Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan Tanaman Acacia mangium Willd

(1)

LAPUK KAYUTERAS PADA TEGAKAN

HUTAN TANAMAN

Acacia mangium

Willd

SIMON TAKA NUHAMARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan Tanaman Acacia mangium Willd” adalah gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Pustaka Acuan di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2008

Simon Taka Nuhamara


(3)

ABSTRACT

SIMON TAKA NUHAMARA. Heart rot on Acacia mangium Willd Forest Stand. Under the direction of SOETRISNO HADI, ENDANG SUHENDANG, MAGGY T. SUHARTONO, WASRIN SYAFII and ACHMAD

Heart rot on Acacia mangium Willd forest stand is critical especially for mechanical or construction wood based purposes. Failure on understanding the nature and the way it get established into the tree stem may cause high economic consequences. Anticipating such a worse condition, studies on cull factor in relation to age was initiated. Eventually the study is aimed at healthy cutting cycles of the clear and purposely stand establishment. The study had been carried out at BKPH Parung Panjang, KPH Bogor. Following the cull factor measurement technique combined with the pathological rotation estimation procedures, it was found that the healthy volume was 0.0608 m3 and the cull factor was 29.73 %. The figures were at the age of eight years. Therefore, the pathological rotation cycle for the A. mangium stand in the area could be fitted at eight years, as being adopted so far. This is true, when the plantation is established for the production of wood, provided that the tending operation is optimal. Cultural diagnosis was used to identify the isolated heart rot decaying fungi of Fomes connatus, Bjerkandera adusta, Phellinus conchatus and unidentified one (isolate no 3).All of them belong to Polyporaceae except for Phellinus conchatus which belongs to Hymenochaetaceae but still in the class of Basidiomycetes. The most common damage types observed during the assessment period were consecutively: the branch stub, open wound on the trunk, decay and broken root. Extractives obtained from the fresh cut of A.mangium heartwood of different provenances, indicated weak to moderate but positive and differential antifungal activities to the P. conchatus heart rot decaying fungus. Applying the United State Department of Agriculture (USDA) Forest Health Monitoring (FHM) indices, the general performance of the A. mangium forest stand in Parung Panjang is found to be in healthy criteria. The damage indices for all stand ages investigated varied from 2.77 (lowest) to 5.16 (highest) as compared to the 21.18 value, the possible highest FHM tree index.

Key words: Acacia mangium, heart rot, rotation, construction wood, environment, forest health


(4)

RINGKASAN

SIMON TAKA NUHAMARA.

Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan

Tanaman A

cacia mangium

willd. Dibimbing oleh

SOETRISNO HADI, ENDANG SUHENDANG, MAGGY T. SUHARTONO, WASRIN SYAFII dan ACHMAD

Lapuk kayuteras (LKT) merupakan penyakit khas kehutanan. Penyakit tersebut khas karena mikroba penyebabnya bukan termasuk kategori patogen biotrof sebagaimana lazim dikenal, melainkan tergolong sebagai nekrotrof. Jaringan kayu yang diserang kelompok mikroba unik ini merupakan jaringan kayu mati pohon hidup dan dikenal sebagai kayuteras.

Kayuteras merupakan komponen kayu penting untuk kebutuhan yang mementingkan keawetan dan kekuatan sebagai kualitas yang disyaratkan, misalnya bahan untuk kayu pertukangan dan / atau kayu konstruksi. Untuk mendapatkan kayu yang mengandung kayuteras seperti dimaksud, umumnya diperlukan waktu. Dengan perkataan lain umur tegakan atau daur tebang lebih panjang dibandingkan dengan tegakan untuk keperluan bahan kayu untuk kertas misalnya.

Dengan umur atau daur tebang tegakan lebih panjang, resiko batang pohon terluka oleh satu dan lain sebab menjadi lebih terbuka. Pada gilirannya luka menjadi jalan masuk berbagai mikroba termasuk fungi pelapuk kayuteras. Umumnya tidak disadari oleh kebanyakan rimbawan, bahwa luka yang terjadi ketika pohon atau tanaman berkayu masih sangat muda sekalipun dapat dan memang menjadi awal timbulnya LKT.

Luka pada pohon muda tadi, dapat diatasi dengan mudah oleh pohon melalui mekanisme pembentukan kalus, bergantung pada lebar dan dalamnya luka. Pohon terluka dapat sembuh secara alami. Dari luar pohon tidak tampak gejala yang biasa dikenal sebagai indikator penyakit biotrofi. Sesungguhnya unsur fungi pelapuk kayu seperti spora telah memperoleh kesempatan masuk ketika pohon terluka. Spora kelompok fungi ini tidak dapat langsung berkembang tetapi mampu bertahan hidup (dorman) karena dinding sporanya umumnya terdiri atas khitin. Spora ini mampu bertahan lebih dari sepuluh tahun, sampai tiba saatnya pohon


(5)

2 tersebut melalui proses alamiah mentransformasi sel-sel hidup menjadi sel-sel mati berupa jaringan yang dikenal sebagai kayuteras.

Ketika kayuteras mulai terbentuk, kadar air ideal jaringan kayu sangat menentukan peluang fungi pelapuk kayuteras (FPKT) untuk berkecambah dan berkembang. Perkembangan FPKT dan proses pelapukan selanjutnya juga ditentukan oleh sifat antifungi zat ekstraktif yang dikandung atau dihasilkan oleh jenis pohon tertentu. Jika ternyata berbagai kondisi yang ada lebih cocok untuk perkembangan FPKT, maka proses pelapukan akan berlangsung terus. Tiap kali kayu baru dibentuk, kayu teras yang telah berasosiasi dengan FPKT akan terus menjadi sasaran pelapukan. Dari luar pohon tidak tampak gejala yang berarti bahkan sering sama sekali tidak dapat dideteksi. Riap diameter maupun tinggi terus bertambah dan pelapukan kayuteras pun terus berlanjut sekali telah pernah dimulai.

Penelitian dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang besar persen kayu hilang serta hubungannya dengan umur tegakan. Fungi penyebab LKT, indikator mekanisme terjadinya LKT (jalan masuk FPKT), seberapa kuat aktivitas antifungi zat ekstraktif terhadap FPKT dan akhirnya ingin pula diketahui kondisi kesehatan tegakan sebagai potret/ gambaran secara umum tentang pengelolaan tegakan sesuai tujuan pembangunan tegakan hutan tanaman A. mangium di BKPH Parung Panjang.

Tiap umur tanaman mulai dari tanaman umur 2 tahun hingga tanaman umur 12 tahun dibuat dua petak contoh dengan bentuk dan ukuran petak contoh menurut metode FHM, 1997 yang disesuaikan. Petak contoh ditentukan secara purposive. Volume kotor, volume lapuk dan volume bersih dihitung berdasarkan metode Bakshi, 1997 dan sesuai dengan rumus Newton diacu Philip (1994). Hasil pengukuran volume bersih ini disajikan secara grafis dan juga dibandingkan berdasarkan uji t dengan volume bersih tegakan umur delapan tahun di areal penebangan yang sedang berjalan sesuai rencana Perum Perhutani.

Bentuk hubungan volume bersih dengan umur tegakan diperoleh sebagai berikut :


(6)

3 Y = -0.01885 + 0.01802x - 0.001077 x2( R2 =0.920). Daur tebang tegakan adalah 8 tahun. Besar persen kayu hilang (cull factor) = 29.73 % untuk umur 8 tahun atau 31. 25 % untuk umur 9 tahun.

Identifikasi FPKT menggunakan metode Nobles, 1948; Bakshi dkk, 1969 dan Stalpers, 1978. FPKT terisolasi serta yang diidentifikasi adalah Fomes connatus, Bjerkandera adusta, Phellinus conchatus dan isolat nomor 3 (fungi pelapuk kayuteras tidak teridentifikasi)

Jalan masuk (infetion court) adalah melalui cabang patah/ mati, luka terbuka pada batang dan akar yang luka/patah.

Zat ekstraktif yang diperoleh melalui fraksinasi bertingkat mempunyai aktivitas antifungi (AAF) pada tingkat lemah hingga sedang yakni :

0 <AAF 25 % hingga 50 % AAF 25 %

Kondisi kesehatan tegakan hutan tanaman A. mangium di BKPH Parung Panjang saat penilaian dilakukan tergolong kriteria sehat yakni dengan nilai indeks kerusakan tingkat tegakan berkisar dari 2.77 (terendah) sampai 5.16 (tertinggi). Nilai ini masih jauh lebih rendah dari nilai indeks kerusakan tertinggi yang dapat diberikan menurut metode FHM USDA Forest Service 1997.

Besar persen kayu hilang sebesar 29.73 % hingga 31. 25 % sesungguhnya dapat ditekan apabila pemeliharaan tegakan telah berjalan dengan baik misalnya melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Jika hal ini dapat terjadi (sesuatu yang niscaya), maka daur tebang tegakan hutan tanaman A. mangium di BKPH Parung Panjang dapat diperpanjang menjadi lebih dari 8 tahun dan dengan demikian pada saat kualitas kayu pertukangan yang menjadi tujuan Perum Perhutani tercapai, kualitas lingkungan akan terjaga dan dengan kualitas daya dukung lingkungan yang terjaga maka kelak kelestarian hutan berupa kayu pun akan terjamin. Pengelolaan hutan dan pengendalian penyakit termasuk LKT harus diperlakukan sebagai pengelolaan sistem/ekosistem.

Paradigma pengelolaan hutan sehat secara terpadu (Integrated forest health management) sangat relevan dengan kondisi terbaru kehutanan Indonesia. Kebutuhan akan bahan asal kayu dalam jumlah dan kualitas yang makin tinggi


(7)

4 tidak perlu dipertentangkan bahkan dapat dipaduserasikan, jika pemahaman tentang lapuk kayuteras dapat menjadi satu acuan.

Kata kunci: Acacia mangium, lapuk kayuteras, daur tebang, kayu pertukangan,


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(9)

LAPUK KAYUTERAS PADA TEGAKAN

HUTAN TANAMAN

Acacia mangium

Willd

SIMON TAKA NUHAMARA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(10)

Judul Disertasi : Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan Tanaman

Acacia mangium Willd

Nama Mahasiswa : Simon Taka Nuhamara Nomor Induk : 985092

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, M.Sc.F. Ketua

Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. Dr. Ir. Achmad, MS

Anggota

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Maha Pengasih atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2005 ini ialah tegakan hutan sehat dengan topik lapuk kayuteras, dan judul Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan Tanaman Acacia mangium

Willd.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr.Ir Soetrisno Hadi, MScF, Prof. Dr. Ir Endang Suhendang, MS, Prof Dr. Ir Maggy T. Suhartono, Prof Dr. Ir. Wasrin Syafii, MAgr, dan Dr. Ir Achmad, MS selaku komisi pembimbing serta Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS mantan Dekan Fakultas Kehutanan atas dorongan dan dukungannya selama mengikuti pendidikan. Demikian pula ucapan terima kasih diucapkan kepada Dr. Ir Hendrayanto, MAgr Dekan Fakultas Kehutanan atas dukungan dan saran-sarannya; Dr Ir Rinekso Soekmadi, MSc dan Dr Ir Irdika Mansyur, M.Sc.For., Dr. Ir Lailan Syaufina, MSc., masing-masing sebagai Ketua Program Studi IPK, Ketua dan Sekretaris Departemen Silvikultur atas segala dukungan serta saran-sarannya. Demikian juga ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr Ir. Suprianto DEA, Dr. Ir. Charles B. Simangunsong, MSc., Dr E. Togu Manurung,MSc., Prof. Dr.Ir. Bambang H. Saharjo, MAgr., atas berbagai dukungan yang tak ternilai. Demikian pula dukungan tak ternilai Ir. Ragil S.B. Irianto MS tentang material penelitian. Ucapan terima kasih yang tulus disampaikan kepada Dr. Ir Satyawati Hadi, MSc atas semua dukungan dan penghargaan atas segala pengorbanannya selama mendampingi suami Prof. Dr. Ir Soetrisno Hadi MSc.F selama ini.

