saja, sedangkan perlakuan menggunakan PEG 30% belum
berhasil diregenerasikan.

Kultur Jaringan
Kultur jaringan tanaman terdiri atas satu set teknik in vitro, metode, dan
strategi dari kelompok teknologi yang disebut bioteknologi tanaman. Kultur
jaringan telah digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik, memperbaiki
kesehatan bahan tanam, dan untuk meningkatkan jumlah plasma nutfah yang
diinginkan oleh pemulia tanaman (Brown dan Thorpe, 1995).
Kultur in vitro merupakan teknik memisahkan bagian dari tanaman seperti
tunas terminal, tunas aksilar, daun, batang, atau embrio serta menumbuhkannya di
dalam media buatan dalam kondisi aseptik sehingga membentuk tanaman lengkap.
Hal ini didasari oleh adanya daya totipotensi sel. Terbentuknya tanaman lengkap
dari eksplan potongan bagian tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain:
kondisi fisiologi eksplan, genotipe eksplan, media dasar, zat pengatur tumbuh,
serta lingkungan kultur seperti pencahayaan maupun kelembaban dan suhu
ruangan (Lestari, 2012).
Sigee (1993) menyebutkan beberapa keunggulan penggunaan teknik in vitro,
antara lain: untuk melaksanakan sejumlah besar pengujian (seperti uji
patogenisitas) pada kondisi laboratorium, untuk melaksanakan uji bahan genetika
tanaman dengan keseragaman yang lebih tinggi, untuk melakukan pengujian pada
kondisi kimia yang dapat dikendalikan dan kondisi fisik lingkungan mikro. Putri

6
(2002) menyatakan keunggulan lain dari kultur in vitro adalah dapat digunakan
sebagai metode untuk mengetahui keragaan tanaman hibrida somatik hasil fusi
protoplas pada tingkat paling awal, sehingga lebih efisien dalam jumlah material
yang dipakai, serta penghematan waktu dan tempat.
Satu kelemahan besar dalam penggunaan teknik in vitro adalah materi
tanaman yang digunakan sangat mungkin mengalami kondisi dan situasi yang
tidak normal. Hal ini terutama berlaku untuk sel yang dikultur dalam suspensi,
yang memiliki sedikit kemiripan dengan sel pada jaringan tertutup dan adanya
ancaman dari bakteri di lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ada di
dalam jaringan tanaman (Sigee, 1993).
Kesuksesan dalam kultur jaringan tanaman dapat disandarkan pada dua
faktor kritis: pemilihan eksplan dan media kultur. Pemilihan eksplan, berkaitan
dengan jaringan asal, tahap perkembangan, dan kondisi fisiologis, harus
ditentukan oleh tujuan dari kultur jaringan dan plastisitas jaringan yang
bersangkutan. Seleksi dan modifikasi media kultur yang tepat telah
disederhanakan dengan sangat baik melalui upaya Philip R. White, K. V.
Thimann, Folke Skoog, Carlos O. Miller, Toshio Murashige, serta murid dan
rekan-rekan mereka. Formulasi garam anorganik dari Murashige dan Skoog yang
diterbitkan pada 1962 merupakan salah satu karya besar dalam sejarah sel dan
kultur jaringan, yang mampu memfasilitasi secara luas dalam bidang hortikultura,
pertanian, dan biologi (Smith dan Gould, 2013).
Jaringan terung memiliki potensi morfogenetik tinggi yang sangat berguna
dalam perkembangan bioteknologi untuk meningkatkan keberagaman genetik
tanaman, seperti penyelamatan embrio, seleksi in vitro, hibridisasi somatik, dan
transformasi genetik (Magioli dan Mansur, 2004). Media KM8P merupakan
media yang terbaik untuk regenerasi protoplas tanaman terung mulai dari
pembentukan dinding sel, pembelahan, dan pembentukan mikrokalus (Husni,
2002). Charaya et al. (2011) telah melakukan pengujian terhadap tiga jenis
eksplan tanaman terung (hipokotil, kotiledon, dan daun) dengan menggunakan
media tumbuh MS + 2.5 mg BAP. Pada media MS + 2.5 mgl-1 BAP, regenerasi
kalus paling tinggi terdapat pada eksplan kotiledon, sedangkan pemanjangan tunas
maksimum terjadi pada media ½ MS + 0.3 mgl-1 BAP.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012 di
laboratorium kultur jaringan in vitro Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian (BB Biogen), Bogor dan di Greenhouse Kebun Percobaan Cikabayan,
Institut Pertanian Bogor.

