Lintasan Fotosintesis Tanaman Hoya Dengan Tingkat Sukulensi Daun Berbeda-Beda Dan Pengaruhnya Terhadap Penghindaran Cekaman Kekeringan.

(1)

LINTASAN FOTOSINTESIS TANAMAN HOYA DENGAN TINGKAT

SUKULENSI DAUN BERBEDA-BEDA DAN PENGARUHNYA

TERHADAP PENGHINDARAN CEKAMAN KEKERINGAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

ROBIKA


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Lintasan Fotosintesis Tanaman Hoya dengan Tingkat Sukulensi Daun Berbeda-beda dan Pengaruhnya terhadap Penghindaran Cekaman Kekeringan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 10 Agustus 2015 ROBIKA NIM G353120071


(4)

RINGKASAN

ROBIKA. Lintasan Fotosintesis Tanaman Hoya dengan Tingkat Sukulensi Daun Berbeda-beda dan Pengaruhnya terhadap Penghindaran Cekaman Kekeringan. Dibimbing oleh TRIADIATI dan SRI RAHAYU.

Hoya adalah genus tanaman epifit yang terdiri dari banyak spesies dengan karakteristik morfologi dan anatomi daun sukulen dan non sukulen. Sukulensi umumnya diketahui sebagai salah satu ciri tanaman dengan jalur fotosintesis yang telah beradaptasi pada kondisi kekeringan yakni Crassulacean Acid Metabolism (CAM). Salah satu kriteria untuk menentukan adanya metabolisme CAM adalah dengan mengukur fluktuasi asam organik diurnal. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa spesies-spesies Hoya tertentu memiliki metabolisme CAM. Akan tetapi, penelitian yang sudah dilakukan pada spesies-spesies Hoya tersebut hanya melihat bagaimana lintasan fotosintesisnya tanpa mengkaitkannya dengan tingkat sukulensi daun pada spesies yang berbeda.

Tujuan penelitian ini adalah mengukur fotosintesis Hoya dengan tingkat sukulensi daun berbeda-beda pada pemberian air yang berbeda. Selain itu, dilakukan analisis tentang kaitan antara sukulensi daun Hoya dengan lintasan fotosintesis pada kondisi kekeringan untuk mengetahui respon fotosintesis terhadap kekeringan.

Penelitian ini menggunakan 5 spesies Hoya dengan tingkat sukulensi daun berbeda yang berasal dari koleksi Kebun Raya Bogor yakni; H. verticillata dan H. latifolia (sukulen), H. bandaensis (semi sukulen), H. densifolia dan H. multiflora (non sukulen). Karakteristik sukulensi pada daun Hoya dilihat dari ketebalan daun, kandungan air jenuh daun (SWC), dan kandungan air relatif daun (KAR). Pengaruh sukulensi terhadap fotosintesis dan penghindaran cekaman kekeringan dilihat dari perubahan fluktuasi diurnal asam organik, KAR daun, laju fotosintesis, konduktansi stomata, laju transpirasi, konsentrasi CO2 interseluler, bobot kering tajuk dan bobot

kering akar tanaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa H. verticillata dan H. latifolia (sukulen) memiliki ketebalan daun, SWC, dan KAR lebih tinggi dibandingkan H. densifolia dan H. multiflora (non sukulen). Ketebalan daun yang tinggi diikuti dengan tingginya nilai SWC dan KAR. H. multiflora memiliki ketebalan daun paling rendah dan diikuti dengan rendahnya nilai SWC dan KAR dan berbeda (p<0.05) dengan 4 spesies Hoya lainnya.

Kandungan asam organik pada daun diukur dengan menggunakan konsentrasi H+. Hasil pengukuran asam organik daun menunjukkan bahwa pada kondisi terairi, lima spesies Hoya menunjukkan adanya fluktuasi kandungan asam organik pada daun selama 20 jam pengukuran seperti umumnya tanaman dengan pola CAM. Pada saat kondisi terairi, H. verticillata menunjukkan ekspresi CAM yang paling kuat diantara empat spesies Hoya lainnya (∆H+ 99.79 mmol H+ cm-2) diikuti H. bandaensis (∆H+ 70.63 mmol H+ cm-2), H. multiflora (H+ 45.79 mmol H+ cm-2), H. densifolia (H+ 36.52

mmol H+ cm-2), dan H. latifolia (∆H+ 28.45 mmol H+ cm-2). Pada kondisi kekeringan ekspresi CAM paling kuat ditemukan pad H. latifolia (∆H+ 64.05 mmol H+ cm-2) diikuti H. verticillata (∆H+ 44.37 mmol H+ cm-2), H. bandaensis (H+ 6.58), H. densifolia (H+

4.67 mmol H+ cm-2). Pada H. multiflora tidak ditemukan adanyaa akumulasi asam organik pada kondisi kekeringan.


(5)

Pada Hoya sukulen dan semi sukulen, perlakuan kekeringan 28 hari tidak mempengaruhi laju fotosintesis, konduktansi stomata, konsentrasi CO2 interseluler, laju

transpirasi, kandungan klorofil a, b dan klorofil total, serta KAR. Bobot kering tajuk dan akar Hoya sukulen dan semi sukulen juga tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sebaliknya, pada spesies Hoya non sukulen, kekeringan berpengaruh signifikan pada pada beberapa parameter. Pada H. densifolia (non sukulen), terjadi penurunan signifikan pada laju transpirasi dan KAR daun ketika kekeringan, sedangkan untuk parameter lainnya tidak signifikan. Pada H. multiflora (non sukulen), perubahan signifikan terjadi pada laju fotosintesis, konduktansi somata, konsentrasi CO2 interseluler, dan KAR daun sedangkan penurunan bobot kering akar dan tajuk tidak signifikan.

Sukulensi daun kemungkinan mempengaruhi lintasan fotosintesis Hoya. Baik Hoya sukulen, semi sukulen maupun non sukulen memiliki lintasan CAM pada kondisi terairi. Namun, besarnya ekspresi CAM berbeda-beda antar spesies Hoya. Hoya sukulen

H. verticillata memiliki aktivitas CAM yang lebih kuat dibandingkan spesies Hoya

lainnya ditandai dengan tingginya nilai ∆H+.Pada kondisi kekeringan, ekspresi CAM meningkat pada H. latifolia, sedangkan pada H. verticillata, dan H. bandaensis

menurun. Pada H. multiflora dan H. densifolia tidak ditemukan adanya pola CAM saat kekeringan. Pada spesies Hoya sukulen dapat terhindar dari kekeringan ditandai dengan tidak adanya perubahan fotosintesis saat kekeringan. Sebaliknya, pada Hoya non sukulen mempunyai lintasan fotosintesis CAM yang lemah (CAM Cylcing) sehingga fotosintesis menurun saat kekeringan.


(6)

SUMMARY

ROBIKA. Photosynthesis Type of Hoya with Different Leaf Succulence and its Drought Avoidance. Supervised by TRIADIATI and SRI RAHAYU.

Hoya is an epiphytic plant that has succulent and non-succulent leaves. Succulence is known as one of the characteristics of Crassulacean Acid Metabolism (CAM) plants which adapt to drought condition. One of criteria to determine CAM photosynthesis is the presence daily organic acid fluctuation. Several studies showed that Hoya has CAM photosyntesis. However, the previous studies on photosynthetic pathway in many species of Hoya did not compare the correlation of photosynthesis type with leaf succulence. The photosynthetic pathway tipe of Hoya, especially semi succulent and non succulent leaves have not been reported so far.

In this study we choose five Hoya species with different leaf succulence under different water status to analyse the Hoya photosynthetic pathway. Furthermore, five Hoya species were analysed based on the leaf succulence and the data was correlated with its photosynthesis type under drought condition.

The study analysed five Hoya species with different leaf succulences i.e. H. verticillata (succulent), H. latifolia (succulent), H. bandaensis (semi succulent), H. densifolia (non succulent), and H. multiflora (non succulent) from Bogor Botanica Garden collection. Characters of leaf succulence of Hoya were measured by leaf thickness, saturated water content (SWC), and relative water content (RWC). The photosynthesis type and drought avoidance mechanism were observed by measuring diurnal organic acid fluctuation during 20 hours per day, RWC, photosynthetic rate, stomatal conductance, intercelluler CO2 concentration, shoot and root weight.

The results showed that leaves of H. verticillata and H. latifolia (succulent) had leaf thickness, Saturated Water Content (SWC), and Relative Water Content (RWC) higher than that of H. densifolia and H. multiflora (non succulent). The increasing leaf thickness was followed by an increased of SWC and RWC in succulent and semi succulent Hoya. H. verticillata had SWC and RWC significantly different (p<0.05) with H. bandaensis, H. densifolia and H. multiflora. H. bandaensis had leaf thickness lower than that of H. verticillata and H. latifolia, but higher than that of H. densifolia and H. multiflora.

Organic acid content in Hoya leaves was determined using H+ content in leaf tissue. Five Hoya species show that there are fluctuation of the organic acid content in the leaves for 20 hours of measurement as generally occured in plants with CAM pattern under well watered. H. verticillata show strongest CAM among four Hoya species under well watered (ΔH+ 99.79 mmol H+ cm-2), followed by H. bandaensis (ΔH+ 70.63 mmol H+ cm-2), H. multiflora (ΔH+ 45.79 mmol H+ cm-2), H. densifolia

(ΔH+ 36.52 mmol H+ cm-2), and H. latifolia(ΔH+ 28.45 mmol H+ cm-2). Under drought,

H. latifolia(ΔH+ 64.05 mmol H+ cm-2) show strongest CAM expression, followed by H. verticillata (ΔH+ 44.37 mmol H+ cm-2), H. bandaensis (ΔH+ 6.58 mmol H+ cm-2), H.

densifolia (ΔH+ 4.67 mmol H+ cm-2) respectively. There was no organic acid accumulation in H. multiflora under drought condition.

On succulent and semi-succulent Hoya, drought treatment during 28 days did not affect the rate of photosynthesis, stomatal conductance, intercellular CO2 concentration,

transpiration rate, chlorophyll a, b and total chlorophyll, and RWC. Shoot and root dry weight of semi succulent and succulent Hoya also do not change significantly. On the


(7)

contrary, the non succulent Hoyas, was significantly affected some parameters in drought condition. H. densifolia (non succulent) had a significant decrease in the rate of transpiration and leaf RWC when drought, while the other parameters were not significant. The photosynthesis rate, somata conductance, intercellular CO2

concentration, and RWC leaves in H. multiflora (non succulent) decreased significant, while shoot and root dry weight not significant.

Finally, the succulence of leaf affected the Hoya’s photosynthetic pathway. Succulent Hoya, semi-succulent and non-succulent have a CAM photosynthesis under well watered with the CAM expression varies between Hoya species. Succulent Hoya H. verticillata had a stronger CAM activity than other Hoya species characterized by high value ΔH+. Under drought condition, the expression of CAM increased in H.

latifolia, whereas in H. verticillata, and H. bandaensis were decline. H. multiflora and H. densifolia have not any pattern of CAM during drought. Succulent Hoya species can avoid drought was characterized by there was not change in photosynthesis pathway when drought. On the contrary, non succulent Hoya has a weak of CAM photosynthesis and it decreased when drought stress.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

LINTASAN FOTOSINTESIS TANAMAN HOYA DENGAN TINGKAT

SUKULENSI DAUN BERBEDA-BEDA DAN PENGARUHNYA

TERHADAP PENGHINDARAN CEKAMAN KEKERINGAN

ROBIKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(10)

(11)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT., atas segala rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini ialah Lintasan Fotosintesis Tanaman Hoya dengan Tingkat Sukulensi Daun Berbeda-beda dan Pengaruhnya terhadap Penghindaran Cekaman Kekeringan.