Terima kasih yang tulus juga penulis ucapkan kepada Bapak Supriatin (Laboratorium Kimia Kayu Fakultas Kehutanan, IPB); Bapak Iwa Sutiwa, (Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Pusat Antar Universitas IPB) Bapak Dadang (Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB), Ir. Ika (Laboratorium Biokimia, Pusat Antar Universitas, IPB) dan Dra Endang Purwaningsih, MSc Laboratorium Zoologi, Dr Sunaryo dan Dr Erlin Rachmat, Laboratorium Morfologi dan Anatomi LIPI, Cibinong atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Tidak lupa ucapan terima kasih ditujukan kepada Saudara Achmad Fatoni dari Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan dan Saudara Ronny Gultom atas bantuannya yang tidak terhingga dalam banyak hal.

Terima kasih ditujukan kepada Pemerintah, lewat Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa serta dana Hibah Bersaing yang telah penulis terima selama ini. Demikian pula kepada Perum Perhutani atas izin untuk melaksanakan penelitian di KPH Bogor.

Ucapan terima kasih diucapkan pula kepada kedua orang tua penulis almarhum dan kepada seluruh keluarga: istri Trini Suprapti, anak Prasetyanto Taka Nuhamara SE, menantu Kristiana Puspitorini SE, cucu Ezra C.S.R Nuhamara; adik-adik Dominggus Karang Nuhamara BSc.,Dr. Daniel Nuhamara, MTh., Ir. Samuel Nuhamara, MPH., Yuli Emu Nuhamara dan Ir. Melkianus Nuhamara, SU atas segala doa dan kasih sayang mereka.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2008


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lai Lunggi, Sumba, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 29 September 1942 sebagai anak pertama dari enam bersaudara pasangan Paulus Pura Nuhamara (alm) dan Kaita Riwa (alm).

Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Payeti I tamat tahun 1958. Penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SMP Kristen Payeti dan tamat tahun 1961. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat atas SMA Katolik Andaluri dan SMA Katolik Suryadikara, dan tamat tahun 1964. Penulis diterima di Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana dan tamat tahun 1979 dan memperoleh ijazah Sarjana Biologi. Tahun 1988 penulis diterima di Program Master Program Studi Entomologi dan Fitopatologi Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan tamat tahun 1992. Tahun 1998 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan untuk program Doktor pada Institut Pertanian Bogor.

Riwayat pekerjaan: penulis pernah bekerja sebagai guru SMP Katolik tahun 1964-1965, tahun 1973 hingga tahun 1987 penulis bekerja di BIOTROP SEAMEO, dan tahun 1980 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Tahun 2007 bulan September penulis memasuki masa pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Bogor, Mei 2008

Simon Taka Nuhamara


(13)

2

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir Elis Nina Herlyana, MS.

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Lisdar I Sudirman Dr. Erdi Santoso, MS.


(14)

ISI

Hal

DAFTAR TABEL. ... xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xix

1 PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ... B. Tujuan Penelitian... C. Manfaat Penelitian... D. Hipotesis Penelitian ... E. Ruang Lingkup Penelitian ... 1 5 5 6 6 2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... A. Sejarah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor... B. Letak dan Luas... C. Keadaan Hutan ... D. Tanah dan Iklim ... E. Lokasi Penelitian dan Riwayatnya... 8 8 8 9 10 11 3 DAUR PATOLOGIS TEGAKAN HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd ...14

A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Analisis Data ... D. Hasil ... E. Pembahasan ... F. Simpulan ... 14 30 34 35 36 38 4 FUNGI PELAPUK KAYUTERAS PADA Acacia mangium Willd ...39

A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Hasil ... D. Pembahasan ... E. Simpulan ... 39 42 51 66 69 5 DETEKSI JALAN MASUK FUNGI PELAPUK KAYUTERAS...70

A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Hasil ... D. Pembahasan ... E. Simpulan ...

70 75 76 77 78 xiii


(15)

2

6 UJI ANTI FUNGI ZAT EKSTRAKTIF KAYU Acacia

mangium Willd TERHADAP FUNGI PELAPUK KAYUTERAS... 79

A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Hasil ... D. Pembahasan ... E. Simpulan ... 79 81 88 93 95 7 KONDISI KESEHATAN TEGAKAN A. mangium DI BAGIAN KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (BKPH) PARUNG PANJANG, KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) BOGOR 96 A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Hasil ... D. Pembahasan ... E. Simpulan ... 96 97 103 107 108 SINTESIS HASIL-HASIL PENELITIAN... 109

SIMPULAN ... 113

PUSTAKA ACUAN... 115

LAMPIRAN ... 122


(16)

DAFTAR TABEL

Hal 1 Kelas Perusahaan A .mangium di BKPH Parung Panjang ...1 2 Proses terjadinya kayugubal menjadi kayuteras pada marga yang

berbeda menurut umur ... 25

3 Contoh Penentuan Daur Patologis Tegakan Fir (Abies sp.) di Wilayah Franklin River, British Columbia...

28

4 Volume pohon dan kayu –hilang berdasarkan umur tanaman...35 5 Karakteristik fungi hasil diagnosis biakan...51 6 Tabel 6 Klasifikasi tingkat aktivitas antifungi (AAF) zat ekstraktif ...88 7 Kandungan zat ekstraktif rata-rata kayu Acacia mangium provenans

Queensland, Papua Nugini dan Subanjeriji pada tiap Jenis bahan pelarut ...

89

8 Pertumbuhan Phellinus conchatus pada berbagai zat ekstraktif kayu A. mangium dari beberapa provenans dalam bahan pelarut dan konsentrasi berbeda selama 12 hari (rata-rata dari n = 3)...

90

9 Kode lokasi untuk berbagai bagian organ pohon tempat kerusakan ditemukan ...

99

10 Kode, tipe-tipe kerusakan serta nilai ambang keparahan untuk berbagai tipe kerusakan yang ditemukan pada pohon ...

100

11 Kode tipe kerusakan, kelas serta kode keparahan...101 12 Pembobotan indeks kerusakan menurut tipe, lokasi dan keparahan...103


(17)

DAFTAR GAMBAR

Hal 1 Diagram alir kerangka penelitian dan cakupan penelitian...7 2 Peta lokasi daerah penelitian, berikut penyebaran plot contoh...12 3 Hubungan antara umur tegakan Fir (Abies sp.) dengan volume

kotor, volume lapuk dan volume bersih (Buckland dkk,1949)... 29

4 Cara pengukuran volume sortimen kayu bulat 2 m ... 32 5 Pola lapuk kayuteras, (1) pola tidak teratur, dengan satu noda, (2)

pola tidak teratur, dengan lebih dari satu noda tetapi yang berkembang dari lapuk yang sama, (3) lapuk mengelilingi kayu yang masih utuh, (4) noda-noda lapuk yang berbeda-beda (Bakshi,

1977). ...33

6 Hubungan antara umur pohon A. mangium di BKPH Parung

Panjang dan volume kotor, volume lapuk dan volume bersih ...36 7 Skema yang memperlihatkan urutan proses isolasi dari batang A.

mangium yang kayuterasnya telah lapuk hingga menghasilkan isolat

yang diduga merupakan fungi pelapuk kayuteras...43 8 Skema yang memperlihatkan urut-urutan proses isolasi A.

Potongan batang A. mangium yang kayuterasnya lapuk dengan ciri lapuk putih. B. Serpihan kayuteras dari A dengan permukaan memperlihatkan miselium berwarna putih...44 9 Bagan alir identifikasi fungi pelapuk kayuteras ...49 10 Bagan pengujian biokemis dan pengamatan mikroskopis fungi

pelapuk kayuteras menurut Bakshi dkk,1969 dan Stalpers, 1978. ...50 11 Kantong plastik (A) berisi serbuk gergaji dan diperkaya dengan

berbagai bahan kimia standar (Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas, IPB) (a) dan tubuh buah fungi Fomes connatus (b). Himenofor F. connatus(B) memperlihatkan tabung-tabung (a) dan mulut tabung atau pori (b) ... 52 12 Hifa yang membesar dan berkelok-kelok ditunjukkan oleh anak

panah (A), Sel kutikuler ditunjukkan oleh anak panah (B) ...53 13 Biakan fungi pelapuk kayuteras: a. Fomes connatus’ b.Bjerkandera

adusta, c. Trametes gibbosa dan d Phellinus (Fomes) conchatus (umur biakan 6 minggu) ...54


(18)

2 14 A. Fenoloxidase : Uji Bavendamm

a. F. connatus; b.B. adusta; c. T. gibbosa; d.P. (F) conchatus:

B. Uji enzim : 1.laccase; 2.tyrosinase; 3. peroxidase 4. terjadi

perubahan warna akibat pemberian KOH ...55 15 Kantong plastik berisi serbuk gergaji dan diperkaya dengan

berbagai bahan kimia standar Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas, IPB dan tubuh buah fungi Bjerkandera adusta (anak panah). ...57 16 Himenofor Bjerkandera adusta(A) memperlihatkan mulut tabung

atau pori (dengan penunjuk). Uji Bavendamm (ada zona reaksi baik

dengan asam tanat B1) maupun dengan asam galat B2...58 17 Adanya reaksi laccase A1, reaksi peroksidase A3, sel kutikuler B1,

sambungan apit B2dan oidia B3... 59 18 Hifa dengan percabangan yang tidak seimbang (A), khlamidospora

(B1) dan sambungan apit B2...60 19 Kantong plastik (A) yang berisi serbuk gergaji dan diperkaya

dengan berbagai bahan kimia standar Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas , IPB dan tubuh buah fungi Trametes gibbosa (anak panah). Himenofor Trametes gibbosa (B)

yang memperlihatkan mulut tabung atau pori ...61 20 Zona difusi pada cawan dengan penambahan asam tanat A1, tetapi

tidak ada zona difusi pada cawan dengan penambahan asam galat A2, , oidia B1dan sambungan apit B2...62 21 Kantong plastik (A) berisi serbuk gergaji dan diperkaya dengan

berbagai bahan kimia standar Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas , IPB dan tubuh buah fungi Phellinus conchatus (anak panah). Himenofor Phellinus conchatus(B) yang memperlihatkan mulut tabung atau pori (anak panah)...64 22 Enzim laccase (A1), enzim peroxidase (A3) perubahan warna karena

pemberian KOH (A4), hifa bagian ujung yang membesar (B1), dan sambungan apit B2 ...65 23 Siklus penyakit busuk hati (lapuk kayuteras) (Manion, 1981) ...71 24 Model suatu batang pohon yang terbagi ke dalam

kompartemen-kompartemen oleh lingkaran pertumbuhan dan sel-sel jari-jari (Shigo, 1977 diacu Blanchard dan Tattar, 1981)...73


(19)

3 25 Model-model dinding suatu tanggapan pohon terhadap pelukaan

(Shigo, 1977, diacu Blanchard dan Tattar, 1981)...74 26 Contoh uji pohon terpilih dan urut-urutan cara kerja penyiapan

sayatan terbaik hingga pengamatan sayatan di bawah mikroskop...76 27 (A) Struktur mikroskopik jaringan kayu antara cabang dan batang

A. mangium yang memperlihatkan konsep CODIT dengan dinding d1– d4.

(B) Struktur anatomi penampang melintang ranting yang memperlihatkan warna cokelat kehitaman sebagai gejala perubahan warna pada floem (phloem dysfunction)(fl).

