Ulfa

(1)

DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN

TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT LINGKAR

KAMPUS IPB DRAMAGA DI KOTA BOGOR

ULFA LESTARI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Perubahan

Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Lingkar Kampus IPB Dramaga di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015 Ulfa Lestari NIM. I34110026


(3)

ABSTRAK

ULFA LESTARI. Dampak Perubahan Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Lingkar Kampus IPB Dramaga Di Kota Bogor. Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO.

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor sosial dan ekonomi yang berhubungan dengan konversi di Kelurahan Situgede, menganalisis pembentukan struktur penguasaan lahan dan pembentukan sosial ekonomi masyarakat, dan menganalisis dampak struktur penguasaan lahan terhadap kesejahteraan rumah tangga masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan kuesioner yang didukung oleh pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam. Unit analisa dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang memiliki lahan pertanian dan pernah menjual lahan pertanian tersebut. Data kuantitatif

menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2013 dan SPSS. for windows 16.0 yang

akan menggunakan Spearman dan uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukakan,

terjadi perubahan signifikan pada variabel struktur penguasaan lahan, kesejahteraan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Struktur penguasaan lahan memiliki hubungan kuat dengan tingkat kesejahteraan sosial, struktur penguasaan lahan memiliki hubungan dengan tingkat kesejahteraan ekonomi, sedangkan struktur penguasaan lahan tidak memiliki hubungan dengan tingkat kesejahteraan subjektif.

Kata kunci : alih fungsi lahan, struktur penguasaan lahan, kesejahteraan sosial, kesejahteraan ekonomi, kesejahteraan subjektif, rumah tangga

ABSTRACT

ULFA LESTARI. The Impact of Changes in The structure of Land Tenure to The Welfare Society of The Community Campus Dramaga IPB in Bogor City. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO.

This research was aimed to analyze the social and economic factors associated with land conversion in Situgede, analyzing the formation of the structure of land tenure and the establishment of socio-economic community, and analyze the impact of the land tenure structure of household well-being society. This research uses a quantitative approach with the questionnaire supported by qualitative approaches through in-depth interviews. The unit of analysis in this research are households that have agricultural land and never sell the farmland. Quantitative data using Microsoft Excell applications 2013 and SPSS. 16.0 for windows will be using the Wilcoxon test and Spearman test. The results showed, there was a significant change in variable structure control of land, social well-being and economic prosperity. Structure of land tenure has a strong correlation with the level of social soecity, land tenure structures have a correlation with the level of economic soecity, while the structure of land tenure has no correlation with the level of subjective soecity.

Keywords: land conversion, land tenure structure, social society, economic soecity, the subjective soecity, household


(4)

DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT LINGKAR

KAMPUS IPB DRAMAGA DI KOTA BOGOR

ULFA LESTARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015


(5)

Judul Skripsi : Dampak Perubahan Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Lingkar Kampus IPB Dramaga di Kota Bogor

Nama : Ulfa Lestari

NIM : I34110026

Disetujui oleh

Prof. Dr Endriatmo Soetarto, MA Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen


(6)

PRAKATA

Untaian puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang masih memberikan nikmat jasmani dan rohani serta waktu yang bermanfaat bagi penulis sehingga skripsi dengan judul ” Dampak Perubahan Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Lingkar Kampus

IPB Dramaga di Kota Bogor” dapat diselesaikan tanpa hambatan dan masalah yang

berarti. Pujian dan sholawat senantiasa penulis sampaikan kepada Rasullah SWA, keluarga beliau, dan para sahabat hingga tabi’in dan pengikutnya hingga akhir.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Ayah Drs. Prawira Rafady, Ibunda Nuriha, Adik tercinta Muhammad

Yasin dan Muhammad Farhan, yang segenap jiwa dan raganya selalu memberikan semangat, doa, dukungan, dan kasih sayang dan merupakan sumber motivasi penulis dalam segala hal.

2. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA dosen pembimbing skripsi yang telah

banyak mencurahkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memberikan masukan yang sangat berarti selama penulisan skripsi ini.

3. Ir. Ferdian Tonny, MS dosen pembimbing akademik yang telah

membimbing saya dan memberi masukan dalam hal akademik.

4. Sahabat terkasih Gagah Ruseffi Musnamar yang telah menjadi tutor dan

selalu memotivasi, membantu, mendukung, serta mendengarkan keluh kesah penulis.

5. Sahabat-sahabat mabs tercinta Feby Lutfiannisa, Fitri Oktaviani,

Ethaliani Karlinda, Vani Kusumawardani, Muhammad Faisal, Hernaldi, Maulana Ridwan, Amaris Orwin, Handhoyo Bima, Shofwan Hilmi, Habib Muhammad, Ikhsan Maulana atas semangat, canda tawa dan kebersamaannya selayaknya keluarga.

6. Teman-teman sebimbingan yang memberikan dukungan penuh dari

Nurlaila, Anindya, dan Ichris yang sudah membantu memberikan masukan dalam penulisan.

7. Sahabat terindah Ditia Andini, Nuriska Rahma, Angitia yang saling

menyayangi dan menyemangati satu sama lain.

8. Teman-teman seperjuangan SKPM 48 atas semangat dan kebersamaan

selama ini.

9. Tiga puluh satu responden dan beberapa informan di RW 08 DAN RW

07 Kelurahan Situgede, yang sudah bersedia merelakan sedikit waktu untuk memberikan informasi yang bermanfaat untuk penulisan skripsi. Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini terdapat banyak kesalahan.

Bogor, Mei 2015 Ulfa Lestari


(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... IIix

DAFTAR GAMBAR ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

PENDEKATAN TEORITIS ... 5

Tinjauan Pustaka ... 5

Transformasi Kota ... 5

Struktur Agraria dan Perubahan Struktur Agraria ... 6

Koversi Lahan Pertanian... 8

Faktor Penyebab Timbulnya Konversi Lahan Pertanian ... 9

Pola Penguasaan Lahan ... 10

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat... 11

Hipotesis Penelitian ... 15

Definisi Konseptual ... 15

Definisi Operasional ... 16

PENDEKATAN LAPANG ... 22

Metode Penelitian ... 22

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Teknik Pemilihan Responden dan Informan ... 23

Teknik Pengumpulan Data ... 23

LAHAN PERTANIAN DAN KONVERSINYA ... 26

Demografi Kelurahan Situgede ... 26

Ketenagakerjaan ... 27

Pendidikan ... 28

Religi... 29

Karakteristik Responden ... 29

Luas Lahan... 29

Jenis Kelamin... 30

Pendidikan ... 30

Usia ... 31

Kisah Lahan Pertanian ... 32

PEMBENTUKAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN KELURAHAN SITUGEDE PASCA JUAL BELI LAHAN PERTANIAN ... 35

Luas Penguasaan Lahan ... 35

Tingkat Ketergantungan Lahan Pertanian ... 37

Kelembagaan Penguasaan Lahan ... 38

Perubahan Struktur Peguasaan Lahan Kelurahan Situgede ... 40

Ikhtisar ... 42

PEMBENTUKAN STRUKTUR BARU SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PASCA JUAL BELI LAHAN PERTANIAN ... 43

Kondisi Sosial Masyarakat Pasca Jual Beli Lahan Pertanian ... 43


(8)

Pembentukan Struktur Baru Ekonomi Masyarakat ... 45

Tingkat Pendapatan ... 46

Tingkat Kesehatan ... 47

Perubahan Kondisi Ekonomi Masyarakat Kelurahan Situgede ... 51

Ikhtisar ... 52

DAMPAK STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KELURAHAN SITUGEDE ... 53

Perubahan Kesejahteraan Rumah Tangga Pasca Jual Beli Lahan Pertanian 53 Dampak Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat ... 53

Dampak Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Sosial Masyarakat ... 56

Dampak Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Subjektif Masyarakat ... 58

Ikhtisar ... 60

PENUTUP ... 61

Simpulan ... 61

Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 67


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pemilihan Informan 23

Tabel 2 Jumlah penduduk Kelurahan Situgede berdasarkan kelompok usia

27 Tabel 3 Data luas penguasaan lahan pertanian pra dan pasca terjadinya

jual beli lahan pertanian

36

Tabel 4 Tingkat pendapatan responden 2015 46

Tabel 5 Jumlah responden berdasarkan variabel tingkat kesejahteraan ekonomi pra dan pasca jual beli lahan pertanian

54 Tabel 6 Jumlah dan persentase responden Kelurahan Situgede menurut

struktur penguasaan lahan dan tingkat kesejahteraan ekonomi Kelurahan Situgede 2015

55

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden Kelurahan Situgede menurut struktur penguasaan lahan dan tingkat kesejahteraan sosial Kelurahan Situgede 2015

57

Tabel 8 Jumlah dan persentase responden Kelurahan Situgede menurut struktur penguasaan lahan dan tingkat kesejahteraan subjektif Kelurahan Situgede 2015

59

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agraria (Sitorus 2002) 7

Gambar 2 Kerangka Pemikiran 14

Gambar 3 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Situgede Tahun

2014

27

Gambar 4 Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Situgede Tahun

2014

29

Gambar 5 Luas lahan dikuasi responden Kelurahan Situgede Tahun

2015

30

Gambar 6 Jenis Kelamin Responden 2015 30

Gambar 7 Tingkat Pendidikan Responden 31

Gambar 8 Usia Responden 31

Gambar 9 Alih fungsi lahan pertanian Kelurahan situgede 32

Gambar 10 Luas penguasaan lahan menurut responden Kelurahan Situgede Tahun 2015

36 Gambar 11 Persentase responden berdasarkan tingkat ketergantungan

pada lahan pra jual beli lahan pertanian di Kelurahan Situgede 2015

37

Gambar 12 Persentase responden berdasarkan tingkat ketergantungan pada lahan pasca jual beli lahan pertanian di Kelurahan Situgede 2015


