Bab Enam Belas AGAMA DALAM DINAMIKA DOMINASI KELAS

Bab Enam Belas
AGAMA DALAM DINAMIKA DOMINASI KELAS
Dinamika konflik melekat dalam setiap kelas masyarakat, pada prinsipnya, tidak simetris:
Apa yang kita maksud dengan ini? Kami mengartikan, di tempat pertama, bahwa apa yang
menjadi ciri khas kelas masyarakat seperti ini justru kekuaasaan yang tidak seimbang bahwa
beberapa sektor pembagian kerja memegang atas (1) alat-alat produksi, (2) distribusi tenaga
kerja, dan (3) pembagian produk akhir.
Di tempat kedua, kita mengartikan bahwa hubungan pemberlakuan antara berbagai sektor
dari pembagian kerja yang mengangkat kelas sosial seperti hubungan konflik antara pasukan
yang tidak seimbang dalam perjuangan untuk kontrol masyarakat. Di satu sisi ada yang
mendominasi, berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan dominasi yang sudah ada di tempat
tersebut. Di sisi lain yang didominasi, menolak, dengan berbagai cara, bahwa dominasi dan
berjuang dalam beberapa cara untuk meningkatkan kekuatan mereka sendiri.
Tapi dominasi satu kelas sosial, atau blok kelas, lebih dari seluruh masyarakat bukan
sesuatu yang datang semalam saja. Ini adalah hubungan sosial yang relatif stabil yang timbul dari
proses transformasi panjang dari hubungan sosial sebelumnya.
Setiap kelas sosial, atau blok kelas, yang mana, untuk alasan apa pun, sedang dalam
proses menjadi dominan dalam suatu masyarakat, segera datang untuk menempatkan
(independen dari kesadaran dan akan) dalam strategi memperluas, memperdalam, dan
mengkonsolidasikan kekuatan yang sudah diperoleh.
Strategi ini ---- melekat dalam setiap kelas dalam perjalanan untuk menjadi dominan --akan mencakup tidak hanya kepentingan dalam melaksanakan pemaksaan, tetapi juga dalam

membujuk kelas yang didominasi untuk memberikan persetujuan mereka untuk didominasi.
Setiap kelas dalam perjalanan untuk menjadi dominan tentu saja membuat awalan hanya dengan
menggunakan materi kekuasaan apapun (ekonomi, politik, militer, dan sebagainya) itu sudah
mumingkinkan untuk membatasi kelompok tertentu untuk struktur diri secara sosial dengan
maksud untuk kepentingan kelas lain. Tapi pembatas kelas ini selanjutnya akan tertarik dalam
memperluas, memperdalam dan mengkonsolidasikan materi kekuatan pemaksaan.

Kekuasaan secara eksklusif berbasis pemaksaan akan berada konstan di bawah ancaman
pemberontakan (terutama dalam kasus perusahaan kolonial dan kediktatoran militer). Oleh
karena itu Karena setiap kelas yang mulai mendominasi akan memiliki kepentingan dalam
pencocokan kekuatan pemaksaan dengan kekuatan simbolik persuasi. Bahwa, itu akan menjadi
daya tarik untuk mengembangkan persetujuan umum untuk dominasinya.
Dalam terminologi Antonio Gramsci, setiap kelas mulai mendominasi secara objektif
tertarik dalam mencapai pembentukan hegemoninya. Atau, dalam Alain Touraine hal ini, setiap
kelas yang dominan tertarik untuk menjadi kelas yang mengarahkan --- salah satu yang dapat
memperoleh dukungan besar dari semua kelas dan kelompok-kelompok masyarakat untuk model
spesifik dari kontrol orientasi masyarakat.
Strategi dari setiap kelas dalam perjalanan untuk menjadi dominan mengarah untuk
mengembangkan kekuatan material (ekonomi, politik, militer, dan sebagainya), dan kekuasaan
simbolik: moral, pendidikan, sastra, seni --- dan agama.

Ketika kelas atau blok kelas pada caranya untuk menjadi dominan, hal itu menuju pada
peningkatan kekuatan/power yang lebih dilatih dan lebih kepada semua dimensi kehidupan
kolektif. Sasarannya adalah untuk mencapai definisi dari power, secara subjektif dan objektif,
secara material dan simbolis, orientasi utama dan batas dasar dari semua kegiatan dibawa keluar
dalam pertanyaan sosiologi. Untuk memperluas lagi, kelas dapat mengatur dalam mengendalikan
akses pada orientasi cara produksi, bagian terbesar distribusi pekerja buruh, dan dasar distribusi
produksi dari kegiatan ekonomi dalam masyarakat, hal itu akan mendirikan

kekuatan

materialnya, bagaimanapun untuk sementara waktu, pada masyarakat tersebut. Namun, pada hal
kelas dapat mendirikan kekuatan materialnya pada dominasi masyarakat, hal itu akan membuat
(1) kepentingan dalam mengkoordinasikan semua kegiatan dalam masyarakat, termasuk kegiatan
keagamaan, dengan pandangan untuk memperluas, memperdalam dan mengkonsolidasikannya
dalam dominasi itu sendiri. Dan akan membuat (2) cara material untuk waging a struggle
(memberikan upah kepada buruh?) untuk pencapaian kepentingan, dengan kesempatan yang baik
untuk sukses.
Sebagai hasilnya, keagamaan apapun dalam masyarakat dimana suatu kelas sosial, atau
blok kelas sosial, adalah pada caranya untuk menjadi dominan akan terlihat pada dirinya sendiri


--- secara progresif dan tidak bisa diacuhkan – tersubjek pada perangkat batas dan orientasi yang
dihasilkan oleh proses yang sangat dominan dan cenderung pada promosi tidak hanya dominasi
tetapi hegemoni yang dalam.
Jika percobaan seperti dominasi kelas atau blok kelas untuk menjadi pemerintahan kelas
akan berkepanjangan untuk beberapa generasi, hal itu akan memberikan dampak besar pada
fungsi agama apapun dalam masyarakat. Dinamika dominasi dapat menentukan dirinya sendiri
sejak tradisi keagamaan dari populasi dimana poin-poinnya (1) membinasakan atau menaklukan,
semua “elemen” keagamaan (kepercayaan, hak, norma perilaku, kelompok, pemimpin) yang
muncul pada hambatan dalam konstitusi atau kekuatan konsolidasi yang berbahaya. (2)
menyukai karya atau pembangunan semua elemen-elemen agama secara jelas memusatkan pada
konsolidasi kekuatan kelas dominan. Dan (3) merestruktur, lebih pada lapisan dengan dominasi
situasi baru, semua elemen agama bukan memperkenalkan hambatan langsung pada kekuatan
konsolidasi oleh kelas dominan.
Dalam konteks ini, kita harus menekankan bahwa bacaan dasar proklamasi dari
keagamaan apapun, sama seperti interpretasinya dan etik peribadatannya, doktrin dan
menurunkan definisi organisasional dari interpretasi, yang – selalu – diambil, berhasil, dan
diperbanyak dalam kerangka kerja dari masyarakat spesifik dan struktur tertentu hubungan
kekuasaan diantara kelompok yang membentuk masyarakat, ketika masyarakat dalam kelas
kemasyarakatan. Dinamika dari menjatuhkan dominasi batasannya dan orientasinya bahkan
sejak, bacaan, interpretasi dan turunan definisi resmi dari proklamasi dasar agama tersebut.

Proses ini sering diterjemahkan ke dalam universalisasi keagamaan dan kesakralan dari
struktur mental yang secara tepat ditemukan bukan didalam pesan dasar, juga dalam interpretasi
dari pesan yang dibawa oleh petugas agama dengan interpretasi, juga bahkan bukan dalam
audiens pada siapa interpretasinya dituju. Lebih kepada struktur mental yang terutama berasal
dalam kelas dominan dari masyarakat dimana proses ini terjadi.
Proses dari subjeksi bidang keagamaan pada dinamika dominasi kelas adalah hasil dari
kepentingan objektif kelas dominan dalam mencapai konsolidasi dari dominasi mereka dan
penegakan hegemoni mereka. Proses ini tidak tergantung pada kesadaran atau keinginan atau
maksud (intentions) dari agen sosial kelas dominan. Bukan juga subjeksi bidang agama pada

