Bahan Anastesi

1. obat anestasi umum
Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan menggunakan obat Telah dilakukan
sejak zaman dahulu termasuk pemberian alcohol dan opodium secara oral. Tahun 1846,
wiiliam morton, di bostom, pertama kali menggunakan obat anestesi dietil eter untuk
menghilangkan nyeri operasi. Pada tahun yang sama, james simpsom, diskotlandia,
menggunakan kloroform yang 20 tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen
oksida, yang diperkenalkan oleh Davy pada era tahun 1790 an. Anestetik modern mulai
dikenal pada era tahun 1930 an. Dengan pemberian barbiturate thiopental secara intra vena.
Beberapa puluh tahun yang lalu, kurare pun pernah diperkenalkan sebagai anestesi umum
untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung. Tahun 1956, hidrokarbon halogen
yang dikenal dengan nama halotan mulai dikenal sebagai obat anestetik secara inhalasi dan
menjadikannya sebagai standar pembanding untuk obat-obat anestesi lainnya yang
berkembang sesudah itu.
Stadium anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran”, terhambatnya
sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap
obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan,
dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu,
batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satu pun obat anestetik dapat memberikan efek yang diinginkan tampa disertai efek
samping, bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu, pada anestetik modern selalu

digunakan anestetik dalam bentuk kombinasi untuk mengurangi efek samping yang tidak
diharapkan.

2. Anestesi lokal
Anestesi lokal menghambat impuls konduksi secara revesibel sepanjang akson saraf dan
membran eksitabel lainnya yang menggunakan saluran natrium sebagai alat utama
pembangkit potensi aksi. Secara klinik, kerja ini dimamfaatkan untuk menghambat sensasi
sakit dari-atau impuls vasokontstriktor simpatis ke-bagian tubuh tertentu. Kokain, obat
anestesi pertama, yang diisolasi oleh niemann pada tahun 1860.
Kokain dikenal dana pengunaan klinik oleh koller, pada tahun 1884, sebagai suatu anestesi
oftalmik. Obat ini kemudian segera diketahui mempunyai kerja adiksi SSP yang kuat, tetapi
seblumnya hanya digunakan sebagai anestesi lokal secara luas selama 30 tahun. Dalam usaha

memperbaiki sifat kokain, pada tahun 1905 einorn telah mensintesis prokain, yang kemudian
menjadi anestesi lokal dominan selama 50 tahun kemudian.
Sejak 1905, sudah banyak bat anestesi lokal disentesis. Tujuan usaha ini adalah untuk
mengurangi iritasi lokal dan kerusakan jaringan, mempekecil tosisitas sistemik, mula kerja
yang cepat, dan kerja yang lama. Likokain akhirnya merupakan obat yang paling populer,
disentesis pada tahun 1943 oleh lofgren dan dinyatakan sebagai prototipe obat anestesi lokal.
Belum tersedia saat ini obat anestesi lokal yang ideal, dan pengembangan obat baru masih

terus diteliti. Namun, walaupun relatif mudah untuk mensintesis suatu zat kimia yang
mempunyai efek anestesi lokal, tetapi sangat sulit meguragi efek toksik yang lebih kecil dari
obat yang ada saat ini. Alasan utama kesulitan tersebut adalah kenyataan bahwa toksisitas
yang sangat serius dari obat anestesi lokal merupakan perluasan efek terapinya pada otak dan
sistem sirkulasi.

B. Tujuan
 Supaya mahasiswa memahami tentang anestesi umum dan anestesi local
 Supaya mahasiswa dapat membedakan penggunaan anestesi umum dan anestesi lokal
 Agar kita semua memahami perbedaan anestesi umum dan anestesi local
 Agar semua mahasiswa dapat mengetahui jenis obat-obat anestesi umum dan lokal

BAB II
ANESTESI UMUM
A. Jenis obat anestesi umum.
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.
1. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu anestetik gas

yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik

lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan metoksifluran merupakan zat cair yang
mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi terbaru tetapih belum diizinkan
beredar di USA. Anestesi inhalasi konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform
pemakaiannya sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan
kloroform toksik terhadap hati.
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam bentuk
kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau
pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk
waktu yang lama, Yang termasuk :
 Barbiturat (tiopental, metoheksital)
 Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
 Opioid analgesik dan neuroleptik
 Obat-obat lain (profopol, etomidat)
 Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.

B. Tanda dan stadium anestesi
Sejak obat anestesi umum di perkenalkan, telah diusahakan mengkorelasikan efek dan
tandanya untuk mengetahui dalamnya anestesi. Gambaran tradisional tanda dan stadium
anestesi (tanda guedel) berasal terutama dari penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula

kerja sentral yang lambat karena kelarutannya yang tinggi didalam darah. Stadium dan tanda
ini mungkin tidak mudah terlihat pada pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena
yang bekerja cepat. Karenanya, pemakaian anestetik dipergunakan dalam bentuk kombinasi
antara anestetik inhalasi dengan anestetik intravena. Namun tanda-tanda anesthesia dietil eter
masih memberikan dasar untuk menilai efek anestetik untuk semua anestetik umum. Banyak
tanda-tanda anestetik ini menunjukkan pada efek obat anestetik pernafasan, aktivitas refleks,
dan tonus otot.

Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi
susunan saraf pusat, yaitu :
I. Stadium analgesi
Pada stadium awal ini, penderita mengalami analgesi tampa disertai kehilangan kesadaran.
Pada akhir stadium 1, baru didapatkan amnesia dan analgesi
II. Stadium terangsang
Pada stadium ini, penderita tampak delirium dan gelisah, tetapih kehilangan kesadaran.
Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual. Inkontinensia urin dan
defekasi sering terjadi. Karena itu, harus diusahakan untuk membatasi lama dan berat stadium
ini, yang ditandai dengan kembalinya pernafasan secara teratur.
III. Stadium operasi
Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur. Dan berlanjut sampai berhentinya

pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium III digambarkan dengan perubahan
pergerakkan mata, dan ukuran pupil, yang dalam keadaan tertentu dapat merupakan tanda
peningktan dalamnya anestesi.
IV. Stadium depresi medula oblongata
Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk kedalam stadium IV. Pada stadium ini
akan terjadi depresi berat pusat pernafasan dimedula oblongata dan pusat vasomotor. Tampa
bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal.

Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing stadium sering tidak
jelas. Hal ini karena mula kerja obat anestetik modern relatife lebih cepat dibandingkan
dengan dietil eter disamping peratan penunjang yang dapat mengontrol ventilasi paru secara
mekanis cukup tersedia. Selain itu, adanya obat yang diberikan sebelum dan selama operasi
dapat juga berpengaruh pada tanda-tanda anestesi. Atropin, digunakan untuk mengurangi
skresi, sekaligus mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti tubokurarin suksinilkolin yang dapat
mempengaruhi tonus otot; serta obat analgetik narkotik yang dapat menyebabkan efek
depresan pada pernafasan.tanda yang paling dapat diandalkan untuk mencapai stadium

operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata dan adanya pernapasan yang dalam dan
teratur.


C. Anastetik inhalasi
1. Farmakokinetik
Dalamnya anestesi ditentukan oleh konsentrasi anestetik didalam susunan saraf pusat.
Kecepatan pada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi anestesi) bergantung pada
banyaknya farmakokinetika yang mempengaruhi ambilan dan penyebaran anestetik. Factor
tersebut menentukan perbedaan kecepatan transfer anestetik inhalasi dari paru kedalam darah
serta dari darah ke otak dan jaringan lainnya. Faktor-faktor tersebut juga turut mempengaruhi
masa pemulihan anestesi setelah anestetik dihentikan.
Ambilan & distribusi
Konsentrasi masing-masing dalam suatu campuran gas anestetik sebanding dengan tekanan
atau tegangan persialnya. Istilah tersebut sering dipergunakan secara bergantian dalam
membicarakan berbnagai proses transfer anestetik gas dalam tubuh. Tercapainya konsentrasi
obat anestetik yang adekuat dalam otak untuk menimbulkan anestesi memerlukan transfer
obat anestetik dari udara alveolar kedalam darah dan otak. Kecepatan pencapaian konsentrasi
ini bergantung pada sifat kelarutan anestetik, konsentrasinya dalam udara yang dihisap, laju
ventilasi paru, aliran darah paru, dan perbedaan gradian konsentrasi (tekanan parsial) obat
anestesi antara darah arteri dan campuran darah vena.
a) Kelarutannya
Salah satu penting factor penting yang mempengaruhi transfer anestetik dari paru kedarah
arteri adalah kelarytannya. Koefisien pembagian darah; gas merupakan indeks kelarutan yang

bermakna dan merupakan tanda-tanda afinitas relative suatu obat anestetik terhadap darah
dibandingkan dengan udara.
b) Konsentrasi anastetik didalam udara inspirasi
Konsentrasi anestetik inhalasi didalam campuran gas inspirasi mempunyai efek langsung
terhadap tegangan maksimun yang dapat tercapai didalam alveolus maupun kecepatan
peningkatan tegangan ini didalam darah arterinya.

c) Ventilasi paru
Kecepatan peningkatan tegangan gas anestesi didalam darah arteri bergantung pada
kecepatan dan dalamnya ventilasi per menit. Besarnya efek ini bervariasi sesuai dengan
pembagian koefisien darah; gas.
d) Aliran darah paru
Perubahan kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan mempengaruhi transfer obat
anestetik. Peningkatan aliran darah paru akan memperlambat kecepatan peningkatan tekanan
darah arteri, terutama oleh obat anestetik dengan kelarutan drah yang sedang sampai tinggi.
e) Gradient konsentrasi arteri-vena
Gradien konsentrasi obat anestetik antara darah arteri dan vena campuran terutama
bergantung pada kecepatan dan luas ambilan obat anestesi pada jaringan itu, yang bergantung
pada kecepatan dan luas ambilan jaringan.


Pembuangan
Waktu pemulihan anestesi inhalasi bergantung pada kecepatan pembuangan obat anestetik
dari otak setelah konsentrasi obat anestesi yang diisap menurun. Banyaknya proses transfer
obat anestetik selama waktu pemulihan sama dengan yang terjadi selama induksi. Factorfactor yang mengontrol kecepatan pemulihan anestesi meliputi; aliran darah paru, besarnya
ventilasi, serta kelarutan obat anestesi dalam jaringan dan darah serta dalamnya fase gas
didalam paru.

2. Farmakodinamik
 Mekanisme kerja
Kerja neurofisiologik yang penting pada obat anestesi umum adalah dengan meningkatkan
ambang rangsang sel, Aloia, 1991. Dengan meningkatnya ambang rangsang, akan terjadi
penurunan aktivitas neuronal. Obat anestetik inhalasi seperti juga intravena barbiturate dan
benzodiazepine menekan aktivitas neuron otak sehingga akson dan transmisisinaptik tidak

bekerja. Kerja tersebut digunakan pada transmisi aksonal dan sinaptik, tetapi proses sinaptik
lebih sensitive dibandingkan efeknya. Mekanisme ionik yang diperkirakan terlibat adalah
bervariasi. Anestetik inhalasi gas telah dilaporkan menyebabkan hiperpolarisasi saraf dengan
aktivitas aliran K+, sehingga terjadi penurunan aksi potensial awal, yaitu peningkatan
ambang rangsang. Penilitian elektrofisiologi sel dengan menggunakan analisa patch clamp,
menunjukkan bahwa pemakaian isofluran menurunkan aktivitas reseptor nikotinik untuk

mengaktifkan saluran kation yang semuanya ini dapat menurunkan kerja transmisi sinaptik
pada sinaps, kolinergik. Efek benzodiazepine dan barbiturate terhadap saluran klorida yang
diperantai reseptor GABAA akan menyebabkan pembukaan dan menyebabkan hiperpolarasi,
tehadap penurunan sensitivitas. Kerja yang serupa untuk memudahkan efek penghambatan
GABA juga telah dilaporkan pemakaian propofol dan anestetik inhalasi lain.
Mekanisme molecular dengan anestetik gas merubah aliran ion pada membran neuronal
belumlah jelas. Efek ini dapat menghasilkan hubungan interaksi langsung antara molekul
anestetik dan tempat hidrofobik pada saluran membrane protein yang spesifik. Mekanisme ini
telah diperkenalkan pada penilitian interaksi gas dengan saluran kolineroseptor nikotinik
interkais yang tampaknya untuk menstabilkan saluran pada keadaan tertutup. Interpretasi
alternatif, yang dicoba untuk diambil dalam catatan perbedaan struktur yang nyata diantara
anestetik, memberikan interaksi yang kurang spesifik pada obat ini dengan dengan membran
matriks lipid, dengan prubahan sekunder pada fungsi saluran.
 Karakteristik dosis-Respons:
Konsentrasi alveolar minuman obat anestesi (KAM)
Obat anestetik inhalasi masuk ke dalam paru dalam bentuk campuran gas dengan konsentrasi
dan kecepatan pengaliran yang mudah diukur dan dikontrol. Akan tetapi, pencapaian keadaan
anestesi secara klinik sukar diukur. Pertama: hasil stadium anestesi bergantung pada
konsentrasi obat anestetik didalam otak dimana konsentrasi ini sukar diukur pada kondisi
klinik penderita. Kedua: tidak semua kurva dosis respons minimal dan maksimal

menentukan, walaupun pada dosis yang sangat rendah rasa nyeri masih terasa. Pemberian
dosis tinggi mempunyai resiko yang besar karna adanya depresi pernafasan dan
kardiovaskular. Akhirnya, penggunaan optimal dosis anestetik dapat tercapai dengan
menggunakan prinsip respons dosis quantal.
Selama anestesi umum, tekanan parsial aanestetik inhalasi pada otak sama dengan tekanan

didalam paru saat dosis anestetik telah tercapai. Pada pemberian kadar anestesi, pengukuran
konsentrasi alveolar keadaan tetap anestesi yang berbeda memberikan perbandingan potensi
relatifnya.
Dosis gas anestetik yang diberikan dapat dinyatakan dalam perkalian KAM. Sementara dosis
1 KAM suatu anestetik mencegah gerakan sebagai respons terhadap in sisi bedah pada 50%
penderita. Masing-masing penderita mungkin memerlukan antara 0,5-1,5 KAM. (KAM tidak
memberikan informasi mengenai kemiringan kurva dosis respons). Pada umumnya, kurva
hubungan dosis respons untuk anestetik inhalasi curam, jadi lebih dari 95% penderita
mungkin gagal berespons terhadap rangsangan yang merugikan pada 1,1 KAM. Pengukuran
nilai KAM pada kondisi terkontrol memungkinkan efek kuantitatif berbagai variable yang
diperlukan dalam anestesi. Sebagai contoh, nilai KAM akan menurun pada penderita labsia
tetapih tidak banyak dipengaruhi oleh jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan. Yang
sangat penting adalah adanya obat tambahan, yang dapat mengubah banyaknya kebutuhan
obat anestetik. Sebagai contohnya, adanya obat analgesic narkotik atau sedative hipnotik

maka KAM-nya akan menurun yang berarti konsentrasi obat anestetik yang diisap juga harus
diturunkan dalam jumlah yang sebanding.

 Efek anestetik inhalasi terhadap system organ
a) Efek terhadap kardiovaskuler
Halotan, desfluran, enfluran dan isofluran menurunkan tekanan arteri rata-rata yang
berbanding langsung dengan konsentrasi alveolarnya. Dengan halotan dan enfluran,
penurunan tekanan arteri nampaknya disebabkan karena penurunan curah jantung, karena
sedikitnya perubahan dalam tahanan vascular sistemik (misalnya, peningkatan aliran darah
serebral). Sebaliknya, isofluran dan desfluran mempunyai efek depresi terhadap tekanan
arteri sebagai akibat penurunan tahanan vascular sistemik; mereka mempunyai efek yang
kecil terhadap curah jantung.
b) Efek terhadap system pernafasan
Dengan pengecualian terhadap nitrogen oksida, semua anestetik inhalasi akan menurunkan
volume tidal dan meningkatkan frekuensi pernafasan. Akan tetapi, peningkatan frekuensi
pernafasan tidak cukup untuk mengkompensasi penurunan volume, yang menghasilkan

penurunan pernafasan per menit. Semua obat anestesi inhalasi akan menekan pernafasan,
seperti yang dapat diukur dengan berbagai variasi kadar CO2.
c) Efek terhadap obat
Obat anestetik inhalasi menurunkan laju metabolic otak. Namun, kebanyakan meningkatkan
aliran darah serebrum karena penurunan tahanan vascular serebri. Peningkatan aliran darah
serebrum sering tidak diharapkan dalam klinik. Sebagai contoh, pada penderita dengan
tekanan intracranial yang meninggi karena tumor otak atau trauma kapitis, pemberian obat
anestetik inhalasi akan meningkatkan aliran darah ke otak, yang kemudian akan
meningkatkan volume darah otak dan lebih jauh akan menambah tekanan intracranial.
Halotan,enfluran, dan isofluran mempunyai efek yang sama pada pemeriksaan EEG. Sampai
dosis 1-15 MAC.
d) Efek terhadap ginjal
Dalam berbagai derajat, semua obat anestesi inhalasi akan menurunkan filtrasi glomerulus
dan aliran plasma ginjal serta meningkatkan fraksi filtrasi. Semua obat anestetik cenderung
meningkatkan tahanan vascular ginjal. Penurunan aliran darah ginjal selama anestesi umum
akan mengganggu autoregulasi aliran darah ginjal.
e) Efek terhadap hati
Semua obat anestetik inhalasi akan menurunkan aliran darah ke hati dan umumnya berkisar
antara 15 sampai 45% dari aliran darah sebelum anestesi dilakukan.
f) Efek terhadap otot polos uterus
Nitrogen oksida mempunyai efek yang kecil terhadap otot polos uterus. Akan tetapi,
isofluran, halotan dan enfluran merupakan relaksan otot uterus yang kuat. Efek farmakologi
ini akan menguntungkan bila diperlukan relaksasi otot uterus yang kuat untuk memanipulasi
janin intrauterine selama masa persalinan. sebaliknya, selama dilatasi dan kuretase pada
obortus terapeutik, obat anestetik tersebut mungkin dapat meningkatkan perdarahan.

 Toksisitas

a) Hepatotoksisitas (halotan)
Biasanya hepatitis pascabedah selalu dikaitkan dengan factor lain seperti transfuse darah,
syok hipovolemik, atau stress bedah lainnya dibandingkan dengan toksisitas obat anestetik.
Akan tetapi, obat halocarbon dapat menyebabkan kerusakan hati sedangkan kloroform telah
dikenal sebagai anestetik hepatotoksik pada dasawarsa abad ini. Halotan telah diperkenalkan
mulai tahun 1956 dan sampai tahun 1963 telah banyak dilaporkan berbagai kasus ikterus
pascabedah dan nekrosis hati yang berhubungan dengan pemakaian halotan. Walaupun
begitu, berbagai penilitian retrospektif mengenai halotan yang dibandingkan dengan anestetik
lainnya tidak menunjukkan peningkatan insidens kerusakan hati pascabedah dengan halotan.
b) Netrotoksisitas
Tahun 1966, pertama kali dilaporkan adanya penderita poliuri inufisiensi ginjal yang resisten
terhadap vasopressin pada 13 dari 41 penderita yang mendapat anestetik metoksifluran untuk
operasi abdomen. Akhirnya, diketahui penyebabnya adalah fluoride inorganic yang
merupakan produk akhir biotranspormasi metoksifluran.
c) Hipertermia berat
Walaupun jarang ditemukan, kemungkinan pada penderita yang rentan secara genetic yang
terpapar anestetik inhalasi yang dapat terjadi sindrom yang bersifat letal secara potensial,
yang meliputi takikardia dan hipertensi dengan asidosis yang progresif, hiperkalemia, kejang
otot, dan hipertermia. Mula kerja ini terlihat jika subsinilkolin dipakai untuk merelaksasi otot.
Pengobat dengan dentrolen intra vena dengan ukuran yang tepat untuk menurunkan suhu
tubuh serta mengembalikan keseimbangan elektrolit dan asam basa.
d) Toksisitas kronik
 Mutagenisitas
 Kasinogenitas
 Efek pada reproduksi
 Hematotoksisitas
 Penggunaan klinik inhalasi
Dari semua obat anestetik inhalasi yang tersedia hitororegen oksida, desfluran, dan isofluran
paling banyak dipergunakan di AS. Walaupun jarang digunakan pada orang dewasa. Halotan

banyak digunakan pada anestesi anak. Nitrogen oksida tidak mempunyai kekuatan cukup
untuk menimbulkan efek anestesi bila diberikan tersendiri. Umumnya diberikan dalam
bentuk kombinasi dengan anestetik inhalasi yang lainnya, atau kombinasi dengan anestetik
intra vena untuk menimbulkan anestesi local.

D. Obat anestesi intravena
1. Barbitura kerja ultra singkat
Walaupun terdapat beberapa babiturat dengan masa kerja ultra singkat, tiopenta merupakan
obat terlazim yang digunakan untuk induksi anestesi dan banyak dipergunakan dalam bentuk
kombinasi anestetik inhalasi lainnya. Setelah pemberian secara intra vena, tiopenta akan
melewati sawa darah otak secara tepat dan, jika diberikan pada dosis yang mencukupi, akan
menyebabkan akan mengakibatkan hypnosis dalam waktu sirkulasi. Efek sama akan terlihat
pada pemberian barbiturate dengan masa kerja ultra singkat lainnya seperti diamilan dan
metoheksitan
2. Benzodiazepine
Anngota tertentu dalam kelompok obat sedative hypnosis seperti diazepam, lorazepam, dan
midazolam, yang dipergunakan pada prosedur anestesi. (dasar-dasar farmakologi
benzodiazepin) diazepam dan lorazepan tidak larut dalam air dan penggunaan intravenanya
memerlukan vehikulum yang tidak encer, sehingga pemberian intravena dapat menyebabkan
iritasi luka. Formulasi mudah larut dalam air dan kurang iritasi tetapih mudah larut dalam
lemak pada pH fisiologis serta mudah melewati sawa darah otak.
3. Anestesi analgesic opioid
Dosis besar analgesic opioid telah digunakan untuk anestetik umum, terutana pada penderita
operasi jantung atau operasi besar lainnya ketika sirkulasi dalam keadaan minimal.
Pemberian morfin, secara intravena dengan dosis 1 sampai 3 per kg digunakan dalam
keadaan sirkulasi yang berat.
4. Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat menghasilkan
anestesi kecepatan yang sama denga npemberian barbiturate secara inutravena, dan waktu

pemulihan yang lebih cepat.
5. Etomidat
Etomidat merupakan imidazol karboksilasi yang digunakan untuk induksi anestesi dan teknik
anestesi secara seimbang yang tidak boleh diberikan untuk jangka lama. Kelebihan utama
dari anestestik ini yaitu depresi kardiovaskular dan repilasi yang minimal.
6. Ketamin
Ketamin menimbulkan anestesi disosiatif yang ditandai dengan kataton, amenesia, dan
analgesia. Mekannisme kerjanya adalah dengan cara menghambat efek membrane eksitator
neurotrasmiter asam glutamate pada subtype reseptor NMDA.

OBAT YANG DIGUNAKAN
1. Desfluran (suprane)
Cairan: 240 mL untuk inhalasi
2. Diazepam (generic,valium,dll)
Oral; tablet 2,5, 10 mg ; cairan 5 mg/ 5 mL
Oral lepas lambat; kapsul 15 mg
Parenteral; 5 mg/ mL untuk suntikan
3. Enfluran (ethrane)
Cairan : 125,250 mL untuk inhalasi
4. Etomizad (amidate)
Parenteral ;2 mg/ mL untuk suntikan
5. Halutan (generic, fluothane)
Cairan 125, 250 mL untuk inhalasi
6. Isofluran (floren )
Cairan 100mL untuk inhalasi
7. Ketamin (ketalan)
Parenteral; 10,15,100 mg/mL untuk suntikan
8. Lorazepam (generek, aktivam, alzavam)

Ora, tablet 0,5;1,2mg
Parenteral;2,4mg/ mL untuk sutikan
9. Meto hek sital (brevital sodium)
Parenteral: 0,5; 2,5;5 g, serbuk untuk suntikan
10. Mektoksifluran (penthrane)
Cairan ; 15,125 mL untuk inhalasi
11. Mizazolam (versed)
Parenteral;1,5mg/ mL untuk suntikkan dala vial, 1,2, 5 , 10 mL
12. Nitrogen oksida (gas, dalam tabung warna biru)
13. Kropopol (dirifan)
Parenteral: 10 mg/Ml dalam 20 mL vial untuk suntika
14. Tiamilar (surital)
Parenteral : cairan untuk injeksi dalam vial 1,5, 10 g
15. Thiopental (penthoal)
Parenteral: 250, 400, 500 mg diisi dalam suntikan ; 500mg dan 1 g cairan dengannya ; 1, 2, 5,
5g kits
Parental : 400 mg cairan diisi dalam suntikan .

BAB III
ANESTESI LOKAL
A. Farmakologi dasar anestesis local
Kimiawi
Umumnya obat anestesis lokal terdiri dari sebuah gugus lipolifit (biasanya sebuah cincin
aromatik) yang diberikatan dengan sebuah rantai perantara (umumnya termasuk suatu ester
atau sebuah amida) yang terikat pada satu gugus terionisasi. Aktivitas optimal memerlukan
keseimbangan yang tepat antara gugus lipofilik dan kekuatan hidrofilik. Penambahan sifat
fisik molekul, maka konfirgurasi stereokimia specifik menjadi penting, misalnya perbedaan
potensi stereoisomer telah diketahui untuk beberapa senyawa. Karena ikatan ester (seperti
prokain) lebih mudah terhidrolisis dari ikatan amida, maka lama kerja ester biasanya lebih

singkat.
1. Farmakokinetik
Anestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut saraf yang akan
menghamba. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak terlalu penting dalam
memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan halnya mula kerja
anestesis umum terhadap SPP dan toksisitasnya pada jantung. Aplikasi topikal anestesi lokal
bagaimanapun juga memerlukan difusi obat guna mula keja dan lama kerja efek anestesinya.
 Absorbsi
Absorbsi sistemik suntikan anestesi lokal dari tempat suntikan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain dosis, tempat suntikan, ikatan obat jaringan, adanya bahan vasokonstriktor,
dan sifat fisikokimia obat. Aplikasi anestesi lokal pada daerah yang kaya vaskularisasinya
seperti mukosa trakea menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam
darah yang lebih tinggi dibandigkan tempat yang perfusinya jelek, seperti tendo. Untuk
anestesi regio yang menghambat saraf yang besar, kadar darah maksimum anestesi lokal
menurun sesuai dengantempat pemberian yaitu: interkostal (tertinggi) > kaudal > epidural >
pleksus brankialis > saraf insciadikus (terendah).
Bahan vasokonstriktor seperti epinefrin mengurangi penyerapan sistematik anestesi lokal dari
tempat tumpukan obat dengan menguragi aliran darah di daerah ini. Keadaan ini menjadi
nyata terhadap obat yang massa kerjanya singkat atau menengah seperti prokain, lidokain,
dan mepivakain (tidak untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga diperkuat oleh kadar
obat lokal yang tinggi ,dan efek dari toksik sistemik obat akan berkurang karena kadar obat
yang masuk dalam darah hanya 1/3-nya saja
 Distribusi
Anestesi lokal amida disebar meluas dalam tubuh setelah pemberian bolus intravena. Bukti
menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin terjadi dalam jaringan lemak.setelah fase
distribusi awal yang cepat, yang mungkin menandakan ambilan ke dalam organ yang
perfusinya tinggi seperti otak, ginjal, dan jantung, dikuti oleh fase distribusi lambat yang
terjadi karena ambilan dari jaringan yang perfusinya sedang, seperti otot dan usus. Karena
waktu paruh plasma yang sangat singkat dari obat tipe estesr (lihat bawah), maka
distribusinya tidak diketahui.
 Metabolisme dan ekskresi
Anestesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit yang mudah larut dalam air

dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena anestesi lokal yang bentuknya tak
bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk
netralnya yang diekskresikan kerana bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus
ginjal.
Tipe ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh butirilkolinesterase
(pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obatini khas sekali mempunyai waktu paruh yang
sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain dan kloroprokain.
Penurunan pembersihan anestesi lokal leh hati ini harus diantisipasi dengan menurunkan
aliran darah kehati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain oleh hati pada binatang yang
dianestesi dengan halotan lebih lambat dari pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida
dan kurare. Penurunan pembersihan ini berhubungan penurunan aliran darah ke dalam hati
dan penekanan mikrosom hati karena halotan. Propranolol dapat memperpanjang waktu
paruh anestesi lokal amida.
2. Farmakodinamik
 Mekanisme kerja
Membran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan membran otot jantung dan
badan sel saraf, mempertahankan pontesial transmembran sekitar-90 sampai-60 mV. Saluran
natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk cepat kedalam sel dengan cepat
mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40). Sebagai akibat ari
deplorisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka. Alran
kalium keluar sel ,mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan potensial kalium (sekitar95 mV); terjadi lagi repolarisasi saluran natrium menjadi keadaan istirahat. Sifat ini mirip
dengan yang terjadi pada jantung, dan anestesi lokalpun mempunyai efek yang sama pada
kedua jaringan tersebut.
Fungsi saluran natrium dapat diganggu dengan beberapa cara. Racun biologi seperti
batrakotoksin, aksonitin, veratidin, dan beberapa bisa skorpion meningkat reseptor di dalam
saluran dan mencegah inaktivasinya. Akibatnya influks natrium ke dalam sel lebih lama
melalui saluran dibandingkan dari hambatan konduksi, sehingga beberapa peneliti
menyatakan bahwa zat diatas sebagai agonis pada saluran natrium. Racun larut tetrodoktosin
dan saksitoksin menghambat saluran ini dengan berikatan pada reseptor saluran dekat

permukaan ekstrasel. Efek kliniknya sepintas mirip dengan efek anestesi lokal walaupun
bagian reseptornya agak beda. Anestesi lokal meningkatkan reseptor ujung intrasel saluran
adanya bahan vasokonstriksiktor, dan sifat fisikokimia obat. Aplikasi anestesi lokal pada
daerah yang kaya askularisasinya seperti mukosa trakea menyebabkan penyerapan obat yang
sangat cepat dan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi dibandingkan tempat yang
diperfusinya jelek, seperti tendo.
Bila peningkatan konsentrasi secara progresif anestesi lokal digunakan pada satu serabut
saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi impuls melambat, kecepatan munculnya
potensial aksi mengecil,dan akhirnya kemapuan melepas satu potensial aksila hilang. Efek
yang bertambah tadi merupakan ikatan anestesi lokal terhadap banyak dan makin banyak
saluaran natrium. Jika arus ini dihambat mebilih titik krirts saraf, maka propagasi yang
melintas daerah yang dihambat ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang
dibutuhkan untuk menghambat ropagasi, potensial istirahat.
Di antara depolarisasi akson, sebagian saluran natrium pulih dari penghambat obat yang ini
10-100 kali lebih lambat dari pada kepulihan saluran dari inaktivasi normal, seperti yang
nampak pada membran jantung. Akibatnya, masa refrakter diperpanjang dan saraf hanya
dapat menyalurkan sedikit impuls saja.
Walaupun anestesi lokal dapat dibukitan menghambat sejumlah saluran lainnya, termasuk
saluran sinaptik perantara kimiawi, belum ada bukti yang menyakinkan bahwa kerja
demikian berperan penting pula dalam efek klinik dari obat anestesi lokal. Namun, penelitian
percobaan pada seabut saraf dan sel otot jantung menunjukkan bahwa obat yang
memperpanjang potensial aksi dapat meningkatkan dengan jelas kepekaan saluran natrium
terhadap penghambatan anestesi lokal (Drachman, 1991). Hal ini dapat diterangakan dengan
pengamatan uraian di atas, yaitu afinitas saluran yang disktifkan dan diinaktifkan terhadap
anestesi lokal lebih besar dari pada afinitas saluran dalam keadaan isirahat.
Karakteristik struktur-aktivitas anestesi lokal
Makin kecil dan makin banyak molekul lipofilik, makin cepat pula kecepatan interaksi
dengan reseptor saluran natrium. Potensi mempunyai hunbungan positif pula dengan larutan
lipid selama obat menahan kelarutan air yang cukup untuk berdifusi ke tempat kerja.
Lidokain, prokain, dan mepivakin lebih larut dalam air dibandingkan tetrakain, etidokain, dan
bupivakain. Obat yang terakhir lebih kuat dengan masa kerja yang panjang.obat terikat lebih
ekstensif pada protein dan akan menggeser atau digeser dari tempat ikatannya oleh obat-obat
lain.

 Aksi terhadap saraf
Karena anestesi lokal mampu menghambat semua saraf, maka kerjanya tidak saja terbatas
pada hilangnya sensasi sakit dan nyeri yang diinginkan. Walaupun kelumpuhan motor pada
suatu saat diperlukan juga, namun keadaan demikian membatasi kemapuan pasien untuk
kerja sama, misalnya selama persalinan. Selama anestesi sinal, kelumpuhan motor justru
merusak aktivitas pernapasan dan penghambatan saraf otonom dapat menimbulkan hipotensi,
namun demikian,perbedaan tipe serabut saraf akan membedakan dengan nyata kepekaannya
terhadap penghambatan anestesi lokal atas dasar pengukuran dan mielinasi.
 Efek diameter serabut
Anestesi lokal lebih mudah menghambat serabut ukuran kecil karena jarak dimana propragasi
suatu impuls listrik merambat secara pasif pada serabut tadi (berhubungan dengan kostan
ruang) jadi lebih singkat. Selama mula kerja anestesi lokal, bila bagian pendek serambut
dihambat, maka serabut berdiameter kecil yang pertama kali gagal menyalurkan impuls.
Terhadap serabut bermielin, setidaknya tiga nodus berturut-turut dihambat oleh anestesi lokal
untuk menghentikan propagasi impuls. Makin tebal serabut saraf, makin terpisah jauh nodus
tadi-yang menerangkan, sebagian tahanan yang lebh besar tadi. Saraf bermielin cenderung
dihambat sebelum saraf yang tidak bermielin pada ukuran yang sama. Dengan alasan ini,
serabut preganglionik B dapat dihambat sebelum serabut C kecil yang tidak bermielin.
 Efek frekuensi letupan
Alasan penting lain terhadap mudahnya penghambatan serabut sensoris mengikuti langsung
dari mekanisme kerja yang bergantungpada keadaan anestesi lokal. Hambatan oleh obat
anestesi lokal dan makin lamanya depolarisasi. Serabut sensoris, terutama serabut nyeri,
ternyata berkecepatan letupan tinggi dan lama potensi aksi yang relatif lama (medekaiti 5
milidetik). Serabut motor meletup pada kecepatan yang lebih lambat dengan potensial aksi
yang singkat (0,5 milidetik). Serabut delta dan C adalah serabut berdiameter kecil yang
terlibat pada transmisi nyeri berfrekuensi tinggi. Oleh karena itu, serabut ini dihambat lebih
dahulu dengan anestesi lokal kadar rendah dari pada serabut A alfa.
 Efek posisi saraf dalam bundel saraf
Susunan anatomi serabut menciptakan pula aturan tertentu seperti di atas dengan perkeculian
terhambatan berbagai serabut yang terletak di bagian tepi bundel. Pada sekumpulan saraf
yang besar, saraf motor biasanya terletak melingkari bundel. Dan oleh karena itu saraf ini
akan terpapar lebih dahulu bila anestesi lokal diberikan secara suntikan kedalam jaringan

sekitar saraf. Akibatnya, bukan tidak mungkin saraf motor akan terhambat sebelum
[enghambatan motor dalam bundel besar. Pada ektrimitas, serabut sensoris proksimal terletak
menyelimuti badan saraf, di mana persarafan sensoria distal terletak di tengah. Jadi, selama
infiltrasi hambatan saraf besar, anestesi menyebar ke distal sesuai dengan penetrasi obat ke
dalam bagian tengah bundel saraf.
 Efek terhadap membran yang mudah terangsang lainnya
Anestesi lokal mepunyai efek menghambat tot saraf yang lemah dan tidak begitu penting
dalam klinik. Namun, efeknya terhadap membran sel otot jantung mempunyai makna klinik
yang penting. Beberapa berguna sebagai obat antiaritmia pada kadar rendah dibandingkan
kadarnya untuk menghambat saraf, dan semua anestesi lokal dapat menimbulkan aritmia pada
kadar yang cukup penting.
B. Farmakologi klinik anestesi lokal
Anestesi lokal menyebabkan analgesia sementara tetapi lenkap dari bagian tubuh yang
berbatas tegas. Cara pemberian biasanya dengan aplikasi topikal, suntikan pada daerah
akhiran saraf perifer dan bundel batang saraf dan instilasi ke dalam jaringan epidural dan
ruang subarakhnoid yang mengelilingi medula spinalis. Selain itu, hambatan serabut simpatis
otonom dapat digunakan untuk mengevaluasi peran tonus simpatis pada pasien dengan
vasopasme perifer.
Pilihan anestesi lokal untuk prosedur tertentu biasanya atas lama kerja obat yang dibutuhkan.
Prokain dan kloroprokain bekerja singkat: lidokain, mepivakain, dan prilokain masa kerjanya
mengah sedangkan tetrakain, bupivakain, dan etiokain bekerja lama.
Mulai kerja anestesi lokal kadang dapat dipercepat dengan menggunakan larutan jenuh
dengan CO2 (karbonasi) kadar CO2 jaringan yang tinggi menyebarkan asidosis intraselular
(CO2 mudah melintas membran), yang kemudian menimbulkan tumpulkan bentuk kation
anestesi lokal.
1. Toksisitas
Seharusnya obat anestesi lokal diserap dari tempat pemberian obat. Jika kadar obat dalam
darah meningkat terlalu tinggi, maka akan timbul efek pada berbagai sistem organ.
 Sistem saraf pusat
Sejak zaman prasejarah, penduduk asli peru telah mengunyah daun tumbuhan erythoxylon

coca, sumber kokain, untuk, untuk memperolehperasaan nyaman dan menguragi keletihan.
Efek SSP yang kuat dapat diperoleh dengan menyedot bubuk kokain. Kokain kini telah
menjadi satu penyalahgunaan obat yang paling banyak digunakan. Anestesi lokal lainnya
tidak memiliki efek euforia kokain. Namun, beberapa penelitian menunjukkan b ahwa
beberapa pemakai ketagihan kokain tidak dapat membedakan antara pemberian kokain
intranasal dengan lidokain intranasal.
Efek SSP lainnya termasuk ngantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan pendengaran,
dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi, akan timbul pula nistagmus dan mengigil.
Akhirnya kejang toni klonik yang terus menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang
terjadi untuk semua anestesi lokal termasuk kokain. Anestesi lokal nampaknya depresi jalur
penghambatan kortikal, sehingga aktivitas komponen eksitasi sisi sepihak akan muncul.
Tingkat transisi eksitasi tak seimbang ini akan diikuti oleh depresi SPP umumnya bila kadar
anestesi lokal dalam darah lebih tinggi lagi.
Reaksi toksik yang paling serius dari obat anestesi lokal yang timbulnya kejang karena kadar
obat dalam darah yang berlebihan. Keadaan ini dapat dicegah dengan hanya memberikan
anestesi lokal dalam dosis kecil sesuai dengan kebutuhan untuk anestesi yang adekuat saja.
Bila harus diberikan dalam dosis besar, maka perlu ditambahkan premedikasi dengan
benzodiazepin; seperti diazepam, 0,1-0,2 mg/kg parenteral untuk mencegah bangitan kejang.
Bila kejang sudah terjadi, maka perlu untuk mencegah hipoksemia dan asidosis. Walaupun
pemberian oksigen tida dapat mencegah hiperroksemia setelah munculnya kejang.
Sebaliknya, hiperkapnia dan asidosis turut memperberat kejang. Hiperventilasi dapat
meningkatkan pH darah, yang kemudian akan menurunkan kadar kalium ekstrasel. Hal ini
akan menghiperpolarisasi potensial transmembran akson, yang cocok untuk keadaan istirahat
atau afinitas rendah saluran natrium, sehingga toksisitas anestesi lokal berkurang.
Kejang akibat anestesi lokal dapat diobati pula dengan barbiturat kerja singkat dosis kecil,
seperti tiopental, 1-2 mg/kg secara intravena, atau azepam, 0,1 mg/kg intravena. Manifestasi
otot dapat ditekan dengan obat penyakat otot saraf kerja singkat, seperti suksinilkolin tidak
memperbaiki menifestasi kortikal pada EEG pada kasus pemberian suksinilkolin dan ventilasi
mekanik dapat mencegah aspirasi paru dari cairan lambung dan mempermudah terapi
hiperventilasi.

 Sistem saraf perifer (neurotoksisitas)
bila diberikan dalam dosis yang sangat berlebihan, semua anestesi lokal akanmenjadi toksik
terhadap jaringan saraf. Beberapa laporan menunjukkan kasus defesit sensoris dan motor
yang belanjut setelah kecelakan anestesi spinal dengan klopoprokain volume besar. Apakah
klopoprokain memang lebih neurotoksik dibandingkan denga anestesinya belum bisa
dipastikan.
 Sistem kardiovaskuler
Efek kardiovaskular anestesi lokal akibat sebagian dari efek langsung terhadap jantung dan
menbran otot polos serta dari efek secara tidak langsung melaluai saraf otonom. Seperi uraian
dalam anestesi lokal menhambat saluran natrium jantung sehingga menekan aktivitas pacu
jantung, eksitabilitas, dan konduksi jantung menjadi normal. Dengan perkecualian kokain,
obat anestesi lokal menekan pula kekuatan kontaksi jantung sehingga terjadi dilatasi arteriol,
di mana kedual efek ini akan menimbulkan hipotensi. Walaupun kolaps kardiovakular dan
kematian biasanya timbul setelah pemberian dosis yang sangat tinggi, kadang-kadang dapat
pula terjadi dalam dosis kecil yang diberikan secara anestesi inflitrasi.
Seperti catatan di atas, kokain berbeda dengan anestesi lain dalam hal efek
kardiovaskularnya. Hambatan ambilan kembali norepineprin dapat menimbulkan
vasokonstriksi dan hipertensi. Kokain dapat pula menyebkan aritmia jantung. Efek
vasokostriksi kokain akan menimbulkan iskemia pada mukosa hidung, dan pada pemakai
jangka panjang, bahkan dapat terjadi tukak lapisan mukosa dan kerusakan eptum hidung.
Sifat vasokonstriksi kokain ini dimanfaatkan secara klinik untuk mengurangi perdarahan
akibat kerusakan mukosa nasofaring.
Bupivakain lebih kardiotoksik daripada anestesi lokal lainnya. Beberapa kasus menunjukkan
bahwa kelalaian suntikan bupivakain intravena intravena tidak saja menyebabkan kejang
tetapi juga kolaps kardiovaskular, di mana tindakan resusitasi sangat sulit dilakukan dan tidak
akan berhasil. Beberapa penilitian pada binatang sepakat tentang ide bahwa bupivakain
memang lebih toksik bila diberikan secara intervena dibandingkan anestesi lokal lainnya. Hal
ini menggambarkan bahwa saluran natrium bupivakain sangat diperkuat oleh masa kerja yang
kuat dan sangat lama pada seln jantung (dibandingka serabut saraf lain), dan tidak seperti
lidokain, bupivakain menumpuk jelas pada denyut jantung normal. Penelitian berikutnya
menunjukkan bahwa gambaran EKG yang sangat umum pada pasien yang diberi bupivakain
ternyata irama idioventrikular melambat dengan kompekls QRS yang melebar dan disosiasi

elektromekanik. Resusitasi pernah berhasil dengan bantuan kardiopulmoner standartermasuk koreksi asidosis yang jitu dengan hiperventilasi dan pemberian bikarnoat-dan
pemberian epineprin, atropin, dan bretilium yang agresif. Ropivakain adalah anestesi lokal
amida yang baru dan masih diteliti dengan efek anestesi lokalnya sama dengan bupivakain.
Bukti awal menunjukkan bahwa toksisitas kardiovaskularnya lebih kecil daripada bupivakain.
 darah
Pemberian prilokain dosis besar (>`10mg/kg) selama anestesi regional akan menimbulkan
penumpukan metabolit toluidin, suatu zat pengoksidasi yang. Bila kadar methemoglobin ini
cukup besar (3-5 mg/dL), maka pasien akan nampak sianotik dan warna menjadi coklat.
Kadar methemoglobin demikian menimbulkan dekompensasi pada pasien dengan penyakit
jantung atau paru sehingga perlu pengobatan segera. Tindakan untuk menguragi kadar
methemoglobin dengan metilin biru, asam askobat, kurang memuaskan, dapat diberikan
secara intravena agar methemoglobin segera dikonversi menjadi hemoglobin.
 Reaksi alergi
Anestesi lokal tipe ester dimetabolisir menjadi turunan asam p aminobenzoat. Metabolit ini
dapat menimbulkan reaksi alergi pada sekelompok kecil populasi. Amida tidak dimetabolisir
menjadi asam p- aminobenzoat, sehingga reaksi alergi tipe amida ini sangat jarang sekali
terjadi

OBAT YANG TERSEDIA
1. Benzokain (generik,lain-lain) Topikal: krim 5,6%; 6,20%; salep 5%; lotion 0,5%;
semprot20%
2. Bupivakain (generik, marcaine, sensorcaine) Parentetal: 0,25, 0,5, 0,75% untuk disuntik;
0,25, 0,5, 0,75% dengan 1:200000
3. Butamben pikrat (butesin picrate) Topikal: salep 1%
4. Kloroprokain (nesacaine) Parentetal: 1,2,3,% untuk suntikan
5. Kokain (generik) Topikal: larutan 40, 100 mg/ml: bubuk 5,25g; tablet mudah larut 135 mg
6. Dibukain (generik, nupercainal) Topikal : krim 0,5%; salep 1%
7. Diklonin (dyclone) Topikal: larutan 0,5, 1%
8. Etidokain (duranest) Parental :1% untuk suntikan; 1, 1,5% dengan epinefrin 1:200000

untuk suntikan
9. Lidokain (generik,xylocaine, lainya) Parental: 0,5, 1, 1,5, 2, 4, 10, 20% untuk suntikan;
0,5, 1, 1,5, 2% dengan apinefrin 1:200000; 1,2% dengan epinefrin 1:100000;2% dengan
epinefrin 1:50000 Topikal: salep 2,5, 5%; krim 5%; jelly dan larutan 2%; larutan 2, 4, 10%
10. Mepivakain (generik,carbocaine, lainya) Parental: 1, 1,5, 2, 3% untuk suntikan ;25
dengan levonordefrin 1:20000
11. Pramoksin (tronothane,prax) Topikal: krim 0,5, 1%;lotion dan gel 1%
12. Prilokain (citanest) Parental; 4% untuk suntikan,4% dengan epinefrin 1:200000
13. Prokain (generik,novocain) Parental; 1,2,10% untuk suntikan
14. Propoksikain dan prokain (revocaine dan novocain) Parental: 7,2 mg propoksikain
dengan 36 mg prokain dan norepifrin atau kobefrin per 1,8 mL unit suntikan gigi
15. Tetrakain (pontocaine) Parental;1% untuk suntikan; 0,2, 03% dengan 6% dekstrosa untuk
anestesi spinal
16. Topikal; salep 0,5%;larutan (oftalmik)0,5%; krim 1%; larutan untuk kumur2%.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Anestesi umum
 Stadium anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran”, terhambatnya
sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap
obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan,
dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.
 Jenis obat anestesi umum.
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.
• Anestetik inhalasi

• Anestetik intravena

 Tanda dan stadium anestesi
Gambaran tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda guedel) berasal terutama dari
penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat karena
kelarutannya yang tinggi didalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah terlihat
pada pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena yang bekerja cepat.
 Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi
susunan saraf pusat, yaitu :
• Stadium analgesi
• Stadium terangsang
• Stadium operasi
• Stadium depresi medula oblongata

2. Anestesi local
 Anestesi lokal menghambat impuls konduksi secara revesibel sepanjang akson saraf dan
membran eksitabel lainnya yang menggunakan saluran natrium sebagai alat utama
pembangkit potensi aksi. Secara klinik, kerja ini dimamfaatkan untuk menghambat sensasi
sakit dari-atau impuls vasokontstriktor simpatis ke-bagian tubuh tertentu. Kokain, obat
anestesi pertama, yang diisolasi oleh niemann pada tahun 1860.
 Kimiawi
Umumnya obat anestesis lokal terdiri dari sebuah gugus lipolifit (biasanya sebuah cincin
aromatik) yang diberikatan dengan sebuah rantai perantara (umumnya termasuk suatu ester
atau sebuah amida) yang terikat pada satu gugus terionisasi. Aktivitas optimal memerlukan
keseimbangan yang tepat antara gugus lipofilik dan kekuatan hidrofilik.
 Farmakokinetik

Anestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut saraf yang akan
menghamba. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak terlalu penting dalam
memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan halnya mula kerja
anestesis umum terhadap SPP dan toksisitasnya pada jantung.
 Farmakodinamik
Mekanisme kerja
Membran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan membran otot jantung dan
badan sel saraf, mempertahankan pontesial transmembran sekitar-90 sampai-60 mV. Saluran
natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk cepat kedalam sel dengan cepat
mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40). Sebagai akibat ari
deplorisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka.