Potensi Sorgum Sebagai Pengganti Jagung Dengan Penambahan Tepung Duckweed (Lemna Minor) Terhadap Kualitas Dan Nilai

POTENSI SORGUM SEBAGAI PEGGANTI JAGUNG DENGAN
PENAMBAHAN TEPUNG DUCKWEED (Lemna minor)
TERHADAP KUALITAS DAN NILAI
MALONDIALDEHYDE(MDA)
TELUR PUYUH

ANANDYA DARA WAHYU POERINANTI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Sorgum
Sebagai Pengganti Jagung Dengan Penambahan Tepung Duckweed (Lemna
Minor) Terhadap Kualitas Dan Nilai Malondialdehyde (MDA) Telur Puyuh
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014

Anandya Dara Wahyu Poerinanti
NIM D24100097

ABSTRAK
ANANDYA DARA WAHYU POERINANTI. Potensi Sorgum Sebagai Pengganti
Jagung Dengan Penambahan Tepung Duckweed (Lemna Minor) Terhadap
Kualitas Dan Nilai Malondialdehyde (MDA) Telur Puyuh. Dibimbing oleh RITA
MUTIA dan WIDYA HERMANA.
Penggunaan sorgum dalam pakan puyuh petelur harus diimbangi dengan
pemberian sumber pakan yang mengandung karoten salah satu tanaman yang berpotensi
sebagai sumber karotenoid adalah Lemna minor (duckweed). Penelitian ini menggunakan
5 taraf perlakuan, P0 = ransum control jagung, P1 = ransum control sorgum, P2 = ransum
sorgum + 1.5% tepung duckweed, P3 = ransum sorgum + 3% tepung duckweed, dan P4 =

ransum sorgum + 4.5% tepung duckweed. Penelitian ini menggunakan uji deskriptif
dengan objek observasi 32 ekor puyuh berumur 44 hari. Peubah yang diamati adalah skor
warna kuning telur, kualitas telur seperti bobot telur, bobot kuning, bobot putih, tebal
kerabang, serta pengukuran nilai MDA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sorgum
dapat dijadikan sebagai sumber energi untuk pakan puyuh petelur dan dapat
meningkatkan kualitas kuning telur puyuh jika diimbangi dengan pemberian tepung
duckweed. Penggunaan tepung duckweed dengan taraf 1.5% belum mampu menandingi
skor kuning telur jika dibandingkan dengan ransum jagung, sedangkan taraf 3% dan 4.5%
mampu menandingi dan melebihi. Penyerapan vitamin A yang berasal dari beta karoten
tepung duckweed juga dapat terlihat dari nilai MDA, perlakuan dengan penambahan
tepung duckweed dapat menekan nilai MDA jika dibandingkan dengan P0 dan P1.

Kata kunci: beta karoten, duckweed, kualitas telur, MDA, sorgum

ABSTRACT
ANANDYA DARA WAHYU POERINANTI. Effect Substitution Corn
with Sorghum that Addition with Duckweed Meal (Lemna Minor) in the Diet on
Egg Quality and Value of Malonaldehyde (MDA). Supervised by RITA MUTIA
and WIDYA HERMANA.
The use of sorgum in the diet of laying quail must be balanced with the other

substance that contain carotenoids, one of plants that have potential as a source of
carotenoid is Lemna minor (duckweed). This study used 5 treatments, P0 = control of
corn , P1 = control of sorgum, P2 = sorgum + 1.5% duckweed meal, P3 = sorgum + 3%
duckweed meal, and P4 = sorgum + 4.5% duckweed meal. This study used a descriptive
test with the object of observation was 44 day old of laying quails. Variables measured
were scores of yolk color , egg quality such as egg weight, yolk weight, albumin, eggshell
thickness, and measuring the value of MDA . The results showed that sorgum could be
used as a source of energy for laying quail and could improve the quality of quail egg
yolk if the flour is offset by the provision of duckweed meal. The use of 1.5% duckweed
meal has not been able to match scores when compared with egg yolk that fed by corn,
while the level of 3 % and 4.5 % were able to match and exceed. Absorption of vitamin A
from beta carotene duckweed meal could also be seen from the value of MDA, with the
addition of duckweed meal treatment could suppress MDA value if it compared to P0 and
P1.

Keywords: beta carotene, duckweed, MDA, sorgum,quality of egg

POTENSI SORGUM SEBAGAI PEGGANTI JAGUNG DENGAN
PENAMBAHAN TEPUNG DUCKWEED (Lemna minor)
TERHADAP KUALITAS DAN NILAI

MALONDIALDEHYDE(MDA)
TELUR PUYUH

ANANDYA DARA WAHYU POERINANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

p

Judul Skripsi : Potensi Sorgum Sebagai Pengganti Jagung Dengan Penambahan

Tepung Duckweed

(Lemna Minor)

Terhadap Kualitas Dan Nilai

Malondialdehyde (MDA) Telur Puyuh
Nama

: Anandya Dara Wahyu Poerinanti

NIM

: D24100097

Disetujui oleh

\\�.
--


Dr Ir Rita Mutia, MAr

Dr Ir Widya Hennana, MSi

Pembimbing I

Tanggal Lulus:

(�

Pembimbing II

SEP 2011

)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 hingga April 2014 ini ialah Potensi
Sorgum Sebagai Pengganti Jagung dengan Penambahan Tepung Duckweed

(Lemna Minor) terhadap Kualitas dan Nilai Malondialdehyde (MDA) Telur
Puyuh.
Sorgum dipilih sebagai bahan utama substitusi jagung karena sorgum
merupakan bahan tanaman lokal yang sangat berpotensi untuk dikembangkan
sebagai pakan ternak. Sorgum memiliki kandungan nutrien yang tidak kalah
dengan jagung. Bahan kombinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tepung duckweed (Lemna minor). Duckweed merupakan tanaman air yang
dianggap limbah karena siklus perkembangbiakannya sangat cepat, sehingga
mengotori ekosistem. Duckweed memiliki kandungan nutrien yang baik serta
memiliki kandungan beta karoten sebagai penyeimbang beta karoten yang tidak
dimiliki sorgum.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skipsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik, saran, dan masukan yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi penyempurnaan di masa mendatang. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan
dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Anandya Dara Wahyu P.


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
METODE
Materi
Ternak
Ransum
Alat
Metode
Lokasi dan Waktu Penelitian
Prosedur Percobaan
Pembuatan dan Pemberian Tepung Duckweed
Pemeliharaan
Analisis Data
Perlakuan
Peubah yang Diamati
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Telur
Performa Puyuh
Malondialdehyde (MDA)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
UCAPAN TERIMA KASIH

xii
xii
1
2
2
2
2
3
3
3

3
4
5
5
5
5
6
6
9
11
12
12
12
12
15
15

DAFTAR TABEL
1. Susunan ransum penelitian
2. Kandungan nutrien ransum penelitian (as fed)

3. Hasil analisa proksimat tepung duckweed
4. Kualitas telur puyuh
5. Performa puyuh

2
3
4
7
9

DAFTAR GAMBAR
1. Kandang koloni puyuh
2. Lemna minor (duckweed)
3. Nilai MDA telur puyuh

3
4
11

1

PENDAHULUAN
Pemenuhan kebutuhan protein hewani dapat diperoleh dari daging dan
telur. Puyuh merupakan jenis unggas yang dapat menghasilkan telur. Kualitas
telur yang dihasilkan oleh puyuh bergantung pada pakan yang diberikan. Pakan
merupakan salah satu hal terpenting yang dapat mempengaruhi produktivitas
ternak. Setiap ternak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda dalam pemanfaatan
pakan untuk kebutuhan hidup maupun berproduksi. Seperti halnya pada puyuh
petelur, tingkat konsumsi ransum, protein dan energi sangat berpengaruh pada
tingkat produktivitas telur yang akan dihasilkan.
Sorgum merupakan salah satu jenis serealia yang dapat menjadi bahan
utama pakan unggas. Kandungan nutrisi sorgum tidak jauh berbeda jika
dibandingkan dengan jagung. Belum banyak peternak yang mau menggunakan
sorgum sebagai pengganti jagung, padahal Indonesia merupakan negara
kesembilan produsen utama sorgum di dunia (Beti et al. 1990). Energi yang
terkandung dalam sorgum adalah 3288 kkal kg-1 (NRC 1994). Menurut Beti et al
(1990) kalsium pada sorgum jauh lebih tinggi yaitu 28 mg 100g-1 dibandingkan
dengan jagung yang hanya 9 mg 100g-1. Sorgum memiliki kandungan protein
yang tinggi jika dibandingkan dengan jagung yaitu sebesar 12.99% dan
kandungan lemak yang rendah sebesar 2.34% (NRC 1994). Jika dilihat dari
kandungan nutrisinya, sorgum dapat menggantikan jagung sebagai bahan pakan
utama unggas petelur tetapi terdapat faktor pembatas yang menjadi pertimbangan
yaitu sorgum hanya memiliki kandungan karoten 1 mg kg -1, nilai tersebut sangat
rendah jika dibandingkan dengan jagung yang memiliki kandungan karoten 20 mg
kg-1 (Leeson dan Summer 2001). Karoten sangat dibutuhkan oleh unggas petelur
sebagai sumber vitamin A dan sebagai sumber pigmentasi kuning telur. Vitamin
A yang dibutuhkan puyuh untuk pembentukan telur adalah 3300 IU kg -1
(Schellenberger dan Lee 1966).
Lemna minor atau yang lebih dikenal dengan nama duckweed atau mata
lele atau kiyambang merupakan tanaman air yang oleh sebagian kalangan
dianggap sebagai limbah karena siklus tumbuhnya yang sangat cepat. Dalam
waktu 24 jam, tanaman ini dapat berkembang biak dua kali lipat dari jumlah awal.
Duckweed sangat mudah untuk tumbuh pada media yang kaya nutrien, misalnya
saja pada tempat pembuangan limbah ternak. Menurut Leng et al. (1995) susunan
asam amino dalam protein duckweed menyerupai protein hewani sehingga
duckweed dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak untuk meningkatkan
produktivitas.
Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk memanfaatkan duckweed
sebagai salah satu alternatif pakan sumber protein. Culley dan Epps (1981)
menyatakan bahwa duckweed dapat diberikan pada ransum ayam, itik, ikan, sapi,
kambing dan domba yang hasilnya lebih baik atau setara dengan ransum kontrol.
Pemberian duckweed pada unggas petelur menunjukkan pertambahan bobot
badan yang sama dengan kontrol, tetapi konsumsi pakan dan kualitas telur yang
dihasilkan jauh lebih baik. Haustein et al. (1990) menyatakan bahwa penggunaan
tepung duckweed dapat meningkatkan pigmentasi kuning telur karena duckweed

2
memiliki kandungan karotenoid berupa beta karoten. Beta karoten juga berperan
dalam pembentukan vitamin A yang berfungsi sebagai antioksidan yang akan
menekan nilai dari hasil sampingan radikal bebas berupa Malondialdehyde
(MDA).
Dari studi literatur tersebut dapat ditarik hipotesis awal bahwa sorgum
dapat digunakan sebagai bahan pakan utama pengganti jagung yang dapat
dikombinasikan dengan duckweed sebagai sumber karoten. Penelitian ini
bertujuan untuk memanfaatkan sorgum sebagai bahan pakan utama puyuh dan
mengetahui kandungan nutrien pada tanaman air Lemna minor, serta potensi
penggunaannya terhadap kualitas telur yang dihasilkan.

METODE
Bahan
Ternak
Penelitian ini menggunakan ternak puyuh betina (Coturnix coturnix
japonica) umur 44 hari sebanyak 30 ekor dengan bobot badan rata-rata 166 g
ekor-1.

Ransum
Pakan diberikan dalam bentuk mash. Bahan-bahan penyusun pakan yang
digunakan adalah jagung/sorgum, dedak halus, bungkil kedelai, tepung ikan,
CaCO3, garam, minyak, premix dan tepung duckweed. Susunan pakan yang
digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan kandungan pakan ada
pada Tabel 2.

Tabel 1 Susunan ransum penelitian
Bahan Makanan
P0
P1
P2
Jagung / Sorgum
40
40
40
Dedak halus
5
5
5
Bungkil kedelai
35.5
35.5
35.5
Tepung ikan
10
10
10
CaCO3
5
5
5
Garam
0.2
0.2
0.2
Minyak
3.5
3.5
3.5
Premix
0.8
0.8
0.8
Total
100
100
100
Tepung duckweed
0
0
1.5

P3
40
5
35.5
10
5
0.2
3.5
0.8
100
3

P4
40
5
35.5
10
5
0.2
3.5
0.8
100
4.5

P1 = pakan sorgum dengan penambahan tepung duckweed 1.5%, P2 = pakan sorgum dengan
penambahan tepung duckweed 3%, P3 = pakan sorgum dengan penambahan tepung duckweed
4.5%

3

Tabel 2 Kandungan nutrien ransum penelitian (as fed)*
Nutrien
P0
P1
P2
P3
P4
Bahan kering (%)
87.88
88.18
89.30**
90.42**
91.54**
Abu (%)
13.91
14.08
14.08
14.08
14.08
Protein kasar (%)
22.71
23.42
23.69**
23.97**
24.24**
Serat kasar (%)
5.07
4.75
4.96**
5.17**
5.4**
Lemak kasar (%)
1.87
2.16
2.16**
2.17**
2.17**
Beta-N (%)
44.26
43.77
43.77
43.77
43.77
Ca (%)
4.20
4.43
4.43
4.43
4.43
P (%)
1.19
1.26
1.26
1.26
1.26
NaCl (%)
0.10
0.09
0.09
0.09
0.09
GE (kkal/kg)
3744
3606
3606
3606
3606
*Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor (2014). (**) Perhitungan berdasarkan penambahan hasil analisis nutrien tepung duckweed

Alat
Peralatan yang digunakan adalah kandang koloni sebanyak 5 petak dengan
ukuran 30x40x160 cm. Tempat pakan yang terbuat dari papan tripleks, label,
termometer, timbangan digital untuk menimbang pakan dan telur yang dihasilkan,
plastik untuk menampung pakan per ulangan. Peralatan yang digunakan untuk
mengukur kualitas fisik telur adalah alat pengukur tebal kerabang, Yolk Colour
Fan, meja kaca, timbangan digital AND HL-100 kapasitas 100 gram x 0.01 gram,
dan plastik. Kandang puyuh disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kandang koloni puyuh

4
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2013 sampai April 2014 di
Laboratorium Lapang Blok C, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
analisis kualitas telur dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas,
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, analisis kandungan MDA kuning
telur dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Prosedur
Pembuatan dan Pemberian Tepung Duckweed
Duckweed diproduksi dengan cara memanen setiap minggu selama satu
bulan secara berkala. Duckweed yang sudah dipanen diangin-anginkan sampai
kering. Duckweed yang sudah kering digiling dengan menggunakan blender
sampai menjadi tepung duckweed. Pemberian tepung duckweed dicampur dalam
pakan berbasis sorgum sesuai perlakuan. Hasil analisa tepung duckweed disajikan
pada Tabel 3.

Gambar 2 Lemna minor (duckweed)
Tabel 3 Hasil analisis proksimat tepung duckweed
BK (%)

Abu (%)

PK (%)

SK (%)

LK (%)

BETN

Beta karoten*
(mg kg-1)
74.58
13.32
18.19
13.98
0.19
28.90
187
Hasil Analisa Laboratotium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (as fed) (2013); *Balai Besar Industri
Agro, Bogor (2014)

5

Pemeliharaan
Penelitian dilakukan selama 24 hari (10 hari pemberian pakan komersil, 4
hari pemberian ransum perlakuan untuk adaptasi serta 10 hari pemberian pakan
perlakuan). Kegiatan selama pemeliharaan yaitu setiap hari dilakukan
pembersihan kandang, tempat pakan, tempat air minum, serta lingkungan sekitar
kandang pemeliharaan. Pakan diberikan sesuai kebutuhan puyuh yaitu 25 g ekor1
hari-1, diberikan satu kali pada jam 07.00 WIB, serta air minum diberikan ad
libitum. Pemberian air minum pada puyuh saat baru dimasukan dalam kandang
ditambah dengan Vitachick® selama 3 hari.Pengambilan data dilakukan dengan
mengambil telur pada hari ketujuh saat pakan perlakuan untuk diuji dalam
keadaan segar. Telur hari ke delapan diambil untuk disimpan selama satu minggu
serta telur hari ke sembilan untuk disimpan selama dua minggu. Penyimpanan
telur dilakukan untuk melihat aktivitas MDA selama masa penyimpanan.
Analisis Data
Penelitian ini tidak menggunakan rancangan percobaan, karena tidak ada
ulangan pada setiap perlakuan. Perbedaan peubah yang diamati dilakukan dengan
menggunakan analisis deskriptif dengan cara membandingkan rataan dari setiap
perlakuan.
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan tanpa ulangan, perlakuan yang
digunakan adalah sebagai berikut :
P0 = Ransum kontrol dengan jagung
P1 = Ransum sorgum tanpa tepung duckweed
P2 = Ransum sorgum + 1.5% tepung duckweed
P3 = Ransum sorgum + 3% tepung duckweed
P4 = Ransum sorgum + 4.5% tepung duckweed
Peubah yang Diamati
Konsumsi pakan. Konsumsi pakan puyuh dihitung dari rataan jumlah pakan
harian selama seminggu dibagi dengan jumlah ekor puyuh yang hidup selama
seminggu.
Produksi telur harian (%). Produksi telur dihitung dari rataan jumlah telur yang
dihasilkan dibagi dengan jumlah ekor puyuh yang hidup selama seminggu
dikalikan seratus persen.
Produksi massa telur. Produksi massa telur puyuh dihitung dengan cara
mengalikan produksi telur selama penelitian dengan rataan bobot telur harian.
Konversi pakan. Konversi pakan adalah rataan jumlah konsumsi pakan dibagi masa
telur.
Bobot Telur. Diperoleh dengan cara menimbang setiap telur yang dihasilkan satu
per satu menggunakan timbangan digital dalam satuan gram.
Bobot Kuning Telur. Diperoleh dengan menimbang kuning telur yang telah
dipisahkan dengan putih telur. Persentase bobot kuning telur dihitung dengan
membagi nilai bobot kuning telur dengan bobot telur utuh dikali 100%.
Bobot Putih Telur. Diperoleh dengan menimbang putih telur yang dipisahkan
dari kuning telur. Persentase bobot putih telur dihitung dengan membagi nilai
bobot putih telur dengan bobot telur utuh dikali 100%.

6
Bobot Kerabang Telur. Diperoleh dengan menimbang kerabang telur yang telah
dibersihkan bagian dalamnya. Persentase bobot kerabang telur dihitung dengan
membagi nilai bobot kerabang telur dengan bobot telur utuh dikali 100%.
Tebal Kerabang Telur. Tebal kerabang telur diukur dengan menggunakan alat
mikrometer calliper pada bagian tengah (equator), ujung tumpul, dan ujung lancip
telur kemudian dirata-ratakan.
Intensitas Warna Kuning Telur. Diukur dengan menggunakan Yolk Colour
Fan. Pemberian skor warna pada kuning telur sesuai dengan angka yang tertera
pada Yolk Colour Fan dengan skala 1-15.
Haugh Unit (HU). Haugh Unit didapat dengan cara menghitung secara logaritma
terhadap tinggi putih telur kental dan kemudian ditransformasikan ke dalam nilai
koreksi dari fungsi berat telur (Yuwanta 2010). Tinggi putih telur diukur dengan
alat jangka sorong.
Haugh Unit (HU) = Log 100 (H+7.57 – 1.7 W 0,37)
Keterangan : H = tinggi putih telur (mm)
W = bobot telur (g)
MDA (Malondialdehyde). Nilai MDA dianalisis dengan mengambil komposit
dari kuning telur setiap perlakuan. Metode pengukuran MDA mengacu pada
metode Capeyron et al. (2002). Homogenat dari komposit kuning telur
disentrifugasi 4.000 rpm selama 10 menit. Untuk pengukuran MDA, 1 ml
supernatan jernih ditambah HCl dingin yang mengandung 15% TCA
(thricloroacetic), 0.38% TBA (thio barbituric acid) dan 0,5% BHT (butylated
hydroxytoluene). Campuran dipanaskan 800C selama 1 jam, kemudian
disentrifugasi 3.000 rpm selama 10 menit. Absorbansi diukur dengan
spektrophotometer pada 532 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Telur
Kualitas telur yang diamati adalah bobot utuh telur, bobot putih, bobot
kuning, bobot kerabang, warna kuning telur, tebal kerabang, Haugh Unit (HU),
dan MDA (Malonaldehide). Hasil analisa kualitas telur puyuh dapat dilihat pada
Tabel 4.
Bobot Telur
Hasil uji kualitas telur dalam keadaan segar menunjukkan bobot telur dari
berbagai perlakuan bervariasi antara 8.55-9.62 g butir -1. Jika dibandingkan dengan
penelitian Saerang et al. (1998) bobot telur puyuh hasil penelitian memang lebih
rendah karena pada penelitian Saerang bobot telur berkisar antara 9.036-10.34g
butir -1. Hal ini karena puyuh yang digunakan masih berumur 44 hari dan baru
memasuki periode awal produksi bertelur. Menurut Rasyaf (2002) puyuh siap
bertelur saat memasuki umur 6 minggu. Puyuh yang baru memasuki umur 6
minggu masih harus beradaptasi untuk berproduksi, sehingga bobot telur yang
dihasilkan belum stabil dan bobotnya masih rendah. Hal ini juga dikatakan oleh
Nugroho dan Manyun (1986) yang menyatakan bahwa telur puyuh saat permulaan

7
bertelur berukuran kecil, ukuran telur membesar sesuai pertambahan umur dan
akan mencapai besar yang stabil. Menurut Amrullah (2004) peningkatan protein
dalam ransum dapat menambah bobot total dari sebutir telur.
Pada penelitian ini kandungan protein dalam ransum berbasis jagung
adalah 22.71% dan pada ransum berbasis sorgum 23.42%. Melihat kandungan
protein sorgum yang lebih besar, seharusnya puyuh dengan pemberian ransum
P1,P2,P3, dan P4 memiliki bobot telur yang lebih berat jika dibandingkan dengan
P0. Tetapi peningkatan bobot hanya terjadi pada ransum sorgum dengan
penambahan tepung duckweed 1.5% saja. Penelitian Widjastuti dan Kartasudjana
(2006) menyatakan bahwa peningkatan akumulasi protein menghasilkan bobot
telur yang meningkat dalam waktu yang relatif lama.

Tabel 4 Kualitas telur puyuh dalam keadaan segar
Peubah

P0
9.39±0.64
2.70±0.28
28.67±1.15

P1
9.33±1.42
2.70±0.78
28.45±4.67

Perlakuan
P2
P3
9.62±1.17
8.55±0.42
2.70±0.48
2.41±0.23
27.86±254
28.18±2.11

P4
Bobot Utuh Telur (g)
9.17±0.87
Bobot Kuning (g)
2.77±0.64
Persentase Bobot
29.90±4.70
Kuning Telur (%)
Bobot Putih (g)
5.97±0.41
5.80±0.68
6.12±0.72
5.41±0.32
5.59±0.40
Persentase Bobot Putih
63.60±1.71 62.53±4.24
63.62±2.83 63.37±3.16
61.26±5.25
Telur (%)
Bobot Kerabang (g)
0.72±0.10
0.82±0.15
0.82±0.11
0.73±0.14
0.81±0.11
Persentase Bobot
7.68±0.86
9.02±1.23
8.52±1.08
8.45±1.43
8.84±0.97
Kerabang (%)
Tebal Kerabang (mm)
0.16±0.01
0.17±0.01
0.17±0.02
0.17±0.01
0.17±0.01
Skor Kuning Telur
3.00±0.00
1.62±0.32
2.51±0.72
3.37±0.38
4.58±0.85
Haugh Unit (HU)
91.46±0.45 92.06±3.32
95.80±2.69 95.47±1.54
96.32±2.77
P0 (ransum kontrol dengan jagung), P1 (ransum sorgum tanpa penambahan tepung duckweed), P2
(ransum sorgum + 1.5% tepung duckweed), P3 (ransum sorgum + 3% tepung duckweed), P4
(ransum sorgum + 4.5% tepung duckweed)

Kuning Telur dan Putih Telur
Kuning telur merupakan sumber lemak, sedangkan putih telur merupakan
sumber protein dalam sebutir telur. Menurut Stadelman dan Cotterill (1995),
sebutir telur terdiri dari 31% kuning telur, 59% putih telur, dan 10% kerabang
telur. Bobot kuning telur pada penelitian ini berkisar antara 2.41±0.23 – 2.77±0.64
g, sedangkan untuk bobot putih telur berkisar antara 5.41±0.32 – 6.12±0.72 g.
Bobot kuning telur dan bobot putih telur masih lebih rendah jika dibandingkan
dengan pernyataan Kul dan Seker (2004) bahwa bobot kuning telur normal adalah
3.69 g, serta bobot putih telur menurut Song et al. (2000) adalah 6.33g. Hal ini
berkaitan dengan umur puyuh yang masih belum bisa maksimal untuk
memproduksi bobot telur yang stabil. Puyuh yang diberi ransum sorgum terbukti
dapat menghasilkan telur dengan bobot kuning dan putih yang sebanding dengan
puyuh yang diberi ransum jagung. Menurut Kul dan Seker (2004) bobot telur
dipengaruhi oleh struktur genetik, kondisi kesehatan dan umur ternak, komponen
pakan, perbedaan pemeliharaan serta kondisi pengelolaan ternak. Komponen
utama pada ransum perlakuan berbeda dalam hal penggunaan jagung dan sorgum,
tetapi komponen tersebut tidak mempengaruhi bobot telur yang dihasilkan.

8

Kerabang Telur
Puyuh yang diberi perlakuan ransum berbasis sorgum memiliki bobot
kerabang yang lebih berat dibandingkan dengan puyuh yang diberikan ransum
kontrol jagung. Penggunaan tepung duckweed 1.5% pada sorgum menunjukkan
bobot yang paling berat diantara perlakuan lainnya yaitu 0.83±0.15 g. Ketebalan
kerabang dari setiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu jauh,
puyuh yang diberi pakan sorgum memiliki ketebalan kerabang yaitu 0.17±0.02
mm sedangkan untuk puyuh dengan pakan jagung yaitu 0.16±0.01 mm. Sumber
utama dalam pembentukan kerabang pada telur adalah kalsium 98.2%,
magnesium 0.9%, dan fosfor (0.9%) (Stadelmann dan Cotterill, 1995). Ransum
penelitian berbasis sorgum memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ransum kontrol jagung. Seperti yang dikatakan Beti et al.
(1990) kandungan kalsium sorgum adalah 28 mg 100g-1, sedangkan kalsium pada
jagung hanya 6 mg 100g-1. Kalsium merupakan nutrien terpenting dalam
pembentukan kerabang. Deposisi kerabang telur terjadi saat fase gelap saat tidak
aktif makan dan sumber kalsium ini kemudian menjadi cadangan makanan dalam
saluran pencernaan dan pada tulang rawan yang berpengaruh pada pembentukan
kerabang telur (Leeson dan Summers 2001).
Skor Kuning Telur
Sumber pigmen untuk pembentukan warna kuning telur pada pakan sangat
mempengaruhi kualitas warna kuning telur yang dihasilkan. Tanaman merupakan
sumber pigmen karotenoid yang dapat memberikan warna pada kuning telur dari
warna kuning sampai dengan merah (Anggorodi 2005). Karotenoid merupakan
golongan pigmen yang larut dalam lemak, oleh karena itu penyerapan karoten
sangat dipengaruhi oleh jumlah lemak yang terkandung dalam ransum.
Karotenoid pada tanaman yang biasa ditemukan adalah jenis beta karoten
(Harborne 1987).
Ransum kontrol jagung memiliki sumber pigmentasi untuk kuning telur
yang berasal dari jagung yaitu sebesar 20 mg kg-1 sedangkan untuk pakan sorgum
tanpa tambahan tepung duckweed, tidak memiliki sumber karoten karena sorgum
hanya memiliki kandungan xantofil sebesar 1 mg kg-1 (Leeson dan Summer
2001). Terlihat jelas bahwa penggunaan ransum berbasis sorgum tanpa tambahan
tepung duckweed hanya memiliki skor kuning telur 1.62±0.32, sedangkan untuk
ransum jagung memiliki skor kuning telur 3.00±0.00. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan tepung duckweed dengan taraf yang semakin
tinggi akan meningkatkan skor warna kuning telur. Penggunaan tepung duckweed
dengan taraf 1.5% belum mampu mengimbangi skor warna kuning telur jika
dibandingkan dengan ransum kontrol jagung, sedangkan untuk taraf 3% dan 4.5%
mampu menandingi dan melebihi. Hal itu sesuai dengan pernyataan Leeson dan
Summer (2001) bahwa skor warna kuning telur dapat meningkat seiring dengan
sumber karoten yang ada dalam pakan yang diberikan.
Beta karoten yang terkandung dalam pakan bukan hanya sebagai sumber
pigmentasi pada kuning telur saja, melainkan juga berperan dalam pembentukan
vitamin A. Beta karoten merupakan prekursor vitamin A yang dapat menjadi salah
satu sumber antioksidan dalam tubuh. Beta karoten yang berasal dari makanan
diserap di mukosa usus halus dengan bantuan asam empedu (pembentukan

9
micelle). Sebagian β-karoten yang diserap di dalam mukosa usus diubah menjadi
bentuk retinol (Vitamin A alkohol). Retinol dengan bantuan asam lemak dirubah
menjadi bentuk retinil ester (Vitamin A ester) yang selanjutnya bergabung dengan
kilomikron. Kilomikron diserap melalui saluran limpatik dan bergabung dengan
darah yang kemudian ditransportasikan ke hati selanjutnya diedarkan ke jaringan
target lainnya seperti daging dan komponen telur (Gropper et al. 2009).
Haugh Unit (HU)
Haugh Unit (HU) merupakan salah satu parameter yang dapat dilihat
untuk melihat kualitas putih telur. HU didapat dari perbandingan antara tinggi
putih telur dengan bobot telur. Menurut Zeidler (2002) Semakin tinggi nilai HU
maka semakin tinggi pula kualitas putih telurnya. Nilai haugh unit akan menurun
secara nyata dengan bertambahnya umur simpan pada telur. Menurut USDA
(1983) telur dengan kualitas AA memiliki nilai HU di atas 72. Hasil nilai HU dari
setiap perlakuan menunjukkan bahwa kualitas telur termasuk ke dalam kelas AA.

Performa Puyuh
Hasil pengamatan performa selama 10 hari masa perlakuan terhadap
konsumsi ransum, produksi telur, produksi massa telur, bobot telur serta konversi
ransum disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Performa puyuh
Peubah

P0
21.98±1.93

P1
22.39±2.47

Perlakuan
P2
23.78±0.91

P3
23.38±1.06

P4
20.69±2.05

Konsumsi (g
ekor-1 hari-1)
Produksi
43.33±8.61
56.67±22.50 75.00±11.79 68.33±19.95 58.33±11.79
Telur (%)
Produksi
4.07±0.81
5.29±2.10
7.22±1.13
5.84±1.71
5.35±1.08
Massa (g
ekor-1 hari-1)
Bobot telur
9.39±0.64
9.33±1.42
9.62±1.17
8.55±0.42
9.17±0.87
(g)
Konversi
5.40±1.44
4.23±1.55
3.30±0.70
4.00±1.63
3.87±0.81
Ransum
P0 (ransum kontrol dengan jagung), P1 (ransum sorgum tanpa penambahan tepung duckweed), P2
(ransum sorgum + 1.5% tepung duckweed), P3 (ransum sorgum + 3% tepung duckweed), P4
(ransum sorgum + 4.5% tepung duckweed)

Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum merupakan banyaknya ransum yang dikonsumsi oleh
ternak pada satuan waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok ternak dan kebutuhan untuk
berproduksi. Rataan konsumsi ransum berkisar antara 20.69-23.78 g ekor-1 hari-1.
Umur puyuh yang digunakan adalah 44 hari. Sritharet (2002) menyatakan bahwa
kebutuhan ransum puyuh umur 3-15 minggu adalah 8 - >15 g ekor-1 hari-1.
Berdasarkan rataan konsumsi ransum P4 memiliki nilai yang terendah

10
dibandingkan perlakuan lainnya tetapi konsumsi ransum masih dalam keadaan
normal. Puyuh akan mengurangi konsumsinya apabila kebutuhan energinya sudah
terpenuhi (Daulay et al. 2007). Penambahan tepung duckweed yang semakin
meningkat, menunjukkan konsumsi ransum yang semakin menurun. Hal ini
dikarenakan penambahan tepung duckweed yang semakin banyak akan
meningkatkan kandungan serat ransum sehingga puyuh akan mengurangi
konsumsi ransumnya. Kebutuhan protein pakan puyuh petelur sebesar 17%,
lemak kasar 7%, serat kasar 7%, Ca 2.5%-3.5%, P 0.6%-1%, methionine 0.40%
dan EM 2700 kkal/kg (Badan Standarisasi Nasional 2006).
Produksi Telur
Produksi telur didapat dari persentase jumlah telur harian yang dihasilkan
puyuh setiap perlakuan. Dapat dilihat bahwa perlakuan P2 memiliki nilai tertinggi
yang menunjukkan bahwa produksi telur P2 lebih banyak jika dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Mawaddah (2011) menyatakan bahwa laju produksi
telur berkaitan dengan jumlah pakan yang dikonsumsinya. Penelitian Tubagus
(2008) menunjukkan bahwa puyuh mencapai puncak produksi lebih dari 80%
pada minggu ke 13. Puyuh pada penelitian kali ini baru mencapai umur 9 minggu
sehingga puncak produksi puyuh belum terlihat dan masih di bawah 80%.
Produksi Massa Telur
Egg mass atau produksi massa telur merupakan rata-rata bobot telur
harian, sehingga persentase produksi telur akan mempengaruhi massa telur. Egg
mass dipengaruhi oleh produksi telur dan bobot telur, jika salah satu atau kedua
faktor semakin tinggi maka massa telur juga semakin meningkat dan sebaliknya.
Pada periode penelitian dapat terlihat bahwa produksi massa tertinggi ada pada
perlakuan P2 yaitu 7.22±1.13 g ekor-1 hari-1. Penambahan 1.5% tepung duckweed
dalam ransum sorgum menghasilkan bobot telur yang tertinggi sehingga produksi
massa telur pun akan tinggi. Jika dibandingkan dengan perlakuan P0, ransum
yang berbahan dasar sorgum memiliki egg mass yang lebih tinggi. Hal itu
membuktikan bahwa ransum dengan bahan dasar sorgum dapat memenuhi
kebutuhan nutrient puyuh untuk berproduksi tanpa mengganggu egg mass yang
dihasilkan. Listyowati dan Roospitasari (2000) menyatakan bahwa jenis pakan,
jumlah pakan, lingkungan kandang serta kualitas pakan sangat mempengaruhi
bobot telur yang dihasilkan.
Konversi Ransum
Nilai konversi ransum didapat dari pembagian rataan konsumsi per ekor
dengan massa telur. Nilai konversi ransum terbaik berada pada perlakuan P2,
menurut Kadam et al. (2006) konversi ransum pada puyuh adalah 3.34. Perlakuan
dengan ransum berbahan dasar sorgum memiliki nilai konversi pakan yang lebih
baik jika dibandingkan dengan kontrol jagung. Hal ini menandakan bahwa
penyerapan nutrient pada ransum sorgum lebih efisien dibandingkan dengan
jagung. Nilai konversi pakan menunjukan bahwa pemberian ransum berbahan
dasar sorgum memberikan pengaruh yang positif dalam jumlah pakan yang habis
dikonsumsi untuk memproduksi satu butir telur.

11
Malondialdehyde (MDA)
Malondialdehyde (MDA) merupakan salah satu hasil dari peroksida lipid
yang dapat menyebabkan kerusakan pada lemak. Kerusakan tersebut dikarenakan
adanya aktivitas radikal bebas yang menyebabkan oksidasi pada lipid meningkat
(Supartondo 2002). MDA terbentuk dari asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA)
yang mengalami proses peroksidasi menjadi peroksida lipid yang kemudian
mengalami dekomposisi. Nilai MDA yang diperoleh merupakan hasil tes
laboratorium dari komposit kuning telur per perlakuan. Nilai MDA menunjukkan
adanya aktivitas antioksidan yang bekerja di dalamnya. Semakin tinggi nilai
MDA maka kandungan antioksidannya semakin rendah, yang menunjukkan
bahwa telah terjadi reaksi oksidasi pada bahan. Antioksidan berperan dalam
menekan nilai MDA yang terbentuk. Salah satu jenis antioksidan yang dapat
terbentuk dari pemanfaatan beta karoten dalam ransum adalah vitamin A. nilai
MDA dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Nilai MDA telur puyuh
Kandungan MDA telur puyuh yang berasal dari puyuh yang diberikan
ransum sorgum tanpa penambahan tepung duckweed memiliki nilai yang paling
tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan
kandungan karoten yang ada pada sorgum tidak dapat menandingi jumah karoten
yang ada pada jagung, sehingga pembentukan vitamin A pada kuning telur juga
akan berpengaruh. Menurut Priningrum (2014) ransum yang memiliki kandungan
beta karoten akan membentuk vitamin A yang tinggi pada telur karena akan
terjadi pemanfaatan provitamin A yang diubah menjadi vitamin A. Diketahui
bahwa nilai MDA berbanding terbalik dengan antioksidan yang terkandung.
Penambahan tepung duckweed pada perlakuan P2, P3, dan P4 menunjukkan
bahwa pembentukan antioksidan yang ada lebih tinggi dibanding kan kontrol

12
jagung dan sorgum. Penambahan tepung duckweed dalam ransum dapat
menurunkan nilai MDA jika dibandingkan dengan ransum jagung dan ransum
sorgum. Kandungan karoten yang ada pada ransum dengan penambahan tepung
duckweed memang lebih banyak. Penyimpanan telur dalam suhu ruang (25-27oC)
berpengaruh pada jumlah MDA yang terbentuk, karena telur yang disimpan dalam
suhu ruang lama-kelamaan akan mengalami oksidasi yang ditandai dengan
kantung udara pada telur yang membesar. Semakin lama disimpan maka nilai
MDA semakin tinggi seperti yang terlihat pada perlakuan P2, P3, dan P4.
Semakin lama telur disimpan maka nilai MDA yang terbentuk akan semakin
meningkat seperti yang ditunjukkan pada perlakuan P2, P3, dan P4 yang setiap
minggunya semakin meningkat.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sorgum dapat dijadikan sebagai bahan pakan utama pada ransum puyuh.
Penggunaan Lemna minor dalam ransum yang menggunakan sorgum dapat
menyeimbangkan kandungan karotenoid seperti pada jagung. Penambahan tepung
duckweed 1.5% dalam ransum sorgum dapat meningkatkan produksi telur,
produksi massa dan konversi pakan yang paling efisien serta dapat meningkatkan
aktivitas antioksidan karena terdapat beta karoten yang merupakan prekursor
vitamin A.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan masa pemeliharaan yang
lebih panjang untuk mengukur produktivitas telur pada puyuh serta pengujian
kadar vitamin A agar terlihat persentase vitamin A terserap yang berasal dari
karotenoid tepung duckweed.

DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi HR. 2005. Nutrisi Aneka Ternak Unggas.Jakarta (ID). Gramedia
Pustaka Utama.
Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Bogor (ID). Lembaga Satu
Gunungbudi.
Beti YA, Ispandi A, Sudaryono. 1990. Sorgum. Monografi No.5. Malang (ID).
Balai Penelitian Tanaman Pangan.
Capeyron MFM, Julie C, Eric B, Jean P, Jean MR, Piere B. 2002. A diet
cholesterol and deficient in vitamin E induces lipid peroxidation but does
not enhace antioxidant enzyme expression in rat liver. J NutrBiochem.
13:296-301.