7
Bahan Percobaan
Bahan tanaman terung yang digunakan adalah lima klon hibrida somatik
dan dua kultivar tetua. Klon hibrida somatik di atas merupakan koleksi in vitro di
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya genetik
Pertanian (BB Biogen).
Media yang digunakan dalam kultur in vitro adalah MS (Murashige dan
Skoog 1962) dengan penambahan vitamin MW (Morel dan Wetmore 1951), 30 g
sukrosa, dan 7 g agar. Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan in vivo
adalah planlet yang dihasilkan dari percobaan in vitro. Media tanam yang
digunakan ketika aklimatisasi adalah campuran tanah dan pupuk organik dengan
komposisi 1 : 1 yang telah disterilisasi pada suhu 1210 C selama empat jam. Pada
percobaan in vivo, media tanam yang digunakan terdiri dari campuran tanah dan
pupuk organik dengan komposisi 2 : 1. Bakterisida Agrept dan fungisida antracol
digunakan untuk pengendalian bakteri dan jamur. Pupuk buatan yang digunakan
adalah Urea, SP 36, dan KCl.
Peralatan yang digunakan dalam percobaan in vitro adalah laminar air flow
dan peralatan tanam in vitro pada umumnya. Peralatan yang digunakan dalam
percobaan in vivo adalah greenhouse, cangkul, polibag ukuran 20 cm x 25 cm,
dan sungkup plastik transparan.

Metode Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktor tunggal. Percobaan dilakukan dengan tujuh taraf perlakuan
yang terdiri dari Solanum melongena cv. Dourga dan Solanum torvum Sw.
sebagai tetua, serta lima nomor hibrida somatik Solanum melongena cv. Dourga
dengan Solanum torvum Sw. (SMST1, SMST2, SMST3, SMST4, SMST5). Pada
percobaan in vitro, setiap perlakuan diulang sebanyak sepuluh kali dengan satu
tabung reaksi untuk setiap satuan percobaan, sehingga dibutuhkan masing-masing
sepuluh eksplan untuk setiap perlakuan. Seluruh eksplan ditanam pada media MS
+ Vit. MW + 30 g sukrosa + 7 g agar. Pada percobaan in vivo, setiap perlakuan
diulang sepuluh kali dengan satu polibag 5 kg untuk setiap satuan percobaan,
sehingga dibutuhkan masing-masing sepuluh polibag Solanum melongena cv.
Dourga, Soanum torvum Sw., dan lima nomor hibrida somatik.
Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:
ij     i   ij (i = 1,2,3,...,7; j = 1,2,3,...,10)
Keterangan:
Yij = respon pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j
 = nilai tengah umum
i = pengaruh perlakuan ke-i
ij = pengaruh galat percobaan (experimental error) perlakuan ke-i, ulangan
ke-j)
Data kuantitatif yang diperoleh diuji dengan uji F dan hasil sidik ragam
yang menunjukkan perbedaan yang nyata dari pengaruh perlakuan diuji lebih

8
lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Data kualitatif yang
diperoleh dianalisis menggunakan analisis gerombol.

Pelaksanaan Percobaan
1. Persiapan bahan tanam in vitro.
Pada percobaan in vitro, bahan tanam didapatkan dari koleksi klon hibrida
somatik Solanum melongena cv. Dourga dengan Solanum torvum Sw. Sebelum
percobaan dilakukan, planlet diperbanyak pada media MS + Vit. MW + 30 g
sukrosa + 7 g agar untuk mendapatkan jumlah eksplan yang sesuai kebutuhan.
Selama proses perbanyakan, pemeliharaan yang dilakukan antara lain membuang
tanaman yang terkontaminasi, memotong ujung planlet yang hampir menyentuh
tutup botol, dan mensubkultur planlet yang sudah lama. Selama proses
perbanyakan ini, juga dilakukan pembuatan media yang digunakan untuk
percobaan. Setelah eksplan yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan, penanaman
segera dilakukan. Eksplan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah eksplan
buku tunas aksilar.
2. Persiapan bahan tanam in vivo.
Bahan tanam yang digunakan untuk percobaan in vivo adalah planlet hasil
perbanyakan in vitro yang telah memiliki akar dan daun yang cukup. Planlet
selanjutnya diaklimatisasi selama dua minggu. Pada masa aklimatisasi, planlet
ditanam pada gelas plastik 300 ml dengan campuran media tanah yang telah
disterilkan dan pupuk organik dengan komposisi 1 : 1. Tanaman diletakkan dalam
sebuah rak yang diselubungi oleh plastik trasparan dan diberi atap untuk
menghindari penguapan yang berlebihan akibat angin dan panas matahari.
Tanaman disungkup dengan plastik transparan selama satu minggu pertama dan
sungkup plastik dilepaskan pada minggu kedua.
3. Persiapan media tanam.
Media tanam yang digunakan pada kondisi in vivo adalah campuran tanah
dan pupuk organik dengan komposisi 2 : 1. Media diletakkan dalam sebuah
polibag berukuran 20 cm x 25 cm. Media diberi bakterisida dan fungisida sebelum
proses penanaman. Penanaman dilakukan pada sore hari di dalam greenhouse.
4. Pemeliharaan tanaman.
Penyiraman dilakukan setiap pagi atau sore. Pemupukan dilakukan pada 0
MST (minggu setelah tanam), 1 MST, 3 MST, dan 4 MST dengan dosis pupuk
Urea 10 g/tanaman, SP36 9 g/tanaman, dan KCl 7 g/tanaman untuk empat kali
pemupukan.

