Analisis Komparatif Risiko Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah dan BPR Milik Swasta

ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN BPR MILIK
PEMERINTAH DAERAH DAN BPR MILIK SWASTA

INDAH SUCI RAMADHANI

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Komparatif
Risiko Keuangan BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta adalah
benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Indah Suci Ramadhani
NIM H24114056

1

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.

ABSTRAK
INDAH SUCI RAMADHANI. Analisis Komparatif Risiko Keuangan BPR milik
Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta. Dibimbing oleh ALI
MUTASOWIFIN.
Semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat saat ini, diperlukan tempat
untuk mengelola keuangan masyarakat. Setiap orang memerlukan dananya tetap
aman, berkembang, dapat cepat digunakan untuk hal yang mendesak serta dapat
dinikmati hingga hari tua. Melihat tingginya kebutuhan tersebut bagi setiap orang,
bank dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan semaksimal

mungkin sesuai dengan standar pelayanan jasa. Dengan kondisi seperti ini
lembaga perbankan sangat berperan penting, terutama BPR untuk menyalurkan
kredit yang digunakan untuk produktif maupun konsumtif. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu BPR Milik Pemerintah Daerah
yang sebagian besar portofolio kreditnya digunakan untuk konsumtif dan BPR
milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya digunakan untuk produktif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan tingkat risiko
keuangan yang dialami selama tahun 2010, 2011 dan 2012. Pengelolaan data yang
dilakukan menggunakan perhitungan rasio keuangan bank dan z-score. Dari hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah mempunyai
tingkat risiko yang lebih kecil karena pihak BPR dapat bekerjasama dengan
perusahaan atau instansi pemerintah daerah lain untuk memotong upah atau gaji
karyawan. Sedangkan BPR milik Swasta mempunyai risiko yang lebih besar
karena ada kemungkinan usaha mengalami kebangkrutan sehingga tidak dapat
membayar kredit yang diterimanya.
Kata kunci: Risiko Keuangan, Rasio Keuangan, Z-Score

ABSTRACT
INDAH SUCI RAMADHANI. Comparative Analysis of Financial Risk in
Government Rural Bank and Private Rural Bank. Supervised by ALI

MUTASOWIFIN.
As the society needs in life is increasing, a place to manage their financial
aspect is needed. Everyone needs to make sure that their capital is safe,
developing, and easy to use for urgent things and also could be enjoyed in their
retired life. Based on that expectation, bank is challenged to give the best and
excellent service according to the standard. One of banking institutions which has
important role is Rural Bank to distribute the consumptive and productive credit.
Samples that are uses in this research is one of Rural Bank that belongs to the
government which most of its capital used for consumtive credit. And another
sample is Privat Rural Bank which most of its capital is used of productive credit.
The objective of this research is to identify the comparative level of identify the
comparative level of financial risk in 2010, 2011, 2012. Data processing wash
conducted using bank financial ratio measurement and Z-Score. It Can be seen
from the result that Government Rural Bank has samller level risk because it
cooperated with another government company to cut off the employee’s salary.

Meanwhile the Privat Rural Bank has higher risk because of the possibility to go
into liquidation in case they couldn’t pay the credit that they have received.
Keywords: Financial Risk, Financial Ratio, Z-Score


ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN BPR MILIK
PEMERINTAH DAERAH DAN BPR MILIK SWASTA

INDAH SUCI RAMADHANI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Program Sarjana Alih Jenis Manajemen
Departemen Manajemen

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Komparatif Risiko Keuangan BPR Milik Pemerintah
Daerah dan BPR Milik Swasta

Nama
: Indah Suci Ramadhani
NIM
: H24114056

Disetujui oleh

Ali Mutasowifin, S.E., M.Ak.
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Mukhamad Najib, STP, MM
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Analisis KomparatifRisiko Keuangan BPR Milik Pemerintah
Daerah dan BPR Milik Swasta
: Indah Suci Ramadhani

Nama
: H24114056
NIM

Disetujui oleh

Ali Mutasowifm, S.E., M.Ak.
Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus:

1 3 MAR 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dipilih dalam penelitian yang diselesaikan sejak bulan April 2013
sampai Januari 2014 ini ialah Analisis Komparatif Risiko KeuanganBPR milik

Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta .
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ali Mutasowifin, S.E, M.Ak.
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan
kepada penulis dalam penyusunan skripsi. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada ibu Maryamah, kakak Maswamah Safitri, Rifki Harianssa, Ahmad
Reza Rahmadi serta seluruh keluarga dan teman, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi rekan pembaca.

Bogor, Maret 2014
Indah Suci Ramadhani

DAFTAR ISI
PERNYATAAN

iii

ABSTRAK

v


PRAKATA

xi

DAFTAR ISI

xiii

DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xv


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Fungsi Kegiatan Usaha BPR
Kriteria Penilaian BPR
Pengertian Risiko
Risiko Bisnis
Risiko Keuangan
Laporan Keuangan
Laporan Rugi/Laba
Laporan Neraca
Arus kas
Rasio Keuangan

Aspek Keuangan
Rasio Keuangan Bank
Rasio Likuiditas
Rasio Solvabilitas
Rasio Rentabilitas
Analisis Diskriminan (Z-Score)
Penelitian Terdahulu
METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Analisis Data
Rasio Keuangan
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Perusahaan BPR Milik Pemerintah Daerah
Sejarah Perusahaan BPR Milik Swasta
Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah


1

1
3
4
4
4
4

4
6
7
7
7
8
8
8
9
10
11
11
12
12
13
13
14
18
19

19
20
20
21
21
22

22
23
24

Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Swasta
Analisis Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah
Analisis Z-Score BPR Milik Swasta
Pembahasan
Rasio Likuiditas
Rasio Solvabilitas
Rasio Rentabilitas
Z-Score
Implikasi Manajerial
SIMPULAN DAN SARAN

26
28
29
29
30
30
30
30
31
31

Simpulan
Saran

31
31

DAFTAR PUSTAKA

32

RIWAYAT HIDUP

39

DAFTAR TABEL
1. Perbandingan Jumlah BPR, Total Aset & Sumber Dana Maret 2012 dan Maret 2013 2
2. Perbedaan BPR Milik Pemerintah Daerah & BPR Milik Swasta
6
3. Kriteria Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
7
4. Kriteria Penilaian Z-score untuk perusahaan manufaktur yang telah go public (public
manufacturing)
15
5. Kriteria Penilaian Z-score untuk perusahaan yang belum go public
15
6. Kriteria Penilaian Z-score untuk perusahaan non-manufaktur
16
7. Rasio Keuangan Bank
21
8. Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah
24
9. Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Swasta
27
10. Perhitungan Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah
28
11. Perhitungan Z-Score BPR Milik Swasta
29

