Uji Toksikopatologi Daun Mangium (Acacia Mangium Willd) Pada Mencit (Mus Musculus).

UJI TOKSIKOPATOLOGI EKSTRAK DAUN MANGIUM
(Acacia mangium Willd) PADA MENCIT (Mus musculus)

SELMA ANGGITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Toksikopatologi
Ekstrak Daun Mangium (Acacia mangium Willd) pada Mencit (Mus musculus)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Selma Anggita
NIM B04110031

ABSTRAK
Uji Toksikopatologi Daun Mangium (Acacia mangium Willd) pada Mencit (Mus
musculus). Di bawah bimbingan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan RITA
KARTIKA SARI.
Radikal bebas pada tubuh dapat diatasi dengan mengonsumsi makanan yang
mengandung antioksidan. Acacia mangium diketahui memiliki khasiat antioksidan
alami. Keamanan ekstrak daun mangium bagi tubuh perlu diuji. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui toksikopatologi dari pemberian ekstrak
daun mangium pada organ hati dan ginjal mencit (Mus musculus). Penelitian ini
menggunakan 6 ekor mencit jantan yang dibagi dalam 2 kelompok, kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan. Perlakuan diberikan sekali dalam sehari selama
7 hari. Selanjutnya, mencit dinekropsi, lalu organ diambil dan diproses
histopatologi. Parameter yang diamati dan dihitung adalah perubahan hepatosit
dan sel epitel tubulus proksimal yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi
lemak, dan nekrosis. Data dianalisis dengan uji ANOVA. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa ekstrak daun mangium menimbulkan efek toksik pada organ
hati, sedangkan pada organ ginjal tidak menimbulkan efek toksik. Hal ini
menjelaskan bahwa ekstrak daun mangium sebaiknya dikonsumsi dengan dosis
yang lebih rendah atau dalam jangka waktu yang tidak lama.
Kata kunci:Acacia mangium, antioksidan, toksikopatologi, hati, ginjal

ABSTRACT
Toxicopathology Test of Mangium Leaf (Acacia mangium Willd) in Mice (Mus
musculus). Undersupervision of DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and RITA
KARTIKA SARI.
Free radical in the body can be resolved by consume antioxidant. Acacia
mangium known has antioxidant effect although mangium leaf extract needs to be
tested in vivo. The aims of this research was to know liver and renal
toxicopathology of mangium leaf in vivo. Six male mice were used in this study
which divided into 2 groups, control group and treatment group. The treatment
was given once a day during 7 days. Mice were necropsy, then the organ was
collected and procecced for histopathology slides. The parameters observe for
toxicopathology were counting hepatocytes and tubular proximal epithelial cells
which have hydropic and fatty degeneration, also necrosis. The data were
analized by ANOVA test. The result showed that mangium leaf extract has mild

toxic effect in liver, while in renal has no toxic effect. This suggested that
mangium leaf extract should not consume in long time period or not in high
dosage.
Keywords: Acacia mangium leaf, antioxidant, toxicopathology, liver, renal

UJI TOKSIKOPATOLOGI EKSTRAK DAUN MANGIUM
(Acacia mangium Willd) PADA MENCIT (Mus musculus)

SELMA ANGGITA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi
yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Maret 2015
sampai bulan Juni 2015 adalah “Uji Toksikopatologi Ekstrak Daun Mangium
(Acacia mangium Willd.) pada Mencit (Mus musculus)”. Adapun penyusunan
skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Dewi Ratih Agungpriyono,
PhD, APVet selaku pembimbing I dan Dr Ir Rita Kartika Sari, MSi selaku
pembimbing II. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga penulis,
Papa, Mama, mas Bara, mas Gaga, mba Nek, Olaf, dan Rudolfo. Tania Mutiara
dan Rizky Rosilia selaku teman penelitian. Teman-teman penulis, Loki, Njeh,
Tyas, Eny, Faisal, serta teman-teman Ganglion FKH 48 atas segala doa dan
dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Semoga penulis dapat menghasilkan skripsi yang bermanfaat khususnya bagi
penulis, dan umumnya bagi pembaca.

