Analisis Biaya Keagenan Pada Bank Dengan Anak Perusahaan Dan Tanpa Anak Perusahaan Leasing
ANALISIS BIAYA KEAGENAN PADA BANK DENGAN ANAK
PERUSAHAAN DAN TANPA ANAK PERUSAHAAN LEASING
NOVIA NOUR HALISA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Biaya Keagenan
pada Bank dengan Anak Perusahaan dan tanpa Anak Perusahaan Leasing adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Novia Nour Halisa
NIM H251140311
RINGKASAN
NOVIA NOUR HALISA. Analisis Biaya Keagenan pada Bank dengan Anak
Perusahaan dan tanpa Anak Perusahaan Leasing. Dibimbing oleh BUDI
PURWANTO dan TUBAGUS NUR AHMAD MAULANA.
Hubungan antara deposan dan bank dapat dijelaskan dengan perspektif
keagenan. Masalah keagenan dapat terjadi ketika bank sebagai penghimpun dana
deposan memilih investasi yang tidak hati-hati dan berisiko, baik itu keputusan
dalam menyalurkan kredit secara langsung ke debitur ataupun memilih
menyalurkan dana ke anak perusahaannya seperti leasing. Adanya masalah
keagenan menimbulkan biaya keagenan atau biaya agensi. Penelitian ini bertujuan
untuk: (1) menganalisis biaya agensi pada dua tipe perbankan yaitu tipe bank dan
tipe bank yang memiliki leasing; dan (2) menganalisis hubungan antara proporsi
kredit leasing terhadap biaya agensi, risiko kredit dan profitabilitas.
Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan data sekunder berupa laporan
keuangan 6 bank dan 3 perusahaan leasing tahun 2010 sampai 2014. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposive sampling berdasarkan kriteria perbankan yang
memiliki jumlah penyaluran kredit setara dengan ukuran aset setara dan tingkat
likuiditas yang tinggi. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif statistika, analisis uji beda dua grup, dan analisis Structural Equation
Modeling-Partial Least Square (SEM-PLS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya agensi pada dua tipe perbankan
yaitu tipe bank dan tipe bank yang memiliki anak perusahaan leasing adalah tidak
berbeda nyata. Selanjutnya proporsi kredit leasing memiliki pengaruh signifikan
terhadap biaya agensi, proporsi kredit leasing memiliki pengaruh tidak signifikan
terhadap risiko kredit, proporsi kredit leasing memiliki pengaruh tidak signifikan
terhadap profitabilitas. Biaya agensi memiliki pengaruh tidak signifikan terhadap
risiko kredit maupun profitabilitas. Sedangkan risiko kredit memiliki pengaruh
signifikan terhadap profitabilitas. Bank maupun bank yang mempunyai leasing
menghasilkan biaya agensi yang relatif sama dan cenderung kecil, yang berarti
keputusan 6 perbankan untuk menyalurkan dananya baik penyaluran kredit
langsung maupun dengan perantara leasing sebenarnya bukan keputusan yang
berisiko tinggi asalkan dengan proporsi kredit leasing yang tepat. Apabila pihak
manajemen bank ingin meningkatkan volume penyaluran kredit pada leasingnya,
maka keputusan tersebut bisa dikatakan berisiko tinggi. Selanjutnya bank maupun
perusahaan leasing yang menyalurkan kredit tentunya harus selektif dalam
memilih calon nasabah, hal ini dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kredit
bermasalah. Semakin besar tingkat NPL atau jumlah kredit bermasalah
menunjukkan bahwa bank tersebut tidak profesional dalam pengelolaan kreditnya.
Apabila bank mampu menekan rasio NPL dibawah 5% sesuai peraturan Bank
Indonesia, maka potensi keuntungan yang akan diperoleh bank akan semakin
besar, karena bank-bank akan semakin menghemat uang yang diperlukan untuk
membentuk cadangan kerugian kredit bermasalah.
Kata kunci: masalah keagenan, biaya agensi, profitabilitas, risiko kredit, partial
least square.
SUMMARY
NOVIA NOUR HALISA. Analysis of Agency Cost on Banks with Subsidiaries
and without Subsidiary Leasing. Supervised by BUDI PURWANTO and
TUBAGUS NUR AHMAD MAULANA.
Relationship between the depositor and the bank can be explained by the
agency perspective. Problems occur when banks as the collector of funds
depositors choosing investments that are not careful and at risk, whether it's a
decision to extend credit directly to the debitor or to choose distributing the funds
to subsidiaries such as leasing. Agency problems influence to agency costs. This
study aimed to: (1) analyze the agency costs in the two types of banking, which
bank with subsidiaries and without subsidiary leasing; and (2) analyze the
relationship between the proportion of credit leasing to agency costs, credit risk
and profitability.
This study began by collecting secondary data from the financial statements
of six banks and three leasing from 2010 to 2014. The sampling technique used
purposive sampling based on criteria of banks that have a number of similar loans
with similar asset size and high level of liquidity. Data analysis method used
descriptive statistical analysis, analysis of two different test groups, and analysis
of Structural Equation Modeling-Partial Least Square (SEM-PLS).
The results showed that the agency costs on two types of banking such as
bank with subsidiaries and without subsidiary leasing are not significantly
different. Furthermore, the proportion of credit leasing did affect on agency costs
significantly, the proportion of credit leasing did not affect on credit risk
significantly, the proportion of credit leasing did not affect on profitability
significantly. Agency costs did not affect on credit risk and profitability
significantly, while credit risk did affect on profitability significantly. Bank with
subsidiaries and without subsidiary leasing were generated agency costs which are
relatively similar and tend to be small, that means the decision of 6 banks to
channel lending funds either directly or by intermediary leasing is actually not a
risky decision as long as the leasing loans in a proper proportion. If the bank
management wants to increase the volume of lending in leasing, then the decision
can be said to be a high risk. Furthermore, banks and leasing companies that
extend credit must be selective in choosing prospective customers to minimize the
credit crunch. The greater the level of NPL or the amount of nonperforming loans
indicates that banks are not professionals in the management of credit. If the bank
is able to suppress the NPL ratio below 5% in accordance with Bank Indonesia’s
regulations, the potential benefits to be obtained by the bank will be even greater,
because the banks will increasingly saving the money needed to establish the loss
reserves of NPL.
Keywords: agency problem, agency cost, profitability, credit risk, partial least
square.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS BIAYA KEAGENAN PADA BANK DENGAN ANAK
PERUSAHAAN DAN TANPA ANAK PERUSAHAAN LEASING
NOVIA NOUR HALISA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Jono M Munandar, MSc
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah analisis keagenan, dengan judul Analisis Biaya
Keagenan pada Bank dengan Anak Perusahaan dan tanpa Anak Perusahaan
Leasing. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan, sejak Januari 2016 sampai
Januari 2017 dengan sampel penelitian 6 perbankan konvensional yaitu bank
Mandiri, BRI, BNI, BCA, Danamon, CIMB dan tiga perusahaan leasing yaitu
Mandiri Tunas Finance, BCA Finance, dan Adira Finance.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Budi Purwanto, ME dan
Bapak Ir Tb Nur Ahmad Maulana, MBA, MSc, PhD selaku pembimbing yang
telah memberikan pengarahan dan masukan untuk menyelesaikan karya ilmiah
ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Jono M Munandar,
MSc selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis atas masukan yang sangat
bermanfaat untuk karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, seluruh keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2017
Novia Nour Halisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
4
4
5
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lembaga Keuangan
Kredit
Dimensi Risiko Kredit
Teori Keagenan
Analisis Profitabilitas
Penelitian Terdahulu
5
5
8
10
11
13
13
3 METODE
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Sampel
Prosedur Analisis Data
14
14
16
16
16
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyaluran Kredit Bank dan Leasing
Analisis Rasio Keuangan Bank dan Leasing
Hasil Analisis Structural Equation Modeling-PLS
Implikasi Manajerial
20
20
22
29
34
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
35
35
35
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
46
DAFTAR TABEL
1 Rata-rata penyaluran kredit, NPL, dan ROA pada 6 perbankan periode
tahun 2010-2014
2 Rata-rata penyaluran kredit, NPL, dan ROA pada 3 leasing (anak
perusahaan dari 3 bank) periode tahun 2010-2014
3 Penyaluran kredit pada 6 perbankan periode tahun 2010-2014
4 Penyaluran kredit pada 3 leasing (anak perusahaan dari 3 bank) periode
tahun 2010-2014
5 Hasil Uji-T Independent samples berdasarkan penyaluran kredit
6 NPL pada 6 perbankan periode tahun 2010-2014
7 ROA dan NIM pada 6 perbankan periode tahun 2010-2014
8 EXPR dan AUR pada 6 perbankan periode tahun 2010-2014
9 NPL pada Mandiri Tunas Finance, BCA Finance, dan Adira Finance
periode tahun 2010-2014
10 ROA dan NIM pada Mandiri Tunas Finance, BCA Finance, dan Adira
Finance periode tahun 2010-2014
11 EXPR dan AUR pada Mandiri Tunas Finance, BCA Finance, dan Adira
Finance periode tahun 2010-2014
12 NPL, ROA, NIM, EXPR, dan AUR grup bank Mandiri, BCA, dan
Danamon
13 NPL, ROA, NIM, EXPR, dan AUR grup bank BRI, BNI, dan CIMB
14 NPL, ROA, NIM, EXPR, dan AUR grup Mandiri Tunas Finance, BCA
Finance, dan Adira Finance
15 NPL, ROA, NIM, EXPR, dan AUR grup bank Mandiri, BCA,
Danamon beserta leasing
16 Hasil Uji-T Independent samples berdasarkan rasio keuangan
17 Hasil penilaian keseluruhan kriteria dan standar pada outer model
18 Hasil penilaian keseluruhan kriteria dan standar pada inner model
19 Hasil pengujian bootstrapping inner model
3
3
21
21
22
22
23
24
25
25
26
27
27
27
28
28
31
31
32
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Kerangka risiko kredit
Kerangka pemikiran
Model penelitian
Model akhir penelitian
11
15
16
30
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Model penelitian dengan indikator lengkap
Hasil Metode Bootstrapping
Hasil pengolahan data SPSS
Hasil pengolahan data SmartPLS
Peringkat bank kelompok buku
40
41
42
43
44
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beberapa bank komersial yang besar tertarik dalam pembiayaan leasing,
baik secara langsung ataupun melalui perusahaan lain. Para stakeholders
menggunakan bank miliknya sebagai pengumpul dana masyarakat, setelah
terkumpul uang tersebut digunakan sebagai kredit untuk membesarkan perusahaan
mereka yang lain. Hal ini dapat dilihat adanya beberapa bank yang juga yang
mendirikan perusahaan pembiayaan seperti leasing. Pada bank-bank yang
mempunyai leasing aliran dana dari pihak yang menginvestasikan dana (deposan)
disalurkan dalam bentuk kredit bank dan sebagian diinvestasikan ke perusahaan
leasingnya untuk selanjutnya disalurkan menjadi kredit leasing. Tujuan bank
untuk mempermudah masyarakat atau nasabah mendapatkan bantuan dari bank
sehingga fungsi bank sebagai penyalur dana terlaksana dengan baik, karena syarat
yang diajukan leasing lebih mudah. Menurut Anwari (1994), salah satu pihak
yang terlibat dalam leasing adalah bank/kreditur. Pihak bank memegang peranan
dalam hal penyediaan dana kepada lessor, meskipun dalam suatu perjanjian
leasing pihak bank atau kreditur tidak terlibat secara langsung.
Penyaluran kredit leasing berjalan lancar maka keputusan bank tepat dalam
memilih investasi tersebut, namun penyaluran kredit pada leasing sering diluar
pengawasan bank sehingga memungkinkan terjadi hal-hal yang tidak
menguntungkan. Ketika terjadi hal yang tidak menguntungkan ini berarti bank
telah memilih investasi yang berisiko atau keputusan bank ini dikatakan tidak
hati-hati. Selanjutnya pada bank yang tidak memiliki anak perusahaan leasing,
maka bank menyalurkan kredit langsung ke nasabahnya. Putra dan Purnawati
(2011) menjelaskan bahwa kredit bank lebih menguntungkan dibandingkan kredit
leasing. Hal ini dikarenakan pembayaran angsuran bank lebih rendah sehingga
meminimalkan risiko kredit macet yang terjadi. Sedangkan menurut Irwan (2012)
pembiayaan leasing lebih menguntungkan dibandingkan dengan pembiayaan
kredit bank dalam hal penghematan pajak. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan
Indonesia (APPI) menjelaskan bahwa ada beberapa perusahaan leasing besar yang
cenderung hati-hati dalam memilih nasabah, sehingga kemungkinan kredit
bermasalah kecil.