(10)

Gambar 13 Kondisi Kelembagaan Penguasaan Lahan menurut responden pra jual beli lahan pertanian di Kelurahan Situgede Tahun 2015

38

Gambar 14 Kondisi Kelembagaan Penguasaan Lahan menurut responden pasca jual beli lahan pertanian di Kelurahan Situgede Tahun 2015

39

Gambar 15 Kondisi Struktur Penguasaan Lahan Kelurahan Situgede Tahun 2015

40 Gambar 16 Kondisi Sosial Pasca Jual Beli Lahan Pertanian Menurut

responden di Kelurahan Situgede Tahun 2015

43 Gambar 17 Kondisi sosial masyarakat pra dan pasca jual beli lahan

pertanian Kelurahan Situgede 2015

44 Gambar 18 Kondisi Baru Ekonomi Pasca Jual Beli Lahan Pertanian

Menurut responden di Kelurahan Situgede Tahun 2015

46 Gambar 19 Kondisi kesehatan pra jual beli lahan pertanian menurut

responden di Kelurahan Situgede 2015

48 Gambar 20 Kondisi kesehatan pasca jual beli lahan pertanian menurut

responden di Kelurahan Situgede 2015

48 Gambar 21 Kondisi tingkat pendidikan pra jual beli lahan pertanian

menurut responden di Kelurahan Situgede 2015

49 Gambar 22 Kondisi tingkat pendidikan pasca jual beli lahan pertanian

menurut responden di Kelurahan Situgede 2015

49 Gambar 23 Kondisi konsumsi pangan pra jual beli lahan pertanian

menurut responden di Kelurahan Situgede 2015

50 Gambar 24 Kondisi konsumsi pangan pasca jual beli lahan pertanian

menurut responden di Kelurahan Situgede 2015

50 Gambar 25 Kondisi ekonomi masyarakat pra dan pasca jual beli lahan

pertanian Kelurahan Situgede 2015

51 Gambar 26 Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat Kelurahan

Situgede pra dan pasca jual beli lahan pertanian 2015

55 Gambar 27 Tingkat kesejahteraan sosial masyarakat Kelurahan Situgede

pra dan pasca jual beli lahan pertanian 2015

57 Gambar 28 Tingkat kesejahteraan sosial masyarakat Kelurahan Situgede

pra dan pasca jual beli lahan pertanian 2015

59

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta Kota Bogor 68

Lampiran 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2014/2015 69

Lampiran 3 Daftar Responden 70

Lampiran 4 Hasil Validitas dan Reabilitas 71

Lampiran 5 Pengolahan Data SPSS 16.0 71

Lampiran 6 Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data 75

Lampiran 7 Kuesioner 76

Lampiran 8 Pedoman Wawancara Mendalam 84


(11)

(12)

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agraria mempunyai definisi yang sangat luas. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Bumi yang disebutkan meliputi permukaan bumi, bagian tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Jadi, dapat dikatakan bahwa lahan termasuk ke dalam kategori bumi dan merupakan bagian dari agraria. Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah Penduduk Indonesia yaitu 237.6 juta jiwa, bertambah 32.5 juta jiwa sejak tahun 2000. Menurut Benu NM dkk (2013) pertumbuhan penduduk adalah implikasi dari perkembangan sebuah kota. Pertumbuhan penduduk bukan hal yang negatif, tapi itu hanya seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi itu adalah aset untuk pengembangan kawasan dan di sisi lain adalah beban untuk daerah. Ini berarti bahwa daerah harus menyediakan ruang untuk hidup dalam bentuk sumber makanan, tempat tinggal dan publik fasilitas. Hal ini bertentangan dengan ketersediaan lahan yang tetap. Lahan atau tanah merupakan salah satu sumber agraria yang digunakan untuk kehidupan sosial seperti berkeluarga, bersekolah, beribadat, berekreasi, berolah raga, dan kegiatan ekonomi seperti bertani, berkebun, beternak, memelihara/menangkap ikan, menebang kayu di hutan dan sebagainya (Jayadinata 1992).

Kebutuhan akan lahan dalam memenuhi kebutuhan manusia ini mengakibatkan terjadinya perubahan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian atau biasa disebut konversi lahan. Menurut Utomo et al. tahun 1992 dikutip Septiana et al. (2012) menjelaskan konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Pengertian Pembebasan Lahan, menyatakan bahwa pembebasan lahan merupakan pelepasan hubungan hukum yang semula terdapat pada pemegang hak atau penguasa lahan dengan cara memberikan ganti rugi. Ganti rugi atas lahan-lahan yang dibebaskan tersebut, berupa lahan-lahan yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan pada Undang-Undang No.5 Tahun 1960, lahan-lahan masyarakat hukum adat yang terdapat pada Pasal 1 ayat (5) Permendagri Nomor 15 Tahun 1974 (Supriadi 2007).

Pada saat ini hampir semua Negara memiliki kebijakan dalam pembangunan ekonomi, dan pengalaman di hampir semua Negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Menurut Tambunan (2001) fakta di banyak Negara menunjukkan bahwa tidak ada perekonomian yang hanya bertumpu sektor-sektor primer (pertanian-pertambangan) mampu mencapai tingkat pendapatan per kapita diatas US$500 selama jangka panjang (Kahn 1979), contohnya Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya kontribusi lapangan pekerjaan pada sektor pertanian khsusunya kemampuan dalam kesempatan kerja. Akibatnya semakin besar


(14)

terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, dalam 10 tahun terakhir terdapat alih fungsi lahan sawah menjadi non pertanian seperti industri dan perumahan seluas 80.000 ha per tahun.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA yang

dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas lahan yang pernah

tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak lahan menurut kitab undang-undang hukum perdata barat dan lahan-lahan yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak lahan menurut ketentuan UUPA. Menurut guru besar Kajian Agraria, konversi dapat dikelompokan menjadi 2, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal. Konversi vertikal merupakan peralihan dari obyek-subyek agraria secara individu menjadi obyek-subyek agraria secara koorporasi dan negara. Sedangkan konversi horizontal merupakan peralihan dari obyek-subyek agraria secara individu ke obyek-subyek agraria lainnya yang

berubah secara individu (petani atau bukan petani)1. Konversi lahan yang terjadi

memberikan berbagai dampak salah satunya adalah perubahan struktur penguasaan lahan. Struktur agraria menyangkut dua hal yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure merupakan hak atas tanah atau penguasaan tanah yang dimiliki oleh seseorang sedangkan land tenancy adalah yang memiliki, memegang, menempati, menyewa sebidang tanah tertentu (Wiradi 2009).

Kota Bogor memiliki hari jadi pada tanggal 03 Juni 1482, yang ditetapkan oleh DPRD pada tahun 1973. Kecamatan Bogor Barat merupakan salah satu kecamatan di Kota Bogor. Menurut data profil wilayah 2012 Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat terdapat jumlah penduduk total sebanyak 8081 jiwa/ 2228 KK. Pembangunan Kota Bogor tentunya menuntut transformasi yang memiliki pengaruh terhadap struktur penguasaan lahan Kelurahan Situgede. Kondisi struktur agraria ini dapat dilihat dari pola-pola hubungan masyarakatnya terhadap tanah, baik sebagai sumber nafkah maupun rasa aman atas kepemilikan/penguasaan lahannya. Pada daerah Kelurahan Situgede lahan sawah yang bertransformasi menjadi bangunan. Agar terlaksananya pembangunan tersebut, beberapa petani penggarap harus rela kehilangan lahan garapannya dan lahan tersebut beralih fungsi atau terkonversi dari pertanian menjadi non pertanian. Perubahan fungsi tersebut, mengakibatkan terjadinya perubahan pada struktur agraria masyarakat khususnya perubahan pola penguasaan lahan. Perubahan penguasaan lahan tentunya menimbulkan berbagai dampak salah satunya adalah kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, tulisan ini memaparkan dampak perubahan struktur penguasaan lahan terhadap kesejahteraan rumah tangga masyarakat Kelurahan Situgede pasca jual beli lahan pertanian.

Masalah Penelitian

Melihat semakin tingginya pembangunan yang dilakukan untuk melengkapi pembangunan Kota Bogor, pengalihfungsian atau konversi dari lahan pertanian menjadi non pertanian tidak dapat dihindarkan. Banyak faktor baik sosial dan ekonomi yang menyertai proses terjadinya konversi. Oleh karena itu, menjadi


(15)

penting bagi peneliti untuk mengkaji faktor-faktor sosial dan ekonomi yang berhubungan dengan konversi lahan di Kelurahan Situgede?

Faktor sosial dan ekonomi yang melatarbelakangi alih fungsi lahan,

mengakibatkan masyarakat menjual lahan pertanian mereka. Salah satu dampak yang terlihat akibat terjadinya jual beli lahan pertanian terjadinya perubahan yaitu perubahan struktur penguasaan lahan dan perubahan sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana struktur penguasaan lahan dan sosial ekonomi baru masyarakat di Kelurahan Situgede?

Perubahan struktur penguasaan lahan yang terjadi akibat jual beli lahan pertanian, tidak dapat dihindarkan. Perubahan struktur penguasaan lahan tersebut menyebabkan timbulkan berbagai dampak yang terjadi pada rumahtangga masyarakat. Oleh karena itu, menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana dampak struktur penguasaan lahan terhadap kesejahteraan rumah tangga masyarakat di Kelurahan Situgede?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji masalah yang telah dipaparkan yaitu menelaah pengaruh perubahan struktur penguasaan lahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di Kelurahan Situgede, Kemudian, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan yakni:

1. Menganalisis faktor-faktor sosial dan ekonomi yang berhubungan dengan

konversi lahan di Kelurahan Situgede.

2. Menganalisis struktur penguasaan lahan dan sosial ekonomi masyarakat di

Kelurahan Situgede.

3. Menganalisis dampak struktur penguasaan lahan terhadap kesejahteraan

rumah tangga masyarakat di Kelurahan Situgede.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, di antara lain ialah:

1. Peneliti dan Akademisi.

Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman langsung terkait fenomena konversi yang terjadi langsung di lapangan. Sedangkan untuk akademisi hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai dampak konversi lahan pertanian, baik secara vertikal dan horizontal serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agrarian. 2. Pemerintah.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi dari semakin meningkatnya laju konversi lahan pertanian.


(16)

3. Masyarakat.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai dampak konversi lahan pertanian oleh petani yang terhadap tingkat kesejahteraan mereka.


(17)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Transformasi Kota

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 1, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Pasal 3, daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kemampuan daerah

b. Potensi daerah

c. Sosial budaya

d. Sosial politik

e. Jumlah penduduk

f. Luas daerah

g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

Menurut kamus Bahasa Indonesia, terdapat berbagai macam pengertian

mengenai transformasi, yaitu perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb)2. Dalam

kajian yang dilakukan Hardiati (2011), diketahui bahwa faktor penentu transformasi wilayah peri urban antara lain adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk non alami yang tinggi, dan menyebabkan banyak lahan berubah menjadi perumahan bagi penduduk. Selain itu faktor lainnya adalah mata pencaharian penduduk yang di dominasi oleh sektor di luar sektor pertanian atau industrialisasi. Lalu faktor lahan terbangun yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan non pertanian atau sebagian besar wilayah di dominasi oleh penggunaan lahan terbangun dan lingkungan binaan lainnya, seperti permukiman, perdagangan, industri, jasa, infrastruktur, dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi dan budaya.

Menurut Soehoed (2004) pada transformasi Jakarta sebagai ibukota propinsi menjadi ibukota negara, waktu itu mengalami proses perubahan bentuk suatu konsep daerah menjadi bentuk lain yang lebih mapan. Dijadikan ibukota nasional adalah kota yang berkembang dari masa ke masa secara meloncat-loncat dengan suatu rencana. Kota Jakarta harus melintasi suatu reformasi dari ibukota suatu wilayah jajahan menjadi ibukota suatu negara baru yang masih akan berkembang. Ketika mulai membangun, tanda-tanda urbanisasi mulai memperlihatkan diri sehingga menyebabkan kebutuhan tanah meningkat.

Menurut Sztompka (2011) memahami transformasi fundamental dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, yakni munculnya tatanan


(18)

masyarakat urban, industrial dan kapitalis. Dalam transformasi (“perubahan dari”

dan tidak hanya “perubahan di dalam” saja) baik bila digabungkan dengan

kemajuan. Melihat dari transfomasi yang di dalamnya terdapat proses sosial, begitu proses sosial itu terjadi maka meninggalkan bekas yang tidak dapat dihapus dan meninggalkan pengaruh yang tidak terelakan atas proses sosial tahap selanjutnya, contohnya perkembangan sebuah kota.

Menurut Suryo (2009) terdapat proses transformasi sosial dan budaya, sejak berakhirnya penjajahan Belanda dan lahirnya Indonesia menjadi tonggak perubahan dan pergeseran berbagai dimensi kehidupan. Kota-kota di Indonesia sebagai pusat komunitas sosial sekaligus sebagai pusat kebudayaan tidak terlepas dari arus transformasi melalui perubahan pemerintahan dari masa ke masa. Proses pergeseran sepanjang masa tersebut juga diikuti dengan terjadinya proses pergeseran kota-kota di Indonesia menjadi lebih modern. Sehingga, proses transformasi kota dan kebudayaan kota di Indonesia telah berlangsung semanjak masa lampau, pada masa kini serta mencapai puncak perkembangannya dan menuju ke arah masa depannya. Dengan demikian, transfomasi kota yang dimaksud adalah proses pergeseran sebuah wilayah rural menjadi urban.

Struktur Agraria dan Perubahan Struktur Agraria

Agraria sendiri memiliki definisi yang sangat luas. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bumi yang disebutkan meliputi permukaan bumi, bagian tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Agraria tidak bisa terlepas dari manusia karena berhubungan dengan sumber daya alam yang dapat menunjang kehidupan manusia. Sitorus (2002) dalam Sihaloho (2004) mengemukakan bahwa lingkup agraria terdiri dari dua yaitu obyek agraria dan subyek agraria.

Obyek agraria adalah sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik sementara subyek agraria adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Dengan merujuk pada Pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) UUPA tahun 1960, Sitorus (2002) menyimpulkan beberapa jenis sumber agraria yaitu: tanah atau permukaan bumi, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Struktur agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana struktur akses pihak-pihak yang terkait dengan sumberdaya agraria. Dengan kata lain, hubungan sosio- agraria dapat menjelaskan bagaimana struktur agraria suatu masyarakat.

Selain itu, Sitorus (2002) juga membagi proporsi dasar analisis agraria menjadi dua, yakni: 1. Ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu; dan 2. Ketiga subyek agraria saling berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Hubungan tersebut dikenal dengan hubungan sosio-agraria. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosio-agraria yang berpangkal pada akses pemilikan dan pemanfaatan sumber agraria.

Masyarakat yang terdapat dalam Gambar 1 diwakili oleh petani, karena pada umumnya masyarakat yang terlibat dalam hubungan agraria adalah petani yang memiliki obyek agraria berupa lahan. Swasta pada umumnya merupakan perusahan- perusahaan besar yang memiliki kepentingan terhadap suatu obyek


(19)

agraria. Dengan modal yang mereka miliki, perusahaan seringkali mengambil alih lahan yang mulanya dimiliki masyarakat. Sementara pemerintah yang mempunyai hak legal untuk mengatur berbagai kepentingan, khususnya menyangkut kepentingan agraria, serta berperan pula dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait agraria.

Gambar 1. Lingkup hubungan-hubungan agraria (Sitorus 2002) Menurut Urlich Planck (1993) dikutip Sihaloho (2004), struktur agraria terkait dengan hukum agraria. Hukum agraria dalam pengertian sempit adalah hukum pertanahan yang memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Ciri-ciri tersebut saling berkaitan berkaitan dan hubungannya terhadap keseluruhan agraria dapat diukur. Seiring berjalannya waktu, sumber agraria yang ada tentu mengalami perubahan-perubahan yang memberikan dampak pada subyek agraria dan obyek agraria itu sendiri. Perubahan-perubahan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hubungan antara obyek agraria dengan subyek agraria akan terus berlangsung mengikuti perubahan zaman.

Seiring berjalannya waktu, sumber-sumber agraria yang dimanfaatkan tentu akan mengalami perubahan, baik perubahan ke arah perbaikan maupun ke arah perusakan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat

mengubah struktur agraria. Menurut Zuber (2007) dikutip Adly (2009)

mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya: (1) permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas; (2) faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan; (3) kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan pestisida maupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian; (4) kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik.

Lebih lanjut dalam penelitiah Sitorus et al. (2008) lahan menjadi salah satu dari dua faktor produksi yang saling terkait yaitu sebagai lahan dan modal finansial untuk penguasaan alat/bahan produksi pendukung lainnya. Hal ini mendorong struktur agraria baru, yaitu munculnya pola hubungan sosial produksi banyak pihak dan atau munculnya pola hubungan sosial produksi dan pihak yang semakin terakumulasi/tersubordinasi antara pemilik lahan yang semakin kuat dan penggarap yang semakin lemah. Beberapa mekanisme yang mendorong perubahan struktur

Pemerintah

Masyarakat Swasta

Obyek Agraria


(20)

agraria menuju stratifikasi adalah pola bagi hasil dan pewarisan. Selain itu ada beberapa mekanisme yang mendorong polarisasi yaitu penjualan kebun dan buruh upahan serta akses petani terhadap program pemerintah (baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan swasta).

Menurut Nilamsari (2005) yang menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan perkebunan untuk petani buah menjadi perumahan dan gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Seiring berkembangnya waktu, perubahan alam yang terjadi mempengaruhi hubungan struktur agraria yang ada di dalamnya. Perubahan struktur agraria ini menjelaskan hubungan antara obyek agraria dengan subyek agraria. Sebagai akibat dari perubahan struktur agraria tersebut, hubungan di antara obyek dan subyek agraria dapat berlangsung secara harmonis maupun menimbulkan polemik akan pemanfaatan sumber agraria.

Koversi Lahan Pertanian

Utomo et al. tahun 1992 dikutip Septiana et al. (2012) menjelaskan konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak tanah menurut kitab undang-undang hukum perdata barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak- hak tanah menurut ketentuan UUPA.

Selain itu, konversi lahan menurut Sihaloho (2004) adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Konversi lahan dari non-pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam rangka program ekstensifikasi pertanian. Selain perubahan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian atau sebaliknya, terdapat makna konversi lain, menurut Suwitra (2010) yang dimaksud dengan konversi adalah pergeseran atau perubahan kepemilikan atas tanah, dari tanah komunal atau tanah adat menjadi kepemilikan pribadi atas dasar UUPA agar lebih menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak penguasaan dan pemilikan tanah.

Dalam penelitian Benu et al. (2013) yang di lakukan di Tomohon,

pembangunan di Tomohon, akan membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Sehingga, membutuhkan adanya perubahan alih fungsi lahan atau konversi. Daerah perkotaan dipandang sebagai lokasi yang paling efisien untuk kegiatan non-pertanian yang produktif karena ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Terdapat ada dua jenis proses konversi sawah, yaitu konversi langsung sawah oleh petani dan oleh pemilik tanah non petani yang melakukan melalui proses penjualan. Sebagian besar konversi sawah dilakukan oleh pembeli. Konversi melalui penjualan berlangsung dengan dua cara, yaitu cara di mana posisi petani adalah sebagai monopoli penjual dan pembeli monopsoni yang terjadi akibat adanya


(21)

sangat tersegmentasi pasar tanah. Oleh karena itu, struktur pasar yang terbentuk lebih menekankan pada daya tawar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di Tomohon adalah faktor ekonomi, lanskap dan keamanan pangan. Dari aspek ekonomi, tingkat pendapatan petani, kegiatan ekonomi dan harga tanah berpengaruh cukup tinggi pada konversi lahan. Pendapatan petani yang tidak terlalu tinggi menyebabkan petani lebih memilih untuk menjual tanahnya. Selain itu, pengembangan kegiatan ekonomi membutuhkan area yang lebih luas. Dilihat dari aspek lanskap, yang paling berpengaruh pada konversi lahan di Tomohon adalah infrastuktur atau kedekatan dengan lokasi lahan, tingkat aksesibilitas lahan dan kebutuhan lahan.

Sawah bukan sekedar sebagai faktor produksi dalam proses produksi pangan, namun merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari eksistensi petani. Oleh karena itu, konversi lahan bukan sekedar berkurangnya luas lahan sawah, tetapi juga merupakan degradasi agroekosistem. Beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan, menjelaskan bahwa konversi yang terjadi merupakan konversi atau alih fungsi dari lahan pertanian ke non-pertanian. Sangat langka sekali terjadi konversi lahan non pertanian menjadi lahan pertanian. Sehingga luas lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin berkurang.

Faktor Penyebab Timbulnya Konversi Lahan Pertanian

Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian baik secara vertikal maupun horizontal menimbulkan berbagai dampak. Di balik semua itu, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya konversi lahan pertanian yang dilakukan oleh petani. Menurut Sihaloho (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu:

1. Faktor pada aras makro: meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan

pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan

marginalisasi ekonomi.

2. Faktor pada aras mikro: meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi

rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga).

Menurut Nasoetion dan Winoto tahun 1996 dikutip Asmara (2011)

menggolongkan alih fungsi lahan pertanian ke dalam dua faktor:

1. Berkaitan sistem pertanian, yakni perubahan land tenure system dan

perubahan dalam sistem ekonomi pertanian.

2. Faktor di luar sistem pertanian, yaitu industrialisasi dan faktor perkotaan lainnya

Faktor-faktor tersebut dikelompokan menjadi faktor eksternal rumahtangga petani, internal rumahtangga petani dan faktor kebijakan. Menurut Kustiwan (1997) dan Sumaryanto (1996) dikutip Asmara (2011) faktor eksternal yang menyebabkan konversi ditentukan oleh dinamika perkotaan, seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan kawasan industrialisasi dan perumahan skala besar. Kustiwan menambahkan faktor internal, yaitu kondisi sosial ekonomi rumahtangga pertanian pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan lahannya. Lanjut menurut Kustiwan, faktor kebijakan meliputi privatisasi pembangunan kawasan industri,


(22)

pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru dan deregulasi perijinan dan investasi.

Dikaitkan dengan beberapa contoh kasus penelitian di lapangan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2012) di Kota Banjarbaru, konversi lahan pertanian disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian. Serupa dengan hasil penelitian oleh Rustiadi dan Wafda (2005):

1. Daerah seputar perkotaan aktivitas urban merupakan faktor utama terjadinya

alih fungsi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Oleh karena itu, proses alih fungsi lahan terjadi di kawasan pedesaan, khususnya diperbatasan desa-kota dan perbatasan budidaya-non budidaya.

2. Nature atau instristik sumberdaya lahan, dimana penawaran dan permintaan

akan lahan mengalami meningkatan akibat permintaan lahan untuk industri dan perumahan. Selanjutnya berkaitan dengan pergeseran struktural dalam perekonomian dan perkembangan pembangunan yang mendorong petani beralih profesi dan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya.

3. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi

pada sektor industri, namun laju investasi industri belum diikuti dengan laju penetapan peraturan sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan petanian.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruswandi (2005) di Kabupaten Bandung menunjukan bahwa, luas lahan pertanian yang terkonversi dalam suatu kelurahan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk tahun 1992, kepadatan petani pemilik tahun 1992, kepadatan petani non pemilik tahun 1992, peningkatan kepadatan petani non pemilik, luas lahan guntai kelurahan tahun 1992, peningkatan luas lahan guntai, peningkatan jumlah surat keterangan miskin, dan jarak kelurahan ke kota kecamatan. Akan tetapi menurut Nilamsari (2005) faktor penyebab konversi di Condet, Jakarta adalah karena kebutuhan ekonomi yang menyebabkan petani tidak lagi memandang lahan pertaniannya sebagai sumberdaya produktif, sehingga banyak yang meninggalkan kegiatan taninya beralih ke pekerjaan di non pertanian. Sebagian kecil yang mengalihfungsikan lahan sawahnya yang sudah tidak produktif untuk dibangun dijadikan tempat usaha.

Pola Penguasaan Lahan

Menurut Wiradi (2009) yang menyebutkan tentang jenis-jenis penguasaan lahan yang diaplikasikan di Indonesia yaitu berupa sewa, sakap atau bagi hasil, menjual lepas, gadai, dan maro atau sewa bersama-sama dengan gadai. Hal ini sejalan dengan Mardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny (2010) pola penguasaan lahan dalam pertanian diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai. Pola penguasaan lahan pun terjadi pada penelitian Mardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny (2010) yang menjelaskan bahwa ada komunitas Kasepuhan, sebagian besar lahan komunitas merupakan tanah negara. Warga komunitas hanya mendapatkan izin untuk menggarap. Warga komunitas pun mendapat hak garap lahan untuk budi daya pertanian dari kasepuhan atas izin pimpinan kasepuhan yaitu Abah. Jika hak garap ini tidak sanggup dilakukan oleh satu keluarga maka dapat dialihkan kepada anggota komunitas lain dengan sistem bagi hasil (sakap). Lahan-lahan yang ada tidak dapat diperjual belikan dan menuruti


(23)

aturan adat dalam pola pengelolaannya. Pola penguasaan lahan dalam bentuk sewa dan gadai tidak ditemukan dalam masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.

Mardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny (2010) juga menambahkan sebagian besar status kepemilikan lahan di Dusun Sumurjaya yaitu berupa hak milik. Selain itu ada juga yang berupa sewa lahan, sakap, dan gadai. Sewa lahan umumnya dilakukan oleh masyarakat di luar Desa Sidajaya karena memiliki harga sewa yang relatif murah dibandingkan di Desa Sidajaya. Pola penguasaan lahan dalam bentuk sakap (bagi hasil) dilakukan antara pemilik lahan dengan petani tanpa lahan dengan sistem maro. Hak penguasaan lahan dalam bentuk gadai diperoleh berdasarkan perjanjian uang di mana lahan persawahan dijanjikan sebagai barang jaminan sampai uang dipinjam berhasil dikembalikan dalam jangka waktu yang disepakati.

Selanjutnya Wiradi (1984) menambahkan bahwa terdapat lima pengelompokkan penduduk desa dalam penguasaan lahan, diantaranya: (1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2)

Penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan

tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) Pemilik

penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap

lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) Pemilik bukan penggarap; dan (5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan garapan.

Pada penelitian Ukoha et al. (2011) terugkap bahwa kemudahan penguasaan

luas lahan dibedakan atas peran gender. Rumah tangga yang dikepalai oleh laki-laki lebih mudah dalam menguasai lahan dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh wanita. Hal ini dikarenakan laki-laki dinilai lebih bisa mengelola lahan untuk pertanian maupun kegiatan lain dan menjamin keamanan pangan. Peran gender ini membatasi penguasaan lahan rumah tangga yang dikepalai oleh lelaki dan wanita. Tujuan dari pembatasan ini adalah untuk menjaga keamanan pangan keluarga. Bila pihak yang terlibat tidak dapat menerima konsekuensi yang telah disepakati, maka sistem penguasaan lahan berjalan tidak lancar bahkan akan menimbulkan konflik.

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Sementara tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya.

Dalam konteks pedesaan kesejahteraan menurut Mosher dalam Wiradi 2005, terdapat empat komponen kesejahteraan masyarakat yang menekankan pada kepuasaan yang tak sekedar secara fisik meliputi, tingkat hidup layak secara fisik (Kesehatan, Gizi, Pola Konsumsi, Rumah), tingkat kenyamanan hidup dalam berkelompok (Kebebasan dalam bertindak dan akses dalam mencari nafkah), tingkaat kesempatan berkumpul dan berorganisasi dan tingkat ketahanan keluarga yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya. Sementara menurut


(24)

Undang-undang No 11 Tahun 2009, Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material (Pangan, sandang, papan), spiritual (rasa aman, penghargaan diri, kepercayaan/agama), dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Adapula konsep kesejahteraan menurut Nasikun (1996) yang dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empaat indikator yaitu: (1) rasa aman (security), (2) Kesejahteraan (welfare), (3) Kebebasan (freedom), dan (4) jati diri (Identity).