Bogor, Oktober 2015
Selma Anggita


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Mencit

2

Mangium

3


Toksikopatologi

4

Histopatologi

4

Hati

4

Ginjal

5

METODE PENELITIAN

6


Waktu dan Tempat

6

Bahan dan Alat

6

Prosedur

7

Analisis Data

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

10


SIMPULAN DAN SARAN

14

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1
2

3
4

Hasil perhitungan rata-rata kenaikan berat badan dan konsumsi pakan
Hasil perhitungan perubahan hepatosit di sekitar area segitiga porta
Hasil perhitungan perubahan hepatosit di sekitar area vena sentralis
Hasil perhitungan perubahan hepatosit di sekitar area tubulus proksimal

10
11
12
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5


Daun Acacia mangium
Alur proses penelitian
Gambaran histopatologi hepatosit
Gambaran histopatologi sel epitel tubulus proksimalis
Gambaran histopatologi sel epitel tubulus proksimalis

3
7
9
9
10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Sertifikat Komisi Etik Hewan
Hasil statistik rata-rata kenaikan berat badan mencit
Hasil statistik konsumsi pakan mencit
Hasil statistik jumlah sel pada segitiga porta
Hasil statistik jumlah sel pada vena sentralis
Hasil statistik jumlah sel pada ginjal

18
19
19
20
21
22

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses bernapas dan beraktivitas, serta mengonsumsi makanan dan
minuman yang mengandung bahan pengawet, pewarna, dan pestisida dapat
memicu timbulnya radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas diawali oleh
reaksi oksidasi. Menurut Soeatmaji (1998), yang dimaksud radikal bebas (free
radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung elektron tidak
berpasangan. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa
tersebut sangat reaktif mencari pasangan dengan cara mengikat elektron molekul
yang berada di sekitarnya. Jika elektron yang terikat radikal bebas berasal dari
senyawa yang berikatan kovalen akan sangat berbahaya. Umumnya, senyawa
yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar (biomakromolekul),
seperti lipid, protein, maupun DNA. Radikal bebas dapat dihilangkan dengan
mengonsumsi asupan yang mengandung antioksidan. Menurut Syamsudin (2013),
antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat memperlambat atau mencegah
kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Antioksidan bekerja sebagai free
radical scavengers, mencegah dan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh
radikal bebas (Winarsi 2007).
Antioksidan terdapat di beberapa jenis sayuran dan buah-buahan, namun
produk tersebut kurang praktis. Produk lainnya seperti antioksidan sintetis dijual
dengan harga cukup mahal dan bersifat karsinogenik. Antioksidan alami kini
mulai banyak dikonsumsi seiring dengan peningkatan sifat karsinogenik pada
antioksidan sintetis (Amarowicz et al. 2000). Salah satu tumbuhan yang
mengandung senyawa antioksidan adalah mangium (Acacia mangium Willd).
Pohon mangium hanya dimanfaatkan kayunya untuk produk furnitur dan limbah
daunnya hanya dibiarkan di lahan hutan. Penelitian yang dilakukan Sari et al.
(2013) menunjukan bahwa ekstrak metanol daun mangium memiliki aktivitas
antioksidan yang kuat. Namun, pelarut metanol tidak dapat dikonsumsi. Bahan
pelarut untuk mengekstraksi daun mangium perlu dipilih yang aman untuk
dikonsumsi. BPOM (2010) mensyaratkan bahwa pelarut yang digunakan untuk
mengekstrak zat berkhasiat tumbuhan dalam aplikasi pembuatan sediaan obat
adalah air, etanol, atau campuran air dan etanol.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Rosilia (2014) menunjukkan bahwa
rendemen ekstrak daun mangium tertinggi diperoleh pada ekstraksi etanol 30%.
Begitu juga dengan nilai EC50 (Effective Consentration) ekstrak etanol 30% tidak
berbeda nyata dengan vitamin C. Menurut Shyur et al. (2005), EC50 adalah
konsentrasi efektif ekstrak yang mampu menangkap (menurunkan) konsentrasi
radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) sebesar 50%. Nilai EC50 yang
semakin rendah menunjukan aktivitas antioksidan ekstrak semakin tinggi.
Pengujian secara in vivo menunjukkan bahwa ekstrak daun mangium etanol 30%
dengan dosis 0.867 mg/kgBB efektif bersifat antioksidan karena dapat
menurunkan kadar malondialdehida (MDA) serum mencit dari 0.229±0.031
menjadi 0.090±0.055 µmol (Rosilia 2014). Namun, penelitian tersebut belum
dapat mendeteksi efek toksik yang mungkin dapat terjadi dari pemberian ekstrak
etanol 30% daun mangium.

