Efek Toksikopatologi Ekstrak Kulit Kayu Mangium (Acacia Mangium) Pada Mencit (Mus Musculus)

EFEK TOKSIKOPATOLOGI EKSTRAK KULIT KAYU
MANGIUM (Acacia mangium) PADA MENCIT (Mus musculus)

TANIA MUTIARA
B04110148

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efek Toksikopatologi
Ekstrak Kulit Kayu Mangium (Acacia mangium) pada Mencit (Mus musculus)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2015

Tania Mutiara
NIM B04110148

ABSTRAK
TANIA MUTIARA. Efek Toksikopatologi Ekstrak Kulit Kayu Mangium (Acacia
mangium) pada Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh DEWI RATIH
AGUNGPRIYONO dan RITA KARTIKA SARI.
Dalam mengatasi penyakit yang disebabkan oleh aktivitas radikal bebas,
antioksidan alami kini mulai banyak digunakan. Mangium (Acacia mangium)
diketahui memiliki aktivitas antioksidan dalam uji in vitro, namun
penggunaannya secara in vivo perlu diuji keamanannya. Tujuan dari penelitian ini
adalah menganalisa efek toksikopatologi pada sel-sel organ hati dan ginjal mencit
pada pemberian ekstrak kuli kayu mangium. Penelitian ini menggunakan 6 ekor
mencit yang dibagi ke dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Perlakuan diberikan sekali sehari selama 7 hari. Mencit dinekropsi dan diambil
organ hati dan ginjal untuk dibuat preparat histopatologi. Parameter yang diamati
adalah jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan
nekrosis pada sel hati di daerah segitiga Kiernan dan vena centralis serta sel
epitel tubulus proksimal ginjal. Data dianalisis menggunakan uji ANOVA. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit kayu mangium menimbulkan

kerusakan yang bersifat ringan dan reversible pada sel hati dan ginjal mencit.
Efek toksik pada hati dan ginjal mencit bisa dihindari dengan penggunaan pada
dosis dan jangka penggunaan yang terbatas.
Kata kunci: Acacia mangium, ginjal, hati, kulit kayu, toksikopatologi

ABSTRACT
Toxicopathology Effect of Mangium (Acacia mangium) Tree Bark in Mice (Mus
musculus). Supervised by DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and RITA
KARTIKA SARI.
Today‘s lifestyle is triggering a lot of free radical related disease. To
overcome the problem, the usage of natural antioxidant is escalating. Acacia
mangium (mangium) is known to have antioxidant activity, yet the safety of this
substance in human‘s body is not known. The purpose of this study is to analyze
the toxicopathology effect of mangium tree bark in liver and kidney cells of mice.
The study used 6 mice divided into control group and treatment group. The
treatment was given once a day for a week. The liver and kidney of mice then are
taken to be processed into histopathology slides. Observed parameters are the
quantity of organ cells developing hydropic degeneration, fat degeneration, and
necrosis. The data was analyzed statistically by ANOVA and Duncan method.
The result show that the extract of mangium‘s tree bark produce light and

reversible damages to the cell organs. The toxic effect in mice‘s liver and kidney
can be avoided by limited usage and dose.
Keywords: Acacia mangium, kidney, liver, toxicopathology, tree bark

EFEK TOKSIKOPATOLOGI EKSTRAK KULIT KAYU
MANGIUM (Acacia mangium) PADA MENCIT (Mus musculus)

TANIA MUTIARA
B04110148

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


PRAKATA

Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas segala
karunia-Nya karya ilmiah ini dapat selesai. Karya ilmiah ini berjudul ―Efek
Toksikopatologi Ekstrak Kulit Kayu Mangium (Acacia mangium) pada Mencit
(Mus musculus)‖ yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 sampai dengan Juni
2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh Dewi Ratih Agungpriyono, PhD,
APVet selaku pembimbing I dan Ibu Dr Ir Rita Kartika Sari, MSi selaku
pembimbing II yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan adik atas kasih
sayang, dukungan, dan doa selama ini.
Penghargaan turut penulis sampaikan kepada terutama Laboratorium
Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) atas bantuan selama ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Selma Anggita FKH 48 dan
Rizky Rosilia THH 47 yang telah membantu selama penelitian, serta temanteman Ganglion FKH 48.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015


