Efektivitas Kelembagaan Desa dalam Praktik Demokrasi di Desa Kelangdepok, Pemalang, Jawa Tengah

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN DESA DALAM PRAKTIK
DEMOKRASI DI DESA KELANGDEPOK, PEMALANG,
JAWA TENGAH

SOFI NUR ARIYATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Efektivitas
Kelembagaan Desa dalam Praktik Demokrasi di Desa Kelangdepok, Pemalang,
Jawa Tengah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014
Sofi Nur Ariyati
NIM I34100047

ABSTRAK
SOFI NUR ARIYATI. Efektivitas Kelembagaan Desa dalam Praktik Demokrasi
di Desa Kelangdepok, Pemalang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh SOFYAN SJAF.
Efektivitas kelembagaan dalam praktik pemilihan Kepala Desa dipengaruhi
oleh empat faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor
sarana/fasilitas pendukung, serta faktor sosial-masyarakat. Pada efektivitas
kelembagaan, dilihat dari faktor manakah yang lebih berpengaruh pada tingkat
efektivitas. Kemudian pada masing-masing maupun keseluruhan tahap praktik
pemilihan Kepala Desa, dilihat faktor manakah yang paling dominan. Selanjutnya,
anggota mana yang lebih efektif antara anggota formal dan anggota informal.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dan didukung
dengan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor anggota
kelembagaan mempunyai pengaruh besar pada tingkat efektivitas. Pada tahap

persiapan, faktor yang memiliki pengaruh besar adalah faktor sarana/fasilitas
pendukung. Tahap pelaksanaan, keempat faktor tidak memberikan pengaruh yang
paling signifikan. Untuk keseluruhan praktik, faktor sarana/fasilitas pendukunglah
yang paling berpengaruh sama seperti pada tahap persiapan. Kinerja anggota yang
lebih efektif dalam keseluruhan adalah anggota formal. Merujuk pada hasil,
diharapkan anggota informal lebih banyak dilibatkan lagi, dan bagi anggota
formal lebih ditingkatkan lagi kinerjanya.
Kata kunci : demokrasi, desa, kelembagaan

ABSTRACT
SOFI NUR ARIYATI. The Local Institutional Effectiveness in The Democratic’s
Practice at the Desa Kelangdepok, Pemalang, Central Java. Supervised by
SOFYAN SJAF.
Institutional effectiveness in the practice of country chief elections is
influenced by four factors, namely institutional factors, member institutions
factors, support facilities factors, and social-community factors. On institutional
effectiveness, in terms of which factors are more influential on the level of
effectiveness. Then, at each stage and the overall practice of country chief
elections, it will see which is the most dominant factor. You will see the members
of which are more effective among members of formal and informal members.

The method used is the method of quantitative and qualitative data supported. The
results showed that member institutions factors have major influence on the level
of effectiveness. In the preparation phase, the factors that have a major influence
factor is the support facilities factors. Meanwhile, at the implementation stage, the
fourth factor is not the most significant influence. For the whole practice, support
facilities factors is the most influential factor as the same as in the preparation
stage. The performance of members who more effective in the overall is the
formal members. Referring to the results, informal members are expected to be
more involved again, and formal members further enhanced performance.
Keywords: democracy, village, institutional

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN DESA DALAM PRAKTIK
DEMOKRASI DI DESA KELANGDEPOK, PEMALANG,
JAWA TENGAH

SOFI NUR ARIYATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Efektivitas Kelembagaan Desa dalam Praktik Demokrasi di Desa
Kelangdepok, Pemalang, Jawa Tengah
Nama
: Sofi Nur Ariyati
NIM
: I34100047

Disetujui oleh

Dr Sofyan Sjaf

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah
kelembagaan dan praktik demokrasi di aras lokal atau desa, dengan judul
Efektivitas Kelembagaan Desa dalam Praktik Demokrasi di Desa Kelangdepok,
Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk
melihat efektivitas kelembagaan desa dalam pelaksanaan praktik demokrasi desa.
Untuk mencapai tujuan ini, peneliti terlebih dahulu akan menganalisis efektivitas
kelembagaan yang dilihat dari beberapa faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor
anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat. Efektivitas kelembagaan ini akan dikaitkan dengan pelaksanaan

praktik demokrasi desa, yakni pemilihan Kepala Desa yang kemudian juga dilihat
bagaimana proses pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara keseluruhan yang
melibatkan kelembagaan-kelembagaan yang ada di desa. Nantinya akan terlihat
kelembagaan/organisasi desa manakah yang lebih efektif dalam melaksanakan
praktik pemilihan Kepala Desa tersebut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Sofyan Sjaf selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan
kritik yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua tercinta, Bapak Tahmid dan
Ibu Taruni, juga adik-adik tercinta Zaitun Kamaruni, Annisa Dyah Agustin, yang
selalu melimpahkan kasih sayang, doa, serta motivasi kepada penulis. Tidak lupa
terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman OMDA Pemalang,
terutama angkatan 47 yakni Rifan, Yoga, Fika, Retno, Vita, Riska, Dini, Alief, Isti,
dan Shandy yang selalu memberikan semangat dan motivasinya. Kepada temanteman SKPM angkatan 47 khususnya teman sebimbingan Putri Nadiyatul Firdausi,
M. Habibi Karamallah, dan Resa Urpon, saya juga mengucapkan terima kasih
dikarenakan selalu memberi semangat, motivasi, dan saran. Tidak lupa juga
terima kasih untuk semangat, dan dukungan dari teman-teman satu kosan yakni
Mbak Mei, Mbak Ayu, Mbak Novi, Dinna, Putri, dan Amik. Selanjutnya, penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Paguyuban Bidik Misi IPB yang telah
memberikan bantuan dana bagi peneliti dari awal kuliah hingga penelitian ini

selesai.
Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada masyarakat Desa
Kelangdepok, baik dari pihak Kepala Desa, perangkat desa, tokoh masyarakat
maupun kalangan masyarakat umum lainnya yang telah membantu selama
pengumpulan data di lapangan.