2
Uji toksisitas pada obat herbal perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
efek merugikan dan menentukan batas dari pemberian obat. Hati dan ginjal
merupakan organ yang dapat mendeteksi toksisitas. Seluruh peredaran dalam
tubuh akan melalui penyaringan di ginjal dan penetralan racun di hati (Guyton
2006).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis toksikopatologi dari
pemberian ekstrak daun mangium pada organ hati dan ginjal mencit.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek
toksik dari ekstrak daun mangium.

TINJAUAN PUSTAKA
Mencit
Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah semua jenis hewan
dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam
berbagai kegiatan penelitian biologi dan kedokteran (Sulaksono et al. 1986).
Mencit adalah hewan pengerat (rodentia) yang cepat berkembangbiak dan mudah
dipelihara dalam jumlah banyak. Variasi genetiknya cukup besar serta sifat
anatomi dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik. Mencit hidup dalam
daerah yang cukup luas penyebarannya mulai dari iklim dingin, sedang maupun
panas dan dapat hidup terus-menerus dalam kandang atau secara bebas sebagai
hewan liar (Malole dan Pramono 1989).
Sistem taksonomi mencit (ISC 2015):
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodensia
Famili
: Muridae
Genus
: Mus
Species
: Mus musculus
Data fisiologis mencit (Malole dan Pramono 1989):
Berat badan dewasa
: Jantan 20-40 g dan Betina 25-40 g
Berat lahir
: 0.5-1.5 g
Temperatur
: 36.5-38 oC
Konsumsi makan
: 15 g/100g BB/hari

3
Konsumsi minum
Jumlah anak/ kelahiran
Umur sapih
Pernapasan
Detak jantung
Volume darah
Tekanan darah

: 15 ml/100g BB/hari
: 10-12 ekor
: 21-28 hari
: 94-163/menit
: 325-780/menit
: 76-80 ml/kg
: 113-147/81-105 mgHg

Mangium
Mangium di Indonesia dikenal dengan nama lain mange hutan, sabah
salwood, dan tange hutan. Secara internasional dikenal dengan nama black wattle,
hickory wattle, dan mangium (ISC 2014). Mangium merupakan tumbuhan asli
Indonesia Timur (Maluku dan Irian Jaya), Papua New Guinnea, dan Queensland.
Tumbuhan ini cepat tumbuh dan digunakan pada program pembangunan hutan di
daerah tropis maupun subtropis. Mangium (Gambar 1) memiliki beberapa
keunggulan yaitu kayu yang berkualitas baik, pohon cepat tumbuh, dan memiliki
daya toleransi yang tinggi terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan (NRC
1983). Taksonomi mangium (ISC 2014):
Kingdom
Filum
Subfilum
Kelas
Ordo
Famili
Subfamili
Genus
Spesies

: Plantae
: Spermatophyta
: Angiospermae
: Dicotyledonae
: Fabales
: Fabaceae
: Mimosoideae
: Acacia
: Acacia mangiumWilld.