13
Culley DD, Rejmankova E, Kvet J, Frye JB. 1981. Production chemical quality
and use of duckweeds (Lemnaceae) in aquaculture, waste management and
animal feeds. J. Worldmaeiculture Soc. 12 (2): 27-49.
Daulay AH, Bahri I, Sahputra K. 2007. Pemanfaatan tepung buah mengkudu
(Morinda Colticfolia) dalam ransum terhadap performans burung puyuh
(Coturnix-coturnix japonica) umur 0-42 hari. J Agrib Pet. 3(1):23-28.
Gropper SS, Jack LS, James LG. 2009. Advanced Nutrition and Human
Metabolism. 5th Ed. Canada (US). Pre-Press PMG.
Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Jakarta (ID). Gramedia Pustaka Utama.
Haustein AT, Gilman RH, Skillcorn PW, Hannan H, Diaz F, Guevara V, Vergara
V. 1990. Performance of broiler chicken feed diet containing duckweed
(Lemna gibba). J Agric Sci. 122 (2): 285-289.
Kadam MM, Mandal AB, Elangovan AV, Kaur S. 2006. Response of laying
japanese quail to dietary calcium levels at two levels energy. J Poult Sci
43(4):351-356.
Kul S, Seker I. 2004. Phenotypic correlations between some external and internal
egg quality traits in the Japanese quail (Coturnix coturnix japonica). Int J
Poult Sci 3(6):400-405
Leeson S, Summers JD. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Ed. Guelph
(UK).Nottingham University Pr.
Leng RA, Stambolie JH, Bell R. 1995. Duckweed - a Potential High – Protein
Feed Resource for Domestic Animal and Fish., Livestock Research For
Mural Development Edition. 10 : 20.
Listiyowati E, Roospitasari K. 2000. Puyuh Tata Laksana Budi Daya Secara
Komersial 17th ed. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Mawaddah S. 2011. Kandungan kolestrol lemak, vitamin A dan E dalam daging,
hati dan telur, serta performa puyuh dengan pemberian ekstrak dan tepung
daun katuk (Sauropus androgynous L. Merr) dalam ransum [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
[NRC] National Research Councill . 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th
Revised Edition. WWashington DC (US). National Academy Pr.
North MO, Bell DD . 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed. New
York (US).Van Nosttrand Reinhold Pr.
Nugroho, IGK Mayun. 1986. Beternak Burung Puyuh. Semarang (ID): Penerbit
Eka Offset.
Parkhurst CR, Mountney GJ. 1995. Poultry Meat and Egg Production. 3rd edition.
New York (US). Food Product Press An Imprint of The Haworth Press. Inc.
Priningrum VC. 2014. Substitusi jagung dengan sorgum yang ditambahkan
tepung daun singkong terhadap kualitas telur puyuh [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Rasyaf M. 2002. Memelihara Burung Puyuh. Yogyakarta (ID). Kanisius.
Saerang LP, Josephine, Yuwanta T, Nasroedin. 1998. Pengaruh Minyak Nabati
dan Lemak Hewani dalam Ransum Puyuh Petelur terhadap Performa Daya
Tetas, Kadar Kolesterol dan Plasma Darah. Buletin Peternakan 22(2):96-101
Song KT, Choi SH, Oh HR. 2000. A comparison of egg quality of phesant,
chukar, quail and guinea fowl. Asian-Aus J Anim Sci. 13(7): 986-990.

14
Supartondo. 2002. Antioksidan dan proses menua. Di dalam: Penatalaksanaan
Pasien Geriatri/Usia Lanjut secara Terpadu dan Paripurna. Prosiding Temu
Ilmiah Geriatri 2002, Jakarta 25 Mei 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UI – Jakarta.
Stadelman WJ, Cotterill OJ. 1995. Egg Science and Technology. 4th ed.
Binghamton (US). The Hawort Pr.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Pakan Puyuh Bertelur (Quail Layer).
Badan Standarisasi Nasional. SNI 01-3907-2006. [3 Maret 2014].
Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Tubagus DP. 2008. Pemanfaatan tepung kulit buah terong belanda (Cyphomandra
betacea) Fermentasi (Aspergillus niger) terhadap produksi telur burung
puyuh (Coturnix-coturnix japonica) [skripsi]. Medan (ID):Universitas
Sumatera Utara.
USDA. 1983. Egg Grading Manual. Agriculture Handbook No.75. Washington,
D.C (US). Agricultural Marketing Service, USDA.
Widjastuti T, Kartasudjana R. 2006. Pengaruh pembatasan ransum dan
implikasinya terhadap performa puyuh petelur pada fase produksi pertama. J
Trop Anim Agric. 31(3):162-166.
Yuwanta T. 2010. Telur dan Produksi Telur. Yogyakarta (ID). Universitas Gadjah
Mada Press.
Zeidler G. 2002. Shell egg quality and preservation. In DD Bell and D. Weaver
(ed). Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th Ed. New York
(US). Springer Science and Bussines Media Inc.

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26
September 1992. Penulis merupakan anak pertama dari
Drs.H.Poerwanto Ramelan dan Hj.Tri Wahyuni. Penulis
memulai pendidikan sekolah dasar pada tahun 1998 di SD
Assalaam I Bandung dan pada tahun 2007 penulis lulus
dari SMP Negeri 3 Bandung. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 4 Bandung.
Setelah lulus pada tahun 2010, penulis diterima di IPB
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN). Penulis diterima pada Program Studi
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Selama mengikuti
perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-D)
Fakultas Peternakan selama dua tahun masa kepengurusan, sebagai anggota divisi
Public Relation dan Sekertaris Umum I, serta penulis merupakan anggota dari
Himpunan Mahasiswa Nutrisi Makanan Ternak (HIMASITER). Penulis juga
pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan didanai oleh DIKTI
pada tahun 2012 berupa PKM-P yang berjudul ‘Pengaruh Pemberian Ekstrak
Petai (Parkia Speciosa) Sebagai Antioksidan Alami Untuk Meningkatkan
Kualitas Karkas Ayam Broiler’ serta PKM-K yang berjudul ‘Sate Pentol Miss
Veggi : Jajanan Vegetarian Yang Unik, Ekonomis Dan Bernilai Gizi Tinggi’.
Penulis juga merupakan penerima Beasiswa BRI 100 selama periode 2011-2013

UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr dan Dr. Ir.
Widya Hermana, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi serta Dr. Ir. Lilis
Khotijah, M.Si selaku dosen pembahas seminar pada tanggal 23 Mei 2014.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen penguji sidang pada tanggal 18
Agustus 2014, Dr. Ir. Sumiati, M.Sc serta Dr. Ir. Rukmiasih, M.Si. Terima kasih
kepada rekan sepenelitian Febrinita Ulfah atas kerjasama dan kesabarannya
selama penelitian sampai saat ini. Penulis mengucapkan terimakasih atas dana
penelitian dari BOPTN Laboratorium Nutrisi Unggas Fakultas Peternakan.
Terima kasih kepada pihak lain yang turut membantu dalam kelangsungan
penelitian (Reza Hanifah, Astari, Riandhini, Ajeng, Yudika, Budi, Henryc, Rifqi,
Ichsan).