Irak Dan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Pasca Peristiwa 11 September 2001

(1)

IRAK DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001

OLEH :

SYAIFUL RIJAL ALFIKRI NIM. 101045222281

PROGRAM STUDI SIYASAH SYAR’IYYAH JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

IRAK DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh :

SYAIFUL RIJAL ALFIKRI NIM. 101045222281

Di Bawah Bimbingan

Prof. DR. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA NIP. 150 270 614

PROGRAM STUDI SIYASAH SYAR’IYYAH JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “IRAK DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001” telah diujikan dalam sidang Munaqosyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20 Juli 2006. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah.

Jakarta, 20 Juli 2006 Disahkan oleh, Dekan,

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. Afifi Fauzi Abbas, M.A ( ) NIP 150 210 421

Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, SH. M.Hum ( ) NIP 150 274 761

Pembimbing : Prof. DR. Amany B. U. Lubis, Lc., MA ( ) NIP. 150 270 614

Penguji I : Drs. Husni Thoyyar, M.Ag ( ) NIP. 150 050 919


(4)

ﻢﻴﺣ

ّﺮﻟا

ﻦﻤﺣ

ّﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

KATA PENGANTAR

Tidak ada kata yang pantas, selain mengucap syukur, segala puja dan puji, penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Berkat taufiq, hidayah, inayah dan rahmat-Nya, penulisan skripsi ini dapat terlaksana. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah pada panutan pemimpin besar revolusi Islam, Nabi Muhammad saw. beserta keluarganya, para Sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Dengan selesainya skripsi ini tentunya tidak terlepas atas bantuan, motivasi, serta bimbingan dari berbagai pihak, yang telah membantu penulis dan berpartisipasi dalam menyelesaikan skripsi. Ucapan terima kasih ini penulis haturkan kepada:

1. Bapak. Prof. Dr, Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA., selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi, serta memberi motivasi kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Drs. Afifi Fauzi Abbas, M.A. selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah, serta Bapak Drs. Abu Tamrin, M.Hum, Sekjur Jinayah Siyasah.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen di Fakultas Syariah dan Hukum, yang dengan sabar dan penuh keikhlasan mendidik dan memperluas wawasan penulis hingga akhir masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(5)

5. Segenap staf dan karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah, Perpustakaan Kedubes AS dan Perpustakaan CSIS.

6. Ananda

haturkan terima kasih untuk kedua orang tua tercinta (Alm.) Bapak Hasan Anshori dan Ibunda Siti Maryam, berkat do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (material maupun spiritual) yang beliau berdua berikan dengan tulus, hingga bisa menyelesaikan studi ini. Adik-adikku, Ita, Nia, Ari dan Fauzan yang selalu memotivasi penulis serta keluarga besar di Cianjur, Bambu Apus (Om Duduh dan Tante Ani) dan Pondok Bambu terima kasih atas bantuan dan do’anya selama ini.

7. Tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada istri tercinta Hani Khaerunnisa, yang telah dengan sabar selalu memotivasi penulis.

8. Rekan-rekan seperjuangan di HMI Cabang Ciputat, Periode 2005-2006, Udin ‘Mourinho’, Sule, Arul, Basith, Iis, Ilman Hasjim, Hasan Jali, Jawa, Ablenk, dll. Serta para senior, Bang Ara, Kang Zezen, Bang Juned, Kang Akmal, dan Kang Asep. Semoga Allah Swt, mengekalkan himpunan ini dalam ridho-Nya, demi mengemban misi izzul Islam wal Muslimin.

9. Teman-teman Siyasah Syariyyah 2001, Ade, Agus, Nita, Bule, Iebe, Aiez, Mphenk, Jamal, Taqwim, Al-firdaus, terima kasih membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dengan ikhlas dalam penyelesaian skripsi ini.


(6)

Demikianlah ucapan terima kasih dari penulis. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan. Akhir kata, Billaahittaufiq wal Hidaayah.

Ciputat, 7 Jumadil Akhir 1427 H 3 J u l i 2006 M


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Metodologi Penelitian ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL POLITIK IRAK PADA MASA PEMERINTAHAN SADDAM HUSEIN ... 17

A. Biografi Politik Saddam Husein ... 17

B. Sekilas Tentang Irak ... 19

1. Umum ... 19

2. Cuaca ... 19

3. Medan ... 19

4. Sejarah Singkat Irak ... 20

a. Dihancurkan Mongol ... 22

b. Masuknya Inggris ... 25

c. Peralihan Kepemimpinan Negara ... 26

C. Rangkaian Sengketa Irak Dengan Negara Tetangga ... 27

1. Perang Irak Iran ... 27

2. Serangan Senjata Kimia Terhadap Suku Kurdi ... 26

3. Invasi Irak ke Kuwait ... 28

D. Awal Ketegangan Irak dengan PBB ... 29

1. Oil for Food Programme ... 29


(8)

3. Kembalinya Tim Pemeriksa PBB ... 31

BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAK ... 33

A. Biografi Politik George W. Bush ... 33

1. Pendidikan dan Keluarga ... 34

2. Karir Bisnis ... 34

3. Presiden AS ... 35

a. Masa Jabatan Pertama ... 35

b. Masa Jabatan Kedua ... 36

B. Gambaran Umum Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat ... 36

1. Nilai Dasar Kebijakan Luar Negeri AS ... 36

a. Kebijakan Luar Negeri AS ... 37

b. Tujuan Kebijakan Luar Negeri AS ... 40

2. Mekanisme Kebijakan Luar Negeri AS ... 41

a. Kerangka Konstitusional ... 41

b. Kekuasaan Politik dan Birokrasi ... 45

c. Peran dan Opini Publik AS dalam Masyarakat AS ... 47

3. Prioritas Kebijakan Luar Negeri AS di bawah Presiden Bush ... 49

C. Strategi Kebijakan Keamanan Presiden George W. Bush ... 52

BAB IV INVASI MILITER AS KE IRAK ... 57

A. Invasi Militer AS ... 57

B. Alasan-alasan AS Menginvasi Irak... 58

C. Legalitas Invasi Amerika terhadap Irak ... 65

1. Dukungan Kongres ... 65

2. Artikel 2 (4) Piagam PBB ... 66

D. Reaksi Irak atas Invasi Amerika ... 68

E. Respon Dalam Negeri AS dan Respon Internasional terhadap Invasi AS ke Irak ... 72


(9)

1. Respon Dalam Negeri AS ... 72

2. Respon Internasional Dibalik Rencana AS Menginvasi Irak ... 74

BAB V PENUTUP... 78

B. Kesimpulan ... 78

C. Saran-saran... 81


(10)

PROPOSAL SKRIPSI

KEBIJAKAN LUAR NEGERI GEORGE W. BUSH TERHADAP IRAK (2001-2003)

A. Latar Belakang Masalah

“… Kami melaksanakan strategi yang akan membawa kemenangan di Irak. Dan itu akan membuat negara Irak lebih aman dan akan membantu fondasi perdamaian buat generasi mendatang”.

Demikian petikan pernyataan Presiden Amerika Serikat George W. Bush kepada para wartawan di Gedung Putih pada tanggal 20 Maret 2006 kemarin. Pernyataan tersebut merupakan penekanan kembali atas kebijakannya terhadap Irak sekaligus menandai tiga tahun Invasi Sekutu yang dipimpin Amerika 1.

Dalam pada itu, Wakil Presiden Dick Cheney dan Jenderal George Casey yang mengomandani militer Amerika di Irak dalam wawancara televisi mengulang optimisme bahwa sebuah masyarakat demokratik dapat diwujudkan. Setali tiga uang, Menteri pertahanan Donald Rumsfeld kemarin memperingatkan, meninggalkan Irak saat ini sama artinya dengan mengembalikan Jerman kepada para pengikut Adolf Hitler setelah Perang Dunia II 2. Demikianlah kiranya gambaran umum kebijakan luar negeri George W. Bush hingga saat ini terhadap Irak.

Tidak diragukan lagi insiden 11 September 2001 lalu telah membawa dampak yang sangat fantastis dalam perputaran kebijakan dasar global politik strategis Amerika Serikat. Terutama perubahan esensi dalam pola politik negeri ‘polisi dunia’ itu terhadap Negara-negara Timur Tengah secara khususnya, dan terhadap seluruh Negara dunia secara umum.

Keruntuhan gedung World Trade Center (WTC) yang dramatis, hancur luluh seolah tersapu angin topan membuat trauma mendalam dalam mayoritas rakyat AS. Kondisi ini mengakibatkan perubahan pola pikir mereka, yang mengakibatkan mengentalnya perdebatan antar faksi di dalam negeri itu sendiri. Khususnya antara faksi yang

1

‘Bush Tertantang di Irak’, Koran Tempo, Selasa, 21 Maret 2006.

2 Ibid.


(11)

menginginkan agar AS lebih konsentrasi dalam mengurusi masalah dalam negerinya dengan kelompok yang menginginkan agar AS lebih intensif dalam mempengaruhi dunia global untuk memperkuat cakar-cakarnya di negara lain.

Insiden historis dengan segala aspeknya telah menimbulkan sikap optimistis rasional bagi politisi garis kanan AS. Karena insiden gedung WTC yang sangat fenomenal, seolah telah meruntuhkan hegemoni AS dalam bidang politik, militer dan juga ekonomi secara global. Maka mereka berharap akan terjadi perubahan total dalam strategi politik luar negeri AS. Tegasnya, politisi garis kanan AS menginginkan agar negaranya menggunakan kekuatan militer dan senjata untuk mendapatkan seluruh agenda dan tujuan politiknya di seluruh dunia 3.

Para politisi garis kanan juga menginginkan agar AS merubah sikap lunaknya terhadap beberapa negara tertentu, serta segera menggunakan kekuatan militer untuk menghantam semua negara yang dianggap membangkang terhadap kepentingan kebijakan politik AS. Hal itu demi kepentingan politik dan pengaruh AS di dunia. Maka menurut mereka, AS harus melakukan semua kepentingannya tanpa memperdulikan kode etik dan undang-undang internasional sekalipun, seperti masalah HAM dan kebebasan 4.

Dengan berbagai alasan, termasuk alasan idiologis, yang terkait langsung dengan insiden 11 September dengan beberapa unsur preseden buruknya, maka gerakan politisi AS garis kanan mempunyai beberapa prediksi radikal yang esensial, di antaranya 5 : - Dalam prediksi politisi garis kanan, bahwa insiden 11 September terjadi karena

sikap dan kebijakan AS yang sangat lemah terhadap musuh-musuhnya yang mengancam eksistensi Amerika.

- Insiden 11 September memberikan peluang lebar kepada AS untuk melancarkan perang kepada beberapa negara dengan kedok terorisme internasional, yang menurutnya menjadi ancaman global. Insiden itu juga membuat semua Negara

3

Prof. Abdurrahman Farhana “Imperialisme Amerika Berjubah Demokrasi”

http://www.infopalestina.com/ viewall.asp?id=394

4

Lihat Elba Damhuri, Di Balik Invasi AS ke Irak, Jakarta: Senayan Publishing, 2003. hal. 36

5 Ibid.


(12)

takluk bertekuk lutut di bawah pengaruh politik AS. Dalam kondisi seperti itu, membuat AS merasa percaya diri akan mendapatkan semua dan agenda politiknya tanpa hambatan berarti. Dengan hegemoni politik yang di laur batas kewajaran yang dikuasai AS, rasanya tidak mungkin mereka gagal dalam menggalang kekuatan dari para sekutunya untuk memuluskan semua rencana. Melihat hal ini salah seorang politisi AS garis kanan mengatakan, "Dengan kekuatan militer yang tanpa pesaing membuat AS ingin mencobanya. Ini berlawanan dengan kebijakan Eropa yang lebih menahan diri dalam mengembangkan persenjataan militernya. Tetapi kebijakan Eropa yang lebih lunak dalam persenjataan membuat mereka lemah di sisi ini. Namun ini sejalan dengan pemikiran intelektual mereka yang berpandangan bahwa kekuatan –pada zaman global sekarang– bukan hal yang strategis untuk berkuasa. Tetapi kalau kita perhatikan perjalan sejarah kekaisaran, sikap arogan yang berlebihan merupakan "penyakit" berbahaya yang menimpa sebuah rezim yang biasanya membawa ke tangga kejatuhannya."