(C) Sel-sel jari-jari (r) batang yang memperlihatkan warna cokelat kehitaman sebagai reaksi perubahan warna ...77 28 Struktur senyawa 3,Tetrahydroxyflavanone (1),

4’,7,8-trihydroxyflavanone (2) dan Teracacidin (Mihara dkk., 1989) ...80 29 Contoh bahan kayuteras dari tiga provenas A. mangium...81 30 Skema fraksinasi bertingkat ekstrak aseton kayuteras A. mangium

Willd dari tiga provenans...85 31 Pengujian pertumbuhan fungi pelapuk kayuteras terhadap zat

ekstraktif kayu tiga provenans A. mangium...87 32 Rata-rata pertumbuhan miselia P. conchatus pada berbagai bahan

pelarut ...92 33 Rata-rata pertumbuhan P.conchatus pada zat ekstraktif A. mangium

dari provenans dan kadar konsentrasi berbeda ...92 34 Interaksi antara provenans dan bahan pelarut ...93 35 Kode lokasi (bagian organ pohon tempat kerusakan ditemukan)...99 36 Kondisi kesehatan tegakan hutan tanaman A. mangium di BKPH

Parung Panjang dari umur 1-12 tahun (data tahun 2005) yang diperlihatkan dalam bentuk angka indeks kerusakan...104 37 Persen jumlah pohon rusak menurut umur ...105 38 Grafik yang memperlihatkan kecendrungan tipe kerusakan pada

tanaman A. mangium yang paling umum di BKPH Parung Panjang menurut metode FHM: ( a) 2 tahun; (b) 7 tahun dan (c) 11 tahun (beberapa contoh umur) ...106


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal 1 Tabel Lampiran 1 Volume pohon Acacia mangium umur (2 hingga

12 tahun) di BKPH Parung Panjang (Data tahun 2005) ... 122

2 Tabel Lampiran 2 Uji t Rata-rata volume umur tebangan (8 tahun) versus volume tegakan contoh uji umur 8 tahun ...

125

3 Tabel Lampiran 3 Nilai persen kayu hilang dan indeks kerusakan menurut umur tegakan hutan tanaman A. Mangium...

126

4 Tabel Lampiran 4 Hasil pengujian anti fungal activity (AFA) zat ekstraktif A. mangium berdasarkan provenans, pelarut dan konsentrasi (%) ...

127

5 Tabel Lampiran 5Analisis sidik ragam pertumbuhan diameter fungi pelapuk kayu ...

129

6 Tabel lampiran 6 (UJI DUNCAN) Kombinasi perlakuan provenans pelarut dan konsentrasi zat ekstraktif A. mangium terhadap P.Conchatus...

130

7 Lampiran Gambar 1 Indeks Kerusakan ...136 8 Lampiran Gambar 2 Uji anti fungi pelapuk kayuteras P.conchatus

dengan persen konsentrasi berbeda (n = 3)... 137

9 Lampiran Gambar 3 Grafik memperlihatkan berbagai tipe kerusakan dan jumlah pohon pada tegakan A.mangium umur 1-12 tahun di BKPH Parung Panjang (2005) ...

139


(21)

1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah penyakit hutan di Indonesia makin hari makin nyata. Hal ini berkaitan dengan makin luas dan intensifnya pembangunan hutan tanaman. Selain itu, penyakit hutan makin menjadi persoalan akhir-akhir ini, juga karena jenis-jenis pohon hutan yang sedang banyak dikembangkan dalam dua atau tiga dekade terakhir ini adalah jenis pohon hutan cepat tumbuh yang umumnya tergolong jenis eksotik.

Kondisi seperti diuraikan di atas berbeda dengan situasi pada awal pembangunan hutan tanaman di Indonesia yakni ketika membangun hutan jati (Tectona grandis) dan tusam (Pinus merkusii) yang rupanya relatif tahan terhadap berbagai jenis penyakit. Di samping kedua jenis pohon hutan ini relatif tahan terhadap berbagai jenis penyakit, tujuan pembangunannya jelas serta penerapan sistem silvikultur yang tepat dan taat azas telah ikut menjamin pengelolaan tegakan hutan jati dan tusam yang sehat.

Gambaran tentang penyakit hutan seperti diuraikan di atas: baik itu mengenai luas areal, intensif atau kurang intensifnya pengelolaan hutan, jenis pohon hutan cepat tumbuh atau yang tumbuhnya lambat, tahan atau rentannya jenis pohon hutan terhadap penyakit tertentu, bahkan dengan sistem silvikultur yang tepat, semuanya masih mengacu pada hal yang sama yakni bahwa jaringan yang sakit itu adalah jaringan hidup pohon hutan. Jaringan hidup tersebut dapat berupa jaringan daun, ranting, batang maupun akar pohon.

Penyakit yang terjadi pada jaringan mati atau kayuteras pohon yang masih hidup merupakan satu kasus yang khas penyakit hutan. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit lapuk kayuteras (PLKT) atau penyakit busuk hati atau heart rot. Sesungguhnya PLKT telah diangkat menjadi satu masalah di bidang kehutanan di Indonesia lebih dari tiga dekade yang lalu (Hadi, 1972) diacu Hadi, (2001). Akan tetapi penyakit ini baru mendapat perhatian yang berarti di Indonesia sekitar satu dekade yang lampau. Di negara lain misalnya di Amerika Serikat hal ini sudah dipermasalahkan lebih dari satu abad yang lalu (Tainter dan Baker, 1996).


(22)

2 Tentang PLKT di Indonesia yang dipermasalahkan Hadi, 1972 adalah PLKT pada tegakan jati di Jawa yang pernah menjadi pembahasan yang kontroversial berkaitan dengan daur tebang tegakan jati sejak tahun 1930. Masalahnya adalah apakah daur tebang tegakan jati itu dapat lebih dari 100 tahun dengan akibat akan kehilangan nilai karena PLKT atau harus kurang dari 100 tahun. Itulah sebabnya daur tebang tegakan jati pernah ditetapkan antara 60 hingga 100 tahun. Sejak saat itu belum juga ada penelitian untuk menjawab pertanyaan di atas yang demikian penting itu.

Kini, PLKT dalam konteks Indonesia bahkan juga di beberapa negara Asia Tenggara, India bahkan di Australia adalah pada jenis tanaman hutan Acacia mangium. Tentang PLKT pada A. mangium yang telah banyak diteliti dan disampaikan dalam berbagai pertemuan ilmiah atau publikasi antara lain: jenis fungi penyebab PLKT, kejadiannya atau incidence, umur tanaman A. mangium mulai mengalami PLKT, zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayuteras dan keterkaitan antara cabang yang mati dan terjadinya PLKT.

Sementara besar persen kayu hilang atau cull factor dan hubungannya dengan umur tegakan hutan tanaman A. mangium sepengetahuan penulis belum pernah dilaporkan. Bentuk hubungan dimaksud penting sebagai satu informasi dalam pengaturan hasil hutan khususnya untuk kualitas kayu yang mementingkan kekuatan kayu. Topik ini menurut penulis menemukan momentum baru justru dalam kondisi dan situasi kehutanan Indonesia terbaru.

Momentum baru tentang PLKT yang dimaksudkan sedikitnya dalam dua hal. Pertama, dahulu PLKT dipahami sebagai bagian dari upaya meminimalkan kerugian melalui perpendekan daur tebang. Terkenal dalam ilmu penyakit hutan dengan istilah daur patologis Boyce, 1961; Tainter dan Baker, 1997. Hal ini dapat dimengerti karena dahulu pembicaraan tentang PLKT menyangkut jenis pohon hutan jati yang pertumbuhannya lambat, relatif tahan terhadap berbagai penyakit dan karenanya daur tebangnya dapat mencapai sekitar 60 hingga 100 tahun. Konsep kelestarian hasil hutan berupa kayu ketika itu sangat menonjol.

Sekarang, PLKT ingin dilihat secara baru dibandingkan dengan cara pandang di atas. Ini terkait dengan jenis pohon hutan A. mangium yang merupakan jenis pohon cepat tumbuh, rentan terhadap berbagai jenis penyakit,


(23)

3 dan daur tebangnya delapan tahun jauh lebih pendek daripada T. grandis. Konsep kelestarian hasil hutan, menjadi lebih luas dari sekedar hanya hasil hutan berupa kayu.

Kedua, sejauh mana pemahaman tentang PLKT diterjemahkan dalam praktek silvikultur melalui paradigma baru, benar dan bertanggung jawab. Pendekatan yang bagaimana yang kiranya lebih konseptual tetapi sekaligus juga lebih operasional di lapangan. Pertanyaan-pertanyaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa masalah kehutanan di Indonesia sedang menghadapi dua masalah pokok dan sama pentingnya. Kedua masalah tersebut adalah kekurangan persediaan bahan baku asal kayu dan kerusakan lingkungan yang sangat berat.

Memilih mengedepankan satu hal dan mengabaikan satu hal yang lain yang diutarakan di atas, tampaknya akan menimbulkan resiko yang luas terutama dalam jangka panjang. Menghadapi kondisi seperti ini menjadi penting bagaimana cara mengedepankan paradigma dan/atau visi yang jelas dan rasional tentang pengelolaan hutan tanaman yang sehat secara terpadu, efisien dan efektif. Dengan demikian, pengurusan hutan dan utamanya pengelolaan hutan (pada tingkat satuan pengelolaan hutan lokal) atau management unit perlu terus didukung oleh informasi-informasi yang baik dan relevan dari berbagai aspek. Hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi ilmuwan di Indonesia.

Tantangan ini perlu dijawab secara baik dan tepat sasaran. Artinya bagaimana pembangunan hutan dirumuskan yang di satu sisi mencerminkan hutan sebagai sumber untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan asal kayu dalam jumlah dan kualitas yang justru makin meningkat, dan pada sisi yang lain, hutan dipahami sebagai pengemban fungsi ekosistem khususnya di daerah tropis seperti di Indonesia.

Jawaban terhadap persoalan di atas sesungguhnya sudah sangat jelas. Ini terbukti dengan luas hutan yang telah banyak dibangun di berbagai wilayah di Indonesia. Tercapai tidaknya tujuan antara lain ditentukan oleh kemampuan pengelola dan para pemangku kepentingan dalam memahami persoalan nyata yang bersifat menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat pada pemilihan jenis pohon serta penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan tujuan dan taat azas dalam pelaksanaan pembangunan hutan itu sendiri.


(24)

4 Satu di antara berbagai jenis pohon hutan yang dipandang sesuai untuk menanggulangi masalah seperti yang telah diuraikan di atas adalah jenis Acacia mangium. Hal ini tidak terlepas dari sifat kayu A. mangium yang mempunyai spektrum kemanfaatan yang luas. Di seluruh Indonesia jenis pohon hutan tanaman industri (HTI) A. mangium telah mencapai luas 443.535 ha atau 64.2 % dari jenis HTI yang ada. Laporan terakhir menyebutkan bahwa di Indonesia, luas tanaman akasia telah mencapai 1.2 juta ha dan sebagian besar memang berupa tanaman A. mangium (Mohammed dan Rimbawanto, 2006).

Dari sekian luas tanaman hutan A. mangium yang telah dibangun di berbagai wilayah di Indonesia, tampaknya tujuan atau peruntukan akhir kayunya belumlah jelas benar. Dari informasi yang berhasil diperoleh, ternyata pembangunan HTI pulp (dari berbagai jenis pohon) dicanangkan seluas 4.94 juta ha atau 67 % dibandingkan dengan keperluan lain seperti untuk kayu konstruksi yang hanya seluas 1.65 juta ha atau 23 % (Cossalter dan Nair, 2000).

Dalam kenyataannya, tegakan hutan tanaman A. mangium yang dibangun adalah untuk menghasilkan pulp dan kertas. Daur tebang untuk kelas perusahaan seperti ini semula delapan tahun. Sekarang ada kecenderungan agar daur tebang tersebut lebih diperpendek lagi yakni menjadi hanya enam tahun. Jika kecenderungan seperti ini akan menjadi kenyataan, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru ibarat pisau bermata dua. Terdapat sisi yang menguntungkan dan ada pula sisi yang kurang menguntungkan. Sisi yang menguntungkan: kebutuhan akan bahan baku asal kayu akan dapat dipenuhi dalam kurun waktu yang relatif singkat, jasa terkait dengan kegiatan bidang kehutanan berkembang atau menguntungkan dan kemajuan teknologi pengolahan kayu seperti glulam ikut mendorong pemanfaatan kayu dengan diameter kecil dan dengan umur pendek serta menghasilkan kayu dengan kualitas yang lebih tinggi dan ragam kemanfaatan yang lebih luas. Sebaliknya sisi yang kurang menguntungkan yakni: daya dukung tempat tumbuh makin memburuk dengan akibat kemunculan berbagai penyakit seperti penyakit busuk akar, fungsi atau potensi terbaik pohon hidup dan/atau ekosistem tegakan hutan menjadi tidak optimal khususnya berkaitan dengan penyimpanan karbon, penghasil oksigen serta peran dalam meredam bahaya banjir dan tanah longsor.