Terima Kasih penulis ucapkan kepada Dr Triadiati dan Dr Sri Rahayu selaku pembimbing atas arahan dan bimbingannya. Ungkapan terima kasih yang tiada terhingga penulis sampaikan kepada Darius Rupa, Jumiati, Garuda, dan Henny Sulistyani atas kesediaannya membantu penulis dalam pengambilan sampel, Pak Asep atas bantuannya dilaboratorium, Pak Kusnadi dan Pak Sutisna atas bantuannya dilapangan, teman-teman kosan (Mbak Henny, Khusnul, Mawar) dan teman-teman dari Program Studi Biologi Tumbuhan IPB atas dorongan semangatnya. Ungkapan terima kasih yang tiada terhingga juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015 Robika


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Biologi Tanaman Hoya 4

Pengertian Sukulensi Daun 8

Anatomi, morfologi dan Fisiologi Tanaman dengan Ciri Sukulensi 9

Tanaman dengan Fotosintesis CAM 11

Cekaman Kekeringan dan Pengaruhnya terhadap Fisiologi Tanaman 14

Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan 15

3 METODE 17 Bahan 17 Alat 17 Metode Penelitian 17 Pelaksanaan 17 Pemberian Perlakuan 17 Pengambilan Data 18 Analisi Data 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20 Sukulensi Daun Hoya 20 Konsentrasi Asam Organik 21 Laju Pertumbuhan 20 Hubungan Sukulensi dan Kekeringan dengan Parameter Fisiologis Hoya 24 Pengaruh Kekeringan terhadap Kadar Air Relatif (KAR) Hoya 25 Kandungan Klorofil 27 Pengaruh Kekeringan terhadap Produksi Bahan Kering Tanaman Hoya 27 5 SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 30 DAFTAR PUSTAKA 31 LAMPIRAN 35


(14)

DAFTAR TABEL

1 Ketebalan daun, SWC, dan KAR pada 5 spesies Hoya berumur 7 bulan 20 2 Nilai parameter fotosintesis 5 spesies Hoya umur 8 bulan pada kondisi

terairi (W) dan kekeringan 28 hari (D) 24

Nilai kandungan klorofil 5 spesies Hoya berumur 8 bulan pada kondisi

terairi (W) dan kekeringan 28 HSP (D) 27

DAFTAR GAMBAR

1 Tanaman H. bandanesis berumur 6 bulan 4

2 a. Tanaman H. densifolia berumur 6 bulan; b. Bunga H. densifolia 4 3 a. Tanaman H. latifolia berumur 6 bulan; b. Bunga H. latifolia 6 4 a. Tanaman H. multiflora berumur 6 bulan; b-c. Bunga H. multiflora 7

5 Tanaman H. verticillata berumur 6 bulan 8

6 Metabolisme fotosintesis CAM. Pemisahan temporal pengambilan CO2

dari reaksi fotosintesis: pengambilan dan fiksasi CO2 terjadi pada

malam hari, dekarboksilasi dan refiksasi internal CO2 terjadi pada siang

hari 12

7 Pola diurnal CO2, asam malat, dan konsentrasi karbohidrat pada

tanaman CAM 13

8 Kurva hubungan (a) ketebalan deaun dengan SWC (b) SWC dengan

KAR dan (c) ketebalan daun dengan KAR 21

9 Fluktuasi diurnal H+ daun pada 5 spesies Hoya. (a) H. verticillata, (b) H. latifolia, (c) H. bandaensis, (d) H. densifolia, dan (e) H. multiflora pada kondisi pengairan baik dan kekeringan 28 hari 22 10 Laju pertambahan jumlah daun setiap minggu pada 5 spesies Hoya

dengan tingkat sukulensi daun berbeda-beda 23

11 Kandungan air relatif pada 5 spesies Hoya pada kondisi kekeringan 26

12 Pengaruh kekeringan terhadap (a) bobot kering tajuk dan (b) bobot

kering akar 5 spesies Hoya 28

13 Akar (a) H. verticillata (H1) (b) H. latifolia (H2) (c) H. bandaensis (H3) (d) H. densifolia (H4) dan (e) H. multiflora (H5) pada kondisi

terairi (kontrol) dan kekeringan 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Konsentrasi H+ selama 20 jam pengukuran 35

2 Jumlah daun perminggu 5 spesies Hoya 36

3 Tinggi tanaman perminggu 5 spesies Hoya 36

4 Kandungan Air Relatif 5 spesies Hoya 37


(15)

(16)

(17)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hoya merupakan salah satu genus dari famili Apocynaceae, subfamili Asclepiadoideae (Rahayu 1999). Hoya tumbuh epifit pada pohon. Ada sekitar 150-200 spesies Hoya (Burton 1992) di dunia, 50-60 spesies diantaranya terdapat di Indonesia (Rahayu 2003). Persebaran Hoya meliputi wilayah Asia Tenggara mulai dari Sri Lanka, India (Himalaya), Cina, Jepang bagian selatan, Indocina, kawasan Malesia, Kepulauan Fiji dan Samoa serta daerah tropis Australia (Albers dan Meve 2002). Persebaran Hoya di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan persebaran paling banyak ditemukan pada daerah dataran rendah (Rahayu 2012).

Tanaman Hoya selama ini dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan obat-obatan tradisional. Tanaman Hoya di dunia lebih populer sebagai tanaman hias. Hal ini dikarenakan Hoya memiliki bunga yang indah, dengan bentuk dan warna bunga yang beraneka ragam serta dilindungi oleh lapisan lilin. Selain dimanfaatkan sebagai tanaman hias, beberapa spesies Hoya juga dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Spesies Hoya yang dimanfaatkan sebagai obat diantaranya adalah H. diversifolia sebagai obat rematik, H. coriacea sebagai obat asma dan H. latifolia sebagai obat sakit perut (Heyne 1979).

Hoya memiliki morfologi ketebalan daun yang bervariasi, dari tebal (sukulen) sampai tipis (non sukulen) (Rahayu 2010). Berdasarkan studi tentang struktur anatomi daun Hoya sukulen dan non sukulen, adanya perbedaan ketebalan daun disebabkan oleh adanya variasi ketebalan kutikula, ketebalan lapisan epidermis dan ketebalan jaringan mesofil (Hafis et al. 2013; Hakim et al. 2013). Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa adanya variasi ketebalan jaringan mesofil menentukan ketebalan daun sehingga menentukan tingkat sukulensi daun Hoya.

Ciri utama adanya sukulensi pada jaringan tanaman adalah adanya kemampuan menyimpan air pada jaringan tanaman untuk mendukung fungsi fisiologis ketika kondisi air eksternal terbatas (Ogburn dan Edwards 2012). Selain untuk menyimpan air, sel-sel daun sukulen juga berperan dalam menyimpan dan mengakumulasi asam-asam organik yang berperan dalam fungsi fisiologis tanaman dengan tipe fotosintesis Crassulacean Acid Metabolism (CAM) (Kluge dan Ting 1978).

Salah satu keuntungan tanaman dengan metabolisme CAM adalah memiliki efisiensi penggunaan air yang tinggi sehingga dapat terhindar dari cekaman kekeringan (Lutge 2004). Oleh karena itu, fotosintesis CAM merupakan kunci adaptasi fiksasi karbon saat ketersediaan air terbatas (Cushman dan Borland 2002). Karakteristik adaptasi tanaman CAM terhadap ketersediaan air yang terbatas adalah adanya fiksasi CO2 nokturnal dan reasimilasi CO2 pada siang hari

(Cushman dan Borland 2002; Lambers et al. 2008) dan stomata yang menutup pada siang hari dan membuka pada malam hari (Taiz dan Zeiger 2010). Salah satu kriteria untuk menentukan fotosintesis CAM adalah adanya fluktuasi akumulasi asam organik secara diurnal (Cushman dan Bohnert 1999). Studi yang telah dilakukan pada banyak spesies CAM menunjukkan bahwa tingginya sukulensi


(18)

2

daun berasosiasi dengan peningkatan akumulasi asam organik nokturnal (Griffits et al. 2008).

Pada spesies Kalanchoe daigremontiana menunjukkan bahwa tingginya sukulensi daun berasosiasi dengan peningkatan besarnya fotosintesis CAM (Griffiths et al. 2008). Penelitian yang dilakukan Lara et al. (2004) pada tanaman Portulaca oleraceae bertipe daun sukulen ketika diperlakukan dalam kondisi stres air menunjukkan adanya aktivitas fotosintesis CAM. Pada spesies yang daunnya lebih tipis (sedikit sukulen) akan lebih plastis dalam mengekspresikan CAM dan menunjukkan peningkatan proporsi perolehan karbon bersih melalui jalur fotosintesis C3 (Kluge et al. 1993, 2001; Winter dan Holtum 2002). Selain sukulensi, Cushman dan Bohnert (1999) menyatakan bahwa ada beberapa kriteria untuk menentukan fotosintesis CAM: asimilasi CO2 nokturnal, fluktuasi asam

organik secara diurnal atau titrasi keasaman, konduktansi stomata, dan pemisahan enzim dekarboksilase (ME/PPDK atau PEP karboksilase).

Famili Apocynaceae salah satu famili yang menunjukkan adanya fotosintesis CAM (Lambers et al. 2008). Namun, genus Hoya yang termasuk dalam dari famili Apocynaceae sub famili Asclepidiaceae, belum banyak diketahui lintasan fotosintesisnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Hoya memperlihatkan adanya fotosintesis CAM. Rayder dan Ting (1983) menemukan bahwa H. carnosa jika dalam kondisi tidak mengalami stres air akan bertipe fotosintesis CAM, namun jika berada pada kondisi stres air maka dapat berubah dari CAM ke modifikasi CAM-idling. Hasil penelitian Lieth dan Werger (1992) menunjukkan bahwa H. australis dan H. nicholsoniae memberikan indikasi yang kuat adanya fotosintesis CAM. Penelitian Yusnaeni (2000) pada H. diversifolia, H. lacunosa, H. carnosa, H. macrophylla, dan Hoya sp. menunjukkan adanya indikasi aktivitas fotosintesis CAM (Full CAM) pada habitat tanpa naungan dan penyiraman air setiap minggu, sedangkan jika ditumbuhkan pada habitat naungan 75% dengan pemberian air baik setiap hari maupun setiap minggu adaptasi fisiologisnya cenderung ke arah C3 (CAM cycling).

Akan tetapi, penelitian yang sudah dilakukan pada spesies-spesies Hoya tersebut hanya melihat bagaimana lintasan fotosintesisnya tanpa mengaitkannya dengan tingkat sukulensi daun pada spesies yang berbeda. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipilih 5 spesies Hoya (H. verticillata, H. latifolia, H. bandaensis, H. densifolia dan H. multiflora) dengan tingkat sukulensi daun dan kondisi kekeringan yang berbeda untuk diukur lintasan fotosintesisnya. Selain itu, dilakukan analisis tentang kaitan antara sukulensi daun Hoya dengan lintasan fotosintesis pada kondisi kekeringan untuk mengetahui respon fotosintesis terhadap kekeringan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengukur lintasan fotosintesis beberapa spesies Hoya yang memiliki tingkat sukulensi daun berbeda-beda,

2. Menganalisis pengaruh tingkat sukulensi daun beberapa spesies Hoya terhadap ketahanan dalam menghadapi cekaman kekeringan.