- Dalam logika politik AS, kepentingan stabilitas keamanan dan politik ekonomi strategis negerinya merupakan prioritas utama yang tidak mungkin ditukar dengan kepentingan lainnya.

- Dalam pendangan politisi garis kanan AS, menggunakan senjata dan kekuatan militer merupakan langkah strategis untuk memperkokoh hegemoni politik luar negeri AS. Karena itu, sistem imperialisme dan langkah diktatoris – yang digunakan oleh beberapa negara eropa dua abad yang lalu – merupakan langkah tepat.

Akan tetapi ada apa di balik pemikiran radikal politisi AS itu? Dan mengapa mereka menyerang Irak dan ingin mengganti rezim Saddam Husein?

Alibi-alibi yang dikemukakan oleh AS terhadap dunia internasional untuk menyerang Irak sangat lemah, justru sikap kerasnya di tengah protes internasional ataupun regional dari negeri sendiri, mengindikasikan ada tujuan tertentu dibalik sikap keras itu. Sebuah tujuan yang menurut prediksi mayoritas pengamat, akan sangat menentukan bagi masa depan politik dan ekonomi AS sendiri 6. Dari segi politik

6 Hery Punto, et.al.,

Irak pasca Invasi: AS, Minyak dan Pan-Arab, Jakarta: Global Mahardika Netama, 2003. hal. 57


(13)

nampaknya AS ingin menambah jangkar hegemoni politiknya dari para pesaingnya seperti Rusia, Jerman, Prancis dan China. Sementara dari sisi ekonomi, nampaknya AS tidak ingin "ketinggalan" untuk ikut "menjarah" berinvestasi dalam eksplorasi minyak Irak yang selama ini lebih didominasi oleh Rusia dan negara-negara lain. Selain itu, memang, hanya minyak Irak saja yang belum berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat, karena negara-negara penghasil minyak lainnya seperti Arab Saudi dan Kuwait sudah berada dalam kekuasaannya 7.

Berikut ini beberapa indikator kuat kepentingan AS di balik serangannya ke Irak 8 : - AS berusaha menggunakan momen ini untuk menekan berbagai pihak yang kurang

mendukung kepentingannya dengan membentuk geo politik internasional yang sesuai dengan kebijakan AS yang mengarah kepada kepentingan politik, ekonomi dan militer negaranya.

- Mengisi kekosongan kekuasaan pasca keruntuhan Uni Sovyet di beberapa wilayah yang sebelumnya merupakan sekutu Uni Sovyet, yang memanjang dari Asia Selatan, Asia Timur sampai wilayah Balkan dan negara-negara Timur Tengah. Terutama kekosongan idiologi negara-negara tersebut, terlebih karena adanya kekhawatiran pengisian kekosongan idiologi itu dengan munculnya idiologi Islam sebagai alternatif, yang menurut prediksi beberapa pengamat bahwa Islam telah mengalami peningkatan secara signifikan di beberapa negara yang ditinggal Uni Sovyet.

- Menguasai kekosongan geo politik negara-negara yang kaya minyak, yang terbentang dari Asia Tengah sampai negara gurun pasir jazirah Arab. Penguasaan negara-negara itu memiliki dua target utama. Pertama, optimalisasi bahan-bahan produksinya, terutama minyak sebagai cadangan dan antisipasi melemahnya produksi minyak negara paman syam tersebut. Kedua, optimalisasi penguasaan pengaruh politik strategis internasional AS dengan menggunakan isu minyak di negara-negara bekas kekuasaan Uni Sovyet.

7

Ibid.

8


(14)

- Serangan terhadap Irak akan memberikan peluang besar bagi AS untuk menata ulang wilayah Timur Tengah, yang akan memberi peluang luas bagi berjalannya agenda zionisme Israel dalam menghadapi konflik dengan Palestina. Hal ini sejalan dengan kebijakan politik para politisi radikal garis kanan AS yang sangat mendukung Israel.

Menyikapi situasi itu salah seorang mantan kepala intelijen Israel berpendapat: “Sudah merupakan kepastian bahwa rezim siapapun yang akan berkuasa di Irak pasca serangan AS ke sana, merupakan rezim yang berbentuk "tang" yang akan mencabuti semua ancaman di Timur Tengah terhadap semua agenda Amerika-Israel. Dengan demikian maka serangan AS ke Irak akan menyelematkan muka Israel dari krisis negara tersebut pasca aksi intifadhoh dalam dua tahun terakhir ini.” 9

- Menekan dan menahan kemajuan negara-negara tersebut, serta menekan pergerakan Islam yang sedang berkembang di negara-negara tadi terutama setelah meletusnya aksi intifadhoh di Palestina.

Khusus untuk masalah stategi baru pemerintahan AS tentang sikapnya terhadap masalah Timur Tengah, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Amerika mengeluarkan hasil kajiannya dengan tema "Amerika dan Dunia Islam: Krisis Hubungan Dua Kebijakan" yang diajukan oleh DR Bay Deploy Singer. Menurutnya, sebaiknya AS harus melakukan demokratisasi di negara-negara Timur Tengah untuk meminimalisir sikap kontra masyarakat di wilayah tersebut terhadap kebijakan negara paman Sam itu. Pada waktu bersamaan, AS harus pandai menjaga berbagai kepentingan di negara-negara Timur Tengah untuk mengantisipasi kemungkinan naiknya kekuatan politik baru negara-negara Arab terutama kekuatan Islam yang kontra AS 10.

Hal senada diungkapkan oleh Richard Hass, Direktur Perencanaan Politik di Departemen Luar Negeri AS, yang menekankan bahwa AS harus melakukan demokratisasi di wilayah Timur Tengah 11.

9

Ibid.

10

http://www.swaranet.com/ viewall.politik 11


(15)

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa AS mendengungkan demokrasi di Timur Tengah akhir-akhir ini? Padahal hubungan antara negara itu dengan negara-negara Arab sudah berlangsung puluhan tahun? Mengapa AS tidak mempersoalkannya dari dahulu? Apakah pada waktu yang lalu sistem pemerintahan di Timur Tengah menguntungkannya dan sekarang sebaliknya?

Yang jelas nampaknya perubahan kebijakan dengan alibi demokratisasi adalah karena adanya sikap anti politik AS dan kebijakannya yang muncul dari umat Islam secara umum. Juga sebagai tindakan antisipasi AS akan berubahnya sikap anti dan kontra tersebut menjadi aksi lebih besar, berupa aksi politik yang akan mengancam kepentingan AS di negara-negara berpenduduk muslim.

Sikap khawatir AS itu memang rasional, karena menurut hasil survey dan polling yang dilakukan oleh www.aljazeera.net pada tanggal 5/12/2002, terbukti bahwa citra AS memburuk di hampir seluruh dunia terutama di negara yang berpenduduk muslim. Dalam polling itu diperoleh kesimpulan sekitar 55% dari rakyat Turki misalnya mempunyai penilaian negatif terhadap AS. Bahkan di beberapa negara lain prosentasinya lebih tinggi lagi. Di Jordania 75%, di Nigeria 77% dan di Uzbekistan sekitar 85% yang mempunyai penilaian negatif terhadap kebijakan politik AS 12.

Pada akhirnya, kebijakan demokratisasi merupakan kebijakan yang tidak populis yang diterapkan oleh AS. Meskipun demikian demokratisasi di Timur Tengah akan membawa dampak positif bagi kepentingan AS sendiri. Minimal hal itu bisa kita lihat dari beberapa point berikut ini 13:

- Memaksimalkan peranan politik AS untuk melancarkan intervensi langsung terhadap wilayah Timur Tengah, yang mereka mulai dengan menyerang Irak. Setelah itu mereka akan berusaha untuk merubah citranya di hadapan rakyat muslim Timur Tengah. Karena akhir-akhir ini umat Islam berpandangan bahwa AS sedang melakukan bentuk imperialisme dan kolonialisme baru yang akan mengancam perdamaian dunia.

12

http://www.aljazeera.net

13


(16)

- Melancarkan intervensi langsung dalam negeri di negara-negara Timur Tengah untuk mempengaruhi pola fikir generasi muda umat Islam, agar bisa bertoleransi dengan kepentingan AS. Terutama dengan isu terorisme internasional, yang dalam hal ini banyak difahami oleh kalangan Islam sebagai "terorisme Islam".

- Meng-counter pandangan dari kalangan Islam yang berpendapat bahwa serangan 11 September hanyalah rekayasa busuk AS untuk menghancurkan perkembangan Islam, serta menekan umat Islam dan negara-negara Timur Tengah.

- Memberikan kesempatan luar kepada politisi Timur Tengah yang beraliran liberal untuk meng-counter gerakan Islam terutama gema intifadhoh yang mampu menggerakan umat Islam dunia, tanpa kecuali umat Islam AS

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Pada umumnya studi politik internasional, sebenarnya merupakan studi kebijakan politik luar negeri, di mana kebijakan ini didefenisikan sebagai keputusan-keputusan yang merumuskan tujuan, menentukan preseden, atau melakukan tindakan-tindakan tertentu, dan tindakan yang diambil untuk mengimplementasikan keputusan-keputusan itu 14. Atau kebijakan luar negeri dapat diartikan sebagai suatu strategi atau tindakan terencana yang dikembangkan oleh para pembuat keputusan dalam menghadapi negara-negara lain atau kelompok-kelompok internasional dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan dalam bentuk Kepentingan Nasional 15.

Sedangkan Kepentingan Nasional menurut Donald Nuetherlein 16 terdiri dari empat kategori yaitu, Pertama: kepentingan pertahanan (defense homeland), kepentingan ini antara lain mencakup kepentingan untuk melindungi negara, warga negara serta sistem nasional dari ancaman kekerasan fisik negara lain. Kedua : kepentingan ekonomi (economic well-being), kepentingan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi negara dalam hubungan dengan negara lain. Ketiga, kepentingan tata dunia

14

K.J Holsti, Politik Internasional : Kerangka untuk analisis, terj., Jilid I. Jakarta: Erlangga, 1988. hal. 28

15

Zulkarnain, Analisis Kebijakan Luar Negeri, UNAS Jakarta, 2001, hal. 20

16

Jack C. Plano and Roy Olton, The International Relations Dictionary, California: Oxford Press, 1982, hal 7.


(17)

dan keamanan internasional (favorable world order), tujuan dari kepentingan ini adalah memelihara dan mengembangkan sistem ekonomi dan politik internasional agar warga dunia dapat bekerja dengan penuh kedamaian melampaui batas-batas negaranya. Sedangkan yang keempat adalah kepentingan ideologi (promotion values), kepentingan ini menyangkut upaya mensosialisasikan nilai-nilai yang diyakini mampu menciptakan menciptakan kedamaian universal 17.

Maka dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan Geoge W. Bush terhadap Irak pada rentang waktu tahun 2001 sampai dengan 2003.

Adapun penulis rumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Pandangan George W. Bush terhadap Irak?

2. Apakah landasan kebijakan Politik Luar negeri Amerika pada masa pemerintahan George W. Bush?

3. Bagaimanakah Kebijakan Politik Luar negeri George W. Bush terhadap Irak pada tahun 2001 sampai dengan 2003?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pandangan George W. Bush terhadap Irak.