Pengamatan
Pengamatan pada percobaan in vitro dimulai pada 1 MST sampai 5 MST.
Adapun peubah yang diamati antara lain: tinggi tanaman, diukur dari tempat
munculnya tunas sampai ujung tunas apikal; jumlah daun, dihitung pada seluruh
bagian tanaman yang telah tumbuh sempurna; jumlah akar; panjang akar
terpanjang; jumlah buku; dan warna daun.

9
Pengamatan pada percobaan in vivo dimulai pada 1 MST sampai 5 MST.
pada pengamatan kuantitatif, peubah yang diamati antara lain: tinggi tanaman,
diukur dari permukaan tanah hingga ujung tunas apikal; jumlah daun, dihitung
pada seluruh bagian tanaman yang telah tumbuh sempurna; panjang daun, diukur
dari pangkal hingga ujung daun; panjang tangkai daun, diukur dari ketiak daun
hingga pangkal daun; dan jumlah duri pada permukaan atas daun. Pada
pengamatan kualitatif, peubah yang diamati antara lain: warna batang dan tangkai
daun; bentuk lobus daun; dan duri pada batang.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Tanaman
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua percobaan, yaitu percobaan in vitro
dan percobaan in vivo. Pada percobaan in vitro, sumber eksplan diperoleh dari
perbanyakan dengan menggunakan buku tunas aksilar. Tunas aksilar adalah tunas
yang terdapat pada sudut antara masing-masing daun dan batang (Campbell et al.,
2003).
Eksplan yang ditanam diambil dari ruas tunas aksilar dengan panjang
bervariasi antara 0.5 sampai 1.0 cm. Variasi panjang eksplan ini disebabkan
panjang ruas tunas masing-masing klon berbeda-beda. Eksplan ditanam di dalam
tabung reaksi berdiameter sekitar 3 cm dan tinggi sekitar 15 cm. Penanaman
eksplan merupakan salah satu tahap kritis dalam penelitian ini. Ukuran eksplan
yang kecil sangat rentan terhadap panas dari alat-alat tanam, sementara di sisi lain
peralatan tanam harus selalu dipanaskan untuk menghindari kontaminasi bakteri
ataupun jamur.
Dalam beberapa hari pengamatan pertumbuhan tanaman, beberapa tanaman
terlihat tidak tumbuh dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya akar yang
mengkalus, batang yang mengkalus, dan kontaminasi bakteri. Keadaan tanaman
dalam kondisi in vitro terbagi menjadi beberapa kelompok, antara lain tanaman
yang berakar baik dan tumbuh dengan baik, tanaman dengan akar yang mengkalus
sehingga bidang penyerapan sangat luas dan pertumbuhan sangat cepat, tanaman
yang tidak berakar dan juga tidak mengkalus sehingga pertumbuhannya sangat
lambat, serta tanaman yang batangnya mengkalus dan terlihat seperti kelebihan air
(Gambar 3). Keadaan ini terdapat pada semua klon yang diuji.
Sebelum dipindahkan ke rumah kaca, planlet yang telah tumbuh sempurna
diaklimatisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan luar yang ekstrim.
Proses aklimatisasi ini adalah tahapan kritis ke dua selama penelitian ini
berlangsung karena dalam tahap ini tanaman mulai diadaptasikan ke lingkungan
luar. Aklimatisasi berlangsung selama dua minggu. Tantangan terbesar dalam
proses aklimatisasi antara lain ukuran planlet hasil fusi yang kecil dan rentan
patah, serta kondisi lingkungan pada saat aklimatisasi berlangsung cukup panas
sehingga tanaman rentan mengalami kelayuan.