(19)

3

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang beberapa aspek fisiologis tanaman Hoya. Melalui pemahaman yang baik tentang fisiologi Hoya diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam budidaya Hoya di Indonesia.


(20)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Tanaman Hoya

Hoya merupakan tumbuhan epifit atau litofit yang merambat atau semak yang menempel. Batang Hoya umumnya kecil dengan diameter antara 2-8 mm dengan jenis berbatang pendek (determinate) serta jenis berbatang panjang (indeterminate). Tumbuhan ini pada umumnya bergetah putih. Daun bersilang berhadapan, berlapis lilin pada permukaannya, bentuk bervariasi dan tidak konsisten (Rahayu 2010). Daun Hoya memiliki 3 tipe yaitu chartaceus, coriaceus dan sukulen. Bunganya merupakan bunga majemuk yang tersusun dalam tandan berbentuk payung (umbel/umble) (Rintz 1980). Tandan muncul di antara 2 tangkai daun (interpetioler). Variasi cara mekar mahkota beragam yaitu menggenta, mendatar, membalik atau menggulung dengan variasi warna dan permukaan yang berbeda-beda.

Bunga hoya berupa bunga majemuk berbentuk payung. Korola dan korona umumnya berbentuk bintang. Warna bunga bermacam-macam, dari mulai putih, merah muda, merah muda kekuningan, kuning, hijau, ungu, coklat merah dan coklat (Rintz 1980). Seluruh bagian tumbuhan Hoya umumnya berlapis lilin dan menghasilkan lateks.

Burton (1992) menyatakan bahwa ada sekitar 150-200 spesies Hoya, 50-60 spesies diantaranya terdapat di Indonesia (Rahayu 2003). Sekitar 32 spesies dari seluruh spesies dari berbagai daerah yang ada di Indonesia telah dikoleksi dan dikonversikan di Kebun Raya Bogor (Rahayu 1999).

H. bandaensis Schltr.

H. bandaensis merupakan epifit yang merambat (Gambar 1). Daun H. bandaensis berbentuk bulat telur dengan panjang 7.3-13.9 cm, lebar 4.5-9.4 cm dan tebal 0.45-1.18 mm. Daun tunggal dan semi sukulen, pangkal cordate, ujung cuspidate, tepi entire, permukaan adaksial daun licin mengkilat, pertulangan daun adaksial pinnate, pertulangan abaksial sangat menonjol, warna daun kuning hijau sampai hijau. Batang bulat, warna hijau putih sampai kuning hijau, glabrous serta mempunyai akar adventif (Gunaria 2014).


(21)

5

Anatomi daun H. bandaensis terdiri atas epidermis atas dan bawah dengan lapisan kutikula di atasnya, hipodermis, jaringan mesofil terdiferensiasi menjadi palisade dan bunga karang dan berkas pembuluh. Daun tidak memiliki trikoma. Tebal daun 1075.8 m, tebal palisade 417.8 m dan tebal jaringan bunga karang 558.λ m. H. bandaensis memiliki tipe stomata anisocytic. Stomata terletak pada bagian abaksial daun dengan panjang 28.5 m dan lebar 28.5 m. Kerapatan stomata berkisar antara 121-139/mm2 (Hakim et al. 2013).

H. densifolia Turcz.

H. densifolia tumbuh berupa semak yang tegak lurus (Gambar 2a). Daun tunggal, bentuk elliptic, decussate, panjang 2.2-5.3 cm, lebar 1.2-3.2 cm, tebal 0.31-0.82 mm, petiole canaliculate, pangkal cordate, ujung mucronate sampai acute, tepi

entire, warna hijau sampai kuning hijau, glabrous, ujung pilosus. Pertulangan daun adaksial dan abaksial pinnate. Batang terete, warna kuning hijau sampai hijau, glabrous dan berakar adventif, ujung pilosus dan akar adventif (Gunaria 2014). Daun

non sukulen (Rahayu 2003, Hakim et al. 2013). Bunga muncul di antara ketiak daun

(Gambar 2b). Bunga berbentuk payung, tersusun dari 10-20 tangkai bunga. Bunga berwarna kuning cerah sampai orange.

Gambar 2 a. Tanaman H. densifolia berumur 6 bulan; b. Bunga H. densifolia Struktur anatomi daun H. densifolia terdiri dari epidermis adaksial dan abaksial, jaringan mesofil yang terdiferensiasi menjadi mesofil palisade dan bunga karang dan berkas pembuluh. Pada epidermis adaksial dan abaksial juga terdapat lapisan kutikula dengan ketebalan lapisan kutikula adaksial dan abaksial sekitar 2.λ m. H. densifolia memiliki tipe stomata cyclocytic. Stomata terletak pada permukaan adaksial dan abaksial dengan panjang stomata adaksial dan abaksial 26.8 m dan lebar 27.2 m. Kerapatan stomata adaksial 23/mm2 dan stomata abaksial berkisar antara 64-82 /mm2. Tebal jaringan mesofil berkisar antara 227-424 m. Tidak ditemukan adanya trikoma pada H. densifolia (Hakim et al. 2013). H. latifolia G. Don.

H. latifolia (Gambar 3a) mempunyai nama daerah bermacam-macam: Tarabang ulet (Dayak), akar setebal (Melayu), dan arey kikandel (Sunda). Epifit merambat, bergetah putih, sukulen, panjang batang > 5 m dengan diameter batang 4 mm. Daun sukulen, tebal dan kaku, dengan panjang 10-25 cm dan lebar 5-15 cm; membulat telur, pangkal berlekuk, ujung runcing; permukaan atas hijau tua, terdapat 3 urat daun sejajar tampak jelas; permukaan bawah hijau muda, urat daun tak terlihat. Perbungaan di ujung percabangan (Gambar 3b), hingga 1 m panjang,

b. a


(22)

6

menggantung, terdiri dari puluhan tandan. Masing-masing tandan bunga menghadap ke samping, tangkai 3-4 cm panjang, diameter 2 mm; terdiri dari 1-40 kuntum. Mahkota bunga melonceng, diameter 1 cm, rambut pada bagian dalam tidak terlihat, krem pada bagian dalam, merah muda kecoklatan pada bagian luar; mahkota tambahan diameter 8 mm, ujung lancip, putih dengan titik merah pada bagian pangkal. Polinia bersayap. Buah bumbung langsing, ujung lancip, panjang 9-12 cm, diameter 2-3 mm; kulit tidak keriput, sedikit berbulu. Biji menjarum, panjang 2 mm (Rahayu 2006).

Gambar 3 a. Tanaman H. latifolia berumur 6 bulan; b. Bunga H. latifolia Kutikula daun terdapat di bagian adaksial maupun abaksial dengan ketebalan rata-rata kutikula adaksial dan abaksial 6-9 µm. Ketebalan epidermis antara 14-18 µm pada permukaan adaksial dan 13-17 µm pada permukaan abaksial. Tidak memiliki trikoma. Tebal daun 822-973µm dengan ketebalan mesofil daun lebih dari 800 µm. Tipe stomata cyclocytic, terdapat hanya di bagian abaksial saja, dengan rata-rata kerapatan stomata 73-94 mm2. Panjang stomata antara 28-29 µm dan lebar 23-25 µm (Hafis et al. 2013).

Distribusi H. latifolia yakni di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, pulau Kalimantan (Borneo). H. latifolia dimanfaatkan sebagai penolak hama ulat pada saat tanam padi dan hiasan rumah sebagai penolak bala oleh masyarakat Dayak Desa Tajabangkan.

Hoya multiflora Blume

H. multiflora (Gambar 4a) memilki nama daerah kimandjel (Priangan) atau areuy cukankan (Sunda), kompiong (Bali), intalun (Sulut), malacui (Bugis), the shooting stars (Inggris) dan Hoya avatar (perdagangan internasional) (Rahayu 2010). H. multiflora memiliki perawakan semak dengan panjang batang antara 0.5–2 m, ruas batang antara 0.2-7 cm, diameter batang antara 2-4 mm. Daun tunggal, decussate, panjang 7.5-14.2 cm, lebar 2-3.8 cm, tebal 0.28-0.83 mm (Gunaria 2014). Daun non sukulen (Hakim et al. 2013). Perbungaan interpetiolar (gambar 4b-c), 1-4 payung per cabang. Payung menghadap ke samping, 4-40 kuntum bunga. Gantilan hijau tua atau hijau muda, kadang-kadang disertai bintik-bintik coklat, panjang 3-6 cm. Mahkota membalik, putih dengan ujung kuning atau orange, panjang ± 1 cm. Korona membalik, putih polos, panjang ± 8 mm.

a. b


(23)

7

Korpuskulum hitam. Polinia lonjong, panjang 2 mm (Rintz 1978; Rahayu 2006; Goyder 2008).

Gambar 4 a. Tanaman H. multiflora berumur 6 bulan; b-c. Bunga H. multiflora H. multiflora memiliki tipe stomata hexacytic. Stomata terletak pada sisi abaksial dengan kerapatan stomata 121-139/mm2. Panjang stomata 26-27 µm dan lebar 20-22 µm. Kutikula terletak pada sisi adaksial dan abaksial. Tebal kutikula berkisar antara 6-7 µm. Ketebalan epidermis antara 18-20 µm (adaksial) dan 13-14 µm (abaksial), serta tidak memiliki trikoma. Tebal daun berkisar 357-536 µm. Mesofil terdiferensiasi menjadi jaringan palisade dan bunga karang. Tebal jaringan mesofil berkisar 227-424 µm (Hakim et al. 2013).

H. multiflora lebih banyak dikembangkan sebagai tanaman hias. H. multiflora dijual dengan harga Rp. 15.000-25.000,- pada tingkat petani atau pengumpul (dari hutan) dan Rp. 75.000-100.000,- di tingkat kolektor di Indonesia (Rahayu 2006). Secara tradisional, H. multiflora dimanfaatkan sebagai bahan obat sakit perut di India (Ambasta 1986) dan digunakan sebagai obat rematik atau artritis di Malaysia (Burkill 2002).

H. verticillata Wall.

H. verticillata merupakan Hoya yang merambat (Gambar 5). Panjang daun 6-11 cm dan lebar 2.5-6 cm. Bentuk daun ovate sampai eliptic, tebal dan keras (sukulen), warna daun hijau cerah dengan urat daun berderet dan bintik silver.

Batang terete, warna abu-abu kuning sampai hijau putih, glabrous, berbintik dan berakar adventif, ujungnya glabrous dan berakar adventif. Warna bunga bervariasi, hijau, putih, merah muda dan merah.

a .

c. b .


(24)

8

Gambar 5 Tanaman H. verticillata berumur 6 bulan

Anatomi daun H. verticillata terdiri dari epidermis atas dan bawah dengan lapisan kutikula di atasnya, lapisan hipodermis, trikoma pada bagian abaksial daun dan jaringan mesofil yang tidak terdiferensiasi. H. verticillata memiliki tipe stomata cyclocytic. Stomata hanya terletak dibagian abaksial daun. Panjang stomata 31 m dan lebar 32 m dengan kerapatan stomata 116/mm2. Tebal daun

H. verticillata 1277 m dan tebal mesofil 1.160 m (Hafis et al. 2013).

Pengertian Sukulensi Daun

Dalam pengertian morfologi, tanaman yang disebut sukulen adalah tanaman yang memiliki organ penyimpanan air khusus dan menunjukkan penampilan membengkak (swollen) pada daun, batang, akar atau kombinasi dari organ-organ tersebut (Ogburn dan Edwards 2010). Lambers et al. (2008) mendefinisikan sukulensi sebagai volume air dalam daun pada kandungan air relatif 100% per unit luas daun. Definisi ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk menyimpan air dalam organ daun merupakan karakteristik utama yang dimiliki daun sukulen (Fahn 1991).

