Rekayasa Proses Tepung Sagu (Metroxylon sp.) dan Beberapa Karakternya

(1)

SKRIPSI

REKAYASA PROSES TEPUNG SAGU (

Metroxylon sp.

)

DAN BEBERAPA KARAKTERNYA

Oleh: UDIN SARIPUDIN

F24101051

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Udin Saripudin. F24101051. Rekayasa Proses Tepung sagu (Metroxylon sp.) dan Beberapa Karakternya. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah MSc dan Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. (2006)

ABSTRAK

Pola konsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya tidak lepas dari beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Perkembangan industri dan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, secara otomatis mengurangai lahan pertanian yang memproduksi beras. Sagu merupakan salah satu pohon penghasil karbohidrat yang perlu diperhatikan dalam rangka diversifikasi pangan, mengingat potensinya yang besar tetapi belum diupayakan secara maksimal. Pengembangan produk berbasis sagu perlu diupayakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Perkiraan potensi sagu mencapai 27 juta ton pertahun. Namun baru sekitar 300-500 ribu ton pati sagu yang digunakan setiap tahunnya (Djoefrie, 1999).

Selama ini penelitian sagu sebagian besar menggunakan pati sagu. Dalam proses pembuatan Tepung sagu diduga akan menghemat air dibanding dengan pembuatan pati sagu. Oleh karena itu perlu dilakukan rekayasa proses tepung sagu.

Penelitian terbagi menjadi dua tahap yaitu studi pustaka dan penelitian lanjutan. Studi pustaka bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai bahan baku tepung-tepungan yang berpotensi untuk dikembangkan. Studi pustaka dilakukan dengan cara menginventarisasi jenis-jenis bahan pangan sumber karbohidrat yang biasa ditepungkan. Penelitian lanjutan dilakukan pada pembuatan tepung sagu mulai penghancuran sampai pengeringan; Analisis sifat fisik yang meliputi suhu gelatinisasi, viskositas dan derajat putih; Analisis kimia yang meliputi kadar air, abu, lemak, protein karbohidrat dan serat; dan karakterisasi pengeringan.

Pada pembuatan tepung sagu diperoleh rendemen sekitar 21.85%. Analisis yang dilakukan pada penelitian lanjutan diperoleh suhu awal gelatinisasi tepung sagu adalah 75 0C, suhu puncak gelatinisasi 79.5 0C, viskositas maksimum 760 BU dan derajat putih 73.22%, kadar air 6.36 %, kadar abu 4.55 %, kadar protein 0.75%, kadar lemak 0.56 %, kadar karbohidrat 87.78 % dan total serat makanan 10.10 %. Serat makanan terbagi menjadi dua bagian yaitu IDF (Insoluble Dietary Fiber) dan SDF (SolubleDietary Fiber). Kadar IDF dalam tepung sagu adalah sekitar 4.23 % dan kadar SDF sekitar 5.87 %. Parameter yang dianggap sebagai perlakuan paling efisien pada karakterisasi pengeringan adalah suhu pengeringan 70 0C, ketebalan tumpukan 15 cm, dan waktu pengeringan 75 menit. Proses pengeringan dilakukan dengan laju udara 0.9 m/s.


(3)

SKRIPSI

REKAYASA PROSES TEPUNG SAGU (

Metroxylon sp.

)

DAN BEBERAPA KARAKTERNYA

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: UDIN SARIPUDIN

F24101051

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

SKRIPSI

REKAYASA PROSES TEPUNG SAGU (

Metroxylon sp.

)

DAN BEBERAPA KARAKTERNYA

Oleh: UDIN SARIPUDIN

F24101051

Dilahirkan pada tanggal 24 April 1982 Di Majalengka

Tanggal lulus : Februari 2006

Menyetujui, Bogor, Februari 2006

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Udin Saripudin yang dilahirkan di Majalengka pada tanggal 24 April 1982. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Turya dan Arnasih.

Penulis memulai pendidikannya di SDN 1 Buniwangi pada tahun 1989 dan lulus pada tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan ke SLTPN 1 Jatiwangi pada tahun 1995 sampai tahun 1998. Setelah menyelesaikan di pendidikan di SLTP penulis diterima di SMUN 1 Jatiwangi pada tahun 1998 dan lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis diterima di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Dalam menjalani perkuliahan penulis pernah aktif di beberapa organisasi antara lain Staff Divisi Kesekretariatan Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB tahun 2002-2003; Kepala Departemen Syi’ar DKM Al Fath tahun 2003-2004; Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan tahun 2003-2004. Penulis juga pernah menjadi panitia dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan diantaranya adalah koordinator logistik Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XI (LCTIP XI). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah.

Penulis melakukan penelitian di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Laporan penelitian disusun menjadi skripsi yang berjudul “Eksplorasi Sifat Fisik Dan Sifat Fungsional Tepung Sagu (Metroxylon sp.)” dibawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul ”Eksplorasi Beberapa Sifat Fusik Dan Sifat Fungsional Tepung Sagu (Metroxylon sp.)”. Skripsi yang disusun oleh penulis merupakan data-data hasil penelitian, studi pustaka, konsultasi dengan pembimbing serta hasil analisis penulis.

Selama melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan dan do’a dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis selama perkuliahan dan penelitian; Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian.

Terima kasih atas do’a dan dorongan dari bapak dan emak sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan penelitian ini dengan baik. Aa Maman sekeluarga, Aa Tatang sekeluarga yang telah mendukung penulis selama kuliah dan penelitian. Juga seluruh keluarga besar bapak Sarnga yang telah banyak memberikan dorongan bagi penulis.

Teman seperjuangan dan sebimbingan Indri, Hendry, Okta, Sendi, Nissa, Ana, Boby dan Fahmi yang telah banyak membantu selama penelitian dan kompak selalu. Teman-teman B4 (Rahmat, Sanjung, Daniel) atas kekompakannya. Lukman, Chamdani, Sofyan, Intan, Fathir, Hadinata, Bangun, dan lainnya yang telah membantu selama penelitian. Semua teman TPG ’38. wali songo crew (Riyadi, Munif, Gilang, Mas yoyok, dan Bapak/Ibu kos). Teman-teman Al Fath. Teman seperjuangan Fuad, Asep, Nda, Dera, Heri, Adam, Leo, dan lainnya.

Terima kasih kepada Pak Nur, Pak Yas, Pak Sob, Pak Gatot, Teh Ida, Bu Rubiah dan semua laboran yang telah membantu selama penelitian. Pak Arin dari kebun BPPT Cilubang atas segala bantuannya. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripi.


(7)

Penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari semua pihak. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya dan tujuan diversifikasi pangan dapat tercapai, Amin.

Bogor, Februari 2006


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

C. MANFAAT ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BOTANI TANAMAN SAGU ... 4

B. PRODUKSI SAGU ... 5

C. KOMPOSISI KIMIA ... 7

D. PATI SAGU ... 9

E. SIFAT REOLOGI ADONAN ... 11

F. PETA PENELITIAN SAGU HINGGA SAAT INI ... 11

G. KADAR AIR ... 11

H. PENGERINGAN ... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ... 17

B. METODE PENELITIAN 1. Studi Pustaka ... 17

2. Penelitian Lanjutan a. Pembuatan Tepung Sagu ... 18

b. Karakterisasi Pengeringan ... 18

c. Analisis Sifat Kimia Tepung Sagu ... 19


(9)

Halaman V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. STUDI PUSTAKA ... 24

B. PENELITIAN LANJUTAN 1. Pembuatan Tepung Sagu ... 25

2. Karakterisasi Pengeringan ... 26

3. Sifat Kimia Tepung Sagu ... 32

4. Sifat Fisik Tepung Sagu ... 38

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 41

B. SARAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia dalam 100 gram pati sagu ... 8


(11)

SKRIPSI

REKAYASA PROSES TEPUNG SAGU (

Metroxylon sp.

)

DAN BEBERAPA KARAKTERNYA

Oleh: UDIN SARIPUDIN

F24101051

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Udin Saripudin. F24101051. Rekayasa Proses Tepung sagu (Metroxylon sp.) dan Beberapa Karakternya. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah MSc dan Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. (2006)

ABSTRAK

Pola konsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya tidak lepas dari beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Perkembangan industri dan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, secara otomatis mengurangai lahan pertanian yang memproduksi beras. Sagu merupakan salah satu pohon penghasil karbohidrat yang perlu diperhatikan dalam rangka diversifikasi pangan, mengingat potensinya yang besar tetapi belum diupayakan secara maksimal. Pengembangan produk berbasis sagu perlu diupayakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Perkiraan potensi sagu mencapai 27 juta ton pertahun. Namun baru sekitar 300-500 ribu ton pati sagu yang digunakan setiap tahunnya (Djoefrie, 1999).

Selama ini penelitian sagu sebagian besar menggunakan pati sagu. Dalam proses pembuatan Tepung sagu diduga akan menghemat air dibanding dengan pembuatan pati sagu. Oleh karena itu perlu dilakukan rekayasa proses tepung sagu.

Penelitian terbagi menjadi dua tahap yaitu studi pustaka dan penelitian lanjutan. Studi pustaka bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai bahan baku tepung-tepungan yang berpotensi untuk dikembangkan. Studi pustaka dilakukan dengan cara menginventarisasi jenis-jenis bahan pangan sumber karbohidrat yang biasa ditepungkan. Penelitian lanjutan dilakukan pada pembuatan tepung sagu mulai penghancuran sampai pengeringan; Analisis sifat fisik yang meliputi suhu gelatinisasi, viskositas dan derajat putih; Analisis kimia yang meliputi kadar air, abu, lemak, protein karbohidrat dan serat; dan karakterisasi pengeringan.

Pada pembuatan tepung sagu diperoleh rendemen sekitar 21.85%. Analisis yang dilakukan pada penelitian lanjutan diperoleh suhu awal gelatinisasi tepung sagu adalah 75 0C, suhu puncak gelatinisasi 79.5 0C, viskositas maksimum 760 BU dan derajat putih 73.22%, kadar air 6.36 %, kadar abu 4.55 %, kadar protein 0.75%, kadar lemak 0.56 %, kadar karbohidrat 87.78 % dan total serat makanan 10.10 %. Serat makanan terbagi menjadi dua bagian yaitu IDF (Insoluble Dietary Fiber) dan SDF (SolubleDietary Fiber). Kadar IDF dalam tepung sagu adalah sekitar 4.23 % dan kadar SDF sekitar 5.87 %. Parameter yang dianggap sebagai perlakuan paling efisien pada karakterisasi pengeringan adalah suhu pengeringan 70 0C, ketebalan tumpukan 15 cm, dan waktu pengeringan 75 menit. Proses pengeringan dilakukan dengan laju udara 0.9 m/s.


(13)

SKRIPSI

REKAYASA PROSES TEPUNG SAGU (

Metroxylon sp.

)

DAN BEBERAPA KARAKTERNYA

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: UDIN SARIPUDIN

F24101051

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(14)

SKRIPSI

REKAYASA PROSES TEPUNG SAGU (

Metroxylon sp.