DAFTAR GAMBAR
1. Laporan Rugi/Laba
2. Neraca
3. Arus Kas
4. Kerangka pemikiran penelitian

9
10
11
20

DAFTAR LAMPIRAN
1. Laporan Rugi/Laba BPR Milik Pemerintah Daerah
2. Neraca BPR Milik Pemerintah Daerah
3. Laporan Rugi/Laba BPR Milik Swasta
4. Neraca BPR Milik Swasta

34
35
36
37

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perbankan berperan sangat penting untuk perekonomian nasional, sebagai
lembaga intermediasi atau institusi perantara antara debitur dan kreditur. Bank
dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan
giro, tabungan dan deposito, selain itu juga sebagai tempat untuk meminjamkan
uang bagi masyarakat dan perusahaan yang membutuhkan. Bank dikenal juga
sebagai tempat untuk menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala
macam bentuk pembayaran seperti pembayaran listrik, air, telepon, kuliah, pajak,
gas alam dan pembayaran lainnya. Fungsi sebagai lembaga perantara yang
dilaksanakan oleh industri perbankan adalah bagian yang sangat penting dalam
pembangunan ekonomi. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan
akan dana pada saat pembangunan semakin meningkat. Industri perbankan
merupakan salah satu sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan yang
diinginkan.
Semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat saat ini, diperlukan tempat
untuk mengelola keuangan masyarakat. Setiap orang menginginkan dananya tetap
aman, berkembang, dapat cepat digunakan untuk hal yang mendesak serta dapat
dinikmati hingga hari tua. Melihat tingginya kebutuhan tersebut bagi setiap orang,
bank dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Pelayanan terbaik yang
dimaksud adalah bagaimana bank melayani para nasabahnya dengan standarstandar pelayanan jasa keuangan agar dapat meraih nasabah dengan profit
semaksimal mungkin. Tentunya setiap bank berkeinginan agar pengumpulan dana
dari masyarakat terus bertambah sehingga jumlah kredit yang disalurkan kembali
ke masyarakat bisa meningkat dan penghasilan bank bisa meningkat pula seiring
dengan peningkatan jumlah kredit yang disalurkan. Namun dalam menyalurkan
pemberian kredit, bank juga harus memperhatikan tingkat resiko kredit macet
yang akan terjadi.
Dengan kondisi seperti ini lembaga perbankan sangat berperan penting,
terutama Bank Perkreditan Rakyat (BPR), karena fungsi BPR tidak hanya
menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil dan menengah, tetapi
juga menerima simpanan dari masyarakat. Hal ini beda dengan bank umum yang
mempunyai fungsi utamanya yaitu penciptaan uang, mendukung kelancaran
mekanisme pembayaran, menghimpun simpanan dana masyarakat, mendukung
kelancaran transaksi internasional, penyimpanan barang-barang berharga dan
pemberian jasa lainnya.
Perbedaan antara BPR dengan Bank Umum adalah dalam kegiatannya, yaitu
bank umum memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sedangkan BPR
tidak. Jasa lalu lintas pembayaran adalah jasa yang diberikan perbankan untuk
nasabah misalnya kliring, dan jual beli valuta asing. Maka BPR tidak terlibat
dalam kliring dan kegiatan usaha valuta asing. Ditinjau dari kegiatan usaha bank
umum dan BPR, perbedaannya terletak pada bentuk simpanan dana yang
dihimpun dari masyarakat. BPR tidak menghimpun dana dalam bentuk giro dan
deposito, hanya menerima dalam bentuk tabungan dan deposito. Maka BPR tidak
dapat melakukan transaksi giral. Sedangkan bank umum dapat melakukan

2

transaksi giral. Dilihat dari sasaran BPR pun berbeda dengan Bank Umum yaitu
melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil,
pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat dijangkau oleh bank
umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan
kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan. Dapat dilihat pada Tabel 1
adanya perubahan jumlah BPR, total asset BPR dan sumber dana BPR yang
tercatat di Bank Indonesia per Maret 2012 dan Maret 2013
Tabel 1 Perbandingan Jumlah BPR, Total Aset & Sumber Dana Maret 2012 dan
Maret 2013

Keterangan
Jumlah BPR
Total Aset
Sumber Dana

2012
1.665
Rp 57.211 Miliar
Rp 46.763 Miliar

2013
1.653
Rp 68.645 Miliar
Rp 56.443 Miliar

Penurunan jumlah BPR yang ada di Indonesia diakibatkan karena ditutup
atau bangkrut. Tingkat bunga simpanan yang berlaku periode 15 Januari 2013
sampai dengan 14 Mei 2013, BPR menawarkan sebesar 8% sedangkan bunga di
Bank Umum sebesar 5,5%. Bunga rata-rata tersebut jauh lebih besar daripada
bunga yang ditawarkan bank umum. Artinya BPR harus bersaing dengan bank
umum untuk memperebutkan dana masyarakat. Salah satu akibat bunga kredit
BPR lebih tinggi yaitu 31,98% untuk kredit modal, 28,33% untuk kredit investasi
dan 27,12% untuk kredit konsumsi. Jika BPR harus bersaing dengan bank umum
jelas tidak bisa. Walaupun BPR khusus untuk melayani masyarakat pedesaan dan
pelaku Usaha Mikro dan Kecil, namun masyarakat pedesaan dan pelaku Usaha
Mikro dan Kecil tidak ada larangan untuk meminjam ke bank umum.
Saat ini beberapa BPR telah memberikan kredit untuk keperluan konsumtif
kepada masyarakat, namun tindakan ini tidak sesuai dengan tujuan utama BPR.
Maka Bank Indonesia meminta kepada BPR untuk menurunkan porsi kredit
konsumsi karena dapat membahayakan kualitas pembiayaan. Kredit konsumsi
memang tidak bisa dihilangkan dari bisnis bank termasuk BPR karena beberapa
kebutuhan pinjaman mendesak menggunakan pembiayaan ini. Beberapa
kebutuhan yang banyak menggunakan pinjaman ini antara lain untuk anak sekolah
dan biaya berobat rumah sakit. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), kredit
konsumtif yang disalurkan oleh BPR mencapai Rp 19,53 triliun pada akhir Januari
2012, atau sekitar 47,15% dari seluruh portofolio pembiayaan yang mencapai Rp
41,42 triliun. Kredit konsumsi memiliki porsi terbesar dari keseluruhan
pembiayaan dan sedikit di atas modal kerja yang sebesar Rp 19,5 triliun. Adapun
kredit investasi hanya memiliki porsi Rp 2,39 triliun. Hingga akhir Januari 2012,
kredit yang disalurkan oleh industri BPR mencapai Rp 41,42 triliun, tumbuh
21,25% dibandingkan dengan Januari 2011 yang tercatat Rp 34,16 triliun.
Sementara itu, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) menjadi Rp 28,79 triliun,
menurun dibandingkan dengan tahun lalu sebesar Rp 32,03 triliun.
BPR perlu mengetahui seberapa besar resiko yang akan ditanggung apabila
memberikan kredit yang digunakan untuk konsumtif dan kredit yang digunakan
untuk produktif. Karena BPR harus memperhitungkan seberapa besar
pengembalian yang diterima dalam waktu dekat agar tetap dapat mejalankan
kegiatannya.

3

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah BPR seluruh
Indonesia. Sampel dipilih secara purposive yaitu salah satu BPR milik Pemerintah
Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk konsumtif dan BPR milik
Swasta yang memberikan sebagian besar portofolio kreditnya untuk produktif.
BPR milik Pemerintah Daerah memberikan kredit kepada pegawai yang
membutuhkan dana yang digunakan untuk konsumtif. Dilihat dari risiko yang
akan terjadi, kredit untuk konsumtif akan lebih rendah karena dapat langsung
dipotong dari gaji mereka. Sedangkan BPR milik Swasta yang lebih besar
memberikan kredit untuk produktif lebih besar risikonya, karena nasabah akan
mengembalikan pinjaman kepada BPR apabila usaha mereka telah mendapatkan
keuntungan. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengambil judul
“ANALISIS
KOMPARATIF
RISIKO
KEUANGAN
BANK
PERKREDITAN RAKYAT (BPR) MILIK PEMERINTAH DAERAH DAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) MILIKI SWASTA”.
Rumusan Masalah
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi 11 Januari 2013 mencatat kredit
tahunan tumbuh subur 21,51% dari Rp 40,68 triliun per November 2011 menjadi
Rp 49,43 triliun per November 2012. Dana pihak ketiga (DPK) yang hanya
meliputi deposito dan tabungan tumbuh kalah subur, yakni 17,57% dari Rp 37,28
triliun menjadi Rp 43,83 triliun. Dengan aneka keterbatasan, BPR masih kalah
dibandingkan bank umum dalam pertumbuhan kredit 21,94% dan DPK 18,14
persen. Menurut laporan BI, nilai outstanding kredit BPR yang hingga akhir
kuartal 2012 mencapai Rp 4,15 triliun, tercatat mengalami peningkatan per kuartal
sebesar 5,88%, atau 16,82% secara tahunan. Pertumbuhan pangsa kredit tertinggi
secara kuartal diduduki kredit konsumsi yang mencatat pertumbuhan sebesar
7,64%. Sedangkan secara tahunan, pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh kredit
investasi, yakni sebesar 46,50%. Berdasarkan sektor ekonomi, penyaluran kredit
BPR untuk sektor perdagangan masih memiliki pangsa yang terbesar. Nominal
kredit sektor perdagangan mencapai Rp 0,34 triliun dengan pangsa sebesar 8,19%
dari total kredit BPR di kuartal laporan. Sejalan dengan peningkatan kualitas
kredit di bank umum, kualitas kredit BPR juga mengalami peningkatan. Hal itu
tercermin dari rasio NPL (Non Performing Loan) BPR yang turun dari 1,68%
menjadi 1,47%.
Saat ini beberapa BPR lebih besar memberikan kredit untuk konsumtif dari
pada untuk produktif. Karena dilihat dari tingkat risiko pengembaliannya bahwa
kredit untuk konsumtif lebih rendah dari pada kredit untuk produktif. Dilihat dari
pembayarannya, kredit konsumtif lebih rendah resiko gagal bayarnya karena dapat
langsung dipotong dari penghasilan perbulannya. Sementara, kredit yang
disalurkan untuk produktif, akan menjadi kredit macet atau hutang tersebut tidak
dapat dibayar apabila usahanya mengalami kebangkrutan.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana perbandingan tingkat risiko keuangan antara BPR milik pemerintah
daerah dan BPR milik swasta?
2. Bagaimana kinerja keuangan BPR milik pemerintah daerah dan BPR milik
swasta?

4

Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini agar sesuai dengan sasaran
adalah :
1. Mengetahui perbandingan tingkat risiko keuangan antara BPR milik
pemerintah daerah dan BPR milik swasta.
2. Menganalisis kinerja keuangan BPR milik pemerintah daerah dan BPR milik
swasta.
Manfaat penelitian
Dari pelaksanaan penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain
yaitu :
1. Manfaat bagi penulis untuk menambah wawasan tentang risiko keuangan dan
mengetahui perbandingan tingkat risiko keuangan BPR milik pemerintah
daerah dan BPR milik swasta.
2. Manfaat bagi pihak perusahaan untuk menjadi masukan dalam menyusun
kebijakan perusahaan dan meminimalkan risiko keuangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Dari rumusan permasalahan yang telah dibuat maka ada beberapa hal yang
harus dibatasi dalam membahas permasalahan tersebut, antara lain :
1. BPR milik Pemeritah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya
untuk konsumtif.
2. BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya untuk
produktif.
3. Laporan Keuangan tahun 2010 sampai 2012.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Landasan hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah UU No. 7/1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10/1998. Dalam UU
tersebut disebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Menurut Bank Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat yang biasa
disingkat dengan BPR adalah salah satu jenis bank yang dikenal melayani
golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah dengan lokasi yang pada
umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan.
Kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil
dan masyarakat di daerah pedesaan. Bentuk hukum BPR dapat berupa perseroan
terbatas, perusahaan daerah, atau koperasi. Pengertian lain tentang BPR adalah
salah satu jenis bank yang dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan

5

menengah dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan tempat masyarakat
yang membutuhkan. Dilihat dari kepemilikannya BPR yaitu:
a. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan
hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah
daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara warga negara Indonesia, badan
hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, dan
pemerintah daerah.
b. BPR yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan
ketentuan dalam undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.
c. BPR yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat
diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
d. Perubahan kepemilikan BPR wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
e. Merger dan konsolidasi antara BPR, serta akuisisi BPR wajib mendapat ijin
Merited Keuangan sebelumnya setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan
clengan Peraturan Pemerintah.
Apabila ditinjau dari segi kepemilikannya, jenis bank terdiri atas bank milik
pemerintah, bank milik swasta nasional, dan bank milik swasta asing.
a. Bank Milik Pemerintah
Bank pemerintah adalah bank di mana baik akta pendirian maupun modalnya
dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh
pemerintah pula.Contohnya Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri.
Selain itu ada juga bank milik pemerintah daerah yang terdapat di daerah
tingkat I dan tingkat II masing-masing provinsi. Contoh Bank DKI, Bank
Jateng, dan sebagainya.
b. Bank Milik Swasta Nasional
Bank swasta nasional adalah bank yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh swasta nasional serta akta pendiriannya pun didirikan oleh
swasta, begitu pula pembagian keuntungannya juga dipertunjukkan untuk
swasta pula. Contohnya Bank Muamalat, Bank Danamon, Bank Central Asia,
Bank Lippo, Bank Niaga, dan lain-lain.
c. Bank Milik Asing
Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik
swasta asing atau pemerintah asing.Kepemilikannya dimiliki oleh pihak luar
negeri.Contohnya ABN AMRO bank, City Bank, dan lain-lain.
Bentuk hukum BPR dapat berupa Perusahaan Daerah (Badan Usaha Milik
Daerah), Koperasi Perseroan Terbatas (berupa saham atas nama), dan bentuk lain
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
membagi jenis BUMD menjadi dua bentuk yaitu Pemerintah Daerah (PD) dan
Perseroan Terbatas (PT). Perbedaan BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik
swasta dapat dilihat pada Tabel 2.

6

Tabel 2 Perbedaan BPR Milik Pemerintah Daerah & BPR Milik Swasta

Keterangan
Kepemilikan

Pengambilan
Keputusan

Penambahan Modal

BPR Milik Pemerintah
BPR Milik Swasta
Daerah
Modalnya dimiliki 100% Modalnya
seluruhnya
oleh Pemerintah Daerah.
dimiliki oleh swasta dan
tidak ada campur tangan
pemerintah, baik orang
perorang
maupun
bersama-sama
oleh
banyak orang dalam
bentuk pemilikan saham
atau simpanan pokok
Koperasi.
Pemerintah
Daerah Tidak
ada
peran
berperan besar dalam Pemerintah Daerah dalam
penentuan kebijakan BPR. pengambilan keputusan.
Seluruhnya
dilakukan
oleh pemegang saham.
Anggaran Pendapatan dan Investor
Belanja Daerah (APBD)
Fungsi Kegiatan Usaha BPR

Menurut Latumaerissa (2011), fungsi BPR tidak hanya sekedar
menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil, dan menengah, tetapi
juga menerima simpanan dari masyarakat. Dalam penyaluran kredit kepada
masyarakat, BPR menggunakan prinsip 3T, yaitu Tepat Waktu, Tepat Jumlah, dan
Tepat Sasaran, karena proses kreditnya yang relatif cepat, persyaratan lebih
sederhana dan sangat mengerti kebutuhan nasabah. Selain itu peran BPR juga
untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka, tabungan,
dan/atau bentuk lain yang serupa; dan memberikan kredit dalam bentuk Kredit
Modal Kerja, Kredit Investasi, maupun Kredit Konsumsi. Adapun kegiatan usaha
yang dapat dilakukan BPR secara detail adalah:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang serupa
b. Memberikan kredit
c. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito
berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
Kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh BPR antara lain:
a. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali sebagai pedagang valuta
asing (dengan izin Bank Indonesia)
c. Melakukan penyertaan modal
d. Melakukan usaha perasuransian
e. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada
kegiatan usaha yang dapat dilakukan BPR

7

Kriteria Penilaian BPR
Bank Indonesia, mempunyai beberapa kriteria untuk penilaian kinerja BPR
yang bisnisnya meningkat secara signifikan. Kriteria
yang digunakan dalam penilaian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Kinerja 5 Tahun Terakhir
Predikat Tingkat Kesehatan
Faktor Manajemen Minimal
NPL (gross)
CAR
LDR
BOPO
Pertumbuhan Kredit
Pertumbuhan DPK

Kriteria
S
CS
< 5%
> 12%
81% < LDR < 94,74%
< 88,5%
> 10%
> 5%

Sumber : Bank Indonesia (2011)

Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa BPR yang memiliki predikat tingkat
kesehatannya dengan kriteria sehat, faktor manajemen cukup sehat, NPL kurang
dari 5%, CAR lebih dari 12%, LDR lebih dari 81% dan kurang dari 94,74%,
BOPO kurang dari 88,55, pertumbuhan kredit lebih dari 10% dan pertumbuhan
DPK lebih dari 5% merupakan BPR yang bisnisnya meningkat signifikan menurut
Bank Indonesia. Dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka
BPR dapat menilai sendiri bisnis yang telah dijalaninya.
Pengertian Risiko
Menurut Mardiyanto (2009), resiko adalah ketidakpastian perolehan atas
imbal hasil dari suatu aktiva finansial tertentu. Makin tinggi tingkat resiko yang
harus ditanggung makin besar imbalan hasil yang mungkin diperoleh, begitu juga
sebaliknya. Sedangkan manajemen resiko adalah suatu cara yang proaktif,
terkoordinasi, bernilai efektif dan memahami pemrioritasan dalam menanggulangi
ancaman terhadap perusahaan.
Risiko Bisnis
Menurut Mardiyanto (2009), risiko bisnis didefinisikan sebagai ketidak
pastian atas proyeksi tingkat pengembalian aktiva, atau atas ekuitas (ROE) jika
perusahaan tidak menggunakan utang.
Risiko bisnis berbeda-beda di antara industri dan juga di antara perusahaan
yang satu dengan yang lain dalam industri yang sama. Bagitu pula risiko bisnis
dapat berubah dari waktu ke waktu. Perusahaan kecil dan perusahaan yang hanya
memproduksi satu jenis produk saja juga mempunyai risiko yang relatif tinggi.

8

Risiko Keuangan
Menurut Mardiyanto (2009), risiko keuangan adalah tambahan risiko bagi
pemegang saham biasa akibat penggunaan leverage keuangan. Leverage keuangan
merujuk pada penggunaan sekuritas yang memberikan penghasilan tetap yaitu
utang dan saham preferen. Secara konseptual, perusahaan mempunyai sejumlah
risiko yang melekat pada operasinya.
Menurut Hempel, et.al (1994:88) resiko perbankan dipengaruhi oleh
lingkungan, sumberdaya manusia, layanan keuangan, dan neraca. Berdasarkan
karakteristik perbankan tersebut, maka resiko dapat diklasifikasikan atas
environmental risks
(resiko lingkungan),
management risks
(resiko
manajemen), delivery risks (resiko operasi), dan financial risks (resiko keuangan).
Resiko keuangan dapat ditelusuri melalui analisis diskriminan keuangan (Zscore).
Menurut Hempel (1994: 89), cara mengukur dan mengelola resiko keuangan
(financial risks) perbankan, sebagai berikut: Resiko kredit dapat diatasi dengan
cara: Melakukan analisis kredit secara baik dan benar, dokumentasi kredit,
pengendalian dan pengawasan kredit, penilaian terhadap resiko khusus. Resiko
Likuiditas dapat diatasi dengan cara: Membuat perencanaan likuiditas, membuat
rencana kontingensi, analisis biaya dan penentuan bunga kredit, pengembangan
sumber pendanaan. Resiko Suku bunga dapat diatasi dengan cara: Membuat
analisis kepekaan bunga terhadap aktiva, Membuat analisis durasi, penilaian
bunga antar waktu Resiko leverage dapat diatasi dengan cara: Membuat
perencanaan modal, analisis pertumbuhan usaha berkelanjutan, memantapkan
kebijakan dividen, melakukan penyesuaian resiko terhadap kecukupan modal.
Laporan Keuangan
Menurut Mardiyanto (2009), laporan keuangan adalah catatan informasi
keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan
untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut. Pencatatan transaksi
akuntansi dapat didasarkan pada salah satu dari dua macam metode: dasar kas
(cash basis) dan dasar akrual (accrual basis). Dalam dasar kas, transaksi diakui
jika kas pendapatan (revenue) telah diterima dan kas beban (expenses) sudah
dibayarkan.
Prinsip dasar akrual adalah penyamaan (matching) perbedaan waktu antara
manfaat yang diterima dan beban yang harus dibayarkan. Dua laporan keuangan
yang umumnya memakai dasar akrual adalah laporan rugi/laba dan neraca.
Sementara itu laporan arus kas (cash flow statement) adalah laporan yang juga
didasarkan atas dasar akrual, tetapi telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga
mencerminkan arus kas yang sebenarnya.
Laporan Rugi/Laba
Laporan rugi/laba adalah laporan yang menunjukkan kegiatan operasi
perusahaan pada periode tertentu terbagi dalam dua bagian utama. Pada bagian
pertama, pendapatan, yang meliputi pendapatan operasi (berasal dari aktivitas
penjualan) dan pendapatan nonoperasi (misalnya, hasil penjualan aktiva tetap).
Pendapatan operasi (penjualan) biasanya dinyatakan dalam istilah penjualan

9

bersih, yakni penjualan mula-mula dikurangi oleh potongan penjualan dan retur
penjualan. Yang kedua, beban operasi (beban penjualan dan beban administrasi),
beban bunga dan pajak. Bentuk laporan rugi/laba dapat dilihat pada Gambar 1.
Laporan Rugi/Laba
Penjualan Bersih
Harga Pokok Penjualan
Laba Kotor
Beban Operasi:
Beban Penjualan
Beban Umum Administrasi
Jumlah Beban Operasi
Laba Operasi (Laba Sebelum Bunga dan Pajak)
Beban Nonoperasi:
Beban Bunga
Laba Sebelum Pajak
Pajak
Laba Bersih Setelah Pajak
Dividen Saham Preferen
Dividen Pemegang Saham Biasa

x
(x)
x
x
x
(x)
x
(x)
x
(x)
xx
(xx)
xxx

Gambar 1. Laporan Rugi/Laba (Mardiyanto, 2009)

Laporan Neraca
Laporan neraca adalah laporan yang mengungkapkan posisi keuangan
(kekayaan) dari suatu perusahaan pada tanggal tertentu mencakup aktiva (asset),
utang (liability), dan ekuitas (equity). Hubungan ketiganya disebut sebagai
persamaan akuntansi, yakni aktiva sama dengan utang ditambah ekuitas.
Aktiva dicatat di sebelah kiri atau bagian atas neraca, yang terdiri dari atas
aktiva lancar (misalnya kas, surat berharga jangka pendek, piutang usaha,
persediaan, biaya dibayar di muka, perlengkapan); investasi pada sekuritas jangka
panjang (misalnya pembelian saham dan obligasi); aktiva tetap berwujud
(misalnya tanah, bangunan, mesin, kendaraan, dan peralatan); dan aktiva tetap tak
berwujud (misalnya hak paten).
Utang dan ekuitas dicatat di sebelah kanan atau bagian bawah neraca. Utang
meliputi utang lancar (misalnya utang usaha, utang gaji, dan utang pajak) serta
utang jangka panjang (misalnya hipotik dan obligasi). Sementara itu, ekuitas
untuk perusahaan berbentuk perseroan terbatas mencakup saham preferen, saham
biasa, tambahan modal disetor dan laba ditahan. Bentuk neraca dapat dilihat pada
Gambar 2.