Ada beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk menentukan tingkat sukulensi daun. Nobel et al. (1975) mengukur sukulensi daun dengan melihat rasio antara luas permukaan sel mesofil (Ames) terhadap luas permukaan daun (A).

Nobel dan Hartsock (1978) menemukan Ames/A = 28 untuk Agave deserti. Indeks

Ames/A lebih berguna karena secara langsung bisa diaplikasikan untuk menghitung

resistensi internal CO2. Tingkat sukulensi daun juga dapat dilihat dari tingkat

ketebalan daun. Ketebalan daun berkaitan dengan ketebalan jaringan mesofil sebagai tempat terjadinya proses fotosintesis paling besar dalam organ daun. Kluge dan Ting (1978) memperkirakan sukulensi daun dengan menghitung Indeks Sukulensi Mesofil (Sm) dengan rumus sebagai berikut:


(25)

9

� =�� �� � �� �� � ��� � �

Ogburn dan Edwards (2012) melakukan pengukuran terhadap 25 taksa Caryophyllales yang memiliki tingkat sukulensi daun berbeda-beda dengan menghitung kadar air jenuh (SWC) daun dimana:

�WC =[Massa daun pada hidrasi penuh g − Massa kering daun g ]massa kering daun g

Ogburn dan Edwards (2013) menjelaskan bahwa ada korelasi antara ukuran sel mesofil, SWC dan ketebalan daun dengan tingkat sukulensi suatu jaringan daun tanaman. Ukuran sel yang besar pada daun akan meningkatkan kandungan air jenuh daun (SWC) dan ketebalan daun. Hal ini dapat disimpulkan bahwa suatu jaringan dikatakan memiliki tingkat sukulensi tinggi jika memiliki ukuran sel yang besar, SWC dan ketebalan daun yang tinggi.

Evans et al. (2014) mendefinisikan karakter tingkat sukulensi berdasarkan pengamatan visual ketebalan helaian daun dan visibilitas urat daun (daun lunak/lentur atau tidak). Ada 3 tingkat sukulensi daun menurut Evans et al. (2014), yakni: (1) daun sukulen sangat lemah; mempunyai helaian daun yang tipis dengan pembuluh urat daun terlihat jelas dan mudah dibengkokkan, (2) daun semi sukulen; daun agak tebal, helaian daun kaku, dengan tipikal pembuluh urat daun yang tidak mencolok, cenderung mudah patah, (3) daun sangat sukulen; daun sangat tebal, kaku, helaian daun tidak fleksibel dengan pembuluh urat daun yang tidak terlihat mencolok.

Anatomi, Morfologi, dan Fisiologi Tanaman dengan Ciri Sukulensi Anatomi

Sukulensi dimulai dari tingkat seluler. Tanaman dengan sukulensi tinggi, umumnya memiliki ukuran vakuola yang besar sehingga meningkatkan ukuran sel secara keseluruhan. Ukuran vakuola yang besar ditemukan pada sel-sel penyimpan air. Pada daun sukulen, juga ditemukan bahwa jaringan mesofil lebih tebal dan umumnya sel mesofil tidak terdiferensiasi (Ogburn dan Edwards 2010). Selanjutnya, meningkatnya sukulensi daun akan meningkatkan ketebalan daun. Ogburn dan Edwards (2013) mengemukakan bahwa meningkatnya ketebalan daun akan menurunkan kerapatan pembuluh pengangkut pada daun.

Morfologi

Daun yang sangat sukulen terlihat kaku, tebal, urat daun tidak terlihat mencolok, dan ketika dibengkokkan mudah patah (Evans et al. 2014). Umumnya daun sukulen memiliki luas daun spesifik (SLA) dan massa luas daun (LMA) yang lebih rendah dibandingkan daun non sukulen.


(26)

10

Adanya sukulensi pada sel-sel dan jaringan daun akan meningkatkan resistensi stomata dan menurunkan konduktansi mesofil daun. Penurunan konduktansi mesofil akan menyebabkan meningkatnya hambatan difusi CO2

sehingga difusi CO2 dalam jaringan daun menjadi lebih lambat. Akibat adanya

hambatan terhadap difusi CO2 akan menurunkan laju fotosintesis pada tanaman.

Pada daun sukulen, kerapatan pembuluh pengangkut pada daun lebih rendah daripada daun non sukulen. Rendahnya kerapatan pembuluh pengangkut pada daun tersebut menurunkan transport gula dan air ke sel-sel yang membutuhkan (Ogburn dan Edwards 2013). Namun, laju transport gula dan air dalam pembuluh tidak mengalami hambatan dengan adanya sukulensi (Ogburn dan Edwards 2013).

Adanya sukulensi juga merupakan ciri adanya mekanisme fotosintesis CAM. Hubungan antara sukulensi daun dan fotosintesis tanaman tipe CAM telah banyak diamati. Penelitian yang dilakukan Lara et al. (2004) pada tanaman Portulaca oleraceae bertipe daun sukulen ketika diperlakukan dalam kondisi stres air menunjukkan adanya aktivitas CAM. Portulaca adalah genus yang hanya diketahui memiliki tipe fotosintesis C4 namun bisa memperlihatkan beberapa metabolisme CAM. Adanya transisi dari C4 ke CAM dikarakterisasi melalui perubahan pola pertukaran CO2, kandungan asam malat, dan kadar keasaman

selama siklus malam-siang, yang menyebabkan adanya perubahan PEPC (phospoenolphyruvate carboxilase). Perubahan tersebut diinduksi oleh enzim yang terlibat dalam fiksasi karbon dan metabolisme karbohidrat. Juga ditemukan adanya korelasi antara sukulensi daun dengan aktivitas fotosintesis tipe CAM pada spesies Sedum (Teeri et al. 1981) dan pada anggrek epifit serta paku-pakuan (Winter et al. 1983).

Griffits et al. (2008) juga melakukan investigasi terhadap 2 spesies dari genus Kalanchoe, K. daigremontiana (Hamet et Perr) yang berdaun tebal, spesies sukulen dan K. pinnata (lam) Pers. berdaun sedikit sukulen (lebih tipis dari umumnya daun sukulen). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa spesies K. daigremontiana yang sukulen memiliki aktivitas CAM yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies K. pinnata yang berdaun sedikit sukulen.

Hoya adalah salah satu spesies CAM yang juga epifit. Semua habitat epifit potensial membatasi pertumbuhan tanaman karena ketersediaan air yang rendah, spesies epifit hanya bergantung pada kemampuannya mengakumulasi debris organik dan air hujan dengan jalan memiliki struktur morfologi yang khusus (Edwards dan Walker 1983).

Hasil penelitian Lieth dan Werger (1992) menunjukkan bahwa Hoya memberikan indikasi yang kuat adanya lintasan CAM (khususnya spesies H. australis dan H. nicholsoniae), saat malam hari terjadi peningkatan akumulasi asam yang dapat diukur dengan 3 metode berbeda yaituμ nilai δ13C, akumulasi

asam pada malam hari dan pertukaran gas CO2 dan O2. Rayder dan Ting (1983)

menemukan bahwa H. carnosa jika dalam kondisi tidak mengalami cekaman kekeringan akan bertipe fotosintesis CAM, namun jika berada pada kondisi cekaman kekeringan maka dapat berubah dari CAM ke modifikasi fotosintesis CAM-idling. Spesies Hoya lainnya yakni H. diversifolia, H. lacunosa, H. carnosa, H. macrophylla, dan Hoya sp. menunjukkan aktivitas CAM penuh (Full CAM) saat ditumbuhkan pada habitat tanpa naungan dengan penyiraman air setiap minggu, namun akan berubah kearah C3 (CAM cycling) jika ditumbuhkan


(27)

11

pada habitat naungan 75% dengan pemberian air baik setiap hari maupun setiap minggu (Yusnaeni 2000).

Tanaman dengan Fotosintesis CAM Pengertian, Proses dan Tipe Fotosintesis

Istilah fotosintesis secara harfiah berarti ‘sintesis menggunakan cahaya’. Organisme fotosintetik menggunakan energi matahari untuk mensintesis komponen karbon yang tidak bisa dibentuk tanpa adanya bantuan energi. Energi cahaya menggerakkan sintesis karbohidrat dari karbondioksida dan air dengan hasil samping oksigen dirumuskan sebagai berikut (Taiz dan Zeiger 2010):

6 CO2 + 6 H2O → C6H12O6 + 6 O2

Proses fotosintesis terjadi di dalam kloroplas. Kloroplas sebagian besar terdapat di dalam sel mesofil daun. Ada 3 proses utama yang terjadi dalam proses fotosintesis berdasarkan Lambers et al. (2008) yakni:

1. Penyerapan foton oleh pigmen, sebagian besar adalah pigmen klorofil, yang diasosiasikan dengan dua fotosistem (Fotosistem 1; P700 dan fotosistem 2; P680). Pigmen klorofil tertanam dalam struktur membran internal tilakoid dan menyerap bagian besar energi dari radiasi aktif fotosintesis (PAR; 400 sampai 700 nm). Penyerapan foton oleh pigmen klorofil akan menyebabkan elektron tereksitasi. Pigmen-pigmen klorofil tersebut mentransfer energi tereksitasi ke pusat reaksi fotosistem.

2. Transfer elektron dari P680 menyebabkan P680 kehilangan elektronnya. Adanya kekosongan satu elektron pada P680+ mendorong elektron dari

luar masuk ke dalam P680+. Elektron yang ditransfer ke dalam fotosistem diperoleh dari pemecahan molekul air yang menstimulus produksi oksigen. Elektron kemudian ditranspor melalui serangkaian rantai transpor elektron yang tertanam dalam membran tilakoid. Proses transpor elektron tersebut membutuhkan energi cahaya sehingga disebut reaksi terang. Proses ini memproduksi NADPH dan ATP yang siap digunakan pada reaksi gelap fotosintesis.

3. NADPH dan ATP dari hasil reaksi terang digunakan dalam siklus reduksi karbon fotosintesis (Siklus Calvin). Proses ini tidak memerlukan cahaya sehingga disebut reaksi gelap fotosintesis. Pada proses ini terjadi proses fiksasi, reduksi dan regenerasi karbon fotosintesis.

Siklus Calvin pada reaksi terang fotosintesis merupakan siklus asimilasi CO2 untuk membentuk gula yang terdiri dari tiga tahap yakni karboksilasi (fiksasi

CO2 oleh enzim Rubisco), reduksi dan regenerasi. Siklus Calvin menggunakan

ATP sebagai sumber energi dan mengkonsumsi NADPH sebagai tenaga pereduksi bagi penambahan elektron berenergi tinggi untuk membuat gula. Produk pertama yang dihasilkan dari fiksasi awal CO2 pada permulaan awal siklus Calvin dapat

berbeda-beda tergantung spesies. Adanya perbedaan produk pertama ini menyebabkan fotosintesis dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe fotosintesis yakni : (1) Fotosintesis C3 yaitu produk pertama dari fiksasi karbon adalah senyawa berkarbon tiga (3-fosfogliserat /PGA), (2) Fotosintesis C4; produk


(28)

12

pertamanya senyawa berkabon 4 (3) Fotosintesis CAM atau Crassulacean Acid Metabolism yaitu produk pertamanya juga senyawa berkarbon 4 sama seperti pada C4 tetapi ada pemisahan temporal dalam proses asimilasi CO2.

