BAB I PENDAHULUAN - Dominasi Kelas Samurai Terhadap Politik Jepang Pada Zaman Tokugawa

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bangsa Jepang adalah salah satu bangsa tertua di dunia dan yang paling dibanggakan

  orang-orang Jepang adalah kerajaan atau dinasti-dinastinya yg merupakan satu kesatuan negara

  1 yang berlangsung secara terus-menerus dan paling lama di antara bangsa-bangsa di dunia.

  Zaman sejarah Jepang dimulai dari zaman Nara, zaman Heian (794-1192) sampai dengan zaman Meiji (1868-sekarang). Dari urutan-urutan zaman sejarah Jepang yang telah terjadi maka dikenallah sistem pemerintahan di Jepang. Bentuk sistem pemerintahan di Jepang yang dimaksud adalah administrasi pemerintahan, militer, dan penarikan pajak. Dengan peristiwa tersebut dikenal lah gelar-gelar, antara lain: Tenno (Kaisar), Shogun (Jenderal), Daimyo (tuan tanah), perdana menteri dan menteri-menteri. Pada dasarnya, Jepang memiliki banyak zaman sesuai dengan perubahan masa dan kekuasaan. Namun, secara garis besar Jepang dibagi menjadi lima periode yang terdiri dari abad kuno atau disebut dengan ‘Kodai’, abad pertengahan atau disebut dengan ‘Chusei’, abad pra modern atau ‘Kinsei’ yang dimulai dengan zaman Edo (1603-1868), abad modern atau ’Kindai’, dan yang terakhir abad ‘Gendai’ yang terdiri dari zaman Taisho,

2 Showa, dan Heisei.

  Selama 700 tahun sampai akhir abad ke-16 feodalisme di Negara Jepang berkembang secara natural dan semakin berkembang dari satu daerah ke daerah lainnya. Diantara daerah tersebut hanya ada perbedaan rincian dan perbedaan pemakaian istilah saja. Maka untuk itu pemerintahan mengambil kebijakan untuk menciptakan staratifikasi masyarakat secara jelas dan tegas. Selain ditujukan untuk menciptakan hirarki kelas masyarakat, kebijakan juga diambil untuk menertibkan dan menyeragamkan tatanan sosial. Kebijakan ini juga ditujukan sebagai antisipasi terhadap “gekokujo” yang sering terjadi pada zaman feodalisme. Gekokujo adalah penumbangan kekuasaan penguasa yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.

                                                              

  1  Suryohadiprojo, Sayidiman, Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup (Jakarta: Pustaka  Bradjaguna,  1982), hal. 9  2  http://froztza.blogspot.com/ diakses pada tanggal 25 Maret 2013 pukul 13.21 Wib 

  Jepang pra-modernisasi, yaitu pada era feodal (1185-1603) pemerintahan Jepang menerapkan sistem pemerintahan yang menempatkan shogun sebagai pemimpin tertinggi yang memiliki kekuasaan penuh, sedangkan kaisar hanya sebagai simbol pimpinan struktur bernegara. Periode ini diawali oleh Minamoto no Yoritomo yang membangun sistem pemerintahan yang dikenal dengan sebutan bakufu atau pemerintahan shogun. Shogun yang pertama dikenal dengan nama Kamakura bakufu di Kamakura pada tahun 1192. Model pemerintahan shogun terdiri dari

  3 dua divisi utama yaitu divisi samurai dan divisi pengadilan atau hukum.

  Para shogun diberikan kekuasaan militer oleh kaisar dan mereka juga dibantu oleh para daimyo yang merupakan tuan tanah semenjak abad ke-10 hingga awal abad ke-19. Para daimyo memiliki hak kepemilikan tanah secara turun-temurun dan bahkan tentara untuk melindungi tanah dan pekerjanya. Daimyo pada masa Kamakura disebut Gokenin dan pada periode