10

Aktiva
Aktiva
Aktiva Lancar
Investasi Sekuritas Jangka Panjang
Aktiva Tetap Berwujud (netto) x
Aktiva Tak Berwujud

Jumlah Aktiva

x
x

xxx

Passiva
Utang
Utang Lancar
Utang Jangka Panjang
Jumlah Utang
Ekuitas:
Saham preferen
Saham Biasa
Tambahan Modal Disetor
Laba Ditahan
Jumlah Ekuitas
Jumlah Utang dan Ekuitas

x
x
xx
x
x
x
x
xx
xxx

Gambar 2. Neraca (Mardiyanto, 2009)

Arus kas
Laporan yang menunjukkan arus kas perusahaan pada periode tertentu
bersumber dari kegiatan operasi, kegiatan investasi dan kegiatan pendanaan.
Kegiatan operasi adalah kegiatan mencari laba. Arus kas masuk penting dari
kegiatan itu, bersumber dari penjualan dan tagihan piutang usaha. Sebagian besar
arus kas keluarnya digunakan untuk membayar beban, utang usaha, bunga dan
pajak. Kegiatan investasi merupakan kegiatan yang membutuhkan pengeluaran
arus kas, terutama untuk pembelian aktiva tetap dan investasi sekuritas jangka
panjang.
Kegiatan pendanaan adalah kegiatan mencari sumber arus kas masuk,
khususnya yang berasal dari utang jangka panjang dan penerbitan saham baru.
Penting diketahui bahwa tambahan arus kas masuk dari utang jangka pendek yang
berasal dari penerbitan wesel bayar dimasukkan ke dalam kegiatan pendanaan
(bukan kegiatan operasi). Masuk pula dalam kegiatan ini adalah pembayaran
deviden kepada pemegang saham. Arus kas keluar untuk pembayaran pokok utang
dimasukkan ke dalam kegiatan pendanaan, tetapi pembayaran bunganya
dimasukkan ke dalam kegiatan operasi.
Laporan arus kas kadang-kadang disebut laporan sumber dan penggunaan
kas. Angka-angka yang dimasukkan ke dalam laporan arus kas berasal dari
perubahan pada neraca dua tahun terakhir. Penambahan aktiva merupakan
penggunaan kas. Sebaliknya, penurunan aktiva adalah sumber kas. Sementara itu,
penambahan utang dan ekuitas merupakan sumber kas. Sebaliknya, penurunan
utang dan ekuitas adalah penggunaan kas. Jumlah bersih kas dari kegiatan operasi,
kegiatan investasi dan kegiatan pendanaan akan sama dengan jumlah bersih dari
kas dan surat-surat berharga jangka pendek. Bentuk laporan arus kas dapat dilihat
pada Gambar 3.

11

Kegiatan Operasi:
Laba Bersih Setelah Pajak
Penyusutan
Perubahan Pada Aktiva Lancar (kecuali kas dan setara kas)
Perubahan Pada Utang Lancar (kecuali wesel bayar)
Jumlah Perubahan Kas Dari Kegiatan Operasi
Kegiatan Investasi:
Perubahan Pada Aktiva Tetap (gross)
Jumlah Perubahan Kas Dari Kegiatan Investasi
Kegiatan Pendanaan:
Perubahan Pada Wesel Bayar
Perubahan Pada Utang Jangka Panjang
Perubahan Pada Ekuitas (kecuali laba ditahan)
Pembayaran deviden
Jumlah Perubahan Kas Dari Kegiatan Pendanaan
Perubahan Bersih Kas dan Surat Berharga Jangka Pendek

x
x
x
x
xx
x
xx
x
x
x
x
xx
xxx

Gambar 3. Arus Kas (Mardiyanto, 2009)

Rasio Keuangan
Menurut James C Van Horne dalam Kasmir (2010) rasio keuangan
merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh
dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan
untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Rasio keuangan
hanya merupakan cara untuk merangkum sejumlah besar data keuangan dan
membandingkan kinerja perusahaan. Analisis rasio keuangan merupakan
peralatan (tools) untuk memahami laporan keuangan (khususnya neraca dan labarugi). Ada tiga jenis analisis dalam analisis rasio, yakni:
a. Analisis Silang (cross-sectional) yang membandingkan rasio dalam waktu
(tahun) yang sama.
b. Analisis Runtun waktu (time-series) yang membandingkan rasio dalam waktu
(tahun) yang berbeda.
c. Analisis gabungan (combined) yang menyatukan kedua analisis sebelumnya.
Aspek Keuangan
Menurut Mardiyanto (2009), ada lima aspek keuangan yang penting untuk
dianalisis, yakni:
a. Likuiditas (liquidity)
Likuiditas mengukur kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban
(utang) jangka pendek tepat pada waktunya, termasuk melunasi bagian utang
jangka panjang yang jatuh tempo pada tahun bersangkutan.
b. Aktivitas atau aktiva (activity or asset)
Aktivitas atau aktiva mengukur kemampuan aktiva perusahaan dalam
menghasilkan pendapatan (penjualan).
c. Utang (debt) atau solvabilitas (solvability) atau leverage
Utang, solvabilitas atau leverage mengukur dua hal yakni proporsi utang
perusahaan yang digunakan untuk membiayai investasi dan kemampuan
perusahaan dalam membayar utangnya (khususnya dalam jangka panjang).
d. Profitabilitas (profitability)

12

Profitabilitas mengukur kesanggupan perusahaan untuk menghasilkan laba
e. Nilai pasar (market value)
Nilai pasar mengukur kinerja saham perusahaan di pasar modal.
Rasio Keuangan Bank
Menurut Kasmir (2010), rasio keuangan yang digunakan oleh bank dengan
perusahaan nonbank sebenarnya relatif tidak jauh berbeda. Perbedaannya terutama
terletak pada jenis rasio yang digunakan untuk menilai rasio yang jumlahnya lebih
banyak. Hal ini wajar saja karena komponen neraca dan laporan laba rugi yang
dimiliki bank berbeda dengan laporan neraca dan laba rugi perusahaan nonbank.
Bank merupakan perusahaan keuangan yang bergerak dalam memberikan
layanan keuangan yang mengandalkan kepercayaan dari masyarakat dalam
mengelola dananya. Risiko yang dihadapi bank jauh lebih besar ketimbang
perusahaan nonbank sehingga beberapa rasio dikhususkan untuk memerhatikan
rasio ini.
Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas mengukur seberapa mudah perusahaan dapat memegang
kas. Rasio likuiditas juga memiliki beberapa karakteristik yang kurang diinginkan.
Karena aset dan kewajiban jangka pendek mudah diubah, ukuran likuiditas dapat
dengan cepat berubah menjadi ketinggalan zaman.
a. Loan to Assets Ratio
Loan to Assets Ratio untuk mengukur rasio jumlah kredit yang disalurkan dengan
harta yang dimiliki bank. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah tingkat
likuiditas bank karena jumlah asset yang diperlukan untuk membiayai kreditnya
makin besar.
b. Rasio Kas (Cash Ratio/CsR)
Rasio Kas untuk mengukur kemampuan bank melunasi kewajiban yang harus
segera dibayar dengan harta likuid bank. Rasio kas yang rendah mungkin tidak
menjadi masalah jika perusahaan dapat meminjam dalam waktu singkat. Jadi,
rasio kas mengukur likuiditas dari aktiva lancar yang pasti dapat dicairkan
menjadi kas. Bilamana persediaan diperkirakan lama terjual dan piutang lama
tertagih, kita sebaiknya menggunakan rasio kas sebagai pengukuran likuiditas,
bukan rasio lancar atau rasio cepat.
c. Loan to Deposit Ratio (LDR)
Loan to Deposit Ratio untuk mengukur komposisi kredit yang diberikan
dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri. LDR adalah
rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah
penerimaan dana dari berbagai sumber. LDR disebut juga rasio kredit terhadap
total dana pihak ketiga yang digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang
disalurkan dalam bentuk kredit. Semakin tinggi rasio LDR memberikan indikasi
semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit
menjadi semakin besar.