10

SMST2

S. torvum Sw.

SMST1

SMST3

Gambar 3 Kondisi umum klon yang diuji pada percobaan in vitro umur 5 MST*.
a) pangkal batang mengkalus dan akar tidak muncul, b) planlet tumbuh
dengan normal, c) batang mengkalus dan tumbuh tidak normal, d)
pangkal batang mengkalus dan diselubungi semacam kristas dan
menyebabkan pertumbuhan sangat cepat, (*) minggu setelah tanam.
Selama masa aklimatisasi, tanaman yang mengalami kelayuan dan mati
mencapai 25%. Tanaman dengan jumlah daun dan akar yang banyak lebih tahan
dibandingkan dengan tanaman yang jumlah daun dan akarnya sedikit. Keberadaan
akar lebih menentukan keberhasilan tanaman dalam proses aklimatisasi dibanding
keberadaan daun karena selama aklimatisasi, tanaman membutuhkan akar untuk
menyerap unsur hara dari media. Klon SMST5 yang memiliki pertumbuhan yang
lemah hampir seluruhnya mengalami kematian dan hanya menyisakan satu
tanaman, sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam percobaan in vivo. Kondisi
tanaman pada tahap aklimatisasi dapat dillihat pada gambar 4.
Pada percobaan in vivo, tanaman yang telah berhasil tumbuh stabil selama
dua minggu aklimatisasi dipindahkan ke dalam polibag berukuran 20 x 25 cm2
dengan media berasal dari campuran tanah dan pupuk organik dengan
perbandingan 2 : 1. Tanaman diletakkan di dalam rumah kaca untuk menghindari
serangan hama dan penyakit. Sebelum tanaman dipindahkan ke media tanam in
vivo, media diberi bakterisida dan fungisida untuk menghindari serangan bakteri
ataupun cendawan yang berasal dari tanah. Pengamatan dilakukan hingga
tanaman berumur 5 MST (Gambar 5).

Gambar 4 Kondisi klon yang diuji pada minggu
kedua aklimatisasi

11

Gambar 5 Klon yang diuji pada percobaan in vivo umur 5 MST. a)
Solanum torvum Sw., b) Solanum melongena cv. Dourga,
c) SMST1, d) SMST2, e) SMST3, f) SMST4.
Selama tanaman berada dalam kondisi in vivo, penyiraman dilakukan setiap
hari (pagi atau sore). Pemupukan dilakukan sebanyak empat kali dengan dosis
total terdiri dari urea 10 g/tanaman, SP36 9 g/tanaman, dan KCl 7 g/tanaman.
Selama pengamatan dilakukan dalam percobaan in vivo, beberapa tanaman
mengalami kelayuan dan mati akibat kondisi rumah kaca yang cukup panas
selama minggu pertama dengan suhu udara luar berkisar 22.8o sampai 32.7oC
(BMKG, 2012).

Keragaan Fenotipik Tanaman in Vitro
Pada percobaan in vitro, pengamatan dilakukan secara kuantitatif (tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah akar, panjang akar, dan jumlah buku batang) dan
secara kualitatif (warna daun). Pengamatan pada percobaan in vitro dilakukan
hingga tanaman berumur 5 MST.
Keragaan fenotipik semua peubah vegetatif yang diamati pada percobaan in
vitro menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada klon yang diuji (Tabel 1).
Pengujian lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) bertujuan
untuk mengetahui perbedaan antar klon tersebut yang memberikan pengaruh yang
nyata pada klon yang diuji.

12
Tabel 1 Rekapitulasi uji F dari peubah vegetatif yang diamati pada keragaan in
vitro klon yang diuji umur 1-5 MST
Klon
Peubah vegetatif
1 MST
2 MST 3 MST
4 MST 5 MST
Tinggi tanaman
**
**
**
**
Jumlah daun
**
**
**
**
**
Jumlah akar
**
**
**
**
Panjang akar terpanjang
**
**
**
**
Jumlah buku
**
**: berpengaruh sangat nyata pada uji F taraf 1%, -: pengamatan tidak dilakukan.

Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman pada percobaan in vitro diukur dari permukaan media
sampai ujung tunas apikal. Tinggi tanaman dapat menunjukkan kemampuan
tumbuh dan penyerapan nutrisi tanaman terung pada kondisi in vitro.
Pada 2 minggu setelah tanam, Solanum torvum Sw. (2.56 cm) memiliki
tingkat pertumbuhan di atas semua klon. Klon SMST3 (0.15 cm) merupakan klon
dengan pertumbuhan paling lambat (Tabel 2).
Pada 5 MST, klon SMST3 (0.45 cm) berbeda nyata dengan kedua tetua dan
memiliki pertumbuhan paling lambat. Klon SMST1 (1.53 cm), SMST2 (0.89 cm),
SMST4 (1.24 cm), dan SMST5 (0.73 cm) tidak berbeda nyata dengan Solanum
melongena cv. Dourga (1.16 cm). Solanum torvum Sw. (10.0 cm) sangat berbeda
nyata dengan Solanum melongena cv. Dourga dan kelima klon lainnya dan
memiliki pertumbuhan paling cepat (Tabel 2).
Solanum torvum Sw. lebih responsif pada media MS tanpa hormon tumbuh
(Moreira et al., 2010) sedangkan Solanum melongena tidak dapat tumbuh baik
pada media MS tanpa hormon tumbuh (Ray et al., 2011).
2 Rata-rata tinggi tanaman pada keragaan in vitro klon yang
diuji umur 2-5 MST
Klon
Tinggi tanaman (cm)
2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
S. melongena cv. Dourga
0.32 b 0.60 b 0.89 bc 1.16 b
S. torvum Sw
2.56 a 5.55 a 8.89 a 10.0 a
SMST 1
0.33 b 0.62 b 1.28 b 1.53 b
SMST 2
0.22 bc 0.43 bc 0.60 bc 0.89 bc
SMST 3
0.15 c 0.28 c 0.38 c 0.45 c
SMST 4
0.24 bc 0.48 bc 0.80 bc 1.24 b
SMST 5
0.34 b 0.50 bc 0.69 bc 0.73 bc