Bogor, Juni 2014
Sofi Nur Ariyati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Masalah Penelitian

4

Tujuan Penelitian

6

Manfaat Penelitian


6

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

7
7

Kerangka Pemikiran

14

Hipotesis Penelitian

15

Definisi Operasional

17


PENDEKATAN LAPANG

27

Metode Penelitian

27

Lokasi dan Waktu Penelitian

27

Teknik Sampling

27

Pengumpulan Data

28


Pengolahan dan Analisis Data

29

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

31

Kondisi Geografis dan Ekonomi

31

Karakteristik Responden

32

Profil Kelembagaan Formal dan Kelembagaan Informal Desa

34

FAKTOR PENGARUH EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN

39

Pengaruh Faktor Kelembagaan

40

Pengaruh Faktor Anggota Kelembagaan

43

Pengaruh Sarana/Fasilitas Pendukung

46

Pengaruh Sosial-Masyarakat

49

Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas

52

Ikhtisar : Faktor Pengaruh Efektivitas Kelembagaan

55

FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRAKTIK PEMILIHAN
KEPALA DESA

57

Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas pada Tahap Persiapan

57

Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas pada Tahap Pelaksanaan

60

Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas terhadap Praktik Pemilihan Kepala Desa 62
Ikhtisar : Faktor yang Berpengaruh terhadap Praktik Pemilihan Kepala Desa 65
EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN TERHADAP PRAKTIK PEMILIHAN
KEPALA DESA

67

Tingkat Efektivitas pada Tahap Persiapan

67

Tingkat Efektivitas pada Tahap Pelaksanaan

68

Tingkat Efektivitas pada Praktik Pemilihan Kepala Desa

69

Uji Beda antara Kelembagaan Formal dan Kelembagaan Informal Desa

71

Ikhtisar : Efektivitas Kelembagaan terhadap Praktik Pemilihan Kepala Desa 74
SIMPULAN DAN SARAN

77

Simpulan

77

Saran

78

DAFTAR PUSTAKA

79

LAMPIRAN

81

RIWAYAT HIDUP

947

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14
15
16

Jumlah bangunan infrastruktur desa dan fasilitas lainnya di Desa
Kelangdepok per tahun 2011
Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan
dan besaran pengaruh faktor kelembagaan
Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan
dan besaran pengaruh faktor anggota kelembagaan
Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan
dan besaran pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung
Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan
dan besaran pengaruh faktor sosial-masyarakat
Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan
dan besaran tingkat efektivitas kelembagaan
Persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran
efektivitas kelembagaan antara kelembagaan formal dan
kelembagaan informal
Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan
dan besaran tahap persiapan
Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan
dan besaran tahap pelaksanaan
Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan
dan besaran praktik pemilihan Kepala Desa
Persentase besaran faktor-faktor efektivitas dengan besaran
praktik pemilihan Kepala Desa
Persentase besaran efektivitas dengan besaran tahap persiapan
Persentase besaran efektivitas dengan besaran tahap pelaksanaan
Persentase besaran efektivitas dengan besaran praktik pemilihan
Kepala Desa
Perbandingan nilai rata-rata antara kelembagaan formal dan
kelembagaan informal dalam efektivitas kelembagaan
Perbandingan nilai rata-rata antara kelembagaan formal dan
kelembagaan informal dalam praktik pemilihan Kepala Desa

31
40
43
47
50
52

56
57
60
62

65
67
68
70

71
72

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Kerangka pemikiran
Metode pengambilan sampel
Karakteristik responden berdasarkan status kelembagaan
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

15
28
32
34

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

14

Rancangan kegiatan penelitian
Peta lokasi penelitian
Daftar responden
Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor
kelembagaan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan
Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor anggota
kelembagaan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan
Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor
sarana/fasilitas pendukung terhadap tingkat efektivitas kelembagaan
Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor sosialmasyarakat
Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor
efektivitas terhadap tingkat efektivitas kelembagaan
Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor
efektivitas terhadap tingkat tahap persiapan
Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor
efektivitas terhadap tahap pelaksanaan
Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor
efektivitas terhadap praktik pemilihan Kepala Desa
Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh tingkat
efektivitas kelembagaan terhadap praktik pemilihan Kepala Desa
Hasil pengolahan data dengan uji t-independent, keefektifan
kelembagaan formal dan kelembagaan informal
Dokumentasi

81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93

94

PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, dan
kegunaan penelitian. Latar belakang penelitian menguraikan hal-hal yang
melatarbelakangi penelitian ini dilakukan yang kemudian akan memunculkan
permasalahan penelitian secara umum (General Research Question).
Permasalahan penelitian tersebut selanjutnya diuraikan secara lebih terperinci
menjadi permasalahan yang spesifik (Spesific Research Question) pada bab
masalah penelitian. Poin selanjutnya yaitu tujuan penelitian menjelaskan tujuan
dari penelitian yang dilaksanakan berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan.
Poin terakhir dari bab ini yaitu penjabaran tentang kegunaan penelitian baik bagi
peneliti, akademisi, pemerintah, dan masyarakat.