Mekanisme Fotosintesis CAM

Jalur fotosintesis CAM ditemukan pertama kali pada famili Crassulaceae. Ciri tanaman yang mempunyai metabolisme CAM menurut Lambers et al. (2008) yakni adanya:

1. Fluktuasi asam organik, terutama asam malat, selama siklus diurnal.

2. Fluktuasi konsentrasi gula dan pati, berlawanan dengan fluktuasi asam malat. 3. Aktivitas PEPC tinggi pada malam hari dan dekarboksilasi tinggi pada siang

hari.

4. Ukuran sel vakuola besar dalam sel yang mengandung kloroplas. 5. Sukulen

6. Pertukaran gas di daun terjadi terutama pada malam hari.

Keistimewaan CAM adalah dapat tumbuh dan bertahan di lingkungan yang kering. Hal ini karena adanya mekanisme pembukaan stomata pada malam hari dan menutup pada siang hari sehingga mengurangi kehilangan air berlebihan karena transpirasi (Gambar 6). Pada malam hari, ketika stomata membuka, CO2

difiksasi di sitosol oleh PEPC dan membentuk oksaloasetat (OAA). PEP berasal dari pemecahan gula dalam proses glikolisis di mana glukosa terbentuk dari pati. OAA segera tereduksi menjadi malat yang dikatalisis oleh malat dehidrogenase.

Gambar 6 Metabolisme fotosintesis CAM. Pemisahan temporal pengambilan CO2

dari reaksi fotosintesis: pengambilan dan fiksasi CO2 terjadi pada

malam hari, dekarboksilasi dan refiksasi internal CO2 terjadi pada siang

hari (Taiz dan Zeiger 2010).

Malam: Stomata membuka

Dekarboksilasi malat dan refiksasi

CO2 internal: Deasidifikasi Stomata menutup Stomata membuka Pengambilan dan fiksasi CO2: Asidifikasi daun

Siang: Stomata menutup

Asam malat Vakuola Asam malat Vakuola Kloroplas Kloroplas Pati PEP Karboksila se Pati Triosa fosfat Fosfoenol piruvat Malat NAD+ Malat Dehidroge nase Siklus Kalvin Malat Piruvat CO2 Atmosfir


(29)

13

Kemudian malat ditransport ke vakuola dengan menggunakan energi yang dihasilkan oleh pompa proton. Asam malat selanjutnya disimpan dalam vakuola. Pada siang hari, stomata menutup dan asam malat diangkut keluar vakuola secara difusi. Asam malat di dekarboksilasi untuk membebaskan kembali CO2 oleh

enzim malat dehidrogenase dalam sitosol. Selanjutnya CO2 difiksasi oleh RubisCo

dan masuk ke siklus Calvin.

CAM memiliki pola diurnal yang terdiri atas 4 fase (Gambar 7) yakni: Fase 1 : fase karboksilasi, dimulai pada malam hari. Pada fase ini terjadi

pengikatan CO2 di atmosfer dan dari hasil respirasi oleh enzim PEPC

membentuk oksaloasetat (OAA). OAA tereduksi menjadi malat oleh enzim malat dehidrogenase. Malat ditransport ke vakuola dan disimpan dalam bentuk asam malat. Karboksilasi menurun pada akhir malam sedangkan konsentrasi asam malat meningkat dan mencapai maksimum menjelang pagi.

Fase II : terjadi menjelang pagi hari, ditandai dengan meningkatnya fiksasi CO2 bertepatan dengan meningkatnya konduktansi stomata. Enzim

PEPC dan RubisCo aktif dan memfiksasi CO2.

Fase III : stomata sepenuhnya menutup dan asam malat didekarboksilasi menghasilkan CO2. Kemudian CO2 difiksasi oleh Rubisc dan masuk

ke siklus calvin seperti pada tanaman C3.

Fase IV : pada fase ini terjadi pembentukan asam malat kembali.

Gambar 7 Pola diurnal asimilasi CO2 bersih, konsentrasi asam malat,

dan konsentrasi karbohidrat pada tanaman CAM; PEPC adalah PEP karboksilase (Lambers et al. 2008)

Tipe Fotosintesis CAM

Tanaman CAM terbagi menjadi 2 kelompok berdasarkan pada tipe enzim dekarboksilasi asam C4 (Cushman dan Bohnert 1999) yaitu: (1) CAM dengan tipe

Asam malat Fiksasi CO2 Glukan Jam Fase II PEPC Rubisco Fase 1

Asidifikasi: fiksasi CO2 bersih oleh PEPC

Fase III Deasidifikasi: Refiksasi CO2

oleh Rubisco

Fase 1V fiksasi CO2

bersih oleh Rubisco/PEP C Asi mi la si C O2 ( µ mo l h

-1 g -1 F

M ) M a la t a ta u G luk a n (eq. t ri o sa , µ mo l g

-1 FM


(30)

14

ME (malic enzyme) yang mendekarboksilasi malat pada sitosol atau mitokondria dengan menggunakan NADP-ME atau NAD-ME dan (2) CAM tipe fosfoenolpiruvat karboksikinase (PEPCK) adalah tipe CAM yang menghilangkan aktivitas piruvat ortofosfat dikinase (PPDK), oksaloasetat (OAA) dibentuk oleh nikotinamida adenosin difosfat-malat dehidrogenase (NAD(P)-MDH).

Berdasarkan respon tanaman CAM terhadap faktor lingkungan, CAM dibagi menjadi dua macam: CAM konstitutif atau obligat dan CAM fakultatif (CAM terinduksi). Tanaman yang selalu menunjukkan CAM dalam jaringan dewasa tanpa terpengaruh kondisi lingkungan diklasifikasikan sebagai spesies CAM konstitutif atau CAM obligat (Matiz et al. 2013). Contoh CAM konstitutif adalah beberapa spesies dari famili Cactaceae (contohnya spesies Opuntia), Crassulaceae (contohnya spesies Kalanchoe) dan Clusiaceae (Clusia rosea). CAM fakultatif merupakan CAM yang ekspresinya tergantung dari kondisi lingkungan.

Fotosintesis CAM saat ini diketahui sebagai fenomena yang fleksibel pada tanaman. Banyaknya informasi baru dari berbagai literatur tentang CAM menunjukkan bahwa tidak semua tanaman CAM hanya memfiksasi CO2 pada

malam hari saat stomata menutup seperti pada CAM klasik. Ada rangkaian ekspresi fotosintesis dari C3 sampai CAM dan proses ini membagi CAM menjadi beberapa tipe. Tipe fotosintesis CAM yang telah ditemukan menunjukkan derajat kuat atau lemahnya ekspresi CAM. Fleksibilitas CAM tersebut ditentukan oleh tahap perkembangan tanaman, kondisi lingkungan dan atau spesies. Saat ini ada tiga tipe utama CAM yang telah teridentifikasi yakni: CAM klasik, CAM-cycling dan CAM idling. CAM-cycling merupakan contoh CAM fakultatif dan CAM idling merupakan CAM konstitutif.

CAM-cycling merupakan istilah yang digunakan untuk kondisi fotosintesis CAM dengan pola pertukaran gas diurnal sama seperti pada tanaman C3 dikombinasikan dengan adanya akumulasi asam organik nokturnal, yang dihasilkan dari refiksasi CO2 respirasi melalui PEPC pada malam hari (Herrera

2009). Selama siang hari, asam didekarboksilasi, melepaskan CO2 ke Rubisco,

saat stomata terbuka (Lutge 2004; Borland 2011). Pada CAM idling, tidak terjadi pertukaran CO2 dari atmosfer karena stomata menutup selama periode 24 jam,

CO2 diperoleh dari proses respirasi karbohidrat pada malam hari (Sipes dan Ting

1985). CO2 respirasi ini kemudian digunakan untuk membentuk asam organik

(malat). Pada siang hari, asam organik didekarboksilasi dan CO2 dilepaskan ke

siklus Calvin untuk memperoleh kembali karbohidrat yang digunakan selama refiksasi CO2 respirasi (Lambers et al. 2008; Matiz et al. 2013).

Cekaman Kekeringan dan Pengaruhnya terhadap Fisiologis Tanaman

Cekaman (atau stres) didefinisikan sebagai faktor eksternal yang mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan bagi tanaman (Taiz dan Zeiger 2010). Faktor eksternal yang menyebabkan timbulnya cekaman dapat berupa faktor abiotik (lingkungan) dan biotik (patogen, predator, dan gulma). Faktor abiotik seperti suhu tinggi atau rendah, ketersedian air, dan salinitas dapat menimbulkan cekaman bagi pertumbuhan tanaman secara keseluruhan (Taiz dan Zeiger 2010).


(31)

15

Cekaman air atau kekeringan didefinisikan sebagai situasi saat potensial air tanaman dan tekanan turgor menurun sehingga mengganggu fungsi normalnya. Oleh karena itu, respon paling awal dari tanaman yang mendapat cekaman kekeringan adalah terjadinya hambatan pembukaan stomata daun (Pennypacker et al. 1990). Hal ini disebabkan saat terjadi cekaman kekeringan potensial air daun menurun dan menyebabkan tekanan turgor sel penjaga menurun sehingga stomata menutup (Nogle dan Fritz 1983; Salisbury dan Ross 1992).

Selanjutnya, kekeringan bisa menyebabkan defisiensi nutrien, pada tanah yang subur, terjadi penurunan mobilitas dan penyerapan nutrisi pada tingkat individu, sehingga rata-rata difusi mineral lebih rendah dari matriks tanah ke akar (Silva et al. 2011). Kekeringan juga akan mengakibatkan penurunan produksi fotosintat bersih, oleh karena reduksi luas daun dan peningkatan konduktansi stomata (Kramer 1969). Penurunan produksi bahan kering atau produksi fotosintat tersebut disebabkan oleh rendahnya laju fotosintesis. Rendahnya laju fotosintesis akibat kekeringan, disebabkan oleh berkurangnya klorofil daun dan terhambatnya aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam fotosintesis, yaitu Rubisco dan PEPC (Mayora et al. 1981). Jadi, kekeringan dapat dipastikan merupakan faktor stres paling penting dalam membatasi pertumbuhan tanaman (Silva et al. 2013).

Pada tanaman epifit Doritaenopsis yang merupakan tanaman CAM, perlakuan kekeringan berpengaruh terhadap fotosintesis, konduktansi stomata, transpirasi, penurunan gula, total gula, pati, protein, fosfoenolpiruvat karboksilase, superoksida dismutase, dan aktivitas peroksidase (Cui et al. 2004).

Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan

Cortes dan Sinclair (1986) menggunakan 2 pendekatan utama untuk melihat kemampuan tumbuhan dalam menghadapi cekaman kekeringan. Pendekatan pertama adalah dilihat dari kemampuan tanaman dalam hal pengambilan air secara maksimal melalui perluasan dan kedalaman sistem perakaran. Pendekatan kedua adalah dilihat dari kemampuan tanaman mempertahankan turgor melalui penurunan potensial osmotik karena tekanan turgor penting dalam menjaga tingkat aktivitas fisiologis.

Taiz dan Zeiger (2010) membagi mekanisme resistensi (atau toleransi) kekeringan ke dalam beberapa tipe yaitu:

1. Penundaan kekeringan (Dessication postponement) yaitu kemampuan untuk menjaga jaringan tetap terhidrasi (potensial air tinggi).