dinamika ini dari dominasi yang tergantung pada kesadaran apapun pada bagian orang yang
menguraikannya. Sebaliknya; usaha pada subjek bidang keagamaan pada dinamika dominasi
kelas akan lebih berhasil jika tidak ada kesadaran yang eksplisit dari proses bekerja yang mana
apa yang secara umum terjadi.
Bab Tujuh Belas
Agama Dalam Dinamika Perlawanan Kelas untuk Dominasi
Tidak ada masyarakat dari kelas dominasi murni. Dominasi dilaksanakan atas individuindividu dan kelompok-kelompok yang membuang hanya sedikit kekuasaan atas setiap sarana
produksi, lebih distribusi bahkan tenaga kerja mereka sendiri, dan atas pembagian produk akhir.
Tapi individu dan kelompok ini, meskipun umumnya tidak bersenjata, tidak pernah sama sekali
malas. Dihadapkan dengan dominasi, yang didominasi selalu, entah bagaimana, menawarkan

perlawanan.
Kelompok sosial tidak menjadi didominasi terlalu lama. Bahkan ketika melewati dari
situasi subordinasi tradisional untuk subordinasi jenis baru (sebagai contoh, ketika petani tak
bertanah menjadi petani penggarap) setiap kelompok sosial yang dominan datang untuk
menempati posisinya melalui proses. Seperti sebuah stagnasi. Jika proses menghasilkan
kelompok yang didominasi hanya akan karena kelompok ini tidak memiliki kekuatan, materi
atau simbolis, untuk menghentikan atau membalikkan proses.
Kelompok sosial dalam perjalanan untuk menjadi kelompok yang didominasi
mengadopsi strategi perlawanan terhadap dominasi independen dan akan kesadaran.
Untuk bagian mereka, kelas dominan, bahkan dalam tahap tampaknya paling stabil
konsolidasi hegemoni mereka, tidak pernah mencapai sebuah kontrol mutlak atas kehidupan
kolektif. Selalu ada resistensi tetap tertentu pada bagian dari didominasi bahkan jika hanya dalam
bentuk diam, kebingungan, non kooperasi, histeria, atau teror murni desktruktif.
Tentu saja, perlawanan dari didominasi sering mengambil bentuk pencarian untuk
kompensasi daripada pemborantakan dan kesadaran kolektif yang terorganisir, terutama pada
saat saat ketika rute mereka untuk pembebasan tampaknya diblokir. Tapi resistensi disini, dan
datang ke dalam konflik dengan strategi dominators.

Konflik memanifestasikan dirinya sebagai konflik hanya pada saat-saat tegang dalam
kehidupan kolektif, seperti saat krisis dan ada perubahan mendadak. Tapi dalam satu atau lain

cara perlawanan dari didominasi cenderung mengambil bentuk (dan ini justru apa yang membuat
mereka mendominasi) dalam batas dan orientasi yang dikenakan oleh kelas dominasi (yang tepat
apa yang membuat mereka dominan).
Pada saat yang sama, kelompok sosial yang didominasi atau dalam perjalanan ke
didominasi memaksakan keterbatasan tertentu dan orientasi pada kegiatan yang timbul dalam
keterbatasan lingkup sendiri dari orientasi yang lain, dan dalam kasus tertentu bahkan lawan
langsung, orang-orang dari kelas dominan. Sehingga kegiatan keagamaan yang dilakukan dalam
kelas didominasi namun dipengaruhi oleh keterbatasan dominan dan orientasi, akan sampai batas
tertentu ditembus, terbatas, dan terutama berorientasi dengan asal, lintasan, posisi, hubungannya,
dan strategi kelas dominasi itu sendiri.
Ada satu aspek dinamika konflik perlawanan terhadap dominasi pada bagian dari kelas
bawahan itu, dari sudut pandang sosiologi agama, adalah layak menjadi perhatian khusus. Itu
adalah kepentingan kelas didominasi dalam mencapai kemungkinan otonomi maksimum vis a
vis (gatau) kelas dominan. Otonomi tendential ini dinyatakan tidak hanya ditingkat produksi,
tetapi pada tingkat simbolik serta tingkat budaya. Kepentingan dihibur oleh setiap kelas
didominasi dalam mencapai otonomi yang maksimal dalam konflik langsung dengan
kepentingan setiap kelas mendominasi untuk membangun hegemoni.
Ketertarikan objektif kelas bawahan/ yang lebih rendah (kelas subordinat) dalam
mencapai otonomi maksimal, material dan simbolis, vis - á – vis1 mendominasi kelas termasuk
kecenderungan tertentu untuk mencapai otonomi keagamaan. Yang melibatkan kecenderungan

untuk membangun sistem pemikiran keagamaanan dan praktik-praktik yang mendukung
kepentingan obyektif kelas bawahan (kelas subordinat). Maka semua agen keagamaan - Apakah
organisasi, Menteri atau pengkhotbah - melakukan kegiatan keagamaan dalam kelas-kelas
bawahan (kelas subordiat) yang akan dikenakan pembatasan tertentu dan orientasi aktivitas
mereka oleh kepentingan yang didominasi untuk mencapai otonomi keagamaan.