Latar Belakang
Indonesia mempunyai sejarah perjalanan panjang tentang demokrasi. Hal
ini ditunjukkan dari beberapa peralihan periode demokrasi yang terjadi, yakni
periode 1945-1959 yang dikenal sebagai masa demokrasi parlementer, periode
1959-1965 yang dikenal sebagai masa demokrasi terpimpin, periode 1966-1998
yang dikenal sebagai masa demokrasi Pancasila era orde baru, dan periode 1999sekarang yang dikenal sebagai masa demokrasi Pancasila era reformasi (Rikard
dan Susanto 2005). Sebelum kemerdekaan, praktik demokrasi bahkan sudah
dijalankan, yakni dengan munculnya berbagai perkumpulan dan perserikatan
seperti Perkumpulan Pelajar, Perkumpulan Pemuda (Budi Utomo) dan berbagai
organisasi sosial keagamaan lainnya. Praktik demokrasi semakin marak terjadi
pada masa demokrasi Pancasila era reformasi tahun 1999 sampai sekarang, seperti
adanya pemilihan Calon Legislatif (Caleg), pemilihan Gubernur, pemilihan
Walikota, pemilihan Bupati, dan pemilihan Kepala Desa. Beberapa bentuk praktik
demokrasi tersebut menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya dijalankan di
tingkat nasional, namun juga di tingkat lokal. Demokrasi yang muncul pada masa
reformasi ini dianggap sebagai obat mujarab untuk mengobati hak masyarakat
dalam mengeluarkan pendapat setelah runtuhnya masa orde baru. Menurut Anita
(2013) Peralihan dari sentralisasi ke desentralisasi ini memunculkan adanya
pembaruan otonomi desa yang diharapkan pemerintahan di Indonesia akan
semakin membaik, karena pikiran, pendapat, dan partisipasi masyarakat akan
menjadi penentu dalam pengambilan sebuah keputusan.
Konsep demokrasi sendiri secara umum menurut Rikard dan Susanto
(2005) mempunyai arti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Menurut Prijono dan Tjiptoherijanto (2012), ide demokrasi Negara Barat
menyatakan bahwa secara politis, demokrasi merupakan sistem dimana pemimpin
mewakili keinginan rakyat, dipilih melalui suara rakyat dengan kesadaran sendiri,
tanpa paksaan, menjamin kebebasan dan persamaan bagi rakyat seluas mungkin.
Secara sosial, pada dasarnya dalam masyarakat yang demokratis, setiap orang
harus mendapat hak yang sama atas pencapaian suatu kekuatan. Merujuk dari
penjelasan kedua konsep tersebut, Gayatri (2007) menambahkan pernyataan yang
menjelaskan bahwa demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu

2
dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang
mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Pemerintahan yang
demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika
terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi, dan kontrol terhadap
penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi
menjamin aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan
daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga
politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas
pemerintahan.
Prijono dan Tjiptoherijanto (2012) mengutip tulisan dari seorang
nasionalis termashur, almarhum Mohammad Hatta yang menuliskan bahwa, "Di
desa-desa, sistem yang demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian
adat-istiadat yang hakiki. Struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa
Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa. Selain itu,
pola-pola demokrasi tradisional dilambangkan dengan musyawarah dalam
pencapaian keputusan dan gotong-royong dalam pelaksanaan keputusannya. Hal
ini dikuatkan dengan pernyataan bahwa wewenang tertinggi di desa adalah rapat
desa. Semua orang dewasa dari masyarakat desa berhak untuk menghadiri rapat
desa dan berbicara serta memberikan suaranya. Kelembagaan formal maupun
informal yang ada di desa juga pernah ada untuk mewakili pendapat-pendapat
semua orang desa dalam pencapaian keputusan menurut asas-asas musyawarah.
Ide dasar demokrasi ini berupa pengikutsertaan rakyat dan persetujuan umum
dalam pencapaian keputusan dengan memelihara persetujuan bersama.
Sebagaimana dalam praktiknya, demokrasi melibatkan berbagai macam
aktor dan lembaga dari tingkat nasional hingga tingkat lokal. Demokrasi desa
sendiri dimaksudkan untuk memberikan makna desentralisasi dan otonomi desa
bagi masyarakat desa. Demokrasi akan membawa negara lebih dekat ke rakyat
desa, sekaligus membuat akses rakyat kepada negara semakin dekat. Pelaksanaan
demokrasi memuat aspek kelembagaan yang merupakan keutamaan dari
berlangsungnya praktik politik yang demokratis. Hal ini diperkuat dengan fakta
bahwa pada tahun 1960-an hingga pertengahan 1970, menurut adat-istiadat Jawa,
desa mempunyai tiga institusi sebagai tempat berunding, sekaligus mempunyai
fungsi pencapaian keputusan juga, yaitu Rapat Desa, Badan Musyawarah Desa,
dan Dewan Desa. Ketiga kelembagaan ini tidak hanya beranggotakan para
sesepuh dan tokoh masyarakat tetapi juga anggota masyarakat lainnya.
Selanjutnya, didukung juga dengan adanya lembaga perwujudan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa yang tertuang dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yangmana berfungsi
untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, yakni Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) serta Pemerintah Desa sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa.
Selain lembaga tersebut, munculnya lembaga informal seperti kelompok
perkumpulan pemuda, kelompok agama, dan sebagainya juga ikut menyumbang
partisipasi dan melakukan pengawasan terhadap proses jalannya pemerintahan
serta praktik dari penyelenggaraan pemerintahan desa itu sendiri. Dalam
tulisannya, Hadiwinata (2005) mengutip pernyataan dari Putnam (1996), bahwa
konsep kelembagaan informal termasuk ke dalam kategori civil society, dimana

3
civil society merupakan tempat perbedaan kepentingan yang dinegosiasikan
sehingga kehadirannya dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam
merepresentasi kepentingan dan sekaligus memperluas partisipasi politik.
Selanjutnya, Alagappa (2004) yang dikutip oleh Hadiwinata (2005) juga
menyatakan bahwa civil society dapat mengembangkan demokrasi ketika dia
memfasilitasi pembentukan budaya politik demokratis (memberikan kesempatan
kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalm bidang politik),
meminta kepada pemerintah untuk mempertanggung jawabkan setiap
kebijakannya, dan mendorong masyarakat untuk melakukan partisipasi politik.
Contoh yang diberikan dari perwujudan konsep civil society itu sendiri ialah
kelompok mahasiswa, organisasi non-pemerintah (ornop), dan kalangan
intelektual yang pada tahun 1998 melakukan pergerakan untuk memperjuangkan
sebuah demokrasi.
Hudayana (2003) mengemukakan konsep civil society desa sebagai
perkumpulan warga masyarakat yang sarat dengan karakter yang relatif lokal,
sederhana, informal, personal, dan kadang bersifat temporal. Hudayana juga
melakukan sebuah penelitian tentang civil society di beberapa desa di daerah Jawa
Tengah dan Yogyakarta. Seperti halnya di Bantul, Hudayana menemukan sebuah
pergerakan dari warga masyarakat yang menumbangkan pemerintah desa yang
melakukan tindak kecurangan yakni KKN. Selain aksi ini, pada penghujung tahun
1999 hingga pertengahan tahun 2000, perkumpulan warga Bantul juga terlibat
dalam penyusunan peraturan daerah (Perda) tentang pemerintahan desa yang
demokratis. Lain halnya di Purworejo, perkumpulan warga lebih kooperatif dalam
pesta demokrasi (berbagai bentuk pemilihan) yang diadakan oleh pemerintah desa
serta aktif dalam mensosialisasikan kesadaran kritis. Selanjutnya, kasus Desa
Wukirsari dan Jenar Wetan, dusun-dusun yang ada di kedua desa tersebut
mempunyai lembaga lokal yang mampu berkembang menjadi lembaga lokal yang
dapat membantu kepentingan dan memenuhi kebutuhan warga lainnya di bidang
non-pemerintahan, juga bidang pemerintahannya. Kontrol terhadap pemerintahan
desa pun tidak terlewatkan dari peran lembaga lokal ini.
Keberadaan lembaga-lembaga formal maupun informal tersebut telah
menunjukkan keterlibatan/partisipasi mereka dalam membantu pemerintah desa
dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Dilihat dari
fenomena ini, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang efektivitas
kelembagaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, terutama praktik
demokrasi. Praktik demokrasi sendiri merupakan salah satu praktik pemerintahan
yang dalam pelaksanaannya dapat melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Pengukuran tingkat efektivitas sebuah kelembagaan sendiri akan menunjukkan
sejauhmana kelembagaan (formal atau informal) dapat bertahan dan mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dengan memaksimalkan peran dan tugas mereka.
Praktik demokrasi yang dipilih di tingkat lokal ialah pemilihan Kepala
Desa, hal ini dikarenakan bahwa demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa
(Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik
partisipatif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Selain
itu, praktik pemilihan Kepala Desa merupakan salah satu bentuk irisan praktik
demokrasi yang berasaskan musyawarah dan gotong-royong dalam pencapaian
dan pelaksanaan keputusan (nilai demokrasi murni) dengan aspek
partisipasi/keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusannya (nilai

4
demokrasi secara universal). Praktik ini juga menjadikan aspek kelembagaan
sebagai unit penyelenggara yang melibatkan elemen masyarakat sebagai pihak
yang berpartisipasi dalam proses teknis pelaksanaan (panitia) maupun pemberian
hak suara.
Selanjutnya, fakta di lokasi penelitian menunjukkan adanya kondisi
pemerintahan desa yang kritis, dimana sang pemimpin atau Kepala Desa
melakukan penyimpangan terhadap tugas dan wewenangnya dalam bidang
anggaran desa, yakni penyalahgunaan Alokasi Dana Desa (ADD) juga tanah
bengkok desa. Munculnya masalah ini mengakibatkan kritisnya keuangan desa
sehingga proses pembangunan desa berjalan dengan begitu lambat, bahkan sampai
terhenti. Kondisi pemerintahan yang memprihatinkan ini memicu kelembagaankelembagaan desa, baik formal maupun informal melakukan gerakan untuk
penyelesaian masalah dan juga menghadirkan solusi, yakni menyelenggarakan
kembali proses pemilihan Kepala Desa. Tingkat antusias dari masing-masing
kelembagaan pun tergolong sangat tinggi untuk dapat terlibat dan berkontribusi
dalam praktik pemilihan Kepala Desa tersebut, dikarenakan mereka dan pihak
masyarakat lainnya benar-benar menginginkan pemimpin baru yang lebih
bertanggung jawab dan juga berkomitmen tinggi terhadap desa maupun kalangan
masyarakat desa secara menyeluruh.
Merujuk pada pemaparan-pemaparan yang telah disampaikan dan juga
fakta di lokasi penelitian yang mendukung, penting bagi peneliti untuk meneliti
tentang efektivitas kelembagaan dan membandingkan kelembagaan mana yang
lebih efektif, apakah kelembagaan formal atau kelembagaan informal. Desa yang
menjadi lokasi penelitian ialah Desa Kelangdepok. Desa ini terletak di Kecamatan
Bodeh, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Alasan yang
melatarbelakangi mengapa peneliti memilih desa ini adalah adanya dua jenis
kelembagaan, yakni formal dan informal yang keduanya mempunyai
aktivitas/kegiatan yang cukup aktif serta sering ikut berperan serta dalam berbagai
bentuk penyelenggaraan kegiatan oleh pemerintah desa dibandingkan dengan
kelembagaan di desa lainnya. Selain itu, Desa Kelangdepok juga merupakan desa
percontohan se-Kecamatan dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan desa.