)

DAN BEBERAPA KARAKTERNYA

Oleh: UDIN SARIPUDIN

F24101051

Dilahirkan pada tanggal 24 April 1982 Di Majalengka

Tanggal lulus : Februari 2006

Menyetujui, Bogor, Februari 2006

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Udin Saripudin yang dilahirkan di Majalengka pada tanggal 24 April 1982. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Turya dan Arnasih.

Penulis memulai pendidikannya di SDN 1 Buniwangi pada tahun 1989 dan lulus pada tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan ke SLTPN 1 Jatiwangi pada tahun 1995 sampai tahun 1998. Setelah menyelesaikan di pendidikan di SLTP penulis diterima di SMUN 1 Jatiwangi pada tahun 1998 dan lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis diterima di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Dalam menjalani perkuliahan penulis pernah aktif di beberapa organisasi antara lain Staff Divisi Kesekretariatan Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB tahun 2002-2003; Kepala Departemen Syi’ar DKM Al Fath tahun 2003-2004; Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan tahun 2003-2004. Penulis juga pernah menjadi panitia dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan diantaranya adalah koordinator logistik Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XI (LCTIP XI). Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah.

Penulis melakukan penelitian di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Laporan penelitian disusun menjadi skripsi yang berjudul “Eksplorasi Sifat Fisik Dan Sifat Fungsional Tepung Sagu (Metroxylon sp.)” dibawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS.


(16)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul ”Eksplorasi Beberapa Sifat Fusik Dan Sifat Fungsional Tepung Sagu (Metroxylon sp.)”. Skripsi yang disusun oleh penulis merupakan data-data hasil penelitian, studi pustaka, konsultasi dengan pembimbing serta hasil analisis penulis.

Selama melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan dan do’a dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis selama perkuliahan dan penelitian; Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian.

Terima kasih atas do’a dan dorongan dari bapak dan emak sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan penelitian ini dengan baik. Aa Maman sekeluarga, Aa Tatang sekeluarga yang telah mendukung penulis selama kuliah dan penelitian. Juga seluruh keluarga besar bapak Sarnga yang telah banyak memberikan dorongan bagi penulis.

Teman seperjuangan dan sebimbingan Indri, Hendry, Okta, Sendi, Nissa, Ana, Boby dan Fahmi yang telah banyak membantu selama penelitian dan kompak selalu. Teman-teman B4 (Rahmat, Sanjung, Daniel) atas kekompakannya. Lukman, Chamdani, Sofyan, Intan, Fathir, Hadinata, Bangun, dan lainnya yang telah membantu selama penelitian. Semua teman TPG ’38. wali songo crew (Riyadi, Munif, Gilang, Mas yoyok, dan Bapak/Ibu kos). Teman-teman Al Fath. Teman seperjuangan Fuad, Asep, Nda, Dera, Heri, Adam, Leo, dan lainnya.

Terima kasih kepada Pak Nur, Pak Yas, Pak Sob, Pak Gatot, Teh Ida, Bu Rubiah dan semua laboran yang telah membantu selama penelitian. Pak Arin dari kebun BPPT Cilubang atas segala bantuannya. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripi.


(17)

Penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari semua pihak. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya dan tujuan diversifikasi pangan dapat tercapai, Amin.

Bogor, Februari 2006


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

C. MANFAAT ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BOTANI TANAMAN SAGU ... 4

B. PRODUKSI SAGU ... 5

C. KOMPOSISI KIMIA ... 7

D. PATI SAGU ... 9

E. SIFAT REOLOGI ADONAN ... 11

F. PETA PENELITIAN SAGU HINGGA SAAT INI ... 11

G. KADAR AIR ... 11

H. PENGERINGAN ... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ... 17

B. METODE PENELITIAN 1. Studi Pustaka ... 17

2. Penelitian Lanjutan a. Pembuatan Tepung Sagu ... 18

b. Karakterisasi Pengeringan ... 18

c. Analisis Sifat Kimia Tepung Sagu ... 19


(19)

Halaman V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. STUDI PUSTAKA ... 24

B. PENELITIAN LANJUTAN 1. Pembuatan Tepung Sagu ... 25

2. Karakterisasi Pengeringan ... 26

3. Sifat Kimia Tepung Sagu ... 32

4. Sifat Fisik Tepung Sagu ... 38

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 41

B. SARAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia dalam 100 gram pati sagu ... 8


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Pohon sagu (metroxylon sp.) ... 5 Gambar 2. Jaringan industri pengolahan sagu ... 7 Gambar 3. Kurva laju pengeringan pada kondisi pengeringan konstan . 14 Gambar 4. Alur Proses pembuatan tepung sagu ... 18 Gambar 5. Sawut empulur sagu ... 25 Gambar 6. Tepung sagu ... 26 Gambar 7. Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan

pada suhu 60 0C, ketebalan tumpukan 5 cm,

dan laju udara 0.9 m/s. ... 28 Gambar 8. Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan

pada suhu 70 0C, ketebalan tumpukan 5 cm,

dan laju udara 0.9 m/s. ... 28 Gambar 9.Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan

pada suhu 60 0C, ketebalan tumpukan 10 cm,

dan laju udara 0.9 m/s. ... 29 Gambar 10.Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan

pada suhu 70 0C, ketebalan tumpukan 10 cm,

dan laju udara 0.9 m/s ... 29 Gambar 11.Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan

pada suhu 70 0C, ketebalan tumpukan 10 cm,

dan laju udara 0.9 m/s ... 30 Gambar 12.Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan

pada suhu 70 0C, ketebalan tumpukan 15 cm,

dan laju udara 0.9 m/s ... 30 Gambar 13. Grafik Brabender Amilograf ... 40


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Jenis bahan pangan penghasil karbohidrat yang biasa

ditepungkan ... 49 Lampiran 2. Potensi dan peluang beberapa jenis komoditi bahan pangan

... 63 Lampiran 3. Data kadar air tepung sagu pada beberapa kondisi

pengeringan ... 66 Lampiran 4. Peta penelitian sagu hingga saat ini ... 72


(23)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pola konsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya tidak lepas dari beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Perkembangan industri dan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, secara otomatis mengurangai lahan pertanian yang memproduksi beras. Sehingga diperlukan perubahan pola konsumsi yang berbasis beras dengan bahan pangan lain.

Terdapat beberapa jenis sumber karbohidrat selain beras yang dapat dikembangkan, misalnya ubi jalar, ubi kayu, sukun, kentang, sagu, dan lain-lain. Keterbatasan produksi beras dapat ditanggulangi dengan dilakukannya diversifikasi pangan. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras maka perlu dilakukan pengembangan bahan pangan lain yang potensial. Tepung sagu merupakan salah satu bahan pangan potensial yang dapat digunakan untuk substitusi beras sebagai makanan pokok.

Sagu merupakan salah satu pohon penghasil karbohidrat yang perlu diperhatikan dalam rangka diversifikasi pangan, mengingat potensinya yang besar tetapi belum diupayakan secara maksimal. Sehingga perlu diupayakan pengembangan produk berbasis sagu untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Kandungan kalori sagu relatif sama dengan kalori yang dikandung oleh ubi kayu atau kentang (Djoefrie, 1999), oleh karena itu sagu merupakan salah satu komoditas pangan yang dapat menjawab tantangan di bidang penyediaan pangan.

Potensi produksi maupun luas sagu di Indonesia sangat besar, tetapi baru sebagian kecil yang dimanfaatkan. Indonesia memiliki sekitar 21 juta hektar lahan yang potensial dan memungkinkan untuk tanaman sagu, tapi secara pastinya belum diketahui. Sekitar 95% pertumbuhan pohon sagu terjadi secara alami (Bintoro, 2000). Perkiraan potensi sagu mencapai 27 juta ton pertahun. Namun baru sekitar 300-500 ribu ton pati sagu yang digunakan setiap tahunnya (Djoefrie, 1999).

Pemanfaatan sagu di Indonesia umumnya masih dalam bentuk pangan tradisional, misalnya dikonsumsi dalam bentuk makanan pokok seperti


(24)

papeda. Disamping itu sagu juga dikonsumsi sebagai makanan pendamping seperti sagu lempeng, sinoli, bagea dan lain-lain (Harsanto, 1986). Disamping sebagai bahan pangan, sagu dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai macam industri seperti industri pangan, industri perekat, kosmetika dan industri lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Dengan melihat potensi sagu yang sangat besar sebagai sumber kalori pengganti beras, maka diperlukan pengembangan tepung sagu tidak hanya terbatas pada pati sagu. Diharapkan proses pembuatan tepung sagu akan memperbaiki sagu baik dari segi mutu maupun proses pembuatannya. Mudah atau tidaknya memproduksi suatu produk akan mempengaruhi minat masyarakat untuk mengembangkan produk tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian yang dapat mempermudah produksi tepung sagu. Ada beberapa hal yang dapat membantu pembuatan tepung sagu diantaranya adalah prosedur pengeringan yang jelas, penanganan bahan baku dan penyimpanan yang baik. Selain pembuatan tepung, pengembangan produk baru berbasis tepung sagu yang dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat juga perlu diperhatikan. Sehingga tepung sagu tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam pengembangan produk baru dengan bahan dasar tepung sagu, harus ditentukan produk yang tepat dan sesuai dengan sifat-sifat fisik dari tepung sagu tersebut agar diperoleh produk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Penelitiaan ini dilakukan untuk mengetahui sifat reologi adonan tepung sagu dengan menggunakan brabender amilograf dan farinograf. Dengan mengetahui sifat fisik tepung sagu, maka pengembangan produk dapat dilakukan dengan menyesuaikan sifat fisik tepung sagu dengan karakteristik produk olahan yang akan dibuat. Ditentukan juga komposisi kimia tepung sagu tersebut untuk mengetahui kecukupan gizinya apabila dikonsumsi.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan proses pengeringan tepung sagu yang optimal. Dalam karakterisasi pengeringan ditentukan parameter yang harus diperhatikan dalam proses pengeringan, sehingga


(25)

diketahui parameter yang digunakan agar proses pengeringan tersebut berjalan secara optimal. parameter yang paling baik dapat digunakan untuk proses scale up produksi tepung sagu. mengetahui beberapa sifat fisik (viskositas, suhu gelatinisasi dan derajat putih) dan sifat kimia (komposisi kimia dan serat) dari tepung sagu. Dengan mengetahui sifat fisik dan sifat fungsional dari tepung sagu, maka pengembangan produk baru yang terarah dapat dilakukan.

C. MANFAAT

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui sifat fisik dan sifat kimia tepung sagu yang dijadikan dasar dalam pengembangan produk baru berbahan dasar tepung sagu. Sehingga pengembangan produk dapat dilakukan dengan terarah sesuai dengan sifat fisik dan kimia yang dimiliki oleh tepung sagu dan produk yang diinginkan oleh konsumen. Scale up produksi tepung sagu lebih mudah dengan diketahuinya parameter yang harus diperhatikan dalam proses pengeringan.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BOTANI TANAMAN SAGU

Sagu termasuk salah satu sumber karbohidrat yang penting untuk memenuhi kebutuhan kalori. Sehingga di beberapa daerah Indonesia bagian timur, sagu merupakan makanan pokok untuk mencukupi kebutuhan energi sebagaimana beras di daerah-daerah lain. Sagu termasuk divisio Spermatophyta, klas Angiospermae, Subklas Monocotyledae, Ordo Spadiciflorae, Fammili Palmae, Subfamili Lepidocaryoideae dan Genus Metroxylon. Di daerah indo pasifik terdapat lima marga palma yang zat tepungnya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, arenga, Corypha, Euqeissona dan Caryota (Ruddle, et al., 1976). Spesies yang paling penting secara komersial dan paling banyak tumbuh di Indonesia yaitu Metroxylon sagus dan Metroxylon rhumpii (BPPT, 1987).