1 Ini gatau artinya apaan??? mianheeeeee

Hasil dari proses akan sebagian tergantung pada hubungan yang objektif kekuasaan di
tangan yang didominasi sehubungan dengan mendominasi--yaitu berdasarkan tingkat relatif
kesadaran kelas, organisasi dan mobilisasi lawan kelas atau blok kelas. Ini juga akan tergantung
pada asal-usul, lintasan/jalan, dan strategi kelas yang didominasi. Hasil konkrit akan menjadi apa
saja dari penciptaan sederhana (didominasi) kecenderungan spesifik kelas bawahan dalam sistem
keagamaan yang dominan, tanpa guncangan atau pelanggaran di bidang keagamaan, untuk
konversi besar-besaran dari sektor bawahan atau sektor yang lebih rendah secara umum dari
sekte atau gerakan keagamaan otonom sebagian sehubungan dengan sistem keagamaan yang
dominan.
Dalam semua kasus kepentingan kelas bawahan dalam mencapai otonomi keagamaan
akan selalu memiliki dampak yang signifikan pada struktur dan dinamika di bidang keagamaan.
Apa pun alamialnya atau wajarnya dan tingkat dari pengaruh, konflik antara kepentingan

otonomi pada bagian yang didominasi lawan dan hegemoni pada yang mendominasi lawan akan
menerjemahkan ke dalam konflik laten atau terbuka di bidang kekeagamaanan antara para agen
keagamaan yang masing-masing mendukung kecenderungan ini. Dengan jalan yang wajar,
kesatuan tampak dinikmati oleh sistem keagamaan tertentu (Gereja monopoli, misalnya) di
masyarakat kelas akan terus-menerus di bawah ancaman konflik, perpecahan dan pergerakan
sektarian, resonansi dengan konflik antara yang mendominasi dan didominasi.
Kekuatan dampak dari masing-masing berbagai kelas yang didominasi berdasarkan
bidang keagamaan, serta tingkat transformasi yang ketertarikan masing-masing kelas di dalam
otonomi keagamaan dapat memancing bidang/ranah keagamaan, itu sesuatu yang akan secara
signifikan bervariasi di antara kelas yang didominasi, untuk contoh, dalam kasus kelas yang
lebih rendah ciri-ciri yang (asal-usul, lintasan proporsi demografis, posisi, sederetan kejadian,
strategi, dan sebagainya) menandai mereka sebagai revolusioner kelas - yaitu, kelas-kelas secara
objektif dan subjektif mampu menghasilkan gerakan sosial yang berorientasi terhadap suatu
transformasi radikal dari keteraturan sosial yang mapan.
Dengan kontrak, dampak dari kelas-kelas ini dan perubahan-perubahan yang dapat
mereka hasilkan di bidang keagamaan akan hanya dari signifikansi minimal dalam kasus-kasus
yang mana ciri-ciri mereka menandai semata-mata didominasi kelas - kelas secara objektif dan
subjektif tidak mampu mengembangkan sebagai kelas yang otonom (dengan kesadaran kelas,

organisasi, dan mobilisasi). Oleh karena itu mereka tidak mampu secara serius mengancam

kekuatan dari kelas dominan masyarakat mereka.
Untuk menyimpulkan, kami menempatkan hipotesis: ketahanan kelas terhadap dominasi
akan memaksakan orientasi itu sendiri dan pembatasan atas membaca, interpretasi, dan definisi
resmi dari pesan dasar berbagai agama apapun dalam kelas subordinat.
Bab Tiga Puluh Tiga
AGAMA DALAM STRATEGI DARI KELAS – KELAS SUBALTER2 MENUJU
OTONOMI
Agama tidak selalu melakukan fungsi konservatif murni terhadap hubungan dominasi
konflik sosial. Agama tidak selalu menjadi hambatan bagi otonomi kelas bawah, atau aliansi
mereka dalam melawan dominasi.
Banyak agama dalam sebagian besar kasus historis yang tercatat, tampaknya telah
memainkan peran dalam perjuangan kelas melawan dominasi internal atau eksternal. Ini adalah
potensi fungsi "evolusi" dari agama yang akan menjadi perhatian kita sepanjang sisa bagian
keempat dan terakhir dari buku ini.
Sebelum kita mengambil bahan ini, mari kita merumuskan hipotesis teoritis yang akan
mengatur pendekatan pertama kita. Kemudian kita akan lanjut ke pembangunan yang lebih
menekankan aspek dan implikasi dari hipotesis ini yaitu dengan kondisi sosial tertentu,
kemunculan situasi internal tertentu di bidang agama, praktik keagamaan tertentu, ajaran, dan
pelaksanaan lembaga dalam masyarakat kelas, serta peran yang menguntungkan bagi
pengembangan otonomi kelas bawah untuk penguatan aliansi mereka melawan dominasi.