Masalah Penelitian
Pemilihan Kepala Desa merupakan salah satu bentuk praktik demokrasi
yang dilakukan di aras desa/lokal, praktik ini juga dilakukan rutin setiap periode
tertentu. Proses Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan
yangmana anggota panitianya merupakan anggota dari kelembagaan formal dan
juga kelembagaan informal. Oleh karena itu, permasalahan umum yang menjadi
fokus penelitian adalah sejauhmana keefektifan kelembagaan desa dalam praktik
pemilihan Kepala Desa?
Soekanto (tidak ada tahun) dalam Khairulludin (2010), efektif atau
tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 4 (empat) faktor. Pertama; faktor
hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihakpihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat dan
kebudayaan, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan

5
juga berkaitan erat dengan kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat. Hukum
yang berjalan efektif harus dilihat dari hukum itu sendiri, dimana tujuan hukum
itu adalah memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Merujuk
teori tersebut, penulis merumuskan konsep efektivitas kelembagaan sebagai upaya
pencapaian tujuan yang ditentukan oleh faktor kelembagaan itu sendiri, faktor
anggota dari kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat, keadaan masyarakat dimana kelembagaan itu tumbuh. Berangkat dari
sintesis teori inilah peneliti ingin menganalisis faktor manakah yang lebih
berpengaruh pada keefektifan kelembagaan?
Demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat
dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipatif dari
masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa, sehingga praktik
demokrasi yang dipilih adalah praktik pemilihan Kepala Desa. Praktik pemilihan
Kepala Desa sendiri dibagi menjadi dua tahap yakni, tahap persiapan dan tahap
pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi; pembentukan panitia pemilihan,
penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon
Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa.
Tahap pelaksanaan sendiri terdiri dari proses kegiatan pemungutan suara, proses
kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses
kegiatan pelantikan Kepala Desa. Di samping itu, sintesis teori muncul tentang
efektivitas kelembagaan yangmana ditentukan oleh empat faktor, yakni faktor
kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan
juga faktor sosial-masyarakat. Sintesis dari empat faktor ini kemudian
dihubungkan dengan praktik pemilihan Kepala Desa baik dari setiap tahapannya
(tahap persiapan dan tahap pelaksanaan) maupun secara keseluruhan praktik
pemilihan Kepala Desa. Oleh karena itu, diperlukan peneliti untuk menganalisis
faktor manakah yang lebih berpengaruh pada praktik pemilihan Kepala Desa?
Sintesis teori muncul tentang efektivitas kelembagaan yang ditentukan
oleh empat faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor
sarana/fasilitas pendukung, dan juga faktor sosial-masyarakat. Kemudian, tingkat
efektivitas kelembagaan akan diukur dari tingkat penerapan seluruh komponen
dari keempat faktor penentu tersebut. Jika sebuah kelembagaan dikatakan efektif,
maka tingkat efektivitas kelembagaan tersebut akan mempunyai pengaruh
terhadap penyelenggaraan suatu kegiatan atau praktik tertentu, dan dalam hal ini
praktik pemilihan Kepala Desa. Tingkat efektivitas kelembagaan ini akan
dihubungkan dengan proses berjalannya praktik pemilihan Kepala Desa secara
keseluruhan. Berangkat dari ini, peneliti ingin menganalisis adakah pengaruh
tingkat efektivitas kelembagaan dengan proses berjalannya praktik pemilihan
Kepala Desa secara keseluruhan?
Kehadiran lembaga perwujudan demokrasi yakni lembaga formal seperti
BPD dan Pemerintah Desa, dan juga lembaga informal yang muncul di tingkat
desa/lokal seperti kelompok paguyuban warga desa, organisasi masyarakat
keagamaan, dan yang lainnya ini turut serta menyumbang partisipasi dan
melakukan pengawasan terhadap proses jalannya pemerintahan serta praktik dari
penyelenggaraan pemerintahan desa itu sendiri. Selanjutnya, keterlibatan mereka
(kelembagaan formal dan kelembagaan informal) dalam berbagai praktik
penyelenggaraan pemerintahan desa ini akan dibandingkan tingkat keefektifannya
dalam praktik demokrasi desa, yakni pemilihan Kepala Desa. Kehadiran dan

6
keterlibatan kedua jenis lembaga tersebut dalam praktik demokrasi desa menjadi
latar belakang peneliti untuk menganalisis manakah lembaga yang lebih efektif
dalam praktik demokrasi desa?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum pada
penelitian ini adalah menganalisis efektivitas kelembagaan dalam praktik
demokrasi desa yakni pemilihan Kepala Desa. Adapun tujuan-tujuan khusus pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis faktor manakah yang lebih berpengaruh pada efektivitas
kelembagaan
2. Menganalisis faktor dari efektivitas kelembagaan manakah yang lebih
berpengaruh dalam pelaksanaan praktik demokrasi.
3. Menganalisis pengaruh tingkat efektivitas kelembagaan dengan pelaksanaan
praktik demokrasi
4. Menganalisis lembaga manakah yang lebih efektif dalam pelaksanaan
praktik demokrasi, apakah lembaga formal atau lembaga informal.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak,
yaitu:
1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
penelitian mengenai kelembagaan yang efektif dalam praktik demokrasi desa.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan atau literatur bagi
akademisi yang ingin meneliti lebih jauh mengenai kelembagaan-kelembagaan
desa yang efektif dalam praktik demokrasi desa.
2. Bagi pembuat kebijakan atau pihak pemerintahan, penelitian ini diharapkan
dapat menjadi salah satu rujukan mengenai efektivitas kelembagaan dalam
praktik demokrasi desa, yang selanjutnya dapat menjelaskan mengenai alasan
efektif atau tidaknya kelembagaan yang ada di desa dalam melaksanakan
praktik demokrasi desa. Melalui hasil penelitian ini, pemerintah diharapkan
dapat mengawasi dan mengevaluasi lebih jauh lagi kinerja dari kelembagaankelembagaan desa dalam pelaksanaan demokrasi desa yang kemudian juga
bisa meningkatkan kinerja dari kelembagaan-kelembagaan desa tersebut.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai efektivitas kelembagaan-kelembagaan desa dalam melaksanakan
praktik demokrasi desa.