Tania Mutiara

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

10

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

METODE

7


Waktu dan tempat penelitian

7

Bahan dan alat

7

Prosedur

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Tingkah laku, rambut, nafsu makan, dan bobot mencit

11


Hati

12

Ginjal

13

SIMPULAN DAN SARAN

14

Simpulan

14

Saran

14


DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

17

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Konsumsi pakan dan perubahan bobot mencit dari kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan selama 7 hari pemberian ekstrak

Rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami lesi pada segitiga
Kiernan
Rerata jumlah sel hepatosit yang mengalami lesi pada vena centralis
Rerata jumlah sel epitel tubulus yang mengalami lesi pada ginjal

11
12
13
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kayu mangium
Alur penelitian
Histopatologi sel hati di daerah segitiga Kiernan

Histopatologi sel hati di daerah vena centralis
Histopatologi sel epitel tubulus proksimal ginjal

4
8
9
10
10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Sertifikat Persetujuan Etik Hewan
Hasil perhitungan statistik

17
18

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Akhir-akhir ini manusia banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung
bahan pengawet maupun pewarna. Perilaku konsumsi semacam ini menimbulkan
berbagai penyakit, yang salah satunya disebabkan oleh adanya reaktivitas radikal
bebas di lingkungan manusia (Murningsih 2012). Reaktivitas tersebut dapat
dihambat oleh adanya antioksidan.
Antioksidan alami kini mulai banyak digunakan karena sifat
karsinogeniknya lebih rendah dibandingkan antioksidan sintetik (Amarowicz et al.
2000). Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, Indonesia
memiliki banyak tanaman yang memiliki potensi sebagai antioksidan alami. Salah
satu jenis tumbuhan yang mengandung antioksidan adalah mangium (Acacia
mangium). Menurut Yuniarti (2008), mangium mengandung senyawa bioaktif
dengan aktivitas biologi yang tinggi seperti antioksidan, antifungal, dan
antibakteri. Berdasar hasil penelitian Sari et al. (2013), ekstrak metanol daun dan
kulit akasia memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dengan nilai effective
concentration 50% (EC50) 27 ppm dan 7 ppm.
Potensi antioksidan dari ekstrak kulit mangium dengan berbagai konsentrasi
etanol dapat diketahui dari pengujian secara in vitro dan in vivo. Pengujian secara
in vitro telah dilakukan dengan mendeteksi kemampuan ekstrak dalam
menurunkan radikal bebas 1,2-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), sementara uji in
vivo dilakukan terhadap mencit (Mus musculus). Menurut Iannaccone dan Jacob
(2009) mencit memiliki kondisi fisiologis yang mirip dengan manusia, sehingga
mencit digunakan sebagai hewan coba. Hasil positif diberikan oleh ekstrak etanol
30% dengan dosis 0.56 mg/ kg BB (Rosilia 2014).
Menurut Peraturan Kepala Bidang Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Republik Indonesia nomor 13 tahun 2014 tentang Pedoman Uji Klinik Obat
Herbal, uji non klinik diperlukan sebagai langkah awal uji klinik obat herbal.
Pengujian terhadap keamanan konsumsi mangium belum dilakukan, oleh karena
itu perlu dilakukan analisa terhadap efek toksikopatologi mangium terhadap
tubuh.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisa efek toksikopatologi pada sel-sel organ
hati dan ginjal mencit pada pemberian ekstrak kayu mangium yang berkhasiat
antioksidan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek
toksik dari ekstrak kulit mangium sebagai antioksidan.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Pengujian Antioksidan
Pengujian antioksidan dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo.
Pengujian in vitro metode DPPH mendeteksi molekul DPPH yang merupakan
radikal bebas stabil berdasarkan delokalisasi elektron bebas (Alam et al. 2012).
Aktivitas antioksidan ditentukan dengan menghitung persen penangkapan radikal
bebas DPPH menggunakan elektrofotometer.
Pengujian antioksidan secara in vivo menggunakan pengukuran langsung
terhadap komponen sistem tubuh hewan coba seperti glutation, tokoferol,
askorbat, pengukuran stress oksidatif, dan pengukuran produk atau komponen
indikator kerusakan oksidatif seperti hidroperoksida (Papas 1999). Sampel yang
digunakan adalah cairan dan jaringan biologis seperti urin, air mata, cairan
serebrospinal, plasma, eritrosit, dan serum dari darah hewan percobaan (Niki
2010). Aktivitas antioksidan in vivo diukur misalnya dari kemampuan plasma
dalam mereduksi ferric, estimasi glutation tereduksi, dan pengukuran enzimenzim seperti glutathione-S-transferase (GSt), superoxide dismutase (SOD), dan
katalase (Alam et al 2012).
Salah satu uji antioksidan yang dilakukan secara in vivo adalah uji deteksi
kadar malondialdehyde (MDA) yang menggunakan serum darah dari mencit.
MDA adalah produk akhir dari peroksidasi lipid yang bereaksi dengan protein dan
asam amino serta merupakan produk yang paling sering diukur (Jones dan Kubow
2006). Akumulasi MDA menyebabkan hemolisis, penurunan integritas membran
protein sitoskeletal, kebocoran potassium, dan deformitas selular (Stern 1985).
Produksi MDA terjadi mendahului onset hemolisis pada sel darah merah yang
terpapar agen oksidatif. Kadar MDA yang tinggi di dalam darah menandakan
aktivitas radikal bebas yang tinggi dalam tubuh.

