Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering Dengan Kombinasi Fermentasi

PROSES PRODUKSI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN
PROSES SEMI KERING DENGAN KOMBINASI
FERMENTASI

ABDUL MAJID

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Proses Produksi Tepung Sagu
Menggunakan Proses Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.


Bogor, Agustus 2015
Abdul Majid
NRP F351110041

RINGKASAN
ABDUL MAJID. Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan
Kombinasi Fermentasi. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH dan BAMBANG
HARYANTO
Kebutuhan tentang pati dan tepung meningkat seiring dengan berkembangnya pola
konsumsi masyarakat dan industri baik itu peruntukan pangan dan non pangan. Ditunjang
dengan potensi kandungan pati dalam batang sagu cukup besar sebagai tanaman palma
pertama yang ketersediaannya cukup besar di Indonesia dan kandungan patinya cukup tinggi.
Sementara dalam proses untuk mendapatkan pati sagu, yang pada umumnya dilakukan proses
ektraksi dengan media air dan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang mengakibatkan
pencemaran lingkungan. Disisi lainnya, ketersediaan air akan berkurang baik secara kuantitas
maupun kualitas yang akan berpengaruh pada mutu pati sagu yang dihasilkan. Selain itu sagu
sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat
tepung secara langsung. Maka perlu dilakukan pengembangan pengolahan tepung sagu secara
fermentasi dengan stater yang mudah didapat.

Penelitian ini bertujuan memperoleh kondisi terbaik pengembangan proses produksi
tepung sagu semi kering dengan perlakuan fermentasi yang meliputi variasi stater yang
mudah didapat dipasaran dan variasi lama perendaman, mendapatkan alternatif proses
produksi tepung sagu dengan meminimalisasi penggunaan air, menurunkan kadar serat kasar
pada tepung sagu yang dihasilkan.
Penelitian diawali dengan persiapan bahan baku dengan pengujian karakterisitik bahan
baku sagu serta dilakukan pengecilan ukuran dengan cara pemarutan. Kemudian dilakukan
pelaksanaan penelitian di Laboratorium. Penelitian di laboratorium dimulai dengan pemilihan
stater yang selanjutnya dilakukan proses inkubasi dan penepungan, pengujian distribusi
ukuran partikel tepung sagu serta pengujian mutu tepung. Setelah itu dilakukan analisis
kelayakan.
Rancangan percobaan yang digunakan rancangan acak lengkap 2 faktor, yaitu faktor
proses fermentasi (jenis starter) dan yaitu : Bimo CF, Ragi tape, Spontan, sedangkan level
faktor untuk lama perendaman adalah 5 taraf, yaitu : 1,2,3,4 dan 5 hari dengan 2 ulangan.
Penelitian ini dilaksanakan selama Lima bulan yaitu pada bulan Januari 2014 sampai
dengan Mei 2014. Pembuatan tepung jagung dilakukan di Laboratorium Teknologi
Agroindustri, LABTIAB – PUSPIPTEK Serpong. Pengujian tepung jagung dilakukan di
Laboratirum Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Uji
dan Analisa LABTIAB – PUPSPIPTEK Serpong.
Proses produksi tepung sagu semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi

menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape dapat dijadikan sebagai alternatif pengolahan
sagu. Tepung sagu yang dihasilkan mempunyai kadar serat yang berkisar antara 1 % sampai
dengan 2 %. Dimana sebagai syarat sagu untuk industri sebesar 1 % (MS468, 1976), granula
pati sesuai standar SNI 01-3729-1995, memiliki pH yang memenuhi standar untuk pangan
SIRIM MS 470:1992 sebesar 4.5 sampai 6.5 dan rendemen tertinggi pada waktu perendaman
2 hari sebesar 26.40 % dan waktu perendaman 3 hari sebesar 26.50 % pada penggunaan
starter Bimo CF dan rendemen tertinggi untuk penggunaan stater ragi tape sebesar 24.75 %
pada waktu perendaman 1 hari.
Perlakuan fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape serta fermentasi
spontan berpengaruh nyata terhadap kehalusan. Kehalusan tepung sagu yang dihasilkan
sesuai dengan persyaratan standar SNI 01-3729-1995.

Hasil pengamatan dengan SEM menunjukan perlakuan fermentasi dengan variasi stater
dan waktu perendaman secara umum menghasilkan granula pati yang mempunyai bentuk
oval atau berbentuk telur dan sebagian diantaranya memiliki ujung yang rata atau pepat dan
serupa dengan granula pati standar SNI 01-3729-1995.
Proses produksi tepung sagu secara proses semi kering yang dikombinasikan dengan
fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape pada waktu inkubasi 1 sampai 3 hari
dapat memperbaiki sifat gelatinisasi yaitu menurunkan waktu dan suhu gelatinisaasi,
mempunyai kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi dan terjadi perbaikan dibanding

pati sagu yang diproduksi oleh UKM, tetapi daya pengentalannya tidak tahan pada kondisi
suhu tinggi dan tidak berpengaruh nyata terhadap breakdown viscosity serta viskositas
panas, tahan terhadap retrogradasi adonan sehingga adonan lebih lunak jika dibandingkan
pati sagu dan fermentasi dengan variasi starter dan waktu perendaman berpengaruh nyata
terhadap viskositas dingin dan setback viscosity. Tepung sagu yang dihasilkan berpotensi
sebagai bahan pangan dan untuk industri namun perlu ada upaya lebih lanjut untuk
meningkatkan kecerahan tepung sagu sehingga lebih diminati oleh industri pengguna.
Proses produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi
menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape layak secara finansial. Dengan nilai NPV DF
16% sebesar Rp. 362.167.291,-, IRR sebesar 20.53 %, net B/C ratio sebesar 2.24 dan Pay
Back Period sebesar 4.68 tahun untuk penggunaan stater Bimo CF. dan untuk penggunaan
stater ragi tape nilai NPV DF 16% sebesar Rp. 321.531.459,-, IRR sebesar 19.44 %, net B/C
ratio sebesar 2.18 dan Pay Back Period sebesar 4.89 tahun. Penggunaan kedua stater tersebut
lebih sensitiv terhadap peubahan harga jual produk tepung sagu disbanding terhadap
perubahan harga bahan baku sehingga perlu dicari terobosan pasar dan pengembangan
produk hilir.
Kata kunci : sagu, pati, tepung sagu, fermentasi, serat, stater.