(25)

5

Rumusan Masalah Penelitian

1. Bagaimana bentuk hubungan kerusakan kayu akibat lapuk kayuteras dengan umur tegakan,

2. Apa penyebab lapuk kayuteras pada tegakan hutan tanaman A. mangium ? 3. Apa indikator mekanisme lapuk kayuteras pada tegakan A. mangium

khususnya di areal penelitian.

B. Tujuan Penelitian

B. 1 Tujuan umum

Mendapatkan informasi mengenai daur tebang yang tepat dalam rangka menciptakan tegakan hutan tanaman A. mangium yang sehat secara terpadu efisien dan efektif

B.2 Tujuan khusus

1. Mendapatkan informasi mengenai besar persen kayu hilang (cull factor) pada berbagai umur tanaman A. mangium /tegakan,

2. Mengidentifikasi fungi PLKT,

3. Mendeteksi jalan masuk fungi pelapuk kayuteras pada batang pohon, 4. Melakukan uji anti fungi pelapuk kayuteras pada beberapa provenans

A.mangium, dan

5. Mendapatkan informasi mengenai kondisi kesehatan tegakan hutan tanaman A. mangium di areal penelitian.

C. Manfaat Penelitian

1. Diperolehnya informasi tentang daur tebang tegakan A. mangium yang sesuai untuk produksi kayu pertukangan atau kayu konstruksi dengan kualitas tinggi, dan

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi model dalam pendekatan pengelolaan penyakit berbasis sistem/ekosistem, dengan produksi kayu berkualitas yang juga dapat dipadukan dengan upaya pemeliharaan kualitas lingkungan.


(26)

6

D. Hipotesis Penelitian

1. Makin tua umur pohon/tegakan A. mangium, makin besar persen pelapukan kayuteras,

2. Penyakit lapuk kayuteras disebabkan oleh fungi kelas Basidiomycetes, 3. Tempat masuk fungi pelapuk kayuteras antara lain adalah cabang yang mati,

4. Zat ekstraktif provenans A. mangium mempunyai sifat

anti fungi pelapuk kayuteras, dan

5. Kondisi kesehatan tegakan hutan tanaman A. mangium berhubungan dengan besar persen kayu hilang.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Pada Gambar 1 disajikan kerangka pendekatan masalah berikut diagram alir kerangka penelitian atau ruang lingkup penelitian. Pertama-tama peubah yang ingin ditemukan jawabannya adalah yang berkaitan dengan besar persen kayu hilang. Peubah ini merupakan satu dasar penting dalam menentukan daur tebang yang diinginkan sesuai tujuan. Berikut ingin diketahui fungi penyebab lapuk kayuteras pada A. mangium di daerah penelitian. Fungi sebagai komponen lapuk kayuteras diperlukan sebagai bahan rujukan bagi studi lain yang terkait dalam keseluruhan penelitian ini. Sebagai parasit fakultatif atau sebagai kelompok fungi pelapuk kayuteras memerlukan jalan masuk sebelum dapat mencapai kayuteras. Jalan masuk fungi tersebut perlu dideteksi melalui pendekatan anatomis pada jaringan kayu yang merupakan daerah peralihan antara kayucabang dan kayubatang. Untuk mendapatkan informasi mengenai ada tidaknya peran zat ekstraktif dalam mengatasi perkembangan fungi pelapuk kayuteras, dilakukan uji anti fungi terhadap zat ekstraktif beberapa provenans kayu A. mangium. Akhirnya, dilakukan pula penilaian kondisi kesehatan tegakan A. mangium di BKPH Parung Panjang. Informasi ini diperlukan sebagai potret kondisi tegakan saat penelitian dilakukan. Potret ini diperlukan sebagai bahan untuk lebih memahami nilai temuan tentang besar persen kayu hilang yang pada gilirannya akan menjadi dasar penentuan daur tebang tegakan hutan sehat.


(27)

7

Keterangan :

Pengaruh langsung Pengaruh tidak langsung 1) fpkt : fungi pelapuk kayuteras

Gambar 1 Diagram alir kerangka penelitian / ruang lingkup penelitian

Kondisi kesehatan tegakan

Tegakan hutan tanaman A.mangium

untuk kualitas kayu perkakas atau pertukangan yang optimal dan lestari

Penetapan daur patologis tegakan hutan tanaman A. mangium

Lapuk kayuterras

A.mangium

Fungi pelapuk

kayuteras (fpkt) Jalan masuk fpkt1

(infection court) Hutan sehat

Persen kayu hilang (cull factor)

Uji anti fungi pelapuk kayuteras

zat ekstraktif A. mangium


(28)

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor

Mulai tahun 1975, berdasarkan Surat Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 6907/XV/10 tanggal 1 Agustus 1975, Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor-Jakarta sebutannya diubah menjadi Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor. Dengan dimasukkannya kawasan hutan Kehutanan Jawa Barat ke dalam Unit Produksi PT. Perhutani (Persero) berdasarkan PP No.2 tahun 1978, maka sebutan Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor berubah menjadi PT. Perhutani (Persero)/Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor.

Organisasi pengelolaan KPH Bogor terdiri atas 2 Sub KPH, 7 bagian KPH dan 28 Resort Polisi Hutan. Diketahui berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 14 tahun 2001 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Kehutanan Negara (PT. Perhutani (Persero)) menjadi Perusahaan Perseroan (Pesero), maka status PT. Perhutani (Persero) berubah menjadi Perum Perhutani.

B. Letak dan Luas

Wilayah kerja Perum Perhutani KPH Bogor memiliki kawasan hutan yang terletak di wilayah administrasi kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi, dengan batas-batas:

a. Di sebelah Utara berbatasan dengan laut Jawa dan DKI Jakarta,

b. Di sebelah Timur berbatasan dengan kawasan hutan KPH Purwakarta dan Cianjur,

c. Di sebelah Selatan berbatasan dengan kawasan hutan KPH Sukabumi dan Banten, dan

d. Di sebelah Barat berbatasan dengan KPH Banten.

Secara geografis wilayah kerja Perum Perhutani KPH Bogor terletak antara 0°28'00" dan 0º 41' 8" Bujur Timur dan dari 06°4'08" s/d 06°46'00" Lintang Selatan. Adapun letak garis lintang Kelas Perusahaan Acacia mangium adalah 0°13'25" sampai dengan 0°22'23" Bujur Barat dan dari 06°21 '00" s/d 06°26'59" Lintang Selatan


(29)

9 Guna tercapainya kelestarian kawasan hutan di KPH Bogor telah dilakukan penataan oleh Biro Perencanaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Produk akhir kegiatan tersebut, telah diterbitkan dalam Buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) sebagai arah/pedoman Pengusahaan Hutan di daerah. Luas wilayah total kring kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi sekitar 585.837,65 ha, di antaranya berupa kawasan hutan seluas 89.744,16 ha, dengan rincian sebagai berikut (Biro Perencanaan, 1994):

a. Kabupaten Bogor : 77.915,35 ha • Kawasan KPH Bogor : 60.795,85 ha • Hutan produksi : 36.318,96 ha • Hutan lindung terbatas : 24.476,89 ha • Kawasan PHPA : 17.115,50 ha b. Kabupaten Tangerang : 1.351,66 ha c. Kabupaten Bekasi : 10.481,15 ha.

C. Keadaan Hutan

Kawasan hutan yang dikelola KPH Bogor tersebar dalam 32 kelompok hutan, dengan Kelas Perusahaan (KP) menjadi 4 jenis, yaitu :

1. KP Rimba lain (A. mangium) 5.342,90 ha

2. KP Meranti 14.954,33 ha

3. KP Pinus 23. 280,10 ha

4. KP Payau (belum ditata) 11.832,81 ha

5. Kawasan PHPA 17.115,50 ha

Jumlah 72.525,64 ha.

Sisanya seluas 17.218,52 Ha berada di BKPH Jonggol, Parung Panjang dan Leuwiliang.

Penyebaran tegakan kawasan hutan Kelas Perusahaan A. mangium jangka tahun 2001 s/d 2005 ke dalam kelas-kelas hutan dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan fungsinya, kawasan hutan pada Kelas Perusahaan A. mangium di BKPH Parung Panjang terbagi atas :


(30)

10

Tabel 1. Kelas Perusahan A.mangium di BKPH Parung Panjang

_______________________________________________________

a. Hutan produksi = 2.503.52 ha

b. Hutan Tidak Produktif = 2.152.65 ha c. Lapangan dengan Tujuan istimewa (Ldti) = 521.07 ha d. Tidak cocok untuk Acasia = 155.66 ha

_______________________________________________________ Jumlah = 5.342.90 ha.

D. Tanah dan Iklim

Jenis tanah yang terdapat di KPH Bogor, menurut peta tanah De Young dan Mohr, diacu Gunawan (2003) adalah sebagai berikut:

a. Di bagian Utara arah ke pantai terdiri atas tanah Latent (tanah liat bandung), b. Di bagian Tengah terdiri atas tanah tuf batu timbul, tanah laterit merah dari

bahan muda gunung berapi, tanah liat bandung dan tanah endapan mergel dan mergel kapur,

c. Bagian Selatan terdiri atas tanah laterit merah, sawo matang, tanah laterit kuning dan sawo matang serta tanah laterit merah dengan sawo matang batuan tertier. Dai (1960, diacu oleh Subardja dan Buurman, 1980) melaporkan bahwa batuan induk, di sekitar Bogor – Jakarta pada ketinggian 1500 m dpl pada daerah gunung berapi yang menurun ke arah sebelah Selatan Jakarta pada ketinggian sekitar 50 m dpl yang termasuk daerah Parung Panjang, adalah seragam berupa pyrexene-andesites dan tuff dengan komposisi yang sama (Newmann van Padang, 1951), Selanjutnya berdasarkan data pada peta geologi, Effendi (1974) menyebutkan adanya andesitic basalt dengan oligoclaseandesite, labradorite, olivine, dan pyroxyne hornblende yang berasal dari kawasan Gunung Gede serta tuffaceous breccia, pumicous tuff dan basalt yang semuanya dari komposit andensitic dan berasal dari Gunung Salak, dan

d. Jenis tanah diketahui tergolong Podsolik Kuning dan Podsolik Merah Kuning (Anonim. 1966).


(31)

11 Ditinjau dari banyaknya curah hujan maka wilayah KPH Bogor terbagi dalam beberapa bagian, masing-masing dengan tipe curah hujan, yaitu :

a. Bagian Utara mempunyai curah hujan tahunan rata-rata sebesar 1500 mm dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus yaitu 50 mm, sedang yang tertinggi pada bulan Februari yaitu sebesar 300 mm,

b. Bagian Tengah mempunyai curah hujan tahunan rata-rata 3000 mm dengan curah hujan bulan terendah terdapat pada bulan Agustus yaitu 100 mm, sedang yang tertinggi pada bulan Februari, yaitu sebesar 540 mm, dan c. Bagian Selatan mempunyai curah hujan tahunan rata-rata sebesar 4000 mm,

dengan curah hujan terendah terdapat pada bulan Mei yaitu 200 mm, sedang yang tertinggi pada bulan Februari sebesar 550 mm.

Berdasarkan data curah hujan tersebut, maka wilayah tipe iklim Ferguson termasuk ke dalam tipe iklim A dengan angka curah hujan rata-rata 3000 mm tahun-1, suhu harian tertinggi 25,5°C dan suhu terendah 18°C. Iklim areal studi menurut klasifikasi Köppen termasuk tipe Afa dengan curah hujan tipe A (Schmidt dan Ferguson, 1951). Curah hujan rata-rata per bulan berkisar 84-86 mm untuk bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus dan 132-381 mm untuk bulan-bulan September hingga Januari. Suhu udara rata-rata per bulan 260C dengan maksimum rata-rata per bulan 320C dan minimum 220C. Rata-rata kelembaban nisbi udara 78-82 % dengan rata-rata maksimum 99-100 % dan minimum 47-77 % (Data 10 tahun terakhir pada Stasion Meteorologi Budiarto, Curug Tangerang).

E. Lokasi Penelitian dan Riwayatnya

Penelitian dilakukan di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parung Panjang, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, sekitar 60 Km sebelah Barat Laut Bogor dan sekitar 25 Km sebelah Barat Daya Curug Gambar 2.