2. Mengetahui apakah yang menjadi landasan kebijakan Politik Luar negeri Amerika pada masa pemerintahan George W. Bush.

3. Mengetahui Kebijakan Politik Luar negeri George W. Bush terhadap Irak.

D. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan ini terdiri dari : 1. Jenis Penelitian

17

Donald E. Nuehterlein, The Concept of National Interest : A Time for A New Approach, ORBIS, Vol. XXIII, no. 1, 1976, hal 176


(18)

Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Menurut Koentjaraningrat, metode deskriptif adalah penelitian yang memberi gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan gambaran yang cermat tentang kebijakan luar negeri George W. Bush terhadap Irak maka penulis lakukan riset pustaka (Library research) yaitu mencari berbagai informasi dan data melalui analisis dan konsep-konsep pemikiran ahli yang di muat dalam buku, karya ilmiah, jurnal, artikel baik dari dalam maupun luar negeri.

3. Metode Analisis Data

Yang dimaksud dengan teknik analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah di baca dan diinterpretasikan 18. Setelah terkumpul data-data yang diperlukan maka peneliti mencoba untuk menganalisa data dengan menggunakan proses induktif yang kemudian dapat menghantarkan pada sebuah kesimpulan.

4. Teknik penulisan

Untuk mempermudah teknik penulisan skripsi ini, maka penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Desertasi yang diterbitkan UIN Jakarta Press tahun 2002.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini disusun dan dibagi menjadi lima bab yang masing-masing memiliki sub bab, terdiri dari:

18

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1995. Cet. I, hal. 263


(19)

Bab I : Merupakan penjabaran dari pendahuluan, latar belakang, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II : Gambaran Kebijakan Luar Negeri Amerika di bawah pemerintahan Geroge W. Bush, yang terdiri dari Nilai Dasar Kebijakan Luar Negeri AS, Mekanisme Pengambilan Kebijakan Luar Negeri AS, dan Prioritas Kebijakan Luar Negeri.

Bab III : Berisikan Kebijakan luar negeri George W. Bush terhadap Irak, yakni Persepsi George W. Bush Terhadap Irak, Strategi Kebijakan Keamanan Nasional Presiden George W. Bush dan Kebijakan Luar Negeri George W. Bush Terhadap Irak.

Bab IV : Invasi Militer AS ke Irak, Alasan-alasan AS Menginvasi Irak, Legalitas Invasi Amerika terhadap Irak, Reaksi Irak atas Invasi Amerika, Respon Dalam Negeri AS terhadap Invasi AS ke Irak dan Respon Internasional terhadap Invasi AS ke Irak


(20)

BAB II

GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN LUAR NEGERI AS DI BAWAH PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH

Nilai Dasar Kebijakan Luar Negeri AS

Pada umumnya kebijakan luar negeri yang dilaksanakan oleh suatu negara dalam menjalin hubungannya dengan negara lain tidak terlepas dari adanya maksud dan tujuan yang ingin dicapainya. Beberapa negara mencoba untuk menjamin keamanannya sendiri dengan kemampuannya untuk

mencegah atau menolak serangan dan ancaman dari negara lain dan melindungi keberadaan dan kelangsungan hidup negaranya. Adanya hal diatas tampak bahwa keamanan menjadi pusat perhatian setiap negara.

Dengan keadaan yang demikian untuk menghadapi bahaya atau ancaman baik dari dalam maupun dari luar, beberapa negara telah membentuk aliansi-aliansi atau berusaha membangun militer baik darat, laut, maupun udaranya. Demikian halnya dengan AS. Meskipun untuk saat ini AS dianggap sebagai negara adidaya, AS menganggap perlu bahwa masalah pertahanan akan selalu menjadi prioritas dalam kebijakan luar negerinya.

Sehubungan masalah pertahanan menjadi prioritas utama, maka tidak heran kalau anggaran pertahanan AS adalah paling besar di dunia. Selain itu pangkalan-pangkalan militer AS tersebar di beberapa daerah seperti di Asia, Afrika, dan Eropa.

Untuk tetap menjadi satu-satunya negara adidaya, AS mengembangkan kemampuan militernya, baik yang konvensional maupun yang

non-konvensional. Teknologi militer yang begitu tinggi, mengantarkan AS menjadi sebuah negara yang paling di segani dan di takuti oleh kawan maupun lawan-lawannya.


(21)

Kebijakan luar negeri AS sering dibicarakan dalam lingkup ketegangan dialektik antara dua pola yang berlawanan : pragmatisme-realisme dan legalisme-moralisme. Atau dengan kata lain, kebijakan luar negeri AS mondar-mandir antara politik riil dan moralisme 19. Bagi para pendukung dan praktisnya, realisme adalah sebuah pemahaman yangtertib, jernih, dan tegas, tentang perumusan kebijakan yang didasari pada

kepentingan negara yang didefenisikan dengan baik. Esensi realisme ini adalah kepentingan nasional yang terkait erat dengan keamanan nasional 20

.

Sebaliknya, legalisme – moralisme menunjukan sebuah etos budaya yang lebih dalam beserta nilai-nilainya. Nilai-nilai ini tertanam dalam

gagasan inti dari kebesaran bangsa, berdampingan dengan perjuangan kebebasan individu dan kapitalisme demokratis di dalam dan di luar negeri. Sebagian besar orang Amerika menganggap dirinya masyarakat yang superior dalam moral dan politik. Bagai sebuah kota gemerlap di atas bukit, membawa misi universal dengan didorong anggapan diri yang merasa istimewa. Mereka yang tidak sepaham mengatakan, suatu kebijakan luar negeri aktif yang ditujukan untuk kebesaran bangsa-bangsa akan

membahayakan kebebasan yang merupakan warisan kaum republik 21. Tapi seringkali pandangan dominan diantara para penentu kebijakan yang berpengaruh bergerak sepanjang ruang lebar diantara dua titik

ekstrim, tujuan politik riil dan moral. Perdebatan yang terjadi antara para realis dan moralis ini berakar dari gaya bangsa Amerika yang didasari letak geografis, perjalanan sejarah, sistem ekonomi, dan nilai-nilai serta budaya

19

Lihat Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam Politik Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?, penerjemah : Kili Pringgodigdo, Hamid Basyaib. Jakarta:Alvabet, 2002. Cet. I

20

Glenn H. Hastedt, America Foreign Policy: Past, Present, Future, Englewood Cliffs,NJ: Prentice Hall, 1997. hal. 28-34

21

Dexter Perkins, The American Approach to Foreign Policy, Cambridge, MA: Harvard University, 1962.


(22)

politiknya. Gaya Amerika ini menjadikan AS bergerak bagai pendulum dari kondisi isolasionalisme di masa damai ke aktifitas moral di masa perang 22.

Bagaimanapun, sepanjang abad yang lalu satu hal yang selalu ada dalam kebijakan luar negeri AS adalah semangat untuk “menerapkan

demokrasi di luar ngeri sebagai cara untuk menjaga keamanan nasional” 23. Walaupun bangsa Amerika mengkaitkan demokrasi dengan perdamaiandan otoritarianisme dengan agresi, dikotomi sederhana ini tidak dijadikan dasar bagi kebijakan luar negeri Washington. Sejahrawan John Gaddis

mengamati, secara tradisional AS mengkaitkan keamanan negaranya dengan keseimbangan pembagian kekuasaan di dunia. Sesekali, elit pembuat kebijakan luar negeri mereka membungkus perimbangan kekuasaan ini dibalik topeng idealis dan menggunakan pandangan demokratis hanya sebagai pemanis. Idealisme demokrasi dikorbankan di altar perhitungan politik riil untuk kepentingan diri sendiri. Kebijakan para intervensionis juga dibenarkan dengan alasan membuat dunia ini “aman untuk demokrasi” 24. Jadi, kebijakan luar negeri AS adalah produk sebuah spektrum menyeluruh dari realitas-realitas politik dalam negeri.25

2. Tujuan Kebijakan Luar Negeri AS

Kebijakan luar negeri suatu negara memiliki maksud dan tujuan utama. Seperti halnya AS dalam kebijakan luar negerinya memiliki tujuan-tujuan. Tujuan-tujuan dari kebijakan luar negeri AS adalah 26 :

1. Untuk menjamin kemerdekaan negaranya dengan adanya batas-batas yang memadai dalam menjaga keamanan nasional.

22

Seyom Brown, The Faces of Power: United States Foreign Policy from Truman to Clinton, New York: Columbia University Press, 1994, hal. 7

23

Seperti dikutip oleh Tony Smith, America’s Mission: The United States and the Worldwide struggle for democracy in the 20th Century, Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994, hal. 348

24

John Lewis Gaddis, The United States and the End of the Cold War Implications, Reconsiderations, Provocations. New York: Oxford University Press, 1992, hal. 9-11

25

William B. Quandt,amp David: Peace Making and Politics, Washington DC: The Brookings Institution, 1986, hal. 15-16

26

Julius W. Pratt, A History of United States Foreign Policy, Englewood Cliffs: Prentice Hall, New York, 1965, hal. 3-4


(23)

2. Memperluas batas-batas demi kepentingan keamanan pelayaran, perdagangan, bagi pertumbuhan populasi dan penyebaran demokrasi. 3. Memajukan dan melindungi hak dan kepentingan warga negara

Amerika dalam perdagangan dan penanaman modal di luar negeri, menjaga perdamaian dan perdagangan Timur Jauh.

4. Memelihara netralitas dan perdamaian untuk mencegah terjadinya perang Eropa – Asia sesuai dengan pemeliharaan keamanan yang dilakukan AS dan kepentingan-kepentingannya yang vital dan juga sebagai alat bagi penyelesaian perdamaian terhadap semua persekongkolan internasional.

5. Untuk mencegah kekuatan Eropa yang selanjutnya akan melakukan koloni aliansi di belahan bumi barat dan mencegah adanya gangguan-gangguan yang lain. Hal ini melibatkan pemeliharaan atau perbaikan perimbangan kekuatan di Eropa.

6. Secara terbuka tujuan yang spesifik dari kebijkan luar negeri AS dapat ditambahkan satu lagi dengan tujuan umum yaitu suatu keinginan kemanusiaan menyebarkan agama Kristen dan demokrasi, mengakhiri perdagangan budak, menghentikan pembunuhan masal, menghilangkan perang saudara, menanggulangi bencana kelaparan, gempa bumi, serta menaikan standar kehidupan negara-negara terbelakang.

Dalam melaksanakan diplomasi untuk keberhasilan kebijakan luar negerinya, AS menggunakan instrumen diplomatik dan prosedurnya. Kebijakan luar negeri suatu negara seperti halnya AS dalam

penggunaannya tetap di desain dengan berdasarkan pada kepentingan asional negara itu. Alasan ekonomi pun juga menentukan maksud atau tujuan dari kebijakan luar negerinya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya usaha-usaha dari AS untuk menguasai sistem perekonomian dunia. Kapitelisme ekonomi global adalah salah satu kebijakan ekonomi AS. Karena kepentingan ekonomi AS ada di hampir seluruh penjur dunia, maka sangat wajar apabila AS terus meningkatkan kekuatan militernya untuk menjaga kepentingan-kepentingan ekonominya.

Mekanisme Pengambilan Kebijakan Luar Negeri AS

Sedikitnya ada tiga hal yang memerlukan penjelasan tentang bagaimana pengambilan kebijakan luar negeri AS. Yang pertama adalah kerangka


(24)

negeri dan keamanan nasional yang berkembang sebagai akibat yang wajar dan meluasnya peran Amerika pasca Perang Dunia II. Ketiga, peran opini publik dan kelompok-kelompok dalam masyarakt Amerika Serikat. Ketiga hal ini merupakan hal yang sangat mendasar dalam pengoperasian proses pembuatan kebijakan luar negeri dan kemanan nasional Amerika. Kerangka Konstitusional

Pembatasan dan hambatan yang dikenakan oleh kerangka

konstitusional dan institusional adalah hal yang seringkali dikeluhkan dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS. Dalam usaha untuk membentuk kerangka pemerintah yanglebih kuat dari Article of Confederation, yaitu menyediakan kapasitas yang lebih besar bagi

pemerintah nasional tetapi tidak terlalu kuat untuk mengancam kebebasan para perancang konstitusi untuk merancang struktur kelembagaan

pemerintah nasional yang terpecah seperti yang dikenal saat ini mengikuti pola trias politic. Wewenang dan tanggung jawab pembuatan kebijakan ditanggung bersama oleh ketiga cabang pemerintahan, dimana kongres dan lembaga eksekutif (presiden) mengambil peran yang penting dalam

perumusan dan pelaksanaan urusan luar negeri negara.

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, Presiden memiliki hak untuk menerima dan mengirim duta besar, namun senat memiliki wewenang untuk mensahkan perjanjian-perjanjian yang dibuat da sisepakati melalui dua pertiga suara, dan juga menegaskan target utama dari hubungan luar negeri, militer dan kesepakatan-kesepakatan politik. Presiden adalah panglima tertinggi Angkatan Bersenjata, namun hanya kongres yang memiliki wewenang untuk menyatakan perang, menyediakan dana untuk persenjataan militer, dan mengatur perniagaan dengan negara-negara lainnnya 27.

27

Eric M. Spanier, John and Uslaner, How American Foreign Policy is Made?, New York: Norton, 1972 hal.53


(25)

Oleh karena terbaginya kekuasaan atau hubungan luar negeri antara Presiden dan Kongres inilah maka terjadi suatu persaingan antar lembaga tersebut, dimana masing-masing lembaga dari waktu ke waktu dan kasus per kasus, saling mendominasi peran, pengaruh dan wewenangnya dalam menentukan kebijakan luar negeri.

Walaupun demikian, hingga saat ini setiap warga Amerika masih beranggapan bahwa Presiden adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam hubungan luar negeri, dimana presiden dapat menyatakan

kebenaran alasannya untuk mengirimkan pasukan ke luar negeri melalui kewenangannya terhadap lebih dari 125 instansi negara 28.

Meskipun lembaga eksekutif diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan proses diplomasi dan perang, tetapi wewenang untuk menyatakan perang dan mengikat bangsa dalam suatu kegiatan luar negeri yang penting adalah hak kongres. Presiden merupakan panglima Tertinggi dan bertanggung jawab atas perundingan dan perjanjian-perjanjian dan pelaksanaan diplomasi sehari-hari. Tetapi kongres menguasai Angkatan Darat dan Angkatan Laut, menyatakan perang, menyetujui pelaksanaan perang terbatas dan harus menyetujui dan

mengesahkan perjanjian-perjanjian sebelum menjadi undang-undang yang berlaku di negara itu.

Pada saat seorang Presiden meminta persetujuan dari Kongres terhadap persoalan-persoalan kebijakan luar negeri, Presiden memiliki kecenderungan lebih sering menang jika dibandingkan ketika meminta dukungan pada persoalan-persoalan domestik. Pada periode antara tahun 1948-1964, kongres menyetujui sekitar 73 % konsep ukuran pertahanan presiden, 71 % proposal perjanjian dan bantuan luar negeri, 59 %

persoalan-persoalan kebijakan luar negeri lainnya. Akan tetapi hanya 40% yang disetujui oleh kongres terhadap program-program domestik.

28


(26)

3.

BAB III

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAK

F. Biografi Politik George W. Bush

George Walker Bush (lahir 6 Juli 1946 di New Haven, Connecticut) adalah

pengusaha dan politikus Amerika Serikat yang merupakan Presiden Amerika Serikat

yang ke-43 saat ini. Ia mulai menjabat sejak 20 Januari 2001. Sebelumnya, Bush menjabat sebagai Gubernur ke-46 negara bagian Texas pada tahun 1995 sampai 2000

29 .

Jabatan kepresiden keduanya berakhir pada 20 Januari2009. Ia adalah anak mantan Presiden George H. W. Bush dan adiknya bernama Jeb Bush, gubernur negara bagian

Florida. Kakeknya bernama Prescott Bush, yang pernah menjadi senator Amerika

Serikat.

Bush, anggota Partai Republik (Republican Party), terpilih menjadi Gubenur Texas

yang ke-46 pada tahun 1994 dan terpilih kembali pada 1998. Ia menerima nominasi dari Partai Republik untuk turut serta dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat Tahun 2000

untuk menyaingi kandidat Partai Demokrat (Al Gore) yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden. Pemilu 2000 diwarnai oleh ketidakpastian di negara bagian

Florida ketika Al Gore mempertikaikan hasil pemilihan di beberapa wilayah pemilihan. Akhirnya Mahkamah Agung menetapkan Bush sebagai pemenang di Florida, dan

29

"Biography of President George W. Bush" http://www.whitehouse.gov/president/ gwbbio. html., h. 2


(27)

sekaligus pemenang dalam pemilu 2000 atas Gore. Pada 2004, Bush terpilih kembali untuk masa jabatan keduanya ketika memenangi pemilu atas John Kerry, Senator Demokrat dari Massachusetts.

1. Pendidikan dan Keluarga

Bush lulus dari Universitas Yale dengan gelar Bachelor of Arts dalam bidang sejarah pada tahun 1968. Kemudian pada tahun 1975, ia memperoleh gelar

Master of Business Administration (MBA) dari Sekolah Bisnis Harvard. Dua tahun kemudian ia menikahi Laura Welch dan memperoleh dua orang anak kembar, Barbara dan Jenna pada tahun 1981.30

2. Karier Bisnis

Ia mengawali karir dalam dunia usaha pada tahun 1979 dengan mendirikan Arbusto Energy, sebuah perusahaan pengeboran minyak dan gas. Arbusto dijualnya pada tahun 1984 kepada Spectrum 7, perusahaan minyak lainnya dan diubah namanya menjadi Bush Exploration Co. Bush sendiri menjadi CEO perusahaan baru tersebut. Kemudian pada tahun 1986, Spectrum 7 melakukan merger dengan Harken Energy, dan Bush menjadi direktur Harken.

Pada April 1989, Bush dan beberapa rekan investor lain membeli 86% saham klub bisbol AS, Texas Rangers dengan pinjaman sebesar US$500.000 dari bank. Pinjaman tersebut dibayarnya dengan menjual sahamnya sebesar US$848.000 di

30

Info USA Information USA Bureau of International Information Programs 2004-2005 Edition, (Washington: US. Departement of State, 2004).


(28)

Harken. Hal ini memicu kerugian yang besar di Harken, dalam peristiwa yang dikenal dengan nama "Skandal Harken".31

3. Presiden AS

Bush merupakan orang kedua menjadi presiden yang mengikuti jejak ayahnya

George H. W. Bush, Presiden Amerika Serikat yang ke-41, setelah John Adams, Presiden kedua, dan John Quincy Adams, yang keenam, merupakan bapak dan anak. Terdapat juga pasangan kakek dan cucu, William Henry Harrison dan

Benjamin Harrison.32 a. Masa Jabatan Pertama

Masa jabatannya sebagai presiden didominasi "perang melawan terorisme", yang mencuat setelah terjadinya Peristiwa 9/11 (serangan terhadap WTC). Menggunakan serangan tersebut sebagai alasan, ia memerintahkan invasi terhadap Afganistan pada tahun 2001 untuk membebaskan Afganistan dari rezim Taliban dan Irak pada tahun 2003 untuk menjatuhkan pemerintah Saddam Husein. Bush menyatakan kemenangan AS dalam invasi Irak pada 1 Mei 2003, namun hingga kini (2005) konflik di Irak masih belum berakhir akibat serangan-serangan dari para pemberontak.33

b. Masa Jabatan Kedua

31

Ibid. 32

http://id.wikipedia.org/wiki/George W. Bush

33 Ibid.


(29)

Meskipun banyak pihak yang menentang kedua peristiwa tersebut (khususnya dari luar AS), ia memenangkan Pemilu Presiden Amerika 2004

dengan selisih 3% dengan saingan utamanya John Kerry. Masa jabatan keduanya masih dipenuhi masalah di Irak, karena korban dari pasukan AS terus berjatuhan, mencapai lebih dari 2.000 orang hingga November 2005.

Selain itu, peristiwa penting lain pada masa jabatan kedua ini adalah Badai

Katrina pada Agustus 2005. Tanggapan Bush dianggap lambat dalam

menangani peristiwa ini, yang memakan korban lebih dari ribuan jiwa. Selain itu, peristiwa ini juga memperlihatkan jurang ekonomi yang jelas antara kaum kulit putih dan kulit hitam di Amerika.34

G. Gambaran Umum Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat F. Nilai Dasar Kebijakan Luar Negeri AS

Pada umumnya kebijakan luar negeri yang dilaksanakan oleh suatu negara dalam menjalin hubungannya dengan negara lain tidak terlepas dari adanya maksud dan tujuan yang ingin dicapainya. Beberapa negara mencoba untuk menjamin keamanannya sendiri dengan kemampuannya untuk mencegah atau menolak serangan dan ancaman dari negara lain dan melindungi keberadaan dan kelangsungan hidup negaranya. Adanya hal diatas tampak bahwa keamanan menjadi pusat perhatian setiap negara.

Dengan keadaan yang demikian untuk menghadapi bahaya atau ancaman baik dari dalam maupun dari luar, beberapa negara telah

34 Ibid.


(30)

membentuk aliansi-aliansi atau berusaha membangun militer baik darat, laut, maupun udaranya. Demikian halnya dengan AS. Meskipun untuk saat ini AS dianggap sebagai negara adidaya, AS menganggap perlu bahwa masalah pertahanan akan selalu menjadi prioritas dalam kebijakan luar negerinya.

Sehubungan masalah pertahanan menjadi prioritas utama, maka tidak heran kalau anggaran pertahanan AS adalah paling besar di dunia. Selain itu pangkalan-pangkalan militer AS tersebar di beberapa daerah seperti di Asia, Afrika, dan Eropa.

Untuk tetap menjadi satu-satunya negara adidaya, AS mengembangkan kemampuan militernya, baik yang konvensional maupun yang non-konvensional. Teknologi militer yang begitu tinggi, mengantarkan AS menjadi sebuah negara yang paling di segani dan di takuti oleh kawan maupun lawan-lawannya.

4. Kebijakan Luar Negeri AS

Kebijakan luar negeri AS sering dibicarakan dalam lingkup ketegangan dialektik antara dua pola yang berlawanan : pragmatisme-realisme dan legalisme-moralisme. Atau dengan kata lain, kebijakan luar negeri AS mondar-mandir antara politik riil dan moralisme 35. Bagi para pendukung dan praktisnya, realisme adalah sebuah pemahaman yang tertib, jernih, dan tegas, tentang perumusan kebijakan yang didasari

35

Lihat Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam Politik Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?, penerjemah : Kili Pringgodigdo, Hamid Basyaib. (Jakarta: Alvabet, 2002), Cet. I


(31)

pada kepentingan negara yang didefenisikan dengan baik. Esensi realisme ini adalah kepentingan nasional yang terkait erat dengan keamanan nasional 36.

Sebaliknya, legalisme – moralisme menunjukan sebuah etos budaya yang lebih dalam beserta nilai-nilainya. Nilai-nilai ini tertanam dalam gagasan inti dari kebesaran bangsa, berdampingan dengan perjuangan kebebasan individu dan kapitalisme demokratis di dalam dan di luar negeri. Sebagian besar orang Amerika menganggap dirinya masyarakat yang superior dalam moral dan politik. Bagai sebuah kota gemerlap di atas bukit, membawa misi universal dengan didorong anggapan diri yang merasa istimewa. Mereka yang tidak sepaham mengatakan, suatu kebijakan luar negeri aktif yang ditujukan untuk kebesaran bangsa-bangsa akan membahayakan kebebasan yang merupakan warisan kaum republik 37.

Tapi seringkali pandangan dominan diantara para penentu kebijakan yang berpengaruh bergerak sepanjang ruang lebar diantara dua titik ekstrim, tujuan politik riil dan moral. Perdebatan yang terjadi antara para realis dan moralis ini berakar dari gaya bangsa Amerika yang didasari letak geografis, perjalanan sejarah, sistem ekonomi, dan nilai-nilai serta budaya politiknya. Gaya Amerika ini menjadikan AS bergerak bagai

36

Glenn H. Hastedt, America Foreign Policy: Past, Present, Future, (New York: Prentice Hall, 1997), h. 28-34

37

Dexter Perkins, The American Approach to Foreign Policy, (Cambridge: Harvard University, 1962).


(32)

pendulum dari kondisi isolasionalisme di masa damai ke aktifitas moral di masa perang 38.

Bagaimanapun, sepanjang abad yang lalu satu hal yang selalu ada dalam kebijakan luar negeri AS adalah semangat untuk “menerapkan demokrasi di luar negeri sebagai cara untuk menjaga keamanan nasional”39. Walaupun bangsa Amerika mengkaitkan demokrasi dengan perdamaian dan otoritarianisme dengan agresi, dikotomi sederhana ini tidak dijadikan dasar bagi kebijakan luar negeri Washington. Sejahrawan John Gaddis mengamati, secara tradisional AS mengkaitkan keamanan negaranya dengan keseimbangan pembagian kekuasaan di dunia. Sesekali, elit pembuat kebijakan luar negeri mereka membungkus perimbangan kekuasaan ini dibalik topeng idealis dan menggunakan pandangan demokratis hanya sebagai pemanis. Idealisme demokrasi dikorbankan di altar perhitungan politik riil untuk kepentingan diri sendiri. Kebijakan para intervensionis juga dibenarkan dengan alasan membuat dunia ini “aman untuk demokrasi” 40. Jadi, kebijakan luar negeri AS adalah produk sebuah spektrum menyeluruh dari realitas-realitas politik dalam negeri.41

38

Seyom Brown, The Faces of Power: United States Foreign Policy from Truman to Clinton, (New York: Columbia University Press, 1994), h. 7

39

Seperti dikutip oleh Tony Smith, America’s Mission: The United States and the Worldwide struggle for democracy in the 20th Century, (Princeton, NJ: Princeton University Press), 1994, h. 348

40

John Lewis Gaddis, The United States and the End of the Cold War Implications, Reconsiderations, Provocations. (New York: Oxford University Press, 1992), h. 9-11

41

William B. Quandt, Camp David: Peace Making and Politics, (Washington DC: The Brookings Institution, 1986), h. 15-16


(33)

5. Tujuan Kebijakan Luar Negeri AS

Kebijakan luar negeri suatu negara memiliki maksud dan tujuan utama. Seperti halnya AS dalam kebijakan luar negerinya memiliki tujuan-tujuan. Tujuan-tujuan dari kebijakan luar negeri AS adalah 42 : 1. Untuk menjamin kemerdekaan negaranya dengan adanya

batas-batas yang memadai dalam menjaga keamanan nasional.

2. Memperluas batas-batas demi kepentingan keamanan pelayaran, perdagangan, bagi pertumbuhan populasi dan penyebaran demokrasi.

3. Memajukan dan melindungi hak dan kepentingan warga negara Amerika dalam perdagangan dan penanaman modal di luar negeri, menjaga perdamaian dan perdagangan Timur Jauh.

4. Memelihara netralitas dan perdamaian untuk mencegah terjadinya perang Eropa – Asia sesuai dengan pemeliharaan keamanan yang dilakukan AS dan kepentingan-kepentingannya yang vital dan juga sebagai alat bagi penyelesaian perdamaian terhadap semua persekongkolan internasional.

5. Untuk mencegah kekuatan Eropa yang selanjutnya akan melakukan koloni aliansi di belahan bumi barat dan mencegah adanya gangguan-gangguan yang lain. Hal ini melibatkan pemeliharaan atau perbaikan perimbangan kekuatan di Eropa.

6. Secara terbuka tujuan yang spesifik dari kebijkan luar negeri AS dapat ditambahkan satu lagi dengan tujuan umum yaitu suatu keinginan kemanusiaan menyebarkan agama Kristen dan demokrasi, mengakhiri perdagangan budak, menghentikan pembunuhan masal, menghilangkan perang saudara, menanggulangi bencana kelaparan, gempa bumi, serta menaikan standar kehidupan negara-negara terbelakang.

Dalam melaksanakan diplomasi untuk keberhasilan kebijakan luar negerinya, AS menggunakan instrumen diplomatik dan prosedurnya. Kebijakan luar negeri suatu negara seperti halnya AS dalam penggunaannya tetap di desain dengan berdasarkan pada kepentingan

42

Julius W. Pratt, A History of United States Foreign Policy, (Prentice Hall, New York: Englewood Cliffs, 1965), h. 3-4


(34)

nasional negara itu. Alasan ekonomi pun juga menentukan maksud atau tujuan dari kebijakan luar negerinya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya usaha-usaha dari AS untuk menguasai sistem perekonomian dunia. Kapitalisme ekonomi global adalah salah satu kebijakan ekonomi AS. Karena kepentingan ekonomi AS ada di hampir seluruh penjuru dunia, maka sangat wajar apabila AS terus meningkatkan kekuatan militernya untuk menjaga kepentingan-kepentingan ekonominya.

G. Mekanisme Pengambilan Kebijakan Luar Negeri AS

Sedikitnya ada tiga hal yang memerlukan penjelasan tentang bagaimana pengambilan kebijakan luar negeri AS. Yang pertama adalah kerangka konstitusional dan institusional pemerintah AS. Kedua, birokrasi kebijakan luar negeri dan keamanan nasional yang berkembang sebagai akibat yang wajar dan meluasnya peran Amerika pasca Perang Dunia II. Ketiga, peran opini publik dan kelompok-kelompok dalam masyarakat Amerika Serikat. Ketiga hal ini merupakan hal yang sangat mendasar dalam pengoperasian proses pembuatan kebijakan luar negeri dan kemanan nasional Amerika.

1. Kerangka Konstitusional

Pembatasan dan hambatan yang dikenakan oleh kerangka konstitusional dan institusional adalah hal yang seringkali dikeluhkan dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS. Dalam usaha untuk membentuk kerangka pemerintah yang lebih kuat dari Article of Confederation, yaitu menyediakan kapasitas yang


(35)

lebih besar bagi pemerintah nasional tetapi tidak terlalu kuat untuk mengancam kebebasan para perancang konstitusi untuk merancang struktur kelembagaan pemerintah nasional yang terpecah seperti yang dikenal saat ini mengikuti pola trias politica. Wewenang dan tanggung jawab pembuatan kebijakan ditanggung bersama oleh ketiga cabang pemerintahan, dimana kongres dan lembaga eksekutif (Presiden) mengambil peran yang penting dalam perumusan dan pelaksanaan urusan luar negeri negara.

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, Presiden memiliki hak untuk menerima dan mengirim duta besar, namun senat memiliki wewenang untuk mensahkan perjanjian-perjanjian yang dibuat dan disepakati melalui dua pertiga suara, dan juga menegaskan target utama dari hubungan luar negeri, militer dan kesepakatan-kesepakatan politik. Presiden adalah panglima tertinggi Angkatan Bersenjata, namun hanya kongres yang memiliki wewenang untuk menyatakan perang, menyediakan dana untuk persenjataan militer, dan mengatur perniagaan dengan negara-negara lainnnya43.

Oleh karena terbaginya kekuasaan atau hubungan luar negeri antara Presiden dan Kongres inilah maka terjadi suatu persaingan antar lembaga tersebut, dimana masing-masing lembaga dari waktu ke waktu

43

Eric M. Spanier, John and Uslaner, How American Foreign Policy is Made?, (New York: Norton, 1972), h.53


(36)

dan kasus per kasus, saling mendominasi peran, pengaruh dan wewenangnya dalam menentukan kebijakan luar negeri AS.

Walaupun demikian, hingga saat ini setiap warga Amerika masih beranggapan bahwa Presiden adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam hubungan luar negeri, dimana Presiden dapat menyatakan kebenaran alasannya untuk mengirimkan pasukan ke luar negeri melalui kewenangannya terhadap lebih dari 125 instansi negara 44.

Meskipun lembaga eksekutif diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan proses diplomasi dan perang, tetapi wewenang untuk menyatakan perang dan mengikat bangsa dalam suatu kegiatan luar negeri yang penting adalah hak kongres. Presiden merupakan panglima Tertinggi dan bertanggung jawab atas perundingan dan perjanjian-perjanjian dan pelaksanaan diplomasi sehari-hari. Tetapi kongres menguasai Angkatan Darat dan Angkatan Laut, menyatakan perang, menyetujui pelaksanaan perang terbatas dan harus menyetujui dan mengesahkan perjanjian-perjanjian sebelum menjadi undang-undang yang berlaku di negara itu.

Pada saat seorang Presiden meminta persetujuan dari Kongres terhadap persoalan-persoalan kebijakan luar negeri, Presiden memiliki kecenderungan lebih sering menang jika dibandingkan ketika meminta dukungan pada persoalan-persoalan domestik. Pada periode antara

44


(37)

tahun 1948-1964, kongres menyetujui sekitar 73 % konsep ukuran pertahanan Presiden, 71 % proposal perjanjian dan bantuan luar negeri, 59 % persoalan-persoalan kebijakan luar negeri lainnya. Akan tetapi hanya 40% yang disetujui oleh kongres terhadap program-program domestik. Seorang pengamat kepresidenan, Aaron Wildavsky 45, menyimpulkan bahwa sistem politik Amerika memiliki “Two Presidencies” (dua kepresidenan). Pertama, dalam urusan domestik yang secara relatif lemah dan dikontrol secara cermat oleh Kongres, dan yang kedua adalah urusan luar negeri yang lebih memiliki kekuatan kepada Presiden.

Para pembuat keputusan atau konstitusi di Amerika, dalam upayanya untuk memenuhi aspek keseimbangan antara tuntutan dan sistem kenegaraan dan kebutuhan demokrai nasional, yang menurut Paul Seabury disebut dengan “the intrinsic authoritarian necessities of foreign affairs”46, memberikan tanggung jawab kekuasaan secara eksklusif antara seorang Presiden dan Kongres untuk menyusun atau merumuskan dan menyepakati kebijakan luar negeri pemerintahan federal dengan merumuskan dan menyepakati kebijakan luar negeri pemerintahan federal dengan pemisahan wewenang sesuai dengan fungsi atau peranannya masing-masing dalam pemerintahan. Dalam konstitusi Amerika tersebut dijelaskan bahwa wewenang atau otoritas

45

Aaron Widavsky, The Presidency, (Boston: Little Brown, 1969), h. 231

46


(38)

dari seorang Presiden dan Kongres dalam hubungan luar negeri, sebagaimana yang disebutkan oleh Edward Carvin adalah “an invation of struggle”.47

Bagaimanapun kuatnya Presiden dalam bertindak untuk menentukan kebijakan luar negeri AS, tetap saja bahwa kongres melalui House of Representatives dan Senat-nya memiliki peran, pengaruh dan kewenangan tersendiri untuk menentukan benar atau salahnya tindakan Presiden dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan luar negeri sesuai dengan aspirasi publik.

2. Kekuasaan dan Politik Birokrasi

Peran global AS pasca Perang Dunia II membawa dampak lain dalam proses pembuatan keputusan diluar hubungan eksekutif dan legislatif. Dalam lembaga eksekutif itu sendiri, pembentukan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri dan keamanan nasional yang bersifat internasional menyebabkan suatu perubahan institusional secara besar-besaran. Pada tahun 1947, Presiden Truman melalui Undang-Undang Keamanan Nasional meminta Kongres untuk mereorganisasi cabang eksekutif dengan membentuk Departemen Pertahanan yang baru, membentuk badan intelejen yang lebih tersentralisir di bawah badan pusat intelejen (CIA) dan pembentukan Dewan Keamanan Nasional (NSC) untuk memfasilitasi integrasi kebijakan luar negeri dan

47

Edward S Carvin, The President : Office and Power, (New York: NY University Press, 1940), h. 200


(39)

pertahanan AS. Selama tiga dasawarsa berikutnya lembaga pembuatan kebijakan luar negeri dan keamanan nasional tumbuh dan berkembang sejalan dengan meluasnya peran Amerika di dunia Internasional, di satu pihak tentu saja lembaga birokratis itu memperkuat kemampuan presien dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan luar negeri, dimana mereka mewakili keahlian yang terorganisir dengan baik.

Pada saat yang sama, puluhan ribu orang yang terorganisir dalam sejumlah departemen, badan-badan, biro-biro dan struktur birokratis lainnya menjadi kendala dalam proses pembuatan kebijakan yang seharusnya mereka layani. Kehadiran sejumlah birokrasi yang bertanggung jawab untuk membawa keahlian dan pengalaman khas masing-masing dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri tidak dapat dihindari. Berarti dalam tubuh pemerintahan AS terdapat banyak sudut pandang yang berbeda dengan realitas internasional, kepentingan Amerika dan kebijakan yang tepat untuk mencapai semua kepentingan Amerika.48

Seiring berjalannya waktu, ambisi pribadi seringkali mendominasi dalam prose pembuatan kebijaka, seperti yang timbul pada setiap pemerintahan, di kalangan para pembantu Presiden, tidak dapat dihindari bahwa hal ini akan menyebabkan perpecahan dan kerenggangan hubungan antar lembaga dalam pemerintaha. Dalam hal

48

Warner F. Schilling, “The American Foreign Policy Making Process”, dalam Douglas M. Fox,

The Politic of United States Foreign Policy, (Pasific Palides, California: Good Year Publising Company, Inc., 1971), h. 39


(40)

ini, sengketa substansi kebijakan adakalanya tidak dapat dibedakan dari keinginan pribadi untuk mengendalikan arus informasi kepada Presiden atau pelaksana keputusan yang diambil oleh Presiden. Pada akhirnya adalah bagaimana anggota suatu birokrasi memandang realitas dan kepentingan Amerika yang diwarnai oleh keinginan untuk melindungi organisasinya. Hal ini dapat menjadi ancaman atau peluang bagi kepentingan AS yang dirumuskan dalam cara yang secara efektif dapat ditangani oleh kedinasan seseorang sehingga mampu meningkatkan sumber daya organisasinya berupa anggarana, personil dan misi. Kebijkan luar negeri Amerika merupakan bagian dari sistem politik AS. Baik atau buruknya suatu kebijakan baik dalam maupun luar negeri, ditentukan oleh kadar atau kualitas sistem politik negara tersebut.

3. Peran dan Opini Publik Dalam Masyarakat AS

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Brooking Institution, didapatkan hasil yang menunjukan bahwa rakyat AS seringkali memperlihatkan keengganan untuk mendukung sepenuhnya kebijakan luar negeri tertentu yang dikemukakan oleh pemerintah mereka apabila hal itu memerlukan modifikasi yang substansial pada kebijakan domestik yang ada kalanya merugikan kepentingan lokal atau pribadi. Hasilnya adalah pemerintah sering mengambil kebijakan domestik yang tidak cocok dengan kebijakan luar negeri.


(41)

Selain kebijakan luar negeri yang kadang tidak cocok dengan kebijakan domestik, tidak sedikit masyarakat AS menolak kebijakan luar negerinya kalau kebijakan tersebut memang dipandang sangat merugikan negara lain dan juga tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusian, ditambah lagi apabila kebijakan tersebut tidak mengindahkan norma-norma internasional yang ada.

Diantara tekanan-tekanan internal yang efeknya tidak selalu kondusif dalam perumusan kebijakan luar negeri Amerika yang rasional adalah tekanan dari kelompok minoritas yang terorganisir. Kelompok-kelompok in membentuk suatu blok suara yang kuat seperti yang disadari oleh banyak anggota Kongres. Sebagai contoh, kuatnya pengaruh Yahudi-Amerika di negara itu hampir seluruh kebijakan Yahudi-Amerika di Timur Tengah dirumuskan untuk memenuhi tuntutan kelompok minoritas ini. Dan juga kelompok ini pulalah yang paling gencar melakukan lobi-lobinya agar pemerintah AS segera mengirimkan pasukannya ke Teluk dan melancarkan serangan militer ke Irak. Seperti kita ketahui bahwa lobi Yahudi di AS sangat kuat sekali dan hasilnya AS akhirnya menggempur Irak.

H. Prioritas Kebijakan Luar Negeri AS di Bawah Presiden Bush

Sistem keamanan dan pertahanan AS dikembangkan untuk menjaga stabilitas keamanan negara dari berbagai hal yang tidak diinginkan, agresi atau serangan militer terhadap AS adalah hampir tidak akan mungkin terjadi jika melihat baiknya sistem dan teknologi keamanan yang dimiliki Amerika.


(42)

Tetapi kenyataannya, serangan teroris pada 11 September 2001 membukakan mata Amerika bahwa kecanggihan teknologinya masih bisa diterobos oleh sekelompok orang.

Pasca 11 September 2001, kebijakan luar negeri AS mengalami perubahan terutama dengan adanya kegiatan counter-terrorism. Dalam usahanya untuk memerangi terorisme, Amerika dengan gencar mengkampanyekan kebijakan luar negerinya tersebut keberbagai negara di dunia.49

Pemberlakuan kebijakan Anti – terorisme AS pasca tragedi 11 September 2001, kemudian diikuti oleh invasi AS ke Afganistan dan Irak dengan alasan operasi pemberantasan teroris. Alasan AS menginvasi Afganistan adalah bahwa negara tersebut tidak menyerahkan tersangka serangan teroris 11 September 2001 yaitu Osama bin Laden. Lalu kemudian alasan invasi ke Irak adalah bahwa negara yang dipimpin oleh Saddam Husein tersebut memproduksi senjata pemusnah masal yang dapat membahayakan kepentingan internasional. Dan juga AS menuduh bahwa Irak mempunyai kaitan dengan jaringan teroris Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Dalam kampanye anti terorisnya, Amerika dan negara sekutunya mengaku bahwa mereka menjunjung tinggi nilai toleransi keberagaman, kebebasan agama, dan berperang melawan fanatisme dan kebencian dari

49

Gunawan Muhammad, “Pandangan Amerika Ke Dunia Luar”, dalam http://www.islamlib.com/wawancara/goenawan_kalau.html, 3 Februari 2002


(43)

berbagai organisasi-organisasi yang ingin menghancurkan nilai-nilai tersebut. AS tidak akan membiarkan bayangan terorisme menghalang-halangi usaha Amerika dalam menangani tantangan kebijakan luar negeri lainnya di abad 21. Pasca 11 September 2001, Amerika akan kembali menata peradaban dan akan terus menawarkan kepemimpinan, visi, harapan, stabilitas dan kesempatan di bidang ekonomi bagi semua pihak. 50

Dalam kebijakan anti-terorisme yang dikampanyekan Amerika, Presiden Bush sering menggunakan kata “freedom” sebagai kata kunci dalam kebijakan luar negerinya. “Freedom it self is under attack” dia (Bush) menyatakan setelah serangan 11 September. Penggunaan konsep kebebasan itu merupakan suatu sarana politik dan juga sumber kewenangan moral bagi Presiden Bush. Baginya itu merupakan ringkasan dari nilai-nilai Amerika dan memperlakukannya sebagai penghenti perdebatan.

Perubahan kebijakan ini terjadi ketika pemerintah George W. Bush mencari suatu tema pemersatu untuk merumuskan penggunaan dan kegunaan kekuatan Amerika di dunia pasca 11 September 2001. Pemerintah Bush mencoba menyusun agenda yang lebih dari sekedar pengejaran terhadap jaringan teroris internasional Al-Qaeda, tetapi akan berlanjut pada penggulingan Saddam Husein yang dianggap AS

50

Dokumen Tahunan Kedutaan Luar Negeri Amerika Serikat, “Jaringan Teroris”, Jakarta: 11 Oktober 2001


(44)

mempunyai hubungan dengan Al-Qaeda, mengembangkan senjata pemusnah masal dan pemimpin yang otoriter dan pertahanan yang represif.

Terorisme telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah AS sejak peristiwa 11 September 2001. Aksi teroris pada peristiwa tersebut telah menjadi suatu hal yang menakutkan khususnya bagi warga negara AS, terutama yang berada di luar negeri. Jadi pemerintah AS telah menetapkan bahwa kebijakan anti-terorisme adalah suatu kebijakan yang sangat diprioritaskan untuk diimplementasikan di dalam maupun di luar negeri AS. Salah satu bentuk implementasi doktrin tersebut adalah adanya doktrin Pre emptive Strike (menyerang sebelum diserang). Diktrin ini telah dilaksanakan dengan melancarkan serangan militer ke Irak.

H. Strategi Kebijakan Keamanan Presiden George W. Bush

Tidak lama setelah menggempur Afganistan, pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan secara resmi National Security Strategy – 2002 (NSS-2002). Konsep ini juga disebut sebagai ‘doktrin kebijakan keamanan terbaru AS’. Dapat dikatakan bahwa doktrin baru yang menjadi kebijakan resmi AS itu seakan-akan menyatakan bahwa pemerintah Presiden Bush akan memerangi terorisme menurut caranya sendiri dengan mengabaikan hukum internasional. Isi pidato Presiden Bush juga menunjukan bahwa Amerika tidak ingin cita-citanya menciptakan “Tata Dunia Baru” atau “The New World Order” yang


(45)

seluruhnya sebagai langkah AS mengekalkan gelar ‘The Sole Super Power’ di muka bumi. 51

Memang sejak lama, AS telah berpretensi bahwa dunia tanpa AS akan dilanda kekacauan dan ketidakstabilan. Hal itu dapat dicermati dari pernyataan Samuel P. Huntington, pakar politik terkemuka di AS seperti dikutip oleh Zbigniew Brzezinski, mantan Penasehat Keamanan AS dalam bukunya “The Grand Chessboard” (1997)

Dunia tanpa dominasi AS akan menjadi sebuah dunia yang banyak diisi dengan kekacauan dan kesemrawutan serta akan lebih tidak demokratis dan akan tidak memiliki pertumbuhan ekonomi yang tidak memuaskan dibandingkan dengan sebuah dunia dimana Amerika Serikat memiliki pengaruh yang kuat dari Negara manapun dalam menyelesaikan masalah-masalah global. 52

Tregedi 9/11 itu telah melempangkan jalan bagi AS untuk menerapkan kebijakan yang agresif, bahkan tidak memperdulikan lagi asas multilateralisme yang dianut oleh Dunia Internasional. Doktrin keamanan terbaru AS yang dijelaskan pada NSS-2002 menggaris bawahi perubahan kebijakan keamanan AS secara menyeluruh. Akibat perubahan itu, Amerika telah menerapkan kebijakan strategis global yang lebih radikal.