  4 Muromachi (1336-1573), kelas Gokenin dihapuskan dan diganti dengan kelas daimyo.

  Sistem shogun sebagai dasar pemerintahan pada masa Kamakura berangsur hilang pada akhir periode ini. Kaisar terakhir pada periode ini, Go-Daigo mengembalikan kekuasaan kepada kekaisaran karena menganggap shogun gagal menghadapi serangan tentara Mongol. Dikembalikannya pemerintahan kepada kaisar menimbulkan ketidaksenangan kaum samurai. Pembaharuan yang dilakukan oleh Go-Daigo disebut Kenmu shinsei atau Restorasi Kenmu. Namun upaya Go-daigo untuk menempatkan kaisar sebagai pemimpin utama tampaknya kurang berhasil karena pada tahun 1336 berdirinya Shogun Ashikaga. Gedung pusat pemerintahannya dibangun di Muromachi sehingga pemerintahan ini disebut dengan masa Muromachi. Perebutan kekuasaan oleh Ashikaga menyebabkan terjadinya persaingan lagi antara kaisar dengan shogun sehingga ada dua pusat pemerintahan kekaisaran selama 50 tahun yaitu di utara (Muromachi)

  

5

yang pro-shogun dan di selatan yang pro-kaisar.

  Pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh Oda Nobunaga seorang daimyo yang berhasil mengusir Ashikaga Yoshiaki, shogun terakhir Ashikaga bakufu dari Kyoto. Ia akhirnya menguasai Kyoto pada tahun 1568 dan menjatuhkan Muromachi tahun 1573. Oda Nobunaga

                                                               3  Ishii, Ryosuke, Sejarah Institusi Politik Jepang (Jakarta: PT. Gramedia, 1988) hal. 47 

  4  Situmorang, Hamzon, Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan Kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo  (Medan:  USU Press, 1995) hal. 43  5

 Irsan, Abdul, Jepang: Politik Domestik, Global, & Regional (Makassar: Hasanuddin University Press, 2005) Hal. 10  sangat berambisi menyatukan seluruh Jepang. Selain mengalahkan saingannya sesama daimyo, Nobunaga juga berhasil menaklukkan saingan utamanya yang lain, yaitu aliran agama Budha (aliran Ikko) yang sangat militan. Namun, Nobunaga berhasil menghancurkan Kuil Enryakuji

  

6

yang merupakan pusat kekuasaan Agama Buddha.

  Nobunaga merupakan daimyo yang kuat dan memiliki strategi kepemimpinan yang unik. Masa kepemimpinan Nobunaga beserta para daimyo yang meneruskannya, yaitu Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu merupakan periode menuju penyatuan wilayah Jepang yang tercapai pada tahun 1590. Namun, dari ketiganya, hanya Tokugawa Ieyasu yang berhasil mendapatkan gelar Sei-Taishogun, lalu mendirikan Klan Shogun Tokugawa pada tahun 1603

  7 yang juga terkenal dengan sebutan Zaman Edo.

  Masuknya zaman baru di Jepang yaitu Zaman Edo (1603-1867) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh keluarga Tokugawa. Disebut Zaman Edo karena pemerintahan keshogunan Tokugawa pada masa itu bepusat di Kota Edo (Tokyo). Selama periode Edo, Jepang memiliki penguasa kecil. Ada lebih kurang 200 penguasa-penguasa kecil di daerah tersebar negara bagian Jepang dan mereka disebut daimyo. Dari daimyo-daimyo tersebut, klan Tokugawa adalah yang paling kuat dan solid. Mereka memerintah sistem struktur masyarakat dan sistem politik dari tempat yang bernama Edo. Tempat ini berada di sekitar Tokyo. Selama lima belas

  8 generasi klan Tokugawa menjadi dominasi kelas samurai dalam politik di negara Jepang.

  Keshogunan Tokugawa merupakan pemerintahan diktator militer feodalisme di Jepang yang didirikan oleh Ieyasu Tokugawa yang diangkat sebagai shogun pada tanggal 24 Maret 1603. Setiap pewaris tahta shogun diberi nama keluarga Tokugawa. Ieyasu Tokugawa merupakan shogun pendiri pertama Tokugawa. Masa isolasi selama kurang lebih 250 tahun selama masa pemerintahan shogunat Tokugawa, membawa berbagai akibat pada bangsa Jepang. Salah satunya adalah semakin mantapnya pembentukan kepribadiaan bangsa Jepang. Hal ini menjadi amat penting bila dikemudian hari Jepang harus berhadapan dengan dunia barat yang amat agresif. Karena mantapnya kepribadian Jepang, maka dalam berusaha mengejar

                                                               6  Ibid Hal. 12 

  7  http://muruniramuri11.wordpress.com/2011/09/20/sistem‐pemerintahan‐dan‐politik‐di‐jepang/ diakses pada  tanggal  25 Maret 2013 pukul 14.53 WIB  8  http://watashiwarickydesu.blogspot.com/ diakses pada tanggal 25 Maret 2013 pukul 15.04 WIB  ketertinggalannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dari dunia Eropa, Jepang tidak pernah

  9 khawatir akan kehilangan kepribadiannya.