Persyaratan Penggunaan Herba Sebagai Suplemen/ Obat Bagi Manusia

Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia nomor HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan
Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia (2004), obat bahan alam Indonesia adalah
obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia, yang berdasarkan cara pembuatan
serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat dibagi menjadi
jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia nomor 13 tahun 2014 tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal,
tahaptahap uji pada obat herbal meliputi klaim kegunaan, uji non klinik yang
dilakukan pada hewan, serta uji klinik yang dilakukan pada manusia dan terdiri
dari 4 tahap. Obat herbal yang akan diuji klinik memerlukan adanya data uji
toksisitas dan minimal diperlukan data LD50. Uji klinik obat herbal harus

3
memberikan manfaat nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
kepentingan masyarakat, mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik,
mendapatkan persetujuan atau menyampaikan notifikasi kepada Kepala Badan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan nomor 9 tahun 2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik, dan
mengacu pada Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik dan Pedoman Uji Klinik Obat
Herbal (2014).

Toksikopatologi
Toksikopatologi, atau juga disebut sebagai patologi toksikologis, dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perubahan sel, jaringan, dan organ
yang diinduksi oleh toksikan, toksin, dan agen fisik serta mekanisme atas
munculnya perubahan-perubahan tersebut. Dari informasi yang diperoleh,
dilakukan perkembangan dari pengujian risiko dan kebijakan pengendalian risiko
(Rousseaux 2005).
Patologi toksikologis utamanya mempelajari efek morfologis dan struktural
akibat toksikan serta mekanisme kejadian efek struktural tersebut (Rousseaux
2005). Perubahan patologis yang terjadi bisa diamati di organ yang terekspos oleh
zat toksik. Pengamatan patologi hati dan ginjal dilakukan terhadap zat toksik yang
dikonsumsi secara oral.
Drug-induced hepatotoxicity adalah kerusakan hati yang diinduksi oleh
obat-obatan, dan mencakup perubahan ringan pada hasil uji fungsi hati hingga
kegagalan fungsi hati. Kebanyakan kasus drug-induced hepatotoxicity melibatkan
transformasi dari obat asal menjadi zat perantara aktif yang berisfat toksik atau
memicu respons imun (Helms dan Quan 2006). Beberapa produk herbal dan teh
telah diimplikasikan dalam beberapa kasus hepatotoksisitas yang parah.
Drug-induced nephrotoxicity adalah kerusakan organ ginjal akibat
obatobatan yang bervariasi tergantung konsentrasi obat yang terpapar pada ginjal.
Terdapat empat lesio yang digunakan untuk mendeskripsikan kerusakan ginjal
akibat penggunaan obat yaitu acute tubular necrosis (ATN), acute
tubulointerstitial disease (ATID), chronic tubulointerstitial disease (CTID), dan
glomerulonephritis (GN) (Helms dan Quan 2006).