2. Toleran kekeringan (Desiccation tolerance) yaitu kemampuan untuk tetap menjaga fungsi metabolisme ketika sedang mengalami kekeringan (potensial air rendah).

3. Terhindar dari cekaman kekeringan (Drought escape/Drought avoidance) yaitu tanaman mampu menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami defisit air yang parah dengan mekanisme mempercepat sistem pembungaan.

Tanaman CAM yang sukulen memiliki mekanisme umum dalam menghindari kekeringan. Mekanisme penghindaran kekeringan tersebut adalah memiliki kapasitas hidraulik yang tinggi (Ogburn dan Edward 2010). Kapasitas hidraulik berhubungan dengan elastisitas dinding sel. Sel atau jaringan yang


(32)

16

sukulen memiliki sel hidrenkima khusus untuk menyimpan air sehingga tanaman CAM memiliki nilai kapasitas hidraulik yang tinggi (Ogburn dan Edward 2010).

Tanaman dengan fotosintesis CAM memiliki efesiensi penggunaan air (WUE) yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman C3 dan C4. Hal ini dikarenakan pada tanaman CAM, stomata membuka pada malam hari dan menutup pada siang hari sehingga menurunkan kehilangan air dari proses transpirasi (Gonzalez dan Villarreal 2007). Efisiensi penggunaan air pada tanaman CAM 3 kali lebih tinggi dari tanaman C4 dan 6 kali lebih tinggi dibandingkan tanaman C3 (Borland et al. 2009). Tanaman CAM kehilangan 50-100 gram air, sedangkan pada tanaman C4 sebesar 250-300 gram air dan untuk tanaman C3 400-500 gram air dari setiap gram CO2 yang diikat (Taiz dan Zeiger 2010).

Tanaman CAM merespon ketersediaan air yang terbatas secara berbeda-beda tergantung spesies. Respon CAM terhadap kekeringan didukung oleh plastisitas jaringan pada tanaman CAM. Ketika terjadi kekurangan air yang besar, CAM akan berubah menjadi CAM idling (Lambers et al. 2008). Ketika tanaman dalam mode CAM idling, konduktansi stomata sangat rendah pada malam dan siang hari. Hal ini membantu tanaman kehilangan air melalui stomata.

CAM yang hanya terjadi ketika terjadi stres kekeringan adalah CAM fakultatif. Holthe et al. (1992) menyatakan bahwa defisit air dapat mempercepat perkembangan induksi CAM pada tanaman dengan mode fotosintesis C3 atau C4 ketika ketersedian air baik. Contoh tanaman CAM fakultatif adalah Mesembryanthmun crystallinum. M. crystallinum yang tumbuh pada kondisi terairi dengan baik dan non-salinitas menunjukkan fotosintesis C3 (Winter dan Holtum 2007). (Winter dan Holtum 2005). Namun, bila terjadi cekaman kekeringan atau salinitas tinggi maka M. crystallinum akan beralih dari fotosintesis C3 ke CAM (Winter dan Holtum 2005). Spesies dari genus Portulaca juga menunjukkan adanya CAM fakultatif. Spesies Portulaca grandiflora, P. modula dan P. oleraceae menunjukkan fotosintesis C4 ketika kondisi air tersedia dan beralih menjadi CAM ketika cekaman kekeringan (Lambers et al. 2008).


(33)

17

3

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai September 2014, bertempat di Rumah Kaca Departemen Biologi. Analisis asam organik, laju fotosintesis, konduktansi stomata, laju transpirasi dan kandungan klorofil dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Bahan

Bahan tanaman yang digunakan adalah 5 spesies tanaman Hoya dengan tingkat sukulensi daun berbeda-beda yang berasal dari koleksi Kebun Raya Bogor yakni: H. verticillata (sukulen), H. latifolia (sukulen), H. bandaensis (semi sukulen), H. densifolia (non sukulen),dan H. multiflora (non sukulen).

Alat

Alat yang digunakan adalah Licor 6400 Xt Portable Photosyntesis System, pH meter digital, spektrofotometer, alat penyiram, alat pengukur panjang, gunting stek, polibag diameter 25 cm, dan ajir dari bambu untuk melilitkan batang hoya.

Metode Penelitian Rancangan percobaan

Percobaan dirancang dan dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Kelompok faktorial (RAK) dengan perlakuan yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah spesies tanaman yang meliputi 5 taraf yaitu: H. verticillata (H1), H. latifolia (H2), H. bandaensis (H3), H. densifolia (H4) dan H. multiflora (H5). Faktor kedua adalah perlakuan cekaman kekeringan yang meliputi 2 taraf yakni: disiram setiap 3 hari (kontrol/W) dan penundaan penyiraman sampai layu berat (kekeringan/D). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 30 unit uji (10 kombinasi perlakuan masing-masing dengan 3 ulangan).

Pelaksanaan

Persiapan dan pemeliharaan bahan tanaman percobaan

Bahan tanaman yang digunakan adalah stek 2 ruas tanaman Hoya. Stek ditumbuhkan di media pembibitan berupa pasir hitam selama satu setengah bulan. Stek yang sudah berakar dipindahkan ke polibag yang berisi media kokopit dan cacahan akar pakis yang sudah disterilkan dengan perbandingan 1:5 (b/b). Sebelum dipindahkan ke dalam polibag, stek disemprot dengan vitamin B1 dengan dosis 4 ml/L untuk mengurangi stres setelah dipindah. Stek dirawat selama 5 bulan sebelum dilakukan perlakuan kekeringan. Saat tanaman berumur 2 bulan dipasang ajir untuk melilitkan batang tanaman Hoya.

Stek dipelihara selama 7 bulan sebelum dilakukan perlakuan kekeringan. Perawatan meliputi penyiraman sekaligus pemupukan dengan pupuk NPK 1:1:1 dengan dosis 3 g/L air setiap minggu. Volume air siraman untuk setiap kali


(34)

18

penyiraman adalah 300 mL/polibag. Penanggulangan hama dilakukan bila ada serangan.

Pemberian perlakuan

Setelah tanaman berumur 7 bulan, 5 spesies tanaman Hoya diberi perlakuan penyiraman, yaitu disiram setiap 2 hari (volume setiap kali penyiraman 300 mL/polybag) (W) dan penundaan penyiraman (D). Penundaan penyiraman dilakukan pada 7 HSP (Hari Setelah Perlakuan), 14 HSP, dan 28 HSP.

Pengambilan data Pengukuran Karakter Sukulensi

Pengukuran sukulensi daun meliputi ketebalan daun, kadar air relatif daun (KAR), dan kadar air jenuh daun (Storage Water Content/SWC). Ketebalan diukur dengan menggunakan mikrometer.

Pengukuran kadar air relatif daun (KAR) dilakukan setiap perlakuan kekeringan. KAR diukur dari 10 potongan melingkar daun yang telah berkembang penuh (daun ketiga dari pucuk) dengan diameter 1 cm. Potongan daun ditimbang untuk mendapatkan bobot segar (BS) kemudian dihidrasi pada suhu ruang selama 24 jam dalam botol kecil untuk mendapatkan berat jenuh (BJ). Setelah 24 jam potongan daun tersebut ditimbang bobot jenuhnya dan keringkan di dalam oven pada suhu 80oC sampai berat kering konstan untuk memperoleh berat kering (BK) (Procazkova 2001). KAR yang didapat dihitung dengan rumus:

�A� = B� − B�BJ − B� x %

Pengukuran SWC dilakukan sebelum perlakuan kekeringan. SWC diukur dari daun yang telah berkembang penuh (daun ketiga dari pucuk). Daun direndam dalam air suling atau akuades steril, setiap interval 12 jam, daun ditimbang, sebelum ditimbang permukaan daun dikeringkan dengan tissue. Ketika massa daun naik kurang dari 5% pada penimbangan berikutnya, maka daun dianggap jenuh, selanjutnya daun dikeringkan untuk mendapatkan massa kering daun. Daun dikeringkan dalam oven suhu 80oC sampai berat kering konstan (Ogburn dan Edwards 2012). SWC dihitung dengan rumus:

�WC =[Massa daun pada hidrasi penuh g − Massa kering daun g ]massa kering daun g

Pengukuran Parameter Fisiologi Kandungan asam organik

Pengukuran asam organik pada daun dapat diketahui dengan mengukur kandungan proton H+ (Medina et al. 1993). Pengukuran H+ dilakukan dengan menggunakan metode titrasi keasaman daun mengikuti Griffiths et al. (2008) dengan modifikasi. Pengambilan sampel daun untuk pengukuran asam (H+) dilakukan dengan interval waktu tiap 4 jam (18.00-22.00-02.00-06.00-10.00-14.00). Sampel daun yang diambil adalah daun yang sudah dewasa. Pengambilan


(35)

19

sampel dilakukan pada akhir penyiraman. Sampel daun dipotong dari tanaman dan segera ditempatkan dalam dry ice. Sampel daun kemudian dipotong melingkar menggunakan cork borer diameter 2 cm sebanyak 2 potongan (bagian tengah dan apikal daun). Masing-masing potongan tersebut kemudian dididihkan ke dalam 4 mL akuades steril selama 20 menit. Setelah 20 menit, sampel daun didinginkan pada suhu kamar kemudian dititrasi dengan NaOH 10 mM sampai pH 7. Penentuan kadar H+ daun dihitung dengan rumus sebagai berikut:

mmol H+= Volume NaOH yang terpakai (mL) x Molaritas NaOH (mM) x Volume sampel (mL)

Luas daun sampel (cm2)

Pengukuran parameter fotosintesis

Pengamatan parameter fisiologi terdiri atas laju fotosintesis, konsentrasi CO2 interseluler, laju transpirasi, konduktansi stomata, dan kandungan klorofil

menggunakan Licor 6400 Xt Nebraska USA dan diukur pada PAR 500 nm.

Kandungan klorofil daun

Analisis kandungan klorofil dilakukan pada akhir perlakuan menggunakan spektrofotometer mengikuti metode Arnon (1949). Daun yang diambil adalah daun dewasa ketiga dari pucuk. Daun segar sebanyak 1 g dipotong kecil dan dihancurkan sampai halus dengan mortar. Ditambah aseton 80% sedikit demi sedikit sambil diaduk. Supernatan disaring dengan kertas saring dan diencerkan dengan menambahkan aseton 80% sampai volume 50 ml. Diambil 2.5 ml larutan dan diencerkan sampai volume 25 ml. Ekstrak tersebut diukur absorbansinya pada 663 nm dan 645 nm spektrofotometer. Kandungan klorofil a, b, dan c (dalam mg) ditentukan dengan rumus:

Klorofil a = (12.7 X D663 – 2.69 X D645) Klorofil b = (22.9 X D645 – 4.68 X 663) Klorofil total = (20.2 X D645 + 8.02 X 663)

Pengukuran laju pertumbuhan

Pengukuran laju pertumbuhan dilakukan setiap minggu untuk melihat laju pertumbuhan 5 spesies Hoya meliputi laju pertambahan daun dan tinggi tanaman.

Produksi bahan kering tanaman

Pengukuran bahan kering tanaman meliputi; bobot basah dan bobot kering akar dan tajuk. Penimbangan bobot basah dan bobot kering akar dan tajuk dilakukan pada saat akhir perlakuan cekaman kekeringan. Bobot kering tajuk dan akar ditimbang terpisah setelah di oven 80oC sampai berat kering konstan.

Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Anova). Jika terdapat beda nyata maka dilanjutkan dengan Uji DMRT/Duncan.