Habitat sagu umumnya daerah rawa air tawar, di sekitar sumber air, disekitar aliran sungai dataran rendah yang lembab. Daerah berlumpur basah dan bereaksi agak asam adalah lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman sagu (Flach, 1983). Potensi pengembangan sagu cukup besar mengingat sagu dapat tumbuh dimana tanaman lainnya tidak dapat tumbuh, tidak memerlukan pupuk dan sedikit sekali memerlukan perawatan. Pohon sagu dapat tumbuh dengan cepat, dalam setahun tingginya bertambah lebih dari 1,5 meter pada kondisi yang optimal (McClatchey et al., 2004).

Sagu memiliki batang teringgi pada umur panen, yakni 11 tahun ke atas. Pada tingkat umur ini perbedaan tinggi batang untuk setiap jenis sagu tidak jauh berbeda, tetapi pada umur dibawah 11 tahun perbedaannya sangat mencolok (Haryanto dan Pangloli, 1992). Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat aci. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3 – 5 cm dan bagian ini di daerah maluku sering digunakan sebagai bahan bangunan. Pohon sagu yang umurnya masih muda, kulitnya lebih tipis dibandingkan dengan sagu yang dewasa (Haryanto dan Pangloli, 1992).


(27)

Sagu adalah tanaman tahunan yang dapat berkembang biak atau dibiakkan dengan anakan atau dengan biji. Anakan sagu mulai membentuk batang pada umur sekitar 3 tahun. Kemudian pada sekitar pangkal batang tumbuh tunas yang berkembang menjadi anakan sagu. Anakan sagu tersebut memperoleh unsur hara dari tanaman induknya sampai akar-akarnya mampu mengabsorbsi unsur hara sendiri dan daunnya mampu melakukan fotosintesis. Pola pertumbuhan sagu terus berlangsung demikian sehingga tumbuhan sagu membentuk rumpun (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Gambar 1. Pohon sagu (Metroxylon sp.)

B. PRODUKSI SAGU

Tanaman sagu merupakan salah satu tanaman yang pertama kali digunakan oleh penduduk Asia Tenggara dan Oseania sebagai bahan pangan. Diperkirakan sekitar 2 juta hektar lahan sagu yang tumbuh secara alami dan dapat menghasilkan sekitar 2.5 – 50 ton tepung sagu kering dari setiap hektarnya. Dengan kultivasi dapat diproduksi tepung sagu kering hingga 25 ton per hektar (Flach, 1983). Luas area tanaman sagu di Indonesia tidak diketahui secara pasti, seperti yang dikatakan oleh Djoefrie (1999) yang mengutip dari Manan dan Supangkat (1984) seluas 4.1 juta hektar, Sitaniapessy (1996) seluas 1.1 juta hektar, Kartopermono (1996) seluas 1.4 juta hektar, Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) seluas 1 juta hektar.

Sangat sedikit informasi mengenai jumlah area tanaman sagu. Wilayah tanaman sagu yang tumbuh liar di hutan-hutan paling luas terdapat di pulau New Guinea, tetapi belum terinventarisasi secara baik (Flach, 1983). Lebih lanjut Flach (1983) mengatakan bahwa setengah bagian timur dari pulau New Guinea termasuk ke dalam wilayah negara Papua New Guinea dan setengah bagian barat yang dikenal dengan irian barat masuk ke dalam wilayah negara Indonesia.

Sagu yang memiliki pertumbuhan cukup baik terdapat di daerah Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Pasifik Selatan (Flach, 1983). Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi sagu terbesar , bahkan terluas di seluruh dunia. Luas lahan sagu yang terdapat di Papua adalah 771.716 hektar atau sekitar 85 % dari luas hutan sagu Nasional. Wilayah sebarannya di Waropen Bawah, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum terinventarisasi (Ama, 2002).

Secara alami tanaman sagu akan tumbuh di daerah dekat sungai, rawa bergambut, dan rawa-rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dimana tanaman lain tidak dapat tumbuh. Sagu merupakan tanaman yang dapat memproduksi pati dan tumbuh dengan baik sampai ketinggian 1000 meter dari permukaan laut (Bintoro, 2000).

Pada wilayah yang kurang baik, para petani sagu hanya dapat menebang tanaman sagu sebanyak 5 pohon/ha/tahun. Tetapi pada hutan sagu yang baik, para petani bisa menebang tanaman sagu hingga 30 pohon/ha/tahun (Bintoro, 2000). Produksi tanaman sagu bervariasi dari 200 – 350 kg setiap pohonnya (Djoefrie,


(28)

Makanan Ternak

Industri kimia, dll.

Bahan Bangunan

1999), sedangkan menurut Bintoro (2000) pati dari pohon sagu sekitar 153 – 345 kg setiap pohonnya. Djoefrie (2000) juga mengatakan bahwa jika pohon sagu ditebang secara reguler setiap bulan maka produksinya akan menurun sampai 25 – 50 kg.Tepung sagu kering hasil pengolahan industri pengolahan sagu hanya dapat

memanfaatkan 16 % sampai 28 % dari berat batang sagu. Prosentase pemanfaatan sagu tersebut relatif sangat kecil dan merupakan pemborosan sumberdaya alam (Kurnia, 1991). Sebagian besar material berupa kulit dan ampas sebesar ± 85 % terbuang sebagai sisa produk.

Pemanfaatan dan penggunaan sagu cukup luas seiring dengan berkembangnya teknologi seperti terlihat pada skema jaringan pengolahan sagu (Gambar 2).

Perkebunan/ Industri Pengolahan Konsumen/Pengguna pertanian (transportasi, iklan, kemasan)

Gambar 2. Jaringan Industri Pengolahan Sagu (Pangloli dan Satari, 1985) dalam (Haryanto dan Pangloli, 1992)

C. KOMPOSISI KIMIA

Pati merupakan penyusun makanan yang memiliki peran penting tehadap sifat makanan seperti yang diharapkan, misalnya untuk mengawetkan puding, saos, pasta. Komponen yang paling banyak terdapat pada tepung sagu adalah pati. Pati sagu diperoleh dari proses ekstraksi inti batang sagu (empulur batang). Menurut Flach (1983), empulur batang sagu mengandung 20.2 – 29 persen pati, 50 – 66 persen air dan 13.8 – 21.3 persen bahan lain atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54 – 60 persen pati dan 40 – 46 persen ampas.

Secara mikroskopik bahwa granula pati terkonsentrasi pada empulur dalam bentuk sel-sel atau ”vascular bundles” dengan diameter sel berkisar antara 40 – 50 mikron (Flach, 1983). Bentuk granula pati sagu adalah oval

Sagu

Tepung sagu

Sagu mutiara

Dextrin (Cyclodextrin)

Glukosa

SCP

Briket arang

Fruktosa Industri makanan dan minuman

Etanol Industri kimia

Asam-asam organik Bahan energi

Senyawa kimia lain Industri kimia Industri tekstil, kosmetik, farmasi, pestisida, dan industri perekat.

Industri makanan Industri makanan


(29)

(bulat telur). Untuk melepaskan granula pati dari jaringan pengikatnya dilakukan pemarutan atau dengan penggilingan, proses pelepasan granula pati akan lebih efektif dengan arah tegak lurus susunan serat ”vascular bundles” (Flach, 1983).

Menurut Flach (1983) pati sagu mengandung amilosa 27 persen dan amilopektin 73 persen. Wirakartakusumah et al., (1984) mengemukakan bahwa pati sagu mengandung amilosa 27.4 persen dan amilopektin 72.6 persen. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air.

Hasil analisa komposisi kimia tepung sagu dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 1. Komposisi kimia dalam 100 gram pati sagu (dalam % basis kering)

Komposisi kimia

Rudle et al. (1978) Haryanto dan Pangloli (1992) Djoefrie (1996) Kalori Air Protein Karbohidrat Serat kasar Lemak Abu Kalsium Besi 285.0 kkal 36.99 0.27 97.26 0.41 g Sedikit -- 0.04 0.009 353.0 kkal 16.28 0.81 98.49 -- 0.23 -- 0.01 0.017 357 kkal 15.87 0.81 98.49 0.23 0.23 0.46 -- --

Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan (1 – 4) α – glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai ikatan (1 – 4) α – glukosa dengan cabang yang ikatannya (1 – 6) α – glukosa. Jumlah unit glukosa yang berada dalam amilosa berkisar antara 500 – 1000 unit, sebanding dengan berat molekul antara 80.000 – 240.000. Sedangkan glukosa yang terdapat dalam amilopektin jumlahnya jauh lebih besar, yaitu antara 5.000 – 40.000 unit, sebanding dengan berat molekul 800.000 sampai jutaan (Haryanto dan Pangloli, 1992).


(30)

D. PATI SAGU

Sagu mempunyai arti khusus sebagai bahan pangan tradisional bagi penduduk di Maluku, Irian dan di beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra, bahkan di beberapa wilayah di pulau Jawa. Diperkirakan 30 persen penduduk Maluku dan 20 persen penduduk Irian Jaya mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pati diperoleh dari isi batang (empulur) melelui pengolahan yang sederhana. Setelah pohon ditebang, batang dipotong menjadi potongan-potongan sekitar 2 – 3 meter tergantung besar kecilnya garis tengah batang tersebut. Kemudian batang dibelah dua, empulur ditokok atau dipukul, hasil penokokan adalah tepung yang masih bercampur dengan serat. Dari tepung tersebut dilakukan ekstraksi, maka akan diperoleh pati sagu.

Untuk skala industri, pati sagu dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan dextrin, bubuk puding, sirup glukosa dan fruktosa, pembuatan hunk kwee, sebagai bahan perekat kapsul (obat-obatan), etanol, perekat dan industri lainnya (Flach, 1983).

Pati diperoleh dari isi batang (empulur) melalui pengolahan yang sederhana. Setelah pohon ditebang, batang dipotong menjadi potongan-potongan sekitar 2 – 3 meter tergantung besar kecilnya garis tengah batang tersebut. Kemudian batang dibelah dua, empulur dihancurkan. Penghancuran empulur dapat dilakukan melalui beberapa cara : dengan cara memukul dan dengan cara memarut (Hamzah, 1986). Dari hasil parutan atau tokokan diperoleh tepung sagu yang masih bercampur dengan serat. Dari tepung tersebut dilakukan ekstraksi, maka akan diperoleh pati sagu. Waktu yang diperlukan untuk dapat memproses satu batang pohon sagu tergantung pada ukuran pohon, kandungan pati, intensitas pengolahan dan cara kerja yang dipilih (Hamzah, 1986).

