BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sosiologi Sastra

(1)

8

LANDASAN TEORI

2.1 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan sebuah kajian yang membahas kehidupan sosial masyarakat yang tertuang dalam sebuah karya sastra. Albrecht dan Swingewood dalam Ratna (2011:331) menyatakan bahwa sosiologi sastra dianggap baru lahir pada abad ke-18 yang ditandai dengan tulisan Madame de StaelI yang berjudul De la litterature cinsideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800). Pendekatan sosiologis merupakan pendekatan yang menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Ratna, 2011:59). Pendekatan sosiologis sejatinya adalah hubungan yang hakiki antara karya sastra dengan masyarakat (Ratna, 2011:60). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendekatan sosiologis menekankan kepada karya sastra yang diinspirasi dari keadaan masyarakat, seperti yang dikemukakan dalam kutipan sebagai berikut:

Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, dan c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

Ratna (2011:60)

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengarang merupakan anggota masyarakat, dan mereka cenderung menggunakan keadaan lingkungan masyarakatnya sebagai inspirasi untuk membuat sebuah karya sastra. Simmel


(2)

dalam Faruk (2012:35) menyatakan bahwa masyarakat terbentuk dari interaksi yang nyata antar individu.

Banyak hal yang menjadi dasar dalam menganalisis karya sastra dalam lingkup sosiologi sastra. Dalam kajian sosiologi sastra, yang dapat dianalisis adalah bagaimana kehidupan sosial pengarang, masyarakat yang menjadi ruang lingkup pengarang maupun yang disoroti oleh pengarang. Ian Watt dalam Damono (1978:3) mengemukakan bahwa dalam sosiologi sastra yang dipelajari meliputi:

a. Konteks sosial pengarang:

a) Bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencaharian (pengayom, dari masyarakat atau kerja rangkap),

b) Profesionalisme kepengarangan, c) Masyarakat apa yang dituju. b. Sastra sebagai cerminan masyarakat.

a) Sastra mungkin dapat mencerminkan masyarakat b) Menampilkan fakta-fakta sosial dalam masyarakat c. Genre sastra sering merupakan suatu sikap kelompok tertentu. d. Sastra yang menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya. Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan teori dari Ian Watt pada point kedua, yaitu sastra sebagai cermin masyarakat. Dalam hal ini, penulis ingin meneliti pencerminan paham berkelompok yang ada di dalam masyarakat Jepang, khususnya di dalam manajemen perusahaan Jepang.


(3)

2.2 Konsep Shuudan Shugi (集団主義) dalam Masyarakat Jepang

Banyak tradisi bangsa Jepang yang telah ada sejak dahulu kala. Salah satunya adalah paham berkelompok. Hal ini sesuai dengan pernyataan Eizaburo dalam Soetanti (2007:213) yaitu,

Begitu banyak nilai tradisi bangsa Jepang yang penting dan telah ada sejak zaman dahulu kala, antara lain rasa kekeluargaan, rasa solidaritas kelompok, rasa memiliki, rasa kesetiaan, atau loyalitas yang sangat tinggi, sifat rajin, hasrat bekerja keras, serta konsep pemikiran rasa bangga, budaya malu, dan masih banyak lagi.

Seperti yang telah dijelaskan di depan (hal 1, par 2 ), Shudan shugi adalah sebuah ideologi berkelompok atau semacam groupism, Iwan (2004: x). Ideologi tersebut merupakan ideologi kebersamaan atau sebuah paham berkelompok dalam masyarakat Jepang. Mereka percaya bahwa dengan berkelompok, banyak manfaat yang akan tercapai, terutama dalam mempertahankan eksistensi mereka (Iwan, 2004:35). Shuudan shugi adalah segala hal yang mengacu kepada segala fenomena, seperti identifikasi individu dalam sebuah kelompok (Yoshino, 1992:19). Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang bukanlah kumpulan dari individu, tetapi mereka adalah sebuah kumpulan kelompok. Masyarakat Jepang cenderung memiliki keterikatan yang sangat kuat terhadap kelompoknya. Terutama pada tempat di mana mereka bekerja. Mereka yang tergabung dalam suatu kelompok akan merasakan kewajiban untuk bertindak seirama sesuai dengan tindakan kelompok serta tidak ingin menonjolkan diri dari anggota kelompok yang lainnya. Keharmonisan yang tercipta dalam hubungan kelompok ini melahirkan rasa saling memiliki dan kebersatuan yang memang sudah ditanamkan dalam pendidikan mereka. Jika ada sesuatu hal buruk yang terjadi


(4)

dengan perusahaannya, mereka yang tergabung dalam kelompok perusahaan itu, seperti karyawan merasa tergerak dan akan saling bahu-membahu dalam memikul permasalahan tersebut.