Gambar 1 Daun Acacia mangium (Friday 2013)

4
Mangium mengandung senyawa bioaktif dengan aktivitas biologi yang
tinggi seperti antioksidan, antifungal, dan antibakteri (Yuniarti 2008). Beberapa
spesies mangium diketahui memiliki kandungan flavonoid, triterpenoid, saponin,
koumarin, tanin, karbohidrat, alkaloid dan atau nitrogen, dan komponen
sianogenik (Kalsom et al. 2001). Akar tanaman mangium mempunyai senyawa
yang bersifat antifungal (Hidayati et al. 2012). Menurut Rizanti (2014) ekstrak
kulit mangium mengandung senyawa antidiabetes karena mampu menghambat
enzim α-glukosidase. Penelitian yang dilakukan Rosilia (2014) menunjukkan
bahwa ekstrak etanol 30% daun mangium bersifat antioksidan.

Toksikopatologi
Toksikopatologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan struktural dan
fungsional dari sel, jaringan, dan organ yang diinduksi toksikan (obat, bahan
kimia industri, dan pertanian), toksin (mikotoksin dan fitotoksin), dan agen fisik
(panas dan radiasi). Toksikopatologi khususnya berhubungan dengan perubahan
morfologi atau struktural dari efek toksikan dan mekanisme terjadinya perubahan
tersebut. Prosedur dari toksikopatologi meliputi rancangan kerja, nekropsi, fiksasi,
dan histopatologi (Rousseaux 2005). Sebelum dilakukannya pemeriksaan
toksikopatologi, terlebih dahulu dilakukan uji toksisitas. Uji toksisitas menurut
BPOM (2014) adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem
biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Uji
toksisitas menggunakan hewan coba sebagai model berguna untuk melihat adanya
reaksi biokimiawi dan fisiologi pada manusia terhadap suatu sediaan uji.

Histopatologi
Histopatologi merupakan pemeriksaan mikroskopis dari perubahan sel,
jaringan, dan organ yang terjadi akibat proses penyakit. (Maynard et al. 2014).
Organ yang diperiksa secara histopatologi meliputi otak, pituitari, tiroid, timus,
paru-paru, jantung, hati, ginjal, limpa, adrenal, pankreas, testis, vesikula seminalis,
kantong kemih, indung telur, uterus, epididimis, usus, limfonodus, saraf tepi,
lambung, tulang dada, tulang paha, sumsum tulang belakang atau sekurangkurangnya lima organ utama, yaitu hati, limpa, jantung, ginjal, paru, dan ditambah
organ sasaran yang diketahui secara spesifik (BPOM 2014). Diagnosis
histopatologi dilakukan dengan menilai potongan jaringan blok parafin dengan
pewarnaan hematoksilin dan eosin. Jaringan berasal dari hasil biopsi atau eksisi
bedah yang dimasukkan ke dalam larutan fiksasi (Sarjadi 1994).

Hati
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh yang memiliki beberapa fungsi
dasar, yaitu pembentukan empedu, penyimpanan dan pelepasan karbohidrat,
pembentukan urea, pembuatan protein plasma, berhubungan dengan metabolisme
lemak, inaktivasi sejumlah hormon polipeptida, pengurangan dan konjugasi