Mengingat luas dan lebarnya rentang kualitas kebutuhan dasar individu dan keluarga sehingga pengukuran tingkat kesejahteraan berbeda-beda di setiap daerahnya, maka kesejahteraan seringkali direduksi menjadi sebatas terpenuhinya kebutuhan fisik dasar minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Berbagai aspek mengenai indikator Adapun kesejahteraan diukur oleh BPS tahun 2010 menggunakan indikator yang antara lain adalah:

1. Kesehatan anggota keluarga merupakan indikator kebebasan dari penyakit.

Salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan derajat kesehatan penduduk adalah dengan melihat kondisi keluhan kesehatannya.

2. Akses terhadap pendidikan merupakan kemudahan responden dalam

memperoleh jenjang pendidikan yang baik dan tinggi. Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki seseorang merupakan indikator pokok kualitas pendidikan formalnya. Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh rata-rata masyarakat di suatu wilayah maka semakin tinggi taraf intelektualitas di wilayah tersebut.

3. Pendapatan adalah penghasilan tetap yang diperoleh dalam satu bulan

oleh responden yang merupakan pemasukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Semakin tinggi pendapatan maka semakin berkurang persentase pengeluaran untuk makanan pokok, namun cenderung semakin tinggi persentase pengeluaran untuk makanan/minuman jadi atau yang berprotein tinggi. Penduduk miskin cenderung persentase pengeluaran untuk makanan pokok masih sangat tinggi.

4. Sosial dan budaya adalah kondisi dimana secara umum seseorang dapat

memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya

5. Kepemilikan alat transportasi merupakan jenis alat transportasi yang dimiliki responden untuk mempermudah akses ke berbagai tempat.

. Di Indonesia, dalam pasal 1 yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Selain itu Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2011 merumuskan bahwa konsep dari keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Inti dari kesejahteraan sosial itu sendiri ialah terpenuhinya kebutuhan baik secara moril maupun materiil. Secara


(25)

umum, tingkat kesejahteraan seseorang dapat diukur dari bidang ekonomi, sosial, dan politik.

Menurut Sadiwak (1985) dikutip Massardy (2009), kesejahteraan

merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkat kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya konsumennya. Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar kurun waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar populasi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan).

Secara umum, konversi lahan pertanian secara vertikal dan horizontal berpengaruh terhadap penurunan tingkat kesejahteraan petani pada aspek sosial maupun ekonomi. Perubahan kondisi sosial ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dari penurunan luas lahan penguasaan yang terkonversi, penurunan luas lahan milik dan luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian serta tidak signifikannya peningkatan pendapatan non pertanian dan jumlah tanggungan keluarga. Pergantian mata pencaharian pada non pertanin tidak dapat dinikmati oleh semua kalangan petani, kerena pekerjaan di non pertanian menuntut keterampilan dan pendidikan yang relatif tinggi, sehingga hanya sebagian petani saja yang dapat mengakses pekerjaan di sektor non pertanian. Selain itu, peningkatan jumlah surat keterangan miskin yang dikeluarkan kelurahan menggambarkan jumlah penduduk miskin di kelurahan tersebut dan menggambarkan kesejahteraan penduduknya. Sehingga semakin tinggi jumlah penduduk miskin (pada penelitian ini adalah petani), semakin meningkatkan penjualan lahan pertanian sebagai langkah awal konversi lahan pertanian (Ruswandi 2005).

Akan tetapi, tidak semua konversi lahan pertanian menyebabkan penurunan tingkat kesejateraan pada petani. Menurut Metera (1996), perbaikan keadaan kehidupan akibat dampak konversi lahan pertanian menjadi aktivitas pariwisata dimungkinkan karena pemanfaatan uang ganti rugi lahan oleh mereka yang memperoleh uang ganti rugi. Sedangkan bagi petani penggarap dan buruh tani yang mampu memperbaiki rumah memanfaatkan hasil kerja di sektor lain.

Kerangka Pemikiran

Transformasi kota memaksa lahan yang berjumlah tetap untuk berlih fungsi, alih fungsi lahan atau konversi lahan merupakan fenomena yang tidak dapat di hindari lagi saat ini, kebutuhan manusia akan lahan menjadi salah satu faktornya. Karena hal tersebut, maka diperlukan sejumlah lahan untuk berdirinya sebuah bangunan, sehingga tidak menutup kemungkinan lahan sawah telah dikonversi menjadi non pertanian untuk berbagai keperluan pembangunan. Dilihat dari perpindahan lahan tersebut, konversi lahan pertanian dapat terjadi di dua arah, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal yang dijelaskan secara deskriptif. Terjadinya perubahan penguasaan lahan. Banyak masyarakat yang tergiur akan perjanjian para aktor dalam melakukan transaksi perubahan struktur penguasaan lahan.


(26)

Struktur penguasaan lahan terdiri dari luas penguasaan lahan, tingkat ketergantungan lahan, dan kelembagaan penguasaan lahan. Struktur penguasaan lahan ini diharapkan mampu membantu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat yang menguasai lahan. Tetapi kasus lain juga menyebutkan bahwa tidak semua struktur penguasaan lahan mampu untuk meningkatkan kesejahteran mereka, justru semakin menurunkan kesejahteraan baik secara sosial maupun ekonomi. Tingkat kesejahteraan terdiri dari tingkat kesejahteraan ekonomi, kesejhateraan sosial, dan kesejahteraan subjektif. Tingkat kesejahteraan ekonomi dapat dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, dan tingkat konsumsi pangan. Tingkat kesejahteraan sosial dapat dilihat dari rasa aman, waktu luang, dan kepercaraan. Sedangkan kesejahteraan subjektif mengukur seluruh indikator dari kesejahteraan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Secara ringkas, alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.

Keterangan:

: Mendorong : Menyebabkan

: Diteliti secara deskriptif

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan

Pertanian:

1. Konversi Vertikal 2. Konversi Horizontal

Tingkat Kesejahteraan Ekomomi

1. Tingkat Pendapatan

2. Tingkat Kesehatan

3. Tingkat Pendidikan

4. Tingkat Konsumsi

Pangan

Transformasi Kota Struktur Penguasaan Lahan

1. Luas lahan yang dikuasai

2. Tingkat Ketergantungan

Lahan

3. Kelembagaan

Penguasaan Lahan

Tingkat Kesejahteraan Sosial

1. Rasa Aman

2. Waktu Luang

3. Kepercayaan

Tingkat Kesejahteraan


(27)

Hipotesis Penelitian Hipotesis Pengarah

1. Diduga transformasi Kota Bogor menyebabkan konversi lahan pertanian di

dua arah, yaitu konversi vertikal dan konversi horizontal

2. Semakin tinggi konversi lahan maka semakin tinggi perubahan struktur

penguasaan lahan Hipotesis Uji

1. H1 : Diduga semakin rendah struktur penguasaan lahan maka semakin

rendah kesejahteraan ekonomi masyarakat

H0 : Diduga semakin tinggi struktur penguasaan lahan maka semakin tinggi kesejahteraan ekonomi masyarakat

2. H1 : Diduga semakin rendah struktur penguasaan lahan maka semakin

rendah kesejahteraan sosial masyarakat

H0 : Diduga semakin tinggi struktur penguasaan lahan maka tinggi kesejahteraan sosial masyarakat

3. H1 : Diduga semakin rendah struktur penguasaan lahan maka semakin

rendah kesejahteraan subjektif masyarakat

H0 : Diduga semakin tinggi struktur penguasaan lahan maka semakin tinggi kesejahteraan subjektif masyarakat

Definisi Konseptual

1. Transformasi kota adalah perubahan status yang tadinya Kota Administratif

menjadi kota.

2. Konversi vertikal adalah pengalihfungsian sebagian atau seluruh lahan

pertanian menjadi non pertanian dimana peralihan dari obyek-subyek agraria (sawah) secara individu menjadi obyek-subyek agraria (sawah) secara koorporasi atau negara.

3. Konversi horizontal adalah pengalihfungsian sebagian atau seluruh lahan

pertanian menjadi non pertanian dimana peralihan dari obyek-subyek agraria (sawah) secara individu ke obyek-subyek agraria (sawah) lainnya yang berubah secara individu (petani atau bukan petani).

4. Struktur penguasaan lahan adalah pemanfaatan sebidang lahan secara

produktif dalam bentuk fisik dan hubungan antara sumber dan objek agraria. Kesejahteraan rumah tangga adalah gambaran yang menerangkan baik buruknya keadaan rumah tangga petani.


(28)

Definisi Operasional

Definisi Oprasional Struktur Penguasaan Lahan

Perubahan struktur penguasaan lahan adalah perubahan pemanfaatan sebidang lahan secara produktif dalam bentuk fisik dan hubungan antara sumber dan objek agraria yang dalam yal ini terdiri dari luas penguasaan lahan, ketergantungan lahan, dan kelembagaan penguasaan lahan yang terjadi pra dan pasca jual beli lahan pertanian.

1. Tingkat penguasaaan lahan adalah ukuran lahan yang dikuasai responden

dalam satuan meter persegi (m2). Pengukuran ini ditentukan berdasarkan rataan luas lahan menurut kondisi di lapang dengan membandingkan kondisi masa lalu (pra jua beli lahan pertanian) dan masa kini (pasca jual beli lahan pertanian) yang dialami responden. penguasaan lahan dibagi dalam tiga kategori ordinal, yaitu:

1. ≤ 1981

2. 1982-2972

3. ≥ 2973

2. Tingkat ketergantungan lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting

dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari seluruh total pendapatan rumah tangga responden. pengukuran ini dibagi dalam tiga kategori ordinal, yaitu :

1. 0-33% 2. 34-67%

3. 68-100%

3. Kelembagaan penguasaan lahan sejauh mana petani memiliki kesadaran

akan kepatuhan pada kelembagaan yang ada dalam penguasaan lahan untuk menjaga hubungan sosial diantara petani. Pengukuran membandingkan kondisi pra jual beli lahan pertanian dan pasca jual beli lahan pertanian yang

dialami responden. Terdiri dari 8 pertanyaan tertutup dan pertanyaan

terbuka, kemudian mengelompokkannya dalam tiga kategori ordinal dengan sebagai keterangan sebagai berikut:

1. Ya 2. Tidak

Definisi Operasional Tingkat Kesejahteraan Ekonomi

Tingkat Kesejahteraan adalah gambaran yang menerangkan baik buruknya keadaan rumah tangga petani pada aspek ekonomi dan sosial. Beberapa konsep kesejahteraan di Desa dibagi menjadi kesejahteraan menurut BPS dilihat dari variabel keluarga tergolong miskin dengan diukur dari tingkat pendapatan lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran rumah tangga jauh lebih tinggi.


(29)

1. Tingkat pendapatan adalah penghasilan tetap yang diperoleh dalam satu bulan oleh responden yang merupakan pemasukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Semakin tinggi pendapatan maka semakin berkurang persentase pengeluaran untuk makanan pokok, namun cenderung semakin tinggi persentase pengeluaran untuk makanan/minuman jadi atau yang berprotein tinggi. Penduduk miskin cenderung persentase pengeluaran untuk makanan pokok masih sangat tinggi. Pengukuran membandingkan kondisi pra jual beli lahan pertanian dan pasca jual beli lahan pertanian yang

dialami responden. Pembagian indikator dengan ordinal yang terdiri

dari 1 (sangat rendah), 2 (rendah), 3 (sedang), 4 (tinggi), dan 5 (sangat tinggi). Pembagian masing-masing indikator dapat dilihat sebagai berikut:

Harta

1. Sangat Rendah : memiliki harta dengan total skor 13 – 16

2. Rendah : memiliki harta dengan total skor 17 – 19

3. Sedang : memiliki harta dengan total skor 20 – 22

4. Tinggi : memiliki harta dengan total skor 23 -25

5. Sangat Tinggi : memiliki harta dengan total skor 26

Sumber pendapatan

1. Sangat Rendah : memiliki harta dengan total skor 12 - 13

2. Rendah : memiliki harta dengan total skor 14 – 16

3. Sedang : memiliki harta dengan total skor 17 – 19 4. Tinggi : memiliki harta dengan total skor 20 – 22

5. Sangat Tinggi : memiliki harta dengan skor 23 – 24

Total pendapatan

1. Sangat Rendah : <Rp 500.000

2. Rendah : Rp 500.000 – Rp 1.200.000

3. Sedang : Rp 1.200.000 – Rp 2.400.000

4. Tinggi : Rp 2.400.000 – Rp 3.600.000

5. Sangat Tinggi : >Rp 3.500.000

2. Tingkat akses kesehatan adalah kebebasan dari penyakit. Salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan derajat kesehatan penduduk adalah dengan melihat kondisi keluhan kesehatannya. Pengukuran membandingkan kondisi pra jual beli lahan pertanian dan

pasca jual beli lahan pertanian yang dialami responden. Pembagian

indikator dengan ordinal yang terdiri dari 1 (sangat rendah), 2 (rendah), 3 (sedang), 4 (tinggi), dan 5 (sangat tinggi). Pembagian masing-masing indikator dapat dilihat sebagai berikut:

Keluhan

1. lebih dari 5 keluhan 2. 4 – 5 Keluhan

3. 3 Keluhan


(30)

5. 0 Keluhan Gangguan aktifitas

1. Sangat mengganggu

2. Mengganggu

3. Biasa saja

4. Tidak mengganggu

5. Sangat tidak mengganggu

Lama terganggu 1. > 14 hari 2. 8 – 14 hari 3. 4 – 7 hari 4. 3 hari 5. 1 – 2 hari Berapa kali keluhan

1. Hampir setiap hari

2. Setiap minggunya

3. Setiap bulan

4. Setiap pergantian musim

5. Setahun dua kali

Pengobatan yang sering

1. Dukun

2. Tradisonal

3. Herbal

4. Generik

5. Rumah sait

Jarak

1. lebih dari 4 km

2. 3 – 4 km 3. 2 - <3 km 4. 1 - <2 km 5. < 1 km

Jumlah anggota keluarga yang sakit 1. >3 dan atau seluruh anggota keluarga

2. 3 anggota keluarga

3. 2 anggota keluarga

4. 1 anggota keluarga

5. 0 anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga yang meninggal 1. >3 anggota keluarga


(31)

3. 2 anggota keluarga

4. 1 anggota keluarga

5. 0 anggota keluarga

3. Tingkat akses pendidikan adalah tingkat kemudahan responden dalam

memperoleh jenjang pendidikan yang baik dan tinggi. Ijazah / STTB tertinggi yang dimiliki seseorang merupakan indikator pokok kualitas pendidikan formalnya. Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh rata-rata masyarakat di suatu wilayah maka semakin tinggi taraf intelektualitas di wilayah tersebut. Pengukuran membandingkan kondisi pra jual beli lahan pertanian dan pasca jual beli lahan pertanian

yang dialami responden. Pembagian indikator dengan ordinal yang

terdiri dari 1 (sangat rendah), 2 (rendah), 3 (sedang), 4 (tinggi), dan 5 (sangat tinggi). Pembagian masing-masing indikator dapat dilihat sebagai berikut:

Partisipasi sekolah

1. tidak mengikuti sekolah

2. belum mengikuti sekolah

3. tidak bersekolah lagi

4. masih bersekolah

5. telah selesai/tamat pendidikan tinggi

Partisipasi sekolah tinggi

1. 1 orang

2. 2 orang

3. 3 orang

4. 4 orang

5. >4 orang dan atau semua anggota keluarga

Jenjang pendidikan tertinggi

1. SD/madrasah

2. SMP/SLTP

3. SMA/SLTA/SMK

4. D1/D2/D3

5. S1/S2/S3

Izajah STTB yang dimiliki

1. Tidak ada

2. SD/madrasah

3. SMP/SLTP

4. SMA/SLTA/SMK

5. Sarjana/Doktor/Magister

Jarak

1. lebih dari 2 km

2. 1,5 – 2 km 3. 1 - <1,5 km


(32)

4. 0,5 - <1 km 5. < 0,5 km

Pengeluaran untuk biaya sekolah

1. Sangat mahal

2. Mahal

3. Biasa saja

4. Murah

5. Sangat Murah

4. Tingkat Konsumsi Pangan adalah Kemampuan untuk mengatasi

tekanan, guncangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya dan tetap mampu untuk dapat mengkonsumsi dan membeli beras, sayuran, telur, susu, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-buahan, dan minyak goreng. Pengukuran membandingkan kondisi pra jual beli lahan pertanian dan pasca jual beli lahan pertanian yang dialami responden. Pembagian indikator dengan ordinal yang terdiri dari 1 (sangat rendah), 2 (rendah), 3 (sedang), 4 (tinggi), dan 5 (sangat tinggi). Pembagian masing-masing indikator dapat dilihat sebagai berikut:

1. Tidak Pernah

2. Hampir Tidak Pernah 3. Kadang-kandang 4. Sering

5. Sangat sering

Definisi Operasional Tingkat Kesejahteraan Sosial

1. Kenyamanan adalah perasaan suka atau tidak suka masyarakat saat

tingga atau berada di desa. Pengukuran membandingkan kondisi pra jual beli lahan pertanian dan pasca jual beli lahan pertanian yang

dialami responden. Kenyamanan dibagi dalam lima kategori ordinal,

yaitu:

1. sangat tidak nyaman

2. tidak nyaman

3. biasa saja

4. nyaman

5. sangat nyaman

2. Waktu luang adalah tingkatan kemampuan masyarakaat dalam

memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya. Pengukuran membandingkan kondisi pra jual beli lahan pertanian dan pasca jual beli lahan pertanian yang dialami responden. Waktu luang dibagi dalam lima kategori ordinal, yaitu:

1. sangat sedikit 2. sedikit 3. biasa saja


(33)

5. sangat banyak

3. Kepercayaan adalah rasa saling menghargai dan keyakinan kepada

masyarakat lainnya. Pengukuran membandingkan kondisi pra jual beli lahan pertanian dan pasca jual beli lahan pertanian yang dialami responden. Kepercayaan dibagi dalam lima kategori ordinal, yaitu:

1. Sangat buruk:0-20

2. Buruk: 21-40

3. Biasa saja: 41-60 4. Baik: 61-80

5. Sangat Baik: 81-100

Definisi Operasional Tingkat Kesejahteraan Subjektif

Kesejahteraan subjektif merupakan agregasi kesejahteraan sosial dan ekonomi yang didapatkan atau dirasakan oleh responden. Pengukuran membandingkan kondisi pra jual beli lahan pertanian dan pasca jual beli lahan pertanian yang dialami responden.


(34)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi yaitu pendekatan kuantatif yang juga didukung dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kuantitatif yang akan dilakukan merupakan penelitian sensus rumah tangga petani. Penelitian kuantitatif yang diperoleh dari hasil survei melalui instrumen kuesioner (lampiran 7) untuk mengetahui struktur penguasaan lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Variabel yang diteliti terdiri struktur penguasaan lahan (luas lahan yang dikuasai, tingkat ketergantungan lahan dan kelembagaan penguasaan lahan), tingkat kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi dan sosial. Tingkat kesejahteraan ekonomi terdiri dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan dan tingkat konsumsi pangan sedangkan tingkat kesejahteraan sosial terdiri dari hubungan sosial masyarakat. Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (lampiran 8) kepada informan untuk menelusuri fenomena konversi lahan dan penguasaan lahan yang terjadi di Kelurahan Situgede. Selain itu juga untuk mendapatkan informasi terkait struktur agraria lokal dan profil Kelurahn Situgede.