Tabel

Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
5 % berdasarkan uji DMRT.

Tidak hanya pertumbuhan planlet yang membutuhkan hormon tambahan,
Solanum melongena juga memerlukan tambahan hormon untuk merangsang
pertumbuhan kalus. Ferdausi et al. (2009) dalam penelitiannya juga mendapatkan
hasil bahwa Solanum melongena cv. Jhumky memiliki persentase pertumbuhan
kalus pada media MS dengan penambahan hormon dua kali lipat dibandingkan
pada media MS tanpa hormon. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa

13
dalam kultur in vitro, Solanum melongena membutuhkan penambahan hormon
auksin dan sitokinin, sedangkan Solanum torvum tidak membutuhkan hormon
auksin dan sitokinin. Oleh karena itu, performa Solanum torvum Sw. lebih baik
dibandingkan Solanum melongena dan hasil fusi protoplas.
Jumlah Daun
Banyaknya jumlah daun merupakan salah satu indikator penting untuk
melihat tingkat pertumbuhan tanaman. Fungsi daun pada tanaman sangat penting
karena daun merupakan organ fotosintesis utama pada sebagian besar tumbuhan
(Campbell et al., 2003). Pada in vitro, jumlah daun dapat dijadikan indikator
bahwa tanaman tumbuh dengan baik dan akan menjadi bakal bibit yang baik.
Pada 1 MST, jumlah daun Solanum torvum Sw. (1.3 helai) telah
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan semua klon, namun pertumbuhan
daun Solanum melongena cv. Dourga (0.2 helai) dan 5 klon lainnya tidak berbeda
nyata satu sama lain. Perbedaan pertumbuhan daun antar klon mulai terlihat sejak
2 MST hingga 5 MST (Tabel 3).
Pada 1-5 MST, pertambahan jumlah daun Solanum torvum Sw. paling tinggi
dan sangat berbeda nyata dengan klon lainnya. Klon SMST1, SMST2, SMST4,
dan SMST5 tidak berbeda nyata dengan Solanum melongena cv. Dourga dan
menempati urutan kedua jumlah daun terbanyak. Pertambahan jumlah daun paling
lambat dimiliki oleh klon SMST3 yang berbeda nyata dengan kedua tetuanya
(Tabel 3).
Tabel 3 Rata-rata jumlah daun pada keragaan in vitro klon yang diuji umur 1-5
MST
Klon
Jumlah daun (helai)
1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
S. melongena cv. Dourga
0.2 b
0.8 c
1.5 bc 1.8 b
2.4 b
S. torvum Sw.
1.3 a
3.2 a
4.9 a
6.0 a
7.7 a
SMST 1
0.2 b
1.1 bc 1.6 bc 2.0 b
2.7 b
SMST 2
0.2 b
1.1 bc 1.7 b
1.8 b
2.3 b
SMST 3
0.4 b
0.7 c
0.9 c
0.9 c
1.4 c
SMST 4
0.1 b
0.8 c
1.4 bc 1.8 b
1.9 bc
SMST 5
0.3 b
1.4 b
1.6 bc 2.0 b
2.2 bc
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %
berdasarkan uji DMRT.

Jumlah Akar
Akar merupakan salah satu indikator apakah pertumbuhan tanaman berjalan
baik atau tidak. Akar berfungsi menambatkan tumbuhan ke tanah, menyerap
mineral dan air, menghantarkan air dan nutrien, serta menyimpan makanan
(Campbell et al., 2003). Pada in vitro, akar berfungsi untuk menyerap nutrisi yang
disediakan pada media in vitro.
Pertambahan jumlah akar Solanum torvum Sw. sangat cepat terjadi pada
minggu ke-2 pengamatan, sedangkan pada 3 – 5 MST, pertambahan jumlah akar
Solanum torvum Sw. tidak signifikan. Jumlah akar Solanum torvum Sw. berbeda
nyata dengan klon hibrida somatik dan memiliki jumlah akar terbanyak pada 2 – 5
MST (Tabel 4).