5
hormon korteks adrenal dan steroid gonads, detoksifikasi banyak obat dan toksin
(Ganong 1995). Darah yang berasal dari rongga perut dan usus mengalir masuk
pertama ke vena porta, darah tersebut mengandung banyak zat penting seperti
karbohidrat, lemak, dan vitamin yang dapat diserap serta disimpan dalam hati
selama dibutuhkan (Sulistianto et al. 2004).
Lobulus hati dibagi menjadi tiga zona yang dapat menerima oksigen. Zona I
(periportal) menerima darah yang kaya akan oksigen dari vena porta dan arteri
hepatika yang berdekatan. Darah masuk melalui sinusoid melewati zona II
(midzonal) ke zona III (sentrolobular). Darah yang masuk zona III memiliki
sedikit oksigen (Barash et al. 2013). Sel utama hati adalah hepatosit yang akan
membentuk unit struktural yang disebut lobulus hati (Samuelson 2007). Sel
Kupffer merupakan sistem retikuloendotelial yang memiliki kemampuan untuk
memfagosit mikroorganisme dan material asing dalam darah. Sel ini memiliki inti
yang besar dan pucat serta sitoplasma yang lebih banyak dengan cabang yang
meluas atau melintang di dalam sinusoid hati (Kanel dan Korula 1992).
Hati sebagaimana fungsinya sebagai organ detoksifikasi, maka berperan
penting dalam menyaring zat toksik maupun benda asing yang masuk melalui
darah (Guyton 2006). Hati berperan dalam proses detoksifikasi dan ekskresi bahan
xenobiotic (zat-zat toksik), namun dalam jumlah yang terbatas. Bila zat toksik
melebihi batas kemampuan detoksifikasi, maka akan timbul berbagai gangguan,
misalnya lipidosis, nekrosis, dan fibrosis. Degenerasi pada hati dapat disebabkan
oleh adanya perubahan kromosom yang dapat diinduksi oleh toksisitas suatu agen,
waktu paparan agen, dan interaksi agen asing dengan protein serta enzim yang
bertentangan dengan mekanisme pertahanan sehingga dapat menyebabkan atrofi
dan nekrosis hepatosit (Abdelhalim dan Jarrar 2011). Bentuk kerusakan struktur
hati pada preparat histopatologi yang dapat ditemukan yaitu terdapat sel nekrosis
pada sentrolobuler, sel nekrosis pada segitiga porta, degenerasi lemak pada
hepatosit sentro-perilobuler, sinusoid ditemukan melebar, dan vena sentralis
terdapat polymorphonuclear cell (Lazuardi 2008). Pada sel hepatosit yang
mengalami nekrosis dapat terjadi perubahan lisis dan perubahan inti sel. Pada
hepatosit yang mengalami degenerasi lemak, akumulasi lemak atau trigliserida
dalam sitoplasma dari hepatosit dikenal sebagai fatty liver, fatty change, atau
hepatic lipidosis. Hepatosit sering diamati sehubungan dengan peningkatan
trigliserida pada awal kerusakan karena banyak fungsi hati yang berhubungan
dengan metabolisme lemak (Jones et al. 2006).

Ginjal
Ginjal memiliki dua fungsi utama, pertama untuk mengekskresi hasil akhir
dari proses metabolisme tubuh dan mengontrol konsentrasi dari seluruh cairan
tubuh. Sebagai organ yang menjaga kestabilan cairan dan asam basa tubuh, maka
ginjal berperan pula sebagai organ yang mendeteksi toksisitas dalam tubuh selain
hati. Ginjal terdiri dari bagian korteks yang berwarna coklat kemerahan gelap dan
area medula yang lebih terang (Samuelson 2007). Setiap ginjal terdiri dari satu
hingga dua juta nephron yang merupakan unit fungsional dari ginjal. Setiap
nephron mencakup glomerulus, tubulus proksimal, tubulus distal, connecting
segment, dan duktus kolektifus (Lennan dan Cheng 2011).