Mangium
Mangium adalah pohon yang cepat pertumbuhannya dan paling umum
digunakan dalam program pembangunan hutan tanaman di Asia dan Pasifik
(Krisnawati et al. 2011). Pohon ini memiliki kualitas kayu yang baik dan
kemampuan toleransi yang tinggi terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan
(National Research Council 1983 dalam Krisnawati et al. 2011).

4
Mangium memiliki akar tunggal dan tingginya mencapai 30 meter dengan
diameter hingga 90 cm. Mangium tumbuh di dataran rendah tropis lembab dengan
ketinggian 9-800 meter di atas permukaan laut dan temperatur 18-28 oC, serta
merupakan tumbuhan asli di Australia, Indonesia, dan Papua Nugini. Di
Indonesia, Mangium terdapat di Kepulauan Aru, Irian Jaya, Seram, dan
Kepulauan Sula (Orwa et al. 2009).
Menurut Krisnawati et al. (2011), kayu mangium dapat digunakan untuk
pulp, kertas, papan partikel, krat, kepingan kayu, kayu penggergajian, molding,
mebel, vinir, dan kayu bakar serta arang. Daun mangium dapat digunakan sebagai
pakan ternak, sementara cabang dan daun keringnya dapat digunakan sebagai
bahan bakar. Serbuk gergaji mangium dapat digunakan sebagai substrat
berkualitas tinggi untuk produksi jamur konsumsi. Penggunaan non kayu
mangium adalah bahan perekat dan produksi madu.

Gambar 1: Pohon mangium (kanan), buah dan daun mangium (kiri)
Sumber: PIER (2013)
Menurut Wina et al. (2010), antioksidan yang terkandung dalam ekstrak
kulit kayu mangium adalah tanin. Tanin adalah senyawa fenolik yang memiliki
berat molekul tinggi dan mengandung cukup gugus hidroksil dan gugus lain yang
cocok untuk membentuk kompleks kuat dengan protein dan makromolekul lain
(Hoffman 2003).

Hati
Hati adalah kelenjar terbesar di dalam tubuh yang terletak di bagian teratas
rongga abdomen di sebelah kanan diafragma. Fungsi hati berkaitan dengan
metabolisme tubuh, kandungan zat-zat normal darah, pembentukan ureum,
penyerapan bilirubin, dan detoksikasi. Fungsi detoksikasi hati menjadi sangat
penting dalam mengamankan racun yang ada di dalam tubuh agar tidak tejadi
keracunan (Pearce 2009).
Aliran darah kaya nutrisi masuk ke hati melalui vena portal, sementara
aliran darah kaya oksigen masuk melalui arteri hepatica (Colnot dan Perret 2011).
Vena portal berfungsi mengumpulkan darah dari daerah mesenterika dan limpa,
sementara arteri hepatica mengumpulkan darah dari daerah coeliac (Indu 2012).

