anastesi reptil ular

LAPORAN KEGIATAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER
HEWAN BAGIAN BEDAH DAN RADIOLOGI
ANESTESI UMUM PADA REPTIL TERUTAMA ULAR

Di bawah bimbingan
Prof Drh Deni noviana, PhD
Oleh
Fahmi Hakiki
B94164417

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017

PENDAHULUAN
Reptilia merupakan salah satu bagian dari kekayaan hayati yang dimiliki
Indonesia. Diperkirakan di Indonesia tercatat 816 jenis reptilia (Iskandar 1996).
Sekarang ini reptilia telah dimanfaatkan dengan daya guna tinggi seperti obat,
makanan, pertunjukan dan juga binatang peliharaan. Dewasa ini masyarakat sudah
mulai melirik reptilia sebagai binatang peliharaan menggantikan burung dan

beberapa mamalia yang sudah dijadikan binatang peliharaan sebelumnya. Reptilia
sebagai binatang peliharaan mempunyai daya tarik yang cukup tinggi (Powell
2005) menyatakan bahwa jenis ular sangat baik dijadikan binatang peliharaan
karena eksotik, indah dan unik, selain itu jenis iguana, biawak dan kadal dan
cukup menarik untuk dipelihara. Permintaan akan jenis reptilia dari Indonesia
bagian timur di pasar internasional cukup tinggi permintaannya, karena keindahan
tubuh dan status keendemikannya (Mardiastuti 2009)
seorang calon dokter hewan untuk memiliki pengetahuan yang memadai
didalam menentukan pilihan terhadap anestetik yang tepat untuk digunakan. Oleh
karena itu diperlukan suatu data mengenai agen anestesi yang efektif, efesien dan
aman untuk digunakan karena beberpa anestesi umum mempunyai resiko yang
jauh lebih besar daripada prosedur pembedahan yang dijalankan. Untuk itu
diperlukan kondisi anestetik yang sesuai dengan yang diinginkan (Zaenal dan
Kusumawati 1998)
TUJUAN
Mempelajari dan mengkaji tentang cara, rute, dan obat yang digunakan
untuk anestesi umum pada reptil terutama ular.
PEMBAHASAN
Anestesi
Anestesi dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kondisi sedasi,

analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk
dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan
gangguan hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam
(Miller 2010). Pada hewan, anestesi umumnya digunakan untuk alasan
menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang merugikan (rasa
sakit), melakukan pengendalian hewan (restraint), membantu melakukan
diagnosis atau proses pembedahan, keperluan penelitian biomedis, mencegah
kekejangan otot, dan untuk melakukan euthanasia (Adams 2001).
Stadium anestesi dibagi menjadi empat, yaitu stadium induksi, stadium
eksitasi, stadium pembedahan, dan stadium paralisis medular. Stadium induksi
dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran,
indra penciuman dan rasa nyeri hilang, ada kemungkinan mengalami mimpi serta
halusinasi pendengaran dan penglihatan. Pada stadium eksitasi atau delirium
terjadi kehilangan kesadaran akibat penekanan korteks serebri, eksitasi dan

gerakan yang tidak menurut kehendak, pernapasan tidak teratur, inkontinensia
urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium pembedahan
merupakan stadium yang menandakan dimulainya prosedur operasi. Stadium
paralisis medular merupakan tahap toksik dari anestesi yang ditandai dengan
paralisis otot dada, pulsus cepat, dan pupil dilatasi (Munaf 2008).

Anestesi Umum pada Reptil
Anasthesi pada berbagai macam spesis reptil dapat menyulitkan karena
kemampuan mereka untuk menahan nafas pada beberapa menit. Ini dapat
memperlambat kecepatan ketika menggunakan anasthesi yang tidak stabil, atau
membuatnya tidak efektif dan dapat menjadi penanda ketika agen anasthesi di
suntikkan. Nafas yang tertahan biasanya terlihat pada ular, chelonian dan beberapa
spesies kadal. Setelah anestesi di induksi, teknik intubasi relatif mudah karena
laring yang mudah divisualisasikan. Prosedur Ini harus dilakukan sebagai
prosedur tetap, karena sebagian besar reptil, glotis dapat tertutup saat anestesi
diperdalam. Pemasangan alat bantu Ventilasi dapat dibantu jika dibutuhkan,
namun hanya diperlukan jika tekanan saturasi oksigen yang rendah Masa
pemulihan dari anestesi pada spesies ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Namun, tidak disarankan untuk mencoba mempercepat pemulihan dengan
menempatkan hewan di lingkungan yang sangat hangat. Pemulihan paling baik
berada pada kisaran suhu optimum yang diinginkan, dan ini bervariasi tergantung
spesies reptil. Ular yang berukuran kecil harus di puasakan selama 24 jam
sebelum anestesi, dan spesies reptil yang lebih besar harus dipuasakan selama 7
hari sebelum anasthesi di induksi. Tetapi jenis reptil seperti chelonia dan kadal
tidak memerlukan puasa selama pra-anestesi ( Longley 2008).
1. Anatomi dan Morfologi hewan reptil terutama ular

Paru-paru reptil yaitu jenis paru-paru sederhana yang mempunyai kantung
berlapis endothelium yang menempel pada bronchi Akibatnya, total volume paruparu lebih besar dari pada paru-paru mamalia, tapi luas permukaan untuk
pertukaran gas jauh lebih kecil. Ular terutama piton dan boa, memiliki
perkembangan paru kiri perkembangan lebih baik dari pada paru kanan. paru-paru
kanan ular bervariasi panjangnya dan bisa meluas ke kloaka. Paru-paru reptil
umumnya dianggap sangat rapuh. Pemasangan alat ventilator harus dilakukan
dengan sangat hati-hati untuk menghindari pecahnya alveoli pada paru-paru.
Adaptasi ini memungkinkan ular untuk bernafas bahkan setelah menelan mangsa
cukup besar. Ular dan beberapa kadal juga memiliki kantung udara nonrespiratory,
yang fungsinya masih diperdebatkan. Otot dilator glotis membuka saat ular
bernapas. Intubasi Biasanya tidak sulit karena mulut terbuka lebar dan laring bisa
diakses (Davies 1981)
2. Managemen preanestesi pada reptil



Atropin Sulfate

Pada intra muscular atau intracloeic (ip) dosis atropine sulfat (0,01-0,04
mg/kg) diberikan sebelumnya untuk menginduksi dari anastesi yang telah

direkomendasikan untuk mengurangi resiko bradikardia dan untuk mengurangi
sekresi mulut pada pembiusan repti. Atropine dimasukkan setelah anestesi
barbiturat dan juga direkomendasikan untuk mencegah atau mengobati edema
paru. Kebanyakan penelitian mengindikasikan kelebihan salipasi dan brakikardia
bersamaan terjadi dengan anastesi reptil. Manfaat potensial dari atropine pada
reptil membutuhkan investigasi lebih lanjut (Burke 1970).


Tranquiliers

Phenotiazine tranquilizer telah berhasil digunakan pada reptil.
Acepromazine diberikan pada dosis 0,1-0,5 mg/kg i.m. sekitar 1 jam sebelumnya
untuk menginduksi anastesi yang telah diberikan lebih rendah dari dosis yang
dibutuhkan dari agen penginduksi. Chlorpromazine juga telah digunakan pada
dosis 10 mg/kgi.m. 10 menit sebelum intracardiac diberikan dari anastesi
barbiturate pada kura-kura, sehingga memgurang waktu induksi dan respon lebih
dapat diprediksi dari barbiturate yang diberikan secara tunggal. Benzodiaphines
juga telah digunakan dengan hasil yang yang baik pada reptile. Zolazepam adalah
benzodiazepine yang diberikan dengan kombinasi tilatemin untuk mencegah
kekakuan otot yang parah dan kejang akibat tilatemin. Midazolam baru baru ini

telah dievaluasi dalam konjugasi dengan ketamin HCL, pada 2 mg/kg dari
benzodiazepine diberikan dengan 20 atau 40 mg/kg ketamin, sedasi
dipertimbangkan lebih baik pada agent yang diberikan secara tunggal (Burke
1970).
3.Teknik Anestesi pada Reptil terutama ular
a. Teknik anestesi Lokal
Reptil sangat sensitif terhadap stimulasi pada kulit. anastesi lokal efektif pada
reptil, dan perbaikan laserasi, kuretase pada abses, pengangkatan neoplasma
kutaneous yang berukuran kecil, dan prosedur lainnya yang dapat dilakukan
dengan menggunakan pengekangan manual dan 2% lidocain atau 1% prokain
yang di suntikkan pada reptil. letal dosis pada procain adalah 250mg/kg.
bagaimanapun, pada venomous dan binatang yang sangat besar, prosedur
imobilisasi ini mungkin tidak dianjurkan untuk keselamatan hewan dan yang
menanganinya. Jika pasien berukuran besar dan sulit untuk ditangani, dosis
sedative dari ketamin atau acepromazin mungkin akan membantu (Green 1981)
b. Anestesi umum dengan Injectable anesthetic drugs
Ketamin adalah anestetik perinjeksi yang paling banyak digunakan untuk
reptil, menghasilkan anestesi ringan sampai sedang pada berbagai macam spesies

reptil. Pada ular, dosis 150 mg / kg intra muscular (im) menghasilkan sedasi dan

dosis 50 - 80 mg / kg im menghasilkan anastesi ringan hingga sedang. Efek
ketamin dapat bertahan selama 1 - 2 hari. Di Belanda biasanya dosisi ketamin
dianestesi dengan tingkat dosis 60 mg / kg melalui intra muscular walaupun
pemulihan sekali lagi bisa memakan waktu hingga 24 jam. Kadal umumnya diberi
pada tingkat dosis 25 - 50 mg / kg im, dan masa pemulihan bisa memakan waktu
hingga 6 jam. Pada semua spesies, anestesi dapat diperdalam dengan pemberian
anestesi volatil (Green 1981),
C. Anestesi Umum Dengan Agen Volatil
Beberapa dokter hewan menyatakan penggunaan anestesi inhalasi lebih
baik untuk menghindari komplikasi dari injectable anestheti. Sevoflurane,
isofluran, halotan, dan methoxyflurane. Semuanya dapat digunakan untuk
menghasilkan anestesi yang aman dan efektif. Penggunaan chamber anastesi
untuk mempermudah penggunaan anastesi terutama spesies reptil yang berukuran
kecil. Anestesi kemudian dapat maintaine dengan menggunakan masker wajah,
sebaiknya hewan tersebut dapat di intubasi dan di maintaine pada sirkuit anestesi
yang sesuai (Helmer et al 2005).
4. Patient Monitoring
Monitoring selalu dilakukan saat induksi sampai selesai operasi dilakukan.
Monitoring pasien meliputi monitoring sistem respirasi meliputi ritme, intensitas
dan frekuensi nafas. Frekuensi nafas normal ular berkisar 20 kali permenit.