51

Abdul Halim Mahaly, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 200

52


(46)

Untuk itulah kita perlu mengemukakan sebagian isi NSS-2002 tersebut untuk mencermati gerak langkah pemerintahan Presiden Bush, sehingga nantinya akan dapat menyingkap apa sebenarnya yang dicita-citakan oleh AS. Adapun beberapa cuplikan dari konsep Strategi Keamanan Nasional AS yang disampaikan Presiden Bush kepada Kongres Amerika itu adalah sebagai berikut :53

Pertama, Presiden Bush menegaskan bahwa “hanya ada satu model

untuk kesuksesan nasional yang sifatnya berkesinambungan : kebebasan, demokrasi dan kebebasan dalam mendirikan suatu usaha. … Amerika Serikat akan berupaya membawa harapan berupa demokrasi, pengembangan, pasar bebas dan perdagangan bebas ke seluruh penjuru dunia. … Hal ini menjelaskan sebuah internasionalisme Amerika yang merefleksikan kesatuan nilai-nilai dan kepentingan nasional kita. … Menciptakan suatu era baru bagi pertumbuhan Ekonomi Global (Global Economic Growth) melalui pasar bebas (Free Markets) dan Perdagangan Bebas (Free Trade)

Kedua, Presiden Bush menegaskan bahwa “Amerika Serikat memiliki

Opsi untuk melakukan aksi pendahuluan (Pre-emptive Strike) untuk melawan adanya ancaman bagi keamanan nasional kita. … Untuk mencegah aksi-aksi yang berisi permusuhan dari lawan-lawan kita, maka

53

Untuk menyimak secara detail tentang isi keseluruhan dokumen NSS-2002 yang terdiri dari 31 halaman itu, lihat di www.whitehouse.org


(47)

Amerika Serikat bilamana perlu akan menempuh aksi ‘Pre-emptive’ (mendahului Menyerang)”.

Ketiga, Presiden Bush lebih lanjut mengatakan bahwa, “… Respon kita

haruslah dengan cara melakukan … Inovasi dalam mendayagunakan kekuatan militer, teknologi modern, termasuk melakukan pengembangan terhadap system pertahanan rudal secara efektif. … Kita tidak akan membiarkan musuh-musuh menyerang lebih dahulu.

Melalui NSS-2002, pemerintah Presiden Bush hendak mendeklarasikan bahwa AS tidak perlu mematuhi hukum internasional yang tertuang dalam piagam PBB. Dunia internasional pun, menurut pemerintah Bush, hanya perlu ‘mengaminkan’ segala apa yang dilakukan oleh AS. Dalam pandangan AS, masyarakat dunia dipersilahkan untuk memberikan dukungan dan bantuan. Namun, jika sebaliknya, maka hendaknya memilih diam atau tidak bersikap. Pemerintah Bush juga hendak menyatakan kepada dunia bahwa bila suatu saat AS harus menyerang suatu Negara, maka hal itu sepenuhnya menjadi hak Amerika, walaupun dunia akan bersatu meminta bukti untuk menjelaskan mengapa langkah militer harus dilakukan ataupun dunia bersatu menentang keinginan AS.

Apa yang dinyatakan dalam isi pidato Bush dan NSS-2002 diatas memaparkan secara gamblang tentang keinginan AS untuk menjadi satu-satunya Negara super power di dunia secara penuh dengan memaksakan dominasi politik, ekonomi dan militernya. Untuk menguatkan hal ini, kita dapat


(48)

menyimak dengan jelas bagaimana pemerintahan Bush telah mengeluarkan kebijakan baru Amerika yang mendeklarasikan kewenangannya untuk melakukan serangan militer dengan mengatasnamakan kepentingan dunia secara umum dan kepentingan nasionalnya secara khusus. Atas nama penanggulangan masalah terorisme pula, pemerintah AS telah berikrar untuk semakin mengembangkan kemampuan teknologi senjata militernya.54

Apapun alasan pemerintah Bush mengeluarkan NSS-2002 yang mengundang kecurigaan besar itu, ada tiga hal penting yang perlu digaris bawahi 55. Pertama, adalah ambisi global AS untuk menjadi ‘pemimpin dunia’ yang aktif dan didengar serta dipatuhi segala kehendaknya. Kedua, Amerika akan melakukan perubahan rezim di negara-negara yang dianggapnya tidak sehaluan atau bahkan membahayakan kepentingannya. Dan ketiga, adalah untuk mempromosikan (baca: memaksakan) prinsip-prinsip demokrasi liberal yang dianutnya ke seluruh penjuru dunia, kendati tidak ada satu pasal pun di dalam piagam PBB yang memberikan hak kepada AS untuk melaksanakan hal tersebut.

Dari uraian diatas, maka jelaslah bahwa AS secara sepihak dapat melakukan tindakan apapun termasuk pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran kepada Negara manapun juga yang mereka anggap dapat mengganggu kepentingan mereka (AS). Kebijakan keamanan AS yang baru (NSS-2002), secara langsung diterapkan oleh pemerintahan Bush terhadap

54

Abdul Halim Mahaly, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, … Op.Cit., h. 207

55


(49)

Negara Irak, yaitu dengan mengirimkan kekuatan militernya ke Teluk untuk menghantam Irak.

Penerapan kebijakan keamanan AS (NSS-2002) dengan menyerang Irak adalah salah satu bentuk langkah konkrit dari Presiden Bush untuk menggulingkan rezim Saddam Husein yang dianggap pemerintahan yang otoriter, tidak demokratis, mempunyai hubungan dengan jaringan Al-Qaeda, memiliki senjata pemusnah masal, dan yang paling penting adalah bahwa Saddam merupakan salah satu orang yang berani menentang Amerika secara frontal. Alasan yang terakhirlah sebetulnya yang menurut penulis merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima oleh pemerintah AS. Dengan begitu AS merasa terganggu kepentingannya terutama yang berada di Timur Tengah.

Apabila kita hubungkan rezim Saddam dengan konsep NSS-2002, maka jelaslah Negara Irak di bawah rezim Saddam memang memiliki kriteria untuk di tindak secara militer oleh AS. Mungkin juga setelah Irak, negara-negara seperti Iran, Korea Utara, Libya – yang memiliki kriteria seperti Irak – akan diserang dengan kekuatan militer AS seperti halnya Irak.


(50)

BAB IV

INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT KE IRAK

A. Invasi Militer Amerika Serikat

Penyerangan militer pasukan koalisi pimpinan AS ke Irak, tidak terlepas dari pengaruh kuat perancang perang di Pentagon. Hal ini menjadi bukti tak terbantahkan betapa AS ingin mengobrak-abrik tatanan dunia sekehendak hatinya. Peristiwa penyerangan AS ke Irak ini tidak hanya bertujuan mencegah kemunculan kekuatan yang akan menandinginya, AS juga berambisi untuk meneguhkan kekuasaannya atas seluruh jagad ini. Serangan AS ke Bagdad secara resmi juga akan menguntungkan Israel. Selama ini Tel Aviv belum mampu menjadi kekuatan nomor satu di kawasan Timur Tengah karena masih ada Irak, satu-satunya negara Arab yang ditakuti Israel karena diperkirakan memiliki kemampuan senjata pemusnah masal. Atas alasan ini pula, Irak dibombardir pasukan koalisi Pimpinan AS, kendati Kepala Tim Inspeksi senjata PBB Hans Blix dan Kepala Badan Energi Atom Internasional, Dr. Mohammad al-Baradei telah menyatakan bahwa tidak ada bukti kepemilikan Irak terhadap senjata mematikan itu. 56

Dalam kasus Irak, ada tiga kebohongan AS yang perlu diungkapkan 57.

Pertama, AS berdalih bahwa Irak memiliki senjata nuklir dan itu sangat membahayakan perdamaian dunia. Jika memang demikian halnya, mengapa AS dulu berdiam diri ketika rezim Saddam menggunakan senjata kimia untuk menghancurkan pertahanan

56

http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2003/04/26/brk,20030426-03,id.html

57


(51)

militer Iran dalam perang Irak-Iran (1980-1988) ? mengapa AS tidak melucuti sistem persenjataan nuklir milik Israel, negeri yang melakukan pelanggaran HAM paling berat di kawasan Timur Tengah. Kedua, alasan AS bahwa pemerintah Saddam tidak demokratis juga mentah. Dalam kenyataannya, pemerintah AS juga mendukung rezim-rezim otoriter. Dalam hal ini, Arab Saudi adalah contohnya. Ketiga, Presiden Saddam Husein dituding memiliki keterkaitan khusus dengan jaringan Al-Qaeda. Jika ditelusuri lebih lanjut, maka tuduhan AS itu akan tidak berdasar sama sekali. Bagaimana mungkin Al-Qaeda yang berideologi keras alias kaku dapat melakukan kerja sama dengan rezim Saddam yang sekuler?

Sejarah Perang Teluk (1991) juga membeberkan bahwa ketika Arab Saudi dikabarkan berada dalam ancaman invasi Irak setelah Kuwait, Osama bin Laden justru bergegas menemui sejumlah petinggi kerajaan Arab Saudi untuk menawarkan bantuan guna mempertahankan wilayah negara itu dan kemungkinan serangan militer Saddam.58

B. Alasan-alasan Amerika Serikat (AS) Menginvasi Irak

Dalam invasi pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) terhadap Irak ini, ada 3 (tiga) tujuan yang menurut Presiden Bush mengapa Irak harus diserang dengan kekuatan militer. Yang pertama adalah memusnahkan senjata pemusnah masal. Lalu yang kedua, menyingkirkan ancaman terorisme internasional dan yang ketiga adalah membebaskan warga Irak dan penindasan rezim Saddam dengan cara memulihkan demokrasi di Irak. Kendati DK PBB tidak memberikan izin, AS dan sekutunya tetap melancarkan serangan militer. Presiden George W. Bush sendiri sejak jauh hari

58 Ibid.


(52)

menyatakan bahwa jalan yang ditempuh oleh bangsa Amerika tidak harus bergantung pada keputusan atau sikap dan negara-negara lain 59. Ucapan Bush ini jelas menampilkan sikap arogansi kebijakan AS yang sangat berlebihan. Lebih dan itu, Bush seakan-akan sedang memberikan peringatan kepada PBB bahwa AS ‘mampu’ melancarkan aksi militer tanpa harus menunggu apakah keputusan dan PBB atau negara lain. Tapi benarkah 3 (tiga) alasan tersebut memang menjadi tujuan dibalik invasi militer AS ke Irak apa kaitan serangan militer ke Irak itu dengan ambisi “The Hawkish”

(Kelompok Rajawali) AS untuk mempertahankan sistem dunia yang unipolar ? Mencermati ketiga alasan tersebut secara lebih dalam akan membeberkan dengan jelas bahwa tujuan AS menginvasi Irak ternyata tidak sesuai dengan apa yang dipaparkan sebelumnya. Hal itu dapat kita lihat sebagai berikut:

Pertama, invasi militer AS ke Irak dengan tujuan memusnahkan “Weapons of Mass Destruction WMD (Senjata Penghancur Masal) adalah merupakan upaya AS untuk membohongi masyarakat internasional. Bila AS memang menghindari adanya senjata penghancur massal tersebut, mengapa presiden Bush tidak mengerahkan semua kemampuan AS, misalnya pasukan dan upaya diplomasi ? Dalam Perang teluk kali ini, Pentagon dan Inggris masing-masing hanya mengirimkan 230.000 dan 45.000 personilnya ke Teluk. Dari jumlah tersebut, hanya 90.000 prajurit AS dan 20.000 prajurit Inggris yang merupakan pasukan tempur.60

Kenekatan Pentagon mengirimkan pasukan dalam jumlah kecil pada akhirnya telah sempat menimbulkan perselisihan tajam antara kubu Donald Rusmfeld (Menteri

59

“Perspective’, dalam Newsweek,10 Februari 2003, h. 6

60


(53)

Pertahanan) dengan Collin Powell (Menteri Luar Negeri). Para petinggi militer AS rata-rata mendukung Powell karena ia adalah mantan jenderal yang termasuk sangat memahami situasi di Timur Tengah. Sedangkan Rumsfeld ingin menunjukkan kepada dunia bahwa AS mampu menaklukan suatu negara hanya dengan kekuatan kecil. Tetapi langkah Rumsfeld memang menemui kecaman dikalangan petinggi militer AS. Menurut Rumsfeld Irak akan jatuh dalam tempo beberapa hari ternyata tidak terbukti. Baghdad jatuh setelah 3 (tiga) minggu pasukan koalisi pimpinan AS memborbardir Irak.61

Pertanyaannya sekarang adalah mengapa dulu Irak dibiarkan menggunakan senjata kimia untuk menghancurkan pertahanan militer Iran pada tahun 1982 ? Jika Irak digempur dengan alasan mempunyai senjata pemusnah masal, mengapa Korea Utara didiamkan ? Padahal, Pyongyang jelas-jelas memiliki senjata pemusnah massal. Sangat boleh jadi, AS masih ‘takut’ untuk mengerahkan militernya ke Korea Utara karena Rusia dan Cina pasti tidak akan tinggal diam. Pemerintah Hu Jintao (Presiden Cina yang sekarang) sudah menyatakan akan menentang aksi militer AS ke Korea Utara 62. Sikap keras Beijing itu tentu diperhatikan dengan teliti oleh para pembuat keputusan di Washington dan Pentagon.