6
Zat toksik masuk ke dalam ginjal melalui sistem sirkulasi. Darah masuk ke
dalam glomerulus melalui arteri aferen dan meninggalkan glomerulus melewati
arteri eferen. Glomerulus adalah jaringan yang dibungkus oleh kapsula Bowman
yang berfungsi memfiltrasi cairan. Cairan yang terfiltrasi melalui glomerulus
kemudian melewati tubulus proksimal, masuk segmen tipis yang disebut lengkung
Henle, kemudian masuk tubuli distal dan terakhir dikumpulkan dalam tubulus
kolektifus. Darah yang melalui tubulus sebagian besar diserap kembali oleh
kapiler peritubular, adapun air dan materi yang tidak diserap kembali akan
diekskresikan sebagai urin (Guyton 2006).
Pengamatan preparat histopatologi yang dilakukan adalah menghitung area
tubulus ginjal terutama bagian tubulus proksimal dan tubulus distal yang normal,
mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hialin, dan nekrosis.
Degenerasi hidropis ditunjukkan dengan adanya peningkatan ukuran dan volume
sel oleh air karena kegagalan sel dalam mempertahankan homeostasis dan
meregulasi pengeluaran cairan. Akumulasi lemak atau trigliserida dalam
sitoplasma dari sel dikenal degenerasi lemak (Jones et al. 2006). Degenerasi hialin
mengindikasikan terjadinya kelainan ekskresi protein yang kemudian diserap oleh
tubulus. Secara mikroskopik, sel epitel tubulus akan tampak seperti granul
eosinofilik yang terang. Sel nekrosis yang dihitung adalah berdasarkan terjadinya
piknosis, karyorheksis, karyolisis, dan hilangnya inti pada sel tubulus ginjal.
Piknosis yaitu keadaan nukleus mengecil, gelap, homogen, dan bulat. Piknosis
merupakan lanjutan penggumpalan kromatin dari awal degenerasi. Karyorheksis
yaitu keadaan pembungkus nukleus ruptur dan fragmen nukleus keluar ke
sitoplasma. Karyolisis yaitu keadaan nukleus menjadi pucat akibat terputusnya
kromatin pada DNA dan RNA. Hilangnya inti yaitu tahap lanjutan dari karyolisis
di mana nukleus benar-benar menghilang (McGavin dan Zachary 2007).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor pada bulan
Maret 2015 sampai Juni 2015.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih galur
DDY, ekstrak etanol 30% daun mangium, pakan mencit, air minum, Ketamin,
Xylazine, Buffered Neutral Formalin 10% (BNF 10%). Pembuatan preparat
histopatologi menggunakan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan 100%), xylol,
ewit, haematoksilin, eosin, parafin, dan cairan perekat.
Alat-alat yang digunakan adalah 2 kandang mencit (box plastic, tutup
kandang anyaman kawat, panggung dari bahan kawat sebagai alas, tempat pakan,
danbotol minum), sarung tangan latex, timbangan digital, spoit, micro syringe,
sonde lambung, alat bedah minor (gunting, pinset anatomis, pinset cirrhurgis,

7
scalpel), pot plastik. Pembuatan preparat histopatologi menggunakan tissue
cassette, mikrotom, gelas objek, kaca penutup, dan mikroskop. Alat pendukung
lainnya berupa digital eye piece camera, software ImageJ, dan komputer.

Prosedur
Prosedur penelitian (Gambar 2) diawali dengan mengajukan proposal
penggunaan hewan percobaan mencit ke Komisi Etik Hewan dan telah mendapat
sertifikat persetujuan Komisi Etik Hewan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
dengan SKEH Nomor: 028/KEH/SKE/IV/2015.

Pengajuan proposal
ke Komisi Etik
Hewan

Pemberian
perlakuan dan
kontrol selama 7
hari

Pengambilan organ
hati dan ginjal

Analisis data

Pemeriksaan
toksikopatologi

Pembuatan preparat
dan pewarnaan
histopatologi

Gambar 2 Alur proses penelitian

Pemberian Ekstrak dan Pengambilan Organ
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit
putihjantan berumur 2 bulan dengan berat badan berkisar 20-40 g. Mencit
diadaptasikan selama 2 minggu sebelum dilakukan pengujian. Pakan dan minum
diberikan ad libitum. Mencit yang digunakan sebanyak 6 ekor dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu 3 ekor kelompok kontrol dan 3 ekor kelompok perlakuan.
Kelompok perlakuan diberikan ekstrak etanol 30% daun mangium dosis 0.867
mg/kgBB dan kelompok kontrol hanya diberikan air, masing-masing kelompok
diberi sekali dalam sehari selama 7 hari. Dosis 0.867 mg/kgBB berdasarkan
pengujian in vivo dari penelitian Rosilia (2014). Setiap hari berat badan, nafsu
makan, rambut, dan perilaku mencit diamati. Pada hari ke-8 dilakukan
pengambilan organ hati dan ginjal. Mencit dianestesi dengan kombinasi Ketamin
(20 mg/kgBB) dan Xylazine (8 mg/kgBB) melalui peritoneum sebelum
dinekropsi. Organ hati dan ginjal diambil kemudian dimasukkan ke dalam pot

8
plastic berisi buffered neutral formalin (BNF) 10% untuk selanjutnya dilakukan
proses pembuatan preparat histopatologi.