Selanjutnya yaitu monitoring jantung meliputi frekuensi denyut, ritme, dan
intensitas. Frekuensi jantung pada ular berkisar antara 10-80 kali permenit.
Monitoring selanjutnya yaitu monitoring suhu Menurut literatur, reptil termasuk
ular merupakan hewan poikiloterm atau biasa disebut hewan ektoterm, artinya
suhu tubuh nya mengikuti suhu lingkungan sekitarnya. Suhu optimal untuk
ular adalah berkisar dari 18-34ºC. Heat stress pada spesies ular dapat terjadi
ketika suhu tubuh mencapai 35ºC dan kematian dapat terjadi ketika suhu tubuh
ular berkisar 38-44ºC. Ketika suhu turun hingga 10ºC ular berada dalam
kondisi torpor dan akan mati jika suhu kurang dari 4ºC (Helmer et al 2005).
5. Tindakan Post Operatif
Monitoring dilanjutkan sampai masa pemulihan. Glotis diperiksa dari benda
asing dan cairan setelah ekstubasi. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
penyumbatan pada glotis. Induksi anastesi dan waktu pemulihan pada reptil ber
vareasi tapi cenderung lebih lama daripada mamalia. Karena metabolisme reptil
tergantung dengan suhu lingkungan, absorpsi dan eliminasi dari obat anastesi
mungkin dengan menyediakan suhu lingkungan yang hangat dan perbaikan harus
terjadi dalam kondisi tenang, lingkungan yang kaya oksigen dengan suhu dan
kelembaban diatas batas optimum dari spesies mamalia. Suhu hangat yang
berlebihan mungkin merugikan dengan cara peningkatan aktivitas yang berlebihan


pada pasien yang pada akhirnya meningkatkan permintaan oksigen pada jaringan.
Peningkatan oksigen ini tidak dapat ditemukan pada pasien dengan hasil depresi
pernapaan dari beberapa agen anastesi seperti eter dan menjadi penyebab
kematian pada cobra di india (Naja Naja) dan raja cobra (ophiagush Hannah)
anastesi dengan metoksiflurin dan eter mempunyai kelartutan dalam lemak yang
tinggi, dan pada suhu yang tinggi obat ini dilepaskan dari lemak. Demikian,
selama pebaikan pada suhu tinggi, jumlah obat meninkat dan pasien kambuh ke
dalam anastesi yang dalam (Burke 1970).

Gambar 1. Teknik anastesi inhalasi pada ular
SIMPULAN
Anestesi umum pada reptile terutama ular dapat dilakukan dengan rute
intramuscular atau dengan inhalasi. Obat-obatan yang dapat digunakan adalah
atropine, Acepromazine, ketamin.
DAFTAR PUSTAKA
Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ames (US): Iowa
State Pr.
Burke, T. J., and B. E. Wall. 1970. Anesthetic death in cobras (Naja naja and
Ophiophagus Hannah) with methoxyflurance. J. Am. Vet. Med. Assoc. 157
Davies, P. M. C. 1981. Anatomy and Physiology. In: Cooper, J.E., and O. F.

Jackson (eds.). Diseases of the Reptilia, vol. 1. Academic Press, New York.
Pp. 9-73
Green, D. W. 1981. Postmix Dispensing Technology. In : H. W. Houghton (Ed).
Development in Drinks, Soft Drinks Technology p 31-50. Applied Science,
Publisher Ltd, London.
Helmer, Peter and D. P. Whiteside. 2005. Clinical Anatomy and Physiology of
Exotic Species. London: Elsevier Saundiers.
Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan. Puslitbang
LIPI. Bogor.
Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Di dalam Kusrini MD, Mardiastuti A, Fitri A,
editor. Konservasi Amfibi dan reptil Indonesia. 131-144. Bogor: Indonesian
Reptile and Amphibian Trade Association (IRATA).
Miller RD. 2010. Miller’s Anesthesia. Edisi 7. Philadelphia (US): Churchill Living
Elsevier.

Munaf S. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang (ID): EGC.
Powell, A. A., S. Matthews. 2005. Towards the validation of the controlled
deterioration vigour test for small seeded vegetables. Seed Testing
International. ISTA news Bulletin 129: 21-24.
Zainal, A. M. dan D. Kusumawati. 1998. Pengaruh PremedikasiAcepromazin dan

Xylazin TerhadapAnestesi Umum Ketamin PadaAyam. Media Kedokteran
Hewan 4 (14) : 277-281.