SUMMARY


ABDUL MAJID. The Process Of Sago Flour Production use Semi-Dry Process Combine
With Fermentation. Supervised by DWI SETYANINGSIH and BAMBANG HARYANTO
Requirement about starch and flour increase with the growing society and industry
consumption patterns either food and non food. potential of sago starch content in the trunk is
quite large as the palm tree first availability in Indonesia pretty large and pretty high starch
content. While in the process to obtain sago starch, which is generally done with the water
extraction process and the accumulation of waste water sago starch resulting in
environmental pollution. The other hand, the availability of water will diminish in quantity
and quality that would affect the quality of sago starch is produced. In addition sago most of
the material is skin and pulp making it difficult to make flour directly. It is necessary to the
development of processing sago starch is fermented with a starter that is easily obtainable.
This study aimed to obtain the best conditions the development of the production
process sago flour semi-arid with the treatment of fermentation include variations stater
easily available in the market and variations of incubation time, get an alternative production
process sago flour to minimize water use, reduce levels of crude fiber in corn starch
produced.
The study begins with the preparation of raw materials to testing the characteristics of
raw materials sago and size reductions. Then the implementation of the research conducted in
the laboratory. Research in the laboratory begins with the selection of the starter is then
performed incubation process and flouring, testing the particle size distribution of corn starch

and flour quality testing. Once the feasibility analysis.
The experimental design used randomized design with two factors, the fermentation process
(type of starter): Bimo CF, yeast, Spontaneus, level of long incubation factor is 5 levels:
1,2,3,4 and 5 days with 2 replications.
The research was conducted during the five months that in January 2014 to May 2014.
Making sago flour done in the Laboratory of Agro-Industry Technology, LABTIAB PUSPIPTEK Serpong. Tests is done in Laboratirum analysis IPB Department of Agricultural
and Industrial Technology Laboratory Testing and Analysis LABTIAB - PUPSPIPTEK
Serpong.
Sago flour production processes combined with a semi-dry fermented using yeast
starter Ben CF can be used as an alternative treatment of sago. Corn starch produced has a
fiber content between 1% to 2%. Where as a condition for the sago industry amounted to 1%
(MS468, 1976), starch granule according to the standard of SNI 01-3729-1995, has a pH that
meet the standards for food SIRIM MS 470: 1992 of 4.5 to 6.5 and the highest yield at the
time of incubation 2 days amounted to 26.40% and the incubation time 3 days amounted to
26.50% in the use of starter Bimo CF and the highest yield for yeast starter usage by 24.75%
at 1 day of incubation time.
Fermentation using yeast and starter Bimo CF with spontaneous fermentation
significant effect on fineness. Fineness sago starch produced in accordance with the standard
requirements of SNI 01-3729-1995.
The observation by SEM showed treatment with a variation starter fermentation and

incubation time generally produces starch granule that have an oval shape or egg-shaped, and
some of them have a flat tip or oblate, and similar to the standard starch granule SNI 013729-1995.

The production process sago flour semi-dry combined with fermented using starter Bimo CF
and yeast on the incubation time of 1 to 3 days can improve of gelatinization which decreases
the time and gelatinization temperature, has a good stable viscosity at high temperatures and
there is improvement compared sago starch produced by UKM. Fermentation significant
effect on the final viscosity, setback viscosity and pasting temperature but had no effect on
peak time, breakdown viscosity, through viscosity, and peak viscosity and the potential of
sago flour as food.
The production process of corn starch with a combination of semi-dry fermented
using yeast starter Bimo CF and yeast financially feasible. With NPV DF 16% price of Rp.
362 167 291, -, IRR of 20:53%, net B / C ratio of 2:24 and Pay Back Period amounted to 4.68
years for using starter Bimo CF. and to using yeast starter NPV DF 16% the price of Rp. 321
531 459, -, IRR of 19:44%, net B / C ratio of 2:18 and Pay Back Period amounted to 4.89
years. The second use of the starter is more sensitive to changes in selling prices of sago flour
to change in raw material prices that is necessary to find a market breakthrough and
development of downstream products.
Key word : sago, starch, sago flour, fermentationi, fiber, starter.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PROSES PRODUKSI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN
PROSES SEMI KERING DENGAN KOMBINASI
FERMENTASI

ABDUL MAJID

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian


SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi : Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si.

Judul Tesis
Nama
NRP

: Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan
Kombinasi Fermentasi.
: Abdul Majid
: F351110041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Ketua


Anggota

Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si.

Prof. Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS.

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Machfud, MS.

Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian : 18 Agustus 2015

Tanggal Lulus : 31 Agustus 2015


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah tepung sagu, dengan judul Proses Produksi
Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si. dan Prof.
Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan
masukan dan arahan selama penyelesaian tesis ini. Rasa terima kasih juga penulisa
sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Machfud, MS. selaku Ketua Program Studi Teknologi Industri
Pertanian yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan studi di Program
Studi Teknologi Industri Pertanian. Tak lupa terima kasih penulis haturkan kepada Dr.
Indah Yuliasih, S.TP, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Titi Candra
Sunarti, M.Si. yang telah bersedia memberikan masukan dan tambahan wawasan untuk
perbaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, terima kasih juga penulis sampaikan rekanrekan Teknologi Industri Pertanian angkatan 2009 serta semua pihak di Institut Pertanian
Bogor yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Rasa terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Priyo Atmaji, M.Eng, Ir. Nenie
Yustingsih, M.Sc. selaku Direktur Pusat Teknologi Agroindustri, Dr. Aton Yulianto, S.Si,
M.Eng., Ir. Irshan Zainudin, M.Si dan Drs. Agus Triputranto, MM. selaku atasan langsung di
Bidang Teknologi Agroindustri Pangan dan Hortikultura dan para pihak terkait di Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah membantu terlaksananya studi karya siswa
penulis di IPB, serta kepada rekan-rekan di Laboratorium Teknologi Agroindustri, LABTIAB
– PUSPIPTEK Serpong yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Ungkapan terima kasih yang tidak terkira disampaikan kepada mereka yang tercinta
Bapak, Emih, Mama, Papa, Erni, Faiha, Farras, Jiyad, Barra serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Abdul Majid

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Ruang Lingkup

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Sagu
Pati Sagu
Tepung Sagu
Fermentasi Tepung Sagu

4
4
6
7
7

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Peralatan
Tahapan Penelitian