Wirakartakusumah et al. (1984) mengatakan bahwa pati sagu mengandung amilosa 27.4 persen dan amilopektin 72.6 persen. Flach (1983) juga mengatakan bahwa pati sagu mengandung amilosa sebanyak 27 persen dan amilopektin sebanyak 73 persen. Perbandingan amilosa dan amilopektin


(31)

ini mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati, semakin besar kandungan amilosa maka pati akan bersifat lebih kering, kurang lekat dan cenderung menyerap air lebih banyak.

Dua fraksi penyusun granula pati dapat dipisahkan dengan air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi yang tidak larut adalah amilopektin (Hodge dan Osman (1976) diacu dalam BPPT (1987)).

Granula pati sagu berkisar antara 15 – 63 mikron dan kebanyakan berukuran antara 20 – 60 mikron dengan bentuk oval atau berbentuk telur dan sebagian diantaranya memiliki ujung yang rata atau pepat (Moos, 1976) dalam (BPPT, 1987). Menurut Flach (1983), granula pati memiliki diameter sel berkisar antara 40 – 50 mikron. Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al., (1984) pati sagu menunjukan ukuran yang lebih besar yaitu 5 – 80 mikron.

Suhu gelatinisasi pati sagu relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan pati lainnya yaitu sekitar 69 0C. Menurut Hariyadi (1984) suhu gelatinisasi pati sagu mempunyai kisaran, yaitu suhu awal gelatinisasi pati sagu (rasio air dan tepung 5/1, 10 0C permenit) adalah 64.3 0C, suhu puncak gelatinisasi adalah 76.4 0C dan suhu akhir gelatinisasi tercapai pada 82.3 0C.

Pati sagu mempunyai daya mengembang sebesar 97 persen. Pengembangan granula pati bersifat reversible (bolak balik) bila tidak melewati suhu gelatinisasi dan bersifat irreversible bila telah mencapai suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi merupakan sifat khas untuk masing-masing pati, suhu ini diawali dengan penngembangan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri pada waktu kehilangan sifat kristalnya Mc Cready (1970) diacu dalam BPPT (1987).

E. SIFAT REOLOGI ADONAN

Reologi didefinisikan sebagai suatu ilmu yang memusatkan perhatiannya untuk mempelajari deformasi (perubahan bentuk) dan aliran (Wirakartakusumah et al., 1992). Sifat-sifat mekanik lainnya dari sifat-sifat reologi biasanya berurusan dengan bahan yang dikenai gaya. Lebih lanjut Wirakartakusumah et al. (1992), menyatakan bahwa sifat-sifat reologi dan


(32)

teknik pengukuran sifat-sifat reologi adonan sangat penting dalam sebuah industri pangan, tidak hanya dalam pengoperasian bahan tetapi juga dalam menentukan mutu pangan yang dapat diukur secara obyektif, disain model proses dan scale up.

Dalam pengujian sifat-sifat reologi dilakukan beberapa uji diantaranya adalah uji farinograf, uji ekstensograf dan uji amilograf. Menurut sugiyono (2003), uji farinograf digunakan untuk mengetahui ketahanan adonan dan untuk mengetahui kemampuan penyerapan air pada tepung. Uji ekstensograf digunakan untuk mengetahui kekuatan adonan tehadap daya regang setelah adonan disimpan dalam waktu tertentu, mengukur kekuatan yang diperlukan untuk memperpanjang adonan pada kecepatan yang tetap dan mengukur ketahanan terhadap keregangan. Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui kenaikan dan penurunan viskositas selama gelatinisasi.

F. PETA PENELITIAN SAGU HINGGA SAAT INI

Penelitian mengenai pati sagu sudah banyak dilakukan, baik oleh mahasiswa, para peneliti maupun lembaga milik negara. Sejauh ini pengembangan produk dengan bahan dasar sagu cukup banyak, tetapi masih berkutat pada produk-produk tradisional. Penelitian terhadap pati sagu yang dilakukan di Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor hingga saat ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Dapat diketahui bahwa penelitian yang dilakukan belum mencakup khasiat dan sifat fungsional dari tepung sagu tersebut.

G. KADAR AIR

Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1992).

Menurut Winarno (1992) air dalam bahan pangan yang berpengaruh terhadap kerusakan bahan pangan tersebut adalah air tipe II. Air tipe II yaitu molekul-molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air


(33)

lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari air murni. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe ini akan mengakibatkan penurunan Aw (aktivitas air). Aw (aktivitas air) menggambarkan kontinuitas energi dari air dalam sistem, Aw (aktivitas air) dapat didefinisikan sebagai air bebas, air terikat, atau air lainnya yang terdapat dalam sistem (aqualab, 2003). Bila sebagian air tipe II dihilangkan, pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak bahan makanan seperti reaksi Browning, hidrolisis, atau oksidasi lemak akan dikurangi. Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar antara 3 – 7 %, dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai, kecuali pada produk-produk yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya kandungan lemak tidak jenuh.

Kadar air dalam suatu bahan pangan biasanya dinyatakan dalam persen terhadap bahan basah yang disebut kadar air basis basah (bb) (wirakartakusumah et al., 1989). Kadar air dalam suatu bahan pangan juga dapat dinyatakan dalam basis kering (bk), yaitu berat air yang diuapkan dibagi berat bahan kering (setelah pengeringan). Berikut ini persamaan yang digunakan dalam menentukan kadar air basis basah dan basis kering :

% 100 )

(% = ×

Wbahan Wair bb

Ka ,

Keterangan : Ka(%bb) = Kadar air basis basah Ka(%bk) = Kadar air basis kering Wair = Berat air dalam bahan Wbahan = Berat awal bahan Wkrng = Berat bahan kering

H. PENGERINGAN

Pengeringan pada umumnya digambarkan sebagai proses thermal untuk menghilangkan komponen volatil (air) dari bahan solid (Mujumdar, 1995). Dengan kata lain bahwa pengeringan adalah proses penurunan kadar air sampai batas tertentu. Mujumdar (1995) lebih lanjut mengatakan bahwa terdapat dua proses yang terjadi secara simultan dalam pengeringan yaitu :

% 100 )

(% = ×

Wkrng Wair bk


(34)

1. Transfer energi (panas) dari lingkungan untuk menguapkan air pada permukaan bahan. Pada tahap ini terjadi pengurangan air dari permukaan bahan, dipengaruhi oleh suhu eksternal, kelembaban udara, laju udara, luas permukaan bahan, dan tekanan.

2. Transfer uap air dari dalam bahan ke permukaan bahan yang merupakan subsequen dari proses satu. Pada tahap ini terjadi perpindahan uap air dari dalam bahan yang dipengaruhi oleh sifat fisik bahan, suhu, dan kandungan air.

Menurut Taib et al. (1988) pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan untuk menghambat pertumbuhan organisme pembusuk. Ada beberapa keuntungan yang didapat dari pengeringan antara lain adalah berkurangnya volume dan berat, sehingga memudahkan pengangkutan dan penyimpanannya. Selain itu banyak bahan-bahan yang hanya dapat digunakan apabila telah dikeringkan, seperti misalnya biji-bijian, kopi, tembakau dan teh (Winarno et al. 1980). Tapi harus diperhatikan bahwa ketika pengeringan diaplikasikan pada bahan pangan tidak boleh merusak jaringan sel, atau merusak nilai energi yang terkandung didalamnya.

Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan akan mengalami perubahan warna menjadi coklat. Perubahan tersebut disebabkan oleh reaksi pencoklatan non-enzimatis (non-enzymatic browning) yaitu reaksi karamelisasi dan reaksi maillard. Perlakuan pendahuluan sebelum pengeringan akan mempengaruhi aktivitas enzim terutama enzim yang dapat menyebabkan perubahan warna menjadi coklat. Pada umumnya enzim tidak tahan terhadap keadaan panas yang lembab terutama diatas suhu maksimum aktivitas enzim tersebut (Muchtadi et al. 1979). Menurut Winarno et al. (1980), reaksi pencoklatan banyak disebabkan oleh reaksi antara asam organik atau asam amino dengan gula pereduksi dimana reaksi ini dapat menurunkan nilai gizi protein yang terdapat dalam bahan pangan.

Dalam bahan pangan air bisa terikat dan bisa juga dalam keadaan bebas. Terdapat dua metode untuk mengilangkan air tidak terikat (air bebas) yaitu dengan evaporasi dan vaporisasi. Evaporasi terjadi ketika tekanan uap pada permukaan bahan sama dengan tekanan atmosfir. Sedangkan vaporisasi


(35)

adalah pengeringan dengan cara konveksi, dengan menggunakan udara yang dilewatkan pada bahan yang dikeringkan, dimana uap air akan ditransfer dari dalam produk ke udara dan udara akan membawa uap tersebut. Pada kasus ini tekanan uap air dalam bahan lebih rendah dari tekanan atmosfir (Mujumdar, 1995).

Produk yang mengandung air memiliki reaksi yang berbeda dalam proses pengeringan tergantung dari tingkat kadar airnya. Selama pengeringan tingkat satu, laju pengeringan konstan. Permukaan bahan mengandung air bebas dan pada proses ini terjadi vaporisasi. Pada tahap ini pengeringan terjadi secara difusi. Pada akhir tahap ini air harus tetap ditransfer dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan, ini terjadi akibat adanya gaya kapiler, dan laju pengeringan mungkin masih konstan. Pada pengeringan tingkat dua merupakan awal penurunan laju pengeringan, tahap ini berakhir sampai semua cairan yang terdapat pada permukaan film terevaporasi. Tahap ketiga pengeringan terjadi penurunan laju perpindahan air dari dalam bahan. Perpindahan dari satu tahap pengeringan ke tahap pengeringan yang lainnya tidak tajam (Gambar 3) (Mujumdar, 1995).

Gambar 3. Kurva laju pengeringan pada kondisi pengeringan konstan

Laju pengeringan bahan pangan dapat dikatakan sebagai jumlah uap air yang hilang terhadap waktu (Mujumdar, 1995). Dalam pengeringan bahan pangan, tipe alat pengering yang digunakan tergantung dari jenis komoditas yang akan dikeringkan, bentuk produk akhir yang diinginkan, faktor ekonomi dan kondisi operasionalnya. Tipe alat pengering yang umum digunakan

La

ju

P

enge

rin

gan

Wa ktu Peng e ring a n Ta ha p p erta m a

Ta ha p ke d ua


(36)

dalam industri pengolahan bahan pangan hortikultura antara lain oven, drum dryer, cabinet dryer, spray dryer dan pengering rak hampa. Pengering oven merupakan alat pengering yang paling mudah pemeliharaan dan penggunaannya serta rendah biaya operasionalnya. Tray dryer adalah alat pengering yang terdiri dari rak-rak yang disusun bertingkat untuk meletakkan nampan pengering, elemen listrik/pemanas dan kipas angin. Pada alat ini bahan yang ditempatkan dalam nampan pada rak akan dikeringkan dengan udara panas kering dari pemanas yang dialirkan oleh kipas angin berkekuatan 7-15 kaki/detik (Hubeisa, 1984).