PENDEKATAN TEORITIS

Bab ini memuat tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis uji
penelitian, definisi konseptual, dan definisi operasional dari variabel yang
disebutkan pada kerangka pemikiran. Tinjauan pustaka berisi beberapa teori dan
konsep terkait penelitian yang dilakukan. Teori dan konsep yang diuraikan pada
tinjauan pustaka selanjutnya diturunkan menjadi variabel pengaruh dan
terpengaruh yang digambarkan hubungannya pada kerangka pemikiran. Adapun
hubungan dugaan antar variabel pada kerangka pemikiran diuraikan pada
hipotesis uji penelitian. Variabel-variabel beserta hubungannya tersebut dijelaskan
pengertian dan pengukurannya pada definisi konseptual, dan definisi operasional.

Tinjauan Pustaka
Demokrasi dan Demokrasi Pedesaan
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata demos yang
berarti rakyat dan kratos yang berarti memerintah. Abraham Lincoln mengatakan
bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan “dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Sistem pemerintahan demokrasi, kedaulatan
(kekuasaan tertinggi) berada di tangan rakyat. Lain halnya dengan pandangan
Held (1987) yang dikutip oleh Hadiwinata (2005) arti demokrasi pada masa itu
ialah demokrasi langsung, dimana rakyat secara langsung dan bersama-sama
lewat suatu pertemuan menentukan keputusan-keputusan politik yang mendasar.
Prijono dan Tjiptoherijanto (2012) menyebutkan bahwa ide dasar “demokrasi”
berupa pengikutsertaan rakyat dan persetujuan umum dalam pencapaian
keputusan dengan memelihara persetujuan bersama. Ide demokrasi Negara Barat
menyatakan bahwa demokrasi secara politis merupakan sistem dimana pemimpin
mewakili keinginan rakyat, dipilih melalui suara rakyat dengan kesadaran sendiri
tanpa paksaan, menjamin kebebasan dan persamaan bagi rakyat seluas mungkin.
Selanjutnya, Hadiwinata (2005) juga memaparkan hasil konferensi
International Commission of Jurists (Organisasi Internasional Para Ahli Hukum)
di Bangkok tahun 1965 yang menyatakan bahwa syarat-syarat suatu negara dan
pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah adanya: 1)
perlindungan secara konstitusional atas hak-hak warga negara, 2) badan
kehakiman atau peradilan yang bebas dan tidak memihak, 3) pemilihan umum
yang bebas, 4) kebebasan untuk menyatakan pendapat, 5) kebebasan untuk
berorganisasi dan beroposisi, 6) pendidikan kewarganegaraan. Keenam syarat
tersebut harus terpenuhi dalam suatu pemerintahan yang demokratis. Jika tidak,
apalagi terdapat praktik-praktik yang bertentangan dengan keenam prinsip
tersebut, maka sistem pemerintahan itu kurang layak disebut pemerintahan yang
demokratis. Ditambahkan dari pandangan Held (2006) yang dikutip oleh AlHamdi (2011), demokrasi klasik memiliki ciri-ciri berikut ini: 1) adanya
partisipasi warga secara langsung dalam fungsi-fungsi legislatif dan yudikatif, 2)

8
majelis rakyat adalah kekuasaan tertinggi, 3) kekuasaan tertinggi menjangkau
seluruh urusan umum, 4) tidak ada perbedaan hak istimewa antara rakyat biasa
dengan pejabat publik, dan 5) jabatan publik tidak boleh dipegang lebih dari dua
kali oleh orang yang sama. Prijono & Tjiptoherijanto (2012) menambahkan bahwa
pola-pola demokrasi tradisional dilambangkan dengan musyawarah dalam
pencapaian keputusan dan gotong-royong dalam pelaksanaan keputusannya.
Proses pencapaian keputusan dalam masyarakat oleh orang-orang desa diartikan
sebagai proses yang menuntun masyarakat ke persetujuan atau pertentangan
dengan usulan yang diajukan orang-orang desa. Pencapaian keputusan secara
bersama ini mempertimbangkan tiga aspek, yaitu permulaan atau prakarsa,
pengesahan, dan juga pelaksanaan.
Al-Hamdi (2011) mengutip pendapat Sisk (2002) yang menyebutkan
bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan demokrasi di
tingkat lokal, yakni pertama, partisipasi masyarakat. Peran serta masyarakat lokal
merupakan fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan
agar demokrasi dapat terwujud, dimana suara individu didengarkan oleh
pemerintah. Kedua, adanya proses musyawarah. Demokrasi tidak sekadar Pemilu,
tetapi juga mencakup dialog yang bermuara pada pencarian solusi bagi
permasalahan yang dihadapi masyarakat. Jadi, pemerintah harus berani
berhadapan dengan warganya dan menerima masukan bahkan kritikan sekalipun.
Ketiga, perlunya pendidikan politik. Demokrasi lokal memberikan fasilitas bagi
tiap-tiap individu masyarakat untuk dapat memperoleh informasi mengenai semua
urusan publik. Warga yang terdidik juga membuat demokrasi menjadi lebih
efektif, termasuk juga peran masyarakat berarti mengurangi konflik vertikal antara
elit lokal dengan warga masyarakat. Keempat, pemerintah yang baik dan
kesejahteraan sosial. Demokrasi yang baik harus menciptakan hubungan yang
baik antar-warganya serta dapat membangun masyarakat yang mandiri dan
memiliki semangat sosial.
Tiga hal yang harus dilakukan oleh para pejabat lokal agar demokrasi yang
berjalan benar-benar untuk rakyat. Pertama, kemitraan strategis. Sejak
diberlakukannya model desentralisasi, pemerintahan di berbagai daerah mulai
menerapkan kerjasama dengan pihak-pihak luar dalam menyediakan pelayanan
publik. Kerjasama itu bisa dilakukan dengan masyarakat madani seperti NGO dan
organisasi massa (Ormas) serta dengan sektor swasta yang memiliki keunggulan
dan profesionalitas tinggi seperti penyediaan air bersih, managemen transportasi,
tenaga listrik atau pengumpulan sampah. Kedua, desentralisasi dan pemerintahan
kooperatif. Semakin besar desentralisasi dilakukan, maka kebijakan pemerintah
semakin dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan. Kebijakan ini
mengharapkan Pemerintah Daerah agar dapat mengalokasikan programprogramnya kepada sasaran yang tepat. Ketiga, fokus internasional. Saat ini, ada
kecenderungan masyarakat internasional ingin mendefinisikan hak suatu daerah
untuk mengurus dirinya sendiri (self governance) sebagai hak asasi universal.
Lembaga-lembaga internasional dan kelompok-kelompok multilateral mulai
mengadopsi standar-standar agar pemerintah nasional melimpahkan fungsi
pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintah yang dekat dengan masyarakat
sebagai cara untuk memaknai prinsip-prinsip demokrasi.
Berangkat dari beberapa pendapat ahli di atas, maka penulis merumuskan
definisi demokrasi desa. Demokrasi desa ialah sistem pemerintahan yang