  Sistem politik Jepang di Zaman Edo adalah sistem politik feodal yang disebut dengan istilah Bakuhan Taisei yang artinya pemerintah militer atau keshogunan. Dalam sistem Bakuhan Taisei, daimyo menguasai daerah-daerah yang disebut han dan membagi-bagikan tanahnya kepada pengikutnya. Sebagai imbalannya, pengikut daimyo berjanji untuk setia dan mendukung daimyo secara militer. Awal mulanya feodalisme di Jepang ditandai dengan adanya pembagian kekuasaan kepada para shogun oleh Tennou sebagai bentuk kekuasaan praktis. Dan ini ditandai dengan adanya kebijakan pembentukan strata kelas sosial yang kaku dan terlalu tegas. Alasan populer pemerintah Jepang menerapkan pembagian kelas masyarakat dari mulai kelas yang paling suci sampai kelas yang paling bawah antara lain: 1.

  Antisipasi pemberontakan kelas bawah 2. Pemantapan posisi bakufu 3. Pengkerdilan kekuasaan kaisar

  Kelas-kelas sosial pada masa Edo juga membuat masyarakat terkotak-kotak. Hal ini secara tidak langsung juga akan menjauhkan masyarakat dari kaisar. Masyarakat yang berada di kelas bawah telah terdoktrin bahwa dirinya tidak pantas menemui kaisar dan kaisar yang berada di kelas paling atas mungkin juga akan merasa tercemar juka menemui rakyatnya. Dalam kondisi masyarakat yang terkotak-kotak seperti itu pula pemerintah dalam hal ini bakufu lebih leluasa melakukan apa saja kepada rakyatnya. Kasus yang terjadi pada saat itu orang-orang dari kelas samurai dapat membunuh seseorang yang kelasnya lebih rendah, walaupun hanya karena alasan

  10 yang sederhana dan tidak masuk akal.

  Kekuasaan pemerintah pusat pada masa itu berada di tangan shogun Edo dan daimyo ditunjuk sebagai kepala pemerintahan di daerah. Selain itu, dalam teori Russel (1988), pada sistem feodal peran kaisar Edo sebagai wakil dan penyampai titah dewa ke bumi masih diakui, tetapi fungsi politik dan hak kedaulatan sudah tidak dimilikinya lagi. Lembaga politik atau

  11 keshogunan ini disebut bakufu.

                                                               9  Ibid, hal. 41 

  10

 http://neetatakky.blogspot.com/2011/07/politik‐jepang.html diakses pada tanggal 25 Juni 2013 pukul 15.45 

WIB   11  Ibid, hal. 41 

  Pada masa ini berlangsung lebih dari 250 tahun. Ini adalah masa damai di Jepang, dimana para daimyo sudah tidak terjadi serangan antar-daimyo dari daerah bagian Jepang yang terpisah- pisah. Hal inilah yang membedakan kondisi negara Jepang pada masa Tokugawa dengan masa sebelumnya dimana zaman feodal sebelumnya yang sering terjadi perang berkepanjangan di Jepang yang disebut sengoku jidai (masa perang seluruh negeri).

  Tokugawa sebelum Zaman Edo merupakan seorang daimyo di daerah Mikawa yang pada tahun 1603 berhasil menjadi shogun. Secara struktural, shogun memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan daimyo dan demi diakui oleh para daimyo lain, khususnya yang menjadi musuh Tokugawa, ia harus mengadopsi suatu moralitas baru dalam pemantapan hubungan penguasa dengan yang dikuasai, yaitu antara para daimyo dengan shogun, di samping terhadap kaisar.

  Pemerintah Tokugawa secara tegas membagi masyarakat Jepang menjadi empat kelas yaitu kelas samurai (Bushi), kelas petani (Nomin), kelas pengrajin (Kosakunin), dan terakhir kelas pedagang (Shonin). Tingkatan kelas ini kemudian dikenal dengan Shi No Ko Sho, yang kemudian dilaksanakan secara keras dan kaku. Selain itu, masih ada golongan masyarakat yang tidak digolongkan ke dalam Shinokosho, yaitu orang-orang buangan yang disebut Eta atau Hinin.

  Dengan adanya ketentuan mengenai pembagian kelas tersebut maka seseorang tidak dapat pindah ke tingkatan yang lebih tinggi walaupun ia memiliki kemampuan dan bakat. Dalam masa shogunat Tokugawa kekuasaan tertinggi dalam struktur politik ada di tangan shogun, Dominasi kelas samurai menjadi penguasaan militer tertinggi di Jepang.

  Pembagian tatanan sosial ini didasarkan pada ajaran Konfusianisme yang mengajarkan pemahaman terhadap hakikat takdir yaitu bahwa manusia harus menerima takdirnya sejak lahir dan tidak dapat menggugat takdir. Pemikiran ini membuat rakyat terpaksa menerima keadaan serta status yang dimilikinya dan tidak dapat memperbaiki statusnya ke tingkat yang lebih tinggi. Diskriminasi kelas pun semakin jelas. Tujuan ditetapkan Shinokosho adalah supaya kelas penguasa tetap pada kedudukannya dan memiliki kekuatan untuk menekan kelas yang berada di bawahnya.

  Kelas samurai berada di hirarki paling atas, diikuti petani, pengrajin dan pedagang. Samurai atau Shogun menjalankan roda perpolitikan di setiap daerah-daerah juga sekaligus menjadi daimyo di tiap-tiap bagian Jepang. Dengan demikian, selain menjadi pemegang kasta tertinggi dalam militerisme, para samurai juga menjadi penguasa yang mendominasi sistem struktur politik dan administrasi di Jepang. Selama masa isolasi dari dunia internasional selama 250 tahun maka para samurai lebih mendominasi sistem struktur politik dan administrasi di Jepang daripada sebagai pejuang kemiliteran di Jepang. Shogun atau Samurai memperoleh kekuasaan tersebut dari Tenno Heika yang menjadi simbol kekuasaan Jepang dan pendeta tertinggi dalam agama Shinto. Pada masa Tokugawa, pusat kekuasaan politik terpisah dari tempat kediaman Tenno Heika. Tokugawa menempatkan istananya di Edo (yang sekarang bernama Tokyo), sedangkan istana Tenno Heika di Kyoto yang tetap dianggap ibukota Jepang pada waktu itu.

  Adanya niat shogun Tokugawa untuk memperkuat kekuasaannya, maka ia harus memperkecil nilai kesucian daimyo pada pandangan anak buahnya dan mengurangi fungsi politik dan kedaulatan yang dikuasai oleh para daimyo di setiap wilayah mereka masing-masing dengan membuat konsep pengabdian diri golongan militer seluruh Jepang dalam Shido (bushido baru) yang berpijak pada pemikiran konfusionis. Tujuan akhir konsep ini adalah mengurangi kesadaran para bushi (golongan militer) akan kesucian tuannya (daimyo) sebagai penguasa wilayah, sekaligus berusaha supaya para bushi berpikiran lebih rasional dalam melakukan pengabdian diri.

  Untuk mengatur daimyo, Tokugawa Ieyasu menetapkan peraturan yang harus dipatuhi oleh para daimyo yang disebut Bukeshohatto. Salah satunya adalah para daimyo dilarang memperkuat pasukannya atau mendirikan benteng tanpa sepengetahuan pemerintah pusat (Bakufu). Keshogunan Tokugawa (1603-1868) atau Keshogunan Edo (Edo bakufu) adalah pemerintahan diktator militer feodalisme di Jepang yang didirikan oleh Tokugawa Ieyasu dan

  12

  secara turun-temurun dipimpin oleh shogun keluarga Tokugawa. Dalam periode historis Jepang, masa pemerintahan Keshogunan Tokugawa disebut Zaman Edo karena ibukota terletak di Edo yang sekarang disebut Tokyo. Keshogunan Tokugawa memerintah dari Istana Edo hingga Restorasi Meiji.

  Dominasi kelas samurai dari keluarga klan Tokugawa sepanjang lima belas generasi adalah bukti konkrit dari penguasaan sistem struktur politik dan sistem masyarakat pada era feodalisme di Jepang. Pemerintahan keshogunan Tokugawa selama 264 tahun disebut sebagai Zaman Edo atau Zaman Tokugawa. Periode terakhir Keshogunan Tokugawa yang diwarnai

                                                              

  12  Ibid, hal. 77  dengan maraknya gerakan untuk menggulingkan keshogunan Tokugawa dikenal dengan sebutan Bakumatsu.

  Berdasarkan kajian sejarah sistem masyarakat dan budaya masyarakat Jepang dalam bidang pemikiran ilmu politik penulis menganalisis bahwa kajian tentang adanya dominasi kelas samurai yang mempengaruhi sistem struktur elit politik atau sistem tata negara di Jepang yang patut dijadikan perbandingan sistem politik dengan negara-negara lain, khususnya Negara Indonesia dan alasan penulis memilih judul pada zaman Tokugawa dikarenakan pada zaman itu terdapat adanya dominasi oleh satu klan yang dilakukan oleh klan Tokugawa kurang lebih selama 15 generasi (1603-1868). Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis dan memaparkan secara rinci dan terbuka tentang bagaimana terjadinya dominasi kelas samurai dan pengaruhnya terhadap sistem tata negara dan sistem elit politik di negara Jepang. Ketertarikan penulis khususnya adalah metodologis bagaimana terjadinya peralihan sistem kekuasaan kekaisaran menjadi ke tangan dominasi klan samurai, yang khususnya terjadi pada zaman feodalisme klan shogunat Tokugawa.

  I.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana dominasi kelas samurai terhadap politik Jepang pada Zaman Tokugawa”.

  I.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a. Mendeskripsikan sejarah sistem politik Jepang zaman feodalisme hingga lahirnya sistem keshogunan (samurai).

  b.

  Mengkaji perubahan sistem kebijakan-kebijakan elit struktural kelembagaaan yang terjadi pada zaman Tokugawa c.

  Menganalisis bagaimana terjadinya dominasi kelas samurai terhadap sistem hirarki dalam struktur politik di Jepang pada Zaman Tokugawa.

  I.4 Manfaat Penelitian

  I.4.1. Manfaat Akademis

  Secara akademis, penelitian ini memiliki beberapa manfaat antara lain: a. Menambah khazanah keilmuan civitas akademik FISIP USU secara umum dan secara khusus untuk departemen Ilmu Politik secara khusus.

  b.

  Menemukan teori-teori struktur pemerintahan yang dipakai Jepang sebelum era keshogunan dan pasca keshogunan.

  I.4.2. Manfaat Praktis a.

  Secara praktis, penelitian pustaka ini bermanfaat dalam praktek keilmuan politik secara universal dan secara khusus untuk perbandingan sistem politik di Indonesia.

  b.

  Sebagai khazanah perbandingan praktek politik akademisi yang melakukan kegiatan politik, khususnya akademisi di Indonesia.

  I.5 Kajian Pustaka

  Dalam memulai analisis deskriptif penulisan tentang dominasi kelas samurai, khususnya zaman era rezim Tokugawa agar tidak terjadi pengulangan riset penelitian yang berujung pada keadaan tumpang tindih hasil riset pengumpulan data, maka penulis siharuskan menyertakan sebuah kajian pustaka. Dalam kajian pustaka ini penulis melakukan penghimpunan kembali hasil-hasil penelitian yang sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu, baik itu barkaitan tentang sejarah politik Jepang, sejarah samurai, dan dominasi kelas Samurai di dalam sistem politik negara Jepang.

  Terkait dengan sistem politik dan kepemimpinan oleh sistem keshogunan yang terjadi secara khusus di negara Jepang, banyak peneliti-penelti yang mencoba menganalisis secara rinci ciri dari zaman ataupun era perkembangan negara Jepang secara terpisah-pisah, terutama peralihan-peralihan kekuasaan era keshogunan yang terjadi pada zaman feodalime Jepang mulai Zaman Nara, Zaman Obunaga, Hideyosi, Tokugawa, Restorasi Meiji sampai zaman Jepang sekarang ini. Maka dengan adanya hal ini, penulis memilih penelitian deskriptif tentang dominasi kelas samurai yang terjadi dalam sistem politik di negara Jepang, khususnya zaman rezim Tokugawa. Diantaranya karya Ryosuke Ishii, Sejarah Institusi Politik Jepang. Buku ini menguraikan perubahan sistem kelembagaan atau sistem struktukral tata negara Jepang, namun yang menjadi fokus perhatian oleh penulis adalah sejarah panjang sistem feodalisme jepang sampai sedikit era Jepang modern yang dikenal dengan Restorasi Meiji dan juga fokus pembahasan sistem politik negara jepang yang bersifat monarki konstitusional.