Kebohongan AS pun semakin nyata ketika ketika muncul keragu-raguan di kalangan anggota Kongres AS. Setelah Baghdad jatuh dan beberapa minggu kemudian pasukan koalisi pimpinan AS belum berhasil menemukan senjata kimia Irak, Komisi Intelejen Kongres Amerika menuduh Dinas Intelejen AS melakukan kebohongan besar

61

“Amerika Penjajah”, Sabili, … Op.Cit., h. 44

62

George Wehrfritz, & Richard Wolfe, “The Chinese Puzzle”, dalam Newsweek, 5 Mei 2003, h. 30-31


(54)

dalam masalah kepemilikan senjata kimia Irak. Pada tanggal 20 Mei 2003, anggota Partai Demokrat dan Los Angeles, Jane Harman beserta ketua Komisi Intelejen Kongres AS dan Partai Republik (Florida) Porter Gross mengirimkan sebuah surat kepada Direktur Central Intelligence Agency (CIA) George Ternet, memintanya melakukan penjelasan tentang dasar-dasar yang digunakan oleh CIA untuk menuduh Irak menyimpan senjata kimia ataupun Al-Qaeda berada di Irak.63

Pemerintah Bush juga semakin dipermalukan dengan adanya pernyataan susulan dan Komandan Pasukan Gerak Cepat ke-1 Marinir AS di Irak, Letjen James Conway kepada wartawan di Washington melalui telekonferensi bahwa Dinas Intelejen AS telah melakukan kesalahan dengan menyatakan rezim Saddam akan menggunakan senjata kimia atau biologi terhadap pasukan AS. Namun menanggapi kritikan-kritikan tersebut, George Ternet segera mengeluarkan pernyataan yang isinya adalah informasi dan pihaknya telah dipolitisasi. Akan tetapi pemerintah memang tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan, tidak saja kepada dunia internasional melainkan juga

kepada wakil rakyat yang ada di Kongres Amerika. Seandainya pasukan AS telah menemukan senjata

kimia Irak, tentulah Direktur Badan Intelejen Pentagon, Mayjen Keith Dayton tidak perlu dikirim ke Baghdad untuk memimpin 1.400 pakar persenjataan guna mencari keberadaan senjata kimia Irak.

Para kalangan intelejen AS juga ada yang merasa ‘gerah’ dengan tudingan yang diarahkan oleh anggota Kongres AS. Seorang analisis CIA yang khusus membidangi

63

Mohammad Irshad, “After Iraq: Who Is Next?” dalam Defense Journal,(Islamabad: DHA Hockey Stadium), V81. 6, No.10, edisi Mei 2003, h 40


(1)

rasa yang diserukan oleh Partai Muslim Prancis guna menentang perang terhadap Irak.

Namun yang paling Fenomenal adalah demonstrasi anti perang yang berlangsung pada 15 Februari 2003. “Dunia menolak perang! Jangan serang Irak” adalah tema demonstrasi yang bersejarah tersebut 84. Demonstrasi itu berlangsung dimulai dan Sydney di Australia, kemudian bersambung seperti estafet ke berbagai belahan dunia di lebih dari 650 kota. Sifatnya memang sangat global, dimulai dari Montreal (Kanada) hingga Cape Town (Afrika Selatan), dari Melbourne ke Paris. Penduduk dari berbagai kota di sudut-sudut dunia yang tidak terkenal sekalipun turut melakukan demonstrasi.

Berbagai unjuk rasa massa yang dilontarkan di berbagai belahan bumi, menunjukkan fakta bahwa masyarakat internasional tidak menginginkan terjadinya perang untuk kesekian kalinya di kawasan Timur Tengah. Tentunya, penyelesaian damai yang diharapkan bakal terjadi, berpulang kepada kearifan Saddam untuk bersungguh-sungguh bekerja sama dengan tim inspeksi persenjataan PBB dan tidak menutup-nutupi kepemilikan senjata pemusnah massalnya. Tetapi, arif seorang Saddam harus pula dibarengi oleh sikap bijak seorang Bush, agar mengendurkan nafsunya untuk menyerang Irak dan memberi kesempatan kepada Irak untuk

84

Kompas, 17 Februari 2003. Demonstrasi ini mencatatkan rekor-rekor baru. Di Sidney demonstrasi tersebut dikatakan yang terbesar di Australia setelah Perang Vietnam. Demonstrasi di Berlin juga dinilai sebagai terbesar di Jerman sejak Perang Dunia II. Menurut Scotland Yard, demonstrasi serupa di London disebut sebagai protes terakbar yang pernah ada. Setidaknya 750.000 orang hadir di sana. Kantor berita AFP menyebutnya sebagai one of the biggest global peaces protests in history. Penyelenggara demonstrasi anti perang itu -United For Peace & Justice (UJP)- mengatakan, sekitar 11,5 juta umat manusia telah memadati jalanan di berbagai kota besar. Menurut UJP, demonstrasi ini adalah yang terbesar yang pernah teradi di dunia. UPJ adalah koalisi dari sekitar 200 kelompok pecinta damai di dunia, yang menggalang berbagai organisasi di AS dan dunia untuk mengorganisir jaringan penentangan perang atas Irak.


(2)

membuktikan bahwa negaranya tidak memiliki senjata pemusnah massal. Tetapi yang terjadi lain, walaupun Saddam telah menunjukkan sikap kooperatifnya kepada tim inspeksi senjata PBB, dan Irak tidak terbukti menyimpan atau memproduksi senjata pemusnah massal, dan juga tidak ada bukti keterkaitan dengan jaringan Al-Qaeda, namun Presiden Bush tetap bersikeras untuk menyerang Irak dengan kekuatan militer.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Seyom, The Faces of Power: United States Foreign Policy from Truman to Clinton, New York, Columbia University Press, 1994

Brownlie, Ian, ed., Basic Documents on Human Rights, Oxford, Clarendon Press, 1971 Brzezinski, Zbidniew, The Grand Chessboard, New York, Basis Book, 1997

Carvin, Edward S, The President : Office and Power, New York, NY University Press, 1940

Dixon, Martin, International Law, London, Great Britain, 1996

Dokumen Tahunan Kedutaan Luar Negeri Amerika Serikat, “Jaringan Teroris”, Jakarta, 11 Oktober 2001

Foster, Henry A., The Making of Modern Iraq, New York, Russel & Russel, 1972

Fox, Douglas M., The Politic of United States Foreign Policy, Pasific Palides, California, Good Year Publising Company, Inc., 1971

Gaddis, John Lewis, The United States and the End of the Cold War Implications, Reconsiderations, Provocations. New York, Oxford University Press, 1992

Gerges, Fawaz A., Amerika dan Islam Politik Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan ?, penerjemah : Kili Pringgodigdo, Hamid Basyaib., Jakarta, Alvabet, 2002, Cet. I

Hastedt, Glenn H., America Foreign Policy: Past, Present, Future, New York, Prentice Hall, 1997

Henkin, Louis, Foreign Affair and The Constitution, New York, Norton, 1972 Jurist, Public International Law, Lahore: Mansoor Book House, 1988

Lurton, Douglas, Roosevelt's Foreign Policy, 1933-1941: Franklin D. Roosevelt's Unedited Speeches, Toronto, Longmans, Green, 1942

Mahally, Abdul Halim, The Use of Force in the case of Self-Defense: comparative Study under public & Islamic International Law, Voice of Shari’a, Islamabad, Islamic Research Institute-IRI, 2000

---, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2003


(4)

Muhammad Irshad, “After Iraq: Who Is Next?” dalam Defense Journal (Islamabad, DHA Hockey Stadium), V81. 6, No.10, edisi Mei 2003

Nickel, James W., Hak Asasi Manusia : Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal HAM, terj. Titis Eddy Arini, Jakarta , PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, Cet. I

Panhuys, H.F. van dkk., ed., International Organization and Integration, The Hague, Martinus Nijhoff, 1981, vol. 1 A.

Perkins, Dexter, The American Approach to Foreign Policy, Cambridge, Harvard University, 1962

Pratt, Julius W., A History of United States Foreign Policy, Prentice Hall, New York, Englewood Cliffs, 1965

Quandt, William B., Camp David: Peace Making and Politics, Washington DC, The Brookings Institution, 1986

Seabury, Paul, Power, Freedom and Diplomacy, New York, Vintage Book, 1967

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 1995, Cet. I

Smith, Tony, America’s Mission: The United States and the Worldwide struggle for democracy in the 20th Century, Princeton, NJ, Princeton University Press, 1994

Spanier, Eric M., John and Uslaner, How American Foreign Policy is Made?, New York, Norton, 1972

Staf Operasi MABES TNI, Perang Teluk 2003: Invasi AS Beserta Koalisi ke Irak, Jakarta, MABES TNI, 2003

Tripp, Charles, A History of Iraq, Cambridge, Cambridge University Press, 2000 Widavsky, Aaron, The Presidency, Boston, Little Brown, 1969

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1982 Zulkarnain, Analisis Kebijakan Luar Negeri, Jakarta , UNAS, 2001

“Invasi ke Irak: Laporan Lengkap Perang Teluk II”, Buletin Angkasa, Edisi Koleksi, Jakarta, Angkasa, 2003

CD-ROM

Info USA Information USA Bureau of International Information Programs 2004-2005 Edition, Washington, US. Departement of State, 2004


(5)

Majalah

Dawn, 8 Mei 2003

Kompas, 17 Februari 2003 Kompas,18 Oktober 2002 Kompas, 2 Oktober 2002 Kompas, 31 Januari 2003

Newsweek 10 Februari 2003

Newsweek 7 April 2003

Newsweek, 5 Mei 2003

Sabili, No. 19 Th. X 10 April 2003 2003/8 Shafar 1424 H

The News 4 April 2003

The News 7Juni 2003

TIME, 12 Mei 2003

TIME, 7 April 2003

Internet

http://www.infopalestina.com/ viewall.asp?id=394

http://www.kompas. com/kompas-cetak/0302/06/opini/105079.htm

http://islamlib.com/id/index.php? page=article&id=13

http://www.unhchr.ch/udhr/lang/inz.htm http://id.wikipedia.org/wiki/Saddam_Hussein http://www.whitehouse.gov/president/ gwbbio. html http://id.wikipedia.org/wiki/George W. Bush

www.whitehouse.org

http://www.islamlib.com/wawancara/goenawan_kalau.html, 3 Februari 2002 http://www.ic-jakarta.com, 5 Februari 2003


(6)