Masyarakat Jepang menganggap bahwa dengan bersama-sama secara berkelompok, mereka akan lebih mampu untuk menghadapi dunia di luar kelompok mereka ataupun lingkungan mereka. Kehidupan masyarakat Jepang yang hanya berputar dalam satu komunitas itulah yang membuat mereka menjadi kompak dalam suatu kelompok, seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini:

Their sphere of living is usually concentrated solely within the village community or the place of work. The Japanese regularly talk about their homes and love affairs with co-workers; marriage within the village community or place of work is prevalent; the family frequently participates in company pleasure trips.

(Nakane, 1973 : 10)

Terjemahan :

Suasana kehidupan mereka biasanya memusat hanya di dalam komunitas desa atau di tempat-tempat kerja. Orang Jepang biasa membicarakan masalah rumah tangga dan percintaan mereka dengan rekan sekerja; perkawinan antar sesama warga desa atau sesama pekerja di suatu perusahaan sering terjadi; keluarga acapkali ikut serta dalam darmawisata yang diselenggarakan perusahaan.

(Nakane, 1981:8) Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan bermasyarakat orang Jepang sebenarnya hanya berputar pada lingkungan mereka berada. Mereka yang berada dalam satu lingkungan, cenderung mengerti dan memahami masing-masing individu karena mereka sering membicarakan masalah pribadi mereka seperti masalah dalam rumah tangga maupun percintaan.


(5)

Shuudan shugi merupakan sebuah paham berkelompok yang dapat dikatakan sebagai salah satu kebudayaan orang Jepang. Hal tersebut juga dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

日本人 集団主義的 あ いう 日本文化論 い

日本人を特徴 最 顕著 見方 あ 見地 ら

日本人 自我意識 欠 日本社会 対立を避 和を

尊ぶ いっ 考え方 生 集団主義 見方 文化

人類学 社会学 社会心理学を始 多く 分野

日本研究 現わ

(Minami dan Sugimoto dalam Hasegawa dan Hirose, 2009:1 ) ‘nihonjin wa shuudan shugiteki de aru, to iu no ga nihon bunkaron ni oite nihonjin wo tokuchoudukeru mottomo kencho na mikata de aru. Kono kenchi kara, nihonjin wa jiga ishiki ni kakeru toka, nihon shakai wa tairitsu wo sakewa wo toutobu to iita kangaekata mo shoujiru. Kono shuudan shugi no mikata wa, bunkajinruigaku, shakaigaku, shakaishinrigaku wo hajime toshite ooku no bunya ni okeru nihon kenkyuu ni arawareru.’

(Minami dan Sugimoto dalam Hasegawa dan Hirose, 2009:1 ) Terjemahan:

Orang Jepang memegang prinsip berkelompok, pandangan ini merupakan sudut pandang yang menjadi karakter atau ciri khas yang paling menonjol dari orang Jepang dalam wacana kebudayaan Jepang. Di sudut pandang ini, ada pendapat bahwa orang Jepang memiliki kelebihan dalam hal kesadaran diri, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa masyarakat Jepang menghindari konfrontasi dan menghargai kedamaian. Sudut pandang berkelompok ini mucul pada penelitian (budaya) Jepang yang terdapat pada sebagian besar bidang seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi sosial.

(Minami dan Sugimoto dalam Hasegawa dan Hirose, 2009:1 )

Shuudan shugi atau paham berkelompok ini dalam masyarakat Jepang terbentuk dengan kokohnya. Hal ini disebabkan sebuah ikatan emosional yang mendasari mereka berkelompok, yang disebut nakama ishiki (仲間意識). Nakama ishiki menjadikan sebuah kelompok berdiri dengan kokoh. Nakama memiliki arti teman, ishiki memiliki arti kesadaran, dengan kata lain, setiap individu dalam


(6)

sebuah kelompok, memiliki kesadaran dalam berteman ataupun berkelompok. Hal ini sesuai dengan penjelasan Iwan (2004:36) dalam kutipan sebagai berikut:

Konsep shuudan terbentuk dengan kokoh di antara anggota kelompok karena ikatan emosional, yang disebut dengan nakama ishiki, yaitu kesadaran berkelompok, yang diyakini dapat menjamin keselamatan para anggotanya, baik secara spiritual maupun material.

Bila dalam pemikiran Barat, grup atau kelompok lebih didominasi dengan kepentingan sesaat, sedangkan dalam pemikiran Jepang dasar pemikiran mereka lebih dari itu. Konsep shuudan sendiri bagi masyarakat Jepang berintikan kesadaran berkelompok. Adanya kesadaran dalam berkelompok inilah, masyarakat Jepang mampu memiliki ikatan yang tidak hanya terjadi sesaat saja, akan tetapi memiliki ikatan yang kuat dan tidak terbatas oleh waktu. Hal ini seperti dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

Dengan demikian konsep berkelompok orang Jepang, berbeda dengan konsep ‘grup’ dalam pemikiran Barat, yang lebih banyak dilandasi oleh kepentingan sesaat. Sebaliknya, dalam konsep shuudan berintikan ‘nakama ishiki’ (仲 間 意 識), yaitu konsep ‘ideologi berkelompok’ yang dilandasi oleh ‘kesadaran’ para anggotanya, sehingga tidak berorientasi pada kepentingan sesaat, tetapi sangat dinamis terutama untuk memperjuangkan kepentingan yang lebih luas jangkauannya (goal-oriented system).