Menurut Canovas dan Mercado (1996), komponen dasar dari sebuah pengering adalah feeder, heater, dan collector. Feeder yang digunakan untuk bahan yang basah diantaranya adalah konveyor screw, rotating tables, vibratory trays, dan rorary air locks. Heater atau pemanas terbagi menjadi dua yaitu pemanas langsung dan tidak langsung. Pemanas langsung, udara dipanaskan dengan pembakaran. Sedangkan pemanas tidak langsung produk dipanaskan dengan menggunakan alat pemindah panas (heat exchanger). Collector atau penampung dapat menggunakan tabung, keranjang atau kain.

Fluid-bed drying (FBD) umum digunakan di industri pangan. Dapat dibuat kontinu, pengeringan panngan skala besar tapi tidak akan menyebabkan produk menjadi gosong. Karena laju transfer panas yang tinggi maka Fluid-bed drying merupakan proses yang ekonomis (Heldman dan Lund, 1992). Menurut Devahastin (2001), untuk pengeringan bubuk (antara 50 µm hingga 2000 µm), pengering bed fluidisasi terbukti lebih baik dibandingkan dengan jenis lain, seperti rotari, terowongan, konveyor, atau rak berjalan. Beberapa keuntungan pengering bed fluidisasi dantaranya adalah :

- Laju pengeringan tinggi, karena persentuhan antara partikel dan gas terjadi sangat baik yang menyebabkan tingginya laju pindah panas dan massa. - Luas permukaan aliran lebih kecil.

- Efisiensi panas tinggi, terutama jika bagian energi panas untuk pengeringan diberikan dengan penukar panas internal.


(37)

- Biaya investasi dan pemeliharaan lebih rendah dibandingkan dengan pengering rotari

- Mudah dikendalikan

Meskipun demikian, terdapat beberapa keterbatasan pengering bed fluidisasi, seperti :

- Penggunaan tenaga tinggi, karena dibutuhkan untuk mengangkat seluruh bed kedalam fase gas yang mengakibatkan tingginya tekanan jatuh.

- Peningkatan kebutuhan untuk penanganan gas buang untuk menghasilkan operasi berefisien tinggi, terutama saat mengeringkan bahan yang berkadar air tinggi.

- Berpotensi tinggi terhadap keausan, terutama karena kasus granulasi atau aglomerasi.

- Fleksibilitas rendah dan potensi defluidisasi jika bahan umpan terlalu basah.

- Umumnya tidak dianjurkan jika pelarut organik harus dikeluarkan saat pengeringan.


(38)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah inti batang sagu (metroxylon sp) diperoleh dari perkebunan milik BPPT yang berada di Cilubang, Desa Balumbang Jaya. Bahan-bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquades, heksan, HgO, HCl 0.02 N, H2SO4 pekat, indikator kjeldahl, minyak parafin, NaCl, α-amilase, enzim amiloglukosidase, enzim neutrase, alkohol 80%, petroleum eter, buffer fosfat, etil alkohol 75%, etil alkohol 95%, aseton, 2.5% amonium oksalat, 2.5% asam oksalat, NaOH 4% (w/v), NaOH 17.5 % (w/v) dan NaClO2.

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tepung sagu adalah pisau/golok, mesin pemarut, saringan, tempat pengendapan, disk mill, ayakan, baskom, brabender amilograph, buret, gelas ukur, termometer, timbangan, lap basah, pengaduk/sendok, gelas piala, oven, cawan, desikator, erlenmeyer, cabinet drier dan neraca analitik.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

1. Studi Pustaka

Studi pustaka ini bertujuan untuk menyediakan data tentang penelitian tepung-tepungan yang sudah dilakukan dan sejauh mana penelitian tersebut dilakukan. Setelah diperoleh data semua hasil penelitian tentang tepung-tepungan maka dapat diambil jenis tepung yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut.

Studi pustaka yang dilakukan meliputi bahan-bahan tepung yang berasal dari umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, dan lain-lain. Meliputi proses penepungan, aplikasi produk, dan karakteristik tepung. Sehingga dapat diketahui potensi dari bahan tersebut dan dapat digunakan untuk acuan pada penelitian lanjutan.


(39)

2. Penelitian Lanjutan

a. Proses pembuatan tepung sagu Pohon sagu

Ditebang dan diambil empulurnya

Di potong kecil dan tipis

(chips)

Direndam dalam larutan Natrium metabisulfit 0.3 %

Dikeringkan dengan kabinet dryer pada suhu 55 0C selama 48 jam

Digiling

Diayak (100 mesh) Tepung sagu

Gambar 4. Alur Proses Pembuatan Tepung Sagu

b. Karakterisasi Pengeringan

Sampel berupa empulur batang sagu dibuat menjadi potongan-potonngan kecil, kemudian direndam dalam larutan metabisulfit 0.3%. Setelah direndam dalam larutan metabisulfit empulur tersebut dibuat menjadi sawut dengan menggunakan alat penyawut (slicer) sehingga diperoleh empulur batang sagu dalam bentuk sawutan.

Alat pengering yang akan digunakan disiapkan. Dalam percobaan ini digunakan fluidized bed dryer. Sawut empulur batang sagu dimasukan ke dalam alat pengering dengan katebalan 5 cm, 10 cm, dan 15 cm. kemudian set suhu inlet pada alat pengering tersebut pada 60 0C, 70 0C. Blower dan ventilasi dinyalakan maksimum.


(40)

(

)

[

]

% 100 1 3 1 3 2 x W W W W W − − − % 100 x Ws Wa

Waktu dicatat setelah alat pengering dinyalakan. Pengambilan sampel dilakukan pada 45 menit, 60 menit, 75 menit, 90 menit, dan 105 menit. Sampel yang diperoleh diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven.

c. Analisis Sifat Kimia Tepung Sagu 1). Kadar Air (AOAC, 1984)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Timbang sampel kurang lebih sebanyak 2 gram dalam cawan. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 1000C selama 6 jam. Pindahkan cawan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan.

Perhitungan :

Kadar Air (% berat basah) =

W1 = Berat cawan (gram)

W2 = Berat sampel (gram)

W3 = Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (gram)

2). Kadar Abu (AOAC, 1984)

Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram di dalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 – 600 oC selama 4–6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

Perhitungan :


(41)

(

)

contoh HCl blanko sampel

mg

x x

xN mlHCl

mlHCl − 14.007 100

Wa = berat abu (gram) Ws = berat sampel (gram)

3). Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (AOAC,1984)

Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9 + 0,1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO, dan 3,8 + 0,1 ml H2SO4. Tambahkan batu didih pada labu lalu didihkan sampel selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml di isi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya + 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko.

Perhitungan :

Jumlah N (%) =

Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25)

4). Kadar Lemak (AOAC, 1984)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 1050C - 1100C kemudian dinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Ditimbang sebanyak 5 gram sampel dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet


(42)

% 100 ) ( )

( ×

g lKering BeratSampe

g BeratLemak

secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, kemudian labu beserta lemak ditimbang, dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

Perhitungan : Kadar lemak (%) =

5). Kadar Karbohidrat (By Difference) Perhitungan :

Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (P + KA + A + L)

Di mana : P = kadar protein (%) A = abu (%)

KA = kadar air (%) L = kadar lemak (%) 6). Penetapan Serat Makanan Secara Enzimatis (AOAC,1984)

Sampel basah dihomogenisasi dan diliofilisasi, semua sampel digiling kemudian disaring dengan saringan 0.3 mm. Lemak dalam sampel diekstarsi dengan menggunakan petroleum eter pada suhu ruang selama 15 menit (40 ml petroleum eter tiap gram sampel). Timbang 1 g sampel dan masukkan kedalam erlenmeyer, tambahkan 25 ml buffer natrium fosfat pH 6 kemudian diaduk. Tambahkan 0.1 ml enzim termamyl tutup dengan aluminium foil dan inkubasi pada suhu 100 OC selama 15 menit. Setelah dingin tambahkan 20 ml air destilata dan atur pH menjadi 1.5 dengan HCl encer. Tambahkan 100 mg pepsin, tutup erlenmeyer dan inkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 O

C selama 60 menit. Tambahkan 20 ml air destilata dan atur pH menjadi 6.8 menggunakan NaOH. Tambahkan 100 mg pankreatin, tutup erlenmeyer dan inkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 OC selama 60 menit. Atur pH menjadi 4.5 menggunakan HCl encer. Saring dengan kertas saring whatman 40 yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0.5 celite kering. Cuci dengan 2 x 10 ml air destilata.


(43)

100 1 1 1

x W

B I

D − −

100 2 2 2

x W

B I

D − −

Residu penyaringan digunakan untuk menentukan jumlah serat yang tidak larut. Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton. Keringkan pada suhu 105 oC sampai berat konstan. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Abukan pada suhu 550 oC selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I1).

Filtrat digunakan untuk menentukan serat larut. Atur volume filtrat menjadi 100 ml. Tambahkan 400 ml etanol 95% dengan suhu 60oC dan biarkan mengendap selama 1 jam. Saring menggunakan crucible (porosity 2) yang telah diketahui beratnya dan mengandung 0.5 g celite. Cuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. keringkan pada suhu 105 oC. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Abukan pada suhu 550 oC selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I2).

Blanko untuk serat larut dan tidak larut diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel.

Perhitungan : % IDF =

%SDF =

W = berat sampel (g)

D = berat setelah pengeringan (g) I = berat setelah pengabuan (g) B = berat blanko bebas abu (g)

d. Analisis Sifat Fisik Tepung Sagu

1). Penentuan suhu gelatinisasi dan viskositas (Amilograf)

Sampel sebanyak 40 g dimasukkan ke dalam botol gelas yang volumenya 500 ml air ditambah dengan 450 ml air aquades, diaduk selama 5 menit dengan pengaduk, kemudian dipindahkan ke mangkuk amilograf yang sebelumnya telah dipasang pada alat. Botol gelas dan


(44)

pengaduk dicuci dengan 50 ml aquades, lalu air bilasan dituangkan ke mangkuk amilograf.

Mangkuk amilograf yang berisi sampel diputar pada kecepatan 75 rpm, sambil suhunya dinaikkan dari 30 oC sampai 90 oC dengan kenaikan 1.5 oC, lalu diturunkan sampai suhu 50 oC dengan laju penurunan yang sama. Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis pada kertas grafik dalam satuan Brabender Unit (BU).

Grafik (amilograf) yang diperoleh dapat diinterpretasikan 4 parametar, yaitu:

1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik 2. Suhu puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada puncak maksimum

viskositas yang dicapai. Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut :

Suhu gelatinisasi = suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5) 3. Viskositas saat awal gelatinisasi

4. Viskositas maksimumm pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Brabender Unit (BU).

2). Derajat Putih (Whiteness-meter)

Sejumlah sampel ditempatkan pada wadah khusus alat Whiteness-meter, lalu dipasang penutup kaca dan diletakkan dibawah lensa. Kemudian diukur nilai derajat putihnya yang berkisar antara 0-100 persen. Kalibrasi alat dilakukan terlebih dahulu dengan plat standar warna putih 81,6 %. Hasil pembacaan dinyatakan dalam persen derajat putih terhadap plate standar Barium Sulfat derajat putih 100%.