13

d. Non Performing Loan (NPL)
NPL adalah salah satu indikator untuk menilai kinerja fungsi bank. NPL
digunakan adalah NPL bersih yang telah disesuaikan. Aset penilaian kualitas
merupakan penilaian terhadap kondisi aktiva bank dan kecukupan manajemen
risiko kredit.
Rasio Solvabilitas
Rasio permodalan sering disebut juga rasio-rasio solvabilitas atau capital
adequacy ratio. Semakin besar nilai rasio solvabilitasnya maka, semakin besar
hutang yang dimiliki perusahaan. Artinya semakin besar kewajiban perusahaan
yang harus dipenuhi kepada pihak lain. Analisis solvabilitas digunakan untuk:
a. Ukuran kemampuan bank tersebut untuk menyerap kerugian-kerugian yang
tidak dapat dihindarkan.
b. Sumber dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan usahanya sampai
batas tertentu, karena sumber-sumber dana dapat juga berasal dari hutang,
penjualan aset yang tidak dipakai dan lain-lain.
c. Alat pengukuran besar kecilnya kekayaan bank tersebut yang dimiliki oleh para
pemegang sahamnya.
d. Dengan modal yang mencukupi, memungkinkan manajemen bank yang
bersangkutan untuk bekerja dengan efisiensi yang tinggi, seperti yang
dikehendaki oleh para pemilik modal pada bank tersebut.
Sedangkan rasio solvabilitas terdiri dari:
a. Capital Ratio
Rasio ini digunakan untuk mengukur permodalan dan cadangan penghapusan
dalam menanggung risiko perkreditan, terutama risiko yang terjadi karena
bunga gagal ditagih.
b. Capital Adequacy Ratio (CAR)
Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kecukupan modal yang berfungsi
menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi oleh bank. Semakin
tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank untuk menanggung risiko
dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi maka
bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. Rasio ini digunakan untuk
mengukur kemampuan permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan
kerugian di dalam kegiatan perkreditan dan perdagangan surat-surat berharga.
Rasio Rentabilitas
Rasio rentabilitas selain bertujuan untuk mengetahui kemampuan bank
dalam menghasilkan laba selama periode tertentu, juga bertujuan mengukur
tingkat efektivitas manajemen dalam menjalankan operasional perusahaannya.
Pada rasio rentabilitas (keuntungan), rasio yang dapat diukur antara lain: return on
assets, biaya operasi/pendapatan operasi, gross profit margin, dan net profit
margin.
a. Net Interest Margin (NIM)
Net Interest Margin (NIM) adalah ukuran perbedaan antara bunga pendapatan
yang dihasilkan oleh bank atau lembaga keuangan lain dan nilai bunga yang

14

dibayarkan kepada pemilik simpanan. Semakin besar nilai NIM, maka semakin
bagus bank tersebut, karena itu berarti pendapatannya terbilang besar
dibanding asetnya.
b. Net Profit Margin (NPM)
Rasio ini untuk mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba bersih
sebelum pajak (net income) ditinjau dari sudut pendapatan operasinya.
Semakin besar angka yang dihasilkan, menunjukan kinerja yang semakin baik.
c. Return on Equity (ROE)
Rasio ini untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola
ekuitas yang ada untuk mendapatkan laba bersih. Semakin besar rasio ini maka
semakin besar kenaikan laba bersih bank yang bersangkutan, selanjutnya akan
menaikan harga saham bank dan semakin besar pula dividen yang diterima
investor.
d. Return on Assets (ROA)
Rasio ini mengukur kemampuan bank didalam memperoleh laba dan efisiensi
secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar
tingkat keuntungan bank dan semakin baik pula posisi bank dari segi
penggunaan assets.
Analisis Diskriminan (Z-Score)
Menurut Altman (1968) yang dikutip dalam Universitas Gunadarma (2010)
Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah
keuangan yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan.
Formula Z-Score untuk memprediksi kebangkrutan dari Altman merupakan
sebuah formula multivariat yang digunakan untuk mengukur kesehatan finansial
dari sebuah perusahaan. Altman menemukan lima jenis rasio keuangan yang dapat
dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan
yang tidak bangkrut, maka terbentuklah fungsi diskriminan yang juga disebut Zscore.
1. Versi Z-Score yang pertama ini untuk perusahaan manufaktur yang telah go
public (publicly manufacturing).
Z = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0 X5 ……………………………….(1)
Keterangan:
Z : Overall Indeks (Indeks keseluruhan)
X1 : Working Capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva)
X2 : Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan / Total Aktiva)
X3 : Earning Before Interest and Taxes to Total Assets ( EBIT / Total Aktiva)
X4 : Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Nilai Pasar
Modal Sendiri / Nilai Buku Total Kewajiban)
X5 : Sales to Total Assets (Penjualan / Total Aktiva)
Hasil perhitungan Z-Score untuk perusahaan manufaktur yang telah go public
dapat dijelaskan pada Tabel 4.