(Iwan , 2004:37)

Shuudan shugi atau paham berkelompok ini dalam masyarakat Jepang dibagi menjadi tiga, yaitu Shuudan Shikou (集団思考), Shuudan Seikatsu (集団生 活) dan Shuudan Ishiki (集団意識).

2.2.1 Shuudan Shikou (集団思考)

Shuudan (集団) dalam Nelson (2002:937) memiliki arti kelompok, badan, massa, orang banyak/ramai, rombongan, dan shikou (思考) memiliki arti pikiran,


(7)

pertimbangan, renungan (Nelson, 2002:623). Shuudan Shikou adalah sebuah konsep dalam orientasi berkelompok yang menjadi kerangka berpikir orang Jepang terhadap eksistensi sebuah kelompok. Hal ini dijelaskan oleh Kawamoto dalam Madubrangti (2008:17),

Orientasi kelompok adalah kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok yang didasari kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok dalam suatu kehidupan sosial masyarakat yang diikat oleh kehidupan bekerjasama di dalam satu kesatuan kehidupan kelompok atau masyarakat.

Kutipan di atas menjelaskan kepentingan kelompok merupakan sesuatu aspek penting. Tingkah laku individu dalam masyarakat Jepang ini dikontrol melalui kegiatan kelompok mereka. Hal inilah yang membuat Jepang dapat berkembang dengan pesat. Mereka benar-benar saling bahu membahu dalam meninggikan derajat kelompok mereka, sehingga membuat persaingan antar kelompok yang cenderung menguntungkan bagi negara terutama dalam hal ekonomi. Ciri utama dalam shuudan shikou menurut Janis dalam Iseda (2007:1-2), yaitu:

..そう 意思決定 共通 ティカ シンキン を妨

集団 結束 い (cohesive) メンバ 集

団 対 肯定的評価 集団 所属 続 い い う動機

強い 一致を求 傾向性(concurrence-seeking tendency)

あ 考え 集団思考 中心的特徴 言い

‘soushita ishikettei ni kyoutsuushite kuritikarushinkingu wo samatagetano wa, shuudan ga kessokushiteiru (cohesive) koto (menba- no shuudan ni taisuru kouteiteki hyouka to shuudan ni shozokushi tsuduketaito iu douki ga tsuyoi) to, icchi wo motomeru keikousei (concurrence-seeking tendency) de aru to kangae, kore ga (shuudan shikou) no chuushinteki tokuchou da to iita.’


(8)

Terjemahan:

Yang menjadi penghalang dalam pemikiran kritis yaitu ketetapan niat dalam kebersamaan untuk rasa solidaritas kelompok (motif yang sangat kuat adalah anggota kelompok menentang adanya penilaian positif) dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti kelompok, pola pikir tersebut merupakan ciri khas dari orientasi kelompok.

Interaksi dalam kegiatan kelompok merupakan sebuah bukti atas eksistensinya dalam kesatuan kelompok itu.

2.2.2 Shuudan Seikatsu (集団生活)

Shuudan (集団) dalam Nelson (2002:937) memiliki arti kelompok, badan, massa, orang banyak/ramai, rombongan, sedangkan seikatsu (生 活) adalah kehidupan (Nelson, 2002: 618). Shuudan seikatsu adalah sebuah kehidupan sosial yang didasari dengan kesadaran yang sangat tinggi dalam kerjasama kelompok, di mana terdapat aturan yang mengikat kehidupan kelompok itu. Hal ini juga dijelaskan oleh Kawamoto dalam Madubrangti (2008:19):

Kehidupan kelompok (shuudan seikatsu) adalah kehidupan sosial yang berlangsung atas dasar adanya kerjasama kelompok yang diikat oleh aturan, sistem, pola dan pedoman tentang kehidupan dalam bekerjasama di dalam kelompok atau masyarakat.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa kehidupan kelompok adalah sebuah kehidupan interaksi antar individu yang didasari atas kesadaran yang tinggi dan peraturan-peraturan yang menjadikan kelompok sebagai interaksi yang mementingkan kelompok.

Bagi masyarakat Jepang, perusahaan atau kaisha (会 社) seolah-olah merupakan rumah kedua bagi mereka. Boy deMente dalam Iwan (2004:46) menjelaskan tentang makna kaisha bagi masyarakat Jepang, sebagai berikut:


(9)

In Japanese, the word of company,’kaisha’ has strong connotations of ‘community’. In referring to their pace of employment, the Japanese typically use the term of ‘uchi’ which means ‘inside’ or ‘my house’, in a possesive sense---‘uchi no kaisha’ or my company. This means a lot more than ‘the place where I work

Terjemahan:

Dalam bahasa Jepang, kata perusahaan, kaisha memiliki konotasi kuat dari 'komunitas'. Hal ini mengacu pada langkah mereka hubungan kerja, orang Jepang biasanya menggunakan istilah uchi yang berarti 'dalam' atau 'rumah saya', dalam arti posesif --- uchi no kaisha atau perusahaan saya. Ini memiliki arti lebih banyak daripada 'tempat di mana saya bekerja

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan seorang individu dalam masyarakat Jepang hanya berkutat dalam keluarga inti mereka, serta keluarga dalam kantor mereka, sehingga kantor lebih dari sekedar tempat bekerja bagi mereka. Kesadaran akan kewajiban yang tertanam kuat dalam diri setiap individu masyarakat Jepang tidaklah lepas dari sebuah sistem kehidupan berkelompok yang melakukan berbagai kegiatan dalam memajukan kelompoknya. 2.2.3 Shuudan Ishiki (集団意識)

Shuudan berarti kelompok, sedangkan ishiki dalam kamus berarti kesadaran. Secara terminologi, shuudan ishiki adalah sebuah kesadaran berkelompok. Selain kehidupan berkelompok terdapat juga kesadaran berkelompok orang Jepang yang disebut dengan shuudan ishiki (Davies, 2002:195). Sebagian masyarakat Jepang mempercayai bahwa dengan pengakuan kesetiaan merupakan kebaikan yang sangat penting daripada yang lainnya, sehingga kesetiaan dalam kesadaran berkelompok menjadi hal yang terpenting bagi mereka. Hal ini terdapat pula dalam kutipan sebagai berikut:

in japanese society, people are primaly group-oriented and give more priority to group harmony than individuals. Most Japanese


(10)

consider it an important virtue to adhere to the values of the groups to which they belong.

(Davies, 2002:196) Terjemahan:

Dalam kehidupan masyarakat Jepang, masyarakat sangat mengutamakan prioritas dalam keharmonisan kelompok daripada diri sendiri. Sebagian juga meyakini bahwa kesetiaan kepada kelompok di mana suatu individu bergabung itu merupakan suatu tindakan yang mulia yang harus dilaksanakan.

(Davies, 2002:196) Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesetiaan yang dirasakan untuk kelompoknya itu membuat seseorang merasakan rasa solidaritas. Hal ini juga dapat dilihat dalam penyelenggaraan berbagai perayaan atau matsuri di Jepang. Tingginya kesadaran berkelompok itulah yang akan memperkuat kerja sama dalam kelompok itu. Hal ini dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

Loyalty to the group creates a strong feeling of solidarity, which can work for good or bad. For example, such feeling can sometimes make people more coorporative in the group: on the other hand, it is sometimes reponsible for the entire group commiting crimes because it is more important for members to follow group values and protect themselves than to stand up and oppose wrong doing

(Davies, 2002: 197) Terjemahan:

Loyalitas dalam sebuah kelompok akan menumbuhkan rasa solidaritas yang kuat, dimana rasa solidaritas itu dapat digunakan untuk melakukan hal-hal yang baik atau buruk. Sebagai contoh, perasaan seperti itu terkadang dapat membuat orang dalam satu kelompok untuk lebih bekerja sama, tetapi di sisi lain, terkadang dapat bertanggung jawab terhadap seluruh anggota kelompok jika terjadi tindak kejahatan karena bagi anggota kelompok, lebih penting untuk mengikuti nilai-nilai yang dianut oleh kelompok dan melindungi diri mereka sendiri daripada membela sebuah kesalahan.

(Davies, 2002:197) Dari kutipan di atas, terlihat bahwa, kesadaran akan berkelompok akan menimbulkan suatu sifat bekerjasama dalam sebuah kelompok. Kerjasama itu


(11)

dapat bersifat positif maupun negatif terhadap lingkungannya. Adanya loyalitas yang dipegang teguh oleh masing-masing individu, masing-masing individu akan memiliki rasa solidaritas yang yang tinggi. Ketika terjadi sesuatu antar-anggota kelompok, mereka akan cenderung bereaksi negatif ataupun positif, tetapi, loyalitas tersebut masih sejalan dengan ideologi kelompok mereka.

Individu yang ingin bergabung dalam sebuah kelompok harus terlebih dahulu kenal dan akrab terhadap anggota kelompok yang dituju. Hal ini seperti dijelaskan oleh Takeuchi dalam Davies (2002:196) sebagai berikut:

Japanese in group are usually indiferent to outsiders. However when outsider are invited to come with appointments, they are threated courteosly as formal guest. If they should try to join one’s group without any contact, however, they would never have a warm welcome and might secretly become people who should be refused admittance and excluded from the group.

Terjemahan:

Dalam sebuah kelompok, orang Jepang sangat membedakan diri dengan masyarakat luar. Bagaimanapun juga, ketika orang luar diundang datang dengan menggunakan janji terlebih dahulu, maka mereka akan memperlakukannya dengan ramah dan sangat formal sebagai tamu. Akan tetapi, jika orang luar mencoba untuk menjadi bagian dari kelompok tanpa adanya hubungan terlebih dahulu maka orang-orang dalam kelompok tersebut tidak akan memberikan sambutan yang hangat dan akan melakukan penolakan untuk masuk ke dalam kelompok tersebut.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa tidak mudah bila seorang individu yang ingin bergabung dengan sebuah kelompok. Mereka yang ingin bergabung menjadi anggota suatu kelompok terlebih dahulu harus akrab dengan salah satu anggota kelompok yang dituju, kemudian mereka juga harus membuktikan bahwa mereka loyal dan dapat menjadi satu keluarga dalam kelompok itu. Apabila seseorang yang dengan tiba-tiba menjadi anggota sebuah kelompok tanpa adanya


(12)

sosialisasi terlebih dahulu dengan salah satu anggota kelompok itu, mereka cenderung menolak kehadiran anggota baru itu. Bila terdapat anggota baru dalam manajemen mereka, maka anggota baru tersebut harus bisa membuktikan bahwa mereka memang layak untuk menerima anggota baru itu sebagai anggota kelompok mereka.

2.3 Mise-en-scene

Mise-en-scene adalah sebuah kata dari bahasa Perancis. Giannetti (2002:499) menjelaskan secara harfiah, mise-en-scene berarti apa yang harus diletakkan di dalam satu scene. Mise-en-scene adalah istilah teater yang mendahului film dan itu pada dasarnya memiliki arti bagaimana segala sesuatu di atas panggung diposisikan dan ditata. Semua yang ditempatkan di dalam panggung merupakan segala elemen visual dalam sebuah produksi teater, yaitu panggung atau latar yang menjadi setting pembuatan film, ataupun drama, hal ini dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

Mise en scene is used in film studies in the discussion of visual style. ....litterally translated it means ‘to put on stage’, ... . For the student of film, a useful definition might be : ‘the contents of the frame and the way that they are organized’.

(Gibbs, 2002:5) Terjemahan:

Mise-en-scene diguanakan sebagai pengkajian secara visual. Secara harafiah, mise-en-scene diartikan ‘menempatkan dalam panggung. ... Untuk mahasiswa yang mempelajari tentang film, definisi yang digunakan adalah ‘segala sesuatu yang ada di dalam frame dan cara yang mereka gunakan telah terorganisir.


(13)

Corrigan (2007:48) mendefinisikan mise-en-scene sebagai what is put into the scene (put before the camera) yang berarti mise-en-scene merupakan apa saja yang ada di dalam panggung, yaitu panggung yang berada sebelum kamera. Kesimpulan dari pengertian menurut Corrigan tersebut adalah segala sesuatu yang terdapat dalam panggung yang dapat menggambarkan sebuah situasi yang akan digambarkan oleh sutradara.

Elemen-elemen yang terdapat dalam mise en scene adalah pengaruh dari latar atau setting, pencahayaan atau lighting, seberapa menariknya kostum yang digunakan oleh pemain, akting, dan space atau tempat. Unsur mise-en-scene yang membantu dalam penelitian adalah unsur latar atau setting, kostum, pencahayaan, dan akting.

2.3.1 Latar atau setting

Latar atau setting merupakan segala sesuatu yang menjadi dasar dalam sebuah penggambaran secara visual mengenai peristiwa-peristiwa yang ingin digambarkan. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2010:216) latar disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Menurut Corrigan (2007:51), setting and sets refer to the location or the construction of location where a scene is filmed, ‘pengaturan dan set yang merujuk pada lokasi atau konstruksi dari lokasi dimana adegan difilmkan’. Latar atau setting merupakan unsur terpenting dalam sebuah pengambilan film ataupun drama.


(14)

Hal terpenting dalam penyajian latar atau setting yang sesuai dengan jalan cerita suatu peristiwa itulah yang membuat penonton menjadi tertarik untuk menonton sajian tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Corrigan (2007:51) yang menyatakan in some movies, you will notice immedietely how important the setting and sets are, ‘dalam banyak film, Anda akan menyadari seberapa pentingnya pengaturan dari latar itu’.

Kutipan tersebut, dapat kita ketahui bahwa ada beberapa film ataupun drama yang sangat dipengaruhi oleh pengaturan latar, yang memungkinkan mempengaruhi penonton untuk menyerap makna film ataupun drama itu, latar tersebut digunakan untuk menerangkan emosi tokoh sehingga dapat memperkuat karakter tokoh.

2.3.2 Kostum

Kostum merupakan unsur penting dalam penokohan dalam sebuah film. Kostum merupakan interpretasi dari bagaimana seorang tokoh digambarkan atau karakter seorang tokoh yang digambarkan. Bila seorang tokoh digambarkan dengan seorang aktris yang menggunakan baju yang compang-camping, maka aktris tersebut memerankan tokoh orang miskin, dan bila mereka menggunakan pakaian yang mewah, perhiasan di badan, mereka memerankan tokoh orang kaya. Hal ini seperti yang di jelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

costumes, as we all know, are the clothes the characters wear. Like other aspects of the mise-en-scene, they vary along a spectrum from realistc dress to extravagant costumes:often, they provide a writer with the key to character’s identity.


(15)

Terjemahan:

Pakaian, seperti kita semua tahu, merupakan pencerminan dari karakter pemakainya. Seperti aspek lain dari mise-en-scene, maka variasi dari seluruh warna dari pakaian yang biasa digunakan menjadi pakaian yang mewah: seringnya, yang mereka kenakan merupakan kunci dari identitas karakter yang ingin dihadirkan oleh penulis.

(Corrigan, 2007:54) 2.3.3 Pencahayaan atau lighting

Pencahayaan atau lighting merupakan hal penting lainnya dalam produksi film. Pencahayaan ini memiliki kekuatan untuk mengeskpresikan bagaimana suasana yang ingin dihadirkan oleh penulis. Hal ini dijelaskan pula oleh Corrigan (2007:54) sebagai berikut:

Lighting describes the various ways a character or an object or a scene can be illuminated, either by natural sunlight or from artificial sources (such as lamps). it allows a filmmaker to direct a viewer's attention in a certain way or to create a certain atmosphere.

Terjemahan:

Pencahayaan mendeskripsikan berbagai karakter atau objek atau adegan, dapat diterangi baik oleh sinar matahari alami atau dari sumber-sumber buatan (seperti lampu). Hal itu memungkinkan pembuat film untuk mengarahkan perhatian penonton dengan cara tertentu atau untuk menciptakan suasana tertentu.

Bila pencahayaan yang redup, bisa jadi merupakan indikasi bahwa adegan yang ingin digambarkan adalah seram, gundah, dan lain sebagainya. Pengkoordinasian antara aktor, pencahayaan mampu meyakinkan penonton dalam menikmati jalan cerita dalam film tersebut.

Hal ini senada dengan pernyataan Corrigan (2007:55), ...the lighting creates a feeling of clarity and optimism and, in the second, a feeling of oppression and gloom., ‘pencahayaan mampu menghadirkan perasaan kejelasan dan optimisme, dan yang kedua mampu menghadirkan perasaan penindasan dan


(16)

kesuraman’. Menurut Giannetti (2002:18) rancangan cahaya yang digunakan dalam sebuah film itu biasanya disesuaikan dengan tema dan suasana yang ingin ditampilkan dalam film atau genre dari film tersebut.

2.3.4 Akting atau acting

Seperti kita ketahui, tokoh dalam sebuah film ataupun drama diperankan oleh seorang aktor. Cara aktor tersebut menggambarkan tokoh dalam sebuah akting merupakan hal terpenting dalam sebuah film. Penggabungan dari akting, pencahayaan, latar, serta kostum inilah yang membuat sebuah film mampu mempengaruhi penonton. Hal ini dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

An actor is the individual who plays the part of a character in a movie. But acting style-how an actor plays a part- differs considerably from film to film and from one decade to the next.

(Corrigan, 2007:53) Terjemahan:

Seorang aktor adalah individu yang memainkan bagian dari karakter dalam film. Akan tetapi gaya akting (bagaimana seorang aktor memainkan bagian) sangat berbeda dari film ke film dan dari satu dekade ke generasi berikutnya.

(Corrigan, 2007:53) 2.3.5 Space

Elemen lain dari mise-en-scene adalah space atau ruang. Space atau ruang ini mempengaruhi sudut pandang dalam penilaian film. Bagaimana penggambaran objek dalam suatu film, dapat pula dimanipulasi melalui penempatan kamera, pencahayaan, setting, yang dapat menghubungkan segala aspek dalam sebuah film. Hal ini dijelaskan oleh Corrigan (2007:56) sebagai berikut:

Mise-en-scene, then, is about the threatics of space as that space is constructed for the camera. This use of space-how it is arranged and how the actors and objects relate within it-can generate exciting topics and commentary on film.


(17)

Terjemahan:

Unsur mise-en-scene selanjutnya adalah ruangan yang dibangun untuk ditampilkan dalam kamera. Ini menggunakan ruang-bagaimana mengatur para tokoh dan objek dapat berhubungan di dalamnya-dapat menghasilkan topik menarik dan dapat memberikan komentar pada film.

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu penulis adalah penelitian dari Mico Ricardo, mahasiswa Universitas Bina Nusantara. Mico Ricardo melakukan penelitian dengan judul Analisis Shuudan Shugi pada Tokoh Sakuragi Hanamichi dalam Komik Slamdunk. Pada penelitian ini, Mico Ricardo menggunakan komik Slumdunk sebagai objek observasi, dimana dalam komik ini terdapat kehidupan sosial remaja Jepang. Konsep yang digunakan untuk menganalisis kehidupan sosial remaja Jepang antara lain adalah konsep shuudan shugi, diantaranya shuudan shikou, shuudan seikatsu dan shuudan ishiki.

Kesamaan dalam penelitan penulis dan penelitian dari Mico Ricardo adalah analisis konsep shuudan shugi. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan penulis dan Mico Ricardo adalah Mico Ricardo menggunakan objek komik dan menganalisis kehidupan sosial pada remaja Jepang. Penulis menggunakan objek serial drama dan menganalisis konsep shuudan shugi pada manajemen perusahaan Jepang, khususnya manajemen perhotelan Jepang.


(1)

sosialisasi terlebih dahulu dengan salah satu anggota kelompok itu, mereka cenderung menolak kehadiran anggota baru itu. Bila terdapat anggota baru dalam manajemen mereka, maka anggota baru tersebut harus bisa membuktikan bahwa mereka memang layak untuk menerima anggota baru itu sebagai anggota kelompok mereka.

2.3 Mise-en-scene

Mise-en-scene adalah sebuah kata dari bahasa Perancis. Giannetti (2002:499) menjelaskan secara harfiah, mise-en-scene berarti apa yang harus diletakkan di dalam satu scene. Mise-en-scene adalah istilah teater yang mendahului film dan itu pada dasarnya memiliki arti bagaimana segala sesuatu di atas panggung diposisikan dan ditata. Semua yang ditempatkan di dalam panggung merupakan segala elemen visual dalam sebuah produksi teater, yaitu panggung atau latar yang menjadi setting pembuatan film, ataupun drama, hal ini dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

Mise en scene is used in film studies in the discussion of visual style. ....litterally translated it means ‘to put on stage’, ... . For the student of film, a useful definition might be : ‘the contents of the frame and the way that they are organized’.

(Gibbs, 2002:5) Terjemahan:

Mise-en-scene diguanakan sebagai pengkajian secara visual. Secara harafiah, mise-en-scene diartikan ‘menempatkan dalam panggung. ... Untuk mahasiswa yang mempelajari tentang film, definisi yang

digunakan adalah ‘segala sesuatu yang ada di dalam frame dan cara

yang mereka gunakan telah terorganisir.


(2)

Corrigan (2007:48) mendefinisikan mise-en-scene sebagai what is put into the scene (put before the camera) yang berarti mise-en-scene merupakan apa saja yang ada di dalam panggung, yaitu panggung yang berada sebelum kamera. Kesimpulan dari pengertian menurut Corrigan tersebut adalah segala sesuatu yang terdapat dalam panggung yang dapat menggambarkan sebuah situasi yang akan digambarkan oleh sutradara.

Elemen-elemen yang terdapat dalam mise en scene adalah pengaruh dari latar atau setting, pencahayaan atau lighting, seberapa menariknya kostum yang digunakan oleh pemain, akting, dan space atau tempat. Unsur mise-en-scene yang membantu dalam penelitian adalah unsur latar atau setting, kostum, pencahayaan, dan akting.

2.3.1 Latar atau setting

Latar atau setting merupakan segala sesuatu yang menjadi dasar dalam sebuah penggambaran secara visual mengenai peristiwa-peristiwa yang ingin digambarkan. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2010:216) latar disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Menurut Corrigan (2007:51), setting and sets refer to the location or the construction of location where a scene is filmed, ‘pengaturan dan set yang merujuk pada lokasi atau konstruksi dari lokasi dimana adegan difilmkan’. Latar atau setting merupakan unsur terpenting dalam sebuah pengambilan film ataupun drama.


(3)

Hal terpenting dalam penyajian latar atau setting yang sesuai dengan jalan cerita suatu peristiwa itulah yang membuat penonton menjadi tertarik untuk menonton sajian tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Corrigan (2007:51) yang menyatakan in some movies, you will notice immedietely how important the setting and sets are, ‘dalam banyak film, Anda akan menyadari seberapa pentingnya pengaturan dari latar itu’.

Kutipan tersebut, dapat kita ketahui bahwa ada beberapa film ataupun drama yang sangat dipengaruhi oleh pengaturan latar, yang memungkinkan mempengaruhi penonton untuk menyerap makna film ataupun drama itu, latar tersebut digunakan untuk menerangkan emosi tokoh sehingga dapat memperkuat karakter tokoh.

2.3.2 Kostum

Kostum merupakan unsur penting dalam penokohan dalam sebuah film. Kostum merupakan interpretasi dari bagaimana seorang tokoh digambarkan atau karakter seorang tokoh yang digambarkan. Bila seorang tokoh digambarkan dengan seorang aktris yang menggunakan baju yang compang-camping, maka aktris tersebut memerankan tokoh orang miskin, dan bila mereka menggunakan pakaian yang mewah, perhiasan di badan, mereka memerankan tokoh orang kaya. Hal ini seperti yang di jelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

costumes, as we all know, are the clothes the characters wear. Like other aspects of the mise-en-scene, they vary along a spectrum from realistc dress to extravagant costumes:often, they provide a writer with the key to character’s identity.


(4)

Terjemahan:

Pakaian, seperti kita semua tahu, merupakan pencerminan dari karakter pemakainya. Seperti aspek lain dari mise-en-scene, maka variasi dari seluruh warna dari pakaian yang biasa digunakan menjadi pakaian yang mewah: seringnya, yang mereka kenakan merupakan kunci dari identitas karakter yang ingin dihadirkan oleh penulis.

(Corrigan, 2007:54) 2.3.3 Pencahayaan atau lighting

Pencahayaan atau lighting merupakan hal penting lainnya dalam produksi film. Pencahayaan ini memiliki kekuatan untuk mengeskpresikan bagaimana suasana yang ingin dihadirkan oleh penulis. Hal ini dijelaskan pula oleh Corrigan (2007:54) sebagai berikut:

Lighting describes the various ways a character or an object or a scene can be illuminated, either by natural sunlight or from artificial sources (such as lamps). it allows a filmmaker to direct a viewer's attention in a certain way or to create a certain atmosphere.

Terjemahan:

Pencahayaan mendeskripsikan berbagai karakter atau objek atau adegan, dapat diterangi baik oleh sinar matahari alami atau dari sumber-sumber buatan (seperti lampu). Hal itu memungkinkan pembuat film untuk mengarahkan perhatian penonton dengan cara tertentu atau untuk menciptakan suasana tertentu.

Bila pencahayaan yang redup, bisa jadi merupakan indikasi bahwa adegan yang ingin digambarkan adalah seram, gundah, dan lain sebagainya. Pengkoordinasian antara aktor, pencahayaan mampu meyakinkan penonton dalam menikmati jalan cerita dalam film tersebut.

Hal ini senada dengan pernyataan Corrigan (2007:55), ...the lighting creates a feeling of clarity and optimism and, in the second, a feeling of oppression and gloom., ‘pencahayaan mampu menghadirkan perasaan kejelasan dan optimisme, dan yang kedua mampu menghadirkan perasaan penindasan dan


(5)

kesuraman’. Menurut Giannetti (2002:18) rancangan cahaya yang digunakan dalam sebuah film itu biasanya disesuaikan dengan tema dan suasana yang ingin ditampilkan dalam film atau genre dari film tersebut.

2.3.4 Akting atau acting

Seperti kita ketahui, tokoh dalam sebuah film ataupun drama diperankan oleh seorang aktor. Cara aktor tersebut menggambarkan tokoh dalam sebuah akting merupakan hal terpenting dalam sebuah film. Penggabungan dari akting, pencahayaan, latar, serta kostum inilah yang membuat sebuah film mampu mempengaruhi penonton. Hal ini dijelaskan dalam kutipan sebagai berikut:

An actor is the individual who plays the part of a character in a movie. But acting style-how an actor plays a part- differs considerably from film to film and from one decade to the next.

(Corrigan, 2007:53) Terjemahan:

Seorang aktor adalah individu yang memainkan bagian dari karakter dalam film. Akan tetapi gaya akting (bagaimana seorang aktor memainkan bagian) sangat berbeda dari film ke film dan dari satu dekade ke generasi berikutnya.

(Corrigan, 2007:53) 2.3.5 Space

Elemen lain dari mise-en-scene adalah space atau ruang. Space atau ruang ini mempengaruhi sudut pandang dalam penilaian film. Bagaimana penggambaran objek dalam suatu film, dapat pula dimanipulasi melalui penempatan kamera, pencahayaan, setting, yang dapat menghubungkan segala aspek dalam sebuah film. Hal ini dijelaskan oleh Corrigan (2007:56) sebagai berikut:

Mise-en-scene, then, is about the threatics of space as that space is constructed for the camera. This use of space-how it is arranged and how the actors and objects relate within it-can generate exciting topics and commentary on film.


(6)

Terjemahan:

Unsur mise-en-scene selanjutnya adalah ruangan yang dibangun untuk ditampilkan dalam kamera. Ini menggunakan ruang-bagaimana mengatur para tokoh dan objek dapat berhubungan di dalamnya-dapat menghasilkan topik menarik dan dapat memberikan komentar pada film.

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu penulis adalah penelitian dari Mico Ricardo, mahasiswa Universitas Bina Nusantara. Mico Ricardo melakukan penelitian dengan judul Analisis Shuudan Shugi pada Tokoh Sakuragi Hanamichi dalam Komik Slamdunk. Pada penelitian ini, Mico Ricardo menggunakan komik Slumdunk sebagai objek observasi, dimana dalam komik ini terdapat kehidupan sosial remaja Jepang. Konsep yang digunakan untuk menganalisis kehidupan sosial remaja Jepang antara lain adalah konsep shuudan shugi, diantaranya shuudan shikou, shuudan seikatsu dan shuudan ishiki.

Kesamaan dalam penelitan penulis dan penelitian dari Mico Ricardo adalah analisis konsep shuudan shugi.Perbedaan antara penelitian yang dilakukan penulis dan Mico Ricardo adalah Mico Ricardo menggunakan objek komik dan menganalisis kehidupan sosial pada remaja Jepang. Penulis menggunakan objek serial drama dan menganalisis konsep shuudan shugi pada manajemen perusahaan Jepang, khususnya manajemen perhotelan Jepang.