(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. STUDI PUSTAKA

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyediakan data yang cukup memadai bagi penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan inventarisasi bahan pangan yang dapat dijadikan sumber karbohidrat seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, dan lainnya. Diharapkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat menggambarkan potensi dan peluang dari beberapa bahan pangan di Indonesia untuk dikembangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan.

Inventarisasi dilakukan dengan studi pustaka dari berbagai sumber seperti buku, skripsi, artikel, jurnal, dan lain-lain. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan diperoleh beberapa komoditi yang cukup banyak dibudidayakan di Indonesia diantaranya ubi jalar, ubi kayu, sagu, jenis umbi-umbian, kacang-kacangan, bahkan buah-buahan (Lampiran 1). Dari beberapa komoditi yang terinventarisasi ada beberapa komoditi yang cukup potensial untuk dikembangkan diantaranya adalah sagu, ubi jalar, sukun, singkong.

Studi mengenai bahan pangan yang biasa ditepungkan ini meliputi beberapa hal yaitu rekayasa proses (proses penepungan), aplikasi, karakter fisik dan kimia. Selain itu juga diperhatikan mengenai khasiat bahan pangan tersebut yang menjadi kepercayaan masyarakat di daerah tertentu. Dilakukan juga studi pustaka mengenai penelitian bahan pangan tersebut sejauh mana sudah dilakukan hingga saat ini.

Dari beberapa bahan pangan yang potensial untuk dikembangkan, dipilih salah satu bahan pangan yang potensial yaitu sagu. Sagu merupakan bahan pangan yang akan digunakan dalam penelitian lanjutan. Ada beberapa alasan pemilihan sagu sebagai bahan pangan untuk diversifikasi, diantaranya adalah sagu merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia timur; potensi produksi sagu di Indonesia sangat besar hingga mencapai 27 juta ton pertahun (Djoefrie, 1999); tetapi pemanfaatan sagu hingga saat ini belum optimal.


(46)

B. PENELITIAN LANJUTAN 1. Pembuatan Tepung Sagu

Pembuatan tepung sagu bertujuan untuk menyediakan bahan untuk analisis sifat fisik dan sifat kimia. Pada proses pembuatan tepung sagu digunakan empulur batang sagu yang dipotong (diiris) tipis (Gambar 5). Bentuk empulur yang dibuat kecil dan tipis dimaksudkan agar proses pengeringan berlangsung lebih cepat dan efisien.

Gambar 5. Sawut empulur sagu

Pembuatan tepung sagu yang dilakukan menggunakan bahan baku berupa empulur batang sagu dengan berat awal 25,63 kg. Pengeringan sagu dilakukan pada suhu 55 0C – 60 0C dengan menggunakan kabinet dryer. Suhu tersebut dipilih untuk menghindari terjadinya gelatinisasi pati, karena sagu sebagian besar terdiri dari pati. Mengingat bahwa pati sagu akan tergelatinisasi pada suhu sekitar 69 0C (Cecil et al., 1982 diacu dalam BPPT, 1987). Meskipun suhu gelatinisasi tersebut dicapai jika bahan tersebut berupa pati sagu murni (tidak tercampur dengan bahan lain dalam jumlah cukup besar).

Sawut sagu yang sudah kering kemudian digiling dengan menggunakan disc mill. Tepung hasil penggilingan diayak dengan kerapatan 100 mesh, digunakan kerapatan ayakan 100 mesh dengan harapan akan diperoleh tepung yang bersih dari kotoran dan ampas. Tepung sagu yang dihasilkan setelah proses pengayakan adalah 5,6 kg. Tepung sagu yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 6.

Rendemen tepung sagu yang diperoleh adalah sekitar 21.85 %. Jika dibandingkan dengan pati sagu yang memiliki rendemen antara 16 %


(47)

sampai 28 % (Kurnia, 1991), sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1984) rendemen pati sagu adalah sekitar 12.9 % dan menurut Flach (1983) rendemen tepung pati sagu adalah ± 20 %. Dapat diketahui bahwa rendamen tepung sagu relatif lebih tinggi dibanding rendemen pati sagu.

Tetapi perbedaan rendemen tersebut dipengaruhi oleh umur dan spesies sagu yang digunakan dalam analisis dengan umur dan spesies yang digunakan oleh peneliti lain. Perbedaan proses pembuatan tepung sagu dengan pati sagu juga mempengaruhi rendemen yang dihasilkan.

Gambar 6. Tepung sagu 2. Karakterisasi Pengeringan

Pengeringan merupakan suatu proses yang sangat penting dalam pembuatan tepung, karena tepung merupakan bahan pangan yang memiliki kadar air jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan bahan dasarnya. Tujuan penepungan adalah untuk memperpanjang umur simpan dari bahan pangan yang ditepungkan. Proses pengeringan yang kurang tepat akan mengakibatkan rusaknya komponen gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Selain itu mutu visual tepung juga sangat dipengaruhi oleh proses pengeringan yang dilakukan.

Pada penelitian, pengeringan dilakukan untuk mengetahui karakteristik pengeringan tepung sagu sehingga diperoleh kadar air sebesar 6% bk. Hal ini bertujuan untuk memperpanjang umur simpan tepung sagu, karena pada kadar air 6% kerusakan mikrobiologi jauh lebih lambat. Pengering yang digunakan adalah pengering jenis fluid bed.

Karakterisasi pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk memper- mudah scale up produksi dan tetap mempertahankan mutu tepung yang


(48)

dihasilkan. Karakterisasi pengeringan yang dilakukan meliputi beberapa parameter pengeringan diantaranya suhu, laju udara, dan ketebalan tumpukan.

Penentuan suhu dilakukan dengan mempertimbangkan ketahanan bahan tehadap panas dan suhu gelatinisasinya. Dalam percobaan dipilih suhu pengeringan 60 0C dan 70 0C, suhu tersebut dipilih dengan alasan bahwa suhu awal gelatinisasi pati sagu sekitar 72 0C (Haryanto et al., 2000). Ketebalan tumpukan disesuaikan dengan kapasitas alat pengering yang digunakan. Sedangkan laju udara ditentukan berdasarkan kapasitas maksimum alat dengan asumsi laju udara maksimum tidak akan mempengaruhi mutu produk secara signifikan.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung sagu berupa empulur batang sagu. Ukuran dan bentuk bahan yang akan dikeringkan sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas proses pengeringan. Oleh karena itu pemilihan bentuk dan ukuran potongan empulur batang sagu yang akan dikeringkan harus dilakukan secara tepat. Bentuk dan ukuran yang dipilih dalam pengeringan adalah model sawut, bentuk ini dianggap cukup baik dalam mendukung proses pengeringan. Dalam tumpukan yang cukup tebal, bentuk sawutan akan memiliki pori-pori yang cukup banyak untuk dilalui oleh udara yang di hembuskan sehingga proses pengeringan akan berjalan lebih cepat.

Proses pengeringan yang dilakukan dalam karakterisasi pengeringan tepung sagu menggunakan kadar air sebagai tolak ukur pencapaian. Kadar air maksimum yang digunakan dalam penentuan suhu, waktu, dan ketebalan tumpukan bahan adalah 6 % bk. Kadar air 6 % merupakan kadar air yang relatif aman bagi bahan pangan dari kerusakan mikroba dan tahan terhadap reaksi-reaksi kimia yang mengakibatkan kerusakan. Penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan aw (water activity). Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar antara 3 – 7 %, dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai (Winarno, 1992). Setelah diperoleh data kadar air, maka


(49)

penentuan suhu, waktu, dan ketebalan tumpukan dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas proses.

Gambar 7. Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan pada suhu 60 0C, ketebalan tumpukan 5 cm, dan laju udara 0.9 m/s.

Gambar 8. Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan pada suhu 70 0C, ketebalan tumpukan 5 cm, dan laju udara 0.9 m/s.

Pengeringan yang dilakukan pada suhu 60 0C dan ketebalan tumpukan 5 cm, kadar air yang diperoleh pada setiap selang waktu pengambilan sampel relatif konstan setelah waktu pengeringan 45 menit (Gambar 7). Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa waktu pengeringan yang diperlukan pada suhu 60 0C, laju udara 0.9 m/s, dan ketebalan tumpukan bahan 5 cm untuk mencapai kadar air dibawah 6 % bk adalah kurang dari 45 menit.

Pengeringan yang dilakukan pada suhu 70 0C dan ketebalan tumpukan 5 cm, kadar air yang diperoleh pada setiap selang waktu pengambilan sampel relatif konstan setelah waktu pengeringan 45 menit (Gambar 8). Dari data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa waktu pengeringan yang diperlukan pada suhu 70 0C, laju udara 0.9 m/s, dan

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00

0 20 40 60 80 100 120

Waktu pengeringan (menit)

K a d a r A ir ( % b k ) 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 180.00

0 20 40 60 80 100 120

Waktu pengeringan (menit)

Ka d a r Ai r ( % b k )


(50)

ketebalan tumpukan bahan 5 cm untuk mencapai kadar air 6 % bk adalah kurang dari 45 menit.

Gambar 9. Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan pada suhu 60 0C, ketebalan tumpukan 10 cm, dan laju udara 0.9 m/s.

Gambar 10. Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan pada suhu 70 0C, ketebalan tumpukan 10 cm, dan laju udara 0.9 m/s.

Pada ketebalan bahan 10 cm dan suhu 60 0C, waktu yang diperlukan untuk memperoleh kadar air bahan dibawah 6 % adalah 75 menit. Setelah 75 menit pengeringan kadar air dalam bahan tidak berkurang secara signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengeringan pada keadaan tersebut cukup dilakukan dengan waktu 75 menit. Hal tersebut dapat dilihat dari kurva pengeringan (Gambar 9), setelah waktu pengeringan 75 menit hampir tidak terjadi penurunan kurva. Dapat diperkirakan bahwa pengeringan pada suhu 60 0C, laju udara 0.9

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00

0 20 40 60 80 100 120

Waktu pengeringan (menit)

Ka d a r Ai r ( % b k ) -40.00 -20.00 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00

0 20 40 60 80 100 120

Waktu pengeringan (menit)

K a da r A ir ( % b k )


(51)

m/s, dan ketebalan tumpukan 10 cm diperlukan waktu minimal untuk mencapai kadar air dibawah 6 % bk adalah 75 menit.

Pada ketebalan bahan 10 cm dan suhu 70 0C, waktu yang diperlukan untuk memperoleh kadar air bahan dibawah 6 % adalah 60 menit. Setelah 60 menit pengeringan kadar air dalam bahan tidak berkurang secara signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengeringan pada keadaan tersebut cukup dilakukan dengan waktu 60 menit. Hal tersebut dapat dilihat dari kurva pengeringan (Gambar 10), setelah waktu pengeringan 60 menit hampir tidak terjadi penurunan kurva. Dapat diperkirakan bahwa pengeringan pada suhu 70 0C, laju udara 0.9 m/s, dan ketebalan tumpukan 10 cm diperlukan waktu minimal untuk mencapai kadar air dibawah 6 % bk adalah 60 menit.

Gambar 11. Grafik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan pada suhu 70 0C, ketebalan tumpukan 10 cm, dan laju udara 0.9 m/s.

Gambar 12. Garfik hubungan kadar air dengan waktu pengeringan pada suhu 70 0C, ketebalan tumpukan 15 cm, dan laju udara 0.9 m/s.

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00

0 20 40 60 80 100 120

Waktu pengeringan (menit)

Ka d a r Ai r (% b k ) 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00

0 20 40 60 80 100 120

Waktu pengeringan (menit)

Ka d a r Ai r (% b k )


(52)

Pada ketebalan bahan 15 cm dan suhu 60 0C, waktu yang diperlukan untuk memperoleh kadar air bahan dibawah 6 % adalah 90 menit. Setelah 90 menit pengeringan kadar air dalam bahan tidak berkurang secara signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengeringan pada keadaan tersebut cukup dilakukan dengan waktu 90 menit. Hal tersebut dapat dilihat dari kurva pengeringan (Gambar 11), setelah waktu pengeringan 90 menit hampir tidak terjadi penurunan kurva. Dapat diperkirakan bahwa pengeringan pada suhu 70 0C, laju udara 0.9 m/s, dan ketebalan tumpukan 15 cm diperlukan waktu minimal untuk mencapai kadar air dibawah 6 % bk adalah 90 menit.

Pada ketebalan bahan 15 cm dan suhu 70 0C, waktu yang diperlukan untuk memperoleh kadar air bahan dibawah 6 % adalah 75 menit. Setelah 75 menit pengeringan kadar air dalam bahan tidak berkurang secara signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengeringan pada keadaan tersebut cukup dilakukan dengan waktu 75 menit. Hal tersebut dapat dilihat dari kurva pengeringan (Gambar 12), setelah waktu pengeringan 75 menit hampir tidak terjadi penurunan kurva. Dapat diperkirakan bahwa pengeringan pada suhu 70 0C, laju udara 0.9 m/s, dan ketebalan tumpukan 15 cm diperlukan waktu minimal untuk mencapai kadar air dibawah 6 % bk adalah 75 menit

Penentuan suhu, ketebalan, dan waktu pengeringan dilakukan dengan memperhatikan volume produksi tinggi, atau produktivitas yang lebih tinggi dari perlakuan yang lainnya. Dari hasil yang diperoleh terdapat beberapa pilihan yang dianggap paling baik yaitu ketebalan 5 cm, suhu 60 0

C dengan waktu pengeringan 45 menit; ketebalan 10 cm, suhu 70 0C dengan waktu pengeringan 60 menit; dan ketebalan 15 cm, suhu 70 0C dengan waktu pengeringan 75 menit.

Pada ketebalan 5 cm dengan suhu 60 0C dibutuhkan waktu 45 menit untuk mencapai kadar air bahan 6 %, jika dibandingkan dengan ketebalan 10 cm dengan suhu 70 0C yang memerlukan waktu 60 menit untuk mencapai kadar air 6%. Dapat dikatakan bahwa pengeringan dengan ketebalan 10 cm dan suhu 70 0C memiliki produktivitas yang


(53)

lebih tinggi karena dengan perbedaan waktu pengeringan 15 menit tetapi bahan yang dikeringkan dua kali lebih banyak.

Pada ketebalan 15 cm dan suhu pengeringan 70 0C, waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar air 6 % diperlukan waktu 75 menit. Dibandingkan dengan perlakuan ketebalan 5 cm, suhu 60 0C dan ketebalan 10 cm, suhu 70 0C perlakuan ketebalan 15 cm, suhu 70 0C memiliki produktivitas yang lebih tinggi mengingat waktu pengeringan yang tidak berbeda jauh tetapi volume pengeringan jauh lebih tinggi.

Dari tiga pilihan tersebut, dipilih ketebalan 15 cm, suhu 70 0C dengan waktu pengeringan 75 menit. Pemilihan parameter tersebut sebagai perlakuan yang terbaik karena volume bahan yang dikeringkan jauh lebih besar dari dua pilihan yang lainnya dan waktu pengeringan yang diperlukan tidak berbeda jauh dari kedua pilihan tersebut. Oleh karena itu perlakuan terpilih dianggap paling efisien dari perlakuan yang lain.

3. Sifat Kimia Tepung Sagu

Analisis sifat kimia tepung sagu dilakukan untuk menentukan kandungan beberapa komponen kimia dalam tepung tersebut. Komponen kimia yang dinanalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar serat makanan. Dengan mengetahui komponen gizi dalam tepung sagu, maka dapat ditentukan bahan pendamping bagi tepung sagu ketika dikonsumsi sehingga kandungan gizinya seimbang.

a. Kadar Air

Air merupakan komponen penting dalam makanan, karena air dapat membuat suatu bahan pangan menjadi baik atau buruk. Keberadaan air dalam bahan pangan akan mempengaruhi bahan pangan tersebut dalam beberapa hal, diantaranya penampakan, penerimaan (acceptability), daya simpan, dan lain-lain.

Tepung termasuk kedalam bahan pangan dengan kandungan air yang rendah. Sehingga tepung memiliki daya simpan yang cukup lama


(54)

dibandingkan dengan bahan pangan yang lainnya. Tujuan pembuatan tepung salah satunya adalah untuk mengurangi air yang terkandung dalam bahan, jika kadar air dalam bahan jumlahnya sedikit maka daya simpan bahan tersebut akan lebih lama. Selain itu ada beberapa bahan pangan yang harus dikeringkan sebelum dikonsumsi.

Kadar air pati sagu bervariasi tergantung dari daerah yang memproduksi dan cara pengeringannya. Menurut Ruddle et al. (1978) kadar air dalam pati sagu adalah 36.99 % bk, sedangkan menurut Haryanto dan Pangloli (1992) kadar air dalam pati sagu adalah 16.28 % bk, dan menurut Djoefrie (1996) kadar air dalam pati sagu adalah 13.87 %. Perbedaan tersebut mungkin terjadi karena adanya perbedaan bahan, karena pati sagu ada yang disimpan dalam keadaan basah dan ada yang disimpan dalam keadaan kering.

Dalam analisis yang dilakukan pada tepung sagu diperoleh kadar airnya sebesar 6.79 % bk. Menurut Winarno (1992), penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan aw (water activity). Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar antara 3 – 7 %, dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai.

b. Kadar Abu

Kadar abu atau zat anorganik yang terkandung dalam suatu bahan pangan jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan komponen organik dan air. Zat anorganik tidak dapat terbakar dalam proses pembakaran sehingga disebut abu. Abu tersebut tersusun dari unsur mineral, unsur mineral tersebut terdiri dari mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang cukup besar, sedangkan mineral mikro adalah mineral yang sedikit dibutuhkan oleh tubuh.

Mineral dalam tubuh manusia memiliki fungsi yang berbeda-beda. Misalnya Natrium dan klorida, berfungsi untuk mempertahankan tekanan osmotik sel (Winarno, 1992). Komponen-kompnen mineral yang lainpun memiliki fungsinya masing-masing dalam tubuh.


(55)

Pengukuran kadar abu pada tepung sagu diperoleh hasil yang cukup tinggi yaitu sekitar 4.86 % bk. Kadar abu dalam tepung sagu tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan kadar abu pada pati sagu yang hanya 0.47 % bk (Djoefrie, 1996). Perbedaan kadar abu dalam tepung sagu dengan kadar abu dalam pati sagu cukup signifikan. Hal ini mungkin terjadi karena pada pati sagu mineral atau zat anorganiknya banyak yang larut ketika proses ekstraksi atau terbawa bersama ampas. Dengan demikian tepung sagu cukup baik dalam ketersediaan komponen anorganiknya jika dibandingkan dengan pati sagu. hal tersebut dapat dijadikan sebagai nilai jual lebih bagi tepung sagu.

c. Kadar Protein

Protein merupakan komponen gizi yang cukup penting bagi manusia. Keberadaan protein dalam bahan pangan akan mempengaruhi pola konsumsi gizi seimbang. Sehingga perlu diketahui kadar protein dalam suatu bahan pangan untuk dapat menghitung kecukupan gizinya jika mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno, 1992).

Hasil analisis terhadap tepung sagu diperoleh kadar proteinnya sebesar 0.80 % bk. Kadar protein pada pati sagu adalah 0.27 % bk (Ruddle et al., 1978). Sedangkan menurut Haryanto dan Pangloli (1992) kadar protein pati sagu adalah 0.81 % bk, dan menurut Djoefrie (1996) kadar protein pati sagu adalah 0.80 % bk. Jika dibandingkan antara kadar protein tepung sagu dengan kadar protein pati sagu, perbedaan yang ada tidak terlalu signifikan. Kecuali dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ruddle et al. (1978) dimana kadar proteinnya hanya 0.27 %. Hal ini kemungkinan terjadi karena terdapat perbedaan spesies dan tempat tumbuh tanaman sagu yang di analisis.

Dapat diketahui bahwa kadar protein dalam pati sagu maupun tepung sagu relatif rendah. Oleh karena itu konsumsi sagu harus didukung oleh bahan pangan lain sebagai sumber protein. Bahan pangan lain yang


(56)

harus dikonsumsi dengan sagu sebagai penunjang sumber protein diantaranya adalah ikan atau daging. Cara lain untuk melengkapi gizi produk yang akan dibuat dengan menggunakan bahan dasar tepung sagu adalah dengan fortifikasi protein kedalam produk tersebut.

d. Kadar lemak

Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan manusia. Minyak juga merupakan sumber energi yang yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kadar yang berbeda-beda. Lemak dalam jaringan hewan terdapat pada jadingan adiposa. Dalam tanaman lemak disintesis dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses respirasi. Proses pembentukan lemak dalam tanaman dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembentukan gliserol, pembentukan molekul asam lemak, kemudian kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak (Winarno, 1992).

Lemak nabati mengandung fitosterol yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Lemak nabati yang berbentuk cair dapat dibedakan atas tiga golongan yaitu : drying oil yang akan membentuk lapisan keras bila mengering di udara, misalnya minyak yang digunakan untuk cat dan pernis; semi drying oil seperti minyak jagung, minyak biji kapas, dan minyak bunga matahari; dan non drying oil, misalnya minyak kelapa dan minyak kacang tanah. Lemak nabati yang berbentuk padat adalah minyak coklat dan stearin dari minyak kelapa sawit (Winarno, 1992).

Analisis lemak yang dilakukan terhadap tepung sagu menunjukan bahwa kadar lemak dalam tepung sagu adalah 0.60 % bk. Sedangkan kadar lemak pada pati sagu adalah 0.23 % bk (Haryanto dan Pangloli, 1992), (Djoefrie, 1996). Pada proses pembuatan pati sagu melalui proses ekstraksi menggunakan air, sedangkan lemak merupakan komponen yang tidak larut


(1)

Suhu : 70 0C Tebal tumpukan : 10 cm Vudara : 0.9 m/s

waktu ul berat cawan

berat sampel

cawan + sampel

sampel

kering Ka (bb) Ka (bk)

Rata-rata KA(Bb)

Rata-rata KA (Bk) awal 1 2.9300 4.2045 4.7106 1.7806 57.6501 136.1283 57.6324 136.0294

2 4.1384 4.1788 5.9096 1.7712 57.6146 135.9304

45' 1 1.9298 4.1418 5.5445 3.6147 12.7264 14.5821 12.5719 14.3801

2 1.8371 4.1385 5.4617 3.6246 12.4175 14.1781

60' 1 2.9205 4.4104 7.2330 4.3125 2.2198 2.2701 2.3493 2.4060

2 2.9137 4.3408 7.1469 4.2332 2.4788 2.5418

75' 1 2.6577 4.1733 6.7439 4.0862 2.0871 2.1316 2.3269 2.3830

2 3.0440 4.0518 6.9918 3.9478 2.5668 2.6344

90' 1 2.9230 4.0554 6.8945 3.9715 2.0688 2.1126 2.1905 2.2398

2 2.7266 4.3940 7.0190 4.2924 2.3122 2.3670

105' 1 4.1934 4.3627 8.4545 4.2611 2.3288 2.3844 2.2060 2.2559


(2)

Suhu : 70 0C Tebal tumpukan : 15 cm Vudara : 0.9 m/s

waktu ul berat cawan

berat sampel

cawan + sampel

sampel

kering Ka (bb) Ka (bk)

Rata-rata KA(Bb)

Rata-rata KA (Bk) awal 1 3.5095 4.5737 5.6252 2.1157 53.7420 116.1790 54.0814 117.7885

2 1.9327 4.8250 4.1319 2.1992 54.4207 119.3980

45' 1 1.9660 4.1065 4.2627 2.2967 44.0716 78.8000 42.6619 74.5095

2 1.8361 4.1433 4.2702 2.4341 41.2521 70.2190

60' 1 2.9245 4.3577 6.9292 4.0047 8.1006 8.8146 8.0523 8.7575

2 2.9022 4.4990 7.0411 4.1389 8.0040 8.7004

75' 1 2.6536 4.4975 7.0187 4.3651 2.9439 3.0331 3.0212 3.1154

2 3.0406 4.7378 7.6316 4.5910 3.0985 3.1976

90' 1 2.9222 4.1706 7.0031 4.0809 2.1508 2.1980 3.0566 3.1620

2 2.7295 4.3761 6.9322 4.2027 3.9624 4.1259

105' 1 4.1924 4.3620 8.4307 4.2383 2.8359 2.9186 2.6247 2.6959


(3)

Lampiran 4. Peta penelitian sagu hingga saat ini Produk Kesimpulan Hasil

Sagu Lempeng Penambahan sumber protein untuk tidak mempengaruhi kesukaan panelis Ambon pada warna sagu lempeng, tetapi mengurangi kesukaan panelis tersebut pada bau dan rasa sagu lempeng. Sedangkan bagi panelis non- Ambon, penambahan sumber protein tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan pada rasa sagu lempeng. Penambahan tepung susu skim 42 persen meningkatkan kesukaan panelis non-Ambon pada warna dan bau sagu lempeng. (Pangloli, 1982).

Tepung Puding Instant

Hasil yang paling baik adalah kombinasi perlakuan non susu, gula 75 persen dan rasio jumlah tepung puding instant-air 1:3, serta non susu , gula 75 persen dan rasio jumlah tepung puding instant-air 1:4. (Lisna, 1991).

Sirup Glukosa Konsentrasi pati sagu 30%, pH 6.5 dan dosis enzim α-amilase 1 ml lebih baik pada proses liquifikasi. Pada proses sakarifikasi, penggunaan suhu 55 0C dan 60 0C, pH4.5 dan 5.0 serta dosis enzim α-amilase 0.8 ml dan 1.2 ml, menghasilkan gula pereduksi dan DE yang tidak jauh berbeda. Meningkatnya suhu dari 85 0C sampai 950C untuk liquifikasi dan suhu 400C menjadi 600C untuk sakarifikasi, pada tahap awal proses meningkatkan kecepatan gula preduksi. (Kusnendi, 1985).

Tahap likuifikasi terbaik pada pembuatan sirup glukosa yaitu dosis α-amilase sebesar 1,75 U/g pati dan waktu likuifasi 210 menit. Tahap sakrifikasi terbaik dihasilkan pada dosis amiloglukosidase sebesar 0,3 U/g pati dengan sakarifikasi selama 48 jam.(Akyuni, 2004). Hasil analisi statistik menunjukan bahwa perlakuan dosis α-amilase dan waktu likuifikasi secara nyata mempengaruhi variable gula pereduksi, akan tetapi interaksi antara dosis α-amilase dan waktu likuifikasi tidak berpengaruh nyata. (Wulansari, 2004).


(4)

(73.74%) adalah liquifikasi dengan dosis enzim alpha-amilase 2.0g/kg tepung sagu dan sakarifikasi dengan dosis enzim glukoamilase 2.2 ml/kg tepung sagu selama 50 jam. Ekuivalen dekstrosa sirup tertinggi (89.84%) diperoleh dari perlakuan dosis enzim alpha-amylase 1.8 g/kg tepung sagu dan waktu sakarifikasi 46 jam. (Subarna, 1984).

Sirup Fruktosa Hasil penelitian menunjukan bahwa sifat-sifat fisikokimia sirup fruktosa yang meliputi rendemen, kadar gula preduksi, kejernihan, dan kadar abu tidak dipengaruhi oleh faktor dosis enzim glukosa isomerase dan factor lama isomerisasi maupun interaksi antara kedua faktor tersebut (Sijabat, 1989).

Biosurfaktan Tepung tapioka dan tepung sagu berpotensi sebagai sumber karbon untuk produksi biosurfaktan oleh isolate local Bacillus sp. BMN 14. (Adhidharma, 2002).

Edible film Secara visual edible film yang dihasilkan mempunyai sifat tipis, kuat, elastis, mengkilap, halus, jernih, dan transparan, serta sangat kompak. Edible film dari pati sagu dapat digunakan untuk mengemas bumbu mi instant walaupun umur simpannya masih belum layak untuk diterapkan, karena terlalu singkat. (Hikmat, 1997).

Produk beku siap saji

Produk terbaik dibuat dari formulasi 20% bayam, 30% wortel, 23,3% daging ayam, 11.7% pati sagu dan 15% bumbu. (Lestariningsih, 2004).

Kerupuk Perlakuan penambahan tepung sagu berpengaruh sangat nyata terhadap kadar amilopektin dan volume pengembangan kerupuk, tetapi terhadap ujiorganoleptik warna, bau, rasa, dan kerenyahan kerupuk (baik sebelum dan sesudah digoreng tidak dipengaruhi oleh penambahan tepung sagu. (Tahir, 1985). Kurva laju pengembangan kerupuk selama penggorengan akan semakin curam dengan semakin meningkatnya suhu penggorengan. Semakin tinggi suhu penggorengan semakin tinggi nilai konstanta laju reaksi pengembangan kerupuk.


(5)

(Zulviani, 1992).

Pada tingkat kadar air tinggi, 16.04 % b.k. atau lebih tinggi dan kadar air sangat rendah, 3.57 % b.k. atau lebih rendah, waktu digoreng kerupuk tidak mengembang. Pada tingkat kadar air antara 4.14 % b.k. dan 13.36 % b.k., kerupuk mengembang selama penggorengan. (Muliawan, 1991).

Makanan Sapihan

Formula dengan komposisi: tepung sagu 48 persen, kedelai 24 % tempe 8 persen, dan campuran (daging ayam, tepung skim, dan gula ) sebesar 20 persen, mempunyai prospek pengembangan paling baik. (Santosa, 1989).

Bakso Goreng Penggunaan daging ikan cucut Liongbun dengan penambahan 15 % tepung sagu merupakan kombinasi perlakuan yang terbaik untuk pembuatan bakso goreng dari ikan cucut. (Sidik, 1990). Biskuit Biskuit dapat dibuat dari campuran tepung sagu dan tepung

kedelai dengan perbandingan 7 bagian tepung sagu dan 3 bagian tepung kedelai. (Tasman, 19981).

Makanan Ringan

Makanan ringan produk ekstrusi dapat dibuat dari bahan dasar tepung sagu. Kondisi proses ekstrusi yang dianggap lebih baik untuk dikembangkan adalah produk yang berasal dari formula bahan baku : 75% sagu, 20 persen kedelai dan 5 % jagung. Dengan kadar air formula bahan sebesar 12 % dari berat basah dan diproses pada ekstruder dengan suhu 1600C atau 2000C. (Harun, 1988).

Cookies Penambahan konsentrat protein biji karet sebanyak 10 persen dapat dilakukan dalam pembuatan “cookies” dari tepung sagu, aren dan tapioca karena disamping dapat meningkatkan kandungan proteinnya juga dapat meningkatkan kandungan proteinnya juga dapat memperbaiki sifat organoleptiknya. (Lindawati, 1988).

Sagu Mutiara Sagu mutiara yang terbaik adalah sagu mutiara yang disuplementasi dengan tepung ikan cucut jenis barongsai sebanyak 10 persen. Hal ini dikarenakan sagu mutiara tersebut


(6)

mempunyai kadar protein yang tertinggi (10.96 %), daya cerna protein yang tinggi (93.07%) dan derajat pencoklatan yang rendah (0,14). (Sulaksono, 1989).

Dextrin Untuk mencampurkan HCL dengan merata dalam sagu berkadar air 15.30 persen berat kering, diperlukan perbandingan 5 bagian sagu dengan 3.25 bagian larutan HCL, sampai kadar air campuran mencapai 48.67 persen. Penambahan konsentrasi HCL sebagai katalis mempercepat waktu dextrinasi. (Puspawardhani, 1989).

Kombinasi perlakuan yang dapat digunakan untuk membuat dekstrin yang mendekati syarat mutu SNI dekstrin untuk industri nonpangan adalah perlakuan dengan konsentrai subsrat 30 persen dan dosis enzim 0,7 g/kg substrat kering. Hasil analisa sifat fisiko kimianya adalah sebagai berikut: kadar air 6,49 persen, kadar abu 0,23 persen, kadar dekstrosa 17,17 persen, derajat putih 73,92 persen, warna dengan larutan lugol biru keunguan, kekentalan 1,9 cp, kelarutan dalam air dingin 82,82 persen, dan rendemen 47 persen. (Sutanto, 2001).

Laju reaksi dextrinasi pati sagu yang didasarkan pada peningkatan konsentrasi dextrin menunjukan pola reaksi yang mirip dengan reaksi kinetika orede pertama (Armelia 1990). Pola reaksi dextrinisasi yang diperoleh, menunjukan adanya dua tahap reaksi yatiu fase lambat dan fase cepat. Berdasarkan penurunan konsentrasi pati, peralihan fase lambat ke fase cepat terjadi pada daerah kadar pati 90%. Sedangkan berdasarkan peningkatan konsentrasi dextrin, peralihan fase lambat ke fase cepat terjadi pada daerah kadar dextrin 30 %. (Septi, 1992).