(32)

12

Gambar 2 Peta lokasi daerah penelitian, berikut penyebaran plot contoh

Sebelum dibangun tegakan A. mangium (termasuk campuran dengan Paraserianthes falcataria, ataupun Peronema canescens) kawasan hutan Parung Panjang pernah ditanami Puspa (Schima wallichii). Dari arah Bogor sebelum mencapai Parung Panjang dijumpai perkebunan karet dan cokelat yang dikembangkan oleh Dinas Perkebunan ataupun sisa-sisa perkebunan karet zaman sebelum Perang Dunia II.

Di samping pertanaman kelapa milik rakyat serta jenis-jenis tanaman lainnya yang berupa jenis tanaman buah-buahan, terdapat pula lahan persawahan yang merupakan mosaik di antara pertanaman A. mangium atau jenis tanaman kehutanan lainnya yang sedang dikembangkan oleh Perum Perhutani.


(33)

13 Pada tahun 1986 pada areal hutan tempat penelitian dilakukan, jenis tanaman pokok adalah P. falcataria, sedang A. mangium hanyalah berupa tanaman pengisi. Tahun 1989 A. mangium sudah mulai ditanam sebagai tanaman pokok khususnya di RPH Tenjo tanpa tanaman pengisi.

Di RPH lainnya masih digunakan P. falcataria sebagai tanaman pengisi termasuk di Blok Simpak, Petak 19, RPH Jagabaya. Mulai tahun 1991 di seluruh areal Parung Panjang, yang terdiri atas 3 RPH yakni RPH Maribaya, RPH Jagabaya dan RPH Tenjo, hanya ditanam A. mangium.

Mulai tahun tanam 1990 di Blok Cimahi RPH Maribaya, oleh PT. PERHUTANI (PERSERO) mulai diperkenalkan upaya pengapuran dalam rangka pengembangan tanaman tumpang sari.

Sejak tahun 1992 di semua areal penanaman baru diberi perlakuan yang sama. Kapur dan pupuk diberikan dalam bentuk campuran sebagai berikut: Kapur 2 ton hektar-1; TSP 100 kg hektar-1; Urea 200 kg hektar-1; dan KCI 50 kg hektar-1 Kapur dan/atau pupuk diberikan dalam 4 tahap untuk satu tahun.

Sejalan dengan upaya pembinaan sistem tumpang sari yang lebih teratur melalui program INSUS, juga mulai tahun tanam 1992 dikembangkan sistem wanatani (agrokehutanan) dengan menggunakan tanaman rumput gajah, jahe dan tanaman kencur pada beberapa petak tertentu. Rencana tersebut disajikan pada peta RTT 1992/1995. Sekarang sistem wanatani telah ditinggalkan dan diganti dengan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat disingkat PHBM. Sejak beberapa tahun terakhir penjarangan telah dilaksanakan secara terpola yakni untuk tiap tanaman berumur 3, 5 dan 7 tahun.

Dalam 2 atau 3 tahun terakhir tanaman cokelat dan kelapa telah diganti dengan tanaman kelapa sawit. Kondisi terakhir ini diharapkan mampu menambah dinamika lingkungan hidup di daerah Parung Panjang dan sekitarnya.


(34)

14

3 DAUR PATOLOGIS TEGAKAN HUTAN TANAMAN

Acacia mangium

Willd

A. PENDAHULUAN

Di seluruh Indonesia Hutan Tanaman Industri (HTI) A. mangium telah mencapai luas 443.535 ha atau 64.2 % dari luas HTI yang ada. Dari informasi yang berhasil diperoleh, ternyata pembangunan HTI pulp (dari berbagai jenis pohon) dicanangkan seluas 4.94 juta ha atau 67 % dibandingkan dengan keperluan lain seperti untuk kayu konstruksi yang hanya 1.65 juta ha atau 23 % (Cossalter dan Nair, 2000). Laporan terakhir menyebutkan bahwa di Indonesia, luas tanaman acacia telah mencapai 1.2 juta ha dan sebagian besar berupa tanaman A. mangium (Mohammed dan Rimbawanto, 2006).

Tegakan hutan tanaman A. mangium yang luas seperti diuraikan di atas ini cukup menggembirakan. Namun, di lain pihak, A. mangium juga dihadapkan pada banyak faktor pembatas. Di antara faktor pembatas tersebut adalah hama dan penyakit.

Jika pengelolaan tegakan kurang sesuai, maka dapat terjadi seperti yang disaksikan di berbagai tegakan hutan, timbulnya penyakit lapuk kayuteras (PLKT). Penyakit yang terakhir ini telah dilaporkan di berbagai tempat antara lain di Australia (Old, dkk., 1996) dan di Indonesia (Nuhamara, 1993; Mohammed dan Rimbawanto, 2006). Penyakit lapuk kayuteras atau biasa disebut busuk hati (heart rot) atau heart decay adalah pelapukan bagian tengah kayubatang pohon hidup. Dalam hal ini lapuk tidak lagi terbatas hanya pada kayuteras, yang terdiri atas jaringan kayu yang telah mati (Helms,1998; Tainter dan Baker, 1996), tetapi juga kayugubal yang mati sebelum waktunya oleh suatu sebab yang lain.

Masalah ini erat kaitannya dengan daur tebang. Daur tebang adalah suatu jangka waktu antara penanaman dan penebangan atau antara penanaman dan penanaman berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil yang diinginkan, nilai tanah dan suku bunga yang tersedia. Secara umum, terdapat beberapa macam daur tebang untuk tegakan hutan seumur seperti dikemukakan


(35)

15 oleh (Hiley, 1956). Adapun macam-macam daur dimaksud adalah: daur silvikultur, daur teknis, daur pendapatan tertinggi (daur produksi maksimal) dan ada pula daur finansial.

Makin tua umur tanaman atau makin panjang daur tebangnya, makin terbuka pula peluang untuk mendapatkan kualitas kayu pertukangan dengan kualitas tinggi, asalkan disertai dengan perlakuan silvikultur yang tepat. Sebaliknya dapat pula terjadi, justru daur tebang A. mangium seyogianya perlu diperpendek, agar kerugian akibat penyakit dapat diminimalkan. Perpendekan daur tebang yang bertujuan untuk mengurangi kerugian hasil hutan akibat gangguan penyakit hutan seperti oleh PLKT sesuai dengan konsep daur patologis (Boyce, 1961; Tainter dan Baker, 1996).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang besar persen kayuhilang (cull factor) akibat PLKT, sebagai satu dasar penentuan daur tebang tegakan A. mangium. Dengan perkataan lain, umur tegakan ditetapkan sedemikian, dengan daur tebang yang sedikit lebih panjang, kualitas kayu menjadi lebih sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu untuk produksi kayu pertukangan atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, ingin diketahui pada umur berapa tegakan A. mangium tepat ditebang demikian, sehingga banyak kayu yang lapuk tidak lebih besar dari kayu baru yang dibentuk pada periode pertumbuhan berikutnya.

1. Pertumbuhan dan Kualitas Kayu A. mangium

a. Pertumbuhan

Pada waktu muda batang pohon bersifat lunak dan pohon tumbuh cepat menjadi besar terutama jika tersedia hara yang cukup dan lingkungan yang tepat (Haygreen dan Bowyer, 1982). Selanjutnya diketahui pula bahwa waktu muda jaringan-jaringan yang dibentuknya berbeda dengan ketika pohon telah menjadi dewasa. Apabila batangnya terluka, pohon bahkan dapat cepat memberikan reaksi untuk penyembuhannya.

Mangium dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Pada areal yang kurang baik seperti lahan yang terganggu dan bekas terbakar,


(36)

16 lahan dengan tanah lempung yang sudah kurus dengan bahan dasar vulkanik, lahan gersang bekas perladangan liar, jenis pohon ini masih dapat tumbuh baik dengan produksi rata-rata 20 m3 ha-1 (Sindusuwarno dan Utomo, 1979). Pada kondisi yang sama, di- bandingkan dengan Eucalyptus deglupta dan Gmelina arborea, A. mangium tumbuh lebih baik, atau setidaknya sama.

Mangium termasuk jenis pohon yang dapat mencapai tinggi 30 m dengan batang bebas cabang lebih dari separuh tinggi dan diameter batangnya dapat mencapai 99 cm atau lebih (NRC, 1983 diacu Anonim 1996). A. mangium yang telah berumur 9 tahun dapat mencapai tinggi 23 meter dengan diameter batangnya 23 cm, dan rata-rata dapat menghasilkan kayu sebanyak 41.5 m3 ha-1 (NAS, 1979). Christine (1989) diacu Anonim (1996) melaporkan bahwa pada umur 14 tahun tinggi A. mangium dapat mencapai 40 meter dan diameter batangnya 40 cm. Sutisna dan Fatawi (1993) juga melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman mangium berumur 9 tahun di Balikpapan, Kalimantan Timur mampu mencapai riap diameter 2.8 cm/tahun dan riap volume 15.7 m3ha-1tahun-1.

Selanjutnya Suarsa, dkk. (1991) melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman mangium di PT. ITCI di Propinsi Kalimantan Timur pada umur 7 – 8 tahun mencapai rata-rata volume tegakan Mean Annual Increment (MAI) 18.14 – 25.62 m3ha-1tahun-1. Awang dan Taylor (1995) melaporkan bahwa di berbagai lokasi pertumbuhan diameter pohon mangium meningkat cepat hingga 15 – 20 cm, dalam waktu kurang dari 4 tahun.

Laju pertumbuhan selanjutnya menurun setelah pohon mencapai umur 5 tahun dengan diameter dapat mencapai 30 cm setelah berumur 8 tahun. Pertumbuhan diameter dan tinggi tersebut beragam menurut umur dan tempat tumbuh. MAI untuk diameter berkisar 1.8 – 7.4 cm tahun-1. Sementara MAI tinggi lebih dari 4 m tahun-1pada umur 2 – 4 tahun dan selanjutnya menurun hingga 2 – 2.5 m tahun-1.


(37)

17 Dilaporkan bahwa pertumbuhan dan hasil tegakan A.mangium selain dipengaruhi oleh umur tegakan dan keadaan tempat tumbuh, juga sangat dipengaruhi oleh pemberian tindakan penjarangan (Anonim, 1996). Hasil dan pertumbuhan tegakan yang lebih baik akan diperoleh apabila dilakukan tindakan penjarangan pada umur 3 tahun dengan intensitas penjarangan 30 % untuk tegakan dengan kelas bonita 2, tindakan penjarangan pada umur 4 tahun dengan intensitas 30 % untuk tegakan dengan bonita 3 dan penjarangan pada umur 5 tahun dengan intensitas penjarangan 40 % untuk tegakan dengan bonita 4.

Dari hasil penelitian (Anonim, 1996) disimpulkan bahwa pertumbuhan volume tegakan maksimum A. mangium dicapai pada saat kurva MAI berpotongan dengan kurva CAI dan untuk kelas bonita II hal tersebut terjadi pada umur 4 – 5 tahun; untuk kelas bonita III umur 6 – 7 tahun dan untuk kelas bonita IV umur 7 – 8 tahun. Temuan –temuan ini adalah untuk tegakan tanpa perlakuan penjarangan.

Sementara tegakan dengan perlakuan penjarangan diperoleh hasil sebagai berikut: pada kelas bonita II, perlakuan penjarangan pada umur 3 tahun dengan intensitas penjarangan 30 % dari jumlah pohon asalnya, sangat nyata meningkatkan hasil dibandingkan dengan yang tidak dijarangi sama sekali. Di sini pertumbuhan dengan volume tegakan maksimum dicapai pada umur 7 tahun. Pada kelas bonita III, dengan penjarangan pada umur 4 tahun dengan intensitas 30 %, pertumbuhan volume tegakan maksimum dicapai juga pada umur 7 tahun. Terakhir pada kelas bonita IV, penjarangan pada umur 5 tahun dan intensitas 40 %, pertumbuhan volume tegakan maksimum dicapai juga pada umur 7 – 8 tahun. Hasil-hasil yang diperoleh seperti diuraikan di atas berkaitan dengan pertumbuhan A. mangium baik itu berupa kurva bonita di berbagai tapak khususnya di Jawa Barat, maupun fungsi hasil tegakan, hingga kini umumnya didasarkan pada pengukuran diameter, luas bidang dasar dan volume.