9
diselenggarakan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
Masyarakat berhak berpartipasi penuh pada setiap tahap pemerintahan, yaitu
mulai dari tahap persiapan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan melalui
permusyawaratan bersama. Bentuk praktik demokrasi yang dapat
merepresentasikan alur partisipasi masyarakat berbasis permusyawaratan adalah
pemilihan Kepala Desa.
Bentuk Praktik Demokrasi Desa: Pemilihan Kepala Desa
Pemilihan Kepala Desa, atau seringkali disingkat Pilkades, adalah suatu
pemilihan Kepala Desa secara langsung oleh warga desa setempat. Berbeda
dengan Lurah yang merupakan Pegawai Negeri Sipil, Kepala Desa merupakan
jabatan yang dapat diduduki oleh warga biasa. Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, proses pemilihan Kepala
Desa memiliki beberapa ketentuan, yakni; 1) pemilihan Kepala Desa dilaksanakan
secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota, 2) Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa
secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, 3) ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala
Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Proses pemilihan Kepala Desa sendiri meliputi:
1. Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa
mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam)
bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
2. Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
3. Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat
mandiri dan tidak memihak.
4. Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri
atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat
Desa.
5. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa.
6. Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil.
7. Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan
suara, dan penetapan.
8. Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud,
dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
9. Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud, bertugas mengadakan penjaringan
dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan,
melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan
melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
10. Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
11. Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh
suara terbanyak.
12. Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.

10
13. Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa yang
terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari
setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih.
14. Badan Permusyawaratan Desa paling lama (tujuh) hari setelah menerima
laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih
kepada Bupati/Walikota.
15. Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana
dimaksud menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa
dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
16. Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang
ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan
Bupati/Walikota.
17. Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji.
18. Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal
pelantikan.
19. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat
dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipatif dari
masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Hal ini merujuk pada
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyatakan bahwa
Pemerintahan Daerah mengakui penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai
subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dimana desa berhak dan
memiliki kewenangan untuk mengurus rumahtanggga desanya sendiri.
Pengajuan praktik pemilihan Kepala Desa ini juga merujuk pada
pernyataan Sisk (2002) yang dikutip Al-Hamdi (2011) yang menyebutkan bahwa
salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan demokrasi di tingkat
lokal adalah partisipasi masyarakat. Selain itu, praktik pemilihan Kepala Desa
merupakan salah satu bentuk irisan praktik demokrasi yang berasaskan
musyawarah dan gotong-royong dalam pencapaian dan pelaksanaan keputusan
(nilai demokrasi murni) dengan aspek partisipasi/keikutsertaan masyarakat dalam
pengambilan keputusannya (nilai demokrasi secara universal). Praktik ini juga
menjadikan aspek kelembagaan sebagai unit penyelenggara yang melibatkan
elemen masyarakat sebagai pihak yang berpartisipasi dalam proses teknis
pelaksanaan (panitia) maupun pemberian hak suara.
Peran serta masyarakat lokal merupakan fondasi utama dalam gagasan
modern mengenai kewarganegaraan agar demokrasi dapat terwujud, dimana suara
individu didengarkan oleh pemerintah. Ditambahkan dari Prijono dan
Tjiptoherijanto (2012) yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem
dimana pemimpin mewakili keinginan rakyat, dipilih melalui suara rakyat dengan
kesadaran sendiri tanpa paksaan, menjamin kebebasan dan persamaan bagi rakyat
seluas mungkin. Kedua pernyataan dari ahli inilah yang melatarbelakangi
mengapa penulis memilih praktik demokrasi pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Sebagaimana konsep demokrasi yang telah dijelaskan di awal yang
menekankan pada hak berpartisipasi masyarakat dalam setiap tahap pemerintahan
mulai dari persiapan, pengambilan keputusan, dan juga pelaksanaan, maka sebuah