(36)

20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sukulensi Daun Hoya

Parameter sukulensi 5 spesies Hoya disajikan dalam Tabel 1. Parameter sukulensi yang diamati meliputi tebal daun, kandungan air jenuh (Saturated Water Content/SWC), dan Kadar Air Relatif (KAR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa H. verticillata dan H. latifolia (sukulen) memiliki ketebalan daun, SWC, KAR dan Sm lebih tinggi dibandingkan H. densifolia dan H. multiflora (non sukulen) (Tabel 1). Ketebalan daun yang tinggi diikuti dengan tingginya nilai SWC dan KAR. Hasil analisis regresi (Gambar 8) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara tebal daun dan SWC (R2= 0.897), ketebalan daun dengan KAR (R2= 0.838) dan SWC dengan KAR (R2=0,900).

Tabel 1 Ketebalan daun, SWC, dan KAR pada 5 spesies Hoya berumur 7 bulan

Spesies Daun Tebal

daun (µm)

SWC

(gH2O/g berat kering)

KAR (%)

H. verticillata Sukulen* 1220.56a 18.71a 95.29a

H. latifolia Sukulen* 866.11b 17.16a 95.85a

H. bandaensis Semi 626.67c 13.98b 89.73b

H. densifolia Non** 315.70d 8.91c 89.70b

H. multiflora Non** 225.69d 6.40d 86.95b

aAngka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada uji Duncan (αμ5%). Sumberμ (*) Hafis et al. (2013) : Rahayu (2010).

(**) Hakim et al. (2013) dan Rahayu (2010).

Nilai SWC dan KAR H. verticillata berbeda nyata (p<0.05) dengan H. bandaensis, H. densifolia dan H. multiflora tapi tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan H. latifolia. H. multiflora memiliki ketebalan daun paling rendah dan diikuti dengan rendahnya nilai SWC dan KAR dan berbeda (p<0.05) dengan 4 spesies Hoya lainnya. Oleh karena itu, H. bandaensis diduga mengarah kepada semi sukulen.

Adanya perbedaan ketebalan daun pada 5 spesies Hoya tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dalam struktur anatomi daun. Hasil penelitian Hafis et al. (2013) dan Hakim et al. (2013) terhadap 5 spesies Hoya tersebut menunjukkan bahwa pada Hoya sukulen, ketebalan kutikula, lapisan epidermis dan jaringan mesofil lebih tinggi dibandingkan dengan Hoya non sukulen. Peningkatan ketebalan daun berkaitan erat dengan adanya peningkatan ukuran sel-sel mesofil daun yang diikuti dengan meningkatnya nilai SWC (Nelson dan Sage 2008; Ogburn dan Edwards 2012). Nilai SWC tinggi menunjukkan bahwa kapasitas penyimpanan air pada sel mesofil Hoya sukulen lebih besar dibandingkan dengan Hoya non sukulen. H. verticillata memiliki nilai SWC tertinggi (18.71 gH2O/berat


(37)

21

Gambar 8 Kurva hubungan (a) ketebalan daun dengan SWC, (b) SWC dengan KAR dan (c) ketebalan daun dengan KAR

Sukulensi daun akan mempengaruhi fisiologis tanaman. Meningkatnya sukulensi daun akan menurunkan rongga udara internal daun. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya daerah permukaan sel mesofil mengandung klorofil yang kontak dengan rongga udara interseluler dalam daun (Nelson et al. 2005; Nelson dan Sage 2008). Sukulensi juga menurunkan konduktansi internal daun terhadap CO2 (konduktansi mesofil/gm). Jika konduktansi mesofil menurun maka

pengambilan CO2 secara langsung dari atmosfer juga akan mengalami penurunan.

Namun, konduktansi mesofil yang turun/rendah akan meningkatkan efisiensi penggunaan karbon selama dekarboksilasi pada fase III CAM karena efflux CO2

bersih dari daun diminimalisir (Maxwel et al. 1997).

Konsentrasi Asam Organik

Kandungan asam organik pada daun diukur dengan menggunakan konsentrasi H+. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa lima spesies Hoya yang

diamati menunjukkan adanya fluktuasi diurnal kandungan asam organik ketika ditumbuhkan pada kondisi pengairan baik (Gambar 9). Besarnya asam organik yang terakumulasi sepanjang malam berbeda-beda tergantung spesies (Lampiran 1). Pada kondisi terairi, H. verticillata memiliki konsentrasi H+ mencapai 125.05 mmol H+ cm-2, H. bandaensis 81.10 mmol H+ cm-2, H. multiflora 51.52 mmol H+ cm-2, H. densifolia 42.04 mmol H+ cm-2 dan H. latifolia 35.88 mmol H+ cm-2.

y = 0,012x + 4,640 R² = 0,897

0 5 10 15 20 25

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

S W C (gr am )

Tebal Daun (µm)

y = 0,720x + 81,30 R² = 0,900

80 84 88 92 96 100

0 5 10 15 20

K

A

R

%

SWC (gram)

y = 0,009x + 84,54 R² = 0,838

80 84 88 92 96 100

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

K

A

R

%

Tebal Daun (µm)

c.

b. a.


(38)

22

Gambar 9 Fluktuasi diurnal H+ daun pada 5 spesies Hoya. (a) H. verticillata, (b)

H. latifolia,(c) H. bandaensis, (d) H. densifolia dan (e) H. multiflora pada kondisi mendapat pengairan baik dan kekeringan 28 hari

Pada siang hari, proses dekarboksilasi asam organik berbeda antar spesies Hoya. Pada H. verticillata dan H. latifolia, dekarboksilasi terjadi pada pukul 06.00 -14.00 WIB. Pada H. bandaensis, H. densifolia dan H. multiflora, dekarboksilasi asam organik mulai terjadi setelah pukul 02.00-14.00 WIB.

Pada kondisi kekeringan, terjadi penurunan kandungan asam organik pada semua spesies Hoya kecuali H. latifolia. Hal ini menunjukkan bahwa, kekeringan dapat meningkatkan ekspresi CAM pada H. latifolia. Hasil yang sama juga ditemukan pada Puya floccosa (Herrera et al. 2010). P. floccosa diketahui juga mempunyai kandungan asam organik yang meningkat ketika terjadi cekaman kekeringan, sedangkan pada kondisi ketersediaan air baik, ekspresi CAM cenderung turun.

Pada H. verticillata, kandungan asam organik 54.14 mmol H+ cm-2, H. latifolia 29.30 mmol H+ cm-2, H. bandaensis 11.89 mmol H+ cm-2, H. densifolia 5.94 mmol H+ cm-2 dan H. multiflora 2.97 mmol H+ cm-2. Dari hasil pengukuran selama periode 20 jam saat kekeringan 28 HSP, pada Hoya sukulen dan semi sukulen masih menunjukkan adanya fluktuasi asam organik sedangkan pada Hoya non sukulen, tidak ditemukan adanya fluktuasi asam organik diurnal.

Pada saat kondisi terairi, H. verticillata menunjukkan ekspresi CAM yang paling kuat diantara empat spesies Hoya lainnya (∆H+ 99.79 mmol H+ cm-2) diikuti H. bandaensis (∆H+ 70.63 mmol H+ cm-2), H. multiflora (∆H+ 45.79 mmol H+ cm-2), H. densifolia (∆H+ 36.52 mmol H+ cm-2), dan H. latifolia (∆H+ 28.45 mmol H+ cm-2). Pada kondisi kekeringan ekspresi CAM paling kuat ditemukan pad H. latifolia (∆H+ 64.05 mmol H+ cm-2) diikuti H. verticillata (∆H+ 44.37 mmol H+ cm-2), H. bandaensis (∆H+ 6.58), H. densifolia (∆H+ 4.67 mmol H+ cm

-0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

18.00 22.00 02.00 06.00 10.00 14.00

K ons. A sa m (m m ol H + cm -2) Jam

H. verticillata Kontrol H. verticillata Kekeringan

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

18.00 22.00 02.00 06.00 10.00 14.00

K ons. A sa m (m m ol H + cm -2) Jam

H. latifolia Kontrol H. latifolia Kekeringan

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

18.00 22.00 02.00 06.00 10.00 14.00

K ons. A sa m (m m ol H + cm -2) Jam H.bandaensis Kontrol H.bandaensis Kekeringan 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

18.00 22.00 02.00 06.00 10.00 14.00

K ons. A sa m ( m m ol H + cm -2) Jam

H. densifolia Kontrol H. densifolia Kekeringan

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

18.00 22.00 02.00 06.00 10.00 14.00

K ons. A sa m (m m ol H + cm -2) Jam

H. multiflora Kontrol H. multiflora Kekeringan

e. d.

c.


(39)

23

2). Pada H. multiflora tidak ditemukan adanya akumulasi asam organik pada

kondisi kekeringan.

Konsentrasi H+ pada daun menunjukkan konsentrasi asam malat (sebesar 2 kali) dan asam sitrat (sebesar 3 kali) (Medina et al. 1993). Lambers et al. (2008) menyatakan bahwa adanya fluktuasi diurnal asam organik merupakan ciri tanaman dengan fotosintesis CAM. Kuat dan lemahnya CAM dapat dilihat dari nilai ∆H+ (Herrera 2009). Semakin tinggi ∆H+ maka ekspresi CAM semakin kuat. Nilai ∆H+ ditentukan dari nilai maksimum-minimum konsentrasi asam (H+)

selama siklus diurnal (Griffiths et al. 2008).

Laju Pertumbuhan

Laju pertumbuhan 5 spesies tanaman Hoya diukur dari pertambahan jumlah daun dan panjang batang. H. densifolia memiliki laju pertambahan jumlah daun tertinggi dibandingkan dengan 4 spesies Hoya lainnya. Laju pertambahan jumlah daun dari tertinggi sampai terendah berturut-turut yakni H. densifolia 6 daun/minggu, H. multiflora 4 daun/minggu, H. verticillata 3 daun/minggu, dan H. latifolia serta H. bandaensis masing-masing 2 daun/minggu (Gambar 10a, Lampiran 2).

Gambar 10 Laju pertambahan (a) jumlah daun dan (b) tinggi tanaman setiap minggu pada 5 spesies Hoya dengan tingkat sukulensi daun berbeda-beda

H. verticillata memiliki laju pertambahan panjang batang perminggu lebih tinggi dibandingkan dengan 4 spesies Hoya lainnya. Pertambahan panjang batang H. verticillata adalah 11.3 cm/minggu, diikuti oleh H. bandaensis 8.7 cm/minggu, H. latifolia 7.0 cm/minggu dan H. densifolia 6.2 cm/minggu. H. multiflora memiliki laju pertambahan panjang batang terendah diantara 4 spesies Hoya lainnya yakni 2.7 cm/minggu (Gambar 10b, Lampiran 3).

Adanya perbedaan laju pertambahan daun pada 5 spesies Hoya tersebut kemungkinan terkait dengan perbedaan tipe fotosintesis. H. verticillata, H. latifolia dan H. bandaensis menunjukkan adanya pola CAM, sedangkan pada H. densifolia dan H. multiflora menunjukkan adanya pola CAM cycling.