(38)

18 Dalam kenyataannya, pengelolaan tegakan A. mangium tampaknya belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan praktek silvikultur secara taat azas. Satu di antaranya adalah karena informasi yang kurang tentang faktor pembatas yang mungkin timbul seperti penyakit lapuk kayuteras. Secara fisik gejala lapuk kayuteras ini sering sulit dideteksi dari luar. Hal yang terakhir ini dipandang dapat mempengaruhi pendugaan hasil tegakan baik dalam jumlah (volume) maupun dalam kualitas.

Haygreen dan Bowyer (1996) mengungkapkan bahwa kualitas kayu ditentukan oleh sejumlah faktor yang berkaitan dengan kecocokan kayu untuk kegunaan akhir yang khusus. Faktor-faktor tersebut mencakup kerapatan, keseragaman, proporsi kayuteras, panjang serat, keberadaan kayu remaja dan kayu reaksi, susunan sel, mata kayu, arah serat serta susunan kimia kayu. Pengaruh kombinasi faktor-faktor ini menentukan kualitas kayu dan oleh karena itu dipandang sangat penting untuk mengaitkan tiap faktor tersebut dengan tujuan penggunaan akhirnya.

b. Kualitas A. mangium untuk kayu pertukangan

A. mangium diketahui mempunyai kerapatan 420; 480 dan 560 kg cm-3, nilai kekuatan untuk Modulus of Rupture (MOR), 101.18 (MPa), sedang Modulus of Elastisities (MOE) 11.671 Mpa, kekuatan pecah maksimum 12.50 Mpa dan Compression Stress maksimum 43.5 Mpa.

Kayu A. mangium merupakan jenis kayu bahan industri yang sangat menjanjikan (Surjokusumo dkk., 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa dengan kemampuannya yang cukup baik dalam menahan beban sekitar 12 - 27 tension stress (TS 12 – TS 27), maka kayu A. mangium layak diperhitungkan sebagai bahan baku kayu konstruksi.

Alipon dkk (2003) menyimpulkan bahwa kerapatan relatif dan kelas kekuatan A. mangium pada umur 10 – 12 tahun lebih cocok untuk kualitas kayu pertukangan, sementara kualitas kayu tersebut


(39)

19 pada umur 6 – 8 tahun lebih sesuai untuk keperluan yang kurang mementingkan kekuatan kayu.

Kualitas kayu pertukangan dan/atau kayu konstruksi berkaitan erat dengan kekuatan dan keawetan kayu. Kekuatan kayu berkaitan dengan bobot jenis dan kerapatan kayu. Kerapatan kayu berhubungan langsung dengan porositasnya, yaitu proporsi volume rongga kosong (lumen). Adapun sifat-sifat seperti kekuatan dan kestabilan dimensi kayu berhubungan erat dengan kerapatan kayu.

Sifat-sifat fisikomekanik kayu ditentukan oleh tiga ciri: (1) porositas, yang dapat diperkirakan dengan mengukur kerapatannya; (2) organisasi struktur sel, yang meliputi struktur mikro dinding sel dan keragaman serta proporsi tipe-tipe sel; dan (3) kandungan air (Haygreen dan Bowyer, 1996).

Tentang kualitas kayu Larson (1969, diacu oleh Haygreen dan Bowyer, 1996) menyatakan: “ Selama proses pembentukan kayu, banyak faktor-faktor di dalam dan di luar pohon berperan dalam menentukan keragaman dalam tipe, jumlah, ukuran, bentuk, struktur fisik, dan susunan kimia komponen-komponen kayu”.

2. Daur Tebang

Daur tebang adalah suatu jangka waktu antara penanaman dan penebangan atau antara penanaman dan penanaman berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil yang diinginkan, nilai tanah dan suku bunga usaha yang tersedia. Konsep daur dipakai untuk pengelolaan hutan seumur, sedang untuk hutan tidak seumur istilah yang memiliki arti yang sama adalah siklus tebang (cutting cycle).

Istilah daur berkaitan erat dengan adanya konsep hutan normal. Secara ideal, hutan normal akan terdiri atas kelompok tegakan semua umur yang mempunyai potensi sama, mulai dari umur satu tahun sampai akhir daur. Oleh karena itu. menentukan panjang daur merupakan satu faktor kunci dalam pengelolaan hutan seumur sesuai dengan definisinya. Masalah penentuan panjang daur sangat berkaitan erat dengan cara menentukan


(40)

20 waktu, yang diperlukan oleh suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi masak tebang, atau siap dipanen. Lama waktu tersebut bergantung pada sifat pertumbuhan jenis yang diusahakan, tujuan pengelolaan dan pertimbangan ekonomi.

Osmaton (1968) diacu Gunawan, 2003 menjelaskan bahwa daur merupakan suatu faktor pengatur dalam pengusahaan hutan seumur. Daur akan dipakai pada waktu membuat rancangan perusahaan tersebut, dan akan terdapat perbedaan yang besar dalam penataan hutan apabila tegakan ditebang pada batas bawah umur tebang atau dibiarkan tumbuh sampai tegakan berada di atas miskin riap. Lama daur tidak selalu sama dengan tahun sebenarnya tegakan harus ditebang. Karena keadaan silvikultur dan/atau pertimbangan lain dapat menyebabkan tegakan harus ditebang lebih cepat atau lebih lambat dari waktu yang telah ditentukan.

Dari segi pasar, daur ditentukan oleh macam produk tegakan, tipe tegakan, tempat tumbuh dan jenis tanaman. Dengan demikian daur jenis yang sama sedikit banyak dipengaruhi oleh tempat tumbuh (Chapman, 1931) diacu Gunawan, 2003.

Menurut Osmaston (1968) diacu Gunawan, 2003, panjang daur bergantung pada interaksi beberapa faktor, yaitu :

a. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang bergantung pada jenis pohon, lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan,

b. Karakteristik jenis tanaman, dengan memperhatikan umur maksimal secara alami, umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh terbaik dan umur kualitas terbaik

c. Pertimbangan ekonomi, dalam hal ini diperhitungkan ukuran yang dapat dipasarkan dan harga terbaik yang dapat diperoleh, dan

d. Respons tanah terhadap penggunaan yang berulang-ulang, erat hubungannya dengan batuan induk, pelapukan tanah dan allelopathy. Hiley (1956) membedakan beberapa macam daur tebang yang ditetapkan berdasarkan keadaan sifat tegakan sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan yang bersangkutan, yaitu:


(41)

21 2. Daur Silvikultur, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan saat

tegakan dapat tumbuh mempertahankan kualitasnya atau mengadakan permudaan dan reproduksi. Hal ini dikaitkan dengan ketersediaan benih untuk pembuatan tanaman baru,

3. Daur Teknis, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan tempat tegakan yang telah mencapai ukuran yang sudah ditetapkan berdasarkan pada teknis pengolahan kayu untuk keperluan produk tertentu yang akan dihasilkan,

4. Daur Pendapatan Tertinggi (daur produksi maksimal), yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan waktu tegakan dapat menghasilkan pendapatan atau volume tertinggi per satuan luas per tahun tanpa memperhitungkan jumlah modal untuk mendapatkannya. Daur ini dapat ditentukan dengan mencari titik potong kurva riap CAI dan kurva riap MAI jenis yang bersangkutan, dan

5. Daur Finansial, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan waktu tegakan dapat menghasilkan keuntungan atau nilai finansial terbesar. Penentuan daur mi dapat didekati dengan dua cara, yaitu: a. Nilai Harapan Tanah, dan

b. Hasil Finansial.

Dengan bahasa lain, daur tebang diartikan sebagai : jarak waktu yang direncanakan dalam tahun antara saat tegakan dibangun atau diregenerasi dan saat tebangan akhir dilakukan yaitu ketika tegakan telah mencapai tingkat masak tebang yang diharapkan (Ford-Robertson, 1971 diacu oleh Nyland, 2002).

Berdasarkan pertimbangan kualitas kayu maka dikenal pula daur patologis yakni daur tebang saat fungi pelapuk kayuteras cenderung melapukkan lebih banyak volume kayu dibandingkan dengan volume kayu baru yang dibentuk oleh pohon (Tainter dan Baker, 1996). Daur ini juga dikenal sebagai daur fisik (Evans, 1992). Dengan perkataan lain, umur tebang pohon ditentukan ketika volume kayu lapuk sudah sama dengan volume kayu baru yang dibentuk oleh pohon.


(42)

22 Untuk tegakan A. mangium di BKPH Parung Panjang, Perhutani telah menetapkan daur tebang adalah 8 tahun. Selama ini umumnya tegakan A. mangium yang dibangun oleh berbagai perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia adalah untuk produksi pulp dan kertas. Kebutuhan akan bahan kayu untuk pulp dan kertas sering atau cenderung dipenuhi melalui pengelolaan tegakan A. mangium dengan daur tebang yang pendek. Sekarang daur tebang A. mangium umumnya ditetapkan delapan tahun dan telah timbul gagasan untuk menurunkannya menjadi hanya enam tahun, seperti yang digagas PT. Musi Hutan Persada (Djoyosoebroto, 2003).

3. Kehilangan Volume Kayu akibat Penyakit Lapuk Kayuteras a. Kayuteras

Kayuteras adalah jaringan kayu yang semula merupakan kayu gubal yang seiring dengan perkembangannya berubah menjadi jaringan yang sel-selnya makin menua dan akhirnya mati. Zat-zat cadangan makanan yang biasanya terdapat pada kayu gubal diubah menjadi senyawa-senyawa atau zat-zat ekstraktif. Pembentukan zat ekstraktif ini dikendalikan oleh faktor genetik. Biasanya jaringan kayuteras terlihat lebih gelap daripada jaringan kayugubal dan kadar airnya lebih rendah dibandingkan dengan kadar air kayu gubal (Hillis, 1987).

Helms (1998) menyatakan bahwa kayuteras adalah xilem bagian dalam batang pohon, yang merupakan jaringan yang sudah mati dan karena itu fungsinya lebih pada perlindungan, atau penopang mekanis, yang keseluruhannya merupakan bagian proses perkembangan sel-sel pohon yang normal, dari yang semula hidup kemudian berangsur-angsur mati sesuai dengan sifat-sifat genetiknya.

Akan tetapi diketahui pula bahwa beberapa jenis pohon yang porinya tersusun menyebar ternyata tidak membentuk kayuteras atau setidaknya sulit dibedakan antara kayuteras dan kayugubal seperti yang dijumpai pada kebanyakan pohon jenis lainnya (Tainter dan Baker, 1996). Dengan demikian lanjut mereka, yang dimaksud dengan


(43)

23 kayuteras adalah kayu berbentuk silinder di bagian poros tengah batang pohon yang sel-selnya tidak lagi berfungsi sebagai pengangkut air dan mineral dan/atau sebagai tempat penyimpanan bahan cadangan makanan.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kayuteras b.1 Keturunan

Nichols (1965 diacu oleh Hills, 1987) mengamati pengaruh faktor genetik terhadap pembentukan kayuteras pada Pinus radiata. Akan tetapi dalam pengamatannya yang lain pengaruh faktor lingkungan ternyata hampir sama dengan pengaruh faktor genetik.

b.2 Pengaruh laju pertumbuhan dan ukuran tajuk

Paul (1932 diacu oleh Hillis, 1987) menemukan bahwa pada suatu tegakan seumur, walau dengan tinggi yang sama (5 m) pohon-pohon dengan lebar tajuk kecil (3 m) atau dari areal yang tegakannya rapat, secara proporsional membentuk kayuteras lebih banyak (28 %) dibandingkan dengan pohon jenis yang sama tetapi dengan lebar tajuk besar (10 m). Pohon dengan tajuk lebih besar ini mempunyai kayuteras hanya sekitar 8 %.

b.3 Pengaruh lingkungan

Studi mengenai pengaruh dan taraf kelembaban dan ketersediaan air memberikan hasil yang saling bertentangan antara satu dan yang lain. Kelembaban dan ketersediaan air yang cukup tinggi cenderung memperlambat pembentukan kayuteras pada Pinus sylvertris ( Pilz, 1907 diacu oleh Hills, 1987). Sebaliknya Harris (1953 dan 1954a diacu oleh Hillis, 1987) melaporkan bahwa justru faktor-faktor yang menunjang pembentukan kayuteras antara lain adalah ketersediaan air yang cukup dan menyebar merata sepanjang tahun, dan tiadanya angin kering atau kondisi kelembaban yang rendah.