Pembuatan Preparat dan Pewarnaan Histopatologi
Organ hati dan ginjal yang telah difiksasi dalam larutan BNF 10% dipotong
sekitar 0.3-0.5 mm, kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette. Selanjutnya
jaringan didehidrasi, air pada jaringan dihilangkan secara bertahap dengan alkohol
bertingkat (70%, 80%, 90%, dan 100%). Setelah dehidrasi, jaringan diberi xylol
selama 2-3 jam untuk tahap penjernihan (clearing). Kemudian jaringan diinfiltrasi
dengan cairan parafin. Selanjutnya tahap embedding, penanaman jaringan ke
dalam cetakan parafin. Tahap section cutting (microtomy), blok parafin diiris
dengan mesin mikrotom dengan ketebalan sekitar 3-4 µm. Irisan tersebut
diletakkan di atas gelas objek yang telah diolesi ewit (Gunasegaran 2010).
Proses pewarnaan diawali dengan deparafinisasi, yaitu preparat diberi xylol
selama 3 menit. Pewarnaan hematoksilin selama 6−7 menit, kemudian dialiri air
mengalir selama 1 menit. Selanjutnya preparat diberi eosin selama 1 menit,
kemudian dialiri air selama 1 menit. Pada proses dehidrasi, preparat diberi alkohol
bertingkat 70%, 80%, 95%, dan 100%. Terakhir preparat ditetesi cairan perekat
dan ditutup dengan kaca penutup. Hasil pewarnaan diamati di bawah mikroskop
(NSH 2001).

Pemeriksaan Toksikopatologi
Pengamatan pada hati dilakukan dengan menghitung jumlah hepatosit
(Gambar 3) yang normal, hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis,
degenerasi lemak, dan nekrosis pada 10 lapang pandang, masing-masing di sekitar
segitiga porta dan vena sentralis. Pengamatan pada organ ginjal dilakukan dengan
menghitung jumlah sel epitel tubulus proksimal (Gambar 4 dan 5) yang normal,
sel yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis pada 10
lapang pandang. Pengamatan menggunakan kamera mikroskop (digital eye piece
camera) dengan perbesaran 40x10. Perhitungan sel dilakukan menggunakan
software ImageJ.

9

Gambar 3 Gambaran histopatologi hepatosit. a= sel normal; b= sel
degenerasi hidropis. Pewarnaan HE.

Gambar 4 Gambaran histopatologi sel epitel tubulus proksimalis. a= sel
normal; b= sel degenerasi hidropis; c= sel nekrosis. Pewarnaan
HE.

10

Gambar 5 Gambaran histopatologi sel epitel tubulus proksimalis. a= sel
degenerasi lemak. Pewarnaan HE.

Analisis Data
Data histopatologi dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung
persentase sel yang normal, mengalami degenerasi dan nekrosis dengan metode
Rancangan Acak Lengkap (RAL), kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berat Badan dan Konsumsi Pakan
Pengamatan selama 7 hari berdasarkan perilaku dan rambut pada mencit
yang diberi perlakuan serta kontrol tidak menunjukkan adanya kelainan.
Pengamatan juga dilakukan dengan menimbang berat badan dan konsumsi pakan
mencit.
Tabel 1 Hasil perhitungan rata-rata kenaikan berat badan mencit dan konsumsi
pakan selama 7 hari
Rata-rata (g)
Kelompok
Kenaikan
Konsumsi Pakan
Berat Badan
Perlakuan
0.42 ± 0.24a
12.32 ± 2.55a
Kontrol
0.32 ± 0.15a
12.12 ± 4.02a
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
(p