15

Tabel 4 Kriteria Penilaian Z-Score untuk perusahaan manufaktur yang telah go
public (public manufacturing)

Score
Z > 2,99

1,81 < Z < 2,99

Z < 1,81

Kategori
Perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi
keuangan (non-bankrupt company). Perusahaan akan mengalami
permasalahan keuangan jika tidak melakukan perbaikan yang
berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan.
Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah,
karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang
lebih tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki
skor lebih rendah masih dapat bertahan (gray area).
Perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius sehingga
dapat berpotensi untuk bangkrut (bankrupt company). Hal ini
perlu ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan agar tidak
terjadi kebangkrutan.

2. Pada tahun 1984, Altman melakukan penelitian ulang di berbagai negara.
Penelitian ini memasukkan dimensi internasional. Mengingat bahwa tidak
semua perusahaan go public dan tidak memiliki nilai pasar, maka formula
untuk perusahaan yang belum go public (privately manufacturing) adalah
sebagai berikut:
Z’ = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998X5 ……………….…..(2)
Keterangan:
Z : Overall Indeks (Indeks keseluruhan)
X1 : Working Capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva)
X2 : Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan / Total Aktiva)
X3 : Earning Before Interest and Taxes to Total Assets ( EBIT / Total Aktiva)
X4 : Book Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Nilai Buku
Saham/ Nilai Buku Total Kewajiban)
X5 : Sales to Total Assets (Penjualan / Total Aktiva)
Semua koefisien dari variable X1-X5 diubah, maka nilai cut off yang digunakan
pun berubah. Hasil perhitungan Z-Score dapat dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kriteria Penilaian Z-Score untuk perusahaan yang belum go public

Score
Z > 2,90

1,20 < Z < 2,90

Z < 1,20

Kategori
Perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi
keuangan (non-bankrupt company).
Perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak
melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun
struktur keuangan
Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah,
karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang
lebih tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki
skor lebih rendah masih dapat bertahan (gray area).
Perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius sehingga
dapat berpotensi untuk bangkrut (bankrupt company). Hal ini
perlu ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan agar tidak
terjadi kebangkrutan.

16

3. Kemudian, Altman membuat apa yang disebutnya sebagai versi empat
variabel. Versi terakhir ini diperuntukkan bagi perusahaan non-manufaktur:
Z” = 6,56 X1 + 3,26 X2 + 6,72 X3+ 1,05 X4………………………………….(3)
Keterangan:
Z : Overall Indeks (Indeks keseluruhan)
X1 : Working Capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva)
X2 : Retained Earning to Total Assets (Laba Ditahan / Total Aktiva)
X3 : Earning Before Interest and Taxes to Total Assets ( EBIT / Total Aktiva)
X4 : Book Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (Nilai Buku Modal
Sendiri / Nilai Buku Total Kewajiban).
Semua koefisien dari variable X1-X4 diubah, maka nilai cut off yang digunakan
pun berubah. Hasil perhitungan Z-Score dapat dijelaskan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kriteria Penilaian Z-Score untuk perusahaan non-manufaktur

Score
Z > 2,60

1,10 < Z < 2,60

Z < 1,10

Kategori
Perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi
keuangan (non-bankrupt company).
Perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak
melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun
struktur keuangan.
Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah,
karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang lebih
tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki skor
lebih rendah masih dapat bertahan (gray area).
Perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius sehingga
dapat berpotensi untuk bangkrut (bankrupt company). Hal ini perlu
ditindaklanjuti oleh manajemen perusahaan agar tidak terjadi
kebangkrutan.
Tujuan dari perhitungan Z-score adalah untuk mengingatkan akan
masalah keuangan yang mungkin membutuhkan perhatian serius
dan menyediakan petunjuk untuk bertindak.

Z-score hasil kreasi Altman ini telah teruji keandalannya sehingga bertahan
sampai sekarang. Selain metode ini dapat memprediksi kebangkrutan
perusahaan, Z-score juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan
keuangan suatu perusahaan melalui informasi yang diperoleh dari laporan
keuangan.
Sesuatu hal yang menarik tentang Z-score adalah keandalanya sebagai alat
analisis tanpa memperhatikan bagaimana ukuran perusahaan. Hasil dari analisis
tersebut dapat digunakan oleh pihak manajemen perusahaan dan pemegang
saham. Bila perusahaan memiliki kinerja keuangan yang sehat berarti perusahaan
dapat berkembang baik maka nilai perusahaan akan meningkat akibatnya harga
saham juga akan meningkat dan bila perusahaan dalam keadaan tidak sehat maka
perlu diwaspadai karena berisiko tinggi menuju kebangkrutan dan kemungkinan
harga sahamnya pun akan menurun.
Semakin awal tanda-tanda kebangkrutan diketahui semakin baik bagi
seluruh pihak yang terkait. Tindakan korektif dapat diambil dengan lebih cepat
untuk memperbaiki keadaan sehingga tidak mencapai tahap yang lebih buruk.
Oleh karena itu, analisis Z-score perlu dilakukan setiap tahunnya untuk memberi

17

panduan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tentang kinerja keuangan
perusahaan apakah akan mengalami kesulitan keuangan atau tidak di masa
mendatang.
Rasio inilah yang akan digunakan untuk menganalisis laporan keuangan
sebuah perusahaan untuk kemudian mendeteksi kemungkinan terjadinya
kebangkrutan pada perusahaan tersebut. Dalam manajemen keuangan, rasio-rasio
yang digunakan dalam metode Altman ini dapat dikategorikan dalam tiga
kelompok besar yaitu:
a. Rasio Likuiditas yag terdiri dari X1
b. Rasio Profitabilitas yang terdiri dari X2 dan X3
c. Rasio Aktivitas yang terdiri dari X4 dan X5
Uraian masing-masing variable tersebut adalah sebagai berikut:
a. Modal kerja terhadap total aktiva (working capital to total assets) digunakan
untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan relatif terhadap total
kapitalisasinya atau untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek.
b. Laba ditahan terhadap total aktiva (retained earning to total assets) digunakan
untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio ini mengukur akumulasi laba
selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio
tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk
memperlancar akumulasi laba ditahan.
c. Pendapatan sebelum pajak dan bunga terhadap total aktiva (earnings before
interest and taxes to total assets) digunakan untuk mengukur produktivitas
yang sebenarnyan dari aktiva perusahaan. Rasio tersebut mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang
digunakan.
d. Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari utang (market value equity to book
value of total debt) digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva
perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah utang lebih besar daripada
aktivanya dan perusahaan menjadi pailit.
e. Pe