Perbankan pada dasarnya harus mengambil keputusan yang tepat, karena hal
ini berkaitan dengan amanat deposan. Deposan menyimpan dana di bank untuk
mendapatkan tingkat pengembalian dimasa mendatang, hal ini sesuai dengan
fungsi bank yaitu suatu badan yang kegiatannya dibidang keuangan yang
melakukan penghimpunan serta menyalurkan dana kepada masyarakat dalam
bentuk kredit.
Industri perbankan adalah industri yang unik bila dibandingkan dengan
industri lainnya. Industri perbankan tidak hanya berorientasi laba, namun industri
ini juga menjalankan peran pengawasan terhadap debitur. Di sisi lain industri ini
juga dimonitor oleh deposan. Pada umumnya deposan tidak memonitor secara
langsung penggunaan dana yang ditempatkan ke debitur, namun lembaga
perbankan yang memonitor debitur sebagai amanat deposan atau penyimpan dana
di bank. Pengawasan atau kontrol ini akan berjalan sebagaimana mestinya ketika
2
mereka memiliki kepentingan yang selaras, namun apabila tidak terjadi
keselarasan tujuan maka akan terjadi konflik kepentingan dan bahkan bank dapat
melakukan pengambilan risiko tinggi atas beban deposan. Di samping itu,
deposan selaku kreditur juga bisa mengalami kesulitan memonitor bank karena
tidak mendapat informasi yang fair dan berkualitas, sehingga menimbulkan
masalah adverse selection. Hubungan antara deposan dan bank dapat dijelaskan
dengan perspektif keagenan. Konsep teori keagenan menurut Jensen dan
Meckling (1976) adalah hubungan atau kontak antara pemilik sumber daya
ekonomis (prinsipal) dan agen yang menggunakan sumber daya tersebut. Aplikasi
teori agensi dapat terwujud dalam kontrak yang akan mengatur proporsi hak dan
kewajiban antara deposan (prinsipal) dan bank (agen) dengan tetap
memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan baik yang berupa keuntungan,
return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Teori
keagenan berakar dari hubungan beberapa teori yaitu teori ekonomi, teori
keputusan, teori sosiologi, dan teori organisasi.
Caprio dan Levine (2007) mengatakan bahwa sektor usaha perbankan ini
berpotensi menimbulkan masalah keagenan. Bank yang seharusnya menjalankan
amanah pemilik dana (deposan) untuk menggunakan dana tersebut secara hatihati, namun
tidak sedikit manajemen bank cenderung meningkatkan
kesejahteraan mereka sendiri dan bertindak atas kepentingan sendiri yaitu dengan
pengambilan keputusan yang tidak hati-hati, baik itu keputusan dalam
menyalurkan kredit secara langsung ke debitur ataupun memilih menyalurkan
dana ke anak perusahaannya.
Menurut Taswan (2011), bisnis perkreditan termasuk bisnis yang
menjanjikan karena dengan menempatkan kredit (menyalurkan dana) maka akan
menerima kembali angsuran pokok dan bunga sehingga sangat membantu
pengelolaan likuiditas perusahaan, selanjutnya aktivitas perkreditan yang tepat
juga bisa meningkatkan rentabilitas suatu perusahaan.
Keputusan manajemen bank dalam memilih investasi kredit semata-mata
karena menginginkan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya (Taswan 2010).
Dalam hal ini deposan tidak mengetahui apakah keputusan yang diambil pihak
bank sesuai dengan informasi yang telah diperolehnya sehingga mengindikasikan
adanya konflik agensi. Selanjutnya dalam mengurangi masalah keagenan, untuk
itu prinsipal atau agen mengeluarkan biaya yang disebut biaya keagenan atau
biaya agensi.
Secara empiris adanya hubungan antara penekan masalah keagenan yaitu
biaya agensi dengan kinerja perusahaan, bila mekanisme penekan masalah
keagenan efektif maka kinerja perusahaan akan lebih baik. Oleh karena itu dalam
berbagai penelitian, kinerja banyak digunakan untuk mengukur efektifitas
penekan masalah keagenan. Penggunaan proksi untuk mengukur meningkatnya
kinerja akibat dari berkurangnya masalah agensi sangat beragam. Demsetz dan
Lehn (1985) memakai Accounting Profits (AP), Return on Equity (ROE), Return
on Assets (ROA), Net Interest Margin (NIM) sebagai proksi kinerja. Disisi lain
adanya hubungan antara biaya agensi dan risiko kredit yaitu biaya agensi
ditimbulkan karena adanya konflik agensi yang mana manajemen telah
mengambil keputusan investasi yang berisiko. Sementara itu menurut Badriyah
(2011), biaya agensi tidak memiliki hubungan terhadap laba. Hal ini dikarenakan
adanya faktor oportunis sehingga manajemen memaksimumkan keuntungannya
3
bukan karena besar kecilnya biaya agensi. Selanjutnya penelitian Komariah et al.
(2012) menjelaskan bahwa biaya agensi tidak berpengaruh terhadap risiko
investasi.
Penggunaan utang atau dana masyarakat dapat menimbulkan masalah
keagenan pada saat manajemen bank memutuskan untuk melakukan investasi
yang berisiko tinggi. Suatu investasi dikatakan berisiko yaitu terjadinya masalah
dalam penyaluran kredit, seperti banyaknya kredit macet. Disisi lain utang juga
akan mendorong manajemen untuk menyerahkan arus kas bebas kepada prinsipal
dan selanjutnya digunakan untuk membayar kembali kewajiban atau untuk
reinvestasi (Jensen 2005). Penggunaan utang menjadi sebuah alat insentif bagi
manajemen untuk lebih berhati-hati guna mengindari ancaman kebangkrutan.
Keterkaitan antara volume penyaluran kredit terhadap profitabilitas dan
risiko kredit, dapat direpresentasikan pada beberapa bank di Indonesia. Tabel 1
dan Tabel 2 menunjukkan perbandingan volume penyaluran kredit, ROA dan NPL
oleh bank-bank di Indonesia maupun anak perusahaan leasingnya pada periode
2010-2014.
Tabel 1. Rata-Rata penyaluran kredit, NPL, dan ROA pada 6 perbankan periode
tahun 2010-2014
Nama Bank
Penyaluran Kredit
(triliun rupiah)
345
Mandiri
Bank Central Asia (BCA)
Non Performing Loan Return on Assets
( %)
(%)
1.88
3.56
254
0.51
3.72
93
2.62
3.05
Bank Rakyat Indonesia (BRI)
358
2.02
4.90
Bank Negara Indonesia (BNI)
197
2.97
3.04
Commerce International
133
Merchant Bankers (CIMB)
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan (2016)
2.77
2.59
Danamon
Tabel 2. Rata-rata penyaluran kredit, NPL, dan ROA pada 3 Leasing (anak
perusahaan dari 3 bank) periode tahun 2010-2014
Nama Leasing
Penyaluran Kredit
(triliun rupiah)
3.91
Non Performing
Loan ( %)
1.11
Return on Assets
(%)
3.16
BCA Finance
4.25
0.64
16.68
Adira Finance
19.02
1.35
9.50
Mandiri TunasFinance
Sumber : Mandiri Tunas Finance (2016), BCA Finance (2016), Adira Dinamika Multi Finance
(2016)
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata volume kredit masing-masing
bank selama periode 2010-2014 tinggi, penyaluran kredit dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Sedangkan rata-rata rasio NPL dan ROA masing-masing
bank selama periode lima tahun terlihat berfluktuatif. Bank (BRI, BNI, CIMB)
cenderung menghasilkan rasio NPL lebih besar dibandingkan bank-bank yang
mempunyai leasing (Mandiri dan BCA). Bank Mandiri, BCA, dan Danamon
memiliki nilai rata-rata NPL sebesar 1.67% dan rata-rata ROA sebesar 3.44%.
Sedangkan bank BRI, BNI, dan CIMB memiliki nilai rata-rata NPL sebesar
2.58% dan rata-rata ROA sebesar 3.51%. Selanjutnya pada Tabel 2 dapat dilihat
4
bahwa adanya penyaluran kredit oleh leasing itu sendiri menghasilkan rata-rata
NPL yang relatif rendah dengan rata-rata tingkat imbal hasil (ROA) yang sangat
besar. Adanya perbedaan rasio-rasio diatas maka mengindikasikan terdapatnya
perbedaan konflik agensi.
Bank dengan penyaluran kredit yang besar direpresentasikan dari bank
yang memiliki aset terbesar. Menurut Ranjan dan Dahl (2003), Bank dengan aset
yang besar memiliki kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih
besar apabila diikuti dengan hasil dari aktivitasnya. Semakin besar aktiva atau aset
yang dimiliki suatu bank maka semakin besar pula volume kredit yang dapat
disalurkan oleh bank tersebut. Tujuan penyaluran kredit akan tercapai apabila
pemberian kredit itu aman, terarah dan menghasilkan pendapatan.
Perumusan Masalah
Kegiatan penyaluran kredit memberikan tingkat keuntungan yang
menjanjikan. Dalam bahasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa bank cenderung
menghasilkan rasio NPL lebih besar dibandingkan bank-bank yang mempunyai
leasing. Selanjutnya untuk rasio ROA pada bank-bank yang mempunyai leasing
relatif konstan dibandingkan bank. Selanjutnya penyaluran kredit oleh leasing itu
sendiri menghasilkan NPL yang relatif kecil dengan tingkat imbal hasil (ROA)
yang besar.
Meskipun rasio NPL pada bank maupun leasing tersebut sudah
menunjukkan angka rata-rata di bawah 5% sesuai ketetapan BI (Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 Tentang Penetapan Status Dan Tindak Lanjut
Pengawasan Bank Umum Konvensional). Namun NPL tetap perlu diwaspadai
oleh bank. Permasalahan yang sering muncul yang mengakibatkan tingginya
tingkat kredit macet tersebut adalah ketidaksanggupan nasabah dalam memenuhi
persyaratan pembayaran. Adanya kredit macet tersebut dapat menurunkan
profitabilitas perusahaan. Keputusan bank yang tidak hati-hati dalam menyalurkan
dana melalui kredit kepada nasabah akan memicu risiko kredit yang dicerminkan
dalam peningkatan rasio NPL. Hal ini disebabkan karena deposan pada dasarnya
sulit memonitor bank terkait dana yang disimpannya sehingga memungkinkan
pihak bank bertindak atas kepentingan sendiri. Dengan demikian perlunya
delegasi pengawasan yang membantu fungsi monitoring dari pihak deposan, yang
mana akan menimbulkan biaya agensi.
Berdasarkan latar belakang dan penjabaran tersebut, maka masalah
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana biaya agensi pada dua tipe perbankan?
2. Bagaimana hubungan antara proporsi kredit leasing terhadap biaya agensi,
risiko kredit dan profitabilitas?
Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah seperti yang telah diuraikan, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis biaya agensi pada dua tipe perbankan
2. Menganalisis hubungan antara proporsi kredit leasing terhadap biaya agensi,
risiko kredit dan profitabilitas.
5
Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
Manfaat penelitian ini adalah:
Bagi bank dan perusahaan leasing, sebagai masukan, referensi, dan bahan
pertimbangan dalam upaya mengembangkan usaha kreditnya, yaitu dengan
adanya gambaran mengenai pengaruh proporsi kredit leasing terhadap biaya
agensi, risiko kredit dan profitabilitas.
Bagi masyarakat dan deposan, sebagai pengetahuan dalam memilih
perusahaan perbankan.
Bagi pembaca dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti
berikutnya yang ingin meneliti tentang konflik agensi pada industri
pembiayaan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terfokus pada analisis keagenan pada dua tipe perbankan yaitu
bank dan bank yang memiliki anak perusahaan leasing. Lalu akan dilihat
hubungan proporsi kredit leasing terhadap biaya agensi, risiko kredit dan
profitabilitas.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lembaga Keuangan
Secara umum, lembaga keuangan dapat dikelompokkan dalam dua bentuk
yaitu bank dan non bank. Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 1998
yang merupakan “Perubahan atas Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan”, lembaga keuangan bank terdiri atas bank umum dan bank
perkreditan rakyat. Bank umum dan bank perkreditan rakyat dapat memilih untuk
melaksanakan kegiatan usahanya atas dasar prinsip bank konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan lembaga keuangan non bank dapat berupa
lembaga pembiayaan (perusahaan leasing, perusahaan modal ventura, perusahaan
jasa anjak piutang, perusahaan pembiayaan konsumen, perusahaan perdagangan
surat berharga), asuransi, dana pensiun, pegadaian, pasar modal, dan lain-lain.
Peran Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank
Bank dan lembaga keuangan bukan bank mempunyai peran yang penting
dalam sistem keuangan, yaitu:
1. Pengalihan aset
Bank dan lembaga keuangan bukan bank akan memberikan pinjaman kepada
pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati. Sumber dana pinjaman tersebut diperoleh dari pemilik dana yaitu
unit surplus yang waktunya dapat diatur sesuai dengan keinginan pemilik dana.
Dalam hal ini bank dan lembaga keuangan bukan bank telah berperan sebagai
pengalih aset yang likuid dari unit surplus (lenders) kepada unit defisit
(borrowers).
6
2. Transaksi
Bank dan lembaga keuangan bukan bank memberikan berbagai kemudahan
kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang dan jasa. Dalam
ekonomi modern, transaksi barang dan jasa tidak pernah terlepas dari transaksi
keuangan. Transaksi keuangan selalu diperlukan baik secara langsung dalam
jual-beli barang jadi, maupun dalam transaksi jual beli bahan mentah dan
setengah jadi dalam proses produksi.
3. Likuiditas
Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk-bentuk
produk, yang masing-masing mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda-beda.
Untuk kepentingan dan likuiditas para pemilik dana dapat menempatkan
dananya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Dengan demikian,
lembaga keuangan memberikan fasilitas pengelolaan likuiditas kepada pihak
yang mengalami surplus likuiditas. Disisi lain, lembaga keuangan juga akan
dapat memberikan fasilitas tambahan kepada pihak-pihak yang mengalami
kekurangan likuiditas. Dengan kata lain, lembaga keuangan secara bersamaan
menyalurkan likuiditas kepada pihak yang memerlukan tambahan likuiditas,
dengan cara menyalurkan dana dari pihak yang mengalami kelebihan likuiditas.
4. Efisiensi
Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat menurunkan biaya transaksi
dengan jangkauan pelayanan. Peranan bank dan lembaga keuangan bukan bank
adalah menemukan peminjam dan pengguna modal tanpa mengubah
produknya. Disini mereka hanya memperlancar dan mempertemukan pihakpihak yang saling membutuhkan. Adanya informasi yang tidak simetris antara
peminjam dan investor menimbulkan masalah insentif (Budisantoso dan
Triandaru 2006).
Lembaga Keuangan Sebagai Intermediasi dan Pengawasan
Fungsi lembaga keuangan adalah sebagai perantara keuangan yang
menghubungkan unit surplus (yang mengalami kelebihan likuiditas) dengan unit
defisit (yang mengalami kekurangan likuiditas). Hal ini berarti lembaga keuangan
memungkinkan adanya aliran dana dari pemberi pinjaman atau deposan atau unit
surplus kepada peminjam atau entrepreneur atau unit defisit. Posisi yang berbeda
antara pemberi pinjaman dan peminjam menyebabkan informasi yang dimiliki
masing-masing pihak juga tidak sama. Peminjam cenderung lebih memiliki
informasi tentang penggunaan pinjaman dan seluk beluknya, karena memang
dialah yang mengelola dana tersebut untuk tujuan investasi atau konsumsi tertentu.
Disisi lain, pihak pemberi pinjaman kurang memiliki informasi tentang kondisi
penggunaan dana oleh peminjam. Unit defisit lebih mengetahui secara rinci
penggunaan dananya, arus kas usahanya, besarnya laba atau rugi yang dihasilkan,
masalah keuangan yang muncul, dan juga termasuk penyimpangan penggunaan
dana bila memang terjadi. Secara teoritis, kondisi akses informasi yang tidak sama
ini disebut dengan kondisi asimetris informasi.
Asimetris informasi membuka peluang bagi pihak yang lebih banyak
memiliki informasi untuk tidak mengungkapkan informasi tersebut dengan baik.
Peluang untuk tidak mengungkapkan informasi ini menjadi menarik karena
tindakan tersebut dapat membawa konsekuensi moneter yang menguntungkan.
7
Secara umum, implikasi dari asimetris informasi berupa pilihan untuk
menyampaikan informasi tidak secara baik dalam rangka mendapatkan
keuntungan moneter disebut dengan moral hazard. Dengan demikian, secara
spesifik, moral hazard dalam hal ini berarti adalah risiko penyampaian informasi
yang tidak sesuai dengan kenyataan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman
dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat moneter. Moral hazard ini adalah
masalah riil yang terjadi dalam hubungan antara peminjam dan pemberi pinjaman.
Untuk menurunkan atau meminimumkan dampak negatif dari asimetris
informasi dan moral hazard ini berarti harus dilakukan tindakan-tindakan tertentu
agar pihak yang memiliki informasi lebih banyak tidak menyalahgunakan
keunggulan akses informasinya disebut dengan masalah insentif. Masalah insentif
inilah yang kemudian menjadi masalah yang harus dipecahkan dalam hubungan
peminjam dan pemberi pinjaman.
Solusi utama dari asimetris informasi adalah pengawasan oleh pihak
deposan. Namun demikian, keterbatasan posisi deposan dalam kaitannya dengan
keberadaan lembaga keuangan sebagai perantara keuangan. Pengawasan ini sulit
sekali dilakukan secara langsung oleh deposan. Solusi yang tepat adalah delegasi
pengawasan atau intermediasi oleh lembaga keuangan. Dengan adanya delegasi
pengawasan, diharapkan pengawasan dilakukan oleh lembaga atau pihak yang
memang memiliki kemampuan dan spesialisasi dalam bidang pengawasan, yaitu
lembaga keuangan. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menyadari bahwa
delegasi pengawasan memerlukan biaya dan hal tersebut dilakukan atas suatu
tujuan tertentu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan suatu tingkat pengembalian
tertentu hasil penyaluran dana. (Budisantoso dan Triandaru 2006).
Bank
Menurut Undang‐Undang (UU) No. 10 Tahun 1998, bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Kasmir (2008) mengartikan bank secara sederhana sebagai lembaga
keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat serta memberikan jasa
bank lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat di jelaskan secara lebih luas bahwa
bank merupakan perusahaan atau lembaga yang bergerak dalam bidang keuangan,
artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan keuangan, sedangkan usaha
perbankan dapat meliputi tiga kegiatan utama, yaitu menghimpun dana dari
masyarakat yang berkelebihan dana, menyalurkan dana kepada masyarakat yang
membutuhkan, serta memberikan jasa di dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang
Leasing
Sewa guna usaha (leasing) secara umum adalah suatu badan yang
didalamnya meliputi perjanjian antara perusahaan leasing (lessor) dengan nasabah
(lessee) di mana pihak lessor menyediakan barang dengan hak pengunaan oleh
lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu (Kasmir
8
2011). Leasing merupakan suatu alternatif baru yang dapat digunakan oleh
perusahaan untuk mengatasi masalah kekurangan dana. Sumber pendanaan ini
memiliki beberapa kelebihan, salah satunya adalah prosedur yang ditawarkan
relatif mudah dan fleksibel, sehingga memudahkan perusahaan untuk memperoleh
barang modal. Perusahaan leasing dapat diselenggarakan oleh badan usaha yang
berdiri sendiri. Keterbatasan usaha leasing adalah tidak boleh melakukan kegiatan
yang dilakukan oleh bank seperti memberikan simpanan dan kredit dalam bentuk
utang. Adapun usaha leasing dapat dilakukan oleh : lembaga keuangan bank,
lembaga keuangan non bank, perusahaan nasional, dan perusahaan campuran.
Berikut pihak-pihak yang terlibat dalam leasing antara lain:
1. Lessor; merupakan perusahaan leasing atau pihak yang memberikan jasa
pembiayaan kepada pihak lessee dalam bentuk barang modal. Dalam finance
lease, lessor bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah
dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan mendapatkan
keuntungan. Dalam operating lease, lessor bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan dari penyedian barang dan pemberian jasa-jasa yang berkenaan
dengan pemeliharaan dan pengoperasian barang modal tersebut.
2. Lessee; adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam
bentuk barang modal dari lessor. Dalam finance lease, lessee bertujuan untuk
mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan dengan cara
pembayaran angsuran atau secara berkala. Pada akhir masa kontrak, lessee
memiliki hak opsi atas barang nya, yang berarti bahwa pihak lessee memiliki
hak untuk membeli barang yang di-lease dengan harga berdasarkan nilai sisa.
Dalam operating lease, lessee bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
peralatannya di samping tenaga operator dan perawatan alat tersebut tanpa
risiko terhadap kerusakan.
3. Supplier; yaitu perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan
barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran secara tunai oleh lessor.
Dalam finance lease, supplier langsung menyerahkan barang kepada lessee
tanpa melalui pihak lessor sebagai pihak yang memberikan pembiayaan.
Dalam operating lease, supplier menjual barangnya langsung kepada lessor
dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak baik secara
tunai maupun kredit yang nantinya akan dilunasi dengan angsuran.
4. Bank atau Kreditur; dalam suatu perjanjian kontrak leasing, pihak bank atau
kreditur tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut tetapi bank
memegang peranan dalam hal menyediakan dana kepada lessor. Dalam hal ini,
tidak menutup kemungkinan supplier menerima kredit dari Bank.
5. Asuransi; merupakan perusahaan yang akan menanggung risiko terhadap
perjanjian antara lessor dengan lessee.
Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani “credere” yang berarti kepercayaan,
oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Seseorang atau semua badan
yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) di
masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan itu
dapat berupa barang, uang atau jasa (Suyatno et al. 2003).
9
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 1998 yang merupakan
perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,
yang dimaksud dengan kredit adalah sebagai berikut :
“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga” (Budisantoso dan Triandaru 2006).
Dari beberapa pengertian tentang kredit yang telah dikemukakan, maka
dapat disimpulkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan antara pihak bank dengan
pihak peminjam dengan suatu janji bahwa pembayarannya akan dilunasi oleh
pihak peminjam sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati beserta
besarnya bunga yang telah ditetapkan. Tujuan kredit dari perusahaan adalah untuk
meningkatkan volume usaha dan hasil usaha yang akan menjamin kelangsungan
hidup perusahaan. Berdasarkan tujuan tersebut maka dapat diharapkan terjadi
peningkatan kegiatan usaha dalam suatu perekonomian.
Unsur-Unsur Kredit
Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga kredit merupakan pemberian
kepercayaan. Berdasarkan hal tersebut, maka unsur-unsur yang terkandung dalam
pemberian fasilitas kredit menurut Martono (2002) adalah sebagai berikut:
1. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan pemberi kredit (bank) bahwa kredit
yang diberikan berupa uang atau jasa akan benar-benar diterima kembali di
masa tertentu di masa mendatang.
2. Kesepakatan
Kesepakatan dituangkan dalam suatu perjanjian di mana masing-masing pihak
menandatangani hak dan kewajiban masing-masing.
3. Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan pasti memiliki jangka waktu tertentu yang
mencakup masa pengembalian kredit yang disepakati.
4. Risiko
Faktor risiko dapat disebabkan oleh dua hal:
a. Faktor kerugian yang diakibatkan adanya unsur kesengajaan nasabah untuk
tidak membayar kreditnya padahal mampu.
b. Faktor kerugian yang ditimbulkan oleh unsur ketidaksengajaan nasabah
sehingga mereka tidak mampu membayar kreditnya, misalnya akibat terjadi
musibah bencana alam.
Prinsip-Prinsip Perkreditan
Prinsip perkreditan disebut juga sebagai konsep 6C (Martono 2002). Pada
dasarnya konsep 6C ini akan dapat memberikan informasi mengenai tekad baik
dan kemampuan membayar nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta
bunganya. Prinsip 6C tersebut antara lain adalah :
10
1. Character
Penilaian character ini dapat mengetahui sejauh mana tingkat kejujuran dan
tekad baik calon debitur yaitu kemauan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
dari calon debitur.
2. Capacity
Penilaian capacity untuk melihat kemampuan dalam melunasi kewajibannya
dari kegiatan usaha yang dilakukan atau kegiatan usaha yang akan dilakukan
yang dibiayai dengan kredit dari bank.
3. Capital
Penilaian terhadap prinsip capital tidak hanya melihat besar kecilnya modal
yang dimiliki oleh calon debitur tetapi juga bagaimana distribusi modal itu
ditempatkan.
4. Collateral
Collateral diartikan sebagai jaminan fisik harta benda yang bernilai uang dan
mempunyai harga stabil dan mudah dijual. Jika peminjam terkena kecelakaan
atau hal-hal lain yang mengakibatkan peminjam tidak mampu membayar
hutangnya, maka tindakan akhir yang dilakukan oleh bank adalah
melaksanakan haknya atas collateral yang diikat secara yuridis untuk
menjamin hutangnya.
5. Condition of Economy
Pada prinsip condition (kondisi), dinilai situasi dan kondisi politik, sosial,
ekonomi, dan kondisi pada sektor usaha calon debitur.
6. Constraint
Constraint untuk menilai budaya atau kebiasaan yang tidak memungkinkan
seseorang melakukan bisnis di suatu tempat. Masalah constraint ini agak sukar
dirumuskan karena tidak ada peraturan tertulis mengenai hal tersebut, dan juga
tidak dapat selalu didefinisikan secara fisik permasalahannya.
Dimensi Risiko Kredit
Risiko kredit adalah risiko kerugian karena debitur tidak melunasi kembali
pokok pinjaman (plus bunga) sesuai kesepakatan yang telah dibuat. Saunders dan
Allen (2002) menyatakan bahwa risiko kredit adalah risiko tidak tercapainya
proyeksi aliran kas dari pinjaman dan sekuritas yang dimiliki oleh lembaga
intermediasi perbankan.
Djohanputro (2006) mendefinisikan risiko kredit sebagai risiko dimana
debitur atau pembeli secara kredit tidak dapat membayar utang dan memenuhi
kewajiban seperti tertuang dalam kesepakatan atau turunnya mutu debitur atau
pembeli, sehingga persepsi mengenai kemungkinan gagal bayar semakin tinggi.
Kuantitas dan mutu risiko kredit tercermin dalam kerangka risiko kredit
pada Gambar 1. Penyebab gagal bayar pada risiko kredit adalah kebangkrutan dan
kesulitan keuangan yang dihadapi nasabah. Apabila nasabah berada pada ambang
batas kriteria kesehatan tidak dipenuhi, maka memiliki potensi gagal bayar dan
menurunkan peringkat nasabah. Penurunan peringkat nasabah disebabkan
penurunan kinerja nasabah. Kelemahan kontrak kredit menyebabkan pelanggaran
kontrak kredit dan berpotensi dalam meningkatkan risiko kredit.
11
Kebangkrutan nasabah
Gagal bayar
Kesulitan keuangan
nasabah
Potensi gagal bayar
Ambang batas kriteria
kesehatan tidak dipenuhi
Penurunan
peringkat nasabah
Penurunan kinerja
nasabah
Pelanggaran kontrak
Kelemahan kontrak
kredit
Potensi pelanggaran
kontrak
Risiko
Kredit
Gambar 1. Kerangka risiko kredit (Djohanputro 2006)
Pada saat kredit berjalan maka harus dilakukan pembinaan dan monitoring
atas kelancaran kredit tersebut. Bank Indonesia (BI) melalui Surat Keputusan
Direksi BI No.31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998, melakukan
penggolongan aktiva produktif (kredit dan surat berharga) berdasarkan tingkat
kolektibilitasnya. Kolektibilitas kredit adalah keadaan pembayaran pokok atau
angsuran pokok dan bunga kredit oleh debitur serta tingkat kemungkinan
diterimanya kembali kredit yang telah diberikan sesuai dengan ketepatan jangka
waktu yang diperjanjikan. Penilaian atau penggolongan kolektibilitas kredit
berdasarkan ketentuan BI terbagi dua kategori yaitu Performing Loan apabila
mempunyai kolektibilitas lancar dan dalam perhatian khusus atau kategori kredit
bermasalah (Non Performing Loan) apabila mempunyai kolektibilitas kurang
lancar, diragukan dan macet.
Teori Keagenan
Megginson et al. (2007) menjelaskan bahwa teori keagenan adalah 12 pilar
pembangun teori ekonomi modern. Teori ini membahas tentang masalah-masalah
keuangan yang timbul pada perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan
keagenan. Konsep teori keagenan menurut Anthony dan Govindarajan (2004)
adalah hubungan atau kontak antara prinsipal dan agen. Prinsipal mempekerjakan
agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian
otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen.
Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk
memahami hubungan antara manajer dan pemilik sumber daya ekonomis atau
pemegang saham. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan
keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agen) yang mengurus
penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut dengan pemegang saham
(prinsipal).
Dalam kaitannya dengan teori keagenan ini, Watts dan Zimmerman (1990)
mengajukan teori akuntansi positif yang meliputi tiga hipotesis yaitu hipotesis
rencana bonus, hipotesis perjanjian utang, dan hipotesis biaya politik, yang secara
implisit mengatakan bahwa prinsipal bukan hanya pemilik perusahaan, tetapi juga
bisa berupa pemegang saham, kreditur, deposan maupun pemerintah.
12
Aplikasi teori keagenan dapat terwujud dalam kontrak yang akan mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak merupakan
seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang
berupa keuntungan maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen.
Kontrak akan menjadi optimal apabila kontrak tersebut mampu menyeimbangkan
antara prinsipal dan agen.
Menurut Messier et al. (2006) adanya hubungan keagenan akan
menimbulkan dua permasalahan yaitu: (1) terjadinya informasi asimetris, kondisi
dimana ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan yang dialami oleh pelakupelaku; dan (2) terjadinya konflik kepentingan akibat ketidaksamaan tujuan.
Selanjutnya Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga
asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri
(self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk
averse).
Keadaan asimetri informasi terjadi ketika adanya distribusi informasi yang
tidak sama antara prinsipal dan agen. Akibat adanya informasi yang tidak
seimbang (asimetri informasi) ini, dapat menimbulkan dua permasalahan yang
disebabkan karena adanya kesulitan prinsipal memonitor dan melakukan kontrol
terhadap tindakan-tindakan agen.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah:
1. Moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan
hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.
2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui
apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen didasarkan pada informasi yang
telah diperolehnya atau terjadi sebagai kelalaian dalam tugas.
Selanjutnya dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini
maka menimbulkan biaya keagenan. Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya
keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding cost dan residual loss. Monitoring
cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor
perilaku agen, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agen.
Bonding cost merupakan biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan
mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk
kepentingan prinsipal. Selanjutnya residual loss merupakan pengorbanan yang
berupa berkurangnya kemakmuran prinsipal sebagai akibat dari perbedaan
keputusan agen dan keputusan prinsipal.
Masalah Keagenan dalam Dunia Perbankan
Teori Keagenan ini dapat digunakan untuk memahami hubungan antara
deposan (prinsipal) dan bank (agen). Pada dasarnya deposan berkepentingan
untuk mengendalikan bank agar menggunakan dana tersebut secara hati-hati
sehingga risiko kredit yang dihadapi semakin kecil dan mampu meningkatkan
kemakmuran bersama.
Sementara itu, Caprio dan Levine (2007) menegaskan bahwa bisnis
perbankan adalah sektor usaha yang sangat besar potensinya dalam masalah moral
hazard, karena adanya asimetri informasi dalam bisnis ini. Dalam hal terjadinya
asimetri informasi, prinsipal tidak dapat sepenuhnya memonitor tindakan-tindakan
13
agen. Prinsipal sangat sulit mengetahui kegiatan yang dilakukan agen dan
pekerjanya secara keseluruhan. Demikian juga dengan adanya asimetri informasi
yang tinggi, maka deposan tidak dapat memonitor bank secara cukup. Jika
tindakan agen tidak dapat diamati dengan baik, maka deposan atau prinsipal tak
dapat mendesain kontrak yang mendasarkan tindakan itu secara fair. Dalam
konteks ini pihak bank akan menggunakan hal tersebut untuk kepentingannya
pribadi atas beban deposan atau pihak lain.
Moral hazard ini dimanifestasikan dalam bentuk penempatan dana pada
proyek-proyek yang berisiko tinggi dengan mengabaikan kepentingan deposan.
Bank melakukan adverse selection, yang mengkhawatirkan deposan karena bila
proyek gagal, klaim deposan akan gagal terbayarkan. Sebaliknya bila penempatan
dana pada proyek tersebut berhasil maka pihak bank yang menikmati keuntungan
paling besar. Dalam hal ini dikarenakan ada transfer kekayaan dari deposan ke
bank. Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi dalam
perbankan yaitu:
1. Adverse selection, yaitu bahwa agen serta orang-orang dalam lainnya biasanya
mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan
dibandingkan deposan/pihak luar. Dan faktanya dapat mempengaruhi
keputusan yang akan diambil oleh bank tersebut tidak disampaikan
informasinya kepada deposan.
2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh bank tidak
seluruhnya diketahui oleh deposan. Sehingga pihak bank dapat melakukan
tindakan diluar pengetahuan deposan yang melanggar kontrak dan sebenarnya
secara etika atau norma tidak layak dilakukan.
Analisis Profitabilitas
Menurut Brigham, Copeland dan Weston (1992) dalam bukunya
“Managerial Finance” mengemukakan profitabilitas sebagai berikut: “Profitability
is the result of a large number of policies and decision”. Sartono (2001)
mendefinisikan profitabilitas sebagai kemampuan perusahaan memperoleh laba
dalam hubungan dengan penjualan, total aktiva produktif maupun modal sendiri.
Rasio profitabilitas ini akan memberikan gambaran tentang tingkat efektifitas
pengelolaan perusahaan. Semakin besar profitabilitas berarti semakin baik, karena
kemakmuran pemilik perusahaan meningkat dengan semakin besarnya
profitabilitas. Rasio profitabilitas terdiri atas Profit Margin, Basic Earning Power,
Net Interest Margin, Return on Assets, dan Return on Equity.
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai teori keagenan yang kaitannya dengan risiko dan
profitabilitas ini masih belum banyak dilakukan. Sutrisno (2014) melakukan
penelitian tentang masalah keagenan pada bank syariah dan UMKM yang mana
dengan menggunakan analisis deskriptif maka dihasilkan bahwa bank
mengidentifikasi tingginya risiko pembiayaan yang berpotensi besar terhadap
asimetris informasi. Taswan dan Ragimun (2013) melakukan penelitian tentang
moral hazard pada industri perbankan di Indonesia. Hasil penelitian ini
14
menunjukkan bahwa pada kondisi bank tidak sehat, terdapat kecenderungan akan
memperkuat insentif untuk melakukan moral hazard. Selanjutnya Taswan (2011)
melakukan penelitian tentang asimetris informasi pada lembaga perbankan. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa asimetris informasi sangat potensial terjadi pada
bisnis perkreditan, asimetris informasi yang tinggi mengakibatkan konflik
keagenan antara prinsipal dengan agen. Penelitian diatas masing-masing
membahas tentang konflik agensi pada perbankan dan dikatakan bahwa pada
bisnis perbankan berpotensi terjadinya moral hazard dan asimetris informasi.
Florackis (2004) melakukan penelitian tentang biaya keagenan dan
penerapan good corporate governance pada perusahaan-perusahan di Inggris.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa perusahaan yang tingkat pertumbuhannya
tinggi mengindikasikan biaya agensi yang tinggi dibandingkan perusahaan yang
tingkat pertumbuhannya rendah. Penelitian oleh Sutrisno (2014), Taswan dan
Ragimun (2013), Taswan (2011), dan Florackis (2004) membahas tentang konflik
agensi dengan mengidentifikasi risiko kredit, selain itu juga membahas mengenai
biaya agensi. Namun masing-masing penelitian ini memiliki keterbatasan pada
metodenya yang hanya menggunakan analisis deskriptif.
Selanjutnya Liyudza (2004) melakukan penelitian mengenai hubungan
antara biaya agensi dan asimetris informasi. Penelitian ini menggunakan proksi
rasio beban operasi dan rasio penggunaan aset sebagai proksi dari biaya agensi.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa rasio beban berhubungan positif dengan
asimetris informasi, akan tetapi hubungan ini tidak signifikan, sedangkan
PERUSAHAAN DAN TANPA ANAK PERUSAHAAN LEASING
NOVIA NOUR HALISA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Biaya Keagenan
pada Bank dengan Anak Perusahaan dan tanpa Anak Perusahaan Leasing adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Novia Nour Halisa
NIM H251140311
RINGKASAN
NOVIA NOUR HALISA. Analisis Biaya Keagenan pada Bank dengan Anak
Perusahaan dan tanpa Anak Perusahaan Leasing. Dibimbing oleh BUDI
PURWANTO dan TUBAGUS NUR AHMAD MAULANA.
Hubungan antara deposan dan bank dapat dijelaskan dengan perspektif
keagenan. Masalah keagenan dapat terjadi ketika bank sebagai penghimpun dana
deposan memilih investasi yang tidak hati-hati dan berisiko, baik itu keputusan
dalam menyalurkan kredit secara langsung ke debitur ataupun memilih
menyalurkan dana ke anak perusahaannya seperti leasing. Adanya masalah
keagenan menimbulkan biaya keagenan atau biaya agensi. Penelitian ini bertujuan
untuk: (1) menganalisis biaya agensi pada dua tipe perbankan yaitu tipe bank dan
tipe bank yang memiliki leasing; dan (2) menganalisis hubungan antara proporsi
kredit leasing terhadap biaya agensi, risiko kredit dan profitabilitas.
Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan data sekunder berupa laporan
keuangan 6 bank dan 3 perusahaan leasing tahun 2010 sampai 2014. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposive sampling berdasarkan kriteria perbankan yang
memiliki jumlah penyaluran kredit setara dengan ukuran aset setara dan tingkat
likuiditas yang tinggi. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif statistika, analisis uji beda dua grup, dan analisis Structural Equation
Modeling-Partial Least Square (SEM-PLS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya agensi pada dua tipe perbankan
yaitu tipe bank dan tipe bank yang memiliki anak perusahaan leasing adalah tidak
berbeda nyata. Selanjutnya proporsi kredit leasing memiliki pengaruh signifikan
terhadap biaya agensi, proporsi kredit leasing memiliki pengaruh tidak signifikan
terhadap risiko kredit, proporsi kredit leasing memiliki pengaruh tidak signifikan
terhadap profitabilitas. Biaya agensi memiliki pengaruh tidak signifikan terhadap
risiko kredit maupun profitabilitas. Sedangkan risiko kredit memiliki pengaruh
signifikan terhadap profitabilitas. Bank maupun bank yang mempunyai leasing
menghasilkan biaya agensi yang relatif sama dan cenderung kecil, yang berarti
keputusan 6 perbankan untuk menyalurkan dananya baik penyaluran kredit
langsung maupun dengan perantara leasing sebenarnya bukan keputusan yang
berisiko tinggi asalkan dengan proporsi kredit leasing yang tepat. Apabila pihak
manajemen bank ingin meningkatkan volume penyaluran kredit pada leasingnya,
maka keputusan tersebut bisa dikatakan berisiko tinggi. Selanjutnya bank maupun
perusahaan leasing yang menyalurkan kredit tentunya harus selektif dalam
memilih calon nasabah, hal ini dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kredit
bermasalah. Semakin besar tingkat NPL atau jumlah kredit bermasalah
menunjukkan bahwa bank tersebut tidak profesional dalam pengelolaan kreditnya.
Apabila bank mampu menekan rasio NPL dibawah 5% sesuai peraturan Bank
Indonesia, maka potensi keuntungan yang akan diperoleh bank akan semakin
besar, karena bank-bank akan semakin menghemat uang yang diperlukan untuk
membentuk cadangan kerugian kredit bermasalah.
Kata kunci: masalah keagenan, biaya agensi, profitabilitas, risiko kredit, partial
least square.
SUMMARY
NOVIA NOUR HALISA. Analysis of Agency Cost on Banks with Subsidiaries
and without Subsidiary Leasing. Supervised by BUDI PURWANTO and
TUBAGUS NUR AHMAD MAULANA.
Relationship between the depositor and the bank can be explained by the
agency perspective. Problems occur when banks as the collector of funds
depositors choosing investments that are not careful and at risk, whether it's a
decision to extend credit directly to the debitor or to choose distributing the funds
to subsidiaries such as leasing. Agency problems influence to agency costs. This
study aimed to: (1) analyze the agency costs in the two types of banking, which
bank with subsidiaries and without subsidiary leasing; and (2) analyze the
relationship between the proportion of credit leasing to agency costs, credit risk
and profitability.
This study began by collecting secondary data from the financial statements
of six banks and three leasing from 2010 to 2014. The sampling technique used
purposive sampling based on criteria of banks that have a number of similar loans
with similar asset size and high level of liquidity. Data analysis method used
descriptive statistical analysis, analysis of two different test groups, and analysis
of Structural Equation Modeling-Partial Least Square (SEM-PLS).
The results showed that the agency costs on two types of banking such as
bank with subsidiaries and without subsidiary leasing are not significantly
different. Furthermore, the proportion of credit leasing did affect on agency costs
significantly, the proportion of credit leasing did not affect on credit risk
significantly, the proportion of credit leasing did not affect on profitability
significantly. Agency costs did not affect on credit risk and profitability
significantly, while credit risk did affect on profitability significantly. Bank with
subsidiaries and without subsidiary leasing were generated agency costs which are
relatively similar and tend to be small, that means the decision of 6 banks to
channel lending funds either directly or by intermediary leasing is actually not a
risky decision as long as the leasing loans in a proper proportion. If the bank
management wants to increase the volume of lending in leasing, then the decision
can be said to be a high risk. Furthermore, banks and leasing companies that
extend credit must be selective in choosing prospective customers to minimize the
credit crunch. The greater the level of NPL or the amount of nonperforming loans
indicates that banks are not professionals in the management of credit. If the bank
is able to suppress the NPL ratio below 5% in accordance with Bank Indonesia’s
regulations, the potential benefits to be obtained by the bank will be even greater,
because the banks will increasingly saving the money needed to establish the loss
reserves of NPL.
Keywords: agency problem, agency cost, profitability, credit risk, partial least
square.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS BIAYA KEAGENAN PADA BANK DENGAN ANAK
PERUSAHAAN DAN TANPA ANAK PERUSAHAAN LEASING
NOVIA NOUR HALISA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Jono M Munandar, MSc
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah analisis keagenan, dengan judul Analisis Biaya
Keagenan pada Bank dengan Anak Perusahaan dan tanpa Anak Perusahaan
Leasing. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan, sejak Januari 2016 sampai
Januari 2017 dengan sampel penelitian 6 perbankan konvensional yaitu bank
Mandiri, BRI, BNI, BCA, Danamon, CIMB dan tiga perusahaan leasing yaitu
Mandiri Tunas Finance, BCA Finance, dan Adira Finance.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Budi Purwanto, ME dan
Bapak Ir Tb Nur Ahmad Maulana, MBA, MSc, PhD selaku pembimbing yang
telah memberikan pengarahan dan masukan untuk menyelesaikan karya ilmiah
ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Jono M Munandar,
MSc selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis atas masukan yang sangat
bermanfaat untuk karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, seluruh keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2017
Novia Nour Halisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
4
4
5
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lembaga Keuangan
Kredit
Dimensi Risiko Kredit
Teori Keagenan
Analisis Profitabilitas
Penelitian Terdahulu
5
5
8
10
11
13
13
3 METODE
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Sampel
Prosedur Analisis Data
14
14
16
16
16
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyaluran Kredit Bank dan Leasing
Analisis Rasio Keuangan Bank dan Leasing
Hasil Analisis Structural Equation Modeling-PLS
Implikasi Manajerial
20
20
22
29
34
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
35
35
35
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
46
DAFTAR TABEL
1 Rata-rata penyaluran kredit, NPL, dan ROA pada 6 perbankan periode
tahun 2010-2014
2 Rata-rata penyaluran kredit, NPL, dan ROA pada 3 leasing (anak
perusahaan dari 3 bank) periode tahun 2010-2014
3 Penyaluran kredit pada 6 perbankan periode tahun 2010-2014
4 Penyaluran kredit pada 3 leasing (anak perusahaan dari 3 bank) periode
tahun 2010-2014
5 Hasil Uji-T Independent samples berdasarkan penyaluran kredit
6 NPL pada 6 perbankan periode tahun 2010-2014
7 ROA dan NIM pada 6 perbankan periode tahun 2010-2014
8 EXPR dan AUR pada 6 perbankan periode tahun 2010-2014
9 NPL pada Mandiri Tunas Finance, BCA Finance, dan Adira Finance
periode tahun 2010-2014
10 ROA dan NIM pada Mandiri Tunas Finance, BCA Finance, dan Adira
Finance periode tahun 2010-2014
11 EXPR dan AUR pada Mandiri Tunas Finance, BCA Finance, dan Adira
Finance periode tahun 2010-2014
12 NPL, ROA, NIM, EXPR, dan AUR grup bank Mandiri, BCA, dan
Danamon
13 NPL, ROA, NIM, EXPR, dan AUR grup bank BRI, BNI, dan CIMB
14 NPL, ROA, NIM, EXPR, dan AUR grup Mandiri Tunas Finance, BCA
Finance, dan Adira Finance
15 NPL, ROA, NIM, EXPR, dan AUR grup bank Mandiri, BCA,
Danamon beserta leasing
16 Hasil Uji-T Independent samples berdasarkan rasio keuangan
17 Hasil penilaian keseluruhan kriteria dan standar pada outer model
18 Hasil penilaian keseluruhan kriteria dan standar pada inner model
19 Hasil pengujian bootstrapping inner model
3
3
21
21
22
22
23
24
25
25
26
27
27
27
28
28
31
31
32
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Kerangka risiko kredit
Kerangka pemikiran
Model penelitian
Model akhir penelitian
11
15
16
30
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
Model penelitian dengan indikator lengkap
Hasil Metode Bootstrapping
Hasil pengolahan data SPSS
Hasil pengolahan data SmartPLS
Peringkat bank kelompok buku
40
41
42
43
44
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beberapa bank komersial yang besar tertarik dalam pembiayaan leasing,
baik secara langsung ataupun melalui perusahaan lain. Para stakeholders
menggunakan bank miliknya sebagai pengumpul dana masyarakat, setelah
terkumpul uang tersebut digunakan sebagai kredit untuk membesarkan perusahaan
mereka yang lain. Hal ini dapat dilihat adanya beberapa bank yang juga yang
mendirikan perusahaan pembiayaan seperti leasing. Pada bank-bank yang
mempunyai leasing aliran dana dari pihak yang menginvestasikan dana (deposan)
disalurkan dalam bentuk kredit bank dan sebagian diinvestasikan ke perusahaan
leasingnya untuk selanjutnya disalurkan menjadi kredit leasing. Tujuan bank
untuk mempermudah masyarakat atau nasabah mendapatkan bantuan dari bank
sehingga fungsi bank sebagai penyalur dana terlaksana dengan baik, karena syarat
yang diajukan leasing lebih mudah. Menurut Anwari (1994), salah satu pihak
yang terlibat dalam leasing adalah bank/kreditur. Pihak bank memegang peranan
dalam hal penyediaan dana kepada lessor, meskipun dalam suatu perjanjian
leasing pihak bank atau kreditur tidak terlibat secara langsung.
Penyaluran kredit leasing berjalan lancar maka keputusan bank tepat dalam
memilih investasi tersebut, namun penyaluran kredit pada leasing sering diluar
pengawasan bank sehingga memungkinkan terjadi hal-hal yang tidak
menguntungkan. Ketika terjadi hal yang tidak menguntungkan ini berarti bank
telah memilih investasi yang berisiko atau keputusan bank ini dikatakan tidak
hati-hati. Selanjutnya pada bank yang tidak memiliki anak perusahaan leasing,
maka bank menyalurkan kredit langsung ke nasabahnya. Putra dan Purnawati
(2011) menjelaskan bahwa kredit bank lebih menguntungkan dibandingkan kredit
leasing. Hal ini dikarenakan pembayaran angsuran bank lebih rendah sehingga
meminimalkan risiko kredit macet yang terjadi. Sedangkan menurut Irwan (2012)
pembiayaan leasing lebih menguntungkan dibandingkan dengan pembiayaan
kredit bank dalam hal penghematan pajak. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan
Indonesia (APPI) menjelaskan bahwa ada beberapa perusahaan leasing besar yang
cenderung hati-hati dalam memilih nasabah, sehingga kemungkinan kredit
bermasalah kecil.
Perbankan pada dasarnya harus mengambil keputusan yang tepat, karena hal
ini berkaitan dengan amanat deposan. Deposan menyimpan dana di bank untuk
mendapatkan tingkat pengembalian dimasa mendatang, hal ini sesuai dengan
fungsi bank yaitu suatu badan yang kegiatannya dibidang keuangan yang
melakukan penghimpunan serta menyalurkan dana kepada masyarakat dalam
bentuk kredit.
Industri perbankan adalah industri yang unik bila dibandingkan dengan
industri lainnya. Industri perbankan tidak hanya berorientasi laba, namun industri
ini juga menjalankan peran pengawasan terhadap debitur. Di sisi lain industri ini
juga dimonitor oleh deposan. Pada umumnya deposan tidak memonitor secara
langsung penggunaan dana yang ditempatkan ke debitur, namun lembaga
perbankan yang memonitor debitur sebagai amanat deposan atau penyimpan dana
di bank. Pengawasan atau kontrol ini akan berjalan sebagaimana mestinya ketika
2
mereka memiliki kepentingan yang selaras, namun apabila tidak terjadi
keselarasan tujuan maka akan terjadi konflik kepentingan dan bahkan bank dapat
melakukan pengambilan risiko tinggi atas beban deposan. Di samping itu,
deposan selaku kreditur juga bisa mengalami kesulitan memonitor bank karena
tidak mendapat informasi yang fair dan berkualitas, sehingga menimbulkan
masalah adverse selection. Hubungan antara deposan dan bank dapat dijelaskan
dengan perspektif keagenan. Konsep teori keagenan menurut Jensen dan
Meckling (1976) adalah hubungan atau kontak antara pemilik sumber daya
ekonomis (prinsipal) dan agen yang menggunakan sumber daya tersebut. Aplikasi
teori agensi dapat terwujud dalam kontrak yang akan mengatur proporsi hak dan
kewajiban antara deposan (prinsipal) dan bank (agen) dengan tetap
memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan baik yang berupa keuntungan,
return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Teori
keagenan berakar dari hubungan beberapa teori yaitu teori ekonomi, teori
keputusan, teori sosiologi, dan teori organisasi.
Caprio dan Levine (2007) mengatakan bahwa sektor usaha perbankan ini
berpotensi menimbulkan masalah keagenan. Bank yang seharusnya menjalankan
amanah pemilik dana (deposan) untuk menggunakan dana tersebut secara hatihati, namun
tidak sedikit manajemen bank cenderung meningkatkan
kesejahteraan mereka sendiri dan bertindak atas kepentingan sendiri yaitu dengan
pengambilan keputusan yang tidak hati-hati, baik itu keputusan dalam
menyalurkan kredit secara langsung ke debitur ataupun memilih menyalurkan
dana ke anak perusahaannya.
Menurut Taswan (2011), bisnis perkreditan termasuk bisnis yang
menjanjikan karena dengan menempatkan kredit (menyalurkan dana) maka akan
menerima kembali angsuran pokok dan bunga sehingga sangat membantu
pengelolaan likuiditas perusahaan, selanjutnya aktivitas perkreditan yang tepat
juga bisa meningkatkan rentabilitas suatu perusahaan.
Keputusan manajemen bank dalam memilih investasi kredit semata-mata
karena menginginkan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya (Taswan 2010).
Dalam hal ini deposan tidak mengetahui apakah keputusan yang diambil pihak
bank sesuai dengan informasi yang telah diperolehnya sehingga mengindikasikan
adanya konflik agensi. Selanjutnya dalam mengurangi masalah keagenan, untuk
itu prinsipal atau agen mengeluarkan biaya yang disebut biaya keagenan atau
biaya agensi.
Secara empiris adanya hubungan antara penekan masalah keagenan yaitu
biaya agensi dengan kinerja perusahaan, bila mekanisme penekan masalah
keagenan efektif maka kinerja perusahaan akan lebih baik. Oleh karena itu dalam
berbagai penelitian, kinerja banyak digunakan untuk mengukur efektifitas
penekan masalah keagenan. Penggunaan proksi untuk mengukur meningkatnya
kinerja akibat dari berkurangnya masalah agensi sangat beragam. Demsetz dan
Lehn (1985) memakai Accounting Profits (AP), Return on Equity (ROE), Return
on Assets (ROA), Net Interest Margin (NIM) sebagai proksi kinerja. Disisi lain
adanya hubungan antara biaya agensi dan risiko kredit yaitu biaya agensi
ditimbulkan karena adanya konflik agensi yang mana manajemen telah
mengambil keputusan investasi yang berisiko. Sementara itu menurut Badriyah
(2011), biaya agensi tidak memiliki hubungan terhadap laba. Hal ini dikarenakan
adanya faktor oportunis sehingga manajemen memaksimumkan keuntungannya
3
bukan karena besar kecilnya biaya agensi. Selanjutnya penelitian Komariah et al.
(2012) menjelaskan bahwa biaya agensi tidak berpengaruh terhadap risiko
investasi.
Penggunaan utang atau dana masyarakat dapat menimbulkan masalah
keagenan pada saat manajemen bank memutuskan untuk melakukan investasi
yang berisiko tinggi. Suatu investasi dikatakan berisiko yaitu terjadinya masalah
dalam penyaluran kredit, seperti banyaknya kredit macet. Disisi lain utang juga
akan mendorong manajemen untuk menyerahkan arus kas bebas kepada prinsipal
dan selanjutnya digunakan untuk membayar kembali kewajiban atau untuk
reinvestasi (Jensen 2005). Penggunaan utang menjadi sebuah alat insentif bagi
manajemen untuk lebih berhati-hati guna mengindari ancaman kebangkrutan.
Keterkaitan antara volume penyaluran kredit terhadap profitabilitas dan
risiko kredit, dapat direpresentasikan pada beberapa bank di Indonesia. Tabel 1
dan Tabel 2 menunjukkan perbandingan volume penyaluran kredit, ROA dan NPL
oleh bank-bank di Indonesia maupun anak perusahaan leasingnya pada periode
2010-2014.
Tabel 1. Rata-Rata penyaluran kredit, NPL, dan ROA pada 6 perbankan periode
tahun 2010-2014
Nama Bank
Penyaluran Kredit
(triliun rupiah)
345
Mandiri
Bank Central Asia (BCA)
Non Performing Loan Return on Assets
( %)
(%)
1.88
3.56
254
0.51
3.72
93
2.62
3.05
Bank Rakyat Indonesia (BRI)
358
2.02
4.90
Bank Negara Indonesia (BNI)
197
2.97
3.04
Commerce International
133
Merchant Bankers (CIMB)
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan (2016)
2.77
2.59
Danamon
Tabel 2. Rata-rata penyaluran kredit, NPL, dan ROA pada 3 Leasing (anak
perusahaan dari 3 bank) periode tahun 2010-2014
Nama Leasing
Penyaluran Kredit
(triliun rupiah)
3.91
Non Performing
Loan ( %)
1.11
Return on Assets
(%)
3.16
BCA Finance
4.25
0.64
16.68
Adira Finance
19.02
1.35
9.50
Mandiri TunasFinance
Sumber : Mandiri Tunas Finance (2016), BCA Finance (2016), Adira Dinamika Multi Finance
(2016)
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata volume kredit masing-masing
bank selama periode 2010-2014 tinggi, penyaluran kredit dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Sedangkan rata-rata rasio NPL dan ROA masing-masing
bank selama periode lima tahun terlihat berfluktuatif. Bank (BRI, BNI, CIMB)
cenderung menghasilkan rasio NPL lebih besar dibandingkan bank-bank yang
mempunyai leasing (Mandiri dan BCA). Bank Mandiri, BCA, dan Danamon
memiliki nilai rata-rata NPL sebesar 1.67% dan rata-rata ROA sebesar 3.44%.
Sedangkan bank BRI, BNI, dan CIMB memiliki nilai rata-rata NPL sebesar
2.58% dan rata-rata ROA sebesar 3.51%. Selanjutnya pada Tabel 2 dapat dilihat
4
bahwa adanya penyaluran kredit oleh leasing itu sendiri menghasilkan rata-rata
NPL yang relatif rendah dengan rata-rata tingkat imbal hasil (ROA) yang sangat
besar. Adanya perbedaan rasio-rasio diatas maka mengindikasikan terdapatnya
perbedaan konflik agensi.
Bank dengan penyaluran kredit yang besar direpresentasikan dari bank
yang memiliki aset terbesar. Menurut Ranjan dan Dahl (2003), Bank dengan aset
yang besar memiliki kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih
besar apabila diikuti dengan hasil dari aktivitasnya. Semakin besar aktiva atau aset
yang dimiliki suatu bank maka semakin besar pula volume kredit yang dapat
disalurkan oleh bank tersebut. Tujuan penyaluran kredit akan tercapai apabila
pemberian kredit itu aman, terarah dan menghasilkan pendapatan.
Perumusan Masalah
Kegiatan penyaluran kredit memberikan tingkat keuntungan yang
menjanjikan. Dalam bahasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa bank cenderung
menghasilkan rasio NPL lebih besar dibandingkan bank-bank yang mempunyai
leasing. Selanjutnya untuk rasio ROA pada bank-bank yang mempunyai leasing
relatif konstan dibandingkan bank. Selanjutnya penyaluran kredit oleh leasing itu
sendiri menghasilkan NPL yang relatif kecil dengan tingkat imbal hasil (ROA)
yang besar.
Meskipun rasio NPL pada bank maupun leasing tersebut sudah
menunjukkan angka rata-rata di bawah 5% sesuai ketetapan BI (Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 Tentang Penetapan Status Dan Tindak Lanjut
Pengawasan Bank Umum Konvensional). Namun NPL tetap perlu diwaspadai
oleh bank. Permasalahan yang sering muncul yang mengakibatkan tingginya
tingkat kredit macet tersebut adalah ketidaksanggupan nasabah dalam memenuhi
persyaratan pembayaran. Adanya kredit macet tersebut dapat menurunkan
profitabilitas perusahaan. Keputusan bank yang tidak hati-hati dalam menyalurkan
dana melalui kredit kepada nasabah akan memicu risiko kredit yang dicerminkan
dalam peningkatan rasio NPL. Hal ini disebabkan karena deposan pada dasarnya
sulit memonitor bank terkait dana yang disimpannya sehingga memungkinkan
pihak bank bertindak atas kepentingan sendiri. Dengan demikian perlunya
delegasi pengawasan yang membantu fungsi monitoring dari pihak deposan, yang
mana akan menimbulkan biaya agensi.
Berdasarkan latar belakang dan penjabaran tersebut, maka masalah
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana biaya agensi pada dua tipe perbankan?
2. Bagaimana hubungan antara proporsi kredit leasing terhadap biaya agensi,
risiko kredit dan profitabilitas?
Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah seperti yang telah diuraikan, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis biaya agensi pada dua tipe perbankan
2. Menganalisis hubungan antara proporsi kredit leasing terhadap biaya agensi,
risiko kredit dan profitabilitas.
5
Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
Manfaat penelitian ini adalah:
Bagi bank dan perusahaan leasing, sebagai masukan, referensi, dan bahan
pertimbangan dalam upaya mengembangkan usaha kreditnya, yaitu dengan
adanya gambaran mengenai pengaruh proporsi kredit leasing terhadap biaya
agensi, risiko kredit dan profitabilitas.
Bagi masyarakat dan deposan, sebagai pengetahuan dalam memilih
perusahaan perbankan.
Bagi pembaca dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti
berikutnya yang ingin meneliti tentang konflik agensi pada industri
pembiayaan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terfokus pada analisis keagenan pada dua tipe perbankan yaitu
bank dan bank yang memiliki anak perusahaan leasing. Lalu akan dilihat
hubungan proporsi kredit leasing terhadap biaya agensi, risiko kredit dan
profitabilitas.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lembaga Keuangan
Secara umum, lembaga keuangan dapat dikelompokkan dalam dua bentuk
yaitu bank dan non bank. Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 1998
yang merupakan “Perubahan atas Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan”, lembaga keuangan bank terdiri atas bank umum dan bank
perkreditan rakyat. Bank umum dan bank perkreditan rakyat dapat memilih untuk
melaksanakan kegiatan usahanya atas dasar prinsip bank konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan lembaga keuangan non bank dapat berupa
lembaga pembiayaan (perusahaan leasing, perusahaan modal ventura, perusahaan
jasa anjak piutang, perusahaan pembiayaan konsumen, perusahaan perdagangan
surat berharga), asuransi, dana pensiun, pegadaian, pasar modal, dan lain-lain.
Peran Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank
Bank dan lembaga keuangan bukan bank mempunyai peran yang penting
dalam sistem keuangan, yaitu:
1. Pengalihan aset
Bank dan lembaga keuangan bukan bank akan memberikan pinjaman kepada
pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati. Sumber dana pinjaman tersebut diperoleh dari pemilik dana yaitu
unit surplus yang waktunya dapat diatur sesuai dengan keinginan pemilik dana.
Dalam hal ini bank dan lembaga keuangan bukan bank telah berperan sebagai
pengalih aset yang likuid dari unit surplus (lenders) kepada unit defisit
(borrowers).
6
2. Transaksi
Bank dan lembaga keuangan bukan bank memberikan berbagai kemudahan
kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang dan jasa. Dalam
ekonomi modern, transaksi barang dan jasa tidak pernah terlepas dari transaksi
keuangan. Transaksi keuangan selalu diperlukan baik secara langsung dalam
jual-beli barang jadi, maupun dalam transaksi jual beli bahan mentah dan
setengah jadi dalam proses produksi.
3. Likuiditas
Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk-bentuk
produk, yang masing-masing mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda-beda.
Untuk kepentingan dan likuiditas para pemilik dana dapat menempatkan
dananya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Dengan demikian,
lembaga keuangan memberikan fasilitas pengelolaan likuiditas kepada pihak
yang mengalami surplus likuiditas. Disisi lain, lembaga keuangan juga akan
dapat memberikan fasilitas tambahan kepada pihak-pihak yang mengalami
kekurangan likuiditas. Dengan kata lain, lembaga keuangan secara bersamaan
menyalurkan likuiditas kepada pihak yang memerlukan tambahan likuiditas,
dengan cara menyalurkan dana dari pihak yang mengalami kelebihan likuiditas.
4. Efisiensi
Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat menurunkan biaya transaksi
dengan jangkauan pelayanan. Peranan bank dan lembaga keuangan bukan bank
adalah menemukan peminjam dan pengguna modal tanpa mengubah
produknya. Disini mereka hanya memperlancar dan mempertemukan pihakpihak yang saling membutuhkan. Adanya informasi yang tidak simetris antara
peminjam dan investor menimbulkan masalah insentif (Budisantoso dan
Triandaru 2006).
Lembaga Keuangan Sebagai Intermediasi dan Pengawasan
Fungsi lembaga keuangan adalah sebagai perantara keuangan yang
menghubungkan unit surplus (yang mengalami kelebihan likuiditas) dengan unit
defisit (yang mengalami kekurangan likuiditas). Hal ini berarti lembaga keuangan
memungkinkan adanya aliran dana dari pemberi pinjaman atau deposan atau unit
surplus kepada peminjam atau entrepreneur atau unit defisit. Posisi yang berbeda
antara pemberi pinjaman dan peminjam menyebabkan informasi yang dimiliki
masing-masing pihak juga tidak sama. Peminjam cenderung lebih memiliki
informasi tentang penggunaan pinjaman dan seluk beluknya, karena memang
dialah yang mengelola dana tersebut untuk tujuan investasi atau konsumsi tertentu.
Disisi lain, pihak pemberi pinjaman kurang memiliki informasi tentang kondisi
penggunaan dana oleh peminjam. Unit defisit lebih mengetahui secara rinci
penggunaan dananya, arus kas usahanya, besarnya laba atau rugi yang dihasilkan,
masalah keuangan yang muncul, dan juga termasuk penyimpangan penggunaan
dana bila memang terjadi. Secara teoritis, kondisi akses informasi yang tidak sama
ini disebut dengan kondisi asimetris informasi.
Asimetris informasi membuka peluang bagi pihak yang lebih banyak
memiliki informasi untuk tidak mengungkapkan informasi tersebut dengan baik.
Peluang untuk tidak mengungkapkan informasi ini menjadi menarik karena
tindakan tersebut dapat membawa konsekuensi moneter yang menguntungkan.
7
Secara umum, implikasi dari asimetris informasi berupa pilihan untuk
menyampaikan informasi tidak secara baik dalam rangka mendapatkan
keuntungan moneter disebut dengan moral hazard. Dengan demikian, secara
spesifik, moral hazard dalam hal ini berarti adalah risiko penyampaian informasi
yang tidak sesuai dengan kenyataan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman
dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat moneter. Moral hazard ini adalah
masalah riil yang terjadi dalam hubungan antara peminjam dan pemberi pinjaman.
Untuk menurunkan atau meminimumkan dampak negatif dari asimetris
informasi dan moral hazard ini berarti harus dilakukan tindakan-tindakan tertentu
agar pihak yang memiliki informasi lebih banyak tidak menyalahgunakan
keunggulan akses informasinya disebut dengan masalah insentif. Masalah insentif
inilah yang kemudian menjadi masalah yang harus dipecahkan dalam hubungan
peminjam dan pemberi pinjaman.
Solusi utama dari asimetris informasi adalah pengawasan oleh pihak
deposan. Namun demikian, keterbatasan posisi deposan dalam kaitannya dengan
keberadaan lembaga keuangan sebagai perantara keuangan. Pengawasan ini sulit
sekali dilakukan secara langsung oleh deposan. Solusi yang tepat adalah delegasi
pengawasan atau intermediasi oleh lembaga keuangan. Dengan adanya delegasi
pengawasan, diharapkan pengawasan dilakukan oleh lembaga atau pihak yang
memang memiliki kemampuan dan spesialisasi dalam bidang pengawasan, yaitu
lembaga keuangan. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah menyadari bahwa
delegasi pengawasan memerlukan biaya dan hal tersebut dilakukan atas suatu
tujuan tertentu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan suatu tingkat pengembalian
tertentu hasil penyaluran dana. (Budisantoso dan Triandaru 2006).
Bank
Menurut Undang‐Undang (UU) No. 10 Tahun 1998, bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Kasmir (2008) mengartikan bank secara sederhana sebagai lembaga
keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat serta memberikan jasa
bank lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat di jelaskan secara lebih luas bahwa
bank merupakan perusahaan atau lembaga yang bergerak dalam bidang keuangan,
artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dengan keuangan, sedangkan usaha
perbankan dapat meliputi tiga kegiatan utama, yaitu menghimpun dana dari
masyarakat yang berkelebihan dana, menyalurkan dana kepada masyarakat yang
membutuhkan, serta memberikan jasa di dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang
Leasing
Sewa guna usaha (leasing) secara umum adalah suatu badan yang
didalamnya meliputi perjanjian antara perusahaan leasing (lessor) dengan nasabah
(lessee) di mana pihak lessor menyediakan barang dengan hak pengunaan oleh
lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu (Kasmir
8
2011). Leasing merupakan suatu alternatif baru yang dapat digunakan oleh
perusahaan untuk mengatasi masalah kekurangan dana. Sumber pendanaan ini
memiliki beberapa kelebihan, salah satunya adalah prosedur yang ditawarkan
relatif mudah dan fleksibel, sehingga memudahkan perusahaan untuk memperoleh
barang modal. Perusahaan leasing dapat diselenggarakan oleh badan usaha yang
berdiri sendiri. Keterbatasan usaha leasing adalah tidak boleh melakukan kegiatan
yang dilakukan oleh bank seperti memberikan simpanan dan kredit dalam bentuk
utang. Adapun usaha leasing dapat dilakukan oleh : lembaga keuangan bank,
lembaga keuangan non bank, perusahaan nasional, dan perusahaan campuran.
Berikut pihak-pihak yang terlibat dalam leasing antara lain:
1. Lessor; merupakan perusahaan leasing atau pihak yang memberikan jasa
pembiayaan kepada pihak lessee dalam bentuk barang modal. Dalam finance
lease, lessor bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah
dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan mendapatkan
keuntungan. Dalam operating lease, lessor bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan dari penyedian barang dan pemberian jasa-jasa yang berkenaan
dengan pemeliharaan dan pengoperasian barang modal tersebut.
2. Lessee; adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam
bentuk barang modal dari lessor. Dalam finance lease, lessee bertujuan untuk
mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan dengan cara
pembayaran angsuran atau secara berkala. Pada akhir masa kontrak, lessee
memiliki hak opsi atas barang nya, yang berarti bahwa pihak lessee memiliki
hak untuk membeli barang yang di-lease dengan harga berdasarkan nilai sisa.
Dalam operating lease, lessee bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
peralatannya di samping tenaga operator dan perawatan alat tersebut tanpa
risiko terhadap kerusakan.
3. Supplier; yaitu perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan
barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran secara tunai oleh lessor.
Dalam finance lease, supplier langsung menyerahkan barang kepada lessee
tanpa melalui pihak lessor sebagai pihak yang memberikan pembiayaan.
Dalam operating lease, supplier menjual barangnya langsung kepada lessor
dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak baik secara
tunai maupun kredit yang nantinya akan dilunasi dengan angsuran.
4. Bank atau Kreditur; dalam suatu perjanjian kontrak leasing, pihak bank atau
kreditur tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut tetapi bank
memegang peranan dalam hal menyediakan dana kepada lessor. Dalam hal ini,
tidak menutup kemungkinan supplier menerima kredit dari Bank.
5. Asuransi; merupakan perusahaan yang akan menanggung risiko terhadap
perjanjian antara lessor dengan lessee.
Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani “credere” yang berarti kepercayaan,
oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Seseorang atau semua badan
yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) di
masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan itu
dapat berupa barang, uang atau jasa (Suyatno et al. 2003).
9
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 1998 yang merupakan
perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,
yang dimaksud dengan kredit adalah sebagai berikut :
“penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga” (Budisantoso dan Triandaru 2006).
Dari beberapa pengertian tentang kredit yang telah dikemukakan, maka
dapat disimpulkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan antara pihak bank dengan
pihak peminjam dengan suatu janji bahwa pembayarannya akan dilunasi oleh
pihak peminjam sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati beserta
besarnya bunga yang telah ditetapkan. Tujuan kredit dari perusahaan adalah untuk
meningkatkan volume usaha dan hasil usaha yang akan menjamin kelangsungan
hidup perusahaan. Berdasarkan tujuan tersebut maka dapat diharapkan terjadi
peningkatan kegiatan usaha dalam suatu perekonomian.
Unsur-Unsur Kredit
Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga kredit merupakan pemberian
kepercayaan. Berdasarkan hal tersebut, maka unsur-unsur yang terkandung dalam
pemberian fasilitas kredit menurut Martono (2002) adalah sebagai berikut:
1. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan pemberi kredit (bank) bahwa kredit
yang diberikan berupa uang atau jasa akan benar-benar diterima kembali di
masa tertentu di masa mendatang.
2. Kesepakatan
Kesepakatan dituangkan dalam suatu perjanjian di mana masing-masing pihak
menandatangani hak dan kewajiban masing-masing.
3. Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan pasti memiliki jangka waktu tertentu yang
mencakup masa pengembalian kredit yang disepakati.
4. Risiko
Faktor risiko dapat disebabkan oleh dua hal:
a. Faktor kerugian yang diakibatkan adanya unsur kesengajaan nasabah untuk
tidak membayar kreditnya padahal mampu.
b. Faktor kerugian yang ditimbulkan oleh unsur ketidaksengajaan nasabah
sehingga mereka tidak mampu membayar kreditnya, misalnya akibat terjadi
musibah bencana alam.
Prinsip-Prinsip Perkreditan
Prinsip perkreditan disebut juga sebagai konsep 6C (Martono 2002). Pada
dasarnya konsep 6C ini akan dapat memberikan informasi mengenai tekad baik
dan kemampuan membayar nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta
bunganya. Prinsip 6C tersebut antara lain adalah :
10
1. Character
Penilaian character ini dapat mengetahui sejauh mana tingkat kejujuran dan
tekad baik calon debitur yaitu kemauan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
dari calon debitur.
2. Capacity
Penilaian capacity untuk melihat kemampuan dalam melunasi kewajibannya
dari kegiatan usaha yang dilakukan atau kegiatan usaha yang akan dilakukan
yang dibiayai dengan kredit dari bank.
3. Capital
Penilaian terhadap prinsip capital tidak hanya melihat besar kecilnya modal
yang dimiliki oleh calon debitur tetapi juga bagaimana distribusi modal itu
ditempatkan.
4. Collateral
Collateral diartikan sebagai jaminan fisik harta benda yang bernilai uang dan
mempunyai harga stabil dan mudah dijual. Jika peminjam terkena kecelakaan
atau hal-hal lain yang mengakibatkan peminjam tidak mampu membayar
hutangnya, maka tindakan akhir yang dilakukan oleh bank adalah
melaksanakan haknya atas collateral yang diikat secara yuridis untuk
menjamin hutangnya.
5. Condition of Economy
Pada prinsip condition (kondisi), dinilai situasi dan kondisi politik, sosial,
ekonomi, dan kondisi pada sektor usaha calon debitur.
6. Constraint
Constraint untuk menilai budaya atau kebiasaan yang tidak memungkinkan
seseorang melakukan bisnis di suatu tempat. Masalah constraint ini agak sukar
dirumuskan karena tidak ada peraturan tertulis mengenai hal tersebut, dan juga
tidak dapat selalu didefinisikan secara fisik permasalahannya.
Dimensi Risiko Kredit
Risiko kredit adalah risiko kerugian karena debitur tidak melunasi kembali
pokok pinjaman (plus bunga) sesuai kesepakatan yang telah dibuat. Saunders dan
Allen (2002) menyatakan bahwa risiko kredit adalah risiko tidak tercapainya
proyeksi aliran kas dari pinjaman dan sekuritas yang dimiliki oleh lembaga
intermediasi perbankan.
Djohanputro (2006) mendefinisikan risiko kredit sebagai risiko dimana
debitur atau pembeli secara kredit tidak dapat membayar utang dan memenuhi
kewajiban seperti tertuang dalam kesepakatan atau turunnya mutu debitur atau
pembeli, sehingga persepsi mengenai kemungkinan gagal bayar semakin tinggi.
Kuantitas dan mutu risiko kredit tercermin dalam kerangka risiko kredit
pada Gambar 1. Penyebab gagal bayar pada risiko kredit adalah kebangkrutan dan
kesulitan keuangan yang dihadapi nasabah. Apabila nasabah berada pada ambang
batas kriteria kesehatan tidak dipenuhi, maka memiliki potensi gagal bayar dan
menurunkan peringkat nasabah. Penurunan peringkat nasabah disebabkan
penurunan kinerja nasabah. Kelemahan kontrak kredit menyebabkan pelanggaran
kontrak kredit dan berpotensi dalam meningkatkan risiko kredit.
11
Kebangkrutan nasabah
Gagal bayar
Kesulitan keuangan
nasabah
Potensi gagal bayar
Ambang batas kriteria
kesehatan tidak dipenuhi
Penurunan
peringkat nasabah
Penurunan kinerja
nasabah
Pelanggaran kontrak
Kelemahan kontrak
kredit
Potensi pelanggaran
kontrak
Risiko
Kredit
Gambar 1. Kerangka risiko kredit (Djohanputro 2006)
Pada saat kredit berjalan maka harus dilakukan pembinaan dan monitoring
atas kelancaran kredit tersebut. Bank Indonesia (BI) melalui Surat Keputusan
Direksi BI No.31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998, melakukan
penggolongan aktiva produktif (kredit dan surat berharga) berdasarkan tingkat
kolektibilitasnya. Kolektibilitas kredit adalah keadaan pembayaran pokok atau
angsuran pokok dan bunga kredit oleh debitur serta tingkat kemungkinan
diterimanya kembali kredit yang telah diberikan sesuai dengan ketepatan jangka
waktu yang diperjanjikan. Penilaian atau penggolongan kolektibilitas kredit
berdasarkan ketentuan BI terbagi dua kategori yaitu Performing Loan apabila
mempunyai kolektibilitas lancar dan dalam perhatian khusus atau kategori kredit
bermasalah (Non Performing Loan) apabila mempunyai kolektibilitas kurang
lancar, diragukan dan macet.
Teori Keagenan
Megginson et al. (2007) menjelaskan bahwa teori keagenan adalah 12 pilar
pembangun teori ekonomi modern. Teori ini membahas tentang masalah-masalah
keuangan yang timbul pada perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan
keagenan. Konsep teori keagenan menurut Anthony dan Govindarajan (2004)
adalah hubungan atau kontak antara prinsipal dan agen. Prinsipal mempekerjakan
agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian
otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen.
Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk
memahami hubungan antara manajer dan pemilik sumber daya ekonomis atau
pemegang saham. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan
keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agen) yang mengurus
penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut dengan pemegang saham
(prinsipal).
Dalam kaitannya dengan teori keagenan ini, Watts dan Zimmerman (1990)
mengajukan teori akuntansi positif yang meliputi tiga hipotesis yaitu hipotesis
rencana bonus, hipotesis perjanjian utang, dan hipotesis biaya politik, yang secara
implisit mengatakan bahwa prinsipal bukan hanya pemilik perusahaan, tetapi juga
bisa berupa pemegang saham, kreditur, deposan maupun pemerintah.
12
Aplikasi teori keagenan dapat terwujud dalam kontrak yang akan mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak merupakan
seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang
berupa keuntungan maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen.
Kontrak akan menjadi optimal apabila kontrak tersebut mampu menyeimbangkan
antara prinsipal dan agen.
Menurut Messier et al. (2006) adanya hubungan keagenan akan
menimbulkan dua permasalahan yaitu: (1) terjadinya informasi asimetris, kondisi
dimana ketidaksetaraan informasi atau pengetahuan yang dialami oleh pelakupelaku; dan (2) terjadinya konflik kepentingan akibat ketidaksamaan tujuan.
Selanjutnya Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga
asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri
(self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk
averse).
Keadaan asimetri informasi terjadi ketika adanya distribusi informasi yang
tidak sama antara prinsipal dan agen. Akibat adanya informasi yang tidak
seimbang (asimetri informasi) ini, dapat menimbulkan dua permasalahan yang
disebabkan karena adanya kesulitan prinsipal memonitor dan melakukan kontrol
terhadap tindakan-tindakan agen.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah:
1. Moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan
hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.
2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui
apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen didasarkan pada informasi yang
telah diperolehnya atau terjadi sebagai kelalaian dalam tugas.
Selanjutnya dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini
maka menimbulkan biaya keagenan. Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya
keagenan ini menjadi monitoring cost, bonding cost dan residual loss. Monitoring
cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor
perilaku agen, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agen.
Bonding cost merupakan biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan
mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk
kepentingan prinsipal. Selanjutnya residual loss merupakan pengorbanan yang
berupa berkurangnya kemakmuran prinsipal sebagai akibat dari perbedaan
keputusan agen dan keputusan prinsipal.
Masalah Keagenan dalam Dunia Perbankan
Teori Keagenan ini dapat digunakan untuk memahami hubungan antara
deposan (prinsipal) dan bank (agen). Pada dasarnya deposan berkepentingan
untuk mengendalikan bank agar menggunakan dana tersebut secara hati-hati
sehingga risiko kredit yang dihadapi semakin kecil dan mampu meningkatkan
kemakmuran bersama.
Sementara itu, Caprio dan Levine (2007) menegaskan bahwa bisnis
perbankan adalah sektor usaha yang sangat besar potensinya dalam masalah moral
hazard, karena adanya asimetri informasi dalam bisnis ini. Dalam hal terjadinya
asimetri informasi, prinsipal tidak dapat sepenuhnya memonitor tindakan-tindakan
13
agen. Prinsipal sangat sulit mengetahui kegiatan yang dilakukan agen dan
pekerjanya secara keseluruhan. Demikian juga dengan adanya asimetri informasi
yang tinggi, maka deposan tidak dapat memonitor bank secara cukup. Jika
tindakan agen tidak dapat diamati dengan baik, maka deposan atau prinsipal tak
dapat mendesain kontrak yang mendasarkan tindakan itu secara fair. Dalam
konteks ini pihak bank akan menggunakan hal tersebut untuk kepentingannya
pribadi atas beban deposan atau pihak lain.
Moral hazard ini dimanifestasikan dalam bentuk penempatan dana pada
proyek-proyek yang berisiko tinggi dengan mengabaikan kepentingan deposan.
Bank melakukan adverse selection, yang mengkhawatirkan deposan karena bila
proyek gagal, klaim deposan akan gagal terbayarkan. Sebaliknya bila penempatan
dana pada proyek tersebut berhasil maka pihak bank yang menikmati keuntungan
paling besar. Dalam hal ini dikarenakan ada transfer kekayaan dari deposan ke
bank. Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi dalam
perbankan yaitu:
1. Adverse selection, yaitu bahwa agen serta orang-orang dalam lainnya biasanya
mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan
dibandingkan deposan/pihak luar. Dan faktanya dapat mempengaruhi
keputusan yang akan diambil oleh bank tersebut tidak disampaikan
informasinya kepada deposan.
2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh bank tidak
seluruhnya diketahui oleh deposan. Sehingga pihak bank dapat melakukan
tindakan diluar pengetahuan deposan yang melanggar kontrak dan sebenarnya
secara etika atau norma tidak layak dilakukan.
Analisis Profitabilitas
Menurut Brigham, Copeland dan Weston (1992) dalam bukunya
“Managerial Finance” mengemukakan profitabilitas sebagai berikut: “Profitability
is the result of a large number of policies and decision”. Sartono (2001)
mendefinisikan profitabilitas sebagai kemampuan perusahaan memperoleh laba
dalam hubungan dengan penjualan, total aktiva produktif maupun modal sendiri.
Rasio profitabilitas ini akan memberikan gambaran tentang tingkat efektifitas
pengelolaan perusahaan. Semakin besar profitabilitas berarti semakin baik, karena
kemakmuran pemilik perusahaan meningkat dengan semakin besarnya
profitabilitas. Rasio profitabilitas terdiri atas Profit Margin, Basic Earning Power,
Net Interest Margin, Return on Assets, dan Return on Equity.
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai teori keagenan yang kaitannya dengan risiko dan
profitabilitas ini masih belum banyak dilakukan. Sutrisno (2014) melakukan
penelitian tentang masalah keagenan pada bank syariah dan UMKM yang mana
dengan menggunakan analisis deskriptif maka dihasilkan bahwa bank
mengidentifikasi tingginya risiko pembiayaan yang berpotensi besar terhadap
asimetris informasi. Taswan dan Ragimun (2013) melakukan penelitian tentang
moral hazard pada industri perbankan di Indonesia. Hasil penelitian ini
14
menunjukkan bahwa pada kondisi bank tidak sehat, terdapat kecenderungan akan
memperkuat insentif untuk melakukan moral hazard. Selanjutnya Taswan (2011)
melakukan penelitian tentang asimetris informasi pada lembaga perbankan. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa asimetris informasi sangat potensial terjadi pada
bisnis perkreditan, asimetris informasi yang tinggi mengakibatkan konflik
keagenan antara prinsipal dengan agen. Penelitian diatas masing-masing
membahas tentang konflik agensi pada perbankan dan dikatakan bahwa pada
bisnis perbankan berpotensi terjadinya moral hazard dan asimetris informasi.
Florackis (2004) melakukan penelitian tentang biaya keagenan dan
penerapan good corporate governance pada perusahaan-perusahan di Inggris.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa perusahaan yang tingkat pertumbuhannya
tinggi mengindikasikan biaya agensi yang tinggi dibandingkan perusahaan yang
tingkat pertumbuhannya rendah. Penelitian oleh Sutrisno (2014), Taswan dan
Ragimun (2013), Taswan (2011), dan Florackis (2004) membahas tentang konflik
agensi dengan mengidentifikasi risiko kredit, selain itu juga membahas mengenai
biaya agensi. Namun masing-masing penelitian ini memiliki keterbatasan pada
metodenya yang hanya menggunakan analisis deskriptif.
Selanjutnya Liyudza (2004) melakukan penelitian mengenai hubungan
antara biaya agensi dan asimetris informasi. Penelitian ini menggunakan proksi
rasio beban operasi dan rasio penggunaan aset sebagai proksi dari biaya agensi.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa rasio beban berhubungan positif dengan
asimetris informasi, akan tetapi hubungan ini tidak signifikan, sedangkan