5
Vena portal dan arteri hepatica merupakan bagian dari segitiga Kiernan (portal
triad) bersama dengan saluran empedu intralobuler yang mengalirkan cairan
empedu. Darah mengalir dari vena portal dan arteri hepatica ke vena
sentrilobuler. Fungsi metabolisme dilakukan oleh hepatosit yang tersebar dari
segitiga Kiernan ke venule hepatic (Colnot dan Perret 2011). Hasil metabolisme
dan produk sel hati serta CO2 dikeluarkan melalui vena centralis (Indu 2012).
Zonasi hati pertama kali diperkenalkan oleh Jungermann pada 1996 yang
mendemonstrasikan perbedaan fungsi hepatosit berdasarkan posisinya mengikuti
porto-central axis dari lempeng sel hati. Zona 1 mengelilingi segitiga Kiernan dan
berhubungan dengan aliran darah aferen, serta berfungsi dalam metabolisme
glukosa, metabolisme lipid berupa degradasi asam lemak, katabolisme histidin
dan serin, serta detoksifikasi amonia. Zona 3 berada di dekat vena sentrilobular
dan berhubungan dengan aliran darah keluar, serta berfungsi dalam metabolisme
obat dan xenobiotic, metabolisme lipid berupa lipogenesis, pembentukan empedu
dari kolesterol, metabolisme beberapa asam amino, serta sintesis glutamin. Zona 2
berada di antara zona 1 dan 3 (Colnot dan Perret 2011). Sesuai dengan zona dan
fungsi selnya, kerusakan sel hati di antaranya adalah degenerasi hidropis,
degenerasi lemak, dan nekrosis.
Sel hati yang menderita degenerasi hidropis tampak membengkak (distensi)
dengan bagian yang kosong (vakuola) di dalam sitoplasma, bahkan terkadang
mengisi seluruh sitoplasma, dan sel tampak menggelembung. Nukleus tetap
terdapat di tengah-tengah sel (Gopinath dan Mowat 2014). Degenerasi hidropis sel
hati adalah edema osmotik sel akibat kerusakan homeostasis energi hepatoseluler
dan perubahan permeabilitas membran sel. Perubahan ini mempengaruhi pompa
ion yang terdapat di dalam membrane sel sehingga terjadi influks air dan sodium
(Dancygier 2010). Hilangnya integritas membran memicu akumulasi cairan di
dalam sel. Sel yang menderita degenerasi hidropis sering berada dekat dengan
area nekrosis. Perubahan ini bersifat reversible, namun bisa meningkat ke arah
nekrosis (Gopinath dan Mowat 2014).
Sel hati yang menderita degenerasi lemak sering ditemukan pada rodensia.
Keberadaan lemak periportal adalah hal yang normal pada mencit betina.
Degenerasi lemak (steatosis) disebabkan oleh kerusakan oksidatif pada lipid,
protein, dan DNA pada mitokondria; penghambatan enzim oksidasi β dan
replikasi DNA mitokondrial; dan penghambatan, koenzim A yang memicu
munculnya neurotoksin 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydro- pyridine (MPTP).
Akibatnya asam lemak tidak diproses dengan baik oleh mitokondria dan sebagian
besar diesterifikasi menjadi trigliserida. Terjadi peningkatan residu asam lemak
yang tidak teresterifikasi dan penumpukan trigliserida sebagai vesikel kecil di
dalam sel (Pessayre et al. 2001). Vakuolisasi sering muncul di daerah
sentrilobular dan periportal serta jarang di daerah midzonal atau secara difus.
Perubahan yang terjadi secara ekstensif menggeser nukleus ke tepi. Perubahan ini
bersifat reversible (bisa kembali ke keadaan sehat), namun bila terjadi secara
parah dan persisten dapat memicu nekrosis, fibrosis, inflamasi, hiperplasia
nodular, dan defisiensi kolin (Gopinath dan Mowat 2014).
Kematian sel hati yang masih melekat pada jaringan parenkim normal
disebut nekrosis. Secara umum nekrosis pada hati bersifat koagulatif dan
terdistribusi berdasarkan zona. Walaupun ada banyak teori mengenai nekrosis,
kejadian patogenetik yang sangat penting adalah kerusakan mitokondria yang