14
Hal ini sesuai dengan penelitian Moreira et al. (2010) yang menyatakan
Solanum torvum menghasilkan pengakaran yang lebih tinggi pada media tanpa
penambahan hormon auksin dan sitokinin dibandingkan dengan media yang
ditambahkan hormon.
Pertumbuhan akar pada klon hibrida somatik mulai terlihat pada 2 MST,
namun pertumbuhan akar belum terjadi pada klon SMST5. Semua klon telah
memiliki akar pada 3 MST. Pada 5 MST, Solanum melongena cv. Dourga (0.3
buah) memiliki jumlah akar paling sedikit dan tidak berbeda nyata dengan klon
SMST5 (0.6 buah). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh media yang tidak diberi
penambahan hormon. Ray et al. (2011) menyatakan Solanum melongena yang
dikulturkan pada media tanpa hormon tidak memiliki kemampuan regenerasi.
Klon SMST1 (1.6 buah), SMST2 (1.6 buah), SMST3 (1.0 buah), dan SMST4 (1.4
buah) tidak berbeda nyata satu dengan yang lain dan memiliki jumlah akar di
antara Solanum torvum Sw. (6.6 buah) dan Solanum melongena cv. Dourga (0.3
buah) pada 5 MST (Tabel 4).
Hasil penelitian Ray et al. tersebut menunjukkan sifat genetik yang berbeda
antara Solanum melongena cv. Dourga dengan Solanum torvum Sw. Hal inilah
yang mungkin menyebabkan adanya perbedaan pertumbuhan hibrida somatik
antara Solanum melongena cv. Dourga dan Solanum torvum Sw. Lestari (2012)
menyatakan bahwa faktor genetik merupakan salah satu faktor yang menentukan
kemampuan regenerasi tunas.
Tabel 4 Rata-rata jumlah akar pada keragaan in vitro klon yang diuji
umur 2-5 MST
Klon
Jumlah akar (buah)
2 MST
3 MST 4 MST 5 MST
S. melongena cv. Dourga
0.3 c
0.3 c
0.3 d
0.3 cd
S. torvum Sw.
6.5
a
6.6
a
6.6 a
5.9 a
SMST 1
1.3 b
1.4 b
1.6 b
1.1 b
SMST 2
1.6
b
1.6
b
1.6 b
0.7 bc
SMST 3
0.5 c
0.6 c
1.0 bc
0.4 cd
SMST 4
1.2
b
1.3
b
1.4 b
0.4 cd
SMST 5
0.0 d
0.3 c
0.5 c
0.6 cd
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
5 % berdasarkan uji DMRT.

Panjang Akar
Panjang akar menunjukkan kemampuan tanaman dalam menjangkau nutrisi
yang akan diserap. Panjang akar juga menjadi indikator pertumbuhan yang baik di
samping jumlah akar. Tanaman dengan akar yang banyak dan panjang akan
memiliki pertumbuhan yang sangat baik karena dapat menyerap hara dengan
maksimal.
Pertumbuhan akar Solanum torvum Sw. terjadi sangat cepat pada 2 MST,
sedangkan pada 3-5 MST tidak terjadi penambahan panjang akar yang signifikan.
Hal ini berbeda dengan pertumbuhan akar Solanum melongena cv. Dourga dan
klon hibrida somatik. Pertumbuhan akar klon hibrida somatik secara umum
terlihat cepat pada 3 MST. Pada 4 MST, hanya klon SMST5 yang pertambahan
panjang akarnya masih signifikan (Tabel 5).

15
Panjang akar Solanum torvum Sw. (5.91 cm) sangat berbeda nyata dengan
semua klon hibrida somatik dan memiliki akar terpanjang pada 5 MST. Solanum
melongena cv. Dourga (1.00 cm) memiliki akar terpendek dan tidak berbeda nyata
dengan klon SMST2 (1.64 cm), SMST3 (1.11 cm), SMST4 (1.99 cm), SMST5
(1.09 cm), namun berbeda nyata dengan klon SMST1 (2.37 cm) (Tabel 5).
Tabel 5 Rata-rata panjang akar pada keragaan in vitro klon yang diuji
umur 2-5 MST
Klon
Panjang akar (cm)
2 MST
3 MST
4 MST 5 MST
S. melongena cv. Dourga
0.82
bc
0.92 b 1.00 c
0.13 bc
S. torvum Sw.
5.91 a
5.91 a 5.91 a
5.28 a
SMST1
1.47
b
2.07 b 2.37 b
0.32 b
SMST2
0.915 b
1.415 b 1.64 bc
0.14 bc
SMST3
0.63 bc 0.86 b 1.11 bc
0.13 bc
SMST4
1.25 b
1.63 b 1.99 bc
0.14 bc
SMST5
0.095 c
0.95 b 1.09 bc
0.00 c
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
5 % berdasarkan uji DMRT.