0 50 100 150 200 250 300

1 3 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

T in g g i T a n a m a n ( c m ) Minggu ke-H. verticillata H. latifolia H. bandaensis H. densifolia H. multiflora 0 20 40 60 80 100 120 140

1 3 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Ju m la h d a u n Minggu ke-H. verticillata H. latifolia H. bandaensis H. densifolia H. multiflora


(40)

24

Pertambahan daun dan tinggi tanaman merupakan salah satu indikator produktivitas tanaman. Produktivitas tanaman CAM lebih rendah dibandingkan dengan tanaman C3 (Black et al. 1996). Hal ini dikarenakan energi yang diperlukan untuk asimilasi setiap molekul CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan

tanaman C3 (Lutge 2001). Pertumbuhan batang lebih cepat pada tanaman Hoya sukulen dibanding Hoya non sukulen kemungkinan terkait dengan habitus 5 Hoya tersebut. H. verticillata, H. latifolia dan H. bandaensis diketahui berhabitus merambat. Pada spesies epifit yang merambat, pertumbuhan batang umumnya lebih cepat untuk menyokong pertumbuhan tajuk ke arah vertikal (Putz dan Mooney 1991).

Hubungan Sukulensi dan Kekeringan dengan Parameter fisiologis Hoya

Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara spesies Hoya dengan perlakuan penyiraman terhadap parameter fisiologis Hoya kecuali konsentrasi CO2 interseluler (Tabel 2). Pada spesies Hoya sukulen, kekeringan

tidak berpengaruh signifikan terhadap semua parameter fisiologis yang diamati. Sebaliknya pada Hoya non sukulen, khusus H. multiflora, laju fotosintesis, dan konduktansi stomata menurun signifikan, konsentrasi CO2 interseluler meningkat

signifikan dan laju transpirasi tidak signifikan. Semua parameter fotosintesis pada H. densifolia tidak signifikan.

Tabel 2 Nilai parameter fotosintesis 5 spesies Hoya pada kondisi terairi (W) dan kekeringan 28 hari (D)

Spesies Daun Perlakuan

Parameter Fotosintesis Laju

Fotosintesis

( mol CO2 m-2s

-1)

Konduktansi Stomata (mmol

H2O m-2S-1)

Konsentrasi CO2 interseluler

( µmol CO2

mol-1)

Laju Transpirasi (mmol H2O m-2

S-1)

H. verticillata sukulen W 4.00ab -4.53b 2708.85ab -0.12b

D 4.06ab -2.59b 4290.02a -0.08b

H. latifolia sukulen W 3.93ab -2.18b 3612.62ab -0.06b

D 3.90ab -3.93b 1771.60ab -0.12b

H. bandaensis semi W 4.44ab -4.63b 1927.98ab -0.14ab

D 4.43ab -4.93b 1985.64ab -0.15ab

H. densifolia Non W 3.69ab 5.81ab 1218.10ab 0.35a

D 1.55b -2.06b 1145.82a -0.03b

H. multiflora Non W 6.00a 12.84a -748.69c 0.20ab

D 2.06b -3.12b 2587.44ab -0.08b

aAngka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata pada uji Duncan (αμ5%).

Laju fotosintesis Hoya sukulen dan Hoya non sukulen pada kondisi ketersediaan air baik maupun kekeringan tidak signifikan (p>0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan sukulensi daun Hoya tidak mempengaruhi laju fotosintesis tanaman Hoya tapi hanya mempengaruhi tipe fotosintesis Hoya.

Konduktansi stomata pada Hoya sukulen dan semi sukulen lebih rendah (p<0.05) dibandingkan Hoya non sukulen (untuk H. multiflora) pada kondisi


(41)

25

terairi dengan baik maupun kekeringan. Konduktansi stomata tercatat bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pembukaan stomata pada Hoya sukulen dan semi sukulen saat pengukuran dilakukan. Ketiadaan pembukaan stomata juga didukung oleh data laju transpirasi yang juga bernilai negatif, menunjukkan bahwa tidak ada transpirasi yang terdeteksi pada Hoya sukulen dan semi sukulen. Hasil ini semakin menguatkan dugaan kami bahwa dua spesies Hoya sukulen (H. verticillata dan H. latifolia) dan 1 spesies Hoya semi sukulen (H. bandaensis) tersebut memiliki jalur metabolisme CAM, selain memiliki fluktuasi asam organik diurnal.

Hasil pengamatan membuktikan bahwa sukulensi daun juga menurunkan konduktansi stomata dan laju transpirasi pada Hoya sukulen dan semi sukulen (Tabel 2). Konduktansi stomata yang rendah membantu Hoya sukulen dan semi sukulen terhindar dari kekeringan sehingga laju fotosintesis tetap stabil. Rendahnya konduktansi stomata dan laju transpirasi disebabkan oleh adanya mekanisme CAM pada Hoya sukulen dan semi sukulen tersebut. Pada tanaman CAM, stomata membuka pada malam hari untuk fiksasi CO2 nokturnal dan

reasimilasi CO2 pada siang hari pada saat stomata tertutup (Cusman dan Borland

2002).

Laju transpirasi yang rendah pada kondisi kekeringan menguntungkan bagi tanaman karena dapat mengurangi kehilangan air. Taiz dan Zeiger (2010) menyatakan bahwa rasio H2O yang keluar melalui stomata yang membuka lebih

tinggi dibandingkan dengan CO2 yang masuk (setiap 1 molekul CO2 yang masuk

melalui stomata akan diikuti dengan 500 molekul H2O yang keluar). Hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah difusi CO2 1.6 kali lebih

lambat melalui udara dibandingkan dengan H2O karena molekul CO2 lebih besar

daripada H2O dan koefisien difusi CO2 juga lebih kecil. Selain itu, pengambilan

CO2 harus melalui membran plasma, sitoplasma dan membran kloroplas sebelum

diasimilasi dalam kloroplas. Membran-membran tersebut meningkatkan resistensi jalur difusi CO2 (Taiz dan Zeiger 2010).

Pengaruh kekeringan terhadap Kadar Air Relatif (KAR) Hoya

Kandungan Air Relatif (KAR) daun dalam beberapa periode kekeringan dipengaruhi oleh sukulensi daun Hoya (Gambar 11). Nilai KAR H. verticillata dan H. latifolia (sukulen) cenderung stabil sampai 28 HSP. KAR Pada H. bandaensis (semi sukulen) selama periode kekeringan tidak signifikan. Sebaliknya pada H. densifolia dan H. multiflora (non sukulen) terjadi penurunan nilai KAR yang signifikan, namun besarnya nilai penurunan dan periode mulai terjadinya penurunan KAR yang signifikan berbeda-beda antar spesies (Lampiran 4).


(1)

35

Lampiran 1 Konsentrasi H

+

selama periode 20 jam pengukuran

Kandungan asam organik (mmol H

+

cm

-2

) jam ke-

Spesies

Perlakuan

18.00 22.00

02.00

06.00

10.00

14.00

H. verticillata

W

25.5

53.5

66.9

125.1

52.7

25.3

D

16.6

20.6

38.9

54.1

39.1

9.8

H. latifolia

W

13.6

15.1

18.0

35.9

17.4

7.4

D

16.3

48.1

74.5

29.3

17.8

10.4

H. bandaensis

W

17.4

56.9

81.1

24.8

14.3

10.5

D

7.2

18.9

11.9

10.2

8.7

5.3

H. densifolia

W

8.9

19.1

42.0

18.3

9.6

5.5

D

1.3

1.3

5.9

1.3

1.3

1.3

H. multiflora

W

5.7

20.7

51.5

7.8

6.8

5.7


(2)

36

Lampiran 2 Jumlah daun perminggu dari 5 spesies Hoya

Lampiran 3 Tinggi tanaman perminggu dari 5 spesies Hoya

Jenis Tanaman

1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

H. verticillata 1 1 2 2 3 3 4 4 6 6 9 11 13 20 20 23 28 33 43 48 59 69 71 3

H. latifolia 1 1 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 7 7 9 10 11 12 28 30 34 36 40 2

H. bandaensis 2 2 3 3 4 5 5 5 6 6 7 9 10 11 13 14 16 18 20 21 30 32 36 2

H. densifolia 3 5 6 7 9 11 13 13 15 17 19 23 29 32 38 47 54 62 90 94 109 115 128 6

H. multiflora 3 4 4 5 7 9 11 11 14 18 20 23 26 28 28 29 39 46 56 69 79 85 102 4

Minggu ke- Rata-rata pertambahan

jumlah daun/minggu (helai)

Jenis tanaman

1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

H. verticillata 1.4 3.1 6.2 8.9 13.3 19.5 26.0 32.2 38.0 44.4 62.5 74.2 91.4 114.5 128.3 152.5 158.5 204.0 210.8 220.0 241.1 243.4 253.6 261.9

H. latifolia 0.0 0.1 0.1 0.8 2.2 4.9 5.9 6.1 8.1 9.0 11.0 23.2 36.0 61.3 70.8 87.3 97.1 110.4 115.0 120.5 128.9 144.2 158.7 161.8

H. bandaensis 4.4 5.6 7.0 8.8 10.0 15.9 16.0 18.8 20.1 26.0 33.4 48.0 59.6 81.3 106.0 117.2 134.0 135.0 144.9 148.9 168.2 173.2 177.3 205.2

H. densifolia 5.8 6.2 8.9 10.1 13.3 16.3 19.4 26.5 27.7 32.2 36.8 41.8 54.2 59.6 66.1 71.8 79.0 87.4 93.8 98.7 105.4 115.4 122.8 149.0

H. multiflora 5.2 5.9 9.0 12.5 16.5 19.6 23.1 25.8 29.4 33.1 37.3 42.1 44.8 49.3 49.4 51.4 55.8 55.0 57.3 59.8 60.1 62.0 65.4 67.0

Rata-rata pertambahan Minggu ke-2.7 tinggi/minggu (cm) 11.3 7.0 8.7 6.2

36


(3)

(4)

36

Lampiran 4 Kandungan Air Relatif (KAR) lima spesies Hoya

Spesies Hoya

Kandungan Air Relatif Kontrol (%)

Kandungan Air Relatif Kekeringan (%) Minggu ke-

0 7 14 28 0 7 14 28

H. verticillata 96.55 95.49 95.09 95.68 94.93 95.55 95.49 95.35

H. latifolia 94.27 93.00 96.25 97.87 95.97 94.83 95.77 95.50

H. bandaensis 94.27 93.00 96.25 97.87 89.74 83.66 83.64 82.59

H. densifolia 89.11 85.35 85.92 84.89 89.70 83.56 80.24 44.80

H. multiflora 85.22 62.74 66.23 70.59 87.94 72.20 61.72 50.70

Lampiran 5 Rata-rata Bobot Kering Tajuk dan Akar

Jenis tanaman Bobot Kering Tajuk (g) Bobot Kering Akar (g)

Kontrol Kekeringan Kontrol Kekeringan

H. verticillata 19.70 18.50 1.40 1.40

H. latifolia 26.00 21.00 1.60 1.60

H. bandaensis 23.00 20.00 1.40 1.10

H. densifolia 29.70 28.20 1.60 1.50

H. multiflora 26.20 23.00 7.00 5.80


(5)

37

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Serdang, 6 Februari 1987, putri ketiga dari 5

bersaudara dari Bapak Harsono dan Ibu Azmi. Pendidikan sarjana ditempuh di

Program Studi Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi Universitas

Bangka Belitung, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2012 penulis diterima di

Program Studi Biologi Tumbuhan Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan

pascasarjana yakni Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana IPB (HIMMPAS

IPB). Hasil penelitian ini sudah dipublikasikan di

International Journal of

Current Research in Biosciences and Plant Biology

(IJCRBP) volume 2 No. 7 pp.

101-

108 dengan judul “

Succulence Leaf of Hoya Species Influence the

Photosynthesis Type and Drought Avoidance

.


(6)