6
diikuti penurunan fosforilasi oksidatif, penurunan ATP, kehilangan hemostasis
energi, dan peningkatan permeabilitas membran plasma. Peningkatan influks ion
Ca++ mengaktifkan hidrolase degradatif seperti protease, fosfolipase, dan
endonuklease yang memperparah kerusakan membran plasma. Dalam kehadiran
oksigen, terjadi peroksidasi lipid yang semakin merusak membran plasma dan
mengganggu hubungan sitoskeleton dan membran plasma. Akibatnya integritas
membran sel hilang, terjadi akumulasi kalsium intraseluler, serta terjadi kematian
sel (Dancygier 2010). Zona yang nekrosis mengalami kehilangan glikogen dan
peningkatan plasma enzim liver-specific. Bila kerusakan yang terjadi bersifat
ringan atau zonal, perbaikan berupa regenerasi terjadi dengan cepat sehingga tidak
terjadi pembentukan luka. Pada kasus yang parah zona yang nekrotik bergabung
dengan lobulus yang berdekatan, membentuk bridging necrosis (Gopinath dan
Mowat 2014). Kerusakan akibat hepatotoksisitas herbal berupa zonal/ bridging
necrosis, fibrosis, steatosis, dan venooclusice disease (VOD) atau sekarang
dikenal sebagai sinusoidal obstructive syndrome (SOS) (Boyer et al. 2012).

Ginjal
Ginjal adalah organ berbentuk kacang dan berjumlah sepasang yang berada
di daerah abdomen. Ginjal adalah organ utama yang mensekresi zat yang larut
dalam cairan yang tidak direabsorpsi di saluran pencernaan, dan sebagian besar
ekskresi obat dilakukan oleh filtrasi ginjal (Le 2014). Fungsi utama ginjal adalah
mengekskresikan produk buangan terutama urea dan mengatur keseimbangan air,
elektrolit, serta asam dalam tubuh.
Glomerulus adalah unit filtrasi dari ginjal yang terdiri atas beberapa
kumparan. Darah masuk ke glomerulus melalui arteriol afferent, sehingga
glomerulus adalah bagian ginjal yang pertama terpapar oleh zat toksik. Menurut
Le (2014) filtrasi ginjal oleh glomerulus berperan utama dalam ekskresi obat.
Metabolit obat yang sebagian besar bersifat polar tidak bisa berdifusi kembali ke
sirkulasi dan dieksresi menggunakan mekanisme transport yang spesifik untuk
reabsorbsi senyawa polar.
Tubulus proksimal berperan penting dalam mengeliminasi banyak obat
melalui proses sekresi aktif tubulus (Le 2014). Proses ini bergantung pada energi,
dan mungkin dihentikan oleh inhibitor metabolik. Saat konsentrasi obat tinggi,
tranportasi sekretoris bisa mencapai batas tertinggi (transport maksimum).
Sebagian besar obat yang bersifat nefrotoksik menyebabkan kerusakan
melalui perubahan hemodinamika glomerular, inflamasi, toksisitas sel tubular,
crystal nephropathy, rhabdomyolisis, dan thrombotic microangiopathy (Naughton
2008). Kerusakan ginjal sering bersifat reversible bila obat yang berpengaruh
dihentikan.
Peradangan oleh obat menyebabkan perubahan pada glomerulus, sel
tubulus, dan jaringan interstitial, serta menyebabkan fibrosis dan kerusakan pada
ginjal (Naughton 2008). Sel tubulus renal, terutama sel tubulus proksimal, rentan
terhadap efek toksik obat akibat peran mereka dalam memekatkan dan
mereabsorpsi filtrat glomerular yang mengandung konsentrasi toksin tersirkulasi

7
yang tinggi. Menurut Gupta (2012), kerusakan pada daerah tubular adalah pola
yang paling umum ditemukan pada kasus cedera ginjal oleh zat toksik, sementara
bagian yang paling terpengaruh zat nefrotoksik adalah tubulus proksimal.
Kerusakan tubulus proksimal bisa disebabkan oleh kerusakan langsung oleh
toksikan, aktivasi metabolik dari toksikan, dan gangguan endotel atau membran
basal secara ischemic-reperfusion, fisika, maupun kimiawi. Hal ini terjadi akibat
kerusakan fungsi mitokondria sehingga mengganggu proses transportasi tubular,
meningkatkan stress oksidatif, atau membentuk radikal bebas (Naughton 2008).

METODE
Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dimulai dengan pengajuan proposal ke Komisi Etik Hewan. Hasil
scan Sertifikat Persetujuan Etik Hewan (SKEH) dengan nomor
033/KEH/SKE/IV/2015 dikeluarkan pada 20 April 2015 terlampir (Lampiran 1).
Penelitian ini dilakukan bulan Maret- Juni 2015. Penelitian toksikopatologi
berupa penghitungan derajat kerusakan sel organ hati dan ginjal dilakukan di
laboratorium Divisi Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan kimia yang digunakan adalah ekstrak kulit kayu mangium dengan
konsentrasi 30%, mencit putih jantan berumur 2 bulan, pakan mencit produksi PT
Charoen Popkhand, blok parafin, xylol, etanol absolut, etanol 90%, etanol 80%,
larutan hematoksilin, larutan pembiru, air keran, dan larutan eosin.
Alat-alat yang digunakan adalah kandang mencit, alat sonde lambung,
peralatan gelas (gelas piala, gelas ukur, pipet, cawan petri), peralatan bedah
minor, syringe, jarum suntik, tabung eppendorf, mikrotom, mikroskop, dan
komputer.

8
Prosedur Analisis Data
Prosedur analisis data yang dilakukan terbagi menjadi tiga bagian yaitu uji
pendahuluan, pembuatan preparat, dan analisis data. Alur prosedur dapat dilihat di
Gambar 2.

Gambar 2: Alur penelitian

Uji Pendahuluan
Mencit putih jantan (Mus musculus) berumur 2—3 bulan dengan berat
berkisar 20-30 g per ekor diadaptasi selama 2 minggu sebelum dilakukan
pengujian. Menurut OECD (2001) dalam setiap langkah uji toksisitas akut bisa
digunakan 3 ekor hewan coba. Mencit berasal dari BP POM.
Adaptasi mencit dilakukan pada kandang plastik ukuran (30 x 20 x 10) cm3
dengan alas berupa serbuk gergaji. Kandang mencit diberi ‗panggung‘ dari bahan
kawat agar feses dan urin mencit bisa jatuh ke dasar kandang dan mencit tidak
terkontaminasi kotoran. Suhu kandang mencit ber
25ºC dan
kelembaban 79%. Kandang mencit dibersihkan satu kali sehari.
Perlakuan yang diberikan berupa pemberian dosis per oral sebesar 0.56 mg/
kg BB sekali sehari selama 7 hari dan pengamatan tingkah laku berupa
agresivitas, tegak rambut, nafsu makan, dan bobot mencit untuk melihat tingkat
stres mencit. Uji MDA menggunakan spektrofotometer terhadap serum darah
mencit dilakukan setelah perlakuan selesai. Kelompok mencit dengan hasil uji
MDA yang paling baik berarti menerima dosis ektrak kayu mangium yang efektif.
Pengambilan organ
Mencit yang telah mati dibedah bagian abdomennya untuk mendapatkan
preparat hati dan ginjal. Hati dan ginjal kemudian disimpan di dalam wadah
plastik berisi buffer netral formalin (BNF) 10%.

9
Histopatologi
Menurut Muntiha (2001), proses pembuatan preparat histopatologi dimulai
dengan pemotongan jaringan organ lalu dimasukkan di dalam larutan fiksatif dan
didehidrasi dengan larutan etanol bertingkat. Selanjutnya parafin cair dituang ke
jaringan. Setelah blok parafin membeku, dilakukan pemotongan preparat,
penempatan preparat pada kaca objek, dan pewarnaan preparat dengan
hematoksilin eosin.
Pewarnaan hematoksilin eosin melibatkan banyak komponen, yaitu xylol,
etanol absolut, etanol 90%, etanol 80%, air keran, larutan hematoksilin, larutan
pembiru, dan larutan eosin selama 1-5 menit. Preparat yang telah diwarnai diberi
1 tetes cairan perekat (Enthelan) dan selanjutnya ditutup dengan kaca penutup.
Hasil pewarnaan dapat dilihat di bawah mikroskop (Muntiha 2001).
Organ yang telah dibuat preparat histopatologi diperiksa di bawah
mikroskop lalu difoto dengan perbesaran lensa objektif 40x sebanyak masingmasing 10 lapangan pandang untuk daerah di sekitar vena sentralis dan segitiga
Kiernan serta 5 lapangan pandang pada ginjal kanan dan 5 lapangan pandang pada
ginjal kiri. Jumlah sel yang mengalami degenerasi hingga nekrosa dihitung per
lapangan pandang menggunakan program komputer ImageJ. Penilaian kerusakan
sel (scoring) dilakukan pada masing-masing lapangan pandang.
Segitiga Kiernan adalah daerah hati yang berhubungan dengan aliran darah
masuk. Pemeriksaan sel hati di segitiga Kiernan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Histopatologi sel hati di daerah segitiga Kiernan.
a= sel normal; b=sel degenerasi hidropis, sitoplasma tidak homogen dan
pucat. Pewarnaan HE.