8
8
8
9

PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku
Pengaruh Fermentasi Terhadap Komponen Kimia Tepung Sagu
Pengaruh Fermentasi Terhadap Distribusi Partikel Tepung Sagu
Pengaruh Fermentasi Terhadap Rendemen Tepung Sagu
Pengaruh Fermentasi Terhadap Ukuran Partikel Tepung Sagu
Pengaruh Fermentasi Terhadap Sifat Visco Amilografi
Pengukuran pH
Derajat Putih
Optimasi Proses
Desain Proses
Analisa Kelayakan Finansial
Kriteria Kelayakan Investasi
Analisa Sensitivitas

18
18
20
25
28
30
32
38
39
40

KESIMPULAN
Kesimpulan

46
46

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

47

42
43
44

DAFTAR TABEL

2.1
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
4.10
4.11
4.12

Perkiraan Areal Agihan Sagu Dunia (Louhenapessy 2010)
Karakteristik Bahan Baku Sagu
Kadar serat dari tepung pada beberapa sumber karbohidrat
Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi
menggunakan ragi tape pada berbagai variasi waktu perendaman
Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan
Bimo CF pada berbagai variasi waktu perendaman
Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi spontan pada
berbagai variasi waktu perendaman
Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil pengujian kontrol positif
pada berbagai variasi waktu perendaman
Hasil analisa rendemen terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai
variasi stater dan waktu perendaman
Perbandingan sifat amilografi tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai
variasi stater dan waktu perendaman.
Perbandingan nilai respon kadar serat tepung sagu pada berbagai kondisi.
Hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil
fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi.
Perbandingan hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung
sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi pada saat bahan
baku sagu naik 10%.
Perbandigan hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung
sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi pada saat harga jual
produk utama turun 10%.

5
18
19
21
22
23
25
29
33
40
43
44
44

DAFTAR GAMBAR

3.1
3.2
4.1
4.2
4.3
4.4

4.5
4.6
4.7
4.8

Grafik perubahan viskositas (amilogrm) pada tepung
Skema Pelaksanaan Penelitian
Bagian batang sagu (Louhenapessy, 2010) (A) dan struktur anatomi batang
(B).
Grafik persentase tepung yang tidak lolos ayakan +30 mesh terhadap waktu
perendaman pada berbagai variasi stater
Grafik presentase tepung sagu lolos ayakan 100 mesh terhadap waktu
perendaman dan pada berbagai variasi stater
Foto hasil SEM untuk (A) tepung sagu hasil fermentasi dengan stater Bimo
CF. (B) stater ragi tape. (C) fermentasi spontan (1,2,3,4 = waktu
inkubasi/hari). (D) dan kontrol positif (1 = waktu inkubasi 1 hari, 2 = waktu
inkubasi 3 hari). (E) pati sagu standar SNI 01-3729-1995.
Grafik sifat amilograpi tepung sagu (A) stater Bimo CF, (B) stater ragi tape
(C) fermentasi spontan.
Grafik hasil pengukuran pH terhadap waktu perendaman dan pada berbagai
variasi starter
Grafik hasil pengukuran derajat putih terhadap waktu perendaman dan pada
berbagai variasi starter.
Desain proses produksi tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi

14
17
26
27
27
31

35
38
40
41

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tumbuh kembangnya suatu negara mempengaruhi pola hidup
masyarakatnya, terutama dalam hal mengkonsumsi makanan yang diakibatkan
karena keterbatasan waktu dan tempat, sehingga pola konsumsi makanan
masyarakat beralih dari makanan konvensional ke makanan yang serba praktis.
Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat yang hidup di kota-kota besar maupun
kecil di Indonesia mulai terbiasa mengkonsumsi makanan siap saji maupun siap
konsumsi yang banyak tersedia di pasar-pasar tradisional maupun pasar-pasar
modern di berbagai kota di Indonesia. Makanan-makanan siap saji maupun siap
konsumsi tersebut utamanya didominasi oleh mie/bihun/bubur instan, roti dan
biskuit. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan terigu
sebagai bahan baku utamanya. Kondisi ini akan menjadikan bangsa kita
mempunyai ketergantungan yang tinggi kepada bangsa-bangsa lain untuk
pemenuhan kebutuhan pangan, terutama beras dan terigu (BPPT, 2010). Sebagai
Negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya akan tanaman
penghasil karbohidrat dan mampu menjadi sumber karbohidrat terbesar di dunia.
Pada umumnya karbohidrat tersebut diperoleh dari biji-bijian seperti beras,
gandum, jagung, sorgum dan semacamnya, disamping itu juga diperoleh dari
umbi-umbian seperti ubi kayu, talas, garut, ganyong dan semacamnya. Selain itu
ada juga jenis tanaman lain yang menyimpan karbohidrat atau pati pada bagian
batang seperti Aren (Arenga piñata), Sagu (Metroxylon sp) dan sebagainya
(Haryanto, 1994).
Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal sekitar 1.128
juta Ha atau 51.3% dari 2.201 juta Ha areal sagu dunia, dengan potensi
produktivitasnya cukup tinggi sebesar ± 30 ton/ha/tahun, jauh melebihi sumber
pangan lainnya seperti padi 10 sampai 16 ton/ha/tahun dan jagung 8 sampai 10
ton/ha/tahun (Alfons dan Rivaie, 2011). Indonesia mempunyai banyak daerah
yang berpotensi ditanami sagu. Tercatat, sekitar 183 kabupaten yang tersebar di
27 provinsi dinilai potensial untuk pengembangan tanaman sagu. Total pati sagu
yang dapat dihasilkan seluruh Indonesia potensinya dapat mencapai 6.84 juta
ton/tahun (Syakir dan Elna, 2013). Kandungan terbesar dalam sagu ialah
karbohidrat, dalam 100 g sagu kering terdapat 94 sampai 96 g karbohidrat lebih
tinggi dibandingkan dengan beras 80.4 g, jagung 71.7 g, maupun kentang 16.3 g
(Ni’mah et al., 2013).
Pengolahan batang sagu saat ini titik beratnya adalah menghasilkan pati
sagu, walaupun di pedesaan pemanfaatan bagian lain dari tumbuhan sagu seperti
daun (pinae) untuk atap, pelepah (rachis) untuk dinding dan plafond dan lainlainnya. Pengolahan empulur sagu yang umumnya disebut pengolahan sagu terdiri
dari kegiatan-kegiatan penebangan pohon sagu, pembelahan batang
sagu/pemotongan tual sagu, penghancuran empulur sagu, ekstraksi, pengendapan
dan pengemasan pati (Louhenapessy, 2010).