Apakah agama benar-benar melakukan "revolusioner" peran, tergantung pada kesadaran
dan niat dari agen agama atas apa yang telah dilakukannya pada kondisi mikro dan makro sosial
serta tujuan sosial di mana agen tersebut beroperasi.
Hipotesis ini dapat sangat menarik untuk analisis konflik sosial keagamaan tertentu
dalam masyarakat (atau kelompok sosial) yang memiliki pandangan dominasi agama. Terdapat
2 sebagai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas
yang berkuasa

masyarakat dan kelompok-kelompok sosial yang memiliki bentuk penting, dan pada kesempatan
tertentu mereka mengorientasikan diri dan berakting di lingkungan sosial untuk memiliki
referensi kekuatan supranatural dan meta sosial (?). Ketika kelompok dan masyarakat tersebut
tunduk kepada hubungan dominasi –ketika mereka menemukan diri mereka berada di posisi
bawah– mereka cenderung seperti kelompok sosial lainnya; mengembangkan strategi otonomi
sehubungan dengan dominasi tersebut dan menyerang aliansi yang menentangnya. Artinya,
mereka cenderung untuk mengembangkan strategi otonom. Pengembangan dan terungkapnya
strategi ini di masyarakat dan kelompok-kelompok yang memiliki pandangan dominasi agama
tertentu, ditentukan oleh kondisi agama di mana strategi ini terbentang dan menyebar dengan
sendirinya.
Di sini kemampuan kelas subordinat untuk mengubah kondisi dari keberadaannya untuk
menempatkan hambatan-hambatan di dalam cara strategi hegemoni yang dilakukan oleh

dominator, dan untuk tumbuh di kekuatan dalam rangka mengatur oposisi untuk mendominasi
blok sosial, tergantung pada kemampuannya untuk mengembangkan pandangan yang akan
menjadi independen dan berbeda dari kelas dominan. Transformasi pandangan kelas subordinat
menjadi salah satu yang otonom dan berbeda dari kelas dominan adalah syarat mutlak untuk
menciptakan tujuan kemungkinan dalam mengubah kondisi materi dari keberadaan diri mereka
sendiri, sehingga mereka berhenti untuk menjadi kelas subordinat.
Dengan demikian, untuk kelompok sosial subordinat dengan pandangan yang sangat
dipengaruhi oleh agama, kemampuan untuk mengubah kondisi sosial subordinat mereka
tergantung pada kemampuan mereka untuk membangun sebuah pandangan agama yang
independen, berbeda, dan berlawanan dengan pandangan dominan dalam masyarakat mereka.
Jika agama bekerja di mana kelas subordinat berada pada posisi keduanya yakni sebagai
subjek dan objek dalam sebuah masyarakat tertentu menghasilkan (mampu berkomunikasi dan
berbagi) pandangan agama yang mampu menyituasikan dan mengorientasikan kelas subordinat
ini di lingkungan sosial alami mereka dengan cara menjadi otonom dan berbeda dengan kelas
dominan, kemudian produksi keagamaan akan cenderung untuk melakukan sebuah fungsi
revolusioner.

Tingkat otonomi dari kelas subordinat dapat dianalisis pada tiga tingkat, yang berbeda
dan menjadi pelengkap, yang dapat dikembangkan oleh fase (dan yang dapat gagal untuk
membangun semuanya, atau stagnan, atau membalikkan arah pengembangan mereka). Tiga
tingkatannya adalah (1) tingkat kesadaran kelas yang diberikan kelas subordinat (2) derajat dari
kelas organisasi, dan (3) derajat dari kelas mobilisasi.
Kemungkinan dari keuntungan keagamaan mempengaruhi strategi otonomi dari kelas
subordinat adalah suatu hal yang tidak mungkin, terlepas dari apa yang mungkin akan mncul dari
apa yang kita katakan, penurunan pada tingkat pandangan. Agama memiliki potensi
mempengaruhi di salah satu atau lebih dari tiga tingkat di mana gelar otonomi dari kelas
subordinat dapat dianalisis.
1.) Kesadaran Kelas
Kita mendefinisikan kesadaran kelas, dalam kelas subordinat, sebagai persepsi kelompok
yang terdominasi terhadap dirinya sebagai kelompok terdominasi yang berbeda dengan
kelompok yang mendominasi.
Ketika kesadaran kelas terbangun, terjadi juga dalam jangka pembangunan yang spesifik,
sebagai sebuah momen proses kolektif. Dalam kelas subordinat, tingkatan minimal dari
kesadaran kelas adalah kesadaran yang harus dipatuhi belaka dan perbedaan mereka dengan
kelas dominan, tanpa sentimen oposisi apapun atau melebihi posisi subordinat mereka.
“beberapa kaya, beberapa miskin, dan itu memang jalannya”. Tingkatan minimal, sebaliknya,
kesadaran eksplisit (tegas) dari oposisi kolektif untuk kelas dominan. Penolakan dalam dominasi
mereka, dan dari hasrat, kemungkinan, dan keputusan kolektif untuk mengatasi posisi subordinat
ini.
Agama, dalam kondisi tertentu, dapat berguna sebagai medium aktif kelas dalam sebuah
bagian kelas subordinat dari satu derajat kesadaran kelas ke tingkat yang lebih tinggi – karena
sebagai terusan kelas subordinat dalam mengembangkan kesadaran otonomi. Hal ini khususnya
dapat terjadi ketika sistem keagamaan di kelas subordinat membuat dengan jelas bagaimana
hubungan dominasi, menghilangkan kelas dominan dan berjuang melawan dominasi sebagai
inspirasi perjuangan oleh supernatural dan kekuatan metasosial.

2. organisasi kelas
Karena organisasi kelas, kita mengerti bahwa kasus kelas subordinat, keberlangsungan
kehadiran dan pengulangan mengenai pemanfaatan kolektif ruang dan waktu secara khusus
umum bagi mereka yang berada dalam dominasi kelas sosial.
Ketika organisasi kelas mengambil peran, begitu juga dengan tingkat tertentu lainnya, hal
ini adalah tahap dari proses sosial. Pada tingkat terendah organisasi kelas subordinat terjadi
peristiwa berkala dari kelompok dominan dalam ruang dan waktu berbeda dari mereka sebagai
kelas mendominasi mengadakan rapat- misalnya untuk perayaan populer. Pada tingkat tertinggi,
dengan kontras, dari kelompok asosiasi secara jelas berorientasi pada perjuangan melawan
dominasi.
Dalam situasi tertentu agama dapat berfungsi sebagai saluran organisasi otonom dari
kelas subordinat. Ini semua lebih mungkin apabila ada satu sistem keagamaan umum/dimiliki
bersama oleh kelas subordinat dan berbeda dan menntang sistem keagaaamn atai sistem-sistem
kelas dominan.
3. mobilisasi kelas
Maksud kelas mobilisasi adalah memperhatikan kelas-kelas subordinat, tindakan kolektif
tentang konfrontasi dengan kekuatan dari kelas dominan.
Mobilisasi kelas juga ketika mengambil peran dalam tingkat tertentu – dan sebagai
ekspresi (karena, dalam kasus ini, lebih dari moment belaka) – dari proses sosial. Nilai terendah
dari mobilisasi kelas terdiri dari aksi spontan dan tindakan terputus-putus dari aksi protes., hanya
aksi lokal yang mengekspresikan permintaan dari kelompok terisolasi. Tingkat tertinggi terdiri
dari sistematik dan kelangsungan aksi secara bertahap mempercepat serangan terhadap dominasi.
Aksi ini termasuk aksi politik, cenderung memperluas dan memperdalam kapasitas transformatif
dari kelas subordinat- kekuatan mereka.
Dalam kondisi tertentu agama dapat berguna sebagai saluran mobilisasi kelas subordinat
melawat dominasi. Ini semua lebih mungkin apabila ada pernyataan, secara terbuka tentang
konflik antara satu sistem keagamaan, umum dengan kelas subordinat, dan lainnya yang
berhubungan dengan khusus pada kelas dominan.