10
Daerah hati yang berhubungan dengan aliran darah keluar adalah vena
centralis. Pemeriksaan sel hati pada daerah ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Histopatologi sel hati di daerah vena centralis.
b=sel degenerasi hidropis, sitoplasma tidak homogen dan pucat. Pewarnaan
HE.
Tubulus proksimal ginjal berfungsi dalam mengeksresikan sisa metabolisme
obat. Pemeriksaan sel epitel tubulus proksimal ginjal dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5 Histopatologi sel epitel tubulus proksimal ginjal.
c= degenerasi lemak, terdapat vakuola jernih di sitoplasma; d= sel nekrosis,
inti sel mengalami piknosis. Pewarnaan HE.

11
Uji Statistik
Data diolah dalam rancangan acak lengkap dengan program Microsoft Excel
2010 dan IBM SpSS 16.0 menggunakan metode One Way ANOVA dengan uji
Post Hoc Duncan dan tingkat kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan tingkah laku, rambut, nafsu makan, dan bobot mencit serta
jumlah sel yang mengalami lesi pada organ hati dan ginjal dilakukan untuk
mengetahui efek toksik obat mencit. Perbedaan yang terjadi antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan dianggap disebabkan oleh pemberian ekstrak
kulit kayu mangium.
Tingkah Laku, Rambut, Nafsu Makan, dan Bobot Mencit
Pengamatan tingkah laku, rambut, nafsu makan, dan bobot mencit dilakukan
selama 7 hari perlakuan. Pengamatan ini dilakukan untuk meneliti tingkat stres
mencit yang berpengaruh besar pada validitas data yang diambil (Wishaw dan
Kolb 2005). Menurut sumber yang sama tingkat agresivitas yang tinggi
menunjukkan ketidakstabilan sosial dalam kelompok mencit, sementara rambut
yang mencit yang beridiri adalah respon mencit terhadap tekanan suhu dingin.
Nafsu makan dan bobot mencit berhubungan dengan homeostasis mencit (Wishaw
dan Koln 2005).
Dari pengamatan yang dilakukan, tidak ada kelainan berupa tingkah laku
agresi dan kelainan pada rambut mencit. Rerata konsumsi pakan dan perubahan
bobot badan kedua kelompok tidak berbeda nyata secara statistik, namun
konsumsi pakan dan bobot badan mencit kelompok perlakuan lebih tinggi secara
numerik. Hal menunjukkan bahwa pemberian ekstrak mangium meningkatkan
nafsu makan dan bobot badan mencit secara tidak signifikan. Sebagai
perbandingan, pada penelitian Harlina (2007) pemberian tepung daun Acacia
villosa dalam berbagai konsentrasi selama 4 minggu menyebabkan penurunan
pertambahan berat badan tikus.
Tabel 1 Konsumsi pakan dan perubahan bobot mencit dari kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan selama 7 hari pemberian ekstrak
Hari ke
Bobot (g)
Kontrol
Perlakuan
Rerata konsumsi pakan
12.12a
17.38a
Rerata perubahan bobot
mencit

0.10a

0.30a

Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan nyata
(p