Jumlah Buku
Dalam perbanyakan in vitro, setiap buku merupakan bakal individu baru.
Semakin banyak jumlah buku setiap planlet, jumlah bakal bibit yang akan
didapatkan semakin banyak.
Solanum torvum Sw. memiliki jumlah buku terbanyak dan berbeda nyata
dengan klon lainnya. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Moreira et al. (2010)
yang menyatakan bahwa Solanum torvum pada media MS tanpa penambahan
hormon menghasilkan perpanjangan tunas lebih tinggi dibandingkan MS dengan
penambahan hormon, sedangkan Ray et al. (2011) menyatakan Solanum
melongena pada media MS tanpa hormon tidak memiliki kemampuan regenerasi.
Perbedaan ini menyebabkan perbedaan pertumbuhan masing-masing klon hibrida
somatik. Klon SMST2 (3.0 buah) merupakan klon hibrida dengan jumlah buku
terbanyak dan berbeda nyata dengan klon SMST5 (1.5 buah) yang memiliki
jumlah buku paling sedikit (Tabel 6).
Tabel 6 Rata-rata jumlah buku klon yang diuji pada kondisi in vitro umur 5 MST
Klon
Jumlah buku tunas (buah)
S. melongena cv. Dourga
2.3 bcd
S. torvum Sw.
6.7 a
SMST1
2.4 bcd
SMST2
3.0 b
SMST3
1.7 cd
SMST4
2.5 bc
SMST5
1.5 d
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %
berdasarkan uji DMRT.

16
Pada percobaan in vitro, Beberapa klon hibrida somatik yang memiliki
karakter pertumbuhan yang baik dari semua peubah yang diamati (tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah akar, panjang akar, dan jumlah buku) adalah klon SMST1,
SMST2, dan SMST4, sedangkan klon SMST3 dan SMST5 memiliki kemampuan
tumbuh yang rendah.
Morfologi Batang dan Daun
Pada kondisi in vitro, keragaan morfologi tanaman secara kualitatif
memperlihatkan adanya perbedaan yang jelas antara klon SMST5 dengan kultivar
pembanding maupun klon lainnya.
Klon SMST5 memiliki batang yang rapuh dengan warna hijau keputihputihan, sedangkan klon SMST1, SMST2, SMST3, SMST4, Solanum melongena
cv. Dourga, dan Solanum torvum Sw. berwarna hijau muda. Klon SMST5 juga
memiliki warna daun yang berbeda dengan klon lainnya. Daun klon SMST5
berwarna hijau muda di bagian tengah dan berwarna putih di sepanjang tepi
daunnya (variegata), sedangkan klon lainnya dan kultivar pembanding memiliki
daun berwarna hijau di seluruh permukaannya (Gambar 6).

Gambar 6 Klon yang diuji pada percobaan in vitro umur 5 MST. a) Solanum
torvum Sw., b) Solanum melongena cv. Dourga, c) SMST1, d)
SMST2, e) SMST3, f) SMST4, g) SMST5.

Keragaan Fenotipik Tanaman in Vivo
Pada percobaan in vivo, pengamatan dilakukan secara kuantitatif (tinggi
tanaman, jumlah daun, panjang daun, panjang petiola, jumlah duri permukaan atas
daun) dan secara kualitatif (warna batang, duri pada batang, bentuk daun, warna
tangkai daun, duri pada daun). Keragaan fenotipik yang diamati pada percobaan in
vivo menunjukkan perbedaan sangat nyata hanya pada karakter tinggi tanaman
dan jumlah duri pada permukaan atas daun (Tabel 7).
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman menunjukkan kemampuan tanaman untuk tumbuh pada
lingkungannya. Tinggi tanaman juga menggambarkan kemampuannya untuk

17
menyerap hara dengan baik. Peubah tinggi tanaman pada klon-klon yang diuji
menunjukkan perbedaan yang nyata pada umur 1 MST, 4 MST, dan 5 MST. Pada
umur 2 MST dan 3 MST, peubah tinggi tanaman tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata berdasarkan uji statistik (Tabel 8). Adanya perbedaan nyata peubah
tinggi tanaman pada 1 MST disebabkan oleh pertumbuhan planlet in vitro yang
bervariasi sehingga tinggi awal tanaman berbeda-beda. Pada 2 MST dan 3 MST,
tanaman sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga pertumbuhan
berjalan normal dan klon yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Tabel 7 Rekapitulasi uji F dari peubah vegetatif yang diamati pada keragaan in
vivo klon yang diuji.
Peubah vegetatif
Klon
1 MST 2 MST
3 MST
4 MST 5 MST
Tinggi tanaman
*
tn
tn
**
**
Jumlah daun
*
*
tn
tn
tn
Panjang daun
tn
Panjang tangkai daun
tn
Jumlah duri pada permukaan
atas daun
**
*: berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%,**: berpengaruh sangat nyata pada uji F taraf 1%, tn:
tidak berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%, - : pengamatan tidak dilakukan.