(44)

24

b.4 Pengaruh luka dan kesehatan pohon

Masuknya udara ke bagian batang melalui puntung cabang atau luka sudah lama diterima dapat mempercepat pembentukan kayuteras (Bürgen dan Münch, 1929 diacu oleh Hillis 1987).

Pemangkasan Cryptomeria japonica diketahui telah

meningkatkan nisbah kayuteras dan volume (Ikara, 1970 diacu oleh Hillis 1987). Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada Lopulus sp. (Sachsse, 1965) diacu Hillis, 1987 dan juga pada Pseudotsuga menziesii (Smith dkk, 1966 diacu oleh Hillis 1987). Lappi Seppälä (1952) diacu oleh Hillis, 1987 juga menyimpulkan bahwa peningkatan proporsi kayuteras menurut umur Pinus sylvestris adalah karena telah menurunnya vitalitas pohon.

b.5 Faktor jenis pohon dan umur

Selain berbagai faktor seperti telah diuraikan di atas berbagai sumber dapat dirangkum untuk memperlihatkan pengaruh jenis dan umur terhadap pembentukan kayuteras seperti terlihat pada


(45)

Tabel 2 Proses terjadinya kayugubal menjadi kayuteras pada marga yang berbeda menurut umur

Umur (Tahun)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ... 50 51 52 53 ... 66 67 68 69 70 ... 99 100 Jenis

Cryptomeria japonicaa,b) Robiniaspp. a)

Nothofagus cunninghamiia) Fraxinus excelsiora) Alstonia scholarisa)

Acacia mangiumc) dan d) ? ? ?

Sumber : a) Ikara, 1972

b) Nobuchi dkk., 1979 c) Nuhamara (data pribadi) d) Lee, 1988


(46)

26

c. Lapuk kayuteras

c.1 Pengertian kayu lapuk

Kayu lapuk adalah kayu yang komponen-komponen penyusunnya terurai oleh fungi dan/atau mikroba lain yang kemudian menyebabkan kayu tersebut menjadi lebih lunak, kekuatan serta bobotnya makin berkurang dan sering diikuti oleh perubahan tekstur dan warnanya (Helms, 1998). Dengan demikian yang dimaksud dengan lapuk kayuteras (heart rot ) atau heart decay adalah kelapukan kayuteras, yang terdiri atas jaringan kayu yang sudah mati, dalam batang pohon yang masih hidup / berdiri (Helms, 1998). Sementara menurut Tainter dan Baker (1996) istilah heart decay atau busuk hati yang semula digunakan untuk menyatakan kelapukan bagian kayuteras batang pohon, sekarang hanyalah dimaksudkan untuk mengindikasikan posisi lapuk pada batang pohon dan tidak mesti dikaitkan dengan tipe jaringan kayu yang lapuk.

c.2 Tipe-tipe kayu lapuk

1) Menurut lokasi pada pohon: dibedakan menjadi lapuk pada batang bagian atas (top rot) dan lapuk pada akar dan/atau banir (butt rot) (Manion,1981). Fungi yang melapukkan batang pohon bagian atas sering berkembang sangat jauh sampai mencapai akar namun tidak menyebar dari satu pohon ke pohon yang lain melalui akar ataupun dari tunggak pohon hasil penebangan ke generasi berikutnya. Selanjutnya Manion (1981) melaporkan bahwa fungi yang melapukkan bagian akar atau daerah banir mengkolonisasi batang bagian bawah dan akar pohon. Fungi tipe ini dapat saja memparasit kambium akar atau dapat tetap hanya pada jaringan xilem tengah pohon. 2) Menurut jaringan kayunya: dapat dibedakan menjadi lapuk


(47)

27 3) Menurut reaksi ensimatisnya: dikenal ada:

a. lapuk cokelat karena kayu yang lapuk terlihat berwarna cokelat, dan

b. lapuk putih, kayu yang lapuk terlihat berwarna putih c. lapuk lunak

Lapuk yang termasuk tipe terakhir ini merupakan tipe lapuk yang umumnya disebabkan oleh jenis-jenis fungi yang tergolong ke dalam fungi Deuteromycetes.

c.3 Persen Cull Factor

Pengertian Kayu hilang

(a) Kayuhilang adalah tiap bagian produksi misalnya pohon, kayu bulat, papan atau anakan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh karena bagian itu tidak memenuhi spesifikasi kualitas untuk kemanfaatan tertentu.

(b) Dengan perkataan lain kayuhilang adalah bagian kayu bulat yang tidak dapat dipakai atau bagian kayu bulat yang harus dikurangkan dalam pengukuran volume kayu bulat karena cacat.

Pada pohon dalam tegakan cull factor merupakan persentase bagian volume kayu yang cacat terhadap volume total (Helms, 1998).

Sementara menurut Tainter dan Baker (1996) persen kayuhilang adalah bagian kayu pada pohon yang masih hidup yang tidak bisa dimanfaatkan oleh karena terserang fungi pelapuk kayu.

Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan belum diperoleh informasi mengenai kayuhilang untuk A. mangium, khususnya di Indonesia.


(48)

28

c.4 Metode penentuan cull factor menurut Bakshi (1977)

Metode ini dikembangkan untuk menghitung volume bersih pohon dengan cara menghitung volume kotor sortimen dan menguranginya dengan volume kayu lapuk.

Pada Tabel 3 dan Gambar 3 disajikan contoh penentuan daur patologis tegakan Fir ( Abies sp.) di Wilayah Franklin River, British Columbia (Buckland dkk, 1949). Data ini telah dikonversi ke dalam satuan metrik.

Tabel 3 Contoh Penentuan Daur Patologis Tegakan Fir (Abies sp.) di Wilayah Franklin River, British Columbia

Umur Volume Kotor (M3) Volume Lapuk (M3) Volume Bersih (M3)

75 165.056 0 165.056

125 190.4492 4.2322 186.217

175 228.539 12.6966 215.842

225 296.2543 26.3932 270.861

275 448.6136 50.7864 397.861

325 651.7594 122.734 529.026

375 854.9052 338.576 516.329


(49)

29

0 200 400 600 800 1000 1200

75 125 175 225 275 325 375 425

Umur

V

o

lu

m

e

(m

3

)

Volume Kotor Volume Lapuk Volume Bersih

Gambar 3 Hubungan antara umur tegakan Fir (Abies sp.) dengan volume kotor, volume lapuk dan volume bersih (Buckland dkk,1949)

Dalam kasus ini daur tebang ditentukan ketika pelapukan oleh fungi pelapuk kayu telah cenderung lebih besar dari kayu baru yang mampu dibuat oleh pohon. Dalam kurva pada Gambar 3 daur tebang ditemukan pada umur tegakan sekitar 325 tahun. Di Indonesia sepanjang diketahui belum ada daur tebang yang ditentukan atas dasar daur patologis. Seperti telah diuraikan sebelumnya, umumnya penentuan daur tebang lebih didasarkan pada hasil tegakan dengan pendekatan diameter, luas bidang dasar, umur ataupun volume. Seperti telah diuraikan sebelumnya, hasil tegakan yang sesuai untuk ditebang adalah ketika riap tahun berjalan (CAI) berpotongan dengan riap rata-rata tahunan (MAI). Hal ini tidak mengherankan oleh karena kerusakan internal sering tidak tampak berdasarkan penampakan fisik dari luar.


(50)

30

B. Metodologi Bahan dan Metode

Survei dilakukan di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parung Panjang, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, sekitar 60 Km sebelah Barat Laut Bogor dan sekitar 25 Km sebelah Barat Daya Curug sejak Februari hingga April 2005.

1. Pengukuran Persen Kayu Hilang a. Penilaian kayu hilang

Untuk penilaian kayu hilang di BKPH Parung Panjang, dilakukan pengukuran pada petak contoh yang sama dengan petak contoh untuk penilaian kondisi kesehatan tegakan hutan, mulai umur tanam 2 hingga 12 tahun. Di dalam tiap petak contoh ditebang 3 pohon yang telah dipilih secara purposive. Tiap pohon ditebang dengan kriteria kerusakan berat, kerusakan ringan dan sehat (tanpa kerusakan). Tiap pohon tertebang dibuat sortimen dengan panjang 2 m (disesuaikan dengan ketentuan Perum Perhutani). Tiap sortimen diukur atau dihitung volumenya masing-masing meliputi volume kotor, volume lapuk dan volume bersih berdasarkan metode Bakshi (1977) yang dikombinasikan dengan metode atau rumus Newton diacu Philip, 1994 .

b. Pengukuran Volume Kayu Bulat dan Kayu Lapuk

1. Pengukuran volume kayu bulat (volume kotor) menurut Rumus Newton diacu Philip, 1994 (1)

L (dp2+ 4dm2+ du2)

V = --- ...(1) 24

L (gp+ 4gm+ gu)

V = --- 6

2. Pengukuran volume lapuk menurut rumus Newton modifikasi dari Bakshi, 1977 (2)


(51)

31 l (gpl + 4gml + gul)

V' = --- ...(2) 6

3. Pengukuran volume bersih = volume kotor – volume lapuk (m3) (3) Volume bersih = V - V'...(3)

Faktor Kayu Hilang (FKH) (4)

V'

FKH = x 100 % ... (4) V

dengan pengertian :

V' = Volume lapuk, m3

V = Volume kayu bulat (volume kotor), m3 FKH = Faktor kayu hilang (Cull Factor) dp = Diameter pangkal kayu bulat, m du = Diameter ujung kayu bulat, m

gp = Luas bidang dasar pangkal kayu bulat, m2 gu = Luas bidang dasar ujung kayu bulat, m2 dm = Diameter tengah kayu bulat, m

dml = Diameter tengah kayu lapuk, m

gm = Luas bidang dasar tengah kayu bulat, m2 gpl = Luas bidang dasar pangkal kayu bulat, m2 gul = Luas bidang dasar ujung kayu bulat, m2 gml = Luas bidang dasar tengah kayu lapuk, m2 L = Panjang kayu bulat, m

dpl = diameter pangkal kayu bulat, m l = Panjang kayu lapuk, m

Persen kehilangan kayu akibat lapuk kayuteras (cull factor) seperti telah diuraikan di atas diukur dengan metode yang dikembangkan oleh Bakshi (1977) dan untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.


(52)

32

Gambar 4Cara pengukuran volume sortimen kayu bulat 2 m

Bila lapuk hanya terlihat dari satu ujung kayu bulat, maka panjang kolom lapuk harus diukur dengan jalan membuat penampang longitudinal sortimen sehingga panjang kayuteras lapuk yang sebenarnya dapat diukur (Gambar 4).

Kolom lapuk : kolom lapuk kayuteras diukur dengan cara: (1) Panjang kolom lapuk diukur kemudian tambahkan 2,5 cm pada

batas ujung lapuk yang terlihat dengan mata, dan

(2) Diameter kolom lapuk diukur dengan 4 kemungkinan pola lapuk (Gambar 5).

dp du

l

L

dpl gul gm


(53)

33

(1)

(2)

(3)

(4)

Gambar 5 Pola lapuk kayuteras: (1) pola tidak utuh/teratur, dengan satu noda, (2) pola tidak teratur, dengan lebih dari satu noda tetapi yang berkembang dari lapuk yang sama, (3) lapuk mengelilingi kayu yang masih utuh, (4) noda-noda lapuk yang berbeda-beda (Bakshi, 1977).

Penelitian ini dilakukan di areal tegakan yang berumur 8 tahun di ketiga RPH, berturut-turut RPH Jagabaya, RPH Maribaya dan RPH Tenjo. Untuk maksud tersebut tiap pohon yang telah ditebang dibuat menjadi sortimen dengan panjang masing-masing sortimen 2 meter. Selanjutnya untuk pengukuran volume kayu baik volume kotor, volume lapuk maupun volume bersih sama dengan metode pada tegakan yang di luar areal umur tebangan (plot contoh untuk penilaian kondisi kesehatan tegakan). Jumlah pohon diusahakan sebanyak-banyaknya mengikuti jumlah penebangan yang sedang dilakukan.

noda kayuteras lapuk


(54)

34

C. AnalisisData

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk grafik dengan metode tren regresi polinomial.