Pengambilan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden yang telah

dilakukan sensus sebelumnya dan tahap kedua dengan indeep interview pada

informan untuk melakukan uji sebagai preliminary research. Kemudian setelah

diuji, maka akan dilakukan editing kuesioner sebagai penelitian sesungguhnya yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan daerah lokasi penelitian. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dapat terjamin, baik realibitas maupun validitasnya.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat,

Kota Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena

beberapa pertimbangan, diantaranya ialah:

1. Terkait pembangunan yang semakin gencar dan giat dilakukan, terdapat

konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yang cukup tinggi terjadi di Desa ini.

2. Poulasi masyarakat yang mengalami perubahan struktur penguasaan lahan

cukup banyak yang masih berada di Desa.

Sehingga menjadi relevan hubungan konversi lahan yang terjadi terhadap struktur penguasaan lahan dan tingkat kesejahteraan rumah tangga khususnya pada masyarakat Kelurahan Situgede.

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu 5 bulan, terhitung mulai bulan Januari 2015 sampai dengan Mei 2015 (Lampiran 2). Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal skripsi, kolokium penyampaian proposal


(35)

penelitian, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi.

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Populasi penelitian ini adalah rumah tangga Kelurahan Situgede Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor yang diwakili oleh kepala keluarga. Unit analisis penelitian adalah rumah tangga petani dimana yang memiliki lahan pertanian sebelum terjadinya alih fungsi lahan dan pernah menjual lahan tersebut. Alasan pemilihan unit analisa ini dikarenakan kesejahteraan erat kaitannya dengan kondisi rumah tangga. Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner (lampiran 7) yang telah dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili kondisi rumah tangganya sebagai salah satu masyarakat penerima dampak. Pemilihan responden diambil dengan metode sensus. Berdasarkan hasil wawancara di awal dengan salah satu tokoh dan beberapa orang masyarakat Kelurahan Situgede, petani pemilik yang menjual lahannya maupun petani penggarap yang lahannya telah bertransformasi sudah banyak yang meninggal atau pun pergi dari desa tersebut. Jumlah petani pemilik, yang menjual lahannya, maupun petani penggarap, yang lahannya telah bertransformasi, yang masih hidup dan masih menetap di Kelurahan Situgede ini berjumlah 31 orang (Lampiran 3).

Pemilihan terhadap informan dilakukan secara sengaja (purposive) dan jumlahnya tidak ditentukan. Orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah petugas kecamatan, aparatur desa, tokoh masyarakat setempat, dan kelompok tani. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai konversi dan perubahan penguasaan lahan yang terjadi di desa tersebut.

Tabel 1. Pemilihan Informan

Kerangka Berfikir Informan

Konversi Lahan - Perangkat Desa

- Petani

- Tokoh Masyarakat

Penguasaan Lahan -Ketua RT/RW

- Petani

Kesejahteraan -Perangkat desa

-Kepala desa -Kelompok Tani -Petani

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti sendiri, yakni hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti sendiri.


(36)

Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat-bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data primer yang dikumpulkan adalah:

1) Struktur penguasaan lahan, yang meliputi luasan lahan yang dikuasai,

tingkat ketergnatungan lahan, dan kelembagaan penguasaan lahan

2) Kesejahteraan rumah tangga petani, segi ekonomi yang meliputi tingkat

pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat konsumsi pangan, dan segi sosial yaitu hubungan sosial.

Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. sumber data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Situgede, Kantor Kecamatan Bogor Barat, BPS Kabupaten Bogor, BAPPEDA, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2013 dan IBM SPSS for Window 16.0. Ada beberapa tahap dalam pengolahan data kuantitatif. Pertama, melakukan pengkodean pada jawaban pertanyaan dan pertanyaan di lembar kuesioner yang telah terisi oleh responden, kemudian memasukkan data tersebut ke lembar data (code sheet) di Microsoft Excel 2013. Kedua, semua data dan pengkodean yang telah dimasukkan pada Microsoft Excel 2013 kemudian membuat tabel frekuensi dari masing-masing variabel. Ketiga, mengedit atau mengoreksi kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi baik pada saat mengisis kuesioner, mengkode, maupun memindahkan data dari lembaran kode ke komputer (Singarimbun dalam Singarimbun dan Effendi 1989).

Data yang telah dikoreksi pada Microsoft Excel 2013 akan dimasukan ke

dalam IBM SPSS for Windows 16.0 untuk dilakukan pengolahan statistik deskriptif. Statistik deskriptif merupakan statistik yang menggambarkan sekumpulan data secara visual baik gambar maupun tulisan untuk menggambarkan data berupa tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab). Pembuatan tabel frekuensi, grafik, diagram, dan tabel tabulasi silang menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2013,

sedangkan pada IBM SPSS for Window 16.0 digunakan untuk melakukan uji

statistifk Spearman’s Rho dalam melihat hubungan antar variabel serta

menggunakan Wilcoxon guna menguji perbedaan yang terjadi dalam pelaksanaan

penelitian. Uji statistik yang dilakukan akan menghasilkan gambaran yang dapat dianalisis serta diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.

Uji korelasi Spearman’s Rho digunakan untuk melihat hubungan yang nyata

antar variabel ataupun antar indikator dengan data berbentuk ordinal. Uji korelasi

Spearman’s Rho digunakan untuk menentukan hubungan antara kedua variabel

(variable dependent dan variabel independent) yang ada dalam penelitian ini, yaitu menguji hubungan antara struktur penguasaan lahan terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat Kelurahan Situgede.


(37)

Koefisien korelasi adalah alat analisis korelasi yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan dan arah hubungan, sedangkan signifikansi untuk mengetahui hubungan yang terjadi berarti atau tidak. Untuk mengetahui keeratan hubungan maka dapat dilihat pada besarnya koefisien korelasi dengan pedoman yaitu jika koefisien semakin mendekati 1 atau -1 maka hubungan erat atau kuat, sedangkan jika koefisien semakin mendekati 0 maka hubungan lemah. Untuk mengetahui arah hubungan maka dapat melihat tanda nilai koefisien yaitu positif atau negatif, jika variabel X positif maka variabel Y juga positif, begitupun sebaliknya. Namun, jika variabel X negatif maka variabel Y bisa positif, samahalnya dengan sebaliknya. Sedangkan untuk mengetahui hubungannya berarti atau tidak maka akan dilakukan pengujian signifikansi (Priyatno 2013).

Untuk uji statistik selanjutnya menggunakan uji Wilcoxon. Uji Wilcoxon dapat dilakukan pada subjek yang diuji pada kondisi sebelum dan setelah proses, atau subjek berpasangan ataupun serupa. Dalam penelitian ini Uji Wilcoxon digunakan untuk melihat perubahan struktur kesejahteraan masyarakat baik secara subjektif maupun objektif pada masa pra dan pasca terjadinya jual beli lahan pertanian yang menyebabkan perubahan struktur penguasaan lahan pada masyarakat. Uji wilcoxon adalah uji perbedaan dua kali pengukuran untuk statistik non-parametik atau untuk data tidak terdistribusi normal. Berdasarkan hasil penghitungan maka akan terlihat pada output SPSS Statistik Deskriptif Pra dan Pasca yang dapat dibaca pada nilai rata-rata, simpangan baku, skor minimum, skor

maksimum data pra dan pasca. Dari hasil Output SPSS Perbandingan mean rank

data sebelum dan setelah akan memperlihatkan hasil perbandingan.

Jika melihat data negative rank dapat diketahui bahwa pasca terjadinya jual beli lahan pertanian lebih kecil dan data positive rank akan menunjukkan data bahwa setelah terjadinya jual beli lahan pertanian maka kesejahteraan masyarakat lebih besar, serta data ties akan menunjukkan jumlah kepala keluarga yang tidak mengalami perubahan kesejahteraan yang signifikan, sehingga mampu mendapatkan hasil pasca jual beli lahan pertanian meningkatkankan atau menurunkan atau tidak mengalami perubahan kesejahteraan. Berdasarkan jawaban dari uji Wilcoxon dapat dilihat dari Asympt.Sig (2-tailed). Signifikansi p < 0.05 artinya terdapat perbedaan yang signifikansi terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat pra dan pasca terjadinya jual beli lahan pertanian.

Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Kedua ialah penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi.


(38)

LAHAN PERTANIAN DAN KONVERSINYA

Letak Geografis Kelurahan Situgede

Kelurahan Situgede merupakan desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Desa ini memiliki luas Wilayah sebesar 237.47 Ha dengan luas pemukiman sebesar 68 Ha dan Luas sarana umum lainnya adalah 1347 Ha. Kondisi fisik Kelurahan Situgede secara tofografi mempunyai kemiringan / slove 0-2% dan 3-15% yang merupakan lahan yang baik untuk mendukung kegiatan perkotaan seperti pemukiman, perkantoran, pariwisata, pertanian dan lain-lain. Secara administratif Kelurahan Situgede memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah U : Berbatasan dengan sungai Cisadane

Sebelah T : Berbatasan dengan Kelurahan Bubulak

Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor

Sebelah S : Berbatasan dengan Kelurahan Balumbang

Jaya Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor

Sebelah B : Berbatasan dengan Desa Cikarawang

Kecamatan Cikarawang Kabupaten Bogor

Jarak Kelurahan Situgede dari pusat Kecamatan Bogor Barat adalah tujuh kilometer dengan waktu tempuh 40 menit menggunakan kendaraan bermotor. Jarak Kelurahan Situgede dari Kota Bogor sekitar 14 kilometer dengan waktu tempuh satu setengah jam dengan kendaraan bermotor. Untuk menuju kelurahan ini bisa menggunakan kendaraan pribadi. Akses kendaraan umum seperti angkotan kota hanya mencapai Kecamatan Dramaga. Selanjutnya, jika ingin mencapai desa bisa menggunakan ojek karena tidak ada angkotan umum yang bisa digunakan.

Demografi Kelurahan Situgede Penduduk

Menurut Profil wilayah Kelurahan Situgede tahun 2014 kelurahan ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 8 428 jiwa dengan 2 297 Kepala Keluarga (KK), 34 Rukun Tetangga (RT), dan 10 Rukun Warga (RW). Penduduk kelurahan situgede tergolong cukup padat. Penduduk Kelurahan Situgede menurut jenis kelamin hampir seimbang antara laki-laki dan perempuan. Komposisi jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4 325 jiwa atau sekitar 51 persen dan perempuan sebanyak 4 103 jiwa atau sekitar 49 persen. Menurut kelompok usia, usia penduduk Kelurahan Situgede ini sangat beragam. Keberagaman usia penduduk dapat dilihat dalam Tabel 2 di bawah ini :


(39)

Tabel 2. Jumlah penduduk Kelurahan Situgede berdasarkan kelompok usia

Kelompok Usia Jumlah Jiwa

0-4 748

5-9 755

10-14 820

15-19 744

20-24 746

25-29 813

30-34 845

35-39 551

40-44 45-49 50-60 >60

579 558 475 574

Jumlah 8 428

Sumber: Data Monografi Kelurahan Situgede 2014

Berdasarkan Tabel 2, dari keseluruhan kelompok usia, kelompok usia 30 sampai 35 tahun jumlah penduduknya lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang berumur produktif lebih besar dibandingkan dengan umur non produktif. Kelompok usia 50 sampai 60 tahun sangat sedikit jumlah penduduknya yaitu hanya 475 orang.

Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan dalam konteks ini lebih diartikan sebagai pekerjaan apa yang dilakukan oleh penduduk Kelurahan Situgede sebagai sumber mata pencaharian utama bagi keluarganya. Beragam mata pencaharian yang dilakukan oleh penduduk ini untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Mata pencaharian tersebut di antaranya yaitu PNS, TNI, POLRI, swasta/BUMN/BUMD, wiraswata, tani pertukangan, pensiunan, dan lain-lain. Berikut data mata pencaharian warga Kelurahan Situgede disajikan pada gambar di bawah ini

Gambar 3. Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Situgede Tahun 2014

Sumber: Data Monografi Kelurahan Situgede 2014

0 200 400 600 800 1000

Pegawai Negeri Sipil TNI POLRI Swasta/ BUMN/BUMD Wiraswasta Tani Pertukangan Pensiunan Lain-lain

105 9 10

8

250

750 38


(1)

[1] Sangat Tidak Nyaman [1] Sangat Tidak Nyaman Sebutkan alasan

2

Apakah Anda memili banyak waktu untuk berkumpul dengan tetangga

[5] Sangat Banyak [4] Banyak [3] Biasa saja [2] Sedikit [1] Sangat Sedikit

[5] Sangat Banyak [4] Banyak [3] Biasa saja [2] Sedikit [1] Sangat Sedikit Kepercayaan dan kesetiakawanan (Beri nilai 1-10, di mana nilai 10 menunjukkan SANGAT PERCAYA)

(1) Sangat Tidak Nyaman, (2) Tidak Nyaman, (3) Biasa saja, (4) Nyaman, (5) Sangat Nyaman

No Pihak Sebelum menjual

lahan/sawah Setelah menjual lahan/sawah 1 Anggota masyarakat

2 Kepala desa 3 Tokoh masyarakat 4 Kelompok masyarakat 5 Aparat kecamatan 6 Aparat kabupaten 8 Staf/pegawai proyek

pembangunan 9 LSM


(2)

Lampiran 8. Pedoman Wawancara Mendalam

Pedoman Wawancara Mendalam

Hari, tanggal :

Lokasi :

Nama dan Umur :

Alamat :

No. Tlp/Hp :

Pertanyaan :

1. Sejak kapan Anda tinggal di Kelurahan Situgede? 2. Sejak kapan Anda menjadi aparatur desa?

3. Apa saja pekerjaan masyarakat di desa ini? 4. Pada tahun berapa konverrsi lahan mulai terjadi? 5. Apa penyebabterjadinya konversi lahan?

6. Bagaimana kronologis konversi lahan tersebut?

7. Berapa luas perubahan struktur penguasaan sekarang di Kelurahan Situgede? 8. Bagaimana kondisi penguasaan lahan dulu dan sekarang?

9. Bagaimana bentuk kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Situgede?

10. Apakah masyarakat mengetahui tentang hukum pertanahan tentang penguasaan lahan?

11. Siapa saja aktor yang terlibat dalam perubahan penguasaan tanah tersebut? 12. Bagaimana sistematika distribusi lahan dalam penguasaan dan pemilikannya? 13. Siapa yang memiliki lahan pertanian terluas?

14. Bagaimana kondisi lahan pertanian dulu dan sekarang?

15. Bagaimana bentuk kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Situgede?

16. Apakah masyarakat mengetahui tentang hukum pertanahan tentang lahan pertanian?

17. Siapa saja aktor yang terlibat dalam penguasaan lahan pertanian tersebut? 18. Bagaimana sistematika distribusi lahan pertanian dalam penguasaan dan

pemilikannya?

19. Siapa yang memiliki lahan pertanian terluas?

20. Siapa yang menjadi penggarap lahan pertanian tersebut? 21. Bagaimana aturan-aturan hubungan kerja yang diberlakukan?

22. Apakah aturan yang diberlakuan berdasarkan adat setempat atau berdasarkan hukum pertanahan yang berlaku?

23. Apakah lahan pertanian yang telah dimiliki sudah tersertifikasi di Badan Pertanahan Nasional?

24. Siapa yang menguasai lahan pertanian terluas di Kelurahan Situgede? 25. Apakah terdapat kendala dalam pemilikan dan penguasaan lahan pertanian

tersebut?

26. Jika ada, siapa saja aktor yang mengalami kendala tersebut?

27. Apakah terjadi konflik dalam kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian tersebut?


(3)

29. Berapa jumlah rumah tangga yang memiliki tanah? 30. Berapa jumlah rumah tangga yang menguasai tanah?

31. Apakah sebaran penguasaan lahan pertanian sudah adil dan sementara? 32. Apakah penguasaan tanah yang diterapkan menimbulkan kesenjangan sosial

dalam masyarakat?

33. Apakah masih ada aturan adat yang diberlakukan dalam penguasaan tanah? Bagaimana sistematikanya?

34. Bagaimana masyarakat memandang arti hidup yang berkualitas? Apa indikatornya?

35. Berapa rata-rata penghasilan masyarakat dari usaha penguasaan lahan pertanian?

36. Apakah penguasaan lahan pertanian yang dilakukan terbukti dapat meningkatkan pendapatan mereka?

37. Berapa rata-rata penghasilan rumah tangga sebelum menguasai tanah dan pasca menguasai tanah?

38. Apakah ada rumah tangga yang mengalami perubahan mata pencaharian akibat munculnya lahan pertanian?

39. Jika ada, apa alasan mereka mengubah mata pencaharian mereka? 40. Secara umum, bagaimana Anda menggambarkan kondisi sosial-ekonomi

masyarakat petani di desa ini?

41. Menurut Anda, faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi masyarakat petani di desa ini?


(4)

Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian

Gambar Wawancara peneliti dengan Petani

Gambar Sawah beralih fungsi ke

Perumahan

Gambar Penggunaan ternak untuk

Gambar Kantor Kelurahan Situgede

membajak sawah

Gambar wawancara peneliti dengan

Gambar petani mengeringkan padi di


(5)

Gambar Wawancara peneliti dengan Gambar Konversi lahan pertanian menjadi

peneliti dengan Ketua RT

non pertanian

Gambar Wawancara dengan Informan

Gambar peneliti dengan anak

Kelurahan Situgede

dari responden

Gambar Wawancara dengan ketua

Gambar Wawancara peneliti dengan


(6)

RIWAYAT HIDUP

Ulfa Lestari dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 11 Oktober 1993. Penulis

adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang terlahir dari pasangan Drs. Prawira

Rafady dan Nuriha. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-kanak IP

Jakarta Selatan pada tahun 1997-1999. Selama Sekolah Dasar penulis mengalami

pindah sekolah lebih dari 4 kali , Pertama melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 01

Kepenuhan, Pasir, Riau, Kelas 3 SD Penulis melanjutkan Sekolah Dasar di sekolah

Dasar Negeri 003 Pekanbaru, dan berselang 3 bulan melanjutkan di Sekolah Dasar

Negeri 002 Siak, mulai dari kelas 5 SD sampai lulus melanjutkan Sekolah Dasar

003 Koto Gasib. Melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Siak, Riau

tahun 2007-2008, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Siak, Riau tahun

2008-2011.Tahun 2010 penulis menjadi Duta Lalu lintas Kabupaten siak. Pada tahun

2011, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan

di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat.

Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di

berbagai kegiatan organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Selama dua

tahun kepengurusan, penulis aktif dalam himpunan profesi dari Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yaitu Himpunan Mahasiswa Peminat

Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai

anggota divisi

Public Relation

periode 2013-2014.