.
Tabel 8

Rata-rata tinggi tanaman klon yang diuji pada kondisi in vivo umur
1-5 MST
Tinggi tanaman (cm)
Klon
1 MST
2 MST 3 MST 4 MST
5 MST
S. melongena cv. Dourga 6.91 a
7.23
9.05
10.80 b
13.00 b
S. torvum Sw.
2.20 c
4.60
7.33
10.50 b
14.67 b
SMST1
4.22 abc 4.83
8.85
13.20 ab 18.90 ab
SMST2
6.54 ab
7.94
12.28
17.00 a
23.06 a
SMST3
4.76 abc 6.21
10.33
14.67 ab 20.56 ab
SMST4
3.60 bc
5.54
11.41
17.5 a
24.61 a
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %
berdasarkan uji DMRT.

Pada 5 MST, SMST4 (24.61 cm) menunjukkan pertumbuhan tertinggi dan
tidak berbeda nyata dengan SMST2 (23.06 cm). SMST1 (18.90 cm) dan SMST3
(20.56 cm) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, dan memiliki tinggi di
bawah SMST2. Pertumbuhan terendah dimiliki oleh Solanum torvum Sw. (14.67
cm) yang tidak memiliki perbedaan nyata dengan Solanum melongena cv.
Dourga (13.00 cm) (Tabel 8).
Perbedaan tinggi yang signifikan pada 4-5 MST mengindikasikan adanya
kemampuan tumbuh yang berbeda antar klon. Klon SMST2 dan SMST4 lebih
tinggi dan berbeda nyata dari kedua tetua pembanding.
Jumlah Daun
Jumlah daun pada suatu tanaman sangat menentukan tingkat pertumbuhan
dan perkembangan tanaman di samping efektifitas daun tanaman tersebut dalam
menyerap cahaya. Peubah jumlah daun menunjukkan perbedaan yang signifikan

18
pada umur 1 – 2 MST, namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada
umur 3 – 5 MST (Tabel 9).
Solanum melongena cv. Dourga memiliki jumlah daun terbanyak dan
berbeda nyata dengan klon lainnya pada umur 1-2 MST. Jumlah daun paling
sedikit pada umur 1 MST dimiliki oleh klon SMST4 (3.44 helai). Pada umur 3-5
MST, semua klon tidak memiliki perbedaan yang nyata.
9 Rata-rata jumlah daun klon yang diuji pada kondisi in vivo umur 1-5
MST
Jumlah daun (helai)
Klon
1 MST
2 MST 3 MST 4 MST 5 MST
S. melongena cv. Dourga
7.20 a
7.70 a 7.20
7.80
7.80
S. torvum Sw.
7.00 ab
4.00 b 6.00
6.00
7.33
SMST1
4.30 bc
4.70 b 5.00
5.90
6.00
SMST2
4.78 abc 5.00 b 5.11
5.78
6.00
SMST3
4.56 abc 5.11 b 5.33
5.89
6.11
SMST4
3.44 c
4.11 b 4.67
5.44
5.56
Tabel

Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 %
berdasarkan uji DMRT.

Panjang Daun
Daun adalah bagian yang sangat penting bagi tumbuhan karena daun pada
sebagian besar tumbuhan merupakan tempat melakukan fotosintesis dan
penyediaan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang (Campbell et al., 2003). Luas
daun menentukan tingkat kemampuan daun dalam menyerap cahaya sebagai salah
satu materi fotosintesis. Pada lebar yang sama, daun yang lebih panjang akan
lebih banyak menyerap cahaya matahari. Peubah panjang daun yang diamati pada
5 MST tidak menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji statistik (Tabel 10).
Panjang Tangkai Daun
Panjang tangkai daun menunjukkan kemampuan tanaman dalam
memaksimalkan penyerapan cahaya matahari oleh daun. Peubah panjang tangkai
daun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar klon yang diuji. Solanum
torvum Sw. (8.22 cm) memiliki tangkai daun terpanjang meskipun tidak berbeda
nyata dengan klon lainnya. Tangkai daun terpendek dimiliki oleh klon SMST1
(5.93 cm) (Tabel 10).
Jumlah Duri pada Permukaan Atas Daun
Duri merupakan salah satu bentuk pertahanan tanaman terhadap serangan
organi