1 Penilaian persen kayu hilang dan penentuan daur patologis a. Penilaian kayu hilang

Untuk penilaian kayu hilang di BKPH Parung Panjang, dilakukan pengukuran pada petak contoh yang sama dengan petak contoh untuk penilaian kondisi kesehatan tegakan hutan di atas, mulai umur tanam 2 hingga 12 tahun. Di dalam tiap petak contoh ditebang 3 pohon yang telah dipilih secara purposive. Masing-masing pohon ditebang dengan kriteria kerusakan berat, kerusakan ringan dan sehat (tanpa kerusakan). Tiap pohon yang ditebang dibuat sortimen dengan panjang 2 m (disesuaikan dengan ketentuan Perum Perhutani). Tiap sortimen diukur / dihitung volumenya masing-masing meliputi volume kotor, volume lapuk dan volume bersih berdasarkan metode Bakshi (1977) yang dikombinasikan dengan metode / rumus Newton diacu (Philip, 1994).

b. Penentuan daur patologis

Daur patologis ditentukan berdasarkan capaian pertumbuhan dengan volume bersih pohon yang telah mencapai nilai optimum yakni ketika besar persen kayu hilang mendekati nilai ambang kerusakan yang masih dapat ditolerir.

Untuk keperluan dimaksud dilakukan pengukuran volume (bersih) pohon di areal tanaman A. mangium umur 8 tahun. Tepatnya dilakukan di 3 Resort Polisi Hutan (RPH), yaitu di RPH Jagabaya, RPH Maribaya dan RPH Tenjo. Pohon yang volumenya diukur adalah pohon yang ditebang oleh Perum Perhutani sebagai bagian dari kegiatan penebangan yang sudah direncanakan oleh Perum Perhutani sendiri. Di areal penebangan ini tidak dibuat petak contoh sebagaimana dilakukan di areal bukan areal penebangan seperti telah diuraikan di atas. Volume bersih rata-rata pohon dari areal penebangan (n=165),


(55)

35 dibandingkan dengan volume rata-rata bersih (0.0608 m3) pohon umur 8 tahun dari areal bukan penebangan (n=6), melalui uji-t Satu Sampel Satu Arah untuk Sisi Atas. Dengan demikian hipotesis adalah sebagai berikut Ho:µvbersih 0,0608vs H1: µvbersih >0,0608. Data diolah dengan

Minitab 14.

D. Hasil

1. Penilaian persen kayu hilang

Hasil pengukuran volume kayu di areal bukan areal penebangan diperoleh volume kotor, volume lapuk dan volume bersih seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Volume pohon dan kayu –hilang berdasarkan umur tanaman Volume (m3)

Umur Kotor Lapuk Bersih Persen Kayu hilang (%)=cull factor

2 0.0142 0.0016 0.0126 11.26

3 0.0320 0.0018 0.0302 5.65

4 0.0387 0.0057 0.0329 14.87

5 0.0476 0.0042 0.0434 8.82

6 0.0654 0.0215 0.0450 32.92

7 0.0729 0.0198 0.0531 27.11

8 0.0866 0.0257 0.0608 29.73

9 0.0907 0.0283 0.0623 31.25

10 0.1072 0.0525 0.0546 49.02

11 0.1075 0.0650 0.0425 60.46

12 0.1108 0.0671 0.0437 60.55

Berdasarkan data pada Tabel 4 diperoleh volume bersih pohon terbesar pada umur tegakan 9 tahun yaitu sebesar 0.0623 m3 . Volume bersih optimal ini dicapai pada saat cull factor mencapai 31.25 %. Dengan demikian cull factor adalah sebesar 31.25 %. Namun demikian volume bersih yang rasional adalah 0.0608 m3dengan cull factor sebesar 29.73 %. Volume ini diperoleh pada umur 8 tahun.


(56)

36

Gambar 6 Hubungan antara umur pohon A. mangium di BKPH Parung Panjang dan volume kotor. volume lapuk dan volume bersih

2. Daur patologis

Hasil analisis statistik memperkuat penentuan daur tebang tegakan A. mangium di BKPH Parung Panjang. Dari hasil analisis diperoleh bahwa nilai p = 0.93. Dengan demikian Homaka dapat disimpulkan bahwa daur tebang tegakan A. mangium di BKPH Parung Panjang dapat lebih dari 8 tahun dengan selang kepercayaan 95 %.

Fungsi turunan pertama fX volume bersih : Vb= -0.01885 +0.01802x

-0.001077x2 adalah b/

x

= 0.01802 – 0.002154

x

, sedangkan

b/

x

= 0. sehingga

x

= 8.36 atau 8 tahun.

Berdasarkan data tersebut di atas, umur yang tepat untuk penebangan pohon A. mangium di BKPH Parung Panjang dengan ranah pengelolaan yang dipraktekkan sekarang ini adalah pada umur 8 tahun.

0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12

0 2 4 6 8 10 12 14

Umur (tahun)

V

o

lu

m

e

(m

3

)

Volume kotor Volume lapuk Volume bersih Vk = - 0.01593 + 0.01587 X - 0.000420 X2

R2= 0,989

Vl = 0.002698 - 0.002033 X + 0.000647 X2 R2= 0,959

Vb = - 0.01885 + 0.01802 X - 0.001077 X2


(57)

37

E. Pembahasan

Khusus untuk tegakan A. mangium telah dilakukan penelitian berdasarkan daur finansial oleh Gunawan (2003). Penelitian dimaksud tepatnya dilakukan di BKPH Parung Panjang. KPH Bogor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa daur yang ekonomis adalah sekitar 8 hingga 9 tahun.

Di Filipina penelitian telah pula dilakukan sehubungan dengan kualitas kayu pertukangan (aspek daur teknis) oleh Alipon dkk. (2003). Berdasarkan hasil penelitian tersebut mereka mengusulkan agar daur tebang tegakan A. mangium sebaiknya diperpanjang dari 8 tahun menjadi 10 tahun. Berdasarkan pengalaman melakukan penelitian tentang penyakit busuk akar dan juga lapuk kayuteras (daur fisik dan/atau daur patologis) baik di Indonesia maupun di tempat lain. Mohammed dan Rimbawanto, 2006 mengusulkan agar daur tebang tegakan A. mangium untuk kayu bulat juga diusulkan sekitar 10 tahun.

Dengan demikian data persen kayu hilang sebesar 29.73 % hingga 31.25 % yang penulis temukan di BKPH Parung Panjang dengan daur tebang atau daur patologis sekitar 8 hingga 9 tahun justru memperkuat temuan tentang daur tebang untuk tegakan A. mangium seperti yang telah dilaporkan oleh berbagai sumber di atas dengan tinjauan dari aspek-aspek yang berbeda. Dalam hal ini walaupun hasil temuan daur patologis di BKPH Parung Panjang berdasarkan Gambar 6

kemudian juga berdasarkan uji t ternyata sesuai untuk umur antara 8 tahun dan 9 tahun, namun harus pula dilihat bahwa besar kayu hilang masih cukup besar yakni 29.73 % hingga 31.25 %.

Dengan kondisi seperti di Parung Panjang ini, apabila daur tebang diperpanjang menjadi 10 tahun saja, maka besar kayu hilang telah mencapai 49.02 % atau mendekati 50 %. Suatu kondisi yang sudah berada di atas nilai ambang ekonomi pengelolaan tegakan. Adapun kayu hilang yang masih tinggi pada umur lebih dari 9 tahun adalah sisa tegakan sebelum program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) sebagai yang dipraktekkan beberapa tahun terakhir ini. Kelak apabila pemeliharaan tegakan benar-benar telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada maka bukan mustahil daur tebang tanaman A. mangium di BKPH Parung Panjang dapat mencapai 10 tahun. Dengan demikian fungsi tegakan hutan bukan lagi melulu untuk kayu konstruksi dengan kualitas


(1)

57

Reaksi biokemis

Terdapat reaksi yang menunjukkan adanya zona reaksi Gambar 14 Abbaik dengan pemberian asan tanat dengan skor 1 maupun dengan asam galat dengan skor 1, terdapat enzim laccase Gambar 14 Bbdan 17 A1dan enzim

peroxidase Gambar 17 A3, terdapat kutikuler sel Gambar 17 B1,

sambungan apit 17 B2dan 22B2,terdapat oidia Gambar 17 B3 dan terapat

hifa dengan percabangan yang tidak seimbang. Tubuh buah semusim, warna himenofor abu-abu dan bagian atas tubuh buah tampak berwarna agak kekuning-kuningan dan setelah tua berwarna abu-abu. Gambar 15. Pada lapisan himenofor terlihat jelas pori, lubang ujung pembuluh yang menjadi ciri khas suku Polyporaceae Gambar 16 A.

Gambar 15 Kantong plastik berisi medium yang diperkaya dengan berbagai bahan kimia standar Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas , IPB dan tubuh buah fungi Bjerkandera adusta (anak panah).


(2)

Gambar 16 Himenofor Bjerkandera adusta(A) memperlihatkan mulut tabung atau pori (dengan penunjuk). Uji Bavendamm (ada zona reaksi baik dengan asam tanat B1) maupun dengan asam galat B2

A

B

1 2

1 mm


(3)

59

Gambar 17 Adanya reaksi laccase A1, reaksi peroksidase A3, sel kutikuler B1, sambungan apit B2dan oidia B3

1

3

1

2

A

B

3

3

2


(4)

Gambar 18 Hifa dengan percabangan yang tidak seimbang (A), khlamidospora (B1) dan sambungan apit B2

Isolat Nomor 3

Isolat diperoleh dari pohon daun lebar, lapisan miselium tetap putih selama enam minggu pengamatan, terdapat zona difusi, terdapat sambungan apit, tidak terdapat struktur khusus,tidak terdapat khlamidospora, tanpa konidia, tanpa oidia, laju pertumbuhan miselium sedang, tubuh buah terbentuk dalam kurun waktu enam minggu, tidak terjadi perubahan warna pada agar bagian bawah cawan

Pola kunci : 1 1 1 1 8 2 2 2 2 (1)2 2 Artinya : 1 pohon daun lebar

1 mat atau lapisan miselium putih

1 zona difusi terdapat (hanya dengan asam tanat) 1 terdapat sambungan –apit (clamp) Gambar 18 B2

8 tidak terdapat struktur khusus 2 tidak terdapat khlamidospora 2 tidak terdapat konidia

2 tidak terdapat oidia

2 pertumbuhan termasuk sedang

2 tidak terbentuk tubuh buah sebelum akhir enam minggu ? 2 tidak terjadi perubahan warna pada agar bagian bawah

cawan.

Dengan pola kunci seperti ini nama fungi mengacu ke Trametes gibbosa

(Bakshi dkk., 1969)


(5)

61

Gambar 19 Kantong plastik (A) yang berisi medium yang diperkaya dengan berbagai bahan kimia standar Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas , IPB dan tubuh buah fungi Trametes gibbosa (anak panah). Himenofor

Trametes gibbosa (B) yang memperlihatkan mulut tabung atau pori

B A 1 cm


(6)

Gambar 20 Zona difusi pada cawan dengan penambahan asam tanat A1, tetapi tidak ada zona difusi pada cawan dengan penambahan asam galat A2, , oidia B1dan sambungan apit B2

Karakter pertumbuhan. Pertumbuhan termasuk lambat 1.2 cm dalam 1 minggu. Zona terdepan koloni hialin, rata, apres dalam zona yang jelas. Mat subhialin, hialin hingga putih, membentuk zona, kotoni yang longgar. Reaksi pada bagian bawah media tidak berubah.

Karakter hifa. Zona terdepan: hifa hialin, dinding hifa tipis, bercabang, sambungan apit banyak dijumpai. Miselium udara: serupa dengan hifa pada zona terdepan, dengan lumen yang sempit, tidak bercabang, tidak bersepta. Miselium submer sama dengan miselium udara.

A

1

2