11
praktik demokrasi desa ialah mencakup bentuk aksi atau pelaksanaan teknis dari
setiap tahapan tersebut yang melibatkan partisipasi warga masyarakatnya. Praktik
demokrasi desa yang berupa pemilihan Kepala Desa merupakan contoh yang
merepresentasikan setiap tahapan yang telah disebutkan, yakni tahapan persiapan,
pengambilan keputusan, serta pelaksanaan. Partisipasi masyarakat dijadikan salah
satu tolak ukur dalam keberhasilan, juga permusyaratan yang menghasilkan
mufakat bersama.
Kelembagaan
Etzioni (1985) menyebutkan bahwa organisasi pada dasarnya adalah unit
sosial (atau pengelompokan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk
kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Organisasi pada umumnya ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1)
adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan dan tanggung jawab komunikasi,
(2) adanya satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi
pengendalian usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai
tujuannya, (3) adanya penggantian tenaga, bilamana tenaga kerja tersebut tidak
bekerja sebagaimana yang diharapkan. Tujuan organisasi itu sendiri ialah keadaan
yang dikehendaki pada masa akan datang yang senantiasa dikejar oleh organisasi
agar dapat direalisasikan. Utami, Molo, Widiyanti (2011) selanjutnya menyatakan
bahwa kelembagaan dari aspek formal merupakan gambaran/deskripsi potret dari
aspek regulative institusi formal yang terdiri dari batas yuridiksi, peraturan, sanksi
dan monitoring. Kelembagaan menyediakan pedoman dan sumber daya untuk
bertindak, sekaligus batasan-batasan dan hambatan untuk bertindak. Fungsi
kelembagaan adalah untuk tercapainya stabilitas dan keteraturan.
Kelembagaan formal di aras desa merujuk pada organisasi yang berada di
bawah tanggung jawab atau komando pemerintahan desa, dimana menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 1 menyebutkan
Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah
Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Penjelasan dari beberapa ahli dan juga peraturan pemerintah tersebut,
dapat dirumuskan lembaga formal sebagai lembaga yang berada di bawah
wewenang pemerintah desa, dimana lembaga tersebut mempunyai tugas dan
fungsi sebagai penyalur aspirasi dan juga wadah untuk musyawarah warga
masyarakat dalam berbagai praktik pemerintahan desa termasuk praktik
demokrasi. Lembaga formal ini meliputi BPD, dan Aparat Pemerintah Desa
(termasuk RT dan RW didalamnya).
Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan
demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD dapat dianggap
sebagai “parlemen”-nya desa. BPD merupakan lembaga baru di desa pada era
otonomi daerah di Indonesia. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

12
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Daerah memaparkan
bahwa Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa
bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Selanjutnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, juga menyebutkan bahwa anggota BPD merupakan wakil dari penduduk
Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara
demokratis. Anggota BPD terdiri dari ketua Rukun Warga, pemangku adat,
golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.
Kehadiran BPD (Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga perwakilan desa
secara formal memang melahirkan harapan baru demokrasi desa. Masyarakat
sangat berharap BPD menjadi lokomotif baru demokrasi desa yaitu sebagai sarana
artikulasi, aspirasi, dan partisipasi, serta alat kontrol yang efektif terhadap
pengelola pemerintah desa.
Pemerintah Desa
Mengutip Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 Kabupaten Pemalang,
Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah
Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala
Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Civil Society
Menurut Utami, Molo, Widiyanti (2011), institusi informal dikaji
berdasarkan aspek normative dan aspek cultural-kognitif. Kelembagaan
menyediakan pedoman dan sumber daya untuk bertindak, sekaligus batasanbatasan dan hambatan untuk bertindak. Fungsi kelembagaan itu sendiri ialah
untuk tercapainya stabilitas dan keteraturan. Putnam (1996) yang dikutip oleh
Hadiwinata (2005) mendefinisikan civil society sebagai segala bentuk kehidupan
sosial yang terorganisir dan terbuka bagi semua kalangan, menganut prinsip
sukarela, dan tumbuh secara mandiri. Civil society juga merupakan tempat
perbedaan kepentingan dinegosiasikan sehingga kehadirannya dapat
meningkatkan kemampuan pemerintah dalam merepresentasi kepentingan dan
sekaligus memperluas partisipasi politik. Selanjutnya, Alagappa (2004) yang
masih dikutip oleh Hadiwinata (2005) mengemukakan bahwa civil society akan
mengembangkan demokrasi ketika ia memfasilitasi pembentukan budaya politik
demokratis, meminta kepada pemerintah untuk mempertanggung jawabkan setiap
kebijakannya, dan mendorong masyarakat untuk melakukan partisipasi politik.
Hadiwinata (2005) menambahkan kutipan dari pandangan Schmitter (1995) yang
menyatakan bahwa civil society harus mengemban empat nilai, yakni otonomi,
aksi kolektif, tidak berpretensi untuk memperebutkan kekuasaan dan civil (tunduk
terhadap hukum).
Sosok masyarakat sipil yang dimaksud secara operasional ialah mencakup
institusi-institusi non-pemerintah yang berada di masyarakat yang mewujudkan
diri melalui organisasi, perkumpulan atau pengelompokan sosial dan politik yang

13
berusaha untuk membangun kemandirian seperti organisasi sosial dan keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), paguyuban, kelompok-kelompok
kepentingan, dan sebagainya yang juga bisa mengambil jarak dan menunjukkan
otonomi terhadap negara.
Pengertian civil society yang dapat dirumuskan dari berbagai pendapat ahli
ialah sebuah organisasi non-pemerintah yang terbentuk secara swadaya, bergerak
secara mandiri, dan juga tidak terikat dengan wewenang resmi dengan
pemerintahan desa. Konsep civil society bisa juga dijadikan dasar pemikiran
konsep lembaga informal yang dapat diartikan sebagai lembaga yang tidak terikat
dengan kontrol wewenang pemerintah dan juga tidak terikat dengan struktur yang
formal. Tugas dan fungsi civil society ini tetap berhubungan dengan proses
penyelenggaraan pemerintahan desa. Bentuk dari civil society ini bisa LSM,
organisasi keagamaan, organisasi sosial budaya, kelompok pemuda, kelom