2
Pengolahan batang sagu dilakukan proses ekstraksi dengan bantuan air.
Dengan media air, pati sagu dapat dipisahkan dengan seratnya. Pada umumnya
pengolahan sagu dilakukan di dekat sumber air seperti di pinggir sungai ataupun
anak sungai. Pada industri pengolahan sagu dengan kapasitas besar, air sungai
akan terakumulasi dengan sisa pati sagu hasil ekstraksi tersebut. Bila hal ini
berlangsung terus menerus akan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang
berdampak pada pencemaran air sungai (Amos, 2010). Untuk mengantisipasi
berkurangnya ketersediaan air baik secara kualitas maupun kuantitas perlu dicari
alternatif metode pengolahan sagu yang tidak banyak menggunakan air sekaligus
adanya perbaikan kualitas produk olahan sagu.
Menurut Schuiling dan Flach (1985) dalam Louhenapessy et al. (2010) pati
adalah hasil ekstraksi secara mekanik dalam keadaan basah dari empulur pohon,
sedangkan tepung adalah hasil yang didapat dari penggilingan kering dari suatu
bahan yang tetap mengandung serat dan bahan kasar lainnya. Dalam proses
pembuatan tepung sagu diduga akan menghemat air dibanding dengan pembuatan
pati sagu. Oleh karena itu perlu dilakukan rekayasa proses produksi tepung sagu.
Rekayasa proses tepung sagu sudah dilakukan oleh (Saripudin, 2006) dengan cara
sagu dibuat chips kemudian ditepung dengan menggunakan disk mill yang
sebelumnya dilakukan perendaman dengan menggunakan natrium metabisulfit,
namun tepung sagu yang dihasilkan masih mengandung kadar serat yang tinggi,
yakni 10.10 %. Selain belum memenuhi standar maksimum kandungan serat yang
disyaratkan SNI 01-3729-1995 sebesar 0.1 % dan syarat sagu untuk industri
sebesar 1 %. Kandungan serat yang tinggi dalam tepung sagu juga akan
membatasi penggunaan tepungnya. Sehingga untuk memperluas penggunaan
tepung sagu perlu ada upaya pengembangan rekayasa proses produksi tepung sagu
dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Batang sagu mempunyai kadar air yang cukup tinggi sebesar 50 sampai 66
% sementara kadar patinya rendah sebesar 20 sampai 29 %, selain itu batang sagu
sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk
dibuat tepung secara langsung. Maka perlu dilakukan pengembangan pengolahan
tepung sagu secara fermentasi. Upaya meningkatkan mutu tepung dengan sasaran
menurunkan kadar serat kasar melalui fermentasi telah dilakukan menggunakan
starter Bimo CF (Rachmadi, 2011), fermentasi pada beberapa sumber karbohidrat
menggunakan ragi tape terjadi penurunan kandungan serat kasar (Rahmawati dan
Luwihana, 2013), adanya perubahan sifat fisika kimia (Mukhamad dan Yunianta,
2014). Stater Bimo CF dan ragi tape mudah didapatkan di pasaran sehingga dalam
penelitian ini akan dilakukan proses produksi tepung sagu semi kering dengan
perlakuan fermentasi menggunakan kedua starter tersebut.

Rumusan Masalah
Kebutuhan tentang pati dan tepung meningkat seiring dengan
berkembangnya pola konsumsi masyarakat dan industri baik itu peruntukan
pangan dan non pangan. Ditunjang dengan potensi kandungan pati dalam batang
sagu cukup besar sebagai tanaman palma pertama yang kandungan patinya cukup

3
tinggi dan ketersediaannya cukup besar di Indonesia. Sementara dalam proses
untuk mendapatkan pati sagu, yang pada umumnya dilakukan proses ektraksi
dengan media air dan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang mengakibatkan
pencemaran lingkungan. Disisi lainnya, ketersediaan air akan berkurang baik
secara kuantitas maupun kualitas yang akan berpengaruh pada mutu pati sagu
yang dihasilkan. Selain itu sagu sebagian besar materialnya berupa kulit dan
ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat tepung secara langsung. Maka perlu
dilakukan pengembangan pengolahan tepung sagu secara fermentasi dengan stater
yang mudah didapat. Oleh karena itu, rumusan masalah pada penelitian ini adalah
apakah pengembangan proses produksi tepung sagu secara fermentasi sebagai
alternatif proses produksi tepung sagu dengan menggunakan stater yang mudah
didapat di pasaran akan menurunkan kadar serat pada tepung sagu serta
menghasilkan tepung sagu sesuai yang diharapkan yaitu tepung dengan standar
mutu yang mengacu kepada mutu patinya.

Tujuan
Tujuan kegiatan penelitian ini adalah :
1. Memperoleh kondisi terbaik pengembangan proses produksi tepung sagu semi
kering dengan perlakuan fermentasi yang meliputi variasi stater yang mudah
didapat dipasaran dan variasi lama perendaman.
2. Mendapatkan alternatif proses produksi tepung sagu dengan meminimalisasi
penggunaan air.
3. Menurunkan kadar serat kasar pada tepung sagu yang dihasilkan.