  Studi budaya yang menjadi ciri khas bangsa Jepang banyak dilakukan analisis deskriptif oleh penulis dari buku Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup karya Sayidman Suryohadiprojo. Dimana dalam buku ini penulisis banyak mengambil referensi gambaran kondisi perkembangan Negara dan karakteristik bangsa Jepang yang juga menjadi alasan bagaimana penulis menganalisis lahirnya gerakan samurai dan sistem keshogunan yang akhirnya menjadi dominasi di negara Jepang. Selanjutnya, juga ada buku penting yang menjadi referensi utama penulis dalam daftar pustaka yaitu buku Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan

  kepada Keshogunan dalam Feodalisme zaman Edo(1603-1868

  ) karya Hamzon Situmorang yang banyak mengupas secara mendalam permasalahan perubahan-perubahan sistem kebijakan yang dilakukan oleh Shogunat Tokugawa dalam melakukan dominasi kelas politik di negara Jepang dan mempertahankan kekuasaan penuh di tangan klan Tokugawa.

  Karya-karya dalama bentuk tulisan ilmiah mengenai Zaman Edo atau zaman klan Tokugawa dan sistem politik Jepang juga telah banyak diuraikan peneliti-peneliti lain diantara Hamzon Situmorang, Robert N. Bellah, Eiichiro Ishida. Secara umum dan general tulisan-tulisan mereka banyak membahas sejarah institusi kelembagaan politik, era rezim kelas samurai, dominasi kelas politik di negara Jepang.

I.6 Kerangka Teori

  Salah satu aspek yang dikaji dalam sistem politik atau kehidupan bernegara adalah masyarakat. Masyarakat dibagi atas dua kelas yang pertama adalah kelas masyarakat elit dan yang kedua adalah kelas masyarakat non elit atau masyarakat pada umumnya. Dan kelas masyarakat elit dibedakan atas elit yang berkuasa (elit politik) dan elit yang tidak berkuasa. Dalam ilmu politik, istilah “Negara” adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan

  13 gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.

  Teori elit pertama kali muncul dengan adanya pengacuan terhadap teori elit klasik, yang memunculkan beberapa nama tokoh besar, yaitu Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert

  

Michels . Menurut Gaetano Mosca Dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas penduduk. Yang

  pertama, kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas penguasa jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, menopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, Sedangkan kelas yang kedua jumlahnya lebih besar dan dikendalikan oleh kelas penguasa.

  Dalam kajian ini, penyusun menggunakan kerangka teori elit klasik dengan cara pandang kekuasaan, kelembagaan dan fungsional. Yang pertama adalah “teori kelas politik” dari Gaetano Mosca, menurut Gaetano Mosca (1858-1941), dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas penduduk yaitu satu kelas yang menguasai yang disebut elit dan satu yang dikuasai yaitu masyarakat. Kelas pertama atau elit yang jumlahnya selalu minoritas, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu. Sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas elit

  14 itu.

  Teori kedua yang penulis pakai dalam penyusunan kerangka teori adalah teori elit pemerintah/penguasa dari Vilfredo Pareto. Menurut Pareto dalam pandangannya terhadap elit politik dan kekuasaan, elit politik sebagai kekecewaan terhadap apa yang sedang berjalan pada waktu itu yaitu aristokrat. Vilfedro Pareto beranggapan bahwa sifat dari penguasa atau elit politik otoriter dan mengintervensi. Menurut Pareto, setiap masyarakat diperintah oleh sebuah elit yang komposisinya selalu berubah. Selanjutnya Pareto membagi elit dalam dua kelompok, yaitu kelompok elit yang memerintah dan kelompok elit yang tidak memerintah. Kedua kelompok elit itu senantiasa berebut kesempatanuntuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadi polarisasi

                                                               13  Miriam Budiarjo, Dasar‐Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1999) Hal. 38 

  14  Gaetano Mosca, The Ruling Class (New York: McGraw‐Hill, 1939) Hal.50  elit dan melahirkan sirkulasi antara elit lama dengan elit baru. Setiap elit yang memerintah hanya

  15 dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat.

  Dan teori yang ketiga adalah teori Iron Law of oligarkhy dari Robert Michels tentang hukum besi oligarki yang dinyatakannya sebagai satu dari banyak hukum yang besi dalam sejarah, dimana sebagian masyarakat demokrasi modern, dan dalam masyarakat itu sendiri, serta partai-partai yang sudah demikian berkembang tidak dapat lagi melepaskan diri darinya. Untuk teori yang ketiga ini penulis memakai teori oligarki milik Robert Michels guna menganalisis bagaimana terjadinya perubahan-perubahan sistem kebijakan dan juga bagaimana terjadinya perubahan hirarki-hirarki kelas sosial dalam sudut pandang politik yang dilakukan oleh pemimpin Jepang pada saat era feodalisme yang terjadi oleh kepemimpinan klan Tokugawa. Hukum Besi Oligarki adalah kondisi partai dikuasai oleh golongan atau segelintir orang yang memiliki keinginan khusus untuk menguasai rakyat. Golongan ini bisa terdapat dari luar partai, misalnya kaum konglomerat yang menyuguhkan investasi terhadap kader partai sebagai calon pilihan rakyat yang “katanya” demokratis itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa bantuan materiil sangat dibutuhkan kader partai untuk memenangkan partainya, agar partainya terpilih untuk menduduki kursi kuasa, kemudian dapat pujian di hati rakyat dan akhirnya menginginkan partai

  16 terus hidup dihati rakyatnya.

  Dari semua penjelasan diatas, maka mudah dimengerti mengapa kebijakan publik dilihat dari sudut pandang teori elit dianggap selalu mengalir dari atas ke bawah (top-down), yakni dari elit ke massa/rakyat kebijakan publik itu dengan demikian tidak akan pernah muncul dari bawah

  (bottom-up)

  atau berasal dari tuntutan-tuntutan rakyat. Ditilik dari lensa konseptual model elit ini, maka jelas partisipasi rakyat atau keterlibatan publik (publik involvement) dalam proses

  17 perumusan kebijakan dan proses implementasi kebijakan publik diabaikan.

  Jadi, dengan ini penulis merumuskan elit politik merupakan kelompok kecil dari warga negara yang berkuasa dalam sistem politik. Penguasa ini memiliki kewenangan yang luas untuk mendominasikan struktur dan fungsi sebuah sistem politik. Secara operasional, para elit politik atau elit penguasa mendominasi segi kehidupan dalam sistem politik. Penentuan kebijakan

                                                              

  15  Agus Setiyanto, Elite Pribumi (Bengkulu: Balai Pustaka, 2001)  Hal. 73  16  Amal, Ichlasul, Teori‐Teori Mutakhir Partai Politik (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1996)  17  Prof. Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (1988) Hal. 80  sangat ditentukan oleh kelompok elit politik. Maka dalam hal kerangka teori, penyusun juga memakai teori struktur fungsionalis dalam menguraikan studi deskriptif tentang sejarah sistem politik di zaman feodalisme yang terjadi pada masa klan Tokugawa yg menjadi akhir dari sistem politik klasik hingga akhirnya akan berubah menjadi Jepang era modern.

  I.7 Metodologi Penelitian

  I.7.1 Metode Penelitian

  Dalam penulisan kegiatan ilmiah yang lebih terukur dan sistematis maka diperlukan suatu metode yang sesuai dengan objek kajian yang akan disampaikan. Hal ini dikarenakan metode adalah suatu cara yang bertujuan sebagai alat dalam langkah sistematika penulisan ilmiah agar didapatkan hasil yang bermanfaat dan mudah untuk dimengerti. Adapun metode penelitian yang penulis pakai penyusunan adalah metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode yg untuk mendeskripsikan suatu gejala dan peristiwa yang terjadi dan adanya bukti-bukti yang bisa dijadikan sumber-sumber penulisan, baik itu yang disampaikan pelaku sejarah, seorang tokoh, studi pustaka buku-buku terkait dan tulisan-tulisan ilmiah yang pernah ditulis oleh penulis- penulis sebelum saya. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan

  18 suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang.

