Penilaian Risiko Kualitatif Pemasukan Rabies Dari Pulau Sumatera Ke Provinsi Kepulauan Riau

PENILAIAN RISIKO KUALITATIF PEMASUKAN RABIES
DARI PULAU SUMATERA KE PROVINSI
KEPULAUAN RIAU

HANIF FARCHANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Risiko
Kualitatif Pemasukan Rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Hanif Farchani
NIM B251130094

RINGKASAN
HANIF FARCHANI. Penilaian Risiko Kualitatif Pemasukan Rabies dari Pulau
Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan
MIRNAWATI SUDARWANTO.
Rabies adalah penyakit zoonosa (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan
ke manusia) yang disebabkan oleh virus. Terjadi di lebih dari 150 negara di dunia.
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada hewan dan manusia. Provinsi
Kepulauan Riau adalah daerah bebas rabies yang sangat mungkin dapat tertular
rabies dari Pulau Sumatera. Pulau Sumatera merupakan wilayah endemis rabies.
Provinsi Kepulauan Riau melarang pemasukan Hewan Penular Rabies (HPR) ke
wilayahnya sejak terjadinya wabah rabies di Bali tahun 2008.
Penilaian risiko kualitatif pemasukan rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi
Kepulauan Riau dilakukan untuk menilai kemungkinan masuk dan tersebarnya
rabies khususnya di Pulau Bintan melalui pemasukan anjing. Tujuan penilaian
risiko ini adalah untuk mengestimasi risiko pemasukan rabies. Penilaian risiko

dilakukan dengan mengikuti standar analisis risiko impor dari OIE (Organisasi
Kesehatan Hewan Dunia), mengacu pada metode Biosecurity Australia,
sedangkan penilaian ketidakpastian (uncertainty) mengacu pada European Food
safety Authority (EFSA). Penelitian dimulai dari bulan Agustus sampai dengan
November 2014 di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Data primer dalam
penelitian ini diperoleh dengan pengamatan langsung dan wawancara mendalam
dengan pakar (expert opinion) serta key informants (petugas karantina, dokter
hewan praktik, dinas terkait, pemilik anjing, petugas keamanan, kapten kapal,
buruh bagasi). Data sekunder yang digunakan adalah laporan penelitian ilmiah
baik yang dipublikasi maupun yang tidak dipublikasi, hasil surveilans, hasil uji
laboratoriun dan laporan.
Pada penilaian pelepasan, berdasar hasil survei dan wawancara diketahui
bahwa tujuan dari pemasukan anjing adalah untuk dipelihara (anjing kesayangan)
dan untuk berburu babi hutan (anjing pemburu). Jalur pemasukan yang digunakan
adalah melalui jalur laut, sehingga alur tapak risiko pada penilaian pelepasan ini
adalah sama. Nilai dari kemungkinan penilaian pelepasan adalah tinggi. Hal ini
disebabkan banyak faktor diantaranya adalah status endemis rabies di Pulau
Sumatera, banyaknya laporan kasus gigitan, cakupan vaksinasi yang masih kurang
dari yang direkomendasikan dan kurangnya kesadaran masyarakat khususnya
pemilik anjing terhadap vaksinasi rabies. Penilaian pelepasan ini memiliki

ketidakpastian rendah.
Pada penilaian pendedahan, dibagi menjadi pendedahan melalui anjing
kesayangan dan anjing pemburu. Nilai kemungkinan pendedahan melalui anjing
kesayangan dinilai sangat rendah, karena cara pemeliharaan anjing kesayangan
yang dibatasi didalam rumah/pagar dan manajemen kesehatan hewan yang baik,
sehingga kontak dengan manusia, hewan rentan lain dan anjing lain sangat jarang.
Kemungkinan pendedahan pada anjing pemburu pada saat dipelihara di rumah
maupun pada saat dibawa berburu adalah tinggi. Hal ini terjadi karena
kemungkinan kontak anjing pemburu terdedah rabies dengan manusia, hewan
rentan lain dan anjing lain sangat mungkin. Pada anjing pemburu dipelihara pada

tempat terbuka, manajemen kesehatan kurang diperhatikan. Pada saat berburu,
kemungkinan interaksi dengan manusia yaitu pemilik anjing pemburu, banyaknya
populasi hewan liar atau anjing pemburu lain serta seringnya aktifitas berburu
berpengaruh pada kemungkinan penyebaran rabies. Tingkat ketidakpastian pada
penilaian pendedahan ini adalah rendah.
Penilaian dampak dibagi menjadi dampak langsung dan tidak langsung.
Penilaian dampak akibat rabies adalah sangat tinggi. Hal ini karena, secara
langsung menyebabkan kematian pada hewan dan manusia. Secara tidak langsung
biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian dan pemberantasan rabies tidak

sedikit. Selain itu berpengaruh pada perdagangan internasional, penurunan
wisatawan dan terganggunya kenyamanan masyarakat akibat rabies.
Perkiraan risiko pemasukan rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi
Kepulauan Riau adalah sangat tinggi, perkiraan ini sebagai hasil dari
kemungkinan pelepasan, kemungkinan pendedahan dan kemungkinan dampak
yang kemungkinan terjadi. Tingkat ketidakpastiannya adalah rendah. Dalam
rangka mengurangi perkiraan risiko yang sangat tinggi tersebut, perlu dilakukan
tindakan manajemen risiko. Manajemen risiko dapat dilakukan dengan membuka
ijin pemasukan anjing (HPR) ke Provinsi Kepulauan Riau dengan syarat bahwa
anjing yang dimasukkan berasal dari daerah bebas rabies, dilakukan pemeriksaan
kesehatan oleh dokter hewan berwenang yang dibuktikan dengan surat keterangan
kesehatan hewan. Anjing harus telah divaksin rabies. Perlu adanya pengawasan
oleh dokter hewan di Kepulauan Riau pada saat berburu dan peningkatan
kesadaran masyarakat melalui komunikasi, informasi dan edukasi mengenai rabies
melalui penyuluhan baik menggunakan media cetak maupun elektronik.
Kata kunci: anjing, penilaian risiko, rabies

SUMMARY
HANIF FARCHANI. Qualitative Risk Assessment on Introduction of Rabies
from Sumatera Island to Kepulauan Riau Province. Supervised by ETIH

SUDARNIKA and MIRNAWATI SUDARWANTO.
Rabies is a zoonotic disease caused by virus which could be transmitted
from animals to humans. It occurs in more than 150 countries in the world. Rabies
is potential to cause death in animals and humans. Kepulauan Riau Province is a
rabies-free areas. Nevertheless, this province has a threat to be infected with
rabies fom Sumatera Island. Kepulauan Riau Province prohibits the entrance of
animal transmitting rabies since Bali had rabies outbreak in 2008.
Qualitative risk assessment on introduction of rabies from Sumatra Island to
the Kepulauan Riau Province was conducted to assess the likelihood of entry and
spread of rabies, especially in Bintan Island through dogs. The aim of this study
was to estimate the likelihood of introduction risk of rabies. The risk assessment
was done by following the import risk analysis standards of the OIE (World
Organization for Animal Health). The method of risk assessement was refered to
Biosecurity Australia. Uncertainty was refered to the European Food Safety
Authority (EFSA). The primary data were obtained by direct observation and indepth interviews with experts (expert opinion) and key informants (quarantine
officers, veterinarians, related institutions, dog owners, security officers, the ship
captains, and baggage workers). Published or unpublished scientific reports,
surveillance results, laboratory test results were used as secondary data.
In the release assessment, it was found that the purpose of dogs entering the
island was mostly to be used as pet animals and hunter dogs. The dogs entered the

Bintan Island through port point (sea point). The likelihood of release assessment
was high. This high likelihood of release assessment involved mainly endemic
rabies status of Sumatera Island, a lot of number bite cases‟ reports, low of
vaccination coverage, and low of public awarenesss. This release assessment had
low uncertainty.
In the exposure assessment, the likelihood of exposure was divided into two
ways, i.e., through pet dogs and hunter dogs. The likelihood of exposure in the pet
dogs was very low because the dogs were kept restricted in houses or fenced areas
and the implementation of dog health management was good. These caused very
low contacts (exposures) to humans, susceptible animals, and other dogs.
Nevertheless, the likelihood of exposure in hunter dogs was high because of the
contacts between the hunter dogs and humans, susceptible animals, and other dogs
were high. The hunter dogs were not kept restricted and their health management
was less concerned. At the time of hunting, the possibility of interaction or
exposures of hunter dogs to humans, other hunter dogs, and wild animals was
high. The frequence of hunting increased the spread of rabies.
The consequence assessment involved direct and indirect consequences. The
likelihood of consequence assessment was very high. The direct consequence
involved death in humans and animals. The indirect consequences included high
cost of control and eradication measures. Furthermore, rabies could cause

negative impacts on international trade, tourisms, and community.

The risk estimate on the introduction of rabies from Sumatera Island to
Kepulauan Riau Province was very high which was the results of release
assessment, exposure assessment, and consequence assessment. The uncertainty
level was low. In order to reduce the high risk, it was necessary to implement the
risk management. The risk management included the issue of entry permit of dogs
or rabies transmiting animals into Kepulauan Riau Province which stated that the
animals come from free rabies area with the presentation of veterinary health
certificate and have been vaccinated against rabies, control of hunting activities by
veterinary officers, and increase of public awereness through communication,
information, and education on rabies using printed and electronic media.
Key words: dog, rabies, risk assessment

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENILAIAN RISIKO KUALITATIF PEMASUKAN RABIES
DARI PULAU SUMATERA KE PROVINSI
KEPULAUAN RIAU

HANIF FARCHANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi

:

Iudul Tesis : Penilaian Risiko Kualitatif Pemasukan Rabies dari Pulau Sumatera
ke Provinsi Kepulauan Riau
Nama : HanifFarcheni
NIM
: 8251130094

Disetujui oleh
Kornisi Pembimbing

DrlrEtih Sudantik4 MSi

ProfDr

med vet


DrhMimawati Sudarwanto
Anggota

Ketua

Diketahui oleh

KetuaProgram Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

ffi

Dr med vet DrhDenny lfidayal-ukmarl MSi

Tanggal Lljian: 05 Februari 2015

ranggal Lulus:

il S ttB


2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini tentang
analisis risiko, dengan judul penilaian risiko kualitatif pemasukan rabies dari
Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Etih Sudarnika, MSi dan Ibu
Prof Dr med vet Drh Mirnawati Sudarwanto selaku pembimbing, Bapak Dr med
vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner FKH IPB dan kepada segenap staf pengajar Program Studi
Kesmavet. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada :
1. Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa
2. Ibu Ir Banun Harpini MSc selaku kepala Badan, Drh Mulyanto, MM selaku
Sekretaris Badan dan Drh Sujarwanto, MM selaku kepala Pusat Karantina
Hewan Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti program beasiswa
3. Bapak Drh Fadjar Agus S selaku kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II
Tanjungpinang yang telah memberikan ijin penulis untuk melanjutkan studi
4. Staf pegawai Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjungpinang yang telah
membantu dalam pengumpulan data dan informasi pada penelitian ini
5. Bapak Drh Honismandri dari Dinas Pertanian Kehutanan Peternakan dan
Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, Drh Setyo Rahardjo dan Drh Iwan Berri
Prima dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bintan
6. Seluruh responden yang telah memberikan data dan informasi
7. Teman-teman seperjuangan KMV 2013
8. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, isteri tercinta Sirat
Rizhqi Purnawati SS, Anak-anakku Aqil, Farih dan Akram serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan bagi pihak yang berkepentingan.

Bogor, Februari 2015
Hanif Farchani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Risiko
Karakteristik Rabies
Permasalahan Lalu Lintas Anjing

3
3
4
5

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Kerangka Konsep Penelitian
Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Metode Penilaian Risiko Kualitatif
Penilaian Pelepasan (Release Assessment)
Penilaian Pendedahan (Exposure Assessment)
Penilaian Dampak (Consequence Assessment)
Perkiraan Risiko (Risk Estimation)

6
6
6
6
7
7
8
9
10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Alur Tapak Risiko Pelepasan Rabies
Penilaian Pelepasan (Release Assessment)
Kemungkinan Anjing di Pulau Sumatera Terinfeksi Rabies (L1)
Kemungkinan Anjing Terinfeksi Rabies Tidak Terdeteksi (L2)
Kemungkinan Anjing Terinfeksi Rabies Tidak Terdeteksi
Selama Transportasi (L3)
Kemungkinan Pelepasan Rabies dari Pulau Sumatera ke Pulau Bintan
Provinsi Kepulauan Riau (L4)
Penilaian Pendedahan (Exposure Assessment)
Penilaian Pendedahan Melalui Anjing Kesayangan
Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan
Manusia (L1)
Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan
Hewan Rentan Lain (L2)
Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan
Anjing Lain (L3)

11
11
12
13
13
14
15
16
16
17
18
18

Penilaian Pendedahan Melalui Anjing Pemburu
Penilaian Pendedahan Melalui Anjing Pemburu pada Saat Dipelihara
di Rumah
Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan
Manusia (L1)
Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan
Hewan Rentan Lain (L2)
Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan
Anjing Lain (L3)
Penilaian Pendedahan Melalui Anjing Pemburu Pada Saat Berburu
Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan
Manusia (L4)
Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan
Hewan Rentan Lain (L5)
Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan
Anjing Lain (L6)
Ringkasan Penilaian Pendedahan
Penilaian Dampak (Consequence Assessment)
Dampak Langsung
Dampak Tidak Langsung
Perkiraan Risiko (Risk Estimation)
Manajemen Risiko

19
20
20
21
21
22
22
22
22
23
24
25
26
27
27

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA

29

RIWAYAT HIDUP

32

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Penetapan responden
Kategori kemungkinan kualitatif dan penafsirannya
Matrik kombinasi penilaian pelepasan
Penilaian pendedahan ganda
Penilaian dampak langsung dan tidak langsung
Matrik perkiraan risiko impor
Kategori ketidakpastian kualitatif
Nilai likelihood setiap node pada penilaian pelepasan
Nilai likelihood setiap node pada penilaian pendedahan melalui anjing
kesayangan
Nilai likelihood setiap node pada penilaian pendedahan melalui anjing
pemburu
Ringkasan penilaian pendedahan rabies
Gambaran dan nilai dampak langsung akibat rabies
Perkiraan risiko pemasukan rabies

7
7
8
8
9
10
10
12
17
20
23
25
27

DAFTAR GAMBAR
1 Komponen analisis risiko
2 Kerangka konsep penelitian penilaian risiko pemasukan rabies dari
Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauann Riau (Pulau Bintan)
3 Alur tapak risiko pemasukan rabies dari Pulau Sumatera
4 Alur tapak risiko pendedahan rabies melalui anjing kesayangan
5 Alur tapak risiko pendedahan rabies melalui anjing pemburu

3
6
11
16
19

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rabies adalah penyakit zoonosa (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan
ke manusia) yang disebabkan oleh virus. Terjadi di lebih dari 150 negara dan di
semua benua, kecuali benua Antartika. Lebih dari 60 000 orang per tahun
diperkirakan meninggal akibat rabies. Di India, rabies dilaporkan paling tinggi
insidensinya yaitu 20 565 kasus kematian per tahun, tidak jauh beda kejadian di
Afrika yaitu 23 700 orang meninggal per tahun (WHO 2013).
Kejadian wabah rabies di Pulau Bali tahun 2008, membuat wilayah lain di
Indonesia meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit rabies. Lalu lintas hewan
khususnya Hewan Penular Rabies (HPR) antar area diperketat untuk mencegah
tersebarnya penyakit rabies. Beberapa provinsi melarang pemasukan HPR ke
wilayahnya terkait penyakit ini. Provinsi Kepulauan Riau adalah salah satunya,
melalui Surat Edaran Gubernur No.0257.b/Kdh.Kepri.524/04.09 tahun 2009.
Provinsi Kepulauan Riau adalah wilayah kepulauan yang status penyakitnya
dinyatakan bebas terhadap penyakit rabies. Wilayahnya berdekatan dengan Pulau
Sumatera sehingga wilayah Provinsi Kepulauan Riau adalah wilayah yang sangat
rawan terhadap pemasukan rabies. Perbedaan status inilah yang membuat kajian
analisis risiko terhadap pemasukan rabies sangat diperlukan.
Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25
tahun 2002 merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota
Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna, dan Kabupaten Lingga. Secara keseluruhan wilayah Kepulauan Riau
terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota, 42 kecamatan serta 256 kelurahan/desa dengan
jumlah 2 408 pulau besar dan kecil dimana 40% belum berpenduduk. Adapun luas
wilayahnya sebesar 252 601 km2, di mana 95% - nya merupakan lautan dan hanya
5% merupakan wilayah darat. Pulau Bintan terdapat 2 wilayah admninstrasi
pemerintahan, yaitu Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan.
Status penyakit rabies di Provinsi Kepulauan Riau saat ini masih dinyatakan
bebas secara historis. Wilayah Kepulauan Riau yang terdiri dari ribuan pulau
adalah faktor risiko terhadap masuknya penyakit rabies ke Provinsi Kepulauan
Riau. Tempat pemasukan dan pengeluaran lalu lintas hewan yang tidak terawasi,
menyebabkan pengawasan lalu lintas hewan, khususnya HPR menjadi sangat
perlu diperhatikan. Seluruh wilayah Sumatera merupakan daerah endemis rabies.
Data bulan Januari sampai Desember 2013 menyebutkan bahwa di Pulau
Sumatera terjadi sedikitnya 158 kasus anjing positif rabies (DPKH 2014).
Banyaknya lalu lintas kapal dari wilayah Sumatera ke wilayah Kepulauan Riau
menjadikan risiko pemasukan rabies ke wilayah Kepulauan Riau menjadi lebih
terbuka.
Penelitian di fokuskan pada lalu lintas anjing secara ilegal dari Pulau
Sumatera ke Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Anjing adalah hewan yang
paling berpeluang menyebarkan virus rabies, mengingat anjing adalah hewan
utama penular rabies. Selain itu, anjing merupakan hewan yang paling dekat
dengan manusia.

2
Perumusan Masalah
Pemasukan HPR secara tidak resmi menjadikan pengawasan lalulintas HPR
mejadi sulit. Sulitnya pengawasan ini berisiko tinggi terhadap pemasukan virus
rabies di Kepulauan Riau. Untuk keperluan tindakan pencegahan dan
pengendalian, maka diperlukan informasi mengenai besarnya risiko pada setiap
tahap pemasukan anjing dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau,
sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan pengendalian yang tepat.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi besarnya risiko pemasukan
virus rabies ke Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau dari Pulau Sumatera secara
kualitatif.

Manfaat Penelitian
Hasil penilaian risiko ini bermanfaat untuk memberikan masukan dalam
penyusunan peraturan, petunjuk teknis dan kebijakan lainnya pada setiap tahap
alur tapak risiko pemasukan anjing dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan
Riau sehingga dapat mempertahankan status Kepulauan Riau bebas rabies.
Ruang Lingkup Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus sampai November
2014 dengan lingkup kegiatan yaitu observasi di lapangan, wawancara responden,
penyebaran kuesioner, pencarian literatur dan pengolahan data.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Risiko
Analisis risiko adalah alat yang menggunakan data, informasi dan pendapat
ahli dari berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, termasuk patologi, mikrobiologi,
epidemiologi, statistika, kemungkinan permodelan dan ekonomi (Murray et al.
2005). Tujuan dari langkah analisis risiko adalah untuk memperoleh pemahaman
risiko atau peluang untuk mengevaluasi informasi dan keputusan terhadap respon
yang dibutuhkan.
Badan Kesehatan Hewan Dunia/Office International des Epizooties (OIE)
mengadopsi Model Covello-Merkhofer untuk desain analisa risiko. Desain
tersebut meliputi identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko, dan
komunikasi risiko. Penilaian risiko adalah proses mengevaluasi kemungkinan dan
konsekuensi biologis dan ekonomi terhadap masuknya, keberadaannya dan
menyebarnya bahaya kedalam wilayah negara pengimpor. Penilaian risiko terdiri
dari 4 komponen yaitu penilaian pelepasan, penilaian pendedahan, penilaian
dampak, dan estimasi risiko (Sugiara dan Murray 2011).
Penilaian risiko dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Penilaian risiko
kualitatif tidak memerlukan keterampilan pemodelan matematis untuk
pelaksanaannya dan penilaian ini lebih sering digunakan untuk
pengambilan keputusan secara rutin (OIE 2013). Penilaian risiko kualitatif
menyajikan data dengan alur yang logis dan membantu untuk menyimpulkan
risiko menggunakan istilah seperti dapat diabaikan, rendah, sedang atau tinggi
tanpa memberikan nilai dalam bentuk angka peluang dan biaya ataupun
konsekuensi (EFSA 2006a).

Identifikasi
Bahaya

Penilaian 3Risiko
- Penilaian Pelepasan
4
- Penilaian Pendedahan
5
- Penilaian Dampak
- Perkiraan Risiko

Manajemen
Risiko

Komunikasi Risiko

Gambar 1 Komponen Analisis risiko (Sugiara dan Murray 2011)

4
Karakteristik Rabies
Rabies adalah penyakit zoonosa (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan
ke manusia) yang disebabkan oleh virus. Rabies disebabkan oleh virus yang tidak
bersegmen dari grup V (RNA virus), golongan Mononegavirales, famili
Rhabdoviridae, genus Lyssavirus, species Rabies virus. Genus Lyssavirus yang
lain selain rabies meliputi virus kelelawar lagos, virus Makola, virus Duvenhage,
virus kelelawar Eropa 1 dan 2 serta virus kelelawar Australia (Johnson et al. 2010).
Virus rabies ditularkan dari air liur hewan yang terinfeksi ke hewan lain
melalui gigitan. Masa inkubasi dari virus ini bervariasi. Umumnya 3-12 minggu,
tetapi dapat terjadi pada beberapa hari sampai beberapa bulan, jarang terjadi
melebihi 6 bulan. Bukti dan sejarah kejadian rabies menunjukkan bahwa anjing,
kucing, dan musang terjangkit virus beberapa hari sebelum onset klinis dan
selama sakit (CDC 2011).
Cara yang paling umum penularan rabies pada manusia adalah melalui air
liur pada luka gigitan anjing yang terinfeksi. Rabies adalah infeksi akut yang
menyerang susunan saraf pusat (SSP) yang kejadiannya selalu fatal. Setelah virus
masuk melalui gigitan, virus akan bereplikasi pada jaringan penghubung dan
masuk ke saraf perifer melalui jaringan saraf otot (neuromuskuler) dan kemudian
menyebar ke susunanan saraf pusat dalam sel Schwan pada endoneurium (Yousaf
et al. 2012).
Gejala klinis pada manusia akibat infeksi rabies, biasanya menunjukkan
gejala umum seperti; sakit kepala, nyeri otot, mual atau batuk. Gejala paling awal
karena infeksi rabies adalah mati rasa dan/atau kesemutan di lokasi luka disekitar
gigitan, diikuti oleh fase agitasi dan kebingungan, diikuti koma, kegagalan
pernafasan dan kematian (DEFRA 2011).
Menurut Yousaf et al. (2012) Gejala klinis rabies pada manusia dibagi atas
tiga tahap; prodromal, furious dan kelumpuhan (paralytic/dumb). Semua tahapan
ini tidak dapat diamati pada satu individu. Gejala klinis yang pertama adalah nyeri
neuropatik (neuropatic pain) di tempat infeksi atau luka akibat replikasi virus.
Selanjutnya, setelah fase prodromal diikuti fase furious dan paralytic yang dapat
teramati pada hewan tertentu. Hal tersebut pernah dilaporkan bahwa pada kucing
yang lebih menonjol adalah fase furious dan fase paralytic/dumb daripada pada
anjing. Pada beberapa kasus, gejala klinis kadang tidak teramati dan virus rabies
diidentifikasi pada hewan yang tiba-tiba mati. Diagnosis laboratorium dilakukan
pada sistem saraf pusat, jaringan yang diambil dari kepala. Uji juga dilakukan
pada sampel air liur, serum, dan biopsi folikel rambut pada kulit di leher.
Infeksi rabies alami pada hewan menyebabkan penyakit neurologis akut di
hampir semua spesies mamalia. Tanda-tanda awal rabies pada hewan tidak
spesifik seperti pada manusia, tetapi kedua bentuk klinis rabies dapat diamati pada
hewan yang terinfeksi. Pada tipe furious, agresif dan hiperaktif sering teramati
pada karnivora dengan terjadinya ensefalitis. Ensefalitis ini juga menyebabkan
linglung, halusinasi dan agitasi.
Tipe paralytic, hewan terlihat tertekan atau tidak patuh, kadang-kadang
lumpuh pada wajah, tenggorokan dan leher, menyebabkan kelainan ekspresi pada
wajah dan tidak mampu untuk menelan. Kelumpuhan berlangsung dengan cepat
pada seluruh tubuh diikuti koma dan akhirnya mati.

5
Kedua bentuk klinis diatas dapat terjadi secara bergantian pada hewan yang
terinfeksi. Perubahan dramatis dalam perilaku, seperti hewan menjadi lebih liar,
hilangnya rasa takut pada manusia, merupakan indikasi dari infeksi rabies.
Kematian umumnya terjadi dalam waktu dua minggu dari mulai timbulnya gejala.
Namun, pada hewan yang tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) dan bisa
bertahan hidup dapat ditemukan pada berbagai spesies, setelah deteksi antibodi
rabies atau virus RNA pada hewan yang tampak sehat. Hewan tersebut adalah
luwak, musang, sigung, rakun, anjing, rubah, hiena, serigala, kelelawar pemakan
serangga dan pemakan buah (Dacheux et al. 2011).

Permasalahan Lalu Lintas Anjing
Lalu lintas perdagangan yang padat menjadi perhatian dalam penyebaran
penyakit manusia dan hewan. Tidak terkecuali untuk penyakit rabies. Hal ini
menjadi salah satu permasalahan yang menjadi kendala dalam pengendalian rabies.
Pada tahun 2008, kasus kejadian wabah rabies di Bali menjadi perhatian dunia.
Wabah rabies di Bali berawal dari Sulawesi menyebar ke Pulau Flores melalui
nelayan (Windiyaningsih et al. 2004) dan kemudian menyebar ke pulau-pulau
disekitar Bali hingga sampai ke Pulau Bali (Putra et al. 2013).
Penelitian mengenai penilaian risiko pemasukan rabies ke Pulau Lombok
melalui lalu lintas anjing pernah dilakukan oleh Mustiana (2013). Penelitian
tersebut dilakukan dengan pengamatan terhadap jalur pemasukan rabies melalui
lalu lintas anjing dan menilai kemungkinan masuk dan terdedahnya rabies pada
populasi anjing di Pulau Lombok tahun 2011-2013. Pada penelitian tersebut
disebutkan bahwa hasil kesepakatan pendapat pakar, jalur utama masuknya anjing
terinfeksi rabies ke Pulau Lombok adalah melalui kapal dan feri penumpang.
Selanjutnya disimpulkan bahwa kemungkinan masuknya rabies melalui
pemasukan anjing ke Pulau Lombok melalui jalur kapal dan feri penumpang
sangat rendah. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa pada kapal dan feri milik
perorangan tidak tertutup kemungkinan membawa anjing penular rabies.

6

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan mulai Agustus sampai November 2014. Penelitian
dilakukan di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau wilayah kerja Balai
Karantina Pertanian Kelas II Tanjungpinang. Pengolahan data dilakukan di
Laboratorium Epidemiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Kerangka Konsep Penelitian
Pemasukan anjing ilegal
Identifikasi Bahaya




Sumber data
Data Primer
Data Sekunder

Penilaian Risiko Kualitatif :
 Penilaian pelepasan
 Penilaian pendedahan
 Penilaian dampak
 Estimasi risiko
Output
 Estimasi risiko

Gambar 2

Kerangka konsep penilaian risiko pemasukan rabies dari Pulau
Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau (Pulau Bintan)

Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Sumber data pada setiap tahapan penilaian risiko akan berbeda seperti yang
diuraikan dalam tabel deskripsi skenario masing-masing tahapan penilaian risiko.
Sumber data ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diambil
menggunakan metode pengumpulan pendapat pakar (expert opinion), kuesioner,
wawancara mendalam (in-depth interview) serta pengamatan langsung dilapangan.
Data sekunder didapatkan melalui penelusuran publikasi ilmiah dan hasil
surveilans, data tulisan yang tidak dipublikasi baik berupa laporan, maupun
dokumen dari instansi yang berwenang. Responden dalam pengumpulan data
primer tersaji pada Tabel 1.

7
Tabel 1 Penetapan responden
No

Responden

Sumber data

1
2
3
4

Pakar/ahli dalam bidang penanganan rabies
Petugas karantina
Dinas terkait
Pemilik anjing/komunitas berburu

5

Key informants (dokter hewan praktik/petugas
keamanan/kapten kapal/ABK/buruh bagasi)

Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Wawancara mendalam
Kuesioner dan Wawancara
mendalam
Wawancara mendalam

Metode Penilaian Risiko Kualitatif
Penilaian risiko pemasukan rabies ke Provinsi Kepulauan Riau melalui jalur
laut dari Pulau Sumatera dilakukan dengan menggunakan standar analisis risiko
impor OIE dalam Terrestrial Animal Health code (OIE 2013), pedoman analisis
risiko impor hewan dan produk hewan serta metodologi penilaian risiko kualitatif
berdasar pakar secara ilmiah (Dufour et al. 2011).
Kemungkinan risiko pemasukan rabies dan terjadinya infeksi pada hewan
dinilai untuk setiap alur menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menilai
risiko pemasukan virus rabies melalui jalur laut yang ilegal atau penyelundupan
hewan penular rabies dari Pulau Sumatera dan difokuskan pada pemasukan anjing.

Penilaian Pelepasan (Release Assessment)
Kemungkinan risiko pelepasan rabies dan terjadinya infeksi pada hewan
dinilai untuk setiap alur menggunakan pendekatan kualitatif. Penilaian dilakukan
dengan menggunakan enam kategori kemungkinan (likelihood) yang mengacu
kepada Biosecurity Australia (2001). Penilaian pelepasan didasarkan pada
kemungkinan terjadinya infeksi pada hewan di negara asal. Kategori kemungkinan
kualitatif dan penafsirannya tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Kategori kemungkinan kualitatif dan penafsirannya
Kategori kemungkinan
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Amat sangat rendah
Dapat diabaikan

Penafsiran
Kejadiannya sangat mungkin terjadi
Kejadiannya kemungkinan terjadi
Kejadiannya kemungkinan tidak terjadi
Kejadiannya sangat mungkin tidak terjadi
Kejadiannya amat sangat tidak mungkin terjadi
Kejadiannya hampir tidak pernah terjadi

Kategori kemungkinan (likelihood) kualitatif tersebut selanjutnya
ditetapkan dalam tahapan/node skenario untuk menghasilkan seluruh skenario
kemungkinan pemasukan yang terjadi. Jika likelihood kualitatif telah ditetapkan
dalam tahapan skenario, maka sesuai dengan Biosecurity Australia (2001) bentuk
kombinasi aturan penilaian akan dibutuhkan untuk menghitung kemungkinan

8
bahwa seluruh skenario akan terjadi. Matrik kombinasi dalam menentukan nilai
dalam penilaian pelepasan, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Matrik kombinasi penilaian pelepasan
Likelihood
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Amat Sangat Rendah
Dapat diabaikan
Keterangan :
DA : Dapat diabaikan
R : Rendah

Tinggi

Sedang

T
S
R
SR
ASR
DA

S
R
R
SR
ASR
DA

Rendah
R
R
SR
SR
ASR
DA

Sangat
Rendah

Amat
Sangat
Rendah

Dapat
diabaikan

SR
SR
SR
ASR
ASR
DA

ASR
ASR
ASR
ASR
DA
DA

DA
DA
DA
DA
DA
DA

ASR : Amat Sangat Rendah
S : Sedang

SR: Sangat rendah
T : Tinggi

Penilaian Pendedahan (Exposure Assessment)
Penilaian pendedahan didasarkan pada kemungkinan terjadinya kontak
melalui gigitan sehingga menyebabkan terjadinya infeksi rabies. Tahap ini penting
digunakan dalam manajemen risiko terhadap tindakan yang seharusnya dilakukan
didaerah asal. Pada penilaian pendedahan juga menggunakan pendekatan
kualitatif dengan enam kategori kemungkinan yang tersaji pada Tabel 2.
Risiko pemasukan anjing asal daerah tertular rabies ditentukan oleh
kemungkinan kejadian bahaya yang merupakan hasil penggabungan kemungkinan
pemasukan (entry) dan kemungkinan pendedahan (exposure). Penggabungan
kemungkinan pemasukan dan kemungkinan pendedahan dilakukan seperti pada
kombinasi penilaian pelepasan yang tersaji pada Tabel 3.
Penilaian pendedahan ganda terjadi apabila titik akhir pendedahan pada
hewan rentan atau manusia yang terinfeksi berasal dari dua jalur atau lebih pada
alur tapak yang berbeda. Penilaian pendedahan ganda tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Penilaian pendedahan ganda
Jika nilai
Salah satu risiko parsial tinggi
Lebih dari satu risiko parsial sedang
Salah satu risiko parsial sedang dan risiko parsial yang lainnya adalah rendah
Ada satu risiko parsial sedang dan risiko parsial yang lainnya tidak sedang
Semua risiko parsial rendah
Satu atau lebih risiko parsial rendah
Semua risiko parsial sangat rendah
Satu atau lebih risiko parsial sangat rendah
Semua risiko parsial ekstrim rendah
Satu atau lebih risiko parsial amat sangat rendah
Semua risiko parsial dapat diabaikan

Risiko keseluruhan
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Rendah
Rendah
Sangat rendah
Sangat rendah
Amat sangat
rendah
Dapat diabaikan

9
Penilaian Dampak (Consequence Assessment)
Penilaian dampak dilakukan dengan mempertimbangkan dampak yang
terjadi secara langsung maupun tidak langsung yang diakibatkan oleh masuknya
agen penyakit dalam hal ini rabies ke negara/daerah pengimpor. Penilaian dampak
berdasar pendapat pakar (expert opinion) dan studi literatur. Pendapat pakar
diperoleh dengan cara wawancara yang mendalam mengenai dampak akibat rabies.
Penilaian dampak dalam penelitian ini mengacu pada metode penilaian
konsekuensi Biosecurity Australia (2001). Penilaian dampak dilakukan pada
setiap cakupan wilayah yaitu tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan lokal
(peternakan/desa). Pada setiap cakupan wilayah dinilai ukuran dampaknya yang
dibagi dalam empat kategori yaitu sangat signifikan, signifikan, kurang signifikan
dan tidak signifikan. Dampak keseluruhan secara nasional dihubungkan dengan
dampak langsung dan tidak langsung yang diperkirakan pada skala kualitatif.
Skala kualitatif penilaian konsekuensi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Penilaian dampak langsung dan tidak langsung
Kategori
nilai
G
F
E
D
C
B
A

Deskripsi
Dampak bersifat sangat signifikan di tingkat nasional
Dampak bersifat signifikan di tingkat nasional
Dampak bersifat kurang signifikan (minor) di tingkat nasional
Dampak bersifat kurang signifikan (minor) di tingkat negara bagian/propinsi
Dampak bersifat kurang signifikan (minor) di tingkat kabupaten/kota/distrik
Dampak bersifat kurang signifikan (minor) di lokal (peternakan/desa)
Dampak bersifat tidak signifikan di lokal (peternakan/desa)

Tahap selanjutnya setelah dilakukan penilaian dampak dalam skala kualitatif
yaitu melakukan penilaian dampak/konsekuensi secara keseluruhan. Biosecurity
Australia (2001) membagi penilaian dampak/konsekuensi secara keseluruhan
dalam beberapa kemungkinan yaitu :
a. Ada dampak langsung atau tidak langsung termasuk kategori „G‟ adalah sangat
tinggi.
b. Lebih dari satu dampak termasuk kategori „F‟ adalah sangat tinggi.
c. Ada satu dampak kategori „F‟ sedangkan dampak lainnya termasuk kategori „E‟
adalah sangat tinggi.
d. Ada satu dampak kategori „F‟ dan dampak lainnya tidak seluruhnya termasuk
kategori „E‟ adalah tinggi.
e. Semua dampak termasuk kategori „E‟ adalah tinggi.
f. Satu atau lebih dampak termasuk kategori „E‟ adalah sedang.
g. Semua dampak termasuk kategori „D‟ adalah sedang.
h. Satu atau lebih dampak termasuk kategori „D‟ adalah rendah.
i. Semua dampak termasuk kategori „C‟ adalah rendah.
j. Satu atau lebih dampak termasuk kategori „C‟ adalah sangat rendah.
k. Semua dampak termasuk kategori „B‟ adalah sangat rendah.
l. Satu atau lebih dampak termasuk kategori „B‟ adalah dapat diabaikan.
m. Semua dampak termasuk kategori „A‟ adalah dapat diabaikan.

10
Perkiraan Risiko (Risk Estimation)
Salah satu komponen penting dalam penilaian risiko adalah perkiraan risiko.
Perkiraan risiko merupakan tahap terakhir dari proses penilaian risiko. Perkiraan
risiko adalah integrasi hasil dari penilaian pelepasan, pendedahan dan penilaian
konsekuensi untuk menghasilkan ukuran keseluruhan risiko yang terkait dengan
bahaya yang diidentifikasi di awal. Perkiraan risiko dilakukan dengan mengacu
kepada Biosecurity Australia (2001). Tujuan dari tahapan perkiraan risiko adalah
untuk membuat ringkasan terhadap temuan pada setiap tahapan penilaian
sebelumnya yaitu tahap penilaian pelepasan, penilaian pendedahan dan penilaian
dampak/konsekuensi. Matrik perkiraan risiko untuk penilaian risiko pemasukan
rabies tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6 Matrik perkiraan risiko impor
Dampak

Pelepasan dan
Pendedahan

Likelihood
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Amat sangat rendah
Dapat diabaikan
Keterangan :
DA : Dapat diabaikan
S : Sedang
T : Tinggi

Dapat
diabaikan

Sangat
rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat
tinggi

DA
DA
DA
DA
DA
DA

SR
SR
DA
DA
DA
DA

R
R
SR
DA
DA
DA

S
S
R
SR
DA
DA

T
T
S
R
SR
DA

ST
ST
T
S
R
SR

SR : Sangat rendah
ST : Sangat tinggi

R : Rendah

Dalam penelitian risiko kualitatif, sangat penting diketahui tingkat
ketidakpastian. Ketidakpastian menunjukkan adanya sebaran nilai dari variabel
yang disebabkan sedikitnya pengetahuan/informasi mengenai nilai-nilai
kemungkinan. Dalam penilaian risiko kualitatif, ketidakpastian dinyatakan secara
kualitatif. Kategori ketidakpastian kualitatif dibagi menjadi tiga kategori (EFSA
2006b). Secara detail kategori ketidakpastian kualitatif tersaji dalam Tabel 7.
Tabel 7 Kategori ketidakpastian kualitatif
Kategori
Ketidakpastian
Rendah

Sedang
Tinggi

Penafsiran
Data lengkap, bukti kuat disajikan oleh berbagai referensi, berbagai
penulis memiliki kesimpulan yang sama, dilakukan pengamatan
dilapangan
Ada beberapa data yang tidak lengkap, bukti disajikan pada referensi
yang terbatas, kesimpulan penulis bervariasi satu sama lain
Data sangat jarang atau tidak tersedia data, bukti tidak tersedia di
referensi tetapi tersedia pada laporan yang tidak terpublikasi
berdasarkan pengamatan atau komunikasi

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Alur Tapak Risiko Pemasukan Rabies
Informasi alur tapak risiko pemasukan rabies dari Pulau Sumatera ke Pulau
Bintan Provinsi Kepulauan Riau diperoleh dengan cara wawancara mendalam
pada dokter hewan praktik, petugas karantina dan nahkoda kapal. Berdasarkan
hasil wawancara tersebut dan survei dilapangan, tujuan dari pemasukan anjing ke
Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau hanya ada 2, yaitu untuk dipelihara (anjing
kesayangan) dan untuk berburu babi hutan (anjing pemburu). Tujuan pemasukan
anjing yang lain, seperti untuk dikonsumsi dan dijual kembali tidak ada.
Jalur pemasukan anjing kesayangan dan anjing pemburu adalah melalui
jalur laut. Jalur pemasukan yang sama ini, menjadikan alur tapak risiko
pemasukannya adalah sama. Alur tapak risiko pemasukan rabies dari Pulau
Sumatera tersaji pada Gambar 3.

Kemungkinan anjing di Pulau Sumatera
terinfeksi rabies

Likelihood (L1)

Kemungkinan anjing terinfeksi
rabies tidak terdeteksi

Likelihood (L2)

Kemungkinan anjing terinfeksi rabies
tidak terdeteksi selama transportasi

Likelihood (L3)

Kemungkinan anjing terinfeksi
rabies masuk ke Pulau Bintan
Provinsi Kepulauan Riau

Likelihood (L4)
L4=L1xL2xL3

Gambar 3 Alur tapak risiko pemasukan rabies dari Pulau Sumatera

12
Penilaian Pelepasan (Release Assessment)
Penilaian pelepasan meliputi penilaian terhadap kemungkinan keluarnya
rabies dari Pulau Sumatera ke Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau melalui
anjing dan menduga kemungkinan munculnya penyakit tersebut di Pulau Bintan.
Penilaian risiko juga digunakan untuk melihat seberapa besar risiko pelepasan
melalui alur tapak risiko yang sudah ditentukan. Alur tapak risiko yang sama
menyebabkan nilai kemungkinan (likelihood) yang diperoleh juga sama. Penilaian
pelepasan juga tidak dipisahkan antara anjing kesayangan dengan anjing pemburu.
Ringkasan penilaian pelepasan rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan
Riau, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Nilai likelihood setiap node pada penilaian pelepasan
Node
Kemungkinan
anjing di
Sumatera
terinfeksi rabies

Deskripsi
Pulau Sumatera merupakan
endemis/tertular rabies

Likelihood
Tinggi (L1)

Kemungkinan
anjing
terinfeksi rabies
tidak terdeteksi
selama
transportasi

Kemungkinan
pelepasan

KNPZ (2014)

Laporan kasus tahun 2013 sebanyak 158
Sumatera Barat 49 kasus
Cakupan vaksinasi belum mencukupi
Diperkirakan 11.89 %

DPKH (2014)

Cakupan vaksinasi 24.9 % (Kota Padang
Panjang)

UPTD Puskeswan
Padang Panjang
(2011)
Alawiyah dan
Evarozani (2014)

Dispet Sumbar
(2010 & 2011)

Prevalensi 18.2 % (Balai Veteriner
Lampung)
Kemungkinan
anjing
terinfeksi rabies
tidak terdeteksi

Sumber data

Rata-rata anjing dikandangkan

Tinggi (L2)

Octriana (2011)

Jumlah SDM (dokter hewan kurang)

Octriana (2011)

Kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap vaksin rabies pada anjing

Khairani (2011)
Kamil et al. (2003)

Perjalanan kapal antara 7 jam - 4 hari

Tinggi (L3 dan
L4)

Wawancara

Tidak ada pemeriksaan sebelum dan
sesudah dilalulintaskan

Wawancara

Masa inkubasi rabies 2 minggu- 6 bulan

Sudharsan et al.
(2007)

Kemungkinan terinfeksi x kemungkinan
tidak terdeteksi

Tinggi
(L4=L1xL2xL3)

13
Kemungkinan Anjing di Pulau Sumatera Terinfeksi Rabies (L1)
Rabies telah menjadi endemis di sebagian besar wilayah indonesia kecuali
Provinsi Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat (KNPZ
2014). Pulau Sumatera merupakan daerah endemis rabies. Rabies hampir terjadi di
seluruh wilayahnya. Tercatat kejadian pada tahun 2013, kasus rabies tidak kurang
dari 158 kasus positif rabies. Kejadian tersebut di Sumatera barat: 49 kasus, NAD:
1 kasus, Bengkulu: 1 kasus, Lampung: 9 kasus, Sumatera Selatan: 6 kasus,
Sumatera Utara: 91 kasus, Jambi: 1 kasus (DPKH 2014).
Pada tahun 2012 dan 2013 Balai Veteriner Lampung telah mengidentifikasi
rabies pada beberapa HPR. Pada tahun 2012 memeriksa sebanyak 24 spesimen
dengan Uji FAT rabies didapatkan hasil 20 spesimen positif rabies, prevalensi
83.3 %. Pada 2013 memeriksa 33 spesimen didapatkan 6 spesimen positif rabies,
prevalensi 18.2% (Alawiyah dan Evarozani 2014).
Cakupan vaksinasi adalah penting dalam pengendalian rabies. Menurut
Dispet Sumbar (2011) data statistik peternakan 2011, populasi anjing di Provinsi
Sumatera Barat tahun 2010 tercatat 236 544 ekor, sedangkan dalam laporan
tahunan Dispet Sumbar (2010) realisasi vaksinasi yang sudah terlaksana sebanyak
28 135 dosis, artinya diperkirakan cakupan vaksinasinya 11.89%. Kota Padang
Panjang pada tahun 2014 ini menargetkan bebas rabies, namun cakupan vaksinasi
yang dicapai hanya 24.9% (UPTD Puskeswan Padang Panjang 2012).
Program vaksinasi pada anjing adalah untuk menghasilkan kekebalan
kelompok yang berguna untuk pemberantasan rabies pada manusia dan hewan.
Namun, rata-rata cakupan vaksinasi negara di Asia belum mencapai 70% dari total
populasi yang dibutuhkan dan kekebalan kelompok gagal terbentuk. Salah satu
faktor kegagalan dalam pembentukan kekebalan kelompok adalah gagalnya
vaksinasi pada anjing liar (Ceballos et al. 2014).
Salah satu kejadian rabies tertinggi di Sumatera adalah di Provinsi Sumatera
Barat. Provinsi Sumatera Barat pertama kali terjadi pada tahun 1953. Ajang
perburuan digunakan untuk memberantas hama babi yang mangganggu tanaman
masyarakat, juga menjadi ajang silaturahmi masyarakat Sumatera Barat dan
sekitarnya khususnya antar pemburu (Octriana 2011). Kebiasaan berburu ini yang
ditengarai bisa menyebarkan rabies.
Berdasarkan data yang ada maka kemungkinan anjing terinfeksi di Pulau
Sumatera dinilai tinggi, dengan tingkat ketidakpastian (uncertaninty) rendah.
Kemungkinan Anjing Terinfeksi Rabies Tidak Terdeteksi (L2)
Memelihara anjing sudah menjadi bagian dari gaya hidup, kebiasaan bahkan
menjadi budaya sebagian masyarakat indonesia. Pola pemeliharaan HPR
khususnya anjing menjadi perhatian tersendiri terkait penyebaran rabies. Di salah
satu kelurahan di kota medan anjing pada umumnya masyarakat disana tidak
menyetujui kalau anjing yang dipelihara diikat dengan alasan bahwa hewan butuh
kebebasan seperti manusia (Malahayati 2009).
Hasil penelitian Octriana (2011) menunjukkan bahwa cara pemeliharaan
anjing di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat, dari 144 ekor anjing yang
dipelihara oleh kelompok masyarakat pemelihara anjing pemburu, terdapat 106
ekor (73.6%) anjing yang dikandangkan dan hanya 5 ekor (3.5%) anjing yang
diliarkan. Sebaliknya, pada kelompok masyarakat pemelihara anjing bukan

14
pemburu, cara pemeliharaan anjing yang paling banyak adalah dengan cara
diliarkan dengan jumlah 67 ekor (53.2%) dari 126 ekor anjing. Berbeda dengan
kelompok masyarakat pemelihara anjing pemburu, pada kelompok masyarakat
pemelihara anjing bukan pemburu hanya terdapat 15 ekor (11.9%) anjing yang
dipelihara dengan cara dikandangkan. Namun, adanya anjing liar disekitar
pemukiman menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya kontak
sehingga risko penyebaran rabies sangat tinggi. Kejadian wabah rabies di Bali
tahun 2008, hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kejadian rabies tertinggi
pada kelompok anjing lepasan (81%), disusul kelompok anak anjing (17%) dan
terendah pada anjing rumahan (2%), dari total anjing rabies yang dikonfirmasi
secara laboratorium (Putra 2011).
Hasil penelitian Khairani (2011) menyebutkan bahwa dari 150 responden
pemilik anjing pemburu di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera
Barat, 76 responden (50.7%) menyatakan telah divaksin rabies. Dari 50.7%
tersebut hanya 50% yang anjingnya divaksin sesuai jadwal. Hasil ini
menggambarkan bahwa kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
pemilik anjing pemburu untuk mencegah rabies.
Program vaksinasi rabies di daerah mengalami berbagai kendala. Kendala
yang dihadapi dalam vaksinasi di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat adalah
kurangnya sumber daya dokter hewan sehingga pada umumnya vaksinasi
dilakukan oleh petugas yang tidak memiliki dasar pendidikan kedokteran hewan
(Octriani 2011).
Vaksinasi ini digunakan untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Namun
hasil rapat koordinasi terpadu rabies se-Sumatera mengungkapkan bahwa cakupan
vaksinasi di wilayah tertular rabies di Sumatera belum mencukupi dikarenakan
kurangnya jumlah vaksin yang tersedia, kurangnya dana operasional dan sumber
daya manusia. Selain itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya vaksinasi masih
kurang. Kamil et al. (2003) menyatakan bahwa pemilik anjing di Sumatera Barat
khususnya pemilik anjing pemburu pada umumnya tidak mau melakukan
vaksinasi terhadap anjing karena adanya anggapan bahwa anjing akan menjadi
lemah setelah divaksinasi. Hal ini menjadi hal yang penting, karena menurut
Cleaveland et al. (2006), vaksinasi rabies pada anjing terbukti mengurangi jumlah
kasus pada anjing, kasus gigitan pada manusia terutama pada anak-anak.
Berdasarkan data diatas maka kemungkinan anjing terinfeksi rabies tidak
terdeteksi adalah tinggi, dengan tingkat ketidakpastian (uncertaninty) rendah.
Kemungkinan Anjing Terinfeksi Rabies Tidak Terdeteksi Selama
Transportasi (L3)
Transportasi yang digunakan untuk lalulintas anjing ke Pulau Bintan
Provinsi Kepulauan Riau adalah melalui jalur laut. Anjing yang dibawa baik
individu/perorangan ataupun oleh kelompok berburu menggunakan kapal
kayu/barang, Kapal roro (kendaraan dan orang), ataupun kapal ferry/penumpang.
Rute kapal kayu/barang adalah Tanjung Balai Asahan ke Tanjungpinang (Pulau
Bintan) walaupun kadang-kadang singgah dulu ke Pulau Batam. Ada sekitar 5-6
kapal yang berlayar 3-5 kali dalam satu bulan. Muatan kapal tersebut adalah
barang kelontong, pakan ternak, buah-buahan, sayuran dan telur. Lama
perjalanannya adalah 2-4 hari. Kapal barang/kayu yang lain berlayar dari Jambi

15
(Kuala Tungkal) berlayar kira kira 14 jam dengan muatan hewan ternak (sapi dan
kambing), berlayar 2-3 kali dalam satu bulan.
Rute Kapal ferry adalah Dumai-Tanjung Balai Karimun-BatamTanjungpinang dengan lama perjalanan kuranglebih 7 jam, melakukan pelayaran
1 kali per hari. Kapal roro tujuan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau berasal
dari Tanjung Balai Karimun dan biasanya merupakan kapal yang membawa
kendaraan pengangkut dari Sumatera. Kapal roro dalam seminggu 2 kali berlayar.
Dari hasil wawancara dengan nahkoda/ABK kapal, modus anjing yang
dilalulintaskan adalah dititip kepada ABK kapal kemudian diambil di pelabuhan
tujuan. Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjungpinang pada bulan November
2013 telah melakukan pemusnahan 1 ekor anjing yang dititipkan kepada supir
angkutan dari sumatera barat menggunakan kapal roro. Diketahui tujuan anjing
tersebut dilalulintaskan adalah untuk berburu. Hasil wawancara yang lain
diketahui bahwa pernah ada 5 ekor anjing berburu yang mau dititipkan ke
Nahkoda walaupun dalam pengakuannya tidak jadi dilalulintaskan. Hal ini
berisiko terhadap pemasukan rabies di Pulau Bintan mengingat sebelum
dilalulintaskan tidak ada pemeriksaan terhadap rabies,baik pemeriksaan titer
serum maupun pemeriksaan kesehatan secara fisik. Jika melihat waktu lama
perjalanan kapal adalah 7 jam - 4 hari, maka apabila anjing terjangkit rabies
kemungkinan belum bisa terdeteksi. Karena waktu timbulnya gejala klinis setelah
gigitan antara beberapa hari hingga tahunan. Masa inkubasi rabies pada