Ruang Lingkup
Pengembangan proses produksi tepung sagu dengan meminimalkan
penggunaan air secara fermentasi dengan menggunakan stater yang mudah
didapat di pasaran sebagai alternatif proses produksi tepung sagu dan untuk
memperoleh produk tepung sagu dengan kadar serat yang dapat memperluas
penggunaannya. Minimal kandungan seratnya sesuai yang disyaratkan untuk sagu
industri sebesar 1 %.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sagu
Pengertian sagu dijelaskan secara gamblang dalam (Louhenapessy, 2010)
istilah sagu telah digunakan secara luas untuk pati atau tepung yang dihasilkan
oleh batang tumbuhan palma, pakis atau umbi akar. Deinum membatasi genus
Metroxylon sebagai sagu sejati (true sago palm) baik yang berbunga satu kali
maupun dua kali, tetapi Heyne membatasi pengertian sagu sejati hanya pada
genus Metroxylon yang berbunga dan berbuah satu kali yaitu Metroxylon spp.,
sedangkan yang berbunga lebih dari satu kali yaitu M. elatum Mart. Dan M. filare
Mart., tidak termasuk sagu sejati malah dikeluarkan dari genus Metroxylon.
Schuiling dan Flach membatasi sagu sejati lebih khusus lagi yaitu hanya termasuk
M.sagus Rottb. (sagu molat), karena selain produksinya tinggi, tepungnya
termasuk mutu perdagangan internasional. Walaupun demikian kenyataannya di
Maluku spesies M. rumphii Mart. (sagu tuni) merupakan penghasil tepung
tertinggi dan mutu tepung tidak berbeda dengan sagu molat. Dari berbagai
pendapat diatas dan kenyataan perkembangan saat ini maka pendapat Heyne-lah
yang digunakan dan nama sagu sudah merupakan nama umum untuk Metroxylon
spp., di Maluku dan Papua sebagai pusat agihan sagu dunia. Dari uraian diatas
maka yang disebut sagu adalah tepung atau pati yang dihasilkan dari Metroxylon
spp., dan tumbuhan sagu adalah genus Metroxylon yang berbunga satu kali. Untuk
menjernihkan pengertian maka dapat disepakati bahwa palma lain atau pohon lain
yang bukan genus Metroxylon yang menghasilkan tepung atau pati dari pokok
batangnya dapat dinamakan tumbuhan sagu-saguan.
Secara taksonomi tumbuhan, sitematika tumbuhan sagu (Metroxylon spp.)
adalah sebagai berikut :
Devisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Subkelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Arecales
Famili
: Palmae
Subfamili
: Lepidocaroideae (Calamoideae)
Genus
: Metroxylon
Spesies
: Eumetroxylon
Menurut Haryanto (1994) sagu yang berbunga atau berbuah sekali sangat
penting nilai ekonominya karena kandungan acinya tinggi, golongan ini terdiri
dari lima jenis atau spesies yaitu : Metroxylon rumphii Martius, Metroxylon sagus
Rottbol, Metroxylon Sylvester Martius, Metroxylon longispinum Martius,
Metroxylon micracantum Martius.Walaupun secara umum dikenal lima jenis sagu
yang berbunga sekali dan bernilai ekonomi penting, tetapi di Pulau Seram terdapat
beberapa jenis sagu yang berbunga atau berbuah sekali, dan morfologinya sangat
berbeda dengan kelima jenis utama tadi, jenis-jenis sagu tersebut dikenal dengan
nama sagu “molat berduri”, sagu “duri putih” dan sagu “tuni hitam”.

5
Menurut Widjono et al. dalam Kanro et al. (2003) telah mengidentifikasi 61
jenis sagu pada empat lokasi di Papua. Identifikasi dilakukan menurut sifat-sifat
kualitatif yang meliputi warna pucuk, bentuk duri, pelepah daun, diameter batang,
warna tepung, bentuk tajuk, dan produksi tepung. Dari 61 jenis yang ditemukan,
32 di antaranya mempunyai produksi tinggi dan telah banyak dimanfaatkan oleh
penduduk. Novarianto et al.(1996) telah mengidentifikasi 17 sampai 20 jenis sagu
di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Jenis-jenis tersebut sudah mempunyai
nama lokal dan sudah dikenal oleh masyarakat pengelola sagu di Papua. Namanama lokal sagu tersebut adalah sebagai berikut: Yakhali, Fikhela, Phane,
Osoghulu, Yoghuleng, Rena, Hobolo, Yebha, Hili, Wanni, Follo, Habela,
Yaghalobe, Phui, Phara Waliha, Rondo, Ebesung, Manno, Ruruna, dan Phara.
Sagu jenis Osoghulu, Ebesung, dan Yebha termasuk penghasil tepung sangat
tinggi, masing-masing menghasilkan 207.50 kg, 207.50 kg, dan 191.50 kg tepung
per pohon setelah berumur 7 sampai 10 tahun. Jenis Follo, Wanni, Yaghalobe,
Ruruna, Hobolo, Phui, Fikhela, Rondo, dan Yakhali termasuk penghasil tepung
cukup tinggi dengan produksi berkisar antara 126.,50 sampai 176.50 kg
tepung/pohon/tahun.
Inventarisasi tumbuhan sagu di Indonesia telah dilakukan pada awal sampai
dengan akhir 1980-an oleh BPPT dan UNPATTI, BAKOSURTANAL dan
UNCEN maupun peneliti-peneliti kelompok atau peorangan. Taksiran agihan sagu
Indonesia dan dunia yang dibudidaya maupun alami tercantum pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perkiraan Areal Agihan Sagu Dunia
NEGARA
ALAMI (Ha)
1,000,000
Papua New Gunea
500,000
- Propinsi Sepik
400,000
- Propinsi Gulf
100,000
- Propinsi Lain
1,250,000
Indonesia
1,200,000
- Papua
50,000
- Maluku
- Sulawesi
- Kalimantan
- Sumatera
- Kepulauan Riau
- Kepulauan Mentawai
Malaysia
- Sabah
- Serawak
- Malaysia Barat
Thailand
Filipina
Negara Lain
Total
2,250,000
Sumber : Louhenapessy (2010)

BUDI DAYA (Ha)
20,000
5,000
5,000
10,000
148,000
14,000
10,000
30,000
20,000
30,000
20,000
30,000
45,000
10,000
30,000
5,000
3,000
3,000
5,000
224,000

Secara alami tanaman sagu akan tumbuh di daerah dekat sungai, rawa
bergambut, dan rawa-rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dimana

6
tanaman lain tidak dapat tumbuh. Sagu merupakan tanaman yang dapat
memproduksi pati dan tumbuh dengan baik sampai ketinggian 1000 meter dari
permukaan laut. Pada wilayah yang kurang baik, para petani sagu hanya dapat
menebang tanaman sagu sebanyak 5 pohon/ha/tahun. Tetapi pada hutan sagu yang
baik, para petani bisa menebang tanaman sagu hingga 30 pohon/ha/tahun.
Produksi tanaman sagu bervariasi dari 200 sampai 350 kg setiap pohonnya, pati
dari pohon sagu sekitar 153 sampai 345 kg setiap pohonnya. jika pohon sagu
ditebang secara reguler setiap bulan maka produksinya akan menurun sampai 25
sampai 50 kg. Tepung sagu kering hasil pengolahan industri pengolahan sagu
hanya dapat memanfaatkan 16 % sampai 28 % dari berat batang sagu. Persentase
pemanfaatan sagu tersebut relatif sangat kecil dan merupakan pemborosan
sumberdaya alam. Sebagian besar material berupa kulit dan ampas sebesar ± 85 %
terbuang sebagai sisa produk. Empulur batang sagu mengandung 20.2 sampai 29
% pati, 50 sampai 66 % air dan 13.8 sampai 21.3 % bahan lain atau ampas.
Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54 sampai 60 % pati
dan 40 sampai 46 % ampas (Saripudin, 2006).

Pati Sagu
Selama ini produksi dan penelitian sagu sebagian besar menggunakan pati
sagu. Untuk mengolah batang sagu menjadi pati sagu perlu dilakukan proses
ekstraksi dengan bantuan air. Dengan media air ini pati sagu dapat dipisahkan
dengan seratnya. Pada umumnya pengolahan sagu dilakukan didekat sumber air
seperti di pinggir sungai ataupun anak sungai. Pada industri pengolahan sagu
dengan kapasitas besar, air sungai akan terakumulasi dengan sisa pati sagu hasil
ekstraksi tersebut. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka akan terjadi
akumulasi limbah pati sagu yang akan mengakibatkan pencemaran air sungai
(Haryanto, 2004).
Pati sagu mengandung 27 % amilosa (polimer linear) dan 73 % amilopektin,
polimer bercabang. Kandungan amilosa pati sagu sebesar 21.7 %. Ini bisa menjadi
indikasi bahwa mungkin untuk penambahan kandungan amilosa. Distribusi
ukuran butir 16.0 sampai 25.4 um. Ini adalah kemungkinan bahwa ukuran butir
meningkat dengan usia bagasi, sampai inisiasi perbungaan. Jumlah viskositas
maksimum 960 bu, dan gelatinisasi suhu 70o C. Viskositas menurun dengan
penurunan kualitas pati, karena aktivitas mikroba. Dalam industri pati modern,
pati dapat dimodifikasi untuk keperluan tertentu. Asalkan ada nilai tambah dengan
harga murah, bersih dan tidak terjadi kerusakan pati, sagu akan jelas lebih
kompetitif dibanding semua pati lainnya, dan untuk beberapa tujuan bahkan
mungkin lebih disukai (Flach, 1997).
Secara mikroskopik bahwa granula pati terkonsentrasi pada empulur dalam
bentuk sel-sel atau ”vascular bundles” dengan diameter sel berkisar antara 40
sampai 50 µm. Bentuk granula pati sagu adalah oval (bulat telur). Untuk
melepaskan granula pati dari jaringan pengikatnya dilakukan pemarutan atau
dengan penggilingan, proses pelepasan granula pati akan lebih efektif dengan arah
tegak lurus susunan serat ”vascular bundles. Perbandingan amilosa dan

7
amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati.
Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan
cenderung sedikit menyerap air (Saripudin, 2006).

Tepung Sagu
Selama ini nama pati dan tepung disamakan. Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia maupun Kamus Umum Bahasa Indonesia, pengertian pati dan tepung
disamakan baik sebagai hasil ekstraksi dari pokok batang palma maupun hasil
penghancuran (penggilingan) umbi atau biji-bijian seperti ubi kayu, gandum dan
padi. Menurut Schuiling dan Flach dalam Louhenapessy et al. (2010) pati adalah
hasil ekstraksi secara mekanik dalam keadaan basah dari empulur pohon,
sedangkan tepung adalah hasil yang didapat dari penggilingan kering dari suatu
bahan yang tetap mengandung serat dan bahan kasar lainnya.
Tepung sagu banyak digunakan sebagai bahan baku untuk makanan atau
industri kosmetik. Banyak industri makanan yang telah menggunakan tepung sagu
sebagai bahan utamanya seperti produksi bihun, kwe tiau, biskuit, kue dan
makanan lain. Produk berbasis tepung sagu memiliki potensi besar untuk
memperluas pasar terutama jika ada perbaikan kapasitas produksi dan kualitas
produk (Mazlina et al.,2007).
Perkembangan penelitian tepung sagu masih sangat terbatas, selama ini
teknologi penepungan ataupun proses fermentasi sagu selalu disandingkan dengan
proses ekstraksi. Seperti yang dilakukan oleh (loreto et al., 2006) yang melakukan
pengembangan proses pengolahan sagu tradisional di Filipina secara mekanisasi
dengan hasil penyederhanan proses dari 22 tahap sebanyak 50 %. Begitu juga apa
yang dilakukan oleh (Mazlina et al., 2007) mengenai pengembangan proses
tepung sagu dengan teknik sequeezing dan hasilnya dapat meningkatkan yield.
Rekayasa proses tepung sagu yang dilakukan (Saripudin, 2006)
menghasilkan tepung sagu dengan rendemen 21.85%, kadar karbohidrat 87.78 %
dan serat 10.10 %.
Kajian berbagai macam cara ektraksi pati sagu yang salah satunya dengan
fermentasi alami telah dilakukan oleh (Sudrajat, 1985) mengungkapkan pati sagu
hasil ekstraksi dengan cara fermentasi menghasilkan yield 24.80% Kadar serat
0.28 %, namun keasaman pati masih tinggi.

Fermentasi Tepung Sagu
Fermentasi ialah proses yang menghasilkan berbagai produk yang
melibatkan aktivitas mikroba atau ekstraknya dengan aktivitas mikroba terkontrol.
Fermentasi merupakan proses yang telah lama dikenal manusia. Fermentasi
adalah proses untuk mengubah suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat bagi
manusia. Proses fermentasi telah mengalami perbaikan-perbaikan dari segi proses

8
sehingga dihasilkan produk fermentasi yang lebih baik. Fermentasi memiliki
berbagai manfaat, antara lain untuk mengawetkan produk pangan, memberi cita
rasa atau flavor terhadap produk pangan tertentu, memberikan tekstur tertentu
pada produk pangan.
Dalam penelitian Wahyu dan Ikhsan (2010) yang dilakukan sebagai upaya
menurunkan kadar serat kasar dengan fermentasi substrat padat menggunakan
Aspegillus niger. Secara umum semua produk akhir fermentasi biasanya
mengandung senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna daripada bahan
asalnya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fermentasi juga berfungsi sebagai salah
satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan bahan dan cara untuk mengurangi
bahkan menghilangkan zat racun yang dikandunng suatu bahan.
Penggunaan Bakteri Asam Laktat (BAL) pada stater mocaf Bimo CF dalam
proses fermentasi tepung selain tepung ubi kayu dilakukan oleh (Rachmadi, 2011)
yang meneliti pemanfaatan fermentasi rebung untuk bahan suplemen pangan dan
tepung serat menggunakan starter mocaf sebagai salah satu starter fermentasinya
dengan hasil uji tepung rebung
dengan perlakuan
fermentasi dengan
menggunakan stater mocaf dapat menurunkan kadar seratnya. Hal ini terjadi
karena serat dipecah oleh bakteri yang terdapat pada starter.
Fermentasi pada beberapa sumber karbohidrat menggunakan ragi tape terjadi
penurunan kandungan serat kasar (Arif dan Anan, 1996). Berdasarkan kajian
Widodo (2011) disebutkan bahwa ragi tape sebenarnya merupakan campuran
mikroba yaitu kapang Amilomyces rouxii yang bersifat aminolitik, khamir
Saccharomyces cerevisiae yang besifat aminolitik, Candida dan Hansnula yang
dapat mendegradasi gula menjadi alkohol dan zat organik lainnya, Sedang jamur
yang ada dalam ragi tape adalah jenis Aspergillus flavus dan Aspergillus orizae
yang mampu mendegradasi selulosa dan juga menghidrolisis xylon menjadi gula
sederhana, serta bakteri Acetobacter yang mengubah alkohol menjadi cuka.

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penilitian
Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan yaitu pada bulan Januari
sampai dengan Mei 2014. Pembuatan tepung sagu dilakukan di Laboratorium
Teknologi Agroindustri, LABTIAB – PUSPIPTEK Serpong. Pengujian tepung
sagu dilakukan di Laboratirum Pengujian Departemen Teknologi Industri
Pertanian IPB dan Laboratorium Uji dan Analisa LABTIAB – PUPSPIPTEK
Serpong.
Bahan dan Peralatan
Bahan

Bahan-bahan utama penelitian adalah sagu gelondongan 50-60 cm dari
industri pengolahan sagu di daerah Ciluar Bogor, starter mocaf Biologically
Modified Casava Flour (Bimo CF) yang diperoleh dari PT. Multi Usaha Wisesa,

9
ragi tape merek Kereta Kencana yang diproduksi oleh Sinar Sekawan dan dibeli di
pasar Lembang Ciledung Kota Tangerang, enzim selulosa ETHOL-GE yang
digunakan dalam penelitian ini didapat dari laboratorium SBRC (Surfactant and
Bioenergy Research Center) LPPM – IPB. dan sodium metabisulfit.
Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak perendaman,
stopwatch, timbangan, pengaduk, wadah peniris, neraca analitik, pengering
kabinet, oven, desikator, disk mill, siever, peralatan analisa, pH Meter, RVA Tech
Master Newport Scientific.

Tahapan Penelitian
Secara garis besar penelitian dikelompokan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap
pertama persiapan bahan baku. Tahap kedua adalah tahap penepungan.
Penepungan
dimulai dengan proses fermentasi yang dilanjutkan dengan
perendaman dengan sodium metabisulfit dan dilakukan proses penepungan. Tahap
ketiga penelitian ini adalah analisis kelayakan ekonomi. Setelah diperoleh kondisi
optimum dari proses produksi tepung sagu dan dibuat desain proses maka
dilakukan analisa kelayakan secara ekonomi.
Tahap Persiapan Bahan Baku
Bahan baku sagu yang masih berupa gelondongan sebesar 50 sampai 60
cm dilakukan karakterisasi dengan analisis kandungan proksimat yang bertujuan
untuk mengetahui kandungan proksimat atau komponen kimia bahan sagu yang
digunakan, selain itu juga analisis kandungan proksimat dilakukan terhadap bahan
baku yang ditepung secarang langsung tanpa fermentasi menggunakan ball mill
sebagai pembanding dengan kehalusan 100 mesh dan 200 mesh. Analisis yang
dilakukan meliputi analisis kadar air bahan (metode AOAC), Kadar abu (metode
AOAC), Kadar lemak (metode soxhlet), Kandungan protein (metoda kjeldahl),
Kadar serat kasar (metode gravimetri), Kadar karbohidrat By Difference. Setelah
bahan baku dikarakterisasi kemudian dilakukan pengecilan ukuran dengan cara
pemarutan (Basir, 2012).
Prosedur uji kadar air menggunakan metode AOAC (1984) seperti yang
dilakukan dalam (Saripudin, 2006), cawan alumunium dikeringkan dalam oven
selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang.
Timbang sampel kurang lebih sebanyak 2 g dalam cawan. Cawan beserta isi
dikeringkan dalam oven 100oC selama 6 jam. Pindahkan cawan ke dalam
desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan
kembali sampai diperoleh berat konstan.

10
Perhitungan :
Kadar Air (% berat basah) =

[

(

)]

100 %

W1 = Berat cawan (g)
W2 = Berat sampel (g)
W3 = Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)
Prosedur uji kadar abu menggunakan metode AOAC (1984) seperti yang
dilakukan dalam (Saripudin, 2006), disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan,
kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 g di dalam cawan,
kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi.
Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 sampai 600
o
C selama 4 sampai 6 jam sehingga terbentuk abu berwarna putih atau memiliki
berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian
ditimbang.
Perhitungan :
Kadar abu (%) =
Wa = berat abu (g)
Ws = berat sampel (g)

100%

Prosedur uji kadar protein menggunakan metode mikro kjeldahl AOAC
(1984) seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006), sampel sebanyak 100 mg
ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 ± 0.1
g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 3.8 ± 0.1 ml H2SO4. Tambahkan batu didih pada
labu lalu didihkan sampel selama 1 sampai 1.5 jam sampai cairan menjadi jernih.
Labu beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Dipindahkan isi labu dan air
bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5
ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan
di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4.
Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8 sampai 10 ml ditambahkan ke dalam alat
destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam
erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan
HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan
perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml)
blanko.
Perhitungan :
Jumlah N (%) =



.

Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25)
Prosedur uji kadar lemak menggunakan metode AOAC (1984) seperti
yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006), labu lemak disediakan sesuai dengan

11
ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven
dengan suhu 105oC sampai 110oC kemudian dinginkan dalam desikator lalu
ditimbang. Ditimbang sebanyak 5 g sampel dalam kertas saring dan kemudian
ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke
dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan
dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam
sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam
labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105
o
C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator,
kemudian labu beserta lemak ditimbang, dan dilakukan perhitungan kadar lemak.
Kadar lemak (%) =

( )

( )

100 %

Prosedur uji serat kasar menggunakan metode gravimetri yang dilakukan
oleh Kartadisastra (1997) dalam Sugiyono (2008), Sampel sagu ditimbang
sebanyak 1sampai 2 gram dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml,
kemudian ditambahkan 50 ml H2SO4 1.25% panas dan direflux selama 30 menit,
setelah itu ditambahkan 50 ml NaOH 3.25% dan direflux selama 30 menit.
Sampel yang telah dipanaskan, kemudian disaring panas - panas dengan kertas
saring Whatman 42 yang telah diketahui bobotnya. Setelah disaring, lalu sampel
dicuci dengan 50 ml H2SO4 1.25% dan 50 ml alkohol 36 %, kemudian endapan
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C dan timbang sampai bobot konstan.
Serat kasar dihitung dengan rumus :
KS (%) =

(

)

100 %

(basis basah)
Dimana :
KS
= kadar serat kasar (%)
a
= berat kertas saring ditambah sampel yang telah dikeringkan (g)
b
= berat kertas saring (g)
c
= berat sampel (g)
Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunkan metoda by
difference seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006).
Perhitungan :
Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (P + KA + A + L + KS)
Di mana :
P
A
KA
L
KS

= kadar protein (%)
= abu (%)
= kadar air (%)
= kadar lemak (%)
= kadar serat kasar (%)

12
Tahap Produksi Tepung Sagu
Rancangan percobaan yang digunakan dalam Pengamatan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor dan 2 ulangan.
Faktor-faktor tersebut adalah jenis proses fermentasi dan waktu inkubasi. Faktor I
adalah jenis proses fermentasi menggunakan stater mocaf, ragi tape dan
fermentasi spontan. Factor II adalah waktu inkubasi dengan lima taraf yaitu 1, 2,
3, 4 dan 5 hari. Pengaruh proses fermentasi dengan perlakuan waktu inkubasi lima
taraf terhadap karakteristik mutu tepung sagu diketahui berdasarkan analisis
yang dilakukan terhadap parameter penurunan kadar serat, rendemen, kehalusan
dengan mengukur distribusi partikel pada ayakan bertingkat, ukuran partikel
berdasarkan hasil foto SEM, sifat amilografi menggunakan instrument RVA,
keasaman, dan derajat putih. Dan dilakukan uji kontrol positif dengan
menggunakan enzim selulosa untuk mengetahui perlakuan positif dari proses
fermentasi terhadap faktor yang tergantung dalam hal ini kadar serat.
Model linier umum penduga untuk rancangan acak lengkap adalah :
Yik

= µ + τ + Σij

Keterngan :
Yik = nilai pengamatan dari fermentasi ke-i pada ulangan ke-j
µ
= nilai tengah (nilai rata-rata umum)
τ
= pengaruh perlakuan ke-i
Σij
= pengaruh galat percobaan pada ulangan ke-j yang memperoleh perlakuan
ke-i
Analisa data dilakukan dengan menggunakan prosedur analisa sidik
ragam, jika hasil analisa sidik ragam menunjukan pengaruh nyata, maka untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji beda wilayah ganda
Duncan atau Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.
Tahap proses produksi tepung sagu meliputi fermentasi bahan yang sudah
dilakukan pengecilan ukuran, perendaman dalam Sodium metabisulfit,
pengeringan dan penepungan. Kemudian dilakukan uji mutu terhadapTepung sagu
yang dihasilkan.
Proses fermentasi menggunakan stater mocaf dan ragi tape pada suhu
ruang (30 oC) selama 1, 2, 3, 4 dan 5 hari dengan rasio padatan terhadap cairan 1 :
2 atau terendam sempurna. 4 g ragi tape dilarutkan dalam 4 l aquades cukup untuk
bahan sagu sawut 2 kg. Dosis starter mocaf adalah 4 g starter untuk 4 l air. untuk
merendam 2 kg sagu sawut. Setelah proses fermentasi sagu sawut ditiriskan.
Perendaman dalam larutan Sodium metabisulfit setelah proses fermentasi
untuk membantu menambah derajat putih tepung,
konsentrasi sodium
metabisulfit yang ditambahkan 0.2 %.
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan sinar matahari sampai sagu
sawut kering, kemudian ditepung menggunakan disk mill. Dan diayak dengan
siever 100 mesh. Tepung sagu yang dihasilkan diukur kandungan proksimatnya
untuk mengetahui komposisi kimia dalam tepung sagu.

13
Produk utama dalam penelitian tepung sagu disini adalah tepung sagu
yang lolos 100 mesh. Analisa rendemen dilakukan untuk mengetahui kehilangan
berat bahan sagu ketika mengalami proses pengolahan menjadi tepung sagu.
Analisa rendemen ini merupakan presentase produk yang di dapatkan dari
perbandingan berat awal bahan sagu dengan berat tepung sagu yang lolos 100
mesh.
Rendemen (%) =
Keterangan :
a
b

100 %

= berat sawut sagu awal (g)
= berat tepung sagu 100 mesh (g)

Distribusi ukuran partikelnya menggunakan ayakan bertingkat dengan
ukuran 30, 60, 80 dan 100 mesh. Hasil pengukuran dikelompokan menjadi 5
(lima) kelompok, yaitu yang tidak lolos ayakan 30 mesh atau +30 mesh, 30/60
mesh, 60/80 mesh, 80/100 mesh dan 100/0 mesh. Yang lolos ayakan 100 mesh
ditetapkan sebagai produk tepung sagu.
Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) seperti yang dilakukan
oleh Chen et al. (2003) dalam Mukhamad dan Yunianta (2014), sampel tanpa
coating diletakkan di dalam kolom tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM
5200. Analisis SEM dilakukan pada tiga perbesaran X50, X100 dan X250. Hal ini
dilakukan untuk melihat topografi pada permukaan tepung. Pada skala perbesaran
yang sama 20 µm dan Nilai 2.50 kV merupakan tekanan yang digunakan saat
penembakan elektron pada SEM.
Sifat amilografi diukur menggunakan alat RVA Tech Master Newport
Scientific dengan metode AACC 22-12 dalam Mukhamad dan Yunianta (2014).
Sebanyak 450 ml akuades diukur dengan menggunakan gelas ukur. Sampel
sebanyak 45 g dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dilarutkan dengan
sebagian akuades hingga terbentuk suspensi. Suspensi dimasukkan ke dalam bowl
amilograph dan sisa akuades digunakan untuk membilas gelas piala kemudian
dimasukkan ke dalam bowl amilograph. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan
ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograph. Suhu awal diatur
dengan termoregulator pada suhu 30oC kemudian di switch pengatur suhu berada
dibawah suhu 97oC dan mesin amilograph dinyalakan sehingga bowl berputar
pada kecepatan 75 rpm dengan kenaikan suhu 1.5 oC per menit. Mesin
amilograph dimatikan setelah pasta