  Penelitian deskriptif memusatkan perhatian kepada pemecahan masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian dilaksanakan. Dalam pendidikan, penelitian deskriptif lebih berfungsi untuk pemecahan praktis dari pada pengembangan ilmu pengetahuan. Peneliti berusaha memotret peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatiannya, kemudian menggambarkan atau melukiskannya sebagaimana adanya, sehingga pemanfaatan temuan penelitian ini berlaku pada saat itu pula yang belum tentu relevan bila digunakan untuk waktu yang akan datang. Karena itu tidak selalu menuntut adanya hipotesis, tidak menuntut adanya perlakuan atau manipulasi variabel karena gejala dan peristiwanya telah ada dan peneliti tinggal mendeskripsikannya. Variabel yang diteiliti bisa tunggal, atau lebih dari satu variabel, bahkan dapat juga mendeskripsikan hubungan beberapa variabel.

                                                              

  18  Sujana dan Ibrahim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan. 1989 Hal. 65 

  I.7.2 Jenis Penelitian

  Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research), yakni bahan perpustakaan dijadikan bahan utama.

  I.7.3 Teknik Pengumpulan Data

  Adapun penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan, maka metode yang digunakan dalam pencarian data adalah didasarkan pada studi kepustakaan, yaitu dengan menyelami karya ilmiah yang mengupas tentang dominasi kelas samurai di Jepang, khususnya pada masa Tokugawa atau sering juga disebut dengan Zaman Edo. Sumber data primernya adalah berbagai tulisan, baik berupa website serta buku-buku yang mendukung pendalaman dan ketajaman analisis.

  I.7.4 Teknik Pengolahan Data a.

  Mengumpulkan data-data dan mengamatinya terutama dari aspek kelengkapan dan validitasnya serta relevansinya dengan tema bahasan.

  b.

  Mengklasifikasikan dan mensistematiskan data-data kemudian diformulasikan desuai dengan pokok permasalahan yang ada.

  c.

  Melakukan analisis lanjutan terhadap data-data yang telah diklasifikasikan dan disistematiskan dengan menggunakan dalil-dalil, kaidah-kaidah, teori-teori, dan konsep- konsep pendekatan yang sesuai sehingga memperoleh kesimpulan yang benar.

  I.7.5 Teknik Analisis Data

  Analisis data disebut juga pengolahan data dan penfsiran data. Analisis data ialah serangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokkan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah. Tahap analisis data yang penulis lakukan dalam penelitian ini mulai dari pengumpulan data, dengan menggunakan multi sumber bukti sesuai dengan prinsip trianggulasi yaitu suatu langkah analisis untuk menguji

  

validitas data yang dilakukan saat pengumpulan data. Terkait dengan pengolahan proses data,

  yaitu yang secara umum bersifat deskriptif analisis, penulis akan menggunakan dua pola, yaitu: a.

  Metode Induktif, yaitu metode yang berusaha mempelajari detail-detail bahasan yang berujung pada bahasan yang bersifat umum. b.

  Metode deduktif, yaitu pengambilan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum kesuatu pernyataan yang bersifat khusus. Metode ini digunakan untuk memperoleh

  19 gambaran umum.

1.8 Sistematika Penulisan

  Untuk lebih terarah dan mempermudah dalam pembahasan skripsi ini, maka penyusun akan mensistematiskan pembahasan sebagai berikut: BAB I, akan diuraikan tentang latar belakang masalah, pokok-pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, analisa kepustakaan, kerangka teori, metode penelitan, sistematika pembahasan guna mengarahkan pembaca pada inti penelitian ini.

  BAB II, memaparkan sejarah sistem politik Jepang, lahirnya samurai, dominasi kelas samurai terhadap politik Jepang, dominasi klan Tokugawa sebagai penguasa tunggal pemerintahan Jepang.

  BAB III, akan memaparkan dominasi kelas samurai pada masa Tokugawa secara komprehensif dan pengaruhnya pada sistem struktur politik Jepang. BAB IV, berisi kesimpulan dan saran-saran serta penutup.

                                                              

  19

 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, (Bandung: